ORGANIZATIONAL, INDIVIDUAL, AND SITUATIONAL CONDITIONS AS DETERMINANTS OF WHISTLEBLOWING INTENTIONS
BY CIVIL SERVANTS
(An Empirical Study on Regional Office of Indonesian Ministry of Finance in Daerah Istimewa Yogyakarta)
SKRIPSI
Disusun oleh: ROHMAIDA LESTARI
20130420530
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ORGANIZATIONAL, INDIVIDUAL, AND SITUATIONAL CONDITIONS AS DETERMINANTS OF WHISTLEBLOWING INTENTIONS
BY CIVIL SERVANTS
(An Empirical Study on Regional Office of Indonesian Ministry of Finance in Daerah Istimewa Yogyakarta)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh: ROHMAIDA LESTARI
20130420530
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat
menasihati supaya menetapi kesabaran” -(Al-Ashr:1-3)-
ũ
Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegahlah denganmulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan hatimu, dan
mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda
selemah-lemah imanŪ
-(Rasullullah S.A.W)-
“Menjadi luar biasa itu memang tidak mudah, tetapi berpuas diri menjadi biasa saja bukanlah pilihan”
-(Rohmaida Lestari, 2016)-
Dengan Cinta Saya Lahir, Karena Cinta Saya Hidup,
Bersama Cinta Saya berkarya
kuasaNya memberikan ridho kepada hamba untuk menyelesaikan kesempatan
hebat menuntut ilmu dalam jenjang S1. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurah untuk Baginda Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Seluruh rakyat Indonesia yang bijaksana, Kedua orangtuaku,
Kakakku tersayang,
Sahabat-sahabatku terkasih, Orang-orang yang mendo’akanku, Almamaterku.
• Selurah rakyat Indonesia yang bijaksana, yang dengan ketaatannya kepada
bangsa dan negara ini sudi menunaikan kewajiban pajaknya, sehingga saya
merasakan manfaat dengan pendanaan studi saya selama masa studi S1 juga
seluruh birokrat dan teknokrat yang arif dalam menjalankan tugasnya. Tak
lupa teruntuk kampus UMY tercinta yang telah mengizinkan saya
mengenyam pendidikan di kampus ini dan menanggung segala kekurangan
biaya serta kepada seluruh petugas yang dengan sabarnya membantu
mahasiswa bidikmisi khususnya dalam hal pembayaran, mbak Anin, dkk.
dan do’anya selalu meringankan langkah dalam menimba ilmu sehingga masa
studi ini bisa dilewati dengan penuh rasa nyaman. Semoga Bapak dan Mamak
tetap sehat sehingga bisa menyaksikan kesuksesanku kelak.
• Kepada kakakku Eko Yuli Setiawan, kakak yang telah membantu kelancaran
selama proses studi S1 ini, terutama dalam mencarikan buku-buku pedoman
untuk belajar dan yang telah selalu ada tat kala dibutuhkan dalam segala hal
yang berkaitan dengan kuliah. Semoga Allah selalu meringankan dan
melancarkan setiap urusanmu.
• Kepada sahabatku 3C Retno Setyaningsih dan Mika Dwi Utami yang telah
merelakan waktunya untuk aku bagi segala kepayahan dan keluh kesah, yang
dengan nasihat-nasihatnya, dengan dukungannya, dan kesabarannya
menghadapiku menjadikan perjalananku menyelesaikan S1 ini lebih ringan
dan berwarna serta keluarga mereka yang selalu menerima dan
mengizinkanku tinggal tat kala tugas-tugas yang membutuhkan sinyal intenet
berdatangan dan mendesak. You are my precious family…
• Teman-teman CCS, Tri Widarti, Mariasih, Nurasih, dan Umi Khunafatul
Jannah yang telah menjadi partner terbaik menyelesaikan tugas-tugas
kelompok selama perkuliahan, yang sudi membantu tat kala ku dapati
Yeni Fatmawati, Heri, Teguh, dkk. yang selalu berjuang bareng-bareng,
saling menyemangati, dan saling mengingatkan untuk lulus tepat waktu.
• Keluargaku Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) FEB UMY yang telah memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran selama masa studi ini.
• Teman-teman Akuntansi UMY 2013 khususnya kelas M, Sundari, Novita,
Icha, Fina, Claudia, Iman, Yogi dan beberapa yang putus di tengah perjalanan
kuliah sebelum lulus. Semoga kesuksesan selalu beserta kita.
• Teman-teman satu bimbingan yang selalu saling menyemangati, Yuli, Evi,
Dita, Halim, Ekta, Haerul, Nadyah, TIka, Zu, Dika, Ifah, Riski, dkk.
• Teman-teman Pusat Pengembangan, Olan yang selalu menghandel
pekerjaanku saat aku sibuk bimbingan, Ellen yang selalu mengingatkan untuk
tidak usah menunda-nunda pendadaran, serta Lasmi, Mbak A’yun, dan Mbak
Fa yang telah menjadi teman yang menyenangkan untuk sharing.
• Kepada orang-orang terhebatku, Mbak Wahyu Dewanti yang mendorong,
mendukung, dan membantu segala proses masuk perguruan tinggi ini dan
Mas Dwi Cahyo Putro yang pertama kali mengantarkanku menginjakkan kaki
di UMY.
• Seluruh keluarga, sahabat, teman dan orang-orang terbaik yang turut
memberikan dukungan baik berupa do’a, waktu, dan semangat yang tak
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... x
B. Hasil Penelitian Terdahulu ... 15
C. Pengembangan Hipotesis ... 17
1. Ethical Climate dan Whistleblowing ... 17
2. Locus of Control dan Whistleblowing ... 20
BAB III METODE PENELITIAN... 26
A. Obyek/ Subyek Penelitian ... 26
B. Jenis dan Sumber Data ... 26
C. Teknik Pengambilan Sampel... 27
D. Teknik Pengumpulan Data ... 27
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 28
1. Variabel Dependen ... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40
A. Gambaran Umum Obyek/ Subyek Penelitian ... 40
B. Analisis Statistik Deskriptif ... 45
1. Satistik Deskriptif Variabel Dependen ... 45
2. Statistik Deskriptif Variabel Dependen dan Independen ... 48
C. Uji Kualitas Instrumen dan Data ... 50
1. Uji Validitas ... 55
2. Uji Reliabilitas ... 55
D. Uji Asumsi Klasik ... 57
1. Uji Normalitas Data ... 57
2. Uji Multikolinearitas... 58
3. Uji Heteroskedastisitas ... 58
F. Pembahasan ... 63
1. Ethical Climate Terhadap Niat Melakukan Tindakan Whistleblowig ... 64
2. Locus of Control Internal Terhadap Niat Melakukan Tindakan Whistleblowing ... 65
3. Komitmen Organisasi Terhadap Niat Melakukan Tindakan Whistleblowing ... 67
4. Personal Cost Terhadap Niat Melakukan Tindakan Whistleblowing ... 68
5. Keseriusan Pelanggaran Terhadap Niat Melakukan Tindakan Whistleblowing ... 70
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN 71 A. Kesimpulan ... 71
B. Implikasi ... 72
C. Keterbatasan ... 72
D. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 2.1 Tipe Iklim Etis Victor Dan Cullen (1998) ... 12
Tabel 2.2 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu ... 16
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Pengisian Kuesioner ... 41
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Kantor ... 41
Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Variabel Dependen ... 45
Tabel 4.4 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 48
Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas (Initial Factor) ... 50
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas (Final Factor) ... 52
Tabel 4.7 Kesimpulan Item Kuesioner Uji Validitas ... 55
Tabel 4.8 Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas (Initial Factor) ... 55
Tabel 4.9 Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas (Final Factor) ... 56
Tabel 4.10 Kesimpulan Item Kuesioner Uji Reliabilitas ... 57
Tabel 4.11 Hasil Uji Normalitas ... 57
Tabel 4.12 Ringkasan Hasil Uji Multikolinearitas ... 58
Tabel 4.13 Hasil Pengujian Heteroskeastisitas ... 58
Gambar 2.1 Teori Perilaku Terencana ... 11
Gambar 2.1 Model Penelitian ... 25
Gambar 4.1 Karakteristik Responden Jenis Kelamin ... 41
Gambar 4.2 Karakteristik Responden Usia ... 42
Gambar 4.3 Karakteristik Responden Pendidikan ... 43
individual (locus of control internal, komitmen organisasi, personal cost), dan kondisi situasional (keseriusan pelanggaran). Objek dalam penelitian ini adalah Kantor Wilayah Kementerian Keuangan RI di Daerah Istimewa Yogyakarta dan subjek penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Kantor Wilayah Kementerian Keuangan RI di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dengan instrumen berupa kuesioner. Penelitian ini memiliki sampel 79 responden dengan pengambilan secara
convenience. Alat analisis yang digunakan adalah SPSS 22.0.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh personal cost dan keseriusan pelanggaran terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing oleh Pegawai Negeri Sipil, sedangkan ethical climate-egoism, ethical climate-benevolence, ethical climate-principle, locus of control
internal dan komitmen organisasi tidak memengaruhi niat melakukan tindakan
whistleblowing oleh Pegawai Negeri Sipil.
