MINYAK IKAN LEMURU SEBAGAI IMUNOMODULATOR
DAN PENAMBAHAN VITAMIN E UNTUK MENINGKATKAN
KEKEBALAN TUBUH AYAM BROILER
DENNY RUSMANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2008
DENNY RUSMANA. Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler. Dibimbing oleh : WIRANDA GENTINI PILIANG, AGUS SETIYONO dan SLAMET BUDIJANTO
Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk oleh kesalahan pemberian ransum. Imbangan asam lemak n-3 : n-6 dalam ransum jarang menjadi perhatian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan minyak ikan lemuru untuk meningkatkan imbangan asam lemak n-3 : n 6 dalam ransum dan dikombinasikan dengan vitamin E, untuk mengetahui responnya terhadap imunomodulator dan daya tahan tubuh ayam broiler.
Tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dalam ransum (0, 3, dan 6 %) menghasilkan peningkatan imbangan asam lemak n-3 : n-6 dalam ransum (0.05, 0.031 dan 0.56). Tingkat penggunaan minyak ikan lemuru yang dikombinasikan dengan suplementasi vitamin E (0, 100 dan 200 ppm), memberikan interaksi terhadap konsumsi ransum, namun tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan. Tingkat penggunaan minyak ikan 6 % dan suplementasi vitamin E 200 ppm menyebabkan penurunan konsumsi ransum, sehingga konversi ransum menjadi rendah. Terhadap sistem imun tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E tidak mempengaruhi titer antibodi setelah vaksin ND yang pertama, tetapi berpengaruh dalam peningkatan titer antibodi setelah vaksin ND yang kedua. Titer antibodi yang tertinggi dicapai pada tingkat penggunaan 6 % minyak ikan lemuru yang di suplementasi 200 ppm vitamin E. Suplementasi vitamin E meningkatkan titer antibodi setelah vaksin IBD. Peningkatan pengunaan minyak ikan menyebabkan peningkatan limfosit.
Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru yang disuplementasi 200 ppm vitamin E dapat mengurangi dampak peradangan akibat uji tantang virus ND dan IBD, namun ayam harus tetap diberi vaksin. Hal ini ditunjukkan oleh perbaikan kinerja berupa pertambahan bobot badan dan konversi pakan. Pemberian ransum tersebut juga dapat mengurangi dampak peradangan berupa lesio dari organ limfoid bursa fabricius, limpa dan timus.
ABSTRACT
DENNY RUSMANA. Lemuru Fish Oil as Immunomodulator and Vitamin E Supplementation to Increase Immunity of Broiler Chicken. Under direction of WIRANDA GENTINI PILIANG, SLAMET BUDIJANTO and AGUS SETIYONO
The performances of animals that are infected by diseases are poor due to improper diets. The ratio of n-3 : n-6 fatty acid has never been a priority in formulating chicken diets . This research was aimed to increase the ratio of n-3 :n-6 fatty acids by supplementing lemuru fish oil and vitamin E as an immunomodulator and as an immune system respectively for broiler chicken.
Level of lemuru fish oil in the diet (0, 3, and 6 %) increased the ratio of n3 : n-6 fatty acid in the diet (0.05, 0.31, and 0.56). The combinations of lemuru fish oil and vitamin E supplementation (0, 100, and 200 ppm) in the diet showed an interaction effect on feed consumption, but did not effect the body weight gain. The combination of 6 % lemuru fish oil with 200 ppm vitamin E decreased the feed consumption, and therefore lowering the feed coversion. The effect of the diet on the immune system, did not affect the antibody titer after the first ND vaccination, but affected the anti body titer after the second ND vaccination. The highest titer antibody after the second ND vaccination was showed by the chicken fed diet with the combination of 6 % lemuru fish oil and 200 ppm vitamin E. The supplementation of vitamin E in the diet up to 200 ppm increased the titer antibody after the IBD vaccination. The level of lemuru fish oil up to 6 % in the diet increased the lymphocyte.
Feeding the diet containing 6 % of lemuru fish oil and 200 ppm of vitamin E in the diet decreased the inflammatory reaction of the chicken infected by the ND or IBD virus. The diet containing 6 % of lemuru fish oil and 200 ppm of vitamin E gave the best body weight gain and feed conversion. The lesio of lymphoid organ (bursa Fabricius, spleen, and thymus) decreased by this diet.
DENNY RUSMANA. Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, SLAMET BUDIJANTO dan AGUS SETIYONO
Salah satu tantangan paling berat dibidang peternakan adalah pencegahan penyakit. Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk oleh kesalahan penyusunan ransum. Asam lemak n-3 jarang menjadi perhatian dalam penyusunan ransum. Senyawa tersebut merupakan perkusor dari senyawa prostaglandin seri E3 (PGE3) yang secara farmakologi
dapat mempengaruhi sistem imun. Minyak atau lemak dari ikan salah satu bahan yang kaya asam lemak n-3. Minyak ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan lemuru. Minyak ikan lemuru merupakan hasil sampingan pembuatan tepung ikan dan pengalengan ikan lemuru (Sardinella longiceps).
Penelitian dilaksanakan ke dalam dua tahap penelitian. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui peranan suplementasi minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah tingkat penggunaan minyak ikan lemuru (0, 3, dan 6 %), faktor kedua adalah tingkat suplementasi vitamin E (0, 100, 200 ppm). Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa; 1) Terdapat interaksi (P<0.05) antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E terhadap konsumsi ransum, namun tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan; Tidak terdapat interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E terhadap konversi ransum, tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E masing-masing mempengaruhi konversi ransum (P<0.05). 2) Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi Newcastle diseases (ND) yang pertama, tetapi terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi ND yang kedua, kombinasi penggunaan 6 % minyak ikan lemuru dan suplemenasi 200 ppm vitamin E dalam ransum menunjukkan titer antibodi yang paling tinggi. Tidak terdapat interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi Infectious Bursa Diseases (IBD). Suplementasi vitamin E sampai 200 ppm nyata (P<0.05) meningkatkan titer antibodi setelah vaksinasi IBD, tetapi penambahan minyak ikan lemuru tidak memberikan pengaruh yang nyata. 3) Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap masing-masing komponen sel darah putih menunjukkan tidak adanya interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan dan suplementasi vitamin E. Suplementasi vitamin E nyata (P<0.05) menurunkan persentase eosinofil. Peningkatan persentase limfosit nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh pemberian minyak ikan, sedangkan heterofil tidak dipengaruhi oleh suplementasi minyak ikan maupun vitamin E.
lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E (R9), tidak divaksin ND maupun IBD; 2) Pemberian ransum R9, divaksin ND dan IBD; 3) Pemberian ransum R9 tidak divaksin ND, dan diuji tantang virus ND; 4) Pemberian ransum R9, divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus ND ; 5) Pemberian ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E (R0), divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus ND; 6) Pemberian ransum R9, tidak divaksin IBD, dan diuji tantang virus IBD; 7) Pemberian ransum R9, divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus IBD; 8) Pemberian ransum R0,divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus IBD. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Data skor lesio dari organ limfoid dianalisis dengan Uji Kruskal-Walis yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.
Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa ; 1) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND ataupun IBD tidak mempengaruhi konsumsi ransum akibat uji tantang virus ND ataupun IBD; 2) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi dampak penghambatan pertambahan bobot badan akibat uji tantang virus IBD; 3) Pemberian ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi dampak peningkatan nilai konversi ransum sebagai akibat uji tantang virus IBD; 4) Respon organ limfoid akibat uji tantang virus ND ataupun IBD, yang lebih baik ditunjukan oleh pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan dibari vaksin ND dan IBD dengan besarnya nilai berat relatif limpa terhadap bobot badan; 5) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E 200 ppm dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi patogenitas dari virus ND dan IBD akibat uji tantang virus ND atau IBD ditunjukkan dengan rendahnya skor lesio histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, Limpa, dan timus)
Dari hasil penelitian tahap pertama dan kedua dapat disimpulkan bahwa 1) Tingkat penggunaan 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E 200 ppm dalam ransum ayam broiler dapat berperan sebagai imonumodulator yaitu sebagai imunostimulan; 2) Tingkat penggunaan 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dalam ransum ayam broiler, dan ayam diberi vaksin dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Ferry Poernama, MSc
DAN PENAMBAHAN VITAMIN E UNTUK MENINGKATKAN
KEKEBALAN TUBUH AYAM BROILER
DENNY RUSMANA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi
Nama NIM
: Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler
: Denny Rusmana : D061020041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Sc Dr. Drh. Agus Setiyono, M.S. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan disertasi, dengan judul Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler
Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr .Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc,
sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Sc dan Dr. Drh. Agus Setiyono, MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah menyediakan waktu, dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3.
