SOSIAL GRINDR)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
NICKY FRANIDA NUGRAHANI
NIM: 1112051000107
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
NIM: 1112051000107
Bahaya Komunitas Homoseksual di Media Sosial (Studi Kasus: Interaksi Virtual Community Media Sosial Grindr)
Media sosial memiliki keberagaman konten. Keberagaman konten ini sering kali disalahgunakan. Salah satu penyalahgunaan media sosial terjadi pada media sosial Grindr. Media sosial Grindr merupakan salah satu media sosial yang mampu menarik perhatian masyarakat, terutama oleh komunitas gay. Selain itu,
Grindr cenderung mempromosikan gaya hidup gay sebagai gaya hidup global. Di Indonesia, keberadaan gay masih menimbulkan permasalahan pada kerusakan nilai-nilai moral kehidupan. Sehingga, hal ini tentu menimbulkan kecemasan dan tantangan terberat bagi masyarakat dalam menghadapi LGBT.
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu, Bagaimana interaksi virtual community di media sosial Grindr? Mengapa pengguna memilih menggunakan
Grindr sebagai alat komunikasi? dan Apa efek sosial yang ditimbulkan dari interkasi virtual community Grindr?
Teori yang digunakan adalah Teori Community dan Internet menurut Lori Kendall. Teori ini membahas mengenai munculnya hubungan sosial yang di mediasi oleh komunikasi melalui internet. Hubungan sosial ini dapat dilihat melalui lima karakteristik desain online forum yang memfasilitasi virtual community diantaranya yaitu: Tujuan konten (Purpose of content), Tempat (extent of mediation), Sistem desain (Platform), Pola interaksi (pattern of interaction), dan Model keuntungan (Profit model). Selain itu, hubungan sosial ini juga melakukan negosiasi peran gender untuk mengasumsikan identitas yang mereka pilih sendiri dalam menciptakan realitas. Sehingga hubungan sosial ini dapat menimbulkan efek sosial. Asumsi ini dapat ditemukan melalui empat pembentukan community, diantaranya yaitu: conflict, cooperation, control, dan identity.
Interaksi virtual community itu di lakukan dengan tujuan mencari teman sesama gay untuk berkencan. Interaksi difasilitasi platform GPS, profile, general information dan chat. Dengan pola interaksi dari perkenalan melalui chat dan diakhiri dengan pertemuan untuk melakukan hubungan seksual. Tempat berinteraksi dilakukan berdasarkan keputusan kedua belah pihak dengan memanfaatkan keuntungan yang dimiliki Grindr yaitu GPS.
Adapun alasan pengguna berkomunikasi melalui Grindr yaitu, karena adanya konflik psikologis yang berkeinginan berinteraksi dan kerjasama dengan sesama gay untuk menjalankan realitas yang tidak dapat dilakukan pada realitas sebenernya. Kemudian adanya kebebasaan mengontrol dari pengguna untuk melakukan hal-hal yang diinginkan melalui Grindr, serta untuk melakukan penipuan identitas. Sehingga hal ini tentu aja merupakan interaksi yang berbahaya dan menimbulkan efek sosial pada masyarakat.
ii
AlhamdulillahiRabbil‟aalamiin segala puji dan syukur bagi Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Bahaya Komunitas
Homoseksual di Media Sosial (Studi Kasus: Interaksi Virtual Community Media Sosial Grindr).
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini
banyak mengalami kesulitan. hingga terkadang rasa putus asa selalu dirasakan.
Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan pengarahan yang sangat
berharga dari berbagi pihak menjadikan penulis semakin bersemangat untuk
menyelesaikan skripsi ini dan akhirnya skripsi dapat terselesaikan.
Oleh karena itu dengan segala ketulusan, perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulis. Karena dengan bimbingan, arahan serta semua kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis, terutama kepada:
1. Dr. H. Arief Subhan. MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M. Ed. Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang
Akademik, Dr. Hj. Roudhonah. M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang
Administrasi Umum, serta Dr. Suhaizni. M.Si selaku wakil Dekan Ill
Bidang Kemahasiswaan.
iii
Penyiaran Islam. Dan selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dikala padatnya jadwal mengajar dan meluangkan
pikiran untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya kepada penulis
dikala berkonsultasi. Serta teramat sabar dalam membimbing dan
mengarahkan penulis.
4. Prof. Andi Faisal Bakti, MA, Ph. D selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya kepada penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.
6. Seluruh Staff dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal peminjaman
buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan memberikan pelayanan
dengan baik kepada penulis hingga penyusuanan skripsi ini selesai.
7. Kepada ayah saya Ragil Sartoto dan mama saya Nurjanah. Terima kasih atas
segala kesabarannya atas kendala-kendala yang dihadapi penulis selama
proses penulisan skripsi.
8. Kepada ke-tiga narasumber yaitu: Toro, Vidi, dan Galih yang telah
meluangkan waktunya untuk bertemu dan bersedia di wawancarai. Bersedia
dimintai banyak informasi meskipun hal-hal yang ditanyakan benar-benar
merupakan hal yang sensitif. Penulis sangat berterima kasih atas
iv
penulisan skripsi. Penulis sangat bahagia memiliki tante yang selalu
memberikan dukungan yang tulus dan bantuan tanpa henti ketika penulis
mengalami kesulitan.
10. Rally Ramdhani, yang telah banyak memberikan masukan, semangat dan
motivasi. Serta kesabarannya menampung segala keluh kesah penulis dalam
proses penulisan skripsi ini. Serta adik saya Vicky Carin Sahara yang telah
banyak memberikan semangat serta menghibur penulis di saat penulis
dilanda kejenuhan.
11. Sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuangan selama kuliah Indah
Noviyanti, Dewi Muffarikhah, Nina nurlina, Mely ismi, Syifa maharani.
Terima kasih selalu memberikan semangat dan banyak informasi yang
sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi.
12. KPI D, terima kasih atas kebersamaan yang menyimpan banyak kenangan.
Vina, Latif, Tasha, Muthia, Dinda, dan Noni terima kasih telah menjadi
bagian cerita semasa kuliah yang tidak akan terlupakan.
13. Terima kasih juga kepada Melqy yang telah banyak membantu dalam
mencari buku-buku refrensi yang tepat untuk penulisan skripsi ini. Serta
terima kasih kepada seluruh teman-teman angkatan KPI 2012 atas segala
kebersamaannya. Terima kasih selalu memberikan semangat dan banyak
v
mengurangi rasa hormat, yang telah membantu penulis. Saya ucapkan
terima kasih.
Akhir kata penulis hanya bisa berharap Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan dari seluruh pihak yang telah membantu. Penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya bagi diri
penulis sendiri.
