• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. DAYASAING DAN KEUNGGULAN KOMPARATIF PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. DAYASAING DAN KEUNGGULAN KOMPARATIF PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT

5.1. Keragaan Umum Perkebunan Kelapa Sawit 5.1.1. Profil Petani Kelapa Sawit Rakyat

Petani sebagai pelaku utama kegiatan usahatani dalam mengelola usahanya dipengaruhi oleh beberapa faktor baik fisik maupun sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan hasil survei di Kabupaten Siak, profil sampel petani perkebunan kelapa sawit rakyat dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Profil Sampel Petani Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Siak Tahun 2006

Petani Plasma Petani Swadaya Uraian

Minimum Maksimum Rata-rata Minimum Maksimum Rata-Rata

Umur (tahun) 28 52 42 30 75 48

Pendidikan (tahun) 6 12 9 6 15 8 Pengalaman (tahun) 8 21 13 2 18 8 Anggota Keluarga (orang) 3 8 5 2 8 4

Umur petani kelapa sawit petani plasma bervariasi antara 28-52 tahun dengan rata-rata 42 tahun. Sementara itu umur petani kelapa sawit petani swadaya berkisar antara 30-75 tahun dengan rata-rata 48 tahun. Dengan menggunakan standar bahwa pekerja berumur 15-55 tahun merupakan pekerja yang tergolong produktif, maka dapat dinyatakan bahwa petani plasma merupakan petani yang berada pada usia produktif. Untuk petani swadaya sebanyak 10 persen dari sampel yang tergolong pada usia tidak produktif (> 55 tahun). Dengan demikian, petani kelapa sawit di Kabupaten Siak secara keseluruhan berada pada usia produktif

(2)

sehingga memiliki potensi besar baik fisik maupun mental dan naluri untuk maju dalam usaha pengembangan usahatani kelapa sawit.

Dari aspek pendidikan, petani sampel swadaya hanya tamat sekolah dasar dengan rata-rata lama pendidikan 8 tahun, dan petani sampel swadaya hanya sampai tamat SLTP dengan rata-rata lama pendidikan 9 tahun. Seluruh petani sampel yang diamati pernah menduduki pendidikan formal, paling rendah selama 6 tahun. Rendahnya pendidikan petani mengakibatkan kualitas sumberdaya petani menjadi rendah pula. Hal ini terlihat dari wawasan dan prilaku mereka dalam mengusahakan tanaman kelapa sawit. Pengusahaan tanaman kelapa sawit diusahakan dengan apa adanya (khususnya petani swadaya) tanpa perencanaan yang baik. Disamping itu, keterbatasan pengetahuan karena rendahnya pendidikan diperlihatkan dari keterbatasan pengetahuan tentang teknologi budidaya kelapa sawit, terutama yang terkait dengan penanaman (jarak tanaman yang sesuai), pemupukan, serta pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.

Pengalaman petani dalam mengusahakan tanaman kelapa sawit sudah cukup lama. Dengan demikian mereka sudah terlibat sejak masih dalam tanggungan keluarga. Adapun pengalaman petani dalam mengusahakan tanaman kelapa sawit untuk petani plasma berkisar antara 8-21 tahun dengan rata-rata 13 tahun. Dan pengalaman usahatani petani swadaya berkisar antara 2-18 tahun dengan rata-rata 8 tahun. Pengalaman berusahatani kelapa sawit yang cukup lama merupakan modal dasar untuk pengembangan usahatani kelapa sawit di wilayah Kabupaten Siak pada masa mendatang.

Dari hasil pengkajian dapat dijelaskan pula bahwa jumlah tanggungan keluarga petani plasma berkisar antara 3-8 orang untuk petani plasma dengan

(3)

rata-rata 5 orang. Adapun jumlah tanggungan keluarga petani swadaya berkisar antara 2-8 orang dengaran rata-rata 4 orang. Hal ini berarti setiap kepala keluarga menanggung kebutuhan hidup anggota keluarganya sebanyak 4 jiwa untuk petani plasma, dan 3 jiwa untuk petani swadaya. Sebanyak 80 persen anggota keluarga petani tersebut tergolong anak-anak berumur kurang dari 15 tahun, baik pria maupun wanita.

5.1.2. Kelembagaan Petani Kelapa Sawit Rakyat

Keberadaan kelembagaan pertanian diikuti dengan partisipasi aktif petani dalam kelembagaan tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya sasaran pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan pertanian yang dimaksud adalah mewujudkan perolehan produksi yang optimal melalui pengalokasian faktor produksi yang efisien sehingga pendapatan yang diperoleh petani atau perusahaan maksimum.

Ada empat kelembagaan petani kelapa sawit rakyat yang menjadi penekanan dalam studi ini. Kelembagaan petani yang dimaksud adalah kelembagaan kelompok tani dan koperasi, kelembagaan pemasaran, dan perusahaan patungan.

Menjadi anggota kelompok tani merupakan keharusan bagi petani kelapa sawit pada pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Dengan kata lain seluruh petani plasma sudah bisa dipastikan menjadi anggota kelompok tani (100 persen). Sama halnya dengan kelompok tani pada usahatani lainnya, kelompok tani pada perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR memiliki peranan utama dalam melakukan perencanaan usahatani mulai dari penyediaan sarana produksi, aktivitas produksi, sampai dengan panen dan penanganan pasca panen, serta

(4)

pemasaran. Secara spesifik kelompok tani pada perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR berperan dalam melakukan komunikasi dengan pihak inti berkaitan dengan teknis usahatani kelapa sawit dan negoisasi harga serta berbagai aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit lainnya.

Berbeda dengan petani plasma, petani kelapa sawit pola swadaya (petani swadaya) sebagian besar tidak menjadi anggota suatu kelompok tani (93.33 persen), hanya 6.67 persen yang menjadi anggota kelompok tani. Kondisi ini berimplikasi terhadap produktivitas kelapa sawit petani swadaya yang lebih rendah daripada produktivitas kelapa sawit petani plasma sehingga perolehan pendapatan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit juga menjadi rendah.

Menurut petani plasma dan swadaya yang menjadi anggota kelompok tani, banyak manfaat yang diperoleh dengan menjadi anggota kelompok tani. Pertama, manfaat dalam penyediaan sarana produksi. Kelompok tani mengorganisir petani untuk membeli pupuk dan pestisida secara kolektif sehingga sarana produksi yang dibutuhkan dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan dengan harga yang relatif lebih murah. Kedua, manfaat dalam melakukan aktivitas usahatani (pengelolaan kebun). Kelompok tani menjadi wadah bagi petani untuk bertukar pikiran dan melakukan musyawarah dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam aktivitas usahatani, misalnya masalah pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman, serta transfer teknologi dan inovasi baru dalam pembudidayaan tanaman kelapa sawit. Dan ketiga, manfaat dalam melakukan pemasaran produk dan negosiasi harga dengan pihak pembeli. Melalui lembaga kelompok tani, para petani dapat menjual TBS secara berkelompok sehingga menghemat biaya transportasi. Disamping itu petani memiliki bargaining position

(5)

(daya tawar) yang lebih kuat dalam melakukan penetapan harga jual TBS dibandingkan apabila petani menjualnya sendiri-sendiri.