xiii
conditions (internal locus of control, organizational commitment, personal cost), and situational condition (seriousness of wrongdoing). The object of this research is regional office of Indonesian Ministry of Finance in Daerah Istimewa Yogyakarta. The subject of this research is civil servants who work at regional office of Indonesian Ministry of Finance in Daerah Istimewa Yogyakarta. This research uses primary data that collected by survey with instrument questionnaire. This research has sample 79 respondents which are taken using convenience method. The analysis tool applied is SPSS 22.00.
Based on the analysis, the result shows that personal cost and seriousness of wrongdoing significantly influence whistleblowing intentions, while ethical climate-egoism, ethical climate-benevolence, ethical climate-principle, internal locus of control and organizational commitment are not significant.
A. Latar Belakang
Berbagai kasus pelanggaran etika di bidang akuntansi yang melibatkan
orang internal organisasi telah terjadi di dunia. Salah satunya adalah kasus Enron
yang terjadi di Amerika. Dewan Direksi Enron telah melakukan berbagai
kecurangan berupa manipulasi akuntansi. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk
transaksi off balance sheet dan penetapan kompensasi yang tinggi bagi eksekutif perusahaan. Hal ini berarti bahwa Dewan Direksi Enron telah menyalahgunakan
kepercayaan para pemegang sahamnya dan merugikan kepentingan para
pemegang sahamnya. Kasus yang melibatkan adanya pelanggaran etika dalam
akuntansi ini memicu Sherron Watkins seorang Eksekutif Enron menjadi seorang
whistleblower dan mengungkapkan skandal tersebut. Akibat dari terungkapnya kasus tersebut adalah Enron mengalami kerugian dan kebangkrutan (Brooks dalam
Agoes dan Ardana, 2011).
Kasus-kasus yang melibatkan whistleblower juga terjadi di Indonesia, diantaranya adalah kasus Susno Duaji yang mengungkapkan adanya mafia pajak
di instansinya. Kasus ini melibatkan Gayus Tambunan seorang staf Direktorat
Jenderal Pajak. Kasus yang dialami adalah pencucian uang dan korupsi dalam
whistleblowing lainnya yang telah terjadi di Indonesia adalah Agus Condro dalam pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia dan Yohanes Wowuruntu dalam kasus
Sistem Administrasi Badan Hukum (Sumendawai, et al., 2011).
Whistleblower adalah pihak yang melaporkan adanya dugaan kecurangan, penyalahgunaan wewenang, atau ketidakpatuhan secara hukum maupun kode etik
dalam sebuah organisasi kepada publik atau pihak-pihak terkait yang berkuasa.
Cara ini terbukti lebih efektif diterapkan untuk memerangi fraud dibandingkan
internal audit, external audit, maupun internal controlling system (Sweeney, 2008).
Mengamati kasus seputar whistleblowing suatu negara, salah satunya dengan mengamati adanya kasus korupsi. Fenomena yang dapat diamati di
Indonesia saat ini adalah skandal korupsi yang masih cukup tinggi. Artinya, masih
terdapat berbagai kejahatan yang merugikan publik. Kondisi Indonesia saat ini
berdasarkan temuan Transparency International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI) 2015, Indonesia mengalami perbaikan dalam pemberantasan korupsi, namun terhambat oleh masih tingginya korupsi di sektor
penegakan hukum dan politik. Hal ini memengaruhi kepercayaan publik terhadap
pemerintahan. Dampaknya, perbaikan-perbaikan dalam tata kelola pelayanan
publik hanya mampu menaikkan skor Indonesia menjadi 36 dan menempati urutan
ke 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia secara pelan naik 2 poin dan
tersebut masih berada di bawah negara-negara tetangga seperti Singapoera,
Malaysia, dan Thailand.
Berbagai kondisi di atas adalah wujud dari adanya tata kelola pemerintahan
yang masih buruk. Hal ini berdampak pada semakin melemahnya kepercayaan
publik. Artinya, tuntutan good governance untuk berbagai organisasi menjadi lebih tinggi. Menurut UNDP, Good Governance merupakan hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam
prinsip-prinsip: partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap,
membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi
stratejik.
Dalam memenuhi adanya tuntutan penerapan good corporate governance
yang tinggi dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik
kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan
memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) (KNKG, 2008). Berdasarkan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Governance
50% orang di dalam organisasi yang mengetahui adanya kecurangan memilih
untuk diam dan tidak melakukan apapun.
Organisasi sektor publik di Indonesia yang telah menerapkan
whistleblowing system salah satunya adalah Kementerian Keuangan. Peraturan mengenai whistleblowing system ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.09/2010 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
149/KMK/2011. Sistem ini diharapkan mampu menjadi satu sarana untuk
melaporkan dugaan adanya pelanggaran dan/ atau ketidakpuasan terhadap
pelayanan yang dilakukan/ diberikan oleh pejabat/ pegawai Kementerian
Keuangan.