Ucapan terima kasih penulis, disampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Rektor Universitas Padjadjaran, dan pengelola beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Ketua Program Studi Ilmu Ternak (PTK) beserta staf dan pegawai, atas kelancaran administrasi, serta kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi.
Penghargaan penulis disampaikan kepada Bapak Yaman, Bapak Jondri, Bapak Iwan, Lala, Hapali, dan Fihir, yang telah membantu selama pengumpulan data pada penelitian tahap I, Ogan dan Bapak Albert yang telah membantu selama penelitian tahap II, serta Bapak Kasnadi, Bapak Endang, Bapak Soleh yang telah membantu nekropsi dan persiapan preparat histologi demikian juga kepada Ketua Laboratorium Patologi dan Histopatologi Fakultas Kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor atas fasilitas laboratoriumnya.
Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada Istri tercinta Astri Nita Rianti dan anakku tersayang Dea Cherunissa Rusmana, atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3 ini.
Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan khususnya dalam bidang peternakan.
.
Bogor, Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Oktober 1967, sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan Ohan Rohandi dan Ida Djubaedah. Pada tahun 1997 menikah dengan Ir. Astri Nita Rianti, dan dikaruniai satu orang anak, yakni Dea Chaerunissa Rusmana.
Pendidikan sarjana telah ditempuh di Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1993. Penulis menamatkan Magister Sains di Program Studi Ilmu Ternak Program Pascasarjana IPB Bogor tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Halaman Sumber Asam Lemak n-3 dan n-6... Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh... Metabolisme AA dan LNA... Sistem Kekebalan Tubuh (Imunitas)... Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) terhadap Respon Kekebalan... Pengaruh Metabolisme AA pada Jaringan Limfoid ... Peranan ( n-3) PUFA terhadap Respon Kekebalan... Pengaruh Perbandingan Asam Lemak n-3 : n-6 tehadap Respon Kekebalan... Interaksi PUFA dengan Vitamin E terhadap Respon Kekebalan...
xi
Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin ND…. Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin IBD… Pengaruh Perlakuan terhadap Diferensiasi Sel Darah Putih... Penelitian Tahap II...
Halaman
Komposisi asam lemak pada minyak jagung...
Sumber asam lemak n-3 dari berbagai ikan...
Komposisi ransum penelitian...
Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru...
Kandungan asam lemak n-3 dan n-6 dalam ransum...
Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum...
Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan...
Pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum...
Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ND primer dan ND sekunder
Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi IBD...
Pengaruh perlakuan terhadap diferensiasi sel darah putih...
Konsumsi ransum sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...
Pertambahan bobot badan sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...
Konversi ransum sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...
Berat relatif bursa Fabricius sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD...
Berat relatif limpa sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD ...
Berat relatif timus sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD...
Skor lesio histopatologi bursa Fabricius...
DAFTAR GAMBAR
Rantai karbon beberapa Asam Lemak n-6 dan n-3 (Sumber : Kreutler 1980)...
Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh. (Sumber: BNF 1994)……….
Dasar biokimia dari pengaruh potensi n-3 dan n-6 PUFA terhadap
inflammation; +++ pro-inflammatory sangat kuat; + pro-inflammatory
lemah; (Sumber: BNF 1994)...
Diagram alir penelitian tahap I...
Diagram alir penelitian tahap II...
Grafik hubungan antara tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum dengan titer antibodi IBD...
Grafik hubungan antara tingkat suplementasi vitamin E dalam ransum dengan titer antibodi IBD...
Grafik hubungan antara tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum dengan kandungan limfosit...
Grafik pertumbuhan ayam broiler pada berbagai perlakuan...
Grafik pertambahan bobot badan kumulatif pasca uji tantang virus ND atau IBD ...
Grafik konversi ransum pasca uji tantang virus ND atau IBD... 9
Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, divaksin ditantang virus ND (Pembesaran objektif 4X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E, divaksin, ditantang virus ND (12 hari setelah infeksi) limfonodulus terjadi deplesi berat. (Pembesaran objektif 4x)...
Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E,divaksin , ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi) plika utuh, limfonodulus tidak terjadi deplesi (pembesaran objektif 4X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E ,divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi), tanda adanya oedema. (Pembesaran objektif 4x). Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)...
62
14.
15.
16
17.
18.
Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, tidak ditemukan sel radang, (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, ditemukan sel radang (SR); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)...
Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi vitamin E 200 ppm, divaksin ND ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) utuh; Pulpa Merah (PM), (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) deplesi berat; Pulpa merah (PM) terlihat lebih luas. Pewarnaan HE. (Pembesaran objektif 10 X)...
Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, tidak divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi kongesti (K), (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi perdarahan yang menutupi pulpa merah (PM); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)
Fotomikrograf timus ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD, (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit tidak terjadi deplesi; pembesaran objektif 4 X; (2) yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah uji tantang) (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit terjadi deplesi berat; pembesaran objektif 4 X ; Pewarnaan HE...
Fotomikrograf timus ayam yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND (12 hari setelah uji tantang) (1) (D) Deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit dan terdapat bercak-bercak kongesti pada medulla (struktur retikuler); (Pembesaran objektif 4 X) dengan pewarnaan HE; (2) (K) Kongesti. (Pembesaran objektif 20 X); Pewarnaan HE………
66
66
67
70
PENDAHULUAN Latar Belakang
Salah satu tantangan paling berat di bidang peternakan adalah
pencegahan penyakit. Daya tahan tubuh ternak merupakan benteng utama
untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Daya tahan adalah kemampuan tubuh
untuk menangkal dan melawan penyakit. Daya tahan terkait erat dengan sistem
pertahanan kekebalan (imunitas) tubuh yang ditunjang oleh sel imun serta
antibodi.
Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk
oleh kesalahan penyusunan ransum. Selama ini, penyusunan ransum pada
dasarnya hanya ditekankan kepada terpenuhinya kebutuhan energi, protein
vitamin dan mineral. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) jarang menjadi
perhatian dalam penyusunan ransum, padahal PUFA merupakan prekursor dari
beberapa zat yang mempengaruhi sistem imun. Asam lemak n-6 merupakan
prekursor dari prostaglandin E2 (PGE2), dan prostasiklin I2 (PGI2), sedangkan
asam lemak n-3 merupakan prekursor dari prostaglandin E3 (PGE3), dan
prostasiklin I3 (PGI3).
Terhadap sistem pertahanan tubuh, aktivitas PGE2 menyebabkan
imunosupresif yang secara anatomis diperlihatkan oleh atrofi organ limfoid
(Husband 1995). Hal ini bergantung pada kekuatan aktifitas prostasiklin I2 yang
mempunyai peran sebagai imunostimulan dalam jaringan organ limfoid
(Lowenthal et al. 1994). PGE2 dan PGI2 disintesa dari asam arakhidonat (AA)
yang metabolismenya meningkat pada reaksi pertahanan tubuh.
Metabolisme AA dihambat oleh asam linolenat (LNA), karena keduanya
dikatalisis oleh enzim yang sama. Sifat penghambatan ini menjadi kuat jika LNA
sudah dimetabolisme menjadi asam eikosa pentaenoat (EPA) (Hwang et al.