Disamping harus menjadi anggota kelompok tani, petani plasma juga diharuskan untuk menjadi anggota koperasi. Hal dilakukan karena penjualan TBS petani plasma ke perusahaan inti (pabrik milik perusahaan inti) dikelola secara kolektif melalui koperasi. Oleh karenanya seluruh petani plasma menjadi anggota koperasi. Sementara itu, tidak satupun petani swadaya yang diwawancari di Kabupaten Siak yang menjadi anggota koperasi. Hal ini terjadi karena belum ada koperasi yang dibentuk dan petani swadaya kurang memahami tentang manfaat didirikannya koperasi.

Secara umum koperasi yang beroperasi di wilayah perkebunan kelapa sawit pola PIR melaksanakan beragam aktivitas, meliputi: menjual sembilan bahan pokok (sembako), menjual sarana produksi, menyediakan transportasi umum, transportasi pengangkutan TBS, dan simpan pinjam. Dengan demikian, koperasi kelapa sawit di wilayah ini sangat membantu petani plasma dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan perekebunan kelapa sawit dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam memasarkan produknya (TBS), para petani plasma seluruhnya menyatakan bahwa mereka menjual produknya ke perusahaan inti (PTP). Hal ini dilakukan karena sudah ada komitmen yang kuat dari petani plasma untuk menjual produknya ke PTP. Namun demikian petani menghadapi dua permasalahan utama berkaitan dengan pemasaran produk ke PTP. Pertama, harga TBS yang rendah atau tidak sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini. Harga TBS terendah yang diterima petani sebesar Rp 235/kg dan tetinggi Rp 896/kg,

(6)

dengan rata-rata Rp 685/kg. Dengan rata-rata harga tersebut petani tidak mampu membeli sarana produksi dalam jumlah yang cukup dan membayar upah pekerja secara layak. Menurut petani plasma harga TBS yang sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini adalah sebesar Rp 952/kg. Dan kedua, petani tidak mengetahui sistem penentuan harga TBS. Sebanyak 86.67 persen petani plasma yang menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui sistem penetapan harga TBS, hanya 13.33 persen sisanya yang mengetahui sistem penetapan harga TBS.

Di sisi lain perusahaan inti menyatakan bahwa banyak TBS plasma tidak masuk ke PKS Perusahaan Inti. Permasalahan ini muncul sejak adanya PKS tanpa kebun. Sesuai peraturan pembelian TBS, perusahaan inti harus tunduk kepada SK Menhutbun Nomor 627/Kpts-II/1998 tentang Ketentuan Penetapan Harga Pembelian TBS, dimana harga TBS ditentukan dengan rumus : HTBS = k (Rendemen CPO x Harga CPO) + ( Rendemen Kernel x Harga Kernel). Dengan munculnya PKS tanpa kebun, para petani plasma dengan mudah menjual TBS ke mereka, karena PKS tersebut tidak terikat dengan SK Menhutbun tersebut sehingga harga dapat ditentukan setiap waktu. Akibatnya pada saat harga TBS diluar tinggi petani tidak menjual TBS ke perusahaan inti sehingga PKS Perusahaan Inti mengalami idle capacity. Sebaliknya jika harga TBS di luar rendah, petani memaksakan menjual TBS ke perusahaan inti. Ustha (2005) menyatakan bahwa kondisi semacam ini sudah merupakan fenomena umum di berbagai perusahaan kelapa sawit milk negara yang menerapakan pola PIR di Indonesia.

Sementara itu, sebagian besar petani swadaya menjual produknya melalui pedagangan pengumpul (93.33 persen), dan 6,67 persen sisanya langsung menjual

(7)

ke PKS milik PTP Nusantara V. Kondisi ini menyebabkan harga TBS yang diterima oleh petani swadaya lebih rendah daripada harga TBS yang diterima petani plasma. Harga TBS terendah yang diterima petani swadaya sebesar Rp 418/kg dan tertinggi sebesar Rp 606/kg, dengan rata-rata Rp 517/kg. Sama halnya dengan petani plasma, seluruh petani swadaya menyatakan bahwa harga TBS yang mereka terima masih terlalu rendah. Menurut mereka harga TBS yang sesuai (layak) adalah sebesar Rp 780/kg.

5.1.3. Budidaya Kelapa Sawit

Salah satu unsur penting bagi keberhasilan pengelolaan usahatani kelapa sawit adalah ketersediaan sarana produksi tanaman yang mencakup benih/bibit, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang diperlukan. Ketersediaan sarana produksi ini terkait dengan kaidah enam tepat, yang terdiri dari tepat jumlah, jenis, mutu, tempat, harga dan dosis. Oleh karenanya penggunaan sarana produksi akan terkait dengan sekor hulu dan sektor hilir, sehingga kedua sektor ini sangat menentukan kelancaran pengadaan dan penyaluran sarana produksi tersebut.

Bibit kelapa sawit yang digunakan oleh petani pada umumnya berasal dari bibit unggul yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan. Untuk petani plasma seluruhnya menggunakan bibit unggul kelapa sawit yang berasal dari PPKS. Sementara itu, petani swadaya disamping banyak yang menggunakan bibit unggul dari PPKS, namun banyak pula yang menggunakan bibit hasil pembibitan sendiri yang tidak jelas kualitasnya, yang disebut juga dengan mariles (marihat lelesan). Hal ini sangat berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit yang dihasilkan oleh petani. Tidaklah mengherankan apabila

(8)

produktivitas kelapa sawit petani swadaya lebih rendah daripada produktivitas kelapa sawit petani plasma, karena petani plasma menggunakan bibit unggul sedangkan petani swadaya banyak yang menggunakan bibit mariles.

Pada umumnya petani kelapa sawit menggunakan pupuk anorganik dalam memelihara tanaman kelapa sawit. Usahatani kelapa sawit bagi petani plasma merupakan mata pencaharian utama, sedangkan hanya 43 persen petani swadaya yang menyatakan bahwa kelapa sawit merupakan mata pencaharian mereka, 57 persen sisanya menyatakan bahwa usahatani kelapa sawit merupakan pekerjaan sambilan.