Suatu sistem yang baik tidak akan berdampak apapun apabila tidak ada
subyek yang melakukakannya. Peran aktif dari individu inilah yang menentukan
efektif tidaknya suatu sistem. Seorang calon whistleblower dimungkinkan menghadapi dilema etis dalam memutuskan melakukan tindakan whistleblowing. Bagi sebagian orang perilaku ini dianggap menciderai loyalitas dalam organisasi,
namun di sisi lain juga dipandang sebagai penyelamatan terhadap organisasi
(Bagustianto dan Nurkholis, 2015). Dengan demikian, perlu diketahui determinan
individu memutuskan melakukan tindakan whistleblowing.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kondisi organisasional, seperti
2013; Ahmad, et al., 2012), personal cost (Akbar, et al., 2016; Bagustianto dan Nurkholis, 2015; Setyawati, et al.,2015; Aliyah, 2015; Winardi, 2014; Septianti, 2013; Alleyne, 2013; Kaplan dan Whitecotton, 2001), dan kondisi situasional
seperti keseriusan pelanggaran (Bagustianto dan Nurkholis, 2015; Setyawati, et al.,2015; Aliyah, 2015; Septianti, 2013; Kaplan dan Whitecotton, 2001) merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap niat sesorang untuk
melakukan tindakan whistleblowing.
Sejauh ini telah banyak penelitian tentang whistleblowing, namun masih minim dilakukan di Indonesia, khususnya dalam organisasi sektor publik.
Penelitian di Indonesia dalam lingkungan organisasi sektor publik sebagian besar
dilakukan untuk instansi seperti BPK dan KAP serta belum pernah dilakukan di
instansi Kementerian keuangan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini perlu
dilakukan untuk menguji kembali faktor-faktor tersebut di lingkungan
Kementerian keuangan agar memperoleh hasil yang lebih pasti.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Bugustianto dan Nurkholis (2015)
yang berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Minat Pegawai Negeri Sipil
(PNS) Untuk Melakukan Tindakan Whistleblowing (Studi Pada PNS BPK RI)”.
Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini menambahkan variabel kondisi
B. Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini meneliti variabel independen kondisi organisasional berupa iklim
etis organisasi yang terdiri dari ethical egoism, ethical climate-benevolence, dan ethical climate-principle, kondisi individual yang terdiri dari
locus of control internal, komitmen organisasi, dan personal cost, serta kondisi situasional berupa keseriusan pelanggaran.
2. Sampel penelitian yang digunakan adalah Pegawai Negeri Sipil Kementerian
Keuangan Republik Indonesia yang bekerja di kantor-kantor Kementerian
Keuangan Republik Indonesia di D.I Yogyakarta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah ethical climate-egoism berpengaruh negatif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
2. Apakah ethical climate-benevolence berpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
3. Apakah ethical climate-principle berpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
5. Apakah komitmen organisasiberpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri
Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
6. Apakah personal cost berpengaruh negatif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
7. Apakah keseriusan pelanggaranberpengaruh positif terhadap niat Pegawai
Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh negatif ethical climate-egoism
terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
2. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh positif ethical climate-benevolence
terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
3. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh positif ethical climate-principle
terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
4. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh positif locus of control
internalterhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
5. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh positif komitmen
organisasiterhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan
whistleblowing.
7. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh positf keseriusan pelanggaran
terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
E. Manfaaat Penelitian
1. Manfaaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya penelitian-penelitian tentang
whistleblowing yang masih terhitung sedikit di Indonesia. Selain itu dapat dijadikan referensi dan literatur untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan mampu mendorong para Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan Kementerian Keuangan RI untuk mengungkapkan kasus-kasus
terkait whistleblowing. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam penerapan whistleblowing system di lingkungan Kementerian Keuangan RI. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai rujukan organisasi lain
A. Landasan Teori
1. Teori Perilaku Prososial (Prosocial Behaviour Theory)
Brief dan Motowidlo (1986) mendeskripsikan teori perilaku
prososial sebagai perilaku anggota dalam organisasi untuk ditujukan
kepada individu, kelompok, atau organisasi tempat mereka berinteraksi dan
mematuhi peraturan organisasi serta dilakukan dengan intensi
meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau organisasi tersebut.
Menurut Dozier dan Miceli (1985) whistleblowing adalah bentuk dari perilaku prososial yang berkaitan dengan perilaku egois dan altruistik.
Dengan kata lain, tindakan whistleblowing tidak sepenuhnya merupakan tindakan altruistik karena juga ditujukan untuk mencapai keuntungan
pribadi.
Teori perilaku prososial memiliki variabel anteseden yang dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu individual anteseden dan kontekstual
anteseden. Individual anteseden berkaitan dengan aspek-aspek yang berasal
dari dalam diri pelaku. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah
kemampuan individu memandang tanggung jawabnya terhadap lingkungan
sosial, kemampuan individu menginternalisasi standar keadilan, serta
orang lain. Kontekstual anteseden berkaitan dengan aspek-aspek dari
organisasi dan lingkungan organisasi. Aspek-aspek tersebut diantaranya
adalah peraturan, norma, kelompok, panutan, tipe kepemimpinan, iklim
organisasi, tekanan, komitmen organisasi, dan hal-hal lain yang
memengaruhi tingkat kepuasan seseorang (Brief dan Motowidlo, 1986).
Brennan dan Kelly dalam Ahmad (2012) mendefinisikan model
intervensi Latane dan Darley’s (1968) yang menghubungkan pendekatan
prososial terhadap whistleblowing. Model tersebut menggambarkan tawaran kepada orang di sekitar untuk membantu dalam kondisi yang
darurat. Ada lima langkah dalam proses pengambilan keputusan terhadap
tindakan whistleblowing. Pertama, bystander harus berhati-hati terhadap suatu kejadian. Kedua, bystander harus memutuskan bahwa kejadian tersebut darurat. Ketiga, harus memutuskan bahwa dia bertanggungjawab
untuk membantu. Keempat, harus memilih cara membantu yang paling
tepat. Kelima, mengimplementasikan intervensi. Pada kondisi tersebutlah
seorang calon whistleblower akan mengalami dilema etis.
2. Teori Perilaku Terencana (Planned Behaviour Theory)
Planned Behaviour Theory merupakan teori dalam psikologi yang dikemukakan oleh Ajzen pada tahun 1985. Teori ini menghubungkan
antara keyakinan dengan perilaku. Teori ini menjelaskan bagaimana minat
terhadap perilaku dan perilaku dapat dibentuk. Minat terhadap perilaku
Attitude toward the
behavior
Subjective Norm
Perceived Behavioral
Control
Behavior Intentions
atau dapat diasumsikan sebagai suatu yang mendahului tindakan. Tindakan
dapat diartikan sebagai respon yang tampak dari individu sehubungan
dengan target yang diberikan.
Gambar 2.1 Theory of Planned Behavior
Lebih lanjut, Ajzen (1991) merumuskan tiga prediktor pembentuk
perilaku. Pertama adalah sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), merupakan evaluasi positif atau negatif individu mengenai kinerja diri pada perilaku tertentu. Konsep ini sejauh mana kinerja dari
perilaku yang positif atau negatif dihargai. Hal ini ditentukan oleh total set
keyakinan perilaku yang menghubungkan perilaku untuk berbagai hasil
dan atribut lainnya. Kedua, norma subyektif (subjective norm), merupakan persepsi individu tentang perilaku tertentu yang dipengaruhi oleh penilaian
Ketiga, persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral control), merupakan kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku tertentu. Hal ini
diasumsikan bahwa dirasakan kontrol perilaku ditentukan oleh total set
kontrol keyakinan.
3. Ethical Climate Work Theory
Ethical climate work theory merupakan teori yang dikembangkan oleh Victor dan Cullen (1988) sebagai pengembangan teori moral kognitif.
Terdapat dua dimensi dari teori ini, yaitu ethical approach dimension dan
ethical referent dimension.