1988). Dalam mengadakan sistem pertahanan tubuh EPA akan dimetabolisme
lebih lanjut menghasilkan senyawa prostaglandin seri tiga diantaranya adalah
PGE3, yang bersifat anti radang dan PGI3 yang mempunyai peran sama dengan
PGI2 tetapi bersifat lebih lemah (Beaur 1993)
Perlu dipertimbangkan penambahan asam lemak n-3 ke dalam ransum
ayam broiler, karena lebih dari 50 % bahan pakan dalam ransum ayam broiler
adalah jagung. Pakan jagung kaya akan asam lemak n-6, sehingga dengan
ditambahkannya minyak yang kaya asam lemak n-3 diharapkan dapat menekan
pakan sumber asam lemak n-3. Rusmana et al. (2000), melaporkan bahwa
penambahan minyak ikan tuna sebesar 6 % dalam ransum ayam kampung dapat
meningkatkan kandungan asam lemak n-3, EPA dan asam dokosa heksaenoat
(DHA), dan menekan kandungan AA dalam jaringan.
Minyak ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan
lemuru (Sardinella longiceps). Minyak ikan lemuru merupakan salah satu
sumber asam lemak n-3 (Cahyanto et al. 1997). Minyak ikan lemuru merupakan
hasil sampingan pembuatan tepung ikan dan pengalengan ikan lemuru. Proses
pengalengan ikan lemuru diperoleh rendemen berupa minyak sebesar 5% (b/b)
dan dari proses penepungan sebesar 10% (b/b) (Setiabudi 1990).
Penambahan minyak ikan yang kaya asam lemak n-3 sampai 2 % dalam
ransum yang berbasis pakan jagung tidak meningkatkan titer antibodi yang
dihasilkan ayam broiler yang divaksinasi, tetapi pada tingkat tersebut dapat
menekan efek peradangan apabila diinfeksi (Korver & Klasing 1997; Wander et
al. 1997). Pada tingkat penambahan minyak ikan sampai 7 % dalam ransum
respon titer antibodi terhadap eritrosit domba lebih tinggi dibandingkan dengan
penambahan lemak hewan, minyak jagung, dan minyak kelapa (Fristsche et al.
1991a). Penambahan minyak ikan yang tinggi dalam ransum memberikan efek
yang kurang menguntungkan. Asam lemak tak jenuh ganda sangat mudah
teroksidasi, berdasarkan hasil penelitian Wander et al. (1997) pemberian asam
lemak tak jenuh ganda menurunkan vitamin E dan meningkatkan peroksidasi
lemak dalam plasma. Pada gilirannya defisiensi vitamin E akan mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin E telah menunjukkan penekanan
respon imun pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya,
peningkatan konsentrasi vitamin E dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak
n-3.
Berdasarkan pemikiran diatas serangkaian penelitian perlu dilakukan,
mengenai peranan minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E dalam
ransum ayam broiler sebagai imunomodulator dan pengaruhnya terhadap daya
3
Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk :
1. Mempelajari pengaruh interaksi penambahan minyak ikan lemuru dan
penambahan vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap
imunomodulator.
2. Mengetahui kombinasi penambahan minyak ikan lemuru dan
penambahan vitamin E yang optimum yang dapat meningkatkan daya
tahan ayam broiler terhadap penyakit
Kerangka Pemikiran:
Penggunaan bahan pakan jagung tidak dapat dihindari penggunaannya
dalam penyusunan ransum ayam. Jagung adalah sumber energi utama dalam
penyusunan ransum, lebih dari 50 % bahan pakan dalam ransum ayam broiler
adalah jagung. Selain penyumbang energi dalam ransum, jagung juga
penyumbang asam lemak esensial yaitu asam lemak linoleat (LA). Asam lemak
LA yang dikandung dalam lemak jagung bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995).
Lemak yang dikandung jagung bisa mencapai 4 % (NRC 1994), sehingga
dengan penggunaan 50 % jagung dalam ransum, kandungan LA dalam ransum
bisa mencapai 1.2 %.
Asam lemak LA dalam tubuh ternak dapat dimetabolisme lebih lanjut
menjadi AA . AA merupakan perkursor dari beberapa ecosanoid yaitu PGE2,
PGI2, TXA2, dan LTA4. Didalam jaringan otot, AA dimetabolisme melalui dua
buah jalur. Melalui jalur siklooksigenase AA dimetabolisme menjadi
prostaglandin endoperoksida (PGH2) yang selanjutnya oleh enzim PGH2-PGE2
isomerase, PGH2-PGD2 isomerase, PGH2-PGF2α reduktase, PGI2 sintase dan
TXA2 berturut-turut berubah menjadi PGE2, PGD2, PGF2α , PGI2 dan Tromboxan
A2 (TXA2). Melalui jalur lipooksigenase, AA dimetabolisme menjadi leukotrine A4
(LTA4).
Terhadap sistem pertahanan tubuh, aktivitas PGE2 menyebabkan
imunosupresif yang secara anatomis diperlihatkan oleh atrofi organ limfoid
(Husband 1995). Hal ini bergantung pada kekuatan aktifitas prostasiklin I2 yang
mempunyai peran sebagai imunostimulan dalam jaringan organ limfoid
(Lowenthal et al. 1994).
Metabolisme AA dihambat oleh LNA, karena keduanya dikatalisis oleh
dimetabolisme menjadi EPA ( Hwang et al. 1988). EPA pada keadaan tubuh
aktif dalam mengadakan reaksi pertahanan akan dimetabolisme lebih lanjut
menghasilkan senyawa prostaglandin seri tiga diantaranya adalah PGE3, yang
bersifat anti radang dan PGI3 yang mempunyai peran sama dengan PGI2 tetapi
bersifat lemah (Beaur 1993).
Salah satu sumber bahan yang banyak mengandung EPA adalah minyak
ikan lemuru. Ikan mampu mensintesa EPA walaupun prazatnya harus diperoleh
dari makanan, sedang tumbuhan walaupun dapat mengautosintesa LNA tetapi
belum ada bukti bahwa tumbuhan dapat mengautosintesa EPA.
Sumber lemak dan komposisi asam lemak yang dikonsumsi oleh ayam
broiler, bisa mempengaruhi komposisi jaringan limfoid dan fungsi sel imun
(Fritsche et al. 1991a; Fritsche et al. 1991b; Fritsche & Cassity 1992). Korver
dan Klasing (1997) melaporkan peningkatan penambahan minyak ikan (0.5 , 1.0
, dan 2 %) dalam ransum meningkatkan performans dan dapat menurunkan
dampak respon peradangan tetapi tidak mengubah respon imunpada ayam yang
sedang tumbuh.
Respon minyak ikan terhadap antibodi dilaporkan oleh Fritsche et al.
(1991 a), bahwa ayam yang diberi ransum mengandung 7 g menhaden oil/100 g
ransum mempunyai respon antibodi tertinggi terhadap eritrosit domba dibanding
ayam yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau
minyak kanola. Respon sel imun yang diukur dengan antibody dependent cell
cytotoxicity dari splenocytes pada broiler yang diberi makan 7g minyak ikan lebih
rendah dibanding yang diberi 7 g minyak jagung/100g ransum, meskipun
cytotoxicity dari peripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan
tersebut ( Fritsche & Cassity 1992).
Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek
pengaturan immunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi terhadap
eritrosit domba pada tikus yang diberi 17 g minyak ikan + 3 g minyak
jagung/100g ransum dan disuplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100 g
ransum nyata lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung
minyak jagung dengan suplementasi vitamin E yang sama (Fritsche et al. 1992).
Pada tikus yang tidak diinfeksi, pemberian (n-3) PUFA yang tinggi dalam ransum
(20 g minyak ikan/100 g ransum) menghasilkan persentase sel T yang tertinggi
,tetapi pada tikus yang diinfeksi dengan Listeria, pemberian ransum ini
5
ransum yang mengandung minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa.
Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh pemberian lemak pada tikus yang tidak
diinfeksi, tetapi pemberian minyak ikan menghasilkan persentase sel B tertinggi
pada tikus yang diinfeksi (Huang et al. 1992). Pada manusia, penambahan
minyak ikan 0.54 % dari total energi pada ransum rendah lemak menurunkan
proliferasi sel T dibandingkan dengan penambahan minyak ikan 0.13 % dari total
energi ransum bila direspon oleh Concanavalin A dan PHA, dan pada level
minyak ikan yang tinggi delayed-type hypersensivity menurun dibanding tanpa
minyak ikan, tetapi tidak ada perubahan pada level minyak ikan yang rendah
(Meydani et al 1993).
Penambahan minyak ikan yang kaya asam lemak n-3 sampai 2 % dalam
ransum yang berbasis pakan jagung tidak meningkatkan titer antibodi yang
dihasilkan ayam broiler yang divaksinasi, tetapi pada tingkat tersebut dapat
menekan efek peradangan apabila diinfeksi (Korver & Klasing 1997; Wander et
al. 1997). Pada tingkat penambahan minyak ikan sampai 7 % dalam ransum
respon titer antibodi terhadap eritrosit domba lebih tinggi dibandingkan dengan
penambahan lemak hewan, minyak jagung, dan minyak kelapa (Fristsche et al.
1991a). Penambahan minyak ikan yang tinggi dalam ransum memberikan efek
yang kurang menguntungkan. Asam lemak tak jenuh ganda sangat mudah
teroksidasi, berdasarkan hasil penelitian Wander et al. (1997) pemberian asam
lemak tak jenuh ganda menurunkan vitamin E dan peningkatan peroksidasi
lemak dalam plasma. Pada gilirannya defisiensi vitamin E akan mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin E telah menunjukkan penekanan
respon imun pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya,
peningkatan konsentrasi vitamin E dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak
n-3.
Menurut Piliang (2002), kebutuhan vitamin E untuk ayam periode starter
adalah 30 IU/kg, sedangkan periode sedang tumbuh 10 IU/kg. Pemberian
vitamin E yang melebihi kebutuhan normal dapat mempengaruhi mekanisme
resistensi tubuh secara positif yakni dengan jalan meningkatkan pembentukan
cairan antibodi secara efisien pada ayam muda maupun ayam dewasa. Dosis
efektif penambahan vitamin E untuk meningkatkan titer antibodi tersebut adalah
130 – 150 ppm pada ransum yang telah mengandung 35 – 60 ppm (Parakkasi,
1988). Ayam yang diberi tambahan 150 – 300 ppm vitamin E ransum dapat
Hipotesis
1. Terdapat interaksi positif antara penambahan minyak ikan lemuru dengan
penambahan vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap sistem
imunomodulator
2. Kombinasi penambahan minyak ikan dengan vitamin E dalam ransum
ayam broiler dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
Kegunaan Penelitian
Memberikan informasi peranan minyak ikan lemuru dan suplementasi
vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator dalam upaya
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lemuru
Ikan lemuru adalah salah satu jenis ikan pelagis yang banyak ditangkap
di selat Bali termasuk dalam sub genus Sardinella yang terdiri dari 12 spesies
yang umum terdapat di perairan Pasifik (Dwiponggo 1982).
Berdasarkan Dwiponggo (1982), klasifikasi ikan lemuru adalah sebagai
berikut :
Phylum : Chordate
Class : Osteicyes
Ordo : Malacoptorygii
Famili : Clupeidae
Genus : Sardinella
Sub : Genusardinella CV
Spesies : Sardinella Longiceps
Ciri-ciri umum ikan lemuru adalah bentuk badan bulat memanjang, perut
agak menipis dengan sisik duri yang menonjol. Warna badan bagian atas biru
kehijauan, bagian bawah putih keperakan serta terdapat noda samar-samar
dibawah pangkal sirip punggung bagian depan, sedangkan sirip lainnya tembus
cahaya dengan moncong agak kehitam-hitaman. Ikan lemuru dapat mencapai
ukuran panjang 23 cm. Makanan utamanya adalah plankton, ikan lemuru
dilengkapi dengan tapis insang (gill rakers) untuk menapis atau menyaring
plankton
Minyak Ikan Lemuru
Minyak ikan lemuru merupakan limbah atau hasil samping dari proses
pengalengan maupun penepungan ikan lemuru. Proses pengalengan ikan
lemuru diperoleh rendeman berupa minyak sebesar 5% (b/b) dan dari proses
penepungan sebesar 10% (b/b). Pengalengan satu ton ikan lemuru akan
diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu ton bahan
mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil samping
berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi 1990).
Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya
berwarna kuning dengan bau khas minyak ikan, sedangkan dari proses
penepungan umumnya berwarna coklat gelap dan baunya menyengat. Proses
yang berasal dari proses pengalengan ikan kandungan total asam lemak n-3
lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari proses pembuatan tepung
ikan, namun demikian kandungan EPA tidak nyata berbeda. Kandungan total
asam lemak n-3 dari proses pengalengan ikan adalah 29.68%, sedangkan yang
berasal dari proses pembuatan tepung ikan adalah 25.84% (Dewi 1996).
Kandungan asam lemak n-3 dalam minyak ikan juga dipengaruhi oleh
umur simpan. Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan dan
penepungan selama satu bulan mengandung asam lemak n-3 masing-masing
19.35% dan 12.15%, setelah disimpan selama tiga bulan kandungan asam lemak
n-3 turun menjadi 17.15% dan 11.15% (Setiabudi 1990)
Sumber Asam Lemak n-3 dan n-6
Asam lemak tak jenuh ganda adalah asam lemak yang jika terdapat dua
atau lebih ikatan ganda. Minyak yang berasal dari biji-bijian, seperti minyak
jagung, kaya akan asam lemak tak jenuh ganda. Komposisi asam lemak jagung
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak jagung
Asam Lemak Komposisi g/100g metil ester C 14 : 0 Sumber : Suprijana 1995
Pada tanaman, tidak seperti hewan, dapat menyisipkan ikatan tak jenuh
dalam asam oleat (C18 : 1 n-9) antara ikatan tak jenuh pada posisi ke-9 dari
gugus metil. Enzim 12-desaturase dapat mengubah asam oleat menjadi bentuk
LA (18 : 2 n-6) yang dapat mengalami penjenuhan lebih lanjut pada posisi karbon
ke 3 (n-3) oleh enzim 15-desaturase yang menghasilkan LNA (18 : 3 n-3) (BNF
1994).
Lokasi ikatan rangkap ganda pada rantai karbon dari asam lemak tak
9
tersebut dimetabolisme. Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon
ke 3 dari gugus metil dinamakan asam lemak omega 3 (n-3). Jika ikatan rangkap
yang pertama terdapat pada karbon ke-6 dari gugus metil dinamakan asam
lemak omega 6 (n-6). Kebanyakan asam lemak n-3 adalah LNA, EPA, dan DHA.
LA adalah sebagian besar dari n-6. LNA dan LA ditemukan dalam minyak
tanaman, sedangkan EPA dan DHA dijumpai pada hewan laut, terutama bangsa
ikan yang mengkonsumsi fitoplankton (Kreutler 1980).
Asam linoleat (LA) : n-6(C18:2)
CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH=CH-CH2-CH= CH-CH2- CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-COOH
Asam linolenat (LNA) : n-3(C18 : 3)
CH3-CH2-CH= CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-COOH
5,18,11,14,17-asam eikosapentaenoat (EPA): (C20 : 5 n-3)
CH3-CH2-CH= CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)3-COOH
4,7,10,13,16,19-asam dokoheksaenoat (DHA) (C22 : 6 n-3)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)2 -COOH
Gambar 1. Rantai karbon beberapa Asam Lemak n-6 dan n-3 (Sumber : Kreutler 1980)
Tabel 2. Sumber asam lemak n-3 dari berbagai Ikan
Sumber Ikan Lemak Total 18 : 2 n-6 20 : 4 n-6 20 : 5 n-3 22 : 6 n-3
Lands (1986), melaporkan bahwa jumlah asam lemak lemak n-3 dan n-6
yang ada dalam beberapa jenis ikan pemakan fitoplankton dapat dilihat dalam
Tabel 2. Baik kadar n-3 maupun n-6 tidak selamanya konstan dalam daging
ikan, kadar tersebut antara lain dipengaruhi oleh musim (Lands 1986; Ackman
1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa golongan asam lemak PUFA n-3, seperti
C18 : 3 n-3, C18 : 4 n-3, C20 : 3 n-3, dan C22 : 6 n-3 terlihat semakin penting
kedudukannya dalam mempertahankan rantai makanan antara kehidupan ikan
Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh
Hati dari jaringan adiposa adalah organ yang sangat penting dalam
biosintesis asam lemak. Reaksi biosintesis dikatalisasi oleh kelompok enzim
dalam bentuk multi komplek enzim yakni “Fatty acid Synthetase”. Produk akhir
yang dihasilkan adalah asam palmitat (C16 : 0) dan asam stearat (C18 : 0) (BNF
1994).