(1) Sistem Pembibitan

Pembibitan yang dilakukan di kebun kelapa sawit di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem dua tahap (double stage) yaitu pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery). Penggunaan sistem dua tahap lebih menguntungkan karena (1) kemudahan dalam pengawasan dan pemeliharaan, (2) tersedianya waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembibitan utama, (3) mutu bibit lebih terjamin karena terdapat proses seleksi dan (4) seleksi yang ketat dapat mengurangi penggunaan tanah dan polibag (PPKS, 2004).

(2) Pembukaan Areal Perkebunan

Pembukaan lahan baru atau tanaman baru (TB) untuk budidaya kelapa sawit tidak memerlukan pengolahan lahan yang intensif. Sistem perakaran kelapa sawit mampu menembus lapisan tanah tanpa diolah dengan luku. Pembukaan areal perkebunan, dilakukan penebangan pohon-pohon dengan menggunakan chain saw (Risza, 1994). Setelah melakukan penebangan, dilakukan perencekan,

(9)

memancangan jalur rumpukan dan merumpuk mekanis serta pemberantasan lalang. Pemberantasan lalang dilakukan mengunakan round up sebanyak 2 liter per hektar. Apabila lahan telah siap, dilakukan penanaman bibit dengan sebelumnya melakukan pemancangan dan pembuatan lubang, dengan populasi untuk satu hektar adalah 143 tanaman.

(3) Pembangunan Penutup Tanah Kacangan

Tujuan pembangunan penutup tanah kacangan (Leguminaceae Cover Crop (LCC)) adalah untuk mengurangi erosi permukaan tanah, menambah bahan organik dan cadangan unsur hara, memperbaiki airasi, menjaga kelembaban tanah, menekan perkembangan gulma, menghemat biaya penyiangan dan biaya pemupukan, dan menekan gangguan kumbang orcyctes (Risza, 1994).

Jenis dan spesies kacangan yang digunakan di perkebunan kelapa sawit Kabupaten Siak adalah Collopogonium mucunoides (CM), Pueraria javanica (PY) dan Centrocema pubescent (CP). Ketiga spesies di atas cepat tumbuh, CM dan CP tidak tahan lama sedangkan PY tahan lama. Dalam satu hektar areal kebun kelapa sawit, digunakan CM sebanyak 3 kg per hektar, PY sebanyak 2 kg per hektar dan CP sebanyak 3 kg per hektar.

(4) Penyiangan, Merumput dan Pemupukan

Pada awal pembukaan lahan, dilakukan penyiangan dan merumput. Penyiangan dilakukan selama tiga bulan dan melakukan sport spraying/wiping sebanyak tiga rotasi dengan menggunakan round up sebanyak 0,9 liter per hektar, rodzip 0,6 kg per hektar dan Coulter sebanyak 1 liter per hektar. Pemupukan yang dilakukan pada awal pembukaan lahan adalah memupuk lubang tanam dengan pupuk Rock Phosphati (RP), memupuk tanaman kacangan dan memupuk tanaman

(10)

kelapa sawit. Besarnya pupuk RP yang digunakan untuk memupuk lubang tanam adalah 71,5 kg per hektar, sedangkan pupuk RP yang digunakan untuk campuran tanaman kacangan adalah 8 kg per hektar. Pupuk yang digunakan untuk memupuk tanaman kelapa sawit adalah pupuk ZA sebesar 0,25 kg per hektar, pupuk Muriate of Potash (MPO) sebesar 0,15 kg per hektar dan pupuk Dolomit sebesar 0,31 kg per hektar.

Pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang teratur dilakukan agar tanaman mencapai tingkat pertumbuhan yang sehat dan produktivitas yang tinggi. Penyiangan selalu dilakukan untuk mengurangi gulma-gulma yang menggangu dengan menggunakan round up, rodzip dan coulter. Di lain pihak pemupukan dilakukan untuk meningkatkan unsur hara di dalam tanah. Pupuk yang digunakan pada tanaman belum menghasilkan) TBM adalah pupuk ZA, pupuk RP, pupuk MOP, Kieserite dan Borate.

(5) Pemangkasan Daun

Pemangkasan daun bertujuan untuk memperoleh tanaman yang bersih, jumlah daun yang optimal dan memudahkan panen. Terdapat tiga jenis pemangkasan sebagai berikut.

• Pemangkasan pasir

Membuat daun kering, buah pertama atau buah busuk waktu tanaman berumur 16-20 bulan.

• Pemangkasan produksi

Memotong daun-daun yang tumbuhnya saling menumpuk (songgo dua) sebagai persiapan panen pada waktu tanaman berumur 20-28 bulan.

(11)

Membuang daun-daun songgo dua secara rutin, sehingga pada pokok tanaman hanya terdapat sejumlah 28-54 helai.

(6) Kastrasi Bunga

Kastrasi adalah pembuangan bunga, baik bunga jantan maupun bunga betina sebelum areal tersebut dipolinasi. Kastrasi bertujuan untuk merangsang pertumbuhan vegetatif dan menghilangkan sumber infeksi hama penyakit. Kastrasi pada tanaman kelapa sawit dilakukan sejak tanaman mengeluarkan bunga yang pertama sampai tanaman berumur 33 bulan, yaitu enam bulan sebelum panen, pada saat dimulai penyerbukan buatan. Pada saat kastrasi dihentikan bunga yang paling tua telah berada kurang lebih 30 cm di atas tanah (Risza, 1994)

(7) Penyerbukan Buatan

Bunga jantan dan betina pada tanaman kelapa sawit letaknya terpisah dan masaknya tidak bersamaan sehingga penyerbukan alami kurang intensif. Untuk mengoptimalkan jumlah tandan yang berbuah, dilakukan penyerbukan buatan oleh manusia atau oleh serangga.

a. Penyerbukan oleh manusia

Dilakukan saat tanaman berumur 2-7 minggu pada bunga betina yang sedang represif (bunga betina siap untuk diserbuki oleh serbuk sari jantan). Ciri bunga represif adalah kepala putik terbuka, warna kepala putik kemerah-merahan dan berlendir. Cara penyerbukan adalah sebagai berikut.

• Bak seludang bunga.

• Campurkan serbuk sari dengan talk murni (1:2). Serbuk sari diambil dari pohon yang baik dan biasanya sudah dipersiapkan di laboratorium.

(12)

• Semprotkan serbuk sari pada kepala putik dengan menggunakan baby duster/puffer.

b. Penyerbukan oleh Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit (SPKS)

Serangga penyerbuk Elaeidobius camerunicus tertarik pada bau bunga jantan. Serangga dilepas pada saat bunga betina sedang represif. Keunggulan cara di atas adalah tandan buah lebih besar, bentuk buah lebih sempurna, produksi minyak lebih besar 15 persen dan produksi inti meningkat sampai 30 persen. Namun demikian, cara tersebut juga memiliki kekurangan, yakni buah sulit rontok dan tandan buah harus dibelah dua dalam pemrosesan.