Tabel 2.1 Tipe Iklim Etis Victor dan Cullen (1998)
Ethical Criteria Locus of Analysis
Individual Local Cosmopolitan
Egoism Self-interest Company Profit Efficiency
Benevolence Friendship Team interest Social responsibility Principle Personal
morality pengambilan keputusan ialah menggunakan pendekatan etis, yang terdiri
dari tiga macam, yaitu egoism, benevolence, dan principle. Organisasi dengan karakteristik egoism, anggota organisasi cenderung memertimbangkan keuntungan pribadi ketika dihadapkan pada dilema etis.
memertimbangkan kesejahteraan orang lain. Organisasi dengan tipe
principle, anggota organisasi akan cenderung memertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan peraturan dan hukum.
Dimensi kedua ethical climate work theory yaitu menggunakan pendekatan lokus analisis, terdiri dari: individual, lokal, dan cosmopolitan.
Pada lokus analisis individual, dasar pengambilan keputusan dalam dilema etis adalah keyakinan moral individu. Pada lokus analisis local didasarkan pada ekspektasi yang datang dari organisasi seperti kode etik dalam
organisasi. Pada lokus analisis cosmopolitan didasarkan dari luar individu dan organisasi, seperti kode etik yang dikeluarkan oleh asosiasi profesional
yang menaungi organisasi tersebut.
Tabulasi dari kedua dimensi tersebut menghasilkan teori ethical climate. Lebih jelasnya, pada tipe egoism dengan lokus analisis individual
menandakan bahwa anggota organisasi membuat keputusan dengan lebih
dipengaruhi oleh keuntungan pribadi (self interest). Pada lokus analisis
local, akan memertimbangkan keuntungan bagi organisasi (company profit). Pada lokus analisis cosmopolitan memertimbangkan keuntungan yang lebih luas (efficiency). Sementara itu, dalam konteks tipe benevolence,
pada lokus analisis individual akan memertimbangkan orang lain (friendship). Pada lokus analisis local, memertimbangkan kebersamaan tim
(team play). Pada lokus analisis cosmopolitan akan memertimbangkan hal lain di luar organisasi (social responsibility). Terakhir, dalam konteks tipe
yang berpedoman pada etika moral personal. Pada lokus analisis local, sumber moral berada pada organisasi seperti aturan dan regulasi. Pada
lokus analisis cosmopolitan, sumber moral berasal dari luar organisasi (hukum, kode etis).
Whistleblowing erat hubungannya dengan dilema etis. Hal ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini akan
digunakan tabulasi kedua dimensi di atas untuk menganalisis niat
melakukan tindakan whistleblowing.
4. Whistleblowing
Whistleblowing merupakan suatu tindakan pengungkapan adanya pelanggaran maupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum,
perbuatan tidak etis/ tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat
merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh
anggota atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau
lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.
Tindakan ini harus didukung melalui bukti, informasi, atau indikasi yang
jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri
atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai, laporan akan sulit
untuk ditindaklanjuti. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara
perusahaan tertentu (grievance) ataupun didasari kehendak buruk/ fitnah(KNKG, 2008).
Menurut Keraf dalam Agoes dan Ardana (2011) whistleblowing
dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Whistleblowing internal
Pengungkapan pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan atau
anggota organisasi yang ditujukan kepada atasan/ pihak lain dalam
organisasi tempat terjadinya pelanggaran.
b. Whistleblowing eksternal
Pengungkapan pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan atau
anggota organisasi kepada publik atau pihak lain di luar organisasi
tempat terjadinya pelanggaran.
B. Penelitian Terdahulu
Bagustianto dan Nurkholis (2015) melakukan penelitian terhadap para
Pegawai Negeri Sipil unit kerja di instansi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penelitian tersebut berhubungan dengan sikap, komitmen organisasi, personal cost, keseriusan pelanggaran dan intensi melakukan whistleblowing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap memiliki nilai koefisien pengaruh yang
paling tinggi dalam menjelaskan tindakan seseorang melakukan
whistleblowing.
Penelitian di kalangan sektor publik sebelumnya juga pernah dilakukan
Transaksi Keuangan (PPATK). Penelitian tersebut menguji alasan seseorang
melakukan tindakan whistleblowing. Septianti menemukan bahwa selain faktor orgnisasional, individual, dan situasional ternyata terdapat faktor demografi
yang turut memengaruhi adanya tindakan whistleblowing. Penelitian mengenai
whistleblowing juga dilakukan oleh Ahmad, et al. (2012) dan Setyawati, et al.
(2015). Secara ringkas, penelitian-penelitian terdahulu disajikan dalam tabel di
bawah ini:
Tabel 2.2
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
Peneliti Variabel Responden Hasil
Bagustianto
Variabel Terikat Pegawai PPATK
yang menduduki
Peneliti Variabel Responden Hasil
- Status of wrongdoer
- Ethnic group
1. Ethical Climate dan Whistleblowing
Ethical climate atau iklim etis suatu organisasi dapat diartikan sebagai kondisi lingkungan organisasi yang menyebabkan anggota dalam
organisasi memandang dan menyikapi suatu peristiwa. Terdapat tiga
macam iklim dari suatu organisasi, yaitu: egoism, benevolence, dan
principle.
dengan ethical climate-principle yang berhasil memengaruhi intensitas seseorang melakukan tindakan whistleblowing. Sementara itu, kedua
ethical climate lainnya tidak memengaruhi intensitas tindakan
whistleblowing.
Organisasi dengan ethical climate-egoism, anggota dalam organisasi akan menyikapi suatu peristiwa dengan memertimbangkan keuntungan
bagi dirinya sendiri. Mereka cenderung memaksimalisasi kesejahteraan
untuk dirinya atau ingin mendapat penghargaan secara pribadi. Menurut
Cullen, et al. (2003) anggota organisasi dengan iklim etis egoism akan menguji suatu kondisi dengan pertanyaan apakah akan menentukan
keuntungan dirinya tanpa memerhatikan efeknya kepada orang lain.
Whistleblowing akan dipandang sebagai tindakan yang tidak memberi keuntungan besar bagi personal dan lebih berdampak ke orang lain serta
organisasi. Anggota organisasi dengan karakter egoism akan memandang bahwa organisasi mengizinkan mereka untuk memaksimalkan
kepentingan pribadi, sehingga selama tindakan whistleblowing tidak berdampak baik kepada individu, mereka cenderung tidak akan
melakukannya. Organisasi dengan karakteristik egoism yang tinggi, anggota organisasi akan cenderung tidak melakukan tindakan
whistleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
Di organisasi dengan ethical climate-benevolence, anggota organisasi akan menyikapi suatu peristiwa dengan memerhatikan
kesejahteraan bagi orang lain. Mereka akan menolak suatu kondisi yang
tidak etis dengan memerhatikan orang lain, organisasi, dan permasalahan
yang melanggar ketentuan dari organisasi tersebut. Whistleblowing akan dipandang sebagai suatu cara untuk menyelamatkan orang lain, organisasi,
dan nilai-nilai dalam organisasi itu sendiri. Organisasi dengan karakteristik
benevolence yang kuat, anggota organisasi akan cenderung melakukan tindakan whistleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
H2: Ethical climate – benevolence berpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
Organisasi dengan ethical climate-principle, anggota di dalam organisasi akan menyikapi peristiwa dengan memertimbangkan
prinsip-prinsip yang umum seperti hukum, peraturan, dan standar. Ketika
anggota atau rekan organisasi terlibat dalam perilaku tidak etis, mereka
berani untuk berbeda pendapat. Artinya, anggota organisasi lain akan
memertimbangkan kebijakan di dalam organisasi dan peraturan yang
menaungi organisasi tersebut untuk memutuskan etis tidaknya suatu
tindakan. Apabila hal tersebut bertentangan dengan kebijakan dan
etis. Berdarsakan hal tersebut mereka akan mengambil keputusan salah
satunya adalah melakukan tindakan whistleblowing. Organisasi dengan
ethical climate-principle yang tinggi, anggota organisasi akan cenderung melakukan tindakan whitleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
H3: Ethical climate – principle berpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
2. Locus of Control Internal dan Whistleblowing
Locus of control merupakan konsep dalam psikologi personal yang dikenalkan oleh Julian B Rotter pada tahun 1954. Dapat dideskripsikan
sebagai keyakinan individu mengenai dapat tidaknya mengendalikan
kejadian-kejadian yang memengaruhi mereka.