Sel-sel tubuh manusia dan hewan tidak dapat mensintesis asam lemak
n-3 dan n-6. Sel-sel tubuh manusia dan hewan hanya dapat menghasilkan
karbon-karbon ikatan rangkap pada asam lemak setelah karbon-karbon ke-9 dari gugus metil,
oleh karena itu hewan dan manusia untuk memperoleh asam lemak n-3 dan n-6
harus disediakan dari makanan (Kreutler 1980).
Ada beberapa enzim yang berperan dalam proses metabolisme asam
lemak yang berperan dalam memperpanjang rantai karbon yaitu enzim
“elongase” dan enzim yang berperan menambah ikatan tak jenuh dari asam
lemak yaitu 9-desaturase, 6-desaturase, 5-desaturase, dan 4-desaturase. Asam
lemak n-3 dan n-6 lebih lanjut dimetabolisme dalam sel. LA dalam sel akan
diperpanjang menjadi 20 karbon dan dapat mengalami penjenuhan, ikatan
rangkap bertambah, menghasilkan AA. LNA dapat diperpanjang menjadi 20
karbon dan 2 ikatan rangkap bertambah menjadi EPA. Pada beberapa kejadian
AA dan EPA akan diperpanjang lagi dan ikatan rangkap bertambah seperti EPA
dimetabolisme menjadi DHA (Kreutler 1980).
Transformasi metabolik antara asam lemak tak jenuh n-3 dan n-6 yang
mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh akan mengalami kompetisi.
Hasil penelitian Leece dan Allman (1996), menunjukkan bahwa imbangan asam
lemak EPA : AA yang dibentuk dalam tubuh akan meningkat dengan
meningkatnya imbangan LNA : LA yang dikonsumsi.
Asam lemak tak jenuh ganda seperti AA dan EPA akan dimetabolisme
lebih lanjut menjadi bentuk yang mempunyai aktivitas biologis yang dinamakan
“eicosanoids” seperti prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan leukotrine
11
Gambar 2. Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh. (BNF 1994).
Metabolisme AA dan LNA
Jika membran sel dirangsang misalnya oleh ikatan antigen-antibodi
kompleks atau karena sesuatu yang menyebabkan kerusakan membran, AA
terlepas dari ikatannya, masuk ke dalam sitoplasma dan mengalami metabolisme
lebih lanjut menghasilkan metabolit-metabolit (Smith & Borgeat 1985). Didalam
jaringan otot, AA dimetabolisme melalui dua buah jalur. Melalui jalur
siklooksigenase AA dimetabolisme menjadi prostaglandin endoperoksida (PGH2)
yang selanjutnya oleh enzim PGH2-PGE2 isomerase, PGH2-PGD2 isomerase,
PGH2-PGF2α reduktase, PGI2 sintase dan TXA2 berturut-turut berubah menjadi
lipooksigenase, AA dimetabolisme menjadi leukotrine A4 (LTA4) yang kemudian
bereaksi dengan glutation membentuk LTC4. Dampak kerja metabolit-metabolit
tersebut, kecuali PGF2α, meningkatkan degradasi protein yang mekanismenya
melalui induksi aktivitas enzim protease lisosomal (Rodenamm & Goldberg
1982). PGE2 disamping mempunyai kerja tersebut, berikatan dengan reseptornya
yang ada di intisel, menginduksi pembentukan adenosin monofosfat siklik
(cAMP) yang kemudian bekerja mengaktifkan proses glikogenolisis, glikolisis dan
menghambat sintesis protein (Schmidt et al. 1995)
Gambar 3. Dasar biokimia dari pengaruh potensi n-3 dan n-6 PUFA terhadap inflammation; +++ pro-inflammatory sangat kuat; + pro-inflammatory lemah; (Sumber: BNF 1994).
Seperti LA, LNA merupakan asam lemak tak jenuh yang tidak
diautosintesa oleh tubuh hewan. Hasil metabolisme LNA adalah EPA yang akan
dimetabolisme lebih lanjut menjadi prostaglandin diantaranya adalah PGE3 yang
bersifat anti radang dan PGI3 yang bersifat seperti PGI2 tetapi bersifat lebih lemah
13
Dalam proses metabolisme LNA dapat menghambat proses metabolisme
AA. Hal ini disebabkan enzim yang bekerja pada metabolisme AA juga bekerja
pada LNA. Oleh karena LNA mempunyai ikatan rangkap yang lebih banyak,
enzim-enzim tersebut cenderung bekerja lebih cepat pada LNA (Smith & Borgeat
1985).
Sistem Kekebalan Tubuh (Imunitas)
Istilah imun secara klasik didefinisikan sebagai daya tahan relatif inang
terhadap reinfeksi mikroba tertentu. Definisi imunitas sekarang ini mencakup
semua mekanisme fisiologis yang membantu hewan untuk mengenal
benda-benda asing pada dirinya untuk menetralkan, menyisihkan, atau memetabolisasi
benda asing tersebut dengan atau tanpa kerusakan pada jaringan itu sendiri.
Respon imun dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : (1) respon imun non
spesifik, dan (2) respon imun spesifik. Respon imun spesifik tergantung pada
adanya benda asing, pengenalan selanjutnya, dan kemudian reaksi terhadapnya.
Sebaliknya respon imun non spesifik terjadi setelah pemaparan inisial dan
pemaparan selanjutnya terhadap benda asing dan sementara terjadi diferensiasi
selektif self dan nonself. Respon imun non spesifik tidak tergantung pada
pengenalan spesifik, contoh respon imun non spesifik yaitu inflamasi dan
fagositosis. Respon imun spesifik merupakan reaksi inang terhadap benda asing
yaitu mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan dengan
penyebaran produk-produk sel spesifik. Ada dua jenis mekanisme efektor yang
menengahi respon imun spesifik: (1) imunitas humoral, yaitu yang diperantarai
oleh produk sel jaringan limfosit yang disebut antibodi, dan (2) imunitas selular,
yaitu yang diperantarai oleh limfosit sendiri yang tersensititasi secara spesifik
(Belanti 1993).
Secara garis besar kekebalan yang diperoleh hewan dapat terjadi secara
alami dan buatan. Kekebalan secara alami mencakup penghalang secara fisik
dan fisiologis yang mencegah masuknya agen infeksi seperti kulit, saliva, asam
lambung, dan anti bakteri seperti lysozyme. Kekebalan alami yang terjadi pada
jaringan dan sirkulasi diperantari sel efektor yang disebut fagosit dan sel “natural
killer (NK)”. Selain itu ada juga protein komplemen darah yang mendukung
fagositosis dan melisiskan patogen. Kekebalan secara buatan biasanya
diperoleh secara aktif melalui infeksi alami atau dengan vaksinasi.
Kekebalannya akan berkembang setelah beberapa hari atau minggu setelah
Sistem kekebalan tubuh harus selalu dalam keadaan seimbang,
sebetulnya tubuh memiliki zat yang secara otomatis akan menormalkan sistem
imun. Kalau respon imunnya kurang maka ditingkatkan, kalau respon imunnya
terlalu tinggi diturunkan. Namun, ada kalanya tubuh tidak berhasil menormalkan
sistem imunnya sendiri. Cara menormalkan sistem imun tubuh dari luar adalah
dengan imunomodulator. Imunomodulator adalah zat yang dapat memodulasi
(mengubah atau mempengaruhi) sistem imun tubuh menjadi ke arah normal.