(8) Pengendalian Hama dan Penyakit a. Hama

• Nematoda

Penyebabnya adalah Rhadinaphelenchus cocophilus. Bagian yang diserang adalah akar. Gejala yang ditimbulkan adalah pusat mahkota mengerdil, daun baru tergulung dan tegak, daun berubah warna menjadi kuning dan mengering; tandan buah menjadi busuk. Pengendalian dilakukan dengan meracuni pohon dengan natrium arsenit dan setelah mati dibongkar dan dibakar.

• Tungau

Penyebabnya adalah tungau merah (Oligonychus). Bagian yang diserang adalah daun. Gejalanya daun menjadi mengkilap dan berwarna bornz. Pengendalian dilakukan dengan penyemprotan akarisida tetradifon 0,1-0,2 persen.

(13)

• Ulat setora

Penyebabnya adalah Setora nitens, dengan bagian yang diserang adalah daun. Gejalanya adalah daun dimakan sehingga tersisa lidinya saja. Pengendalian dilakukan menggunakan insektisida Hostation 25 ULV, Sevin 85 ES, Dursban 20 EC pada konsentrasi 0,2-0,3 persen.

• Kumbang oryctes

Penyebabnya adalah Oryctes rhynoceros. Bagian yang diserang adalah titik tumbuh, bakal daun. Gejalanya daun seperti terpotong gunting; pada serangan berat tanaman akan mati. Pengendalian dilakukan dengan peningkatan sanitasi dan pemberantasan biologi dengan parasit jamur. • Oil palm bunch moth

Penyebabnya adalah Tiorathaba mundella. Bagian yang diserang yaitu bagian buah muda dan kadang-kadang tandan buah. Gejala yang terjadi diantaranya adalah buah muda berlubang dan tandan buah rusak. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan insektisida Dipterex/Thiodan (0,55 kg/370 liter air). Selain itu dilakukan pemberantasan biologi dengan parasit tabuhan dan lalat parasit.

• Babi hutan dan tikus

b. Penyakit

• Root blast

Penyebabnya adalah Rhizoctonia lamellifera dan Phythium Sp. Bagian yang diserang adalah akar. Gejalanya adalah bibit di persemaian mati mendadak serta tanaman dewasa layu dan mati. Selain itu, terlihat adanya pembusukan akar. Pengendalian yaitu dengan pembuatan persemaian yang

(14)

baik, pemberian air irigasi di musim kemarau, penggunaan bibit berumur lebih dari 11 bulan.

• Garis kuning

Penyebabnya adalah Fusarium oxysporum. Bagian yang diserang adalah daun. Gejala antara lain dengan adanya bulatan oval berwarna kuning pucat mengelilingi warna coklat pada daun yang mengakibatkan daun mengering. Pengendalian dilakukan dengan inokulasi penyakit pada bibit dan tanaman muda.

• Dry basal rot

Penyebab adalah Ceratocyctis paradoxa. Bagian yang diserang adalah batang. Gejalanya pelepah mudah patah, daun membusuk dan kering; daun muda mati dan kering. Pengendalian dilakukan dengan menanam bibit yang telah diinokulasi penyakit.

(9) Panen

Kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun dan buahnya masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Suatu areal sudah dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya 60 persen buah telah matang panen, dan dari lima pohon terdapat satu tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah sedikitnya ada lima buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih.

5.2. Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Perkebunan Kelapa Sawit

Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan menggunakan analisis PAM dimungkinkan untuk melihat

(15)

keuntungan privat (private profitability) dan keuntungan sosial (social provitability). Pada keuntungan privat, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga privat atau harga aktual yang diterima atau dibayarkan (harga pasar) oleh petani. Harga tersebut telah dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah. Kebijakan harga dapat merubah nilai dari biaya input maupun output dan pada akhirnya mempengaruhi keuntungan privat.

Usahatani yang memiliki keuntungan privat lebih besar dari nol menunjukkan bahwa usaha tani tersebut memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Tingkat keuntungan privat dapat mencerminkan ukuran daya saing (keunggulan kompetitif) usahatani pada tingkat dan harga pasar atau aktual. Dengan melakukan perhitungan yang sama untuk sistem usahatani yang lain memungkinkan diperoleh perbandingan relatif dayasaing antar sistem usahatani tersebut. Pada keuntungan sosial, penerimaan dan biaya dihitung berdasarkan harga sosial atau biaya input dan output pada tingkat harga efisien (social opportunity cost). Dengan membandingkan keuntungan sosial pada sistem usahatani dengan sistem usahatani lainnya diperoleh perbandingan relatif tingkat efisiensi (keunggulan komparatif) antara sistem usaha tani tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan dan pembandingan antara keuntungan privat dan keuntungan sosial perkebunan kelapa sawit petani plasma dan kebun perusahaan inti.

Hasil penelitian yang menunjukkan keuntungan privat dan keuntungan sosial dari perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perusahaan inti disajikan pada Tabel 9.

(16)

Tabel 9. Keuntungan Sosial dan Keuntungan Privat Perkebunan Kelapa Sawit Petani Plasma, Perusahaan Inti dan Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Biaya (Rp/Ha/tahun)

Uraian

Pendapatan Kotor

(Rp/Ha/tahun) Tradable Input Faktor domestik

Keuntungan (Rp/Ha/tahun)

Kebun Petani Plasma

Harga Privat 11,634,068 2,456,809 3,424,175 5,753,083

Harga Sosial 11,634,068 2,752,610 3,248,912 5,632,546

Efek Divergensi 0 -295,800 175,263 120,537

Kebun Perusahaan Inti

Harga Privat 12,280,405 2,649,408 3,591,098 6,039,899

Harga Sosial 12,280,405 2,937,760 3,404,128 5,938,516

Efek Divergensi 0 -288,352 186,970 101,382

Pabrik Kelapa Sawit

Harga Privat 167,532,618,441 82,192,882,579 84,006,048,316 1,333,687,546

Harga Sosial 167,978,788,970 79,211,123,394 83,339,381,649 5,094,950,593

Efek Divergensi -446,170,529 2,981,759,185 666,666,667 -3,761,263,047

Keuntungan privat perkebunan kelapa sawit pada petani plasma maupun pada perkebunan kelapa sawit milik perusahaan inti bernilai positif. Hal ini berarti bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perusahaan inti keduanya memiliki dayasaing yang tinggi pada tingkat harga dan teknologi yang ada sekarang. Begitu juga halnya dengan keuntungan privat dari pabrik kelapa sawit juga bernilai positif. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa agribisnis kelapa sawit secara finansial dapat memberikan keuntungan atau memiliki daya saing yang tinggi, baik mulai dari level usahatani maupun pada level agroindustri.