Jakarta, 22 Agustus 2016
vi
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metodologi Penelitian ... 8
1. Paradigma Penelitian ... 8
2. Pendekatan Penelitian ... 8
3. Jenis Penelitian ... 9
4. Metode penelitian ... 10
5. Subjek dan Objek Penelitian ... 10
6. Tempat dan Waktu Penelitian... 11
7. Teknik Pengumpulan Data ... 11
8. Teknik Analisis Data ... 12
E. Tinjauan Pustaka ... 13
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II. KAJIAN TEORETIS A. Communityand Internet Lori Kendall theory 1. Defining the Undefinable... 17
2. Community versus Networked Individualism ... 19
3. Real Communities versus Pseudocommunities... 21
4. Virtual Community ... 22
5. Komunitas online dan offline ... 29
B. Media Sosial 1. Pengertian media sosial ... 30
2. Karakteristik media sosial ... 32
3. Jenis-jenis media sosial ... 37
4. Khalayak media sosial ... 39
vii
G. Profile Guidelines Grindr ... 58
BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis interaksi Virtual Community di media sosial Grindr 1. Tujuan konten (Purpose of content) ... 61
2. Tempat (extent of mediation) ... 63
3. Sistem desain (Platform) ... 64
4. Pola interaksi (pattern of interaction) ... 67
5. Model keuntungan (Profit model) ... 69
B. Analisis pengguna media sosial menggunakan Grindr sebagai alat komunikasi 1. Conflict ... 72
2. Cooperation ... 73
3. Control ... 75
4. Identity ... 79
C. Analisis efek sosial yang ditimbulkan dari interaksi virtual community Grindr 1. Adzab ... 82
2. Penyakit kelamin ... 84
3. Ganguan interaksi sosial ... 84
4. Gangguan psikologis ... 85
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Logo Grindr...53
Gambar 3.2 Pendiri Grindr...54
Gambar 4.1 Platform Grindr...65
Gambar 4.2 Feature Grindr...68
Gambar 4.3 Bigger Photos Grindr Informan A...70
Gambar 4.4 Bigger Photos Grindr Informan C...70
Gambar 4.5 General Information Informan A...77
Gambar 4.6 General information Informan B...78
Gambar 4.7 General information Informan C...78
Gambar 4.8 Profile Informan A...80
Gambar 4.9 Profile Informan B...81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran internet memberikan pengaruh terhadap aktivitas
komunikasi. Internet telah mengambil andil dalam kehidupan manusia
baik secara positif maupun negatif. Setelah terhubung dengan internet
setiap orang dapat menikmati dampak positif dari internet. Diantaranya
ialah dengan tersedianya banyak informasi baik secara teks, suara, maupun
gambar yang dapat diakses kapanpun dan dimanapun.
Keberadaan internet juga memudahkan manusia untuk berinteraksi
dengan orang lain tanpa harus merasa terhalang oleh jarak. Menurut
Graham, “interaksi atau interactivity merupakan salah satu cara yang berjalan di antara pengguna dan mesin (teknologi) dengan memungkinan
para pengguna maupun perangkat saling terhubung secara interaktif.
Interaksi merupakan salah satu karakter media siber sebagai alat
komunikasi”.1
Melalui media siber setiap manusia dapat saling terhubung
dalam waktu yang bersamaan. Bahkan penggunaan media siber dapat
mewakili keterlibatan pola komunikasi, yang semula hanya dapat
berkomunikasi secara langsung atau face to face. Adapun jenis-jenis media siber diantaranya: Website, Email, Blog, Wiki, Broadcasting, Peer to peer, dan Media sosial.
1
Selain membawa perubahan dalam pola komunikasi, Internet juga
menghadirkan komunitas di dunia maya yang disebut sebagai virtual community. Menurut Rheingold (1995), virtual community merupakan agregasi sosial yang mengambil bentuk di dalam internet di mana semua
orang membawa persoalan untuk didiskusikan dalam waktu yang lama,
dan melibatkan perasaan atau pemikiran penggunanya dengan relasi yang
terbentuk di ruang siber.2
Virtual community merupakan komunitas yang terbentuk dari komunikasi yang termediasi oleh komputer (Communication Mediated Computer). Anggota komunitas dapat saling berbagi pengalaman serta menikmati konten yang disediakan pada media siber. Bila pada komunitas
di dunia nyata dibutuhkan pertemuan secara tatap muka untuk menjalin
komunikasi, namun di komunitas virtual tidaklah diperlukan pertemuan
secara tatap muka. Bahkan komunitas cenderung tidak perlu saling
mengenal satu sama lain untuk tergabung dalam komunitas.3
Seiring dengan semakin bervariasinya konten media dan
meningkatnya pengguna media siber. Semakin lama, internet cenderung
menjadi sebuah kebutuhan pokok. Internet sebagai penunjang media
komunikasi dan informasi yang banyak memberikan dampak positif,
namun tidak sedikit juga terjadi penyalahgunaan yang justru membawa
dampak negatif. Terutama penyalahgunaan yang dilakukan oleh virtual
2
Rulli Nasrullah, Media Sosial, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 108.
3
community homoseksual melalui media sosial. Diantaranya dengan munculnya akun twitter bernama @GayUGM yang kurang lebih mencapai
1.802 followers. Akun yang eksis sejak Januari 2013 ini, aktif menyuarakan LGBT melalui tweet dan berkomunikasi dengan akun-akun lainnya. Namun kini akun tersebut telah non-aktif. Banyak diberitakan di
internet, hal ini dikarenakan banyak menuai penolakan baik dikalangan
masyarakat maupun lingkungan Universitas Gajah Mada. Kemudian
betapa mengkhawatirkannya kemunculan akun twitter bernama
@gaykids_botplg yang secara terang-terangan mengumbar kata-kata
vulgar. Bahkan, mereka juga menampilkan foto dan video seksual yang
tak layak di lihat oleh anak-anak dibawah umur. Selanjutnya muncul
desakan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO)
kepada pengelola media-media sosial dan layanan pesan pendek. Agar
dihapuskannya emosikon (emoji) atau sticker gay dan lesbian untuk pasar Indonesia, karena hal ini jelas menghawatirkan untuk dikonsumsi
masyarakat.4
Mengingat media siber memiliki jenis-jenis media beragam yang
memfasilitasi untuk bertukar informasi baik berupa visual, maupun audio.5
Di tahun 2009 muncul media sosial Grindr dengan kecanggihan teknologi GPS (Global Positioning System) yang dapat mendeteksi keberadaan gay
4Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. “
Pemerintah Akan Panggil Manajemen WhatsApp Gara-gara Emoticon LGBT”, diakses pada 17 Februari 2016, dari
https://www.kominfo.go.id/content/detail/6824/pemerintah-akan-panggil-manajemen-whatsapp-gara-gara-emoticon-lgbt/0/sorotan_media/
5
terdekat melalui smartphone. Bahkan Aplikasi berbasis chatting ini populer di kalangan gay Indonesia. Berdasarkan website resmi Grindr
www.Grindr.com terdapat 10 peringkat negara terbesar pengguna Grindr, dan Indonesia mendapat urutan ke-9 sebagai negara pengguna Grindr
aktif.6
Sebuah layanan berbasis Internet, memudahkan pengguna untuk
membuat profil diri yang kemudian digunakan untuk saling menghubungi
dan dihubungi pengguna lain. Grindr sebagai Online dating, dianggap menarik karena adanya kontrol dari pengguna untuk mengatur sendiri apa
yang ingin mereka lakukan melalui media tersebut. Menurut Houran
(2009), ada tiga alasan utama kenapa begitu banyak pengguna internet
yang tertarik menggunakan aplikasi online dating semacam ini, yaitu keinginan untuk mencari pasangan yang bertujuan dan memiliki
ketertarikan yang sama, atau mencari pasangan yang memiliki ketertarikan
yang sama sekali berbeda, sambil berusaha memisahkan diri dari
orang-orang yang dianggap memiliki ketertarikan yang tidak menarik baginya
(deal breakers).7
Kini homoseksual cenderung memperkuat eksistensi kaum gay
melalui ruang siber. Berani mengkampanyekan hak-haknya, bahkan juga
tidak sungkan mempromosikan gaya hidup homoseksual sebagai gaya
hidup yang wajar dan bukan sebagai sebuah penyimpangan. Namun secara
6
Steve levin, “fact Sheet Grindr”, diakses pada Juni 2015, dari www.grindr.com/press/
7
pandangan syariat Islam, perilaku yang banyak dilakukan oleh kaum Nabi
Luth as ini merupakan dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT.Zina dan
perbuatan seks menyimpang lainnya seperti homoseks atau lesbian
dipandang bertentangan dengan martabat dan naluri manusia yang
beradab. Menurut Hamka Haq yang merujuk pada surat al-A‟raf ayat 81
inilah sebagai penyebab mengapa Allah Swt mengharamkan homoseks.8
Dalam Al Quran dan Terjemahannya surat Al-A‟raf ayat 81 sebagaimana dijelaskan:
“sesungguhnya kamu menggauli laki-laki guna memuaskan nafsu,
selain wanita malah kamu adalah kamu adalah kaum yang melampaui
batas”.9
Grindr banyak dibicarakan sebagai sebuah transisi kehidupan. Kemunculan internet membawa peradaban baru yang mengubah banyak
aspek kehidupan dan memberikan tantangan terberat bagi kehidupan
dalam menghadapi LGBT.10 Perilaku homoseksual dalam kehidupan bertentangan dengan nilai-nilai agama maupun norma-norma susila.