Produk imunomodulator dapat berperan menguatkan sistem imun tubuh (imuno
stimulator) atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imuno suppresan)
(MFI 2007)
Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) terhadap Respon Kekebalan
Sumber lemak dan komposisi asam lemak yang dikonsumsi oleh ayam
broiler, bisa mempengaruhi komposisi jaringan limfoid dan fungsi sel imun
(Fritsche et al. 1991a; Fritsche et al. 1991b; Fritsche & Cassity 1992). Defisiensi
PUFA mengurangi proliferasi limfosit, produksi Interleukin-2 (IL-2), monosit dan
polymorphhonuclear (PMN) cell chemotaxix pada mamalia (Kinsella et al. 1990;
Lefkowith 1990). Rendah dan tingginya konsumsi PUFA berhubungan dengan
menurunnya produksi antibodi dan proliferasi limfosit, sedangkan optimal respon
kekebalan terjadi pada konsumsi LA sebanyak 47 % dari total asam lemak
(Friedman & Sklan 1995). Hasil penelitian Friedman dan Sklan (1997),
menunjukkan bahwa produksi antibodi berhubungan secara kuadratik terhadap
konsentrasi LA dan total n-6 PUFA serum. Respon produksi antibodi yang
optimal terjadi pada konsentrasi LA plasma 40 – 50 % dari total asam lemak.
Pengaruh Metabolisme AA pada jaringan Limfoid
Jaringan limfoid unggas terdiri atas timus, bursa Fabricius, limpa dan
jaringan-jaringan limfatik yang menyebar di beberapa organ tubuh misalnya yang
ada di saluran cerna atau pada mata. Diantara jaringan limfoid tersebut yang
berbentuk organ adalah timus, bursa Fabricius dan limpa, sedangkan lainnya
oleh karena bentuknya sering dinamakan foki limfatik. Ditinjau dari fungsinya
timus dan bursa Fabricius digolongkan ke dalam jaringan limfoid pusat sedang
15
Gambaran mikroskopis organ limfoid memperlihatkan folikel-folikel yang
merupakan tempat sebagian besar aktivitas limfosit mengadakan mitosis.
Aktivitas mitosis di dalam timus dan bursa Fabricius meliputi konversi gen pada
limfositnya yang terjadi tanpa rangsangan mutagen (Glick & Olah 1993; Marsh
1993). Aktivitas mitosis di dalam organ limfoid perifer berhubungan dengan
reaksi pertahanan tubuh. Pada keadaan ini, makrofag yang aktif melakukan
fagositosis mensekresi sitokin yang mempunyai reseptor pada inti limfoid T, yang
dinamakan nuclear localization sequences, NLS (Grenfell et al. 1991) Ikatan
antara sitokin makrofag dengan inti limfosit merangsang limfosit untuk
mensintesis sitokin yang bekerja merangsang pendewasaan limfosit B sehingga
mampu mensekresi imunoglobulin (Lowenthal et al 1994; Pendino et al. 1992).
Hal ini memberi gambaran yang berbeda yaitu pada aktivitas yang terjadi tanpa
rangsangan antigen menyangkut perubahan ukuran folikel sedangkan aktivitas
yang terjadi karena mekanisme pertahanan tubuh selain menyangkut ukuran
folikel juga membentuk folikel baru yang dinamakan germinal center atau folikel
sekunder, yaitu daerah berwarna pucat yang tumbuh di dalam folikel dan
mempunyai fungsi sebagai penghambat penyebaran antigen. Pada limpa ayam
yang diinfeksi oleh virus tetelo, folikel sekunder sudah terlihat sejak empat hari
setelah infeksi (Hamid et al. 1991)
Di dalam organ lomfoid hasil metabolisme AA yang mempunyai peran
nyata adalah PGE2 dan PGI2. PGE2 bekerja sebagai imunosupresif yang
mekanisme kerjanya melalui induksi cAMP (Kizaki et al. 1990). Secara
makroskopis dampak kerja PGE2 menyebabkan atrofi organ limfoid, secara
mikroskopis hal ini ditandai oleh penyusutan folikel-folikelnya (Husband 1995;
Rompanen 1982). PGI2 bersifat imunostimulan yang mekanisme kerjanya
melalui penghambatan pembentukan cAMP (Schmidt et al. 1995). Hal ini
menyebabkan aktifitas organ limfoid bergantung pada keduanya. Walaupun
PGE2 disekresi lebih banyak dari pada PGI2, PGE2 segera dikatabolisme
menjadi 13, 15 hidro 15 keto PGF1α yang tidak mempunyai aktivitas biologis, sedang PGI2 disamping tidak segera dikatabolisme, mempunyai penyebaran
yang merata sehingga aktivitas biologisnya lebih nyata (Pendino et al. 1992)
Peranan (n-3) PUFA terhadap Respon Kekebalan
Peningkatan penambahan minyak ikan (0.5 , 1.0 , dan 2.0 %) dalam
peradangan tetapi tidak mengubah respon imunpada ayam yang sedang tumbuh
(Korver & Klasing 1997). Fritsche et al. (1991 a), melaporkan bahwa ayam yang
diberi ransum mengandung 7 g minyak ikan manhaden/100 g ransum
mempunyai respon antibodi tertinggi terhadap eritrosit domba dibanding ayam
yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau minyak
kanola. Respon sel imun yang diukur dengan antibody dependent cell
cytotoxicity dari splenocytes pada broiler yang diberi makan 7 g minyak ikan lebih
rendah dibanding yang diberi 7 g minyak jagung/100g ransum, meskipun
cytotoxicity dari peripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan
tersebut ( Fritsche & Cassity 1992).
Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek
pengaturan immunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi erotrosit
domba pada tikus yang diberi 17 g minyak ikan + 3 g minyak jagung/100 g
ransum dan disuplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100 g ransum nyata
lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung minyak jagung
dengan suplementasi vitamin E yang sama (Fritsche et al. 1992). Pada tikus
yang tidak diinfeksi, pemberian (n-3) PUFA yang tinggi dalam ransum (20 g
minyak ikan/100 g ransum) menghasilkan persentase sel T yang tertinggi ,tetapi
pada tikus yang diinfeksi dengan Listeria, pemberian ransum ini menghasilkan
persentase sel T terendah dibandingkan dengan tikus yang diberi ransum yang
mengandung minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B
tidak dipengaruhi oleh pemberian lemak pada tikus yang tidak diinfeksi, tetapi
pemberian minyak ikan menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang
diinfeksi (Huang et al. 1992). Aktivitas sel splenocyte natural killer pada tikus
yang diberi minyak ikan 10 g/100 g ransum turun sebesar 25 % dibanding yang
diberi minyak jagung dengan konsentrasi yang sama, tetapi tidak mempengaruhi
cell –mediatedcytotoxicity dari cytotoxic T lympocytes dan sel peritoneal
(Fritsche & Johnston 1990). Pada manusia, penambahan minyak ikan 0.54 %
dari total energi pada ransum rendah lemak menurunkan proliferasi sel T
dibandingkan dengan penambahan minyak ikan 0.13 % dari total energi ransum
bila direspon oleh Concanavalin A dan PHA. Pada level minyak ikan yang tinggi
delayed-type hypersensivity menurun dibanding tanpa minyak ikan, tetapi tidak
17
Pengaruh Perbandingan (n-3) : (n-6) PUFA terhadap Respon Kekebalan Komposisi asam lemak membran phospholipid pada sel imun dapat
mempengaruhi tingkat respon peradangan, baik secara in vitro (Billiar et al. 1988;
Prescot 1984) atau secara in vivo (German et al. 1987). Penambahan minyak
ikan dalam makanan menunjukkan peningkatan proporsi (n-3) PUFA terhadap
(n-6) PUFA dalam jaringan manusia (Schmidt et al. 1991), tikus besar (Billiar et
al. 1988), tikus (German et al. 1987; Whelan et al. 1991) dan unggas
(Chanmugan et al. 1992; Friedman & Sklan 1995; Fritsche et al. 1991b;
Rusmana et al. 2000). Membran sel imun yang kaya akan PUFA n-3 akan
menekan pelepasan PUFA n-6 sehingga mediator penyebab peradangan
menjadi rendah (Billiar et al. 1988; Prescott 1984). Mediator ini, eicosanoid,
berkaitan dalam pelepasan dan fungsi cytokines yang menyebabkan peradangan
seperti “tumor necrosis factor α (TNF)”(Scales et al. 1989), dan interleukin-1(IL-1)
( Knudsen et al. 1986), dan IL-6(Navarra et al. 1992). Dua eicosanoid,yang
penting dalam respon peradangan adalah prostaglandin seri E (PGE) dan
leukotriene seri B (LTB).