Jika diamati lebih jauh, perkebunan kelapa sawit rakyat petani plasma mempunyai keuntungan privat yang lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan inti yaitu masing-masing sebesar Rp 5.75 juta/ha/tahun dan Rp.6.04 juta/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kalau dilihat dari sisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit, petani plasma memiliki daya saing yang lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit milik

(17)

perusahaan inti. Disamping itu, perusahaan inti masih memperoleh tambahan keuntungan privat dari pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam yaitu sebesar Rp 1.33 miliar/tahun.

Keuntungan sosial perkebunan kelapa sawit rakyat petani plasma dan pada perkebunan kelapa sawit milik perusahaan inti juga bernilai yang positif. Hal ini berarti bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit rakyat petani plasma dan perusahaan inti memiliki efisiensi yang baik pada tingkat harga dan teknologi yang ada sekarang. Begitu juga dengan keuntungan sosial dari pabrik kelapa sawit juga bernilai positif. Dengan demikian, agribisnis kelapa sawit secara ekonomi dapat memberikan keuntungan atau memiliki tingkat efisiensi yang baik mulai dari pengusahaan kebun kelapa sawit rakyat petani plasma, perusahaan inti maupun sampai dengan pengusahaan pabrik kelapa sawit.

Perkebunan kelapa sawit petani plasma mempunyai keuntungan sosial yang lebih kecil dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan inti yaitu masing-masing sebesar Rp 5.63 juta/ha/tahun dan Rp 5.94 juta/ha/ tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kalau dilihat dari sisi pengusahaan perkebunan kelapa sawit petani plasma juga memiliki efisiensi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan inti. Perusahaan inti perkebunanan kelapa sawit selanjutnya juga masih memperoleh tambahan keuntungan sosial dari pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam sebesar Rp 17.17 miliar/tahun.

Keuntungan privat dan sosial dari perkebunan kelapa sawit petani plasma lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan privat dan sosial perkebunan kelapa sawit perusahaan inti. Hal ini karena produktivitas dari perkebunan kelapa

(18)

sawit perusahaan inti ( 19 311 kg/ha) lebih baik dibandingkan perkebunan kelapa sawit rakyat petani plasma (18 295 kg/ha). Sementara itu rata-rata biaya produksi perkebunan kelapa sawit perusahaan inti lebih besar dari rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan oleh perkebunan kelapa sawit petani plasma (Tabel 10). Namun demikian, biaya yang besar ini memang dibutuhkan dalam peningkatan produktivitas kelapa sawit.

Dari Tabel 10 tampak bahwa selisih komponen biaya antara perkebunan kelapa sawit perusahaan inti dan perkebunan kelapa sawit petani plasma yang paling besar adalah biaya pemeliharaan.

Tabel 10. Rata-Rata Biaya Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak per Tahun

Komponen Biaya Kebun Perusahaan Inti Kebun Petani Plasma Biaya Pemeliharaan (Rp/ha/tahun)

a. Privat 2,704,015.45 2,417,195.45

b. Sosial 2,706,178.67 2,419,129.21

Biaya Panen (Rp/ha/tahun)

a. Privat 772,436.36 731,781.82

b. Sosial 617,949.09 585,425.45

Biaya Angkut (Rp/ha/tahun)

a. Privat 579,327.27 548,836.36

b. Sosial 463,461.82 439,069.09

Depresiasi (Rp/ha/tahun)

a. Privat 986,493.07 986,493.07

b. Sosial 972,944.91 972,944.91

Biaya Umum (Rp/ha/tahun)

a. Privat 252,113.61 234,215.34

b. Sosial 214,081.20 198,143.20

Total Biaya (Rp/ha/tahun)

a. Privat 5,294,385.77 4,918,522.04

b. Sosial 5,468,967.12 5,113,128.76

Pada dasarnya, besar kecilnya biaya pemeliharaan mencerminkan tingkat penerapan teknologi suatu aktivitas usahatani. Biaya pemeliharaan terdiri dari komponen biaya penggunaan sarana produksi (pupuk, pestisida dan herbisida) dan penggunaan tenaga kerja. Dengan demikian, biaya pemeliharaan kebun kelapa

(19)

sawit perusahaan inti yang lebih besar dari petani plasma mengindikasikan penerapan teknologi usahatani kelapa sawit kebun perusahaan inti lebih baik dari kebun petani plasma.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa baik pada perkebunan kelapa sawit petani plasma, kebun perusahaan inti, maupun pabrik kelapa sawit ke tiganya memiliki keuntungan privat dan keuntungan sosial yang sama-sama lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi pemerintah pengusahaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit tetap saja menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik. Dengan demikian, wajar apabila banyak pihak yang tertarik untuk melakukan investasi dalam pengusahaan kebun kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit.

Dari hasil analisis kelayakan dengan menggunakan pendekatan analisis matrik kebijakan diperoleh hasil bahwa pengusahaan kelapa sawit petani plasma, kebun perusahaan inti dan pabrik kelapa sawit adalah layak untuk diusahakan sebagaimana terlihat dalam Tabel 11.

Tabel 11. Kelayakan Finansial Perkebunan Kelapa Sawit kebun petani plasma, kebun perusahaan inti, dan Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Kebun petani plasma Kebun perusahaan inti Pabrik Kelapa Sawit Indikator

Kelayakan

Finansial Privat Sosial Privat Sosial Privat Sosial

Gross B/C 1.98 1.94 1.97 1.94 1.10 1.11

IRR 32% 35% 33% 36% 15% 18%

NPV (Rp.) 108 599 278 61 365 406 115 857 126 65 038 875 852 531 911 6 968 677 413 Payback

(20)

5.3. Efisiensi Finansial dan Efisensi Ekonomi

Alokasi sumberdaya pada kegiatan perekonomian senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga produksi dan produktivitas dapat terpacu. Ukuran yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi finansial dan efisiensi ekonomi adalah Private Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). PCR pada prinsipnya merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem usaha tani perkebunan kelapa sawit rakyat untuk membayar sumberdaya domestik dan tetap menjadi kompetitif. Sedangkan DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dibentuk untuk menghasilkan satu unit devisa. Dari Tabel 12 tampak bahwa baik kebun petani plasma, kebun perusahaan inti, pabrik kelapa sawit pada kondisi kebijakan yang ada pada perkebunan kelapa sawit ternyata telah efisien secara finansial atau dengan kata lain sama sama memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR yang lebih kecil dari 1.