Perilaku ini dapat membahayakan baik dari segi psikologis, moral dan
8
Hamka Haq, Islam Rahmah Untuk bangsa, (Jakarta: Baitul Muslimin Indonesia, 2015), h. 188.
9
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Semarang: CV. ASY SYIFA, 2001), h.426.
10
kesehatan. Oleh karena itulah, masyarakat pada umumnya memandang
homoseksual merupakan praktik seksual yang menyimpang dan dinilai
tidak baik.11 Berdasarkan Latar belakang di atas, maka penulis memilih
judul “Bahaya Komunitas Homoseksual di Media Sosial (Studi Kasus
Interaksi Virtual Community Media Sosial Grindr)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar terfokus kepada permasalahan yang diteliti, maka penulis
membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu, terhadap interaksi
virtual community yang dilakukan melalui media sosial Grindr. Interaksi ini dilakukan oleh pengguna Grindr aktif yang mengakses media sosial Grindr lebih dari 54 menit dalam sehari. Selain itu, terhadap pengguna Grindr di wilayah Ciputat, Bintaro, dan Pondok Indah
Alasan pemilihan kriteria pengguna Grindr dikarenakan kebutuhan informasi mendalam yang hanya diapatkan melalui pengguna Grindr
Aktif. Serta dijelaskan oleh pihak perusahaan Grindr bahwa pengguna aktif Grindr mengakses kurang lebih 54 menit dalam sehari. Selain itu, Kehadiran Grindr juga merubah hubungan sosial penggunanya, serta menimbulkan kerusakan pada nilai-nilai moral kehidupan.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
a. Bagaimana interaksi virtual community di media sosial Grindr? b. Mengapa pengguna memilih menggunakan Grindr sebagai alat
komunikasi?
c. Apa efek sosial yang ditimbulkan dari interkasi virtual community Grindr?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui interaksi virtual community yang dilakukan homoseksual melalui media sosial Grindr.
b. Untuk mengetahui alasan pengguna Grindr menggunakan Grindr
sebagai alat komunikasi.
c. Untuk mengetahui efek sosial yang ditimbulkan dari interaksi
virtual community Grindr. 2. Manfaat Penelitian
Sedangkan, adanya manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan pengetahuan bagi ilmu komunikasi. Dan diharapkan
mampu meninterpretasikan pola interaksi virtual community di era sekarang ini yang terus berubah-ubah, karena di pengaruhi
oleh ketersediaan media siber yang terus berinovasi.
b. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan mampu
luas, agar lebih cermat lagi memilih dan menggunakan konten
media sosial.
D. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Penulis menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma
konstruktivis menekankan bahwa relitas merupakan konstruksi
sosial. Kebenarann suatu realitas bersifat relative, berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai oleh pelaku sosial, pemahaman suatu
realitas, atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi
peneliti dengan yang diteliti. Nilai etika dan pilihan moral
merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian. Tujuan penelitian
adalah untuk rekontruksi realitas sosial secara dialektik antara
peneliti dan objek penelitian”.12
Penulis menggunakan paradigma konstruktivis karena ingin
melihat realitas komunitas homoseksual pada media sosial Grindr, melalui dialektik antara penulis dengan objek penelitian.
2. Pendekatan Penelitian
Penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Creswell
(2008) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan
atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala
sentral. Untuk mengerti gejala sentral tersebut peneliti
mewawancarai peserta penelitian atau partisipan dengan mengajukan
12
pertanyaan yang umum dan agak luas. Informasi yang disampaikan
oleh partisipan kemudian dikumpulkan kemudian dianalisis.13
Melalui pendekatan penelitian kualitatif, penulis melakukan
wawancara langsung kepada informan, baik terhadap pengguna
media sosial Grindr maupun pihak perusahaan Grindr. Agar mendapatkan informasi secara mendalam mengenai interaksi virtual communityGrindr.
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, dimana
pendekatan ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai
faktor-faktor, sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti.14 Penulis dapat menggambarkan fenomena atau permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini dari informasi yang telah didapatkan,
yakni mengenai interaksi virtual community Grindr, alasan pengguna berkomunikasi melalui Grindr, serta efek sosial yang ditimbulkan dari interaksi virtual community Grindr.
13
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Kegunaannya,
(Jakarta: Grasindo, 2010), h.7.
14
4. Metode penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian studi kasus intrinsik.
Fokus penelitian terletak pada kasus itu sendiri karena keunikannya.
Keberadaan kasus merupakan penyebab diperlukannya penelitian.15
“A case study is an exploration of a „bounded system’ or a case
(or multiple cases) over time through detailed, in-depth data collection involving multiple sources of information rich in context”.16 Creswell menjelaskan studi kasus merupakan eksplorasi dari sistem yang dibatasi, atau eksplorasi dari kasus tunggal maupun
multi-kasus dari waktu ke waktu secara rinci. Serta melakukan
pengumpulan data secara mendalam dengan melibatkan berbagai
sumber informasi yang kaya dalam konteks penelitian. Yaitu
diantaranya dengan melakukan observations, indept interview, mengumpulkan documents dan audio-visual materials.
Penulis mengumpulkan data melalui objek penelitian yang telah
ditentukan, untuk kemudian ditinjau kembali hasil temuan agar
mendapatkan sebuah kesimpulan dari permasalahan penelitian.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah media sosial Grindr, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah pengguna Grindr aktif.
15
Jhon. W. Creswell, Qualitative inquiry and research design: Choosing among five traditions, (California: SAGE 1998), Hal 62
16
6. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada Maret 2016 hingga agustus 2016.
Adapun tempat penelitian dilakukan pada wilayah Bintaro, Ciputat
dan Pondok Indah.
7. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data-data dan informasi sesuai dengan
permasalahan penelitian ini, penulis melakukan beberapa cara sebagai
berikut:
a. Observations
Penulis melakukan observasi secara tidak langsung atau
observasi non partisipant. Penulis melakukan observasi kepada tiga orang pengguna Grindr melalui akunnya, untuk melihat interaksi yang dilakukan pengguna melalui media sosial Grindr. Namun penulis tidak ikut berinteraksi kepada pengguna Grindr lainnya.
b. Indept Interview
Penulis melakukan wawancara secara mendalam kepada
tiga orang pengguna Grindr aktif yaitu, Toro, Vidi dan Galih. Penulis mewawancarai tiga informan sebagai objek yang dianggap
memiliki infomasi dan dapat memberikan data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini.