Interleukin-1 menyebabkan demam (Dinarello 1988), dan pada IL-6 dan
TNF, mensintesis protein fase akut seperti hemopexin (Baumann & Gauldie
1994) dan metallothionein (Bremner & Beattle 1990; Klasing 1984). Respon
peradangan dapat menurunkan konsumsi pakan, pertumbuhan protein otot, dan
meningkatkan kecepatan metabolik, sintesis protein fase akut, (Klasing & Korver
1997) .
Penambahan minyak ikan dalam makanan pada hewan mamalia
meningkatkan humoral immunity dan memperbaiki penekanan respon sel imun
yang disebabkan oleh PGE2 (Fritsche et al. 1992; Schmidt et al. 1991).
Konsumsi asam lemak (n-3) menunjukkan penurunan produksi interleukin 1 dan
tumor necrosis factor pada kultur sel mononuclear manusia (Endres et al. 1989).
Meskipun sebagian besar peneliti menggunakan minyak ikan pada level yang
tinggi (>5 g/100 g) dalam makanan, pada tikus tampaknya perbandingan 3 :
n-6 PUFA lebih penting dalam mengatur biosintesis eicosanoid dari pada
konsentrasi n-3 PUFA dalam ransum (Boudreau et al. 1991; Broughton et al.
Interaksi PUFA dengan Vitamin E Terhadap Respon Kekebalan
Meskipun memberikan pengaruh positif, suplementasi minyak ikan bisa
juga memberikan pengaruh negatif seperti meningkatnya oksidasi lemak
(Meydani et al. 1991; Wander et al. 1996b; Wander et al. 1997). Lebih lanjut
Meydani et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan peroksidasi lemak lebih
besar terjadi pada wanita yang tua dibanding yang muda.
Efek dari meningkatnya oksidasi lemak berdampak buruk terhadap fungsi
kekebalan tubuh. Zoshke dan Messner (1984), melaporkan bahwa mitogenesis
limfosit di tekan oleh produk oksidasi. Meningkatnya lemak yang teroksidasi
akibat asam lemak n-3 dapat mengakibatkan menurunnya respon “DTH skin tes”
yang dilaporkan oleh Meydani et al. (1993) dan Wander et al. (1997). Virella et
al. (1989), mempelajari “peripheral blood mononuclear cell cultures”,
menemukan bahwa produksi B-cell immunoglobulin, respon dari “pockweed
mitogen secara invitro ditekan oleh penambahan EPA.
Peningkatan metabolit oksidasi lemak bisa disebabkan oleh menurunnya
status vitamin E dalam plasma yang mempunyai peran sebagai antioksidan.
Menurunnya status vitamin E akibat pemberian minyak ikan dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Alexander et al. 1995; Wander et al. 1996a; Wander et al.
1997). Pada gilirannya defisiensi konsumsi vitamin E akan mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi konsumsi vitamin E telah menunjukkan
penekanan imun respon pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya,
peningkatan konsentrasi α-tocopherol dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam
MATERI DAN METODE
Penelitian Tahap I
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan interaksi
pemberian minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E terhadap beberapa
indikator respon kekebalan ayam broiler yang divaksin Newcastle Diseases (ND)
dan Infectious Bursa Diseases (IBD), komposisi komponen sel darah putih, dan
performans (Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi
ransum). Hasil perlakuan pada penelitian tahap I yang menunjukkan indikator
parameter terbaik, akan dipilih untuk dilakukan pengujian lebih lanjut pada
penelitian tahap II
Bahan penelitian
Penelitian menggunakan 216 ekor ayam broiler umur satu hari (DOC),
berbobot badan rata-rata 44.14 g/ekor, dengan koefisien variasi 7.00 %. DOC
broiler diperoleh dari PT. Charoen Phokpand dengan kode CP 707.
Ayam dipelihara dalam kandang percobaan dengan sistem litter, dengan
ukuran 90 x 90 x 80 cm. Masing-masing unit kandang diisi oleh enam ekor DOC.
Setiap kandang dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu masing-masing 60
watt yang berfungsi sebagai brooder. Setelah umur 14 hari lampu berperan
sebagai penerang. Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur
temperatur ruangan higrometer, dan timbangan untuk menimbang ransum, sisa
ransum dan bobot ayam.
Ayam dipelihara selama 42 hari, ayam divaksinasi ND dan IBD.
Vaksinasi ND yang pertama dilakukan pada umur empat hari melalui tetes mata.
Vaksinasi ND yang ke dua dilakukan pada umur 18 hari melalui air minum.
Vaksinasi IBD dilakukan pada umur 11 hari melalui air minum.
Ransum perlakuan diberikan pada ayam mulai dari umur sehari sampai
umur 42 hari. Terdapat sembilan perlakuan dalam penelitian tahap ini.
Perlakuan merupakan kombinasi tingkat pemberian minyak ikan lemuru (0 %,
Tabel 3. Komposisi ransum penelitian
EM (kkal/kg)*** 3061 3056 3052 3061 3056 3052 3061 3056 3052
PK (%)**** 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46
LK (%)**** 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21
SK (%)**** 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83
Ca (%)**** 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24
P available (%)*** 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 Vitamin E (ppm)**** 17.88 16.83 15.78 117.88 116.83 115.78 217.88 216.83 215.78
Lisin (%)**** 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18
Metionin (%)**** 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63
Metionin + sistin**** 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98
* Campuran Vitamin, mineral,dan Asam amino ** Dicalcium Phosphat
*** Hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien dan EM pakan dari NRC (1994) **** Hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien hasil analisis
R1 : Ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E
Ransum disusun dengan kandungan energi berkisar 3052 – 3061
kkal/kg, dengan protein 21.46 %. Kebutuhan asam amino vitamin dan mineral
sesuai yang dianjurkan oleh National Research Council of Poultry (1994). Pakan
penyusun ransum terdiri dari jagung, bungkil kedelai, minyak kelapa sawit,
minyak ikan. vitamin-mineral, CaCO3 , dicalcium phosphat (DCP), metionin,
NaCl, Vitamin E. Minyak ikan diperoleh dari Muncar Banyuwangi, yang sebelum
21
Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
pola faktorial 3 x 3 dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah tingkat
pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum (0, 3,dan 6 %). Faktor kedua
adalah tingkat suplementasi vitamin E (0, 100, 200 ppm). Model matematis
analisis data hasil percobaan adalah sebagai berikut :
Yijk = u + αi + βj + (αβ)ij + ∈ijk
Yijk
u
αi
βj
(αβ)ij
∈ijk
= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B)
= nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)
= pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A
= pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B
= pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
= pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij
Asumsi yang paling mendasar dari model di atas adalah galat percobaan
harus timbul secara acak, menyebar secara bebas dan normal dengan nilai
tengah sama dengan nol dan ragam σ2 atau dituliskan sebagai ∈
ijk∼ NI (0, σ2).
Peubah yang diamati
Komposisi asam lemak minyak ikan lemuru dan ransum
Preparasi asam lemak metil ester dengan NaOH metanolik 05 N (AOCS
official Method Ce 1-62 1990) Asam lemak metil ester dianalisis dengan gas
chromatography (GC 9-A Shimadzu) menggunakan “DB-23 capillary column”.