Tabel 12. Rasio Biaya Privat dan Rasio Sumberdaya Domestik Perkebunan Kelapa Sawit Petani Plasma, Perusahaan Inti, dan Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

No. Koefisien Kebun Petani Plasma Kebun Perusahaan Inti Pabrik Kelapa Sawit 1. Private Cost Ratio (PCR) 0.3731 0.3729 0.9844 2. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.3658 0.3644 0.9424

Kebun perusahaan inti mempunyai tingkat efisiensi finansial atau keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun petani plasma. Biaya domestik yang dikeluarkan oleh perusahaan inti untuk faktor tenaga kerja dan lahan serta untuk input yang diperdagangkan pada tingkat harga

(21)

privat lebih tinggi dibandingkan kebun petani plasma. Tetapi karena produktivitas kebun milik inti jauh lebih tinggi dibandingkan kebun petani plasma menjadikan kebun petani plasma pada akhirnya secara finansial lebih efisien atau lebih mempunyai keunggulan kompetitif.

Dari Tabel 12 juga tampak bahwa baik kebun petani plasma, kebun perusahaan inti, pabrik kelapa sawit pada kondisi kebijakan yang ada pada perkebunan kelapa sawit ternyata telah efisien secara ekonomi atau dengan kata lain sama sama memiliki keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukkan oleh DRCR yang lebih kecil dari 1.

Kebun perusahaan inti mempunyai tingkat efisiensi ekonomi atau keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari nilai DRCR kebun perusahaan inti yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai DRCR kebun petani plasma. Biaya domestik yang lebih mampu dihemat oleh perusahaan inti dibandingkan dengan kebun petani plasma untuk menghasilkan satu unit devisa membuat kebun perusahaan inti pada akhirnya secara ekonomi lebih efisien atau lebih mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan kebun petani plasma.

5.4. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Dayasaing dan Keunggulan Komparatif Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Penerapan kebijakan pemerintah dapat memberikan dampak baik yang sifatnya positif maupun negatif terhadap para pelaku agribisnis perkebunan kelapa sawit. Dalam analisis matrik kebijakan terhadap dampak kebijakan pemerintah dapat dijelaskan melalui dampak divergensi dari adanya suatu kebijakan pemerintah. Ukuran-ukuran dampak divergensi yang digunakan meliputi transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. Sebagai ukuran relatif

(22)

ditambahkan analisis NPCO, NPCI, EPC, PC dan SRP sebagaimana terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rasio-Rasio Analisis Matriks Kebijakan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Petani Plasma, Perusahaan Inti dan Pabrik Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

No. Nilai Petani Plasma Kebun Perusahaan Inti Kebun Pabrik Kelapa Sawit

1. Transfer Output (TO) 0 0 -446 170 528

2. Transfer Input Tradable (TIT) -295 800 -288 352 2 981 759 185 3. Transfer Input Faktor Domestik (TIFD) 175 263 186 970 666,666,667

4. Trasfer Netto (TN) 120 537 101 382 -3,761,263,047

5. Nominal Protection Coefficient Output (NPCO) 1.0000 1.0000 0.9993 6. Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) 0.8925 0.9018 1.0376

7. Effective Protection Coefficient (EPC) 1.0333 1.0309 0.9650

8. Profitability Coefficient (PC) 1.0214 1.0171 0.2618

9. Subsidy Ratio to Producers (SRP) 0.0104 0.0083 -0.0224

5.4.1. Transfer Output dan Tingkat Proteksi Pemerintah Terhadap Output Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Kebijakan pemerintah baik di level pusat maupun daerah yang ditujukan pada sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan kelapa sawit dapat berupa kebijakan harga, kebijakan investasi publik dan kebijakan makro ekonomi lainnya. Kebijakan ini dapat mengakibatkan adanya perbedaan antara harga yang diterima petani dan dibayar konsumen dengan harga di pasar internasional. Adanya intervensi pemerintah ini dapat dilihat pada besarnya transfer output.

Transfer output menunjukkan besarnya perbedaan penerimaan usahatani yang benar-benar diterima produsen dengan penerimaan yang menggunakan harga sosial (tanpa kebijakan atau pada pasar persaingan sempurna). Sebagaimana terlihat pada Tabel 13 nilai transfer output untuk perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perkebunan kelapa sawit perusahaan inti bernilai nol, sedangkan transfer output pada pabrik kelapa sawit bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa baik pada perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun perkebunan

(23)

kelapa sawit perusahaan inti tidak terjadi adanya transfer output pada level produsen maupun pada level konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa produsen dan konsumen menerima dan membayar sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Kondisi ini terjadi karena Tandan Buah Segar (TBS) merupakan produk akhir yang dihasilkan kebun petani plasma dan hanya diperjual belikan secara domestik, bahkan terbatas pada penjualan hasil dari perkebunan petani plasma ke pabrik kelapa sawit milik perusahaan inti. Walaupun ada sebagian petani plasma yang juga menjualnya ke pabrik kelapa sawit milik dari selain perusahaan intinya, namun dalam penelitian ini “opportunity cost” diasumsikan sama sehingga harga privat dari TBS sama dengan harga harga sosialnya. Kondisi ini mengakibatkan efek divergensi pada pengusahaan perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun kebun perusahaan inti bernilai nol. Efek divergensi yang bernilai nol berimplikasi pada nilai NPCO perkebunan kelapa sawit petani plasma dan kelapa sawit perusahaan inti yang bernilai sama dengan satu.

NPCO merupakan rasio dari penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial, dan mengindikasikan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Nilai NPCO yang sama dengan satu mengindikasikan bahwa pengusahaan perkebunan kelapa sawit baik pada kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti, cenderung tidak memperoleh proteksi dan juga tidak memperoleh disinsentif dari kebijakan pemerintah yang ada. Dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada saat ini tidak memberikan pengaruh terhadap output kelapa sawit (TBS) yang dihasilkan petani plasma dan kebun perusahaan inti. Sedangkan NPCO pada pabrik kelapa sawit bernilai lebih kecil dari satu (0.9973), yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah ternyata bersifat

(24)

disinsentif terhadap output. Khusus pada pabrik kelapa sawit, nilai transfer output dan transfer netto ternyata juga negatif yang menunjukkan produsen dan konsumen telah menerima dan membayar harga yang lebih rendah dari harga aktual.