Pengamatan dan wawancara juga dilengkapi dengan
dokumentasi. Penulis mengambil data-data dari catatan maupun
dokumentasi yang sesuai dengan masalah yang diteliti diantaranya
yaitu, transkip wawancara, fact sheet Grindr, dan dokumentasi dengan informan. Serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
penelitian untuk memperkuat data tentang Bahaya Komunitas
Homoseksual di Media Sosial (Studi Kasus Interaksi Virtual Community di Media Sosial Grindr).
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada metode penelitian studi kasus kualitatif
adalah:
a. Description
Fenomena kemunculan media sosial Grindr yang dikhususkan untuk pengguna gay atau homoseksual. Namun media sosial Grindr
ini mudah di download dan di akses oleh siapa pun atau pengguna umum melalui smartphone.
b. Theme
Kemunculan media sosial ini menimbulkan kekhawatiran.
Fenomena kemunculan Grindr ini mengarah pada kerusakan nilai-nilai moral kehidupan, karena interaksi dari media Grindr ini hingga pada tindakan perzinahan.
Karena media Grindr ini mewadahi untuk tindakan diluar nilai-nilai moral kehidupan. Maka diperlukannya pembinaan dan
penanaman moral secara lebih intensif kepada kerabat terdekat atau
lingkungan. Serta diperlukannya himbauan agar cerdas dalam
memilih dan menggunakan media sosial.
E. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan tinjauan pada beberapa hasil penelitian
terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan penulis. Pertama penelitian yang dilakukan oleh Syifa Awaliyah
mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul penelitian “Perilaku
Berbohong di Facebook (Studi Kasus Ibu Rumah Tangga di Kampung
Rawa Domba Duren Sawit Jakarta Timur).17 Persamaan penelitian ini
adalah sama-sama meneliti tentang media internet di kalangan masyarakat
luas. Sedangkan perbedaan terletak pada teori yang digunakan serta objek
penelitiannya.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Fitri handayani, dengan judul
penelitian “Media Online dan Ruang Publik Virtual (Studi Terhadap
Kolom Komentar dari Kompas.com)” mahasiswi Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Persamaan pada penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang media
17
internet.18 Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Ari Mukti Wibowo
mahasiswa Mercu Buana Jakarta, dengan judul penelitian “Pola
Komunikasi Antarpribadi Komunitas Homoseksual dalam
Mempertahankan Solidaritas (Studi Terhadap Komunitas Love Story di
Jakarta”. Persamaan penelitian terletak pada objek penelitian yang terfokus
dengan komunitas homoseksual.19
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dewi Savitri mahasiswi
Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Dengan judul penelitian
“Manajemen Kesan Kaum Gay Melalui Media Sosial Grindr”, penelitian
ini memiliki subjek yang sama dengan penulis, namun objek penelitian
dan teori yang digunakannya berbeda. Hasil penelitian pada skripsi ini
yaitu, pengguna Grindr melakukan pengelolaan kesan dalam akunnya. Mereka melakukan pengelolaan kesan dengan cara yang berbeda-beda
namun memiliki tujuan yang sama yakni menarik perhatian pengguna
lainnya melalui profile foto, yang kemudian dilanjutkan melalui proses
chatting. Pengelolaan kesan dengan cara yang berbeda-beda ini dikategorikan dalam peta konsep diri Johari Window yaitu, open self, hidden self, blind self, dan unknown self.20
18
Fitri Handayani,” Media Online dan Ruang Publik Virtual (Studi Terhadap Kolom Komentar dari Kompas.com)”, Skripsi pada Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Tidak dipublikasikan.
19
Ari Mukti Wibowo,” Pola Komunikasi Antarpribadi Komunitas Homoseksual dalam
Mempertahankan Solidaritas (Studi Terhadap Komunitas Love Story di Jakarta”, Skripsi pada Universitas Mercu Buana, 2015. Tidak dipublikasikan.
20
Dewi Savitri, “Manajemen Kesan Kaum Gay Melalui Media Sosial Grindr”, Skripsi
F. Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan, penulis menyusunnya ke dalam lima
bab. Dimana setiap bab diuraikan lagi menjadi sub-sub bab, namun pada
akhirnya selalu ditemui keterkaitan antar bab.
Di mulai dari Bab I Pendahuluan. Pada bab pertama ini
mencangkup latar belakang masalah penelitian yang berkaitan dengan,
komunitas homoseksual di media sosial terhadap interaksi virtual community. Dan pada bab ini, penulis menjabarkan secara singkat gambaran dari keseluruhan skripsi.
Selanjutnya Bab II Kajian Teoritis. Dalam bab kedua membahas
landasan teori untuk menguraikan beberapa hal yang menyangkut
pembahasan dalam penelitian ini, yaitu Teori Community dan Internet
menurut Lori Kendall yang membahas mengenai munculnya hubungan
sosial yang di mediasi oleh komunikasi melalui internet. Hubungan sosial
ini juga melakukan negosiasi peran gender pada forum online, untuk mengasumsikan identitas yang mereka pilih sendiri dalam menciptakan
realitas. Asumsi ini dapat menimbulkan efek sosial. Penelitian ini juga
menjelaskan mengenai media sosial, yaitu: pengertian media sosial,
karakteristik media soaial, jenis-jenis media sosial, dan khalayak media
sosial. Selanjutnya penjelasan mengenai homoseksual. Baik homoseksual
dalam pandangan psikologis maupun dalam padangan Islam.
Bab III Gambaran Umum. Pada bab ketiga ini membahas
Grindr, logo Grindr, misi Grindr, struktur organisasi Grindr, privacy policy Grindr, serta profile guidelines Grindr.
Bab IV Temuan dan Analisis Data Penelitian. Pada bab keempat
ini membahas analisa hasil temuan data dengan landasan teori yang
berkaitan dengan rumusan masalah, yakni mengenai interaksi virtual community Grindr. Selanjutnya alasan pengguna berkomunikasi melalui
Grindr, serta efek sosial yang ditimbulkan dari interaksi virtual community Grindr.
Bab V Penutup. Pada bab kelima, peneliti memberikan kesimpulan
terhadap hasil penelitian, serta memberikan saran-saran dan beberapa
17
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Community and Internet Lori Kendall theory
1. Defining the Undefinable (Mendefinisikan yang tidak terdefinisikan)
Dengan ketidakjelasan konsep komunitas, dalam studi
komunitas dan internet mengharuskan penulis menghadapi definisi
ruang lingkup komunitas. Adapun definisi virtual community
menurut Porter (2004), yaitu:21
a. Bagian dari individual (an aggregation of individuals) b. Berinteraksi dengan sekitarnya (interact around)
c. Berbagi ketertarikan (shared interest)
Definisi inilah yang biasanya digunakan untuk mengungkap ruang
lingkup komunitas. Terutama yang berlaku pada booming dot.com
di akhir 1990-an, yang ketika itu kegiatan bisnis tertarik dengan
komunitas online sebagai potensi alat pemasaran. Dan dipahami sebagai komunitas yang sedikit lebih besar dari kelompok
konsumen, yang dapat menimbulkan rasa ketertarikan lebih pada
produk tertentu.22
21
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, (United Kingdom: Wiley-Blacwell, 2011), p. 309.
22
Kemudian, penulis juga harus menghadapi desain dari online forum yang dapat memfasilitasi virtual community. Porter (2004), menunjukan lima karakteristik virtual community, diantaranya meliputi:23
a. Tujuan konten (Purpose of content) b. Tempat (extent of mediation) c. Sistem desain (Platform)
d. Pola interaksi (pattern of interaction)
e. Model keuntungan (Profit model)
Sementara itu, dari sulitnya mendefinisikan komunitas hingga
merancang desain komunitas sebenarnya mengandung asumsi
penting. Asumsi itu mengenai untuk apa komunitas itu sendiri.