Pembanding asam lemak standar 74 dan 84 (Nu-Chek-Prep. Inc) digunakan
untuk mengidentifikasi Asam lemak
Performan ayam :
1. Pertambahan bobot badan (diamati setiap minggu)
2. Konsumsi ransum (diamati setiap minggu)
3. Konversi ransum
Respon kekebalan tubuh :
1. Pengukuran titer antibodi ND primer
Pada hari ke 14 setelah diberi vaksin ND pertama (umur 18 hari)
masing-masing kandang diambil tiga ekor ayam untuk diambil sampel darahnya.
Sampel darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk
diukur titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda HI .
2. Pengukuran titer antibodi ND sekunder
Pada hari ke14 setelah diberi vaksin ND kedua (umur 32 hari)
masing-masing kandang diambil tiga ekor ayam untuk diambil sampel darahnya.
Sampel darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk
diukur titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda HI .
3. Pengukuran titer antibodi IBD
Pada hari ke14 setelah diberi vaksin IBD (umur 25 hari) masing-masing
kandang diambil dua ekor ayam untuk diambil sampel darahnya. Sampel
darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk diukur
titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda ELISA .
Analisis Diferensiasi Sel Darah Putih
Ayam umur 40 hari diambil sampel darah. Setiap kandang diambil 2 ekor.
Sampel darah ditampung dalam tabung EDTA ukuran 2 ml. Selanjutnya sampel
darah dihitung komposisi komponen sel darah putih dengan pengamatan
preparat ulas dibawah mikroskop
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analysis of varian
(anova), untuk membandingkan perbedaan rataan perlakuan digunakan uji jarak
berganda duncan (Steel & Torrie 1980). Data diuji pada taraf nyata 5 %.
23
6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor
Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap I Keterangan : MIL : Minyak Ikan Lemuru
Ayam Broiler
Perlakuan selama 42 hari
Peubah :
1. Pertambahan bobot badan 2. Konsumsi ransum
3. Konversi ransum
4. Titer antibodi ND pertama 5. Titer antibodi ND kedua 6. Titer antibodi IBD
7. Diferensiasi sel darah putih
Penelitian Tahap II
Tujuan penelitian tahap II untuk mengetahui efek hasil perlakuan yang
terpilih pada tahap I terhadap daya tahan penyakit.
Bahan penelitian
Penelitian menggunakan DOC sebanyak 320 ekor, berbobot badan
rata-rata 49.70 g/ekor, dengan koefisien variasi 7.48 %. DOC broiler diperoleh dari
PT. Charoen Phokpand dengan kode CP 707.
Ayam dipelihara dalam kandang percobaan dengan sistem litter, dengan
ukuran 90 x 90 x 80 cm. Terdapat 32 unit kandang percobaan. Masing-masing
unit kandang diisi dengan sepuluh ekor DOC. Setiap kandang dilengkapi tempat
makan, minum, dan lampu masing-masing 60 watt yang berfungsi sebagai
brooder. Lampu berperan sebagai penerang setelah ayam berumur 14 hari.
Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur temperatur ruangan
higrometer, dan timbangan untuk menimbang ransum, sisa ransum dan bobot
ayam.
Ayam dipelihara selama 42 hari. Selama pemeliharaan dari DOC sampai
umur 42 hari ayam diberi ransum perlakuan yang terpilih pada penelitian tahap I
dan kelompok ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan dan tidak
disuplementasi vitamin E
Pada penelitian ini ada kelompok ayam yang divaksin dan yang tidak
divaksin. Vaksinasi yang diberi adalah vaksin ND umur 4 hari (melalui tetes
mata) dan umur 18 hari (melalui air minum). Vaksin IBD diberikan pada umur 11
hari (melalui air minum).
Untuk mengetahui daya tahan ayam terhadap penyakit sebagai akibat
pemberian ransum perlakuan dan vaksinasi, pada penelitian tahap II ayam di
tantang penyakit dengan cara ditantang virus IBD pada umur 24 hari melalui
mulut, dan ditantang virus ND pada umur 30 hari yang ditetes melalui mulut.
Kombinasi perlakuan pada penelitian tahap II adalah :
1. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin
ND maupun IBD.
2. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan
IBD
3. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin
25
4. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan
IBD , ditantang virus ND
5. Pemberian ransum yang tanpa minyak ikan lemuru dan tidak
disuplementasi vitamin E (R1), divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus
ND
6. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin
IBD dan ditantang virus IBD
7. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan
IBD , ditantang virus IBD
8. Pemberian ransum yang tanpa minyak ikan lemuru dan tidak
disuplementasi vitamin E (R1), divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus
IBD
Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
delapan perlakuan dengan empat ulangan. Model matematis analisis data hasil
percobaan adalah sebagai berikut :
Yij = u + τi + ∈ij
Yij
u
τi
∈ij
= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan
ke-i.
= nilai tengah umum (rata-rata populasi)
= pengaruh perlakuan ke-i
= pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i
Asumsi yang dibutuhkan untuk analisis ini adalah :
a. Komponen-komponen u, τi, dan ∈ij bersifat aditif
b. Nilai-nilai τi (i = 1,2,...) tetap, ∑τi = 0; E (τi) = τi
i
c. ∈ij timbul secara acak, menyebar secara normal dengan nilai tengah nol dan
ragam σ2 atau dituliskan sebagai ∈ijk∼ NI (0, σ2).
Peubah yang Diamati Performan ayam :
1. Pertambahan bobot badan (diamati setiap minggu)
2. Konsumsi ransum (diamati setiap minggu)
Konsumsi Ransum (g)/minggu Pertambahan Bobot Badan (g)/minggu
Berat relatif organ limfoid
Pengambilan organ limfoid dilakukan setelah nekropsi secara
berturut-turut pada umur 14, 28, 35, dan 42 hari. Setiap unit kandang percobaan
(ulangan) diambil satu ekor ayam untuk setiap pengambilan sampel, sehingga
terdapat empat ekor ayam untuk setiap perlakuan. Organ bursa Fabricius, limpa,
dan timus ditimbang untuk setiap pengambilan sampel.
Berat organ limfoid (g)
Bobot Badan (g)
Pengamatan Histopatologi
Organ bursa Fabricius, limpa dan timus yang telah ditimbang selanjutnya
difiksasi dan dilanjutkan proses pembuatan preparat histologi dan diwarnai
dengan Hematoxilin-Eosin (HE).
Pengamatan Mikroskop
Preparat diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif
40 x sebanyak 10 lapang pandang. Pengamatan dilakukan terhadap kerusakan
pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan sistem skor. Skor
histopatologi berdasarkan penelitian sebelumnya (Hasmawati 2005) dengan
dilakukan modifikasi. Skor dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Skor 0
a. Bursa Fabricius
b. Limpa
c. Timus
: plika utuh, limfonodulus normal tidak ada kerusakan
: batas antara pulpa putih dan pulpa merah masih jelas
: tidak diketemukan kelainan baik pada korteks
mau-pun medula
2. Skor 1
a. Bursa Fabricius
b. Limpa
c. Timus
: vakuolisasi pada plika, deplesi ringan pada limfonodulus
: pulpa putih mulai deplesi
: deplesi ringan sel myeloid dan sel limfosit
3. Skor 2
a. Bursa Fabricius
b. Limpa
c. Timus
: kerusakan ringan pada plika, deplesi agak berat
pada limfonodulus
: deplesi pulpa putih, adanya sel radang
: deplesi sel myeloid dan sel limfosit, oedema Konversi ransum =
27
4. Skor 3
a. Bursa Fabricius
b. Limpa
c. Timus
: nekrosa pada plika, deplesi berat pada limfonodulus
: deplesi pulpa putih dan batas mulai tidak jelas,
terjadi kongesti yang meluas pada pulpa merah
: deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit, terjadi
kongesti
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analysis of varian
(anova), untuk data skor lesio histopatologis organ limfoid digunakan Uji
Kruskal-Walis. Untuk membandingkan perbedaan rataan perlakuan digunakan uji jarak