Terdapat dua macam locus of control, yaitu internal dan eksternal.
Locus of control internal berkaitan dengan persepsi individu bahwa ia mampu mengendalikan apa yang ada di lingkungannya, sedangkan locus of control eksternal mengacu bahwa segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya dikendalikan oleh lingkungan itu sendiri.
Berkaitan dengan whistleblowing, seorang dengan locus of control
kendali dari lingkungan sehingga ia tidak mampu mengendalikannya
(Septianti, 2013).
Locus of control telah diteliti oleh Ghani (2013), Septianti (2013) dan Ahmad, et al. (2012) namun ketiganya tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh locus of control terhadap tindakan whistleblowing. Menurut Septianti (2013) hal tersebut disebabkan adanya persepsi
whistleblower potensial yang rendah terhadap efficacy potensial dari tindakan pelaporan pelanggaran dan adanya ancaman pembalasan serupa
dari pelanggar. Berdasarkan penjelelasan tersebut, peneliti mengajukan
hipotesis:
H4: Locus of control internal berpengaruh positif terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
3. Komitmen Organisasi dan Whistleblowing
Organizational commitment didefinisikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu
(Porter, et al., 1979). Anggota organisasi dengan komitmen yang tinggi ditandai dengan tiga hal. Pertama, keyakinan tinggi dan penerimaan
terhadap visi, misi, dan nilai-nilai dalam organisasi. Kedua, kesiapan
bekerja keras atas nama keperluan organisasi. Ketiga, keinginan yang
tinggi untuk memertahankan keanggotaan dalam organisiasi atau dengan
Anggota organisasi dengan komitmen yang tinggi akan
memerhatikan tujuan organisasi dalam pengambilan keputusan etisnya.
Mereka akan melakukan perbuatan-perbuatan yang mampu membantu
organisasi mewujudkan tujuannya. Mereka juga cenderung menghindari
hal-hal yang mampu menghambat pencapian organisasi tersebut. Suatu
tindakan dianggap benar apabila mampu melindungi tujuan-tujuan
organisasi.
Penelitian Septianti (2013), Setyawati, et al. (2015), Aliyah (2015), Kreshastuti (2014), Ahmad, et al. (2012) menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh antara komitmen organisasi dengan keputusan tindakan
whistleblowing. Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, Bagustianto dan Nurkholis (2015) menemukan bukti empiris bahwa
anggota organisasi dengan komitmen yang tinggi akan cenderung
memuutuskan melakukan tindakan whistleblowing. Berdasarkan penjelelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
H5: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap niat
Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan whistleblowing.
4. Personal Cost dan Whistleblowing
Graham (dalam Zhuang, 2003) yang dikutip Septianti (2013)
cost ini tentunya berbeda-beda, namun menurut Miceli dan Near (2005) dalam Bagustianto dan Nurkholis (2015) hal yang berkaitan tentang
keseragaman pembalasan dapat ditelusuri.
Anggota organisasi yang memandang tinggi personal cost akan beranggapan bahwa dengan melakukan tindakan whistleblowing, ia akan menerima konsekuensi yang buruk. Mereka akan kehilangan pekerjaan
dan dikeluarkan dari organisasi. Individu jenis ini biasanya adalah
mereka yang merasa tidak memiliki daya memengaruhi orang lain dan
tidak memiliki kekuasaan dalam organisasi. Artinya, semakin tinggi
persepsi seseorang terhadap personal cost, maka semakin rendah niat untuk melakukan tindakan whistleblowing.
Kaplan dan Whitecotton (2001) menemukan bukti empiris bahwa
salah satu prediktor minat melakukan tindakan whistleblowing oleh para auditor terhadap auditor lainnya atas pelanggaran aturan profesional
adalah personal cost. Aliyah (2015) menemukan bahwa personal cost
berpengaruh negatif terhadap tindakan whistleblowing. Berbeda dengan penelitian tersebut, Septianti (2013), Bagustianto dan Nurkholis (2015),
Taufiq,et al. (2016) serta Winardi (2014) menunjukkan bahwa personal cost tidak berhasil menjadi salah satu determinan seseorang melakukan tindakan whistleblowing. Berdasarkan penjelelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
5. Keseriusan Pelanggaran dan Whistleblowing
Ahmad (2012) menyebutkan bahwa Keseriusan Pelanggaran mirip
dengan salah satu dari model intensitas moral yang dikembangkan oleh
Jones (1991). Keseriusan pelanggaran dapat didefinisikan sebagai efek
yang mungkin ditimbulkan dari adanya suatu pelanggaran baik secara
ukuran finansial maupun non finansial. Artinya, dalam mengetahui
tingkat keseriusan ini dapat dilakukan secara kuantitatif maupun
kualitatif. Septianti (2013) dan Ahmad (2012) menggunkan pendekatan
kuantitatif untuk mengukur tingkat keseriusan pelanggaran. Berbeda
dengan Putra (2015) yang menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian Septianti (2013), Setyawati, et al. (2015), Bagustianto dan Nurkholis (2015) menemukan bukti bahwa tingkat keseriusan
berpengaruh terhadap niat melakukan whistleblowing. Hasil ini berbeda dengan penelitian Kaplan dan Whitecotton (2001) yang menemukan
bukti empiris bahwa tidak terdapat hubungan antara persepsi penilaian
keseriusan dengan minat auditor untuk melaporkan perilaku
mencurigakan sesama rekan auditornya. Penelitian Aliyah (2015) juga
menemukan bukti empiris bahwa tingkat keseriusan pelanggaran tidak
berpengaruh terhadap niat untuk melakukan tindakan whistleblowing.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengajukan hipotesis:
H7: Tingkat keseriusan pelanggaran berpengaruh positif
terhadap niat Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan
D. Model Penelitian
Kondisi Situasional
Keseriusan Pelanggaran Kondisi Individual
Komitmen Organisasi
Personal Cost
Locus of Control Internal Kondisi Organisasional
Ethical Climate-Benevolence Ethical Climate-Principle Ethical Climate- Egoism
Niat
Melakukan Tindakan
Whistleblowing
-
-
+ +
26 A. Obyek/ Subyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Kantor Wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini
adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian keuangan yang berada
di kantor wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Jenis Dan Sumber Data
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Data
yang digunakan merupakan data primer. Data primer merupakan sumber data
penelitian yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari sumbernya
(Sugiyono, 2010). Data dalam penelitian ini diperoleh peneliti menggunakan
instrumen berupa kuesioner yang diberikan kepada responden. Menurut
Sekaran (2013) kuesioner adalah satu set pertanyaan yang disusun secara tertib
dan terstruktur untuk mencatat jawaban dari responden. Data primer dalam
C. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
convenience sampling. Menurut Sekaran (2013) convenience sampling
merupakan metode yang digunakan dalam pengambilan sampel dengan
memertimbangkan kemudahan akses pengumpulan informasi serta faktor
kedekatan dengan peneliti.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode survei
dengan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner terdiri dari lima bagian. Bagian
pertama terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai kesesuaian ethical climate-egoism, ethical climate-benevolence, dan ethical climate-principle.