Namun terlepas dari itu, banyak peneliti lain yang menyarankan
untuk meninggalkan dari konsep komunitas. Ditegaskan oleh
Fernback (2007) bahwa,
“Concept of online community has become increasingly
hollow as it evolves into a pastiche of elements that ostensibly signify community”.24
Atau yang bisa diartikan dengan konsep komunitas online telah menjadi hampa karena berevolusi menjadi campuran dari
unsur-unsur yang seolah-olah menandakan komunitas. Fernback
mengambil pendekatan interaksionis simbolik dengan
23
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 310. 24
mewawancarai pengguna tentang konsepsi mereka sendiri dari
interaksi kelompok online mereka, untuk menggambarkan konsep
komunitas. Fernback menemukan bahwa peserta di kelompok
online memiliki karakter unik pada hubungan sosial online. Disamping merespon, komunitas online juga bertindak untuk mengekspresikan rasa persatuan dan dukungan yang mereka
alami dalam kelompok online mereka. Fernback juga
menunjukkan bahwa aspek yang lebih penting dan sulit dipahami
ialah komitmen.25
2. Community versus Networked Individualism (Komunitas dan individual jaringan)
Menurut Wellman (2002), setidaknya proses di negara-negara
maju yang meninggalkan komunitas di dukung oleh internet untuk
mendukung jaringan individual. Dalam situasi jaringan individual,
orang-orang tetap terhubung tetapi sebagai individu. Setiap
individu dapat melakukan komunikasi secara berulang dengan
jaringan sosial mereka. Dan secara terpisah mengoperasikan
jaringan untuk mendapatkan informasi, kolaborasi, perintah,
dukungan, sosialisasi, dan rasa memiliki. Dalam model Wellman
ini, jaringan individual merupakan satu-satunya penggerak dari
25
jaringan itu sendiri. Wellman menggunakan pendekatan jaringan
sosial untuk menganalisa individu, jaringan dan kelompok.26
Hodkinson dan Kendall (2007), membutikan secara empiris
karakteristik Wellman yang berkaitan dengan Interaksi online. Mereka menemukan bahwa pengguna LiveJournal dengan diary
pribadi seperti Blog saling terkait. Lebih mengikuti pola interaksi individual, mayoritas interaksi berlangsung pada wilayah yang
diawali oleh pribadi satu orang, berpusat di sekitar dan di atur oleh
individu. Kendall juga menjelaskan,
“LiveJournal participants seek connection with others.
LiveJournal theoretically provides several tools that facilitate such connections. But its structure as a linked set of individually controlled journals mitigates against the kinds of connection
and feedback people seek”.27
Atau yang bisa diartikan dengan, peserta LiveJournal mencari hubungan dengan orang lain. LiveJournal secara teoritis menyediakan beberapa alat yang memfasilitasi hubungan. Tapi
strukturnya sebagai Jurnal yang dikontrol secara Individu,
memudahkan dalam mencari umpan balik dari seseorang.
Pengguna LiveJournal juga mengungkapkan dua keinginan yang bertentangan. Di satu sisi mereka mencari kontrol di ruang
jaringan individu mereka sendiri, di sisi lain mereka juga masih
26
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 311.
27
menginginkan hubungan interpersonal yang hanya didapatkan dari
orang lain. Serta keinginan dalam kebebasan berkontribusi dalam
dialog kelompok. Di dalam jaringan individu seutuhnya, hal inilah
dialog bisa terjadi.28
3. Real Communities versus Pseudocommunities
Dengan banyaknya anggapan mengenai konsekuensinya dalam
menggunakan internet, maka peneliti komunitas internet terdahulu
memiliki dua tanggapan mengenai hal tersebut. Yakni pertama “the internet will restore to us, the community we have lost”. Rheingold
(1993) menggambarkan “hunger for community” diciptakan oleh
hilangnya ruang publik informal yang mengendalikan orang untuk
menciptakan virtual community.29
Tanggapan kedua menyatakan, bahwa internet hanya
meneruskan proses sebelumnya dalam meningkatkan “isolation and anomie” menyendiri dan tak dikenal atau bahkan membuatnya
lebih buruk.30 Barney (2004) berpendapat bahwa, teknologi digital
memiskinkan daripada memperkaya realitas bersama. Boogerman
(2004) juga menyatakan bahwa, internet tidak dapat menumbuhkan
apa yang disebut “final communities” yaitu komunitas yang
bertindak tidak seperti pada artinya sebagai komunitas. Dan
merupakan kelompok dari orang-orang yang menemukan atau
28
Ibid., p. 312.
29
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 313. 30
bekerja diluar alasan seseorang untuk hidup.31 Hal ini dikarenakan
Internet adalah komodifikasi budaya berdasarkan sifatnya.
Argumen Boogerman ini mirip dengan konsep internet yang
tidaklah benar-benar berinteraksi sosial. Bias budaya bersosialisasi
secara online dapat terus bertahan, meskipun terus meningkatnya orang-orang yang berpatisipasi dalam interaksi online. Seseorang di kehidupan online secara aktif tetap berusaha menghindarkan diri
dari apa yang disebut “the stereotype of introverted internet user”
atau pengguna internet yang tertutup.32
Selain itu, penelitian virtual community juga dihadapkan dengan kemungkinan ketika offline, tidak semua yang kelihatan sebagai anggota komunitas merupakan anggota komunitas. Menurut Jones
(1995), konsep dari pseudocommunity diartikan sebagai kurangnya ketulusan dan komitmen.33 Diutarakan juga oleh sosiolog Bellah
dan rekan (1985) yang membedakan antara “communities and lifestyle enclaves” dimana individu disatukan oleh kepentingan
ketertarikan dibandingkan saling ketergantungan yang kompleks.34
4. Virtual Community
Ketika hampir semua komunikasi melalui internet berbasis teks.
Secara keseluruhan, penelitian pada virtual community terfokus pada beberapa isu kunci. Hal ini termasuk mengenai pembentukan
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 314.
34
dan kematian virtual community, kemungkinan penipuan identitas
online, serta hubungan antara identitas sosial offline dengan interaksi secara online. Virtual community sering kali terbentuk pada reaksi masyarakat lain yang tersedia, dengan membedakan
identitas dan nilai yang ada. Kejadian internal juga menjadi rasa
penting sebagai bagian dari komunitas. Namun virtual community
cenderung lebih rentan terhadap gangguan pembubaran dari offline. Maka untuk mendorong anggota baru diperlukannya partisipasi
secara aktif.35
Secara keseluruhan peneliti pada virtual community terfokus pada beberapa asumsi kunci yang termasuk dalam pembentukan
serta kematian virtual community itu sendiri. Diantaranya:36
1. Conflict
Pada teori community dan Internet menurut Lori Kendall, salah satu asumsi kunci dalam pembentukan virtual community
ialah konflik. Dengan adanya konflik dapat menghancurkan
atau bahkan justru dapat menumbuhkan sebuah komunitas.
Konflik ini bisa diakibatkan karena adanya konflik internal
maupun eksternal komunitas. Virtual community khususnya sangat rentan terhadap gangguan orang diluar kelompok
maupun orang di dalam kelompok yang merasa kurang puas.
Stone (1992) menggambarkan kesulitan dialami oleh
35
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 314-316.