5.4.2. Transfer Input Tradabel, Transfer Faktor Domestik dan Tingkat Proteksi Pemerintah Terhadap Input Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Kebijakan pemerintah dalam membantu menaikkan produksi selain dapat ditempuh dengan mengintervensi pada harga output dapat juga dilakukan pada harga input. Kebijakan berupa subsidi input yang diberikan kepada produsen diharapkan dapat merangsang produsen untuk menggunaan input tersebut dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas. Adanya intervensi pemerintah ini dapat dilihat pada besarnya transfer input. Transfer input menunjukkan besarnya perbedaan biaya yang benar-benar dikeluarkan petani pada input yang dapat diperdagangkan dengan biaya input tersebut bila menggunakan harga sosial. Dari Tabel 13 nilai transfer input untuk perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perkebunan kelapa sawit perusahaan inti bernilai negatif, sedangkan transfer input pada pabrik kelapa sawit bernilai positif. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya transfer dari produsen input yang diperdagangkan (tradabel) kepada produsen perkebunan sawit petani plasma maupun dari kebun perusahaan inti. Dengan kata lain perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun perkebunan kelapa sawit perusahaan inti telah sama sama menikmati subsidi input sehingga biaya input yang diperdagangkan yang benar-benar dikeluarkan oleh produsen lebih kecil dari harga sesungguhnya di pasar bebas.

(25)

Dilihat dari NPCI (Tabel 13), baik kebun petani plasma maupun kebun perusahaan inti mempunyai nilai yang lebih kecil dari satu. NPCI merupakan rasio dari input tradabel pada harga privat dengan input tadabel pada harga sosial, yang mengindikasikan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input tradabel. Nilai yang lebih kecil dari satu mengindikasikan bahwa ada kebijakan pemerintah yang bersifat protektif terhadap input tradabel. Dengan kata lain baik kebun petani plasma maupun kebun perusahaan inti telah menikmati kebijakan subsidi input tradabel dari pemerintah. Dalam hal ini subsidi input yang dinikmati kebun petani plasma adalah lebih besar dibanding yang dinikmati oleh kebun perusahaan inti. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai NPCI kebun petani plasma yang lebih kecil dari NPCI kebun perusahaan inti.

Pada pabrik kelapa sawit keadaan yang terjadi justru sebaliknya yaitu bahwa telah terjadi transfer dari produsen pabrik kelapa sawit kepada produsen input tradabel. Dengan kata lain pabrik kelapa sawit telah membayar input yang diperdagangkan lebih tinggi dari harga sesungguhnya yang terjadi di pasar. Dilihat dari NPCI, pabrik kelapa sawit mempunyai nilai yang lebih besar dari satu (Tabel 13). Dengan demikian, telah terjadi kebijakan pemerintah yang bersifat disinsentif terhadap input tradabel pada pabrik kelapa sawit.

Transfer faktor merupakan nilai besaran yang menunjukkan perbedaan antara harga harga aktual dan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak tradabel. Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa baik perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun kebun perusahaan inti sama sama terjadi transfer dari petani produsen kepada produsen input yang tidak tradabel. Hal ini diindikasikan dari nilai faktor transfer dari

(26)

kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti yang bernilai positif. Kebun perusahaan inti memberikan transfer kepada produsen input yang tidak diperdagangkan dengan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan kebun petani plasma. Hal ini diindikasikan dari nilai faktor transfer kebun perusahaan inti yang lebih besar dari kebun petani plasma.

5.4.3. Transfer Bersih, Tingkat Proteksi Simultan Input Output, Tingkat Proteksi Keseluruhan Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Siak

EPC merupakan analisis gabungan antara NPCO dan NPCI yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input yang tradabel. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti memperoleh kebijakan protektif terhadap output dan input tradabel kebun kelapa sawit. Kebun petani plasma mendapatkan tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebun perusahaan inti. Hal ini terlihat dari lebih besarnya nilai EPC kebun petani plasma (1.0333) dibandingkan dengan nilai EPC kebun perusahaan inti (1.0309). Nilai EPC pabrik kelapa sawit lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0.8435. Dengan demikian pabrik kelapa sawit memperoleh kebijakan yang bersifat disinsentif terhadap output dan input yang tradabel pabrik kelapa sawit.

Kebijakan terhadap output dan input juga dapat dianalisis dari nilai transfer bersih. Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih pada harga privat dengan keuntungan bersih pada harga sosial. Nilai transfer bersih dapat menunjukkan tambahan atau kehilangan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input-output. Dari Tabel 13 terlihat bahwa baik pada kebun petani plasma maupun kebun perusahaan inti

(27)

sama sama memiliki tambahan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input-output. Kebun petani plasma dalam hal ini memperoleh tambahan surplus yang lebih banyak dibandingkan yang diperoleh oleh kebun perusahaan inti. Sebaliknya pengusahaan pabrik kelapa sawit justru mendapatkan kehilangan surplus yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input-output. Hal ini dapat dilihat dari nilai transfer bersih yang positif pada baik kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti, serta nilai transfer bersih yang negatif pada pabrik kelapa sawit.

Sementara itu dari nilai PC baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti dapat diketahui bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah dapat dikatakan telah bersifat protektif (Tabel 13). Hal ini karena nilai PC baik pada kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti lebih besar dari 1. Dalam hal ini kebun petani plasma memperoleh subsidi yang lebih besar dari kebun perusahaan inti. Hal ini karena nilai PC kebun petani plasma lebih besar dibandingkan dengan nilai PC kebun perusahaan inti. Sedangkan pada pabrik kelapa sawit justru terjadi sebaliknya. Nilai PC nya lebih kecil dari 1. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah telah memberikan disinsentif pada produsen pabrik kelapa sawit.

Nilai SRP dari kebun petani plasma dan kebun perusahaan inti sama sama positif (Tabel 11). Hal ini mengandung arti bahwa dengan kebijakan yang ada, produsen membayar biaya produksi yang lebih rendah dari opportunity cost berproduksi. Hal sebaliknya justru terjadi pada pabrik kelapa sawit. Kebijakan pemerintah justru telah mengakibatkan pabrik kelapa sawit untuk membayar biaya produksi yang lebih tinggi dari opportunity cost berproduksi.

(28)

5.5. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pengusahaan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Analisis keuntungan privat dan keuntungan sosial dalam model analisis kebijakan matrik adalah bersifat statis, oleh karena itu diperlukan adanya analisis kepekaan untuk melihat bagaimana kepekaan dari efisiensi finansial dan efisiensi ekonomi terhadap perubahan yang terjadi pada input dan output. Analisis kepekaan ini dapat digunakan sebagai alat untuk mensimulasi kebijakan dengan berbagai skenario.

5.5.1. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Perkebunan Kelapa Sawit

Dampak kebijakan ekonomi terhadap keuntungan privat dan keuntungan sosial terhadap perkebunan kelapa sawit petani plasma, perusahaan inti dan pabrik kelapa sawit, dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 14.