Bagian kedua mengenai kesesuaian locus of control internal. Bagian ketiga mengenai kesesuaian komitmen organisasi. Bagian keempat berisi skenario
whistleblowing untuk menjawab tiga pertanyaan, yaitu personal cost, keseriusan pelanggaran, dan niat melakukan tindakan whistleblowing. Bagian kelima mengenai informasi pengisi keuesioner. Kuesioner dilengkapi dengan
petunjuk pengisian secara sederhana untuk mengarahkan responden agar dapat
mengisinya dengan mudah dan sederhana.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan menyebarkan
kuesioner secara langsung ke kantor-kantor Kementerian Keuangan di Daerah
Istimewa Yogyakata. Kuesioner yang dibagikan akan diambil maupun
E. Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini melibatkan 8 variabel yang terdiri dari 1 variabel dependen
(terikat) dan 7 variabel independen (bebas). Variabel dependen merupakan
variabel yang menjadi fokus peneliti, sedangkan variabel independen adalah
variabel yang tidak dipengaruhi oleh variabel lain (bebas) (Sugiyono, 2010).
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah niat untuk melakukan tindakan
whistleblowing. Variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari ethical climate-egoism, ethical climate-benevolence, ethical climate-principle, locus of control internal, komitmen organisasi, personal cost, dan keseriusan pelanggaran.
1. Variabel Dependen
a. Niat melakukan tindakan whistleblowing
Niat dapat didefinisikan sebagai dorongan dalam diri individu
untuk melakukan suatu tindakan, niat dapat dikaitkan pula dengan
intensitas. Intensitas untuk melakukan whistleblowing merupakan perwujudan adanya keseriusan pada situasi tertentu dan tanggung
jawab untuk mengungkapkan pelanggaran serta konsekuensi buruk
yang mungkin diterima sebagai akibat pengungkapan tersebut (Ghani,
2013).
Pegukuran variabel niat melakukan tindakan whistleblowing
Kasus pertama berkaitan dengan penyalahgunaan aset. Kasus kedua
berkaitan dengan korupsi. Kasus ketiga berkaitan dengan kecurangan
pelaporan. Responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
kuesioner tersebut dengan skala likert 5.
2. Variabel Independen
a. Ethical climate
Ethical climate atau iklim etis suatu organisasi dapat diartikan sebagai kondisi lingkungan organisasi yang menyebabkan anggota
dalam organisasi memandang dan menyikapi suatu peristiwa. Terdapat
tiga jenis iklim organisasi, yaitu: egoism, benevolence, dan principle.
Variabel ethical climate dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Ethical Climate Questionnare (ECQ) yang dikembangkan oleh Victor dan Cullen dan terdiri dari 12 pertanyaan
setelah dimodifikasi. Pengembangan dari kuesioner ini dalam
penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Ahmad (2011) dan
Setyawati, et al.,(2015). ECQ digunakan untuk mengukur tiga faktor iklim organisasi, yaitu: egoism, benevolence, dan principle. Responden diminta untuk menjawab kuesioner menggunakan skala likert 5.
b. Locus of control internal
sebagai keyakinan individu mengenai dapat tidaknya mengendalikan
kejadian-kejadian yang memengaruhi mereka.
Instrumen pengukuran locus of control menggunakan model kuesioner yang dikembangkan oleh Rotter dengan dimodifikasi.
Kuesioner terdiri dari 16 pertanyaan dengan 8 pertanyaan terbalik.
Kuesioner tersebut menggunakan lima skala likert. Jumlah skor yang
tinggi (sangat setuju sekali) mengindikasi adanya locus of control
internal dalam diri personal, sedangkan jumlah skor yang kecil (sangat
tidak setuju) mengindikasi jenis locus of control eksternal.
c. Komitmen organisasi
Komitmen organisasi didefinisikan sebagai kekuatan relatif dari
identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu (Porter, et al., 1979). Komitmen organisasi mencakup tiga dimensi. Pertama, keyakinan tinggi dan persetujuan diri terhadap visi, misi, dan nilai-nilai
organisasi. Kedua, kesiapan untuk bekerja keras atas nama keperluan
organisasi. Ketiga, keinginan yang tinggi untuk memertahankan
keanggotaan dalam organisiasi atau dengan kata lain disebut loyal
terhadap organisasi.
Komitmen organisasi dalam penelitian ini diiukur menggunakan
dengan 6 (enam) diantaranya adalah pertanyaan terbalik. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangai kemungkinan terjadinya bias
jawaban yang diberikan responden. Responden diminta menjawab
kuesioner dengan menggunakan 5 skala likert.
d. Personal cost
Personal cost merupakan cara pandang individu untuk menilai posisi diri mereka sendiri. Dalam penelitian ini personal cost berkaitan dengan persepsi individu atau cara pandang individu terhadap
risiko-risiko yang akan dialami apabila ia melakukan tindakan
whistleblowing, misalnya dikeluarkan dari organisasi tersebut.
Pegukuran variabel personal cost menggunakan skenario
whistleblowing yang digunakan oleh Septianti (2013). Skenario tersebut terdiri dari tiga macam kasus whistleblowing. Kasus pertama berkaitan dengan penyalahgunaan aset. Kasus kedua berkaitan dengan
korupsi. Kasus ketiga berkaitan dengan kecurangan pelaporan.
Responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kuesioner
tersebut dengan skala likert 5.
e. Keseriusan pelanggaran
Keseriusan pelanggaran dapat didefinisikan sebagai efek yang
ukuran finansial maupun non finansial. Dalam penelitian ini keseriusan
pelanggaran diukur dengan menerapkan pendekatan kuantitatif.
Pengukuran variabel ini menggunakan skenario whistleblowing
yang digunakan oleh Septianti (2013). Skenario tersebut terdiri dari
tiga macam kasus whistleblowing. Kasus pertama berkaitan dengan penyalahgunaan aset. Kasus kedua berkaitan dengan korupsi. Kasus
ketiga berkaitan dengan kecurangan pelaporan. Responden diminta
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kuesioner tersebut dengan
skala likert 5.
F. Uji Kualitas Instrumen
Uji kualitas instrumen digunakan untuk mengukur apakah instrumen
yang digunakan sudah mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (valid)
dan apakah mampu mengukur secara konsisten (reliabel). Dalam pengujian ini
dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas yang lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut:
1. Uji Validitas
Tingkat validitas akan memengaruhi hasil pengujian hipotesis.