36
Communitree di tahun 1982, Communitree menderita masuknya anak laki-laki yang macet sistem melalui
scatological pesan (pesan tidak pantas), dan menemukan cara untuk merusak sistem perintah. Permasalahan tersebut semakin
parah oleh kebijakan privasi yang menghalangi pengelola untuk
melihat pesan mereka yang masuk. Dalam beberapa bulan,
Communitree menjadi tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, dalam praktiknya pengawasan dan kontrol tambahan terbukti
diperlukan untuk menjaga ketertiban virtual community.37
2. Cooperation
Dijelaskan oleh Rheingold dan Dibbell (1993), konflik
justru bisa menumbuhkan komunitas. Konflik dapat
mempromosikan, serta merefleksikan pertumbuhan komunitas.
Smith (1999) juga berpendapat bahwa, virtual community harus memiliki keragaman dalam meningkatkan komunitas jika ingin
berkembang. Dari hasil keragaman konflik, untuk bertahan
hidup virtual community harus melindungi sumber utama mereka. Dan oleh karena itu komunitas harus bisa mengelola
konflik sebelum meningkat sedemikian rupa, supaya tidak
merugikan komunitas secara keseluruhan.38 Namun yang paling sulit ialah memberlakukan sanksi karena ketidakmampuan
untuk menghadapi pemberontak secara tatap muka, serta
37
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 316. 38
sulitnya menjaga batasan pelanggaran. Sementara masih
memungkinkan bagi masuknya peserta baru.39
Dalam diskusinya mengenai manajemen konflik pada
virtual community, Smith menggambarkan berbagai konflik di
Micromuse. Micromuse adalah komunitas online yang dibangun untuk tujuan pendidikan sains bagi anak-anak, tapi
diizinkan pengunjung umum juga. Smith menceritakan
beberapa kejadian di mana peserta yang berkomitmen dilarang
melakukan pelanggaran keras, serta sanksi tersedia bagi virtual community. Seperti dalam kasus CommuniTree, tindakan dari pelanggar tersebut mengancam operasi lanjutan dari software
serta mengganggu pekerjaan orang lain, namun yang
memungkinkan komunitas menjadi eksis. Dan meskipun
dilarang serta adanya sanki, yang melampaui batas mampu
untuk kembali melalui celah teknis dalam perangkat lunak.40
3. Control
Mengingat konflik dapat merefleksikan pertumbuhan
kelompok. Hal ini dapat melibatkan lebih jelas lagi mengenai
norma dan aturan untuk perilaku bagi anggota komunitas.
Selain itu konflik juga dapat menghasilkan mekanisme baru
bagi pengendalian sosial. Untuk alasan ini, konflik
39
Ibid., p. 317 40
menyediakan informasi mengenai nilai-nilai yang berlaku
dalam komunitas.
Namun karena tidak semua virtual community mengalami konflik yang sama, dan konflik belum tentu diperlukan untuk
pembentukan ikatan komunitas secara erat. Baym (2000),
menjelaskan cara di mana r.a.t.s. peserta aktif membangun
r.a.t.s. sebagai komunitas di mana keramahan adalah inti nilai dan perilaku yang diharapkan. Mereka melakukan beberapa
strategi percakapan, diantaranya: (1) kualifikasi
ketidaksepakatan, (2) menyelaraskan diri dengan peserta lain
melalui perjanjian kesepakatan, dan (3) menghindari
percapakan perselisihan dan kembali ke kegiatan inti dari grup
yaitu soap operas (realitas semu).41
4. Identity
Dalam studi virtual community, para peneliti terdahulu telah membahas identitas dalam beberapa cara yang berbeda.
Pandangan pertama, menyangkut kemampuan peserta virtual community untuk menutupi identitas mereka. Pandangan selanjutnya, menyangkut penyimpangan berbagai aspek
identitas sosial yang berkaitan dengan ras dan jender serta
norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam virtual community.
41
Donath (1999) menjelaskan, mengetahui identitas orang
lain atau dengan siapa Anda berkomunikasi sangatlah penting
untuk memahami dan mengevaluasi interaksi. Namun di dunia
maya yang berbasis teks dan grafis, lebih memungkinkan untuk
menutupi identitas atau bahkan sengaja menipu identitas
dibandingan dengan pertemuan tatap wajah. Sebab sejak
identitas online didefinisikan oleh media, seseorang mungkin juga hadir dengan merasa dirinya terwakili seperti dirinya yang
sebenernya. Karena di dunia maya hal ini tidak terlalu
dievaluasi oleh lawan bicara mereka.42
Luasnya penipuan identitas online juga mustahil untuk diukur. Namun para peneliti komunitas online menemukan bahwa, pada kebanyakan komunitas yang ada sejak lama
penipuan identitas dapat diminimalkan. Pembentukan
komunitas tergantung pada identitas yang konsisten. Peserta
datang untuk mengenal satu sama lain, bahkan jika hanya
melalui nama samaran tetapi sering berusaha untuk
menghubungkan secara offline maupun online.43
Selain itu, tidak semua ketidakjelasan identitas online
sengaja diproduksi. Ini hanya karena keterbatasan forum
komunikasi online yang sulit dalam memastikan identitas semua peserta. Baym (1995) mengatakan,”people never know
42
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 318.
43
who all the readers of their messages are.”Baym menjelaskan mengenai partisipasi newsgroup yang tidak akan pernah tahu siapa semua pembaca pesan mereka.44 Kendall (2002) juga
menambahkan mengenai kebingunan identitas, karena
seseorang yang mereka ketahui, dapat mereka temui di forum
lain dengan nama lain. Hal ini terkadang menyebabkan orang
untuk mencoba dijabarkan identitasnya oleh orang lain.45 Meski demikian, kebanyakan orang dalam virtual community ingin mewakili diri dengan cara yang konsisten dan realistis. Dan setiap orang tentu dapat melakukanya dengan
konsisten. Ini menunjukan bahwa aspek identitas seperti ras,
kelas dan jender berharap tidak akan menjadi signifikan secara
online, namun tetap menonjol. Susan Herring dan rekan-rekannya telah menganalisis berbagai aspek dari komunikasi
gender online. Diantaranya mengenai bahasa online pria di tahun 1992, perbedaan gender dalam nilai-nilai yang mengarah
dengan gaya percakapan online yang berbeda di tahun 1996, harapan pria tentang reaksi partisipasi secara online perempuan di tahun 1995, serta pelecehan perempuan secara online pada tahun 1999. Dan karya awal ini menjelaskan bahwa gender
44
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 319.
45
tidak hilang secara online hanya karena orang berkomunikasi melalui teks dan tidak bisa melihat tubuh masing-masing.46
Kendall (2002) juga menemukan hasil penelitian pada
BlueSky. peserta BlueSky membawa pemahaman dan harapan mengenai gender secara offline dapat dilakukan dengan interaksi secara online. Peserta BlueSky juga berlaku dan dibangun identitas gendernya melalui interaksi online mereka.47
5. Komunitas online dan offline
Sebagian besar masyarakat terhubung melalui internet, yang
melibatkan baik secara online maupun offline. Pada virtual community yang terutama adalah online, namun peserta juga sering berusaha untuk memenuhi pertemuan dengan peserta lain secara
tatap wajah. Sementara itu, bagi pengunjung kelompok juga
banyak yang berusaha untuk meningkatkan hubungan melalui
partisipasi secara online. Penelitian tentang komunitas dan Internet ini, penekanannya bergeser dari Studi etnografi menjadi komunitas
virtual. Yakni untuk studi pencampuran masyarakat offline dan
online contacts. Sebuah pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah apakah partisipasi online membantu atau merugikan komunitas offline.48
46
Ibid.