Apabila data yang diuji tidak memenuhi kriteria validitas, maka
kesimpulan yang ditarik nantinya akan berkebalikan atau salah. Uji
validitas dilakukan guna mengukur sah tidaknya item-item pertanyaan
(indikator) dalam mengukur konstruk latennya. Pengujian validitas dalam
correlation.Item-item tersebut dinyatakan valid apabila besarnya r hitung melebihi r tabel dan bernilai positif (taraf signifikansi 0,05 atau 5%)
begitupun sebaliknya (Ghozali, 2015).
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas merupakan pengujian terhadap item-item pertanyaan
(indikator) apakah mampu menghasilkan pengukuran yang sama dalam
waktu yang berbeda-beda. Artinya, apakah hasil pengukuran tersebut
dapat dikatakan konsisten atau tidak. Uji ini dilakukan untuk memastikan
bahwa kesimpulan penelitian yang nantinya diambil adalah tepat.
Di dalam penelitian ini, untuk menguji asumsi reliabilitas dilakukan
dengan melihat nilai cronbach's alpha pada setiap variabel. Nunnaly dalam Ghozali (2015) menyatakan bahwa reliabilitas terpenuhi apabila
besarnya nilai cronbach’s alpha 0,60. Penelitian ini menggunakan asumsi kedua, reliabilitas terpenuhi apabila besarnya nilai cronbach’s alpha
G. Uji Hipotesis dan Analisis Data
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif menunjukkan gambaran pokok seputar kondisi
masing-masing variabel dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan tiga
parameter dalam menggambarkan kondisi tersebut. Ketiga parameter
tersebut yaitu: rentang skor (maksimum dan minimum), mean (nilai rata-
rata), dan median.
2. Uji Asumsi Klasik
Asumsi klasik dasar untuk model regresi terdiri dari uji normalitas
data, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Pengujian asumsi
klasik digunakan untuk mengetahui apakah data telah memenuhi syarat uji
normalitas data, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas
(Nazarudin dan Basuki, 2016). Data yang memenuhi ketiga pengujian
tersebut berarti model regresi memenuhi kelayakan.
a. Uji normalitas data
Uji Normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual
terdistribusi normal atau tidak (Nazarudin dan Basuki, 2016). Uji ini
berguna untuk mengetahui bahwa data yang diambil atau
dikumpulkan untuk model regresi antara peubah bebas X terhadap
variabel terikatnya (Y) berasal dari populasi normal. Pengujian
a) Jika nilai sig ≥ 0,05, maka residual menyebar normal, artinya
asumsi normalitas untuk model regresi terpenuhi.
b) Jika nilai sig < 0,05 maka residual menyebar tidak normal,
artinya asumsi normalitas untuk model regresi tidak terpenuhi.
b. Uji multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk menguji ada tidaknya
hubungan linear antara peubah bebas X dalam model regresi
berganda. Apabila hubungan antara peubah bebas X dalam regresi
berganda adalah korelasi sempurna, maka peubah-peubah tersebut
berkolinearitas ganda sempurna (perfect multicollinearity)
(Nazarudin dan Basuki, 2014). Model regresi yang baik harus
mampu menunjukkan tidak adanya hubungan linear antar peubah
bebas X. Adapun kriteria penilaian terjadinya multikolinearitas
dapat dilakukan dengan mengamati:
1) Besarnya hubungan linear (korelasi) antar peubah bebas X
dengan pendekatan sebagai berikut:
a) Apabila koefisien korelasi antar peubah bebas X berada di
bawah 0,90 (90%) maka korelasi tersebut lemah yang
berarti tidak terjadi multikol.
b) Apabila koefisien korelasi antar peubah bebas X berada di
atas 0,90 (90%), maka korelasi tersebut kuat dan berarti
2) Nilai Variance Inflaation Factors (VIF)
Nilai cutoff yang digunakan dan dipakai untuk menandai adanya faktor-faktor multikolinearitas adalah nilai VIF ≥ 10
atau sama dengan tolerance ≤ 0,10. Multikolineraritas terjadi
apabila nilai VIF lebih besar dari 10, dan sebaliknya.
c. Uji heteroskedastisitas
Nazarudin dan Basuki (2014) mendefinisikan
heteroskedastisitas sebagai adanya ketidaksamaan varian dari
residual untuk semua pengamatan. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui adanya penyimpangan dari syarat-syarat asumsi klasik
pada model regresi. Model regresi harus mampu memenuhi syarat
tidak adanya heteroskedastisitas.
Menilai heterokedastisitas dapat dilakukan dengan
memerhatikan plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED)
terhadap residualnya (SRESID). Dengan melihat grafik scatter plot, apabila terjadi pola khusus seperti kumpulan titik yang
menghasilkan pola konsisten, maka terjadi heterokedastisitas.
Sebaliknya, jika pola yang terbentuk dari sekumpulan titik tersebut
3. Uji Hipotesis (Model Regresi)
Model pengujian yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression). Alat analisis ini digunakan karena menguji pengaruh beberapa variabel independen terhadap satu variabel dependen.
Persamaan regresi penelitian ini sebagai berikut:
WB = α-β1ETIE+ β2ETIB+ β3ETIP+β4LOCUS+β5KO-β6PC+β7KP+e
Keterangan:
WB : Niat Melakukan TindakanWhistleblowing
α : Alpha
β : Koefisien regresi
ETIE : EthicalClimate-Egoism
ETIB : EthicalClimate-Benevolence
ETIP : EthicalClimate-Principle
LOCUS : Locus of Control Internal
KO : Komitmen Organisasi
PC : Personal Cost
KP : Keseriusan Pelanggaran
e : Eror
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh antara variabel- variabel
independen terhadap niat melakukan tindakan whistleblowing maka dilakukan pengujian hipotesis penelitian. Adapun jenis-jenis
a. Koefisien determinasi
Koefisien determinasi merupakan ikhtisar yang menyatakan
seberapa baik garis regresi sampel mencocokkan data. Untuk
regresi dengan variabel bebas lebih dari dua maka digunakan
Adjusted R2 sebagai koefisien determinasi untuk mengukur proporsi variasi dalam variabel dependen yang dijelaskan oleh
regresi. Nilai Adjusted R2 berkisar antara 0 sampai 1, apabila
Adjusted R2 = 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel ETIE, ETIB, ETIP, LOCUS, KO, PC, KP dengan variabel WBsedangkan
jika AdjustedR2 = 1 berarti terdapat suatu hubungan yang sempurna. Artinya, semakin mendekati angka satu, hubungannya
semakin kuat.
b. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh seluruh variabel
independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi
0,05 (α = 5%). Penerimaan hipotesis dilakukan dengan kriteria
sebagai berikut:
1) Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka hipotesis terdukung yang
berarti secara bersama-sama variabel ETIE, ETIB, ETIP,
LOCUS, KO, PC, KP berpengaruh terhadap niat melakukan
2) Jika nilai signifikansi > 0,05, maka hipotesis tidak terdukung
yang berarti secara bersama-sama variabel ETIE, ETIB, ETIP,
LOCUS, KO, PC, KP tidak berpengaruh terhadap niat
melakukan tindakan whistleblowing (WB).
c. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui kemampuan masing-masing
variabel independen secara individu (parsial) dalam menjelaskan
perilaku variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (α = 5%). Penerimaan
hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
1) Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 dan koefisien regresi searah
dengan hipotesis, maka hipotesis terdukung yang berarti
secara parsial variabel ETIE, ETIB, ETIP, LOCUS, KO, PC,
KP berpengaruh terhadap niat melakukan tindakan
whistleblowing (WB).