47
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 320.
48
Dan yang perlu diingat, penelitian pada studi virtual community
ini tidak bisa melihat jangka panjang komunitas online dan beberapa studi hanya bisa melihat jangka panjang bagi pengguna.
Namun penelitian ini bisa menentukan apakah mereka itu
merupakan pengguna kurang berpengalaman yang terlibat dalam
berbagai aktivitas online.49
B. Media Sosial
1. Pengertian media sosial
Pada dasarnya media sosial merupakan hasil dari
perkembangan teknologi baru yang ada di internet dimana para
penggunanya bisa dengan mudah untuk berkomunikasi,
berpartisipasi, berbagi, dan membentuk sebuah jaringan di dunia
virtual, sehingga para pengguna bisa menyebarluaskan konten
mereka sendiri.50
Media sosial adalah medium di internet yang
memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun
berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan
pengguna lain dan membentuk ikatan sosial secaravirtual.51
Media sosial merupakan sekelompok aplikasi berbasis
internet pada teknologi web 2.0, yang memungkinkan penciptaan
49
Mia Consalvo dan Charless Ess, The Handbook of Internet studies, p. 321-323.
50
Dan Zarella, The Sosial Media Marketing Book, (Canada: O‟Reilly Media, 2010), h. 2 -3.
51
serta pertukaran isi pesan diantara pengguna.52 Berdasarkan
teori-teori yang telah dikembangkan oleh Durkheim, Tonnies maupun
Marx, untuk memahami hubungan antara pengguna dengan
medianya dapat dipahami melalui “Karakteristik kerja komputer
dalam web 1.0 berdasarkan pengenalan individu terhadap individu
lain yang berada dalam sebuah sistem jaringan (human cognition). Sedangkan web 2.0 berdasarkan bagaimana individu
berkomunikasi dalam jaringan antar individu (human communication). Dalam web 3.0 karaktersitik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana (users) bekerja sama (human co-operation).53
Pada umumnya, kita memandang media hanya sebagai
perantara pesan. Namun sebenarnya kita dapat memandang media
dalam tiga hal, yang menurut Meyrowitz diantaranya ialah:
a. Medium sebagai saluran pesan (medium-as-vessel/conduit). b. Medium adalah Bahasa (medium-as-languange). Media dapat
mengekspresikan dan mengandung pesan tertentu.
c. Medium sebagai lingkungan (medium-as-environment). Media merupakan suatu pilihan konten yang dapat dibedakan dari
medium yang lain.
Menurutnya, medium ini juga selanjutnya bisa mengandung
nilai-nilai yang tidak sekadar menjadi sarana dalam penyampain pesan.
52Anderas M. Kaplan dan Michael Haenlein. “
User of the World, Unite! The Challenges and The Opportunities of Social Media”, 2010, h. 59-68.
53
Tetapi memberikan pengaruh pada segi sosial, budaya, politik,
bahkan ekonomi.54
Keberadaan media sosial juga merupakan bentuk dari tiga
makna bersosial yakni (1) pengenalan, (2) komunikasi, dan (3)
kerjasama. Pengenalan merupakan dasar untuk berkomunikasi, dan
komunikasi merupakan dasar untuk melakukan kerjasama. Didalam
web atau jaringan internet ada sebuah sistem hubungan antar
pengguna yang bekerja berdasarkan teknologi komputer yang
saling terhubung. Bentuk-bentuk itu merupakan dasar untuk
membentuk lapisan lain. Semacam jaringan layaknya dimasyarakat
offline yang membentuk tatanan, nilai, struktur hingga realitas sosial.55
2. Karakteristik media sosial
Adapun karakteristik media sosial ialah sebagai berikut:56 a. Jaringan (network).
Media sosial membentuk jaringan di antara penggunanya.
Terlepas dari saling mengenal atau tidaknya pengguna di
kehidupan nyata (offline). Jaringan inilah yang pada akhirnya membentuk komunitas atau masyarakat yang secara sadar
54
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 4-5.
55
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h.10. 56
maupun tidak, akan menghadirkan nilai-nilai dalam
masyarakat virtual hingga pada struktur sosial secara online.57 b. Informasi
Informasi dijadikan komoditas antar pengguna. Pengguna
media sosial dapat mengkreasikan representasi identitasnya,
memproduksi konten, dan melakukan interaksi berdasarkan
informasi. Informasi tersebut pada dasarnya merupakan
komoditas yang diproduksi dan didistribusikan oleh pengguna
itu sendiri.58 c. Arsip (archive)
Karakteristik arsip menjelaskan bahwa informasi telah
tersimpan, informasi tidak hilang begitu saja dan mudah
diakses kapanpun dan dimanapun. Dengan kemunculan
teknologi komunikasi, arsip pada media sosial memberikan
kemampuan pada penggunanya untuk mengakses dan
mengubahnya sendiri. Dijelaskan oleh Appadurai “the nature
and distributions of its users”.59 Arsip di dunia maya tidak
hanya dipandang sebagai dokumen resmi semata yang
tersimpan. Arsip di internet tidak pernah benar-benar
tersimpan, informasi selalu berada dalam jaringan, terdistribusi
57
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 17 58
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 19. 59
sebagai sebuah informasi dan menjadi mediasi antara
manusia-mesin dan juga sebaliknya.60 d. Interaksi
Menurut Lev Manovich (2001) dua tipologi untuk
mendekati kata interaksi dalam perspektif media baru, yakni
tipe terbuka (open) dan tipe tertutup (closed). Dalam tipe terbuka, pengguna memiliki kebebasan untuk menentukan
bagaimana jaringan ini akan dibentuk dan bagaimana interaksi
itu bisa terjadi. Sementara dalam tipe tertutup, menempatkan
khalayak ketika mengakses media baru untuk memilih secara
bebas pilihan-pilihan yang diberikan sesuai denngan yang di
inginkan. Melihat dari dua tipe interaksi ini, dijelaskan bahwa
khalayak memiliki kebebasan dalam membentuk jaringan, dan
medium memberikan sarana kepada khalayak pengguna untuk
saling berinterkasi.61 e. Simulasi sosial
Kata simulacra atau simulasi digunakan untuk mengungkapkan gagasan bahwa kesadaran akan yang nyata di
benak khalayak semakin berkurang dan tergantikan dengan
realitas semu. Baudrillard menyebutnya “a copy of a copy with no original”.62 Simulasi di dalam media social menurut Bell
60
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 22-23. 61
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 27. 62
ialah proses dimana simulasi itu terjadi, perkembangan
teknologi komunikasi serta kemunculan media baru
menyebabkan individu semakin menjauhi realitas,
menciptakan sebuah dunia baru, yaitu dunia virtual.63
Tim Jordan (1999) menggambarkan konsep simulacra
yakni, pertama Pengguna harus melakukan koneksi untuk
berada diruang siber. Yakni melakukan log in atau masuk ke dalam media sosial dengan menuliskan nama pengguna
(username) serta kata kunci (password). Kemudian, Ketika berada di dalam media, pengguna melibatkan keterbukaan
identitas sekaligus mengidentifikasi atau mengkontruk dirinya
di dunia virtual.64
f. Konten oleh pengguna (User generated content)
Dalam media sosial konten sepenuhnya milik dan
berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun. Menurut
Lister (2003), UGC (user generated content) merupakan relasi simbiosis dalam budaya media baru yang memberikan
kesempatan dan keleluasaan pengguna untuk berpartisipasi.65
Dilengkapi oleh Jordan user generated content ini sebagai penanda bahwa di media sosial khalayak tidak hanya
memproduksi konten namun juga mengkonsumi konten yang
63
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 29. 64
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 29-30. 65
diproduksi oleh pengguna lain. Hal ini menjelaskan bahwa
konten oleh pengguna ini merupakan format baru dari budaya
interaksi (interactive culture) dimana para pengguna dalam waktu bersamaan bisa berlaku sebagai produser, dan sisi lain
sebagai konsumen dari konten yang dihasilkan diruang
online.66
g. Penyebaran (share/sharing)
Benkler menjelaskan bahwa media tidak hanya
menghasilkan konten yang dibangun dari dan dikonsumsi oleh
penggunanya, tetapi juga di distribusikan sekaligus
dikembangkan oleh penggunanya.67 Sehingga pada praktiknya, ada semacam kesadaran bahwa konten yang disebar itu patut
atau layak diketahui pengguna lain dengan harapan ada
konsekuensi yang muncul dimasyarakat. Hal ini dapat
diperhatikan melalui:68
a. Pengembangan dan penyebaran konten dilihat sebagai
bentuk dari upaya individu sebagai pengguna media sosial
dan anggota masyarakat offline.
b. Penyebaran melalui perangkat bisa dilihat sebagai fasilitas
untuk memperluas jangkauan konten.
66
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 31-32. 67
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 33. 68
c. Penyebaran ini tidak terbatas pada penyediaan teknologi
semata, tetapi juga menyediakan semacam budaya baru
yang ada di media sosial bagi pengguna.
3. Jenis-jenis media sosial
Adapun jenis-jenis media sosial diantaranya ialah:69
a. Social networking
Merupakan sarana yang bisa digunakan pengguna untuk
melakukan hubungan sosial di dunia virtual hingga dampak
yang ditimbulkan baik nilai-nilai etika dan moral. Karakter
utama dari jejaring social ialah pengguna membentuk jaringan
pertemanan baik terhadap yang sudah mengenal maupun
belum di dunia nyata (offline). Biasanya alasan membentuk pertemanan ialah atas dasar kesamaan. Misalnya kesamaan
hobi maupun kegemaran.70
b. Blog
Merupakan media sosial yang memfasilitasi pengguna
untuk berbagi aktivitas keseharian. Konten yang disediakan
oleh blog cenderung user experience atau pengalaman pengguna. Karakteristik blog ialah penggunanya adalah pribadi dan konten yang dipublikasikan juga terkait pengguna itu
69
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 40-49. 70
sendiri. Namun seiring perkembangan media sosial ini
sekarang digunakan oleh institusi tertentu.71
c. Microblogging
Media sosial ini hampir mirip dengan Blog namun yang
membedakan ialah keutamaan mempublikasikan pendapat dari
pengguna. Media ini merujuk kepada twitter yang dapat menyebarkan informasi, mempromosikan pendapatnya, hingga
membahas isu terkini kepada pengguna lainnya.72
d. Media sharing
Keutaman media sosial ini ialah disediakannya konten
untuk berbagi dokumen, video, audio, gambar kepada sesama
kemudian pengguna akan diarahkan kepada sumber informasi
itu berada.74
f. Media konten bersama atau Wiki
Media sosial ini menyediakan informasi dari hasil
kolaborasi para penggunanya. Dengan keutaman konten mirip
71
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 41-42. 72
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 43. 73
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 44. 74
kamus atau ensiklopedia. Media ini menghadirkan informasi
berupa pengertian, sejarah, makna kata, hingga rujukan buku
maupun referensi lain yang diungkapkan pengguna.75
4. Khalayak media sosial
Internet telah menciptakan ruang virtual dimana khalayak
sebagai individu dapat bertemu dengan individu lain dalam waktu
yang bersamaan, tetapi tidak berada dalam ruang atau lokasi yang
sama. Individu-individu ini pada dasarnya juga tidak memiliki
ikatan satu sama lain, selain dari tujuan mereka dalam mengakses
media. Meski sama-sama mengakses media, namun mereka
cenderung anonim dan tidak mengenal satu sama lain. Dalam
tradisi ilmu komunikasi, untuk mengetahui khalayak media maka
dapat dilihat dari hubungan khalayak dengan media yang
diaksesnya. Pertama, khalayak cenderung berbagai pengalaman
dan dipengaruhi oleh individu lain. kedua, dalam memilih media
dan penciptaan makna khalayak cenderung heterogen atau berasal
dan terdiri dari berbagai lapisan/kategori sosial. Dan ketiga, dengan
keberadaan khalayak yang tersebar di wilayah yang berbeda maka
dengan alasan itulah dapat mempertimbangkan jenis media atau
konten apa yang dibutuhkan.76
Dan apabila mengingat bahwa “media sosial merupakan
media web 2.0 dengan karakter media yang interaktif, terbuka
75
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 46-47. 76
dalam mengkreasikan konten, serta memiliki jaringan yang luas.
Maka adapun kriteria dari pengguna media sosial:77 1. Khalayak tidak lagi pasif.
2. Khalayak bisa dilihat sebagai produser, media memberikan
kontrol sepenuhnya kepada khalayak untuk mengkreasikan
konten.
3. Khalayak memiliki kekuatan dalam pelibatan diri dari proses
memproduksi informasi.
C. Homoseksual
1. Homoseksual dalam pandangan psikologis
Secara sederhana, homoseksual diartikan sebagai seseorang
yang memiliki kecenderungan atau ketertarikan (orientasi) seksual
dengan sesama jenisnya. Orientasi seksual yang seperti ini tentu
saja bertentangan dengan orientasi seksual pada umumnya. Baik
pria maupun wanita, pada umumnya mereka memiliki ketertarikan
dengan lawan jenisnya. Wanita tertarik dengan pria, begitupun pria
memiliki ketertarikan dengan wanita. Homoseksual cenderung
melakukan hubungan seks dengan sesama jenis, yakni pria dengan
pria dan wanita dengan wanita.78
Gaya hidup homoseksual terkait dengan cara khas individu
untuk memilih berkumpul dengan kelompok orientasi seksual
77
Rulli Nasrullah, Media Sosial, h. 95-96.
78
tertentu. American Psychological Association (2008) mengatakan, orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual maupun jenis
kelamin ataupun gender. Meskipun sebenarnya individu mengekspresikan orientasi seksual melalui perilaku dengan orang
lain. Orientasi seksual merujuk kepada bentuk hubungan dengan
orang lain. Diantaranya seperti tindakan berpegangan tangan atau
berciuman. Dengan demikian, orientasi seksual erat kaitannya
dengan hubungan pribadi yang intim yang dapat memenuhi
kebutuhan akan cinta, keterikatan, dan kedekatan. Selain perilaku
seksual, ekspresi orientasi seksual memberikan afeksi non-seksual
antara pasangan, adanya nilai-nilai dan tujuan bersama, keinginan
untuk saling mendukung, dan komitmen berkelanjutan.79
Perilaku homoseksual dalam kehidupan bertentangan
dengan nilai-nilai agama dan norma-norma susila. Oleh karena
itulah, masyarakat pada umumnya memandang bahwa
homoseksual merupakan praktik seksual yang menyimpang dan
dinilai tidak baik. Adapun dampak dari perilaku homoseksual
diantaranya sebagai berikut:80
1. Perilaku homoseksual dapat mengakibatkan munculnya
sejumlah persoalan kesehatan (medis). Diantaranya yaitu:
Menularkan virus penyakit HIV/AIDS, Menimbulkan berbagai
79
American Psychological Association, Answers to your questions: for your better understanding of sexual orientation and homosexuality, (Washington: 2008), p. 1.
80