2) Jika nilai signifikansi > 0,05 dan koefisien regresi berlawanan
arah dengan hipotesis, maka hipotesis tidak terdukung yang
berarti secara parsial variabel ETIE, ETIB, ETIP, LOCUS,
KO, PC, KP tidak berpengaruh terhadap niat melakukan
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek/ Subyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Kantor Wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Subyek dalam penelitian ini
adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan yang
berada di kantor wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan hasil survei pada bulan Oktober-November 2016, jumlah
kuesioner yang disebar adalah sebanyak 100 kuesioner. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 90 kuesioner yang kembali. Dari 90 kuesioner, sebanyak 79
kuesioner yang dapat diproses hingga akhir, sedangkan 11 kuesioner tidak
dapat digunakan dengan rincian sebanyak 7 kuesioner tidak terisi secara
lengkap dan sebanyak 4 kuesioner dikeluarkan dari analisis karena dianggap
mengganggu normalitas keseluruhan data.
Responden berasal dari 5 kantor di berbagai kantor Kementerian
Keuangan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyumbang jumlah
responden tertinggi yaitu dari kantor wilayah perbendaharaan sebanyak
32,91%, disusul kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang serta kantor
pengawasan dan pelayanan bea dan cukai pabean II Yogyakarta dengan
masing-masing sebanyak 21,52%, kantor pelayanan perbendaharaan sebanyak
12,66% dan terakhir sekretariat gedung keuangan negara Yogyakarta sebanyak
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengisian Kuesioner
Keterangan Jumlah Presentase
Kuesioner yang disebar 100 100%
Kuesioner yang kembali 90 90%
Kuesioner yang tidak diisi lengkap 7 7%
Kuesioner yang dikeluarkan dari analisis 4 4%
Kuesioner diproses hingga akhir 79 79%
Sumber: Data Primer yang Diolah
Tabel 4.2
Karakteristik Responden Berdasarkan Kantor
Nama Kantor Jumlah
Responden
Presentase
Sekretariat Gedung Keuangan Negara, Yogyakarta 9 11,39% Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang 17 21,52% Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara 10 12,66% Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai 17 21,52%
Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara 26 32,91%,
Total 79 100%
Sumber: Data Primer yang Diolah
Gambar 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
37 Orang
42 Orang
Jenis Kelamin
Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa responden paling banyak
berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 42 responden atau 53,16%.
Sementara itu, responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 37
responden atau 46,84%. Selanjutnya, responden dengan karakteristik
berdasarkan usia dapat dilihat pada diagram berikut:
Gambar 4.2
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah responden paling tinggi
tingkat partisipasinya adalah berusia di atas 50 tahun, yaitu sebanyak 28 orang
atau 35,44%. Kemudian disusul responden dengan usia antara 40-50 tahun
sebanyak 20 responden atau 25,32%. Selanjutnya adalah usia 20-30 tahun dan
usia 30-40 tahun masing-masing 15 orang atau masing-masing 18,99%.
Sementara itu, partisipasi paling rendah adalah usia di bawah 20 tahun, yaitu
sebanyak 1 responden atau 1,27%. 1 Orang
15 Orang
15 Orang
20 Orang 28 Orang
Usia
Gambar 4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Strata Pendidikan
Diagram di atas menjelaskan tingkat partisipasi responden dilihat dari
jenjang pendidikan responden. Responden paling banyak adalah responden
berjenjang pendidikan SMA, yaitu 33 responden atau 41,77%. Berikutnya,
responden dengan jenjang pendidikan S1 yaitu sebanyak 32 responden atau
40,51%. Diikuti responden dengan jenjang pendidikan D3 yaitu sebanyak 10
responden atau 12,66%. Responden paling sedikit berjenjang pendidikan S2,
yaitu sebanyak 4 responden atau 5,06%.
33 Orang
10 Orang 32 Orang
4 Orang
Strata Pendidikan
Gambar 4.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja
Gambar di atas menunjukkan besarnya tingkat partisipasi responden
dilihat dari masa kerja. Responden terbanyak berasal dari kelompok responden
yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun, yaitu sebanyak 34 responden atau
43,04%. Kemudian responden dengan masa kerja 11-20 tahun yaitu sebanyak
23 responden atau 29,11%. Berikutnya responden dengan masa kerja 6-10
tahun yaitu sebanyak 14 responden atau 17,22%. Selanjutnya responden
dengan masa kerja 1-5 tahun yaitu sebanyak 7 responden atau 8,86%.
Responden paling sedikit yaitu memiliki masa kerja di bawah satu tahun,
sebanyak 1 responden atau 1,27%. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat
bahwa responden dengan masa kerja semakin lama menyumbang tingkat
partisipasi yang semakin tinggi.
1 Orang 7 Orang
14 Orang
23 Orang 34 Orang
LAMA BEKERJA
B. Analisis Statistik Deskriptif
1. Statistik Deskriptif Variabel Dependen
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif Variabel Dependen Variabel
Sumber: Data Primer yang Diolah
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah variabel
whistleblowing, terdiri dari whistleblowing internal dan whistleblowing
eksternal dengan masing-masing diukur berdasarkan 3 kasus.
Whistleblowing internal dalam penelitian ini adalah pelaporan yang ditujukan kepada pihak internal kantor, sedangkan whistleblowing
eksternal adalah pelaporan yang ditujukan kepada pihak eksternal kantor.
Tabel di atas menunjukkan besarnya respon dari responden berupa
besarnya tingkat kemungkinan pelaporan whistleblowing yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok jawaban responden, yaitu tingkat
pelaporan sangat rendah hingga rendah, tingkat pelaporan sedang, dan
tingkat pelaporan tinggi hingga sangat tinggi.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa whistleblowing
yang memilih tingkat pelaporan sangat rendah hingga rendah sebanyak 2
responden atau 2,5%, tingkat pelaporan sedang 14 responden atau 17,72%,
serta tangkat pelaporan tinggi hingga sangat tinggi sebesar 63 responden
atau 79,75%. Besarnya nilai rata-rata (mean) 4,241 di atas nilai median 4,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kemungkinan pelaporan
kepada pihak internal kantor pada kasus 1 tergolong tinggi.
Whistleblowing internal pada kasus 2 dengan jumlah responden 79 memiliki jumlah responden yang memberikan respon tingkat pelaporan
sangat rendah hingga rendah sebanyak 2 responden atau 2,5%, tingkat
pelaporan sedang 11 responden atau 13,92%, serta tangkat pelaporan
tinggi hingga sangat tinggi sebesar 66 responden atau 83,54%. Nilai
rata-rata whistleblowing internal pada kasus 2 adalah 4,367 dan berada di bawah nilai median 5, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat
kemungkinan pelaporan kepada pihak internal kantor pada kasus 2
tergolong rendah. Whistleblowing internal pada kasus 3 dengan jumlah responden 79 memiliki jumlah tingkat pelaporan sangat rendah hingga
rendah sebanyak 1 responden atau 1,3%, tingkat pelaporan sedang 9
responden atau 11,39%, serta tangkat pelaporan tinggi hingga sangat tinggi
sebesar 69 responden atau 87,34%. Besarnya nilai rata-rata (mean) 4,316
di atas nilai median 4, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat
kemungkinan pelaporan kepada pihak internal kantor pada kasus 3