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa kenaikan harga pupuk sebesar 10 persen (Skenario 1) memberikan dampak yang negatif baik pada kebun petani plasma maupun kebun perusahaan inti. Kebijakan ini sama sama mengakibatkan penurunan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. Kebun petani plasma relatif lebih sensitif dari kebun perusahaan inti. Hal ini dapat dilihat dari penurunan keuntungan finansial (-0.64 persen) dan keuntungan ekonomi (-0.63 persen) dari kebun petani plasma yang relatif lebih besar dibandingkan penurunan keuntungan finasial (-0.61 persen) dan keuntungan ekonomi (-0.60 persen) pada kebun perusahaan inti.

(29)

Tabel 14. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak

Skenario Kebijakan Keuntungan Privat Keuntungan Sosial Kebun Petani Plasma

Nilai Basis 5,753,083 5,632,546 Skenario 1 5,716,499 5,596,817 -0.64% -0.63% Skenario 2 6,916,490 6,795,953 20.22% 20.66% Skenario 3 5,795,804 5,674,338 0.74% 0.74% Skenario 4 6,879,905 6,760,224 19.59% 20.02% Skenario 5 5,759,166 5,638,557 0.11% 0.11% Skenario 6 6,959,211 6,837,745 20.96% 21.40% Skenario 7 6,922,573 6,801,963 20.33% 20.76%

Kebun Perusahan Inti

Nilai Basis 6,039,899 5,938,516 Skenario 1 6,003,314 5,902,787 -0.61% -0.60% Skenario 2 7,267,939 7,166,557 20.33% 20.68% Skenario 3 6,082,620 5,980,308 0.71% 0.70% Skenario 4 7,231,354 7,130,827 19.73% 20.08% Skenario 5 6,045,982 5,944,527 0.10% 0.10% Skenario 6 7,310,660 7,208,349 21.04% 21.38% Skenario 7 7,274,022 7,172,567 20.43% 20.78% Keterangan:

Skenario 1 = harga pupuk naik 10 persen Skenario 2 = harga TBS naik 10 persen

Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2

Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3

Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3

Kenaikan harga output TBS sebesar 10 persen (Skenario 2) memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun

(30)

perusahan inti. Kebijakan ini sama sama mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. Kebun perusahaan inti relatif lebih sensitif dari kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (20.33 persen) dan keuntungan ekonomi (20.68 persen) dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finasial (20.22 persen) dan keuntungan ekonomi (20.66 persen) pada kebun petani plasma.

Adanya perubahan ekonomi makro dan kebijakan pemerintah yang pada akhirnya berdampak pada perubahan nilai tukar dapat berdampak pada perekonomian mikro pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Apabila terjadi penguatan nilai tukar dari Rp 9 750 menjadi sebesar Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 3) ternyata mempunyai dampak yang positif baik bagi pengusahaan kelapa sawit di kebun petani plasma maupun kebun perusahaan inti. Kondisi penguatan nilai rupiah ini menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. Kebun petani plasma relatif lebih sensitif dari kebun perusahaan inti, hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (0.74 persen) dan keuntungan ekonomi (0.74 persen) dari kebun perusahaan plasma yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finasial (0.71 persen) dan keuntungan ekonomi (0.70 persen) pada kebun petani plasma.

Kombinasi kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen dengan kebjakan kenaikan output TBS sebesar 10 persen (Skenario 4) memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahan inti.

(31)

Kebijakan ini sama sama mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. Kebun perusahaan inti relatif lebih sensitif dari kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (19.73 persen) dan keuntungan ekonomi (20.08 persen) dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial (19.59 persen) dan keuntungan ekonomi (20.02 persen) pada kebun petani plasma.

Penerapan kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen pada saat terjadinya terjadinya penguatan nilai rupiah terhadap dollar Amerika (Skenario 5) ternyata memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahan inti. Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. Kebun petani plasma relatif lebih sensitif dari kebun perusahaan inti. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (0.11 persen) dan keuntungan ekonomi (0.11 persen) dari kebun petani plasma yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial (0.10 persen) dan keuntungan ekonomi (0.10 persen) pada kebun perusahaan inti.

Penerapan kebijakan kenaikan output TBS 10 persen pada saat terjadinya penguatan nilai rupiah terhadap dollar Amerika (Skenario 6) juga memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahan inti. Kebijakan ini sama sama mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. kebun perusahaan inti relatif lebih sensitif dari kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (21.04

(32)

persen) dan keuntungan ekonomi (21.38 persen) dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial (20.96 persen) dan keuntungan ekonomi (21.40 persen) pada kebun petani plasma.

Kombinasi kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen dan kebijakan kenaikan output TBS 10 persen yang diterapkan pada saat terjadinya penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Skenario 7) juga memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahan inti. Kombinasi kebijakan ini sama sama mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. kebun perusahaan inti relatif lebih sensitif dari kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial (20.43 persen) dan keuntungan ekonomi (20.78 persen) dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial (20.33 persen) dan keuntungan ekonomi (20.76 persen) pada kebun petani plasma.

5.5.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Tingkat Proteksi Pemerintah pada Perkebunan Kelapa Sawit

Dampak kebijakan ekonomi terhadap berbagai tingkat proteksi pemerintah pada perkebunan kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 15. Dari Tabel 15 dapat diketahui pada perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perusahaan inti, dari sisi rasio NPCO, untuk penerapan semua skenario yang ada ternyata tidak memberikan dampak apa apa pada output, baik yang sifatnya protektif maupun disinsentif.

(33)

Tabel 15. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Berbagai Rasio Analis Matrik Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit

Skenario Kebijakan NPCO NPCI EPC PC SRP

Kebun Petani Plasma

Nilai Basis 1.0000 0.8925 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 1 1.0000 0.8944 1.0333 1.0214 0.0103 Skenario 2 1.0000 0.8925 1.0294 1.0177 0.0094 Skenario 3 1.0000 0.8903 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 4 1.0000 0.8944 1.0294 1.0177 0.0094 Skenario 5 1.0000 0.8922 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 6 1.0000 0.8903 1.0295 1.0178 0.0095 Skenario 7 1.0000 0.8922 1.0294 1.0177 0.0094

Kebun Perusahaan Inti

Nilai Basis 1.0000 0.9018 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 1 1.0000 0.9035 1.0308 1.0170 0.0082 Skenario 2 1.0000 0.9018 1.0273 1.0141 0.0075 Skenario 3 1.0000 0.8999 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 4 1.0000 0.9035 1.0272 1.0141 0.0074 Skenario 5 1.0000 0.9016 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 6 1.0000 0.8999 1.0273 1.0142 0.0076 Skenario 7 1.0000 0.9016 1.0273 1.0141 0.0075 Keterangan:

Skenario 1 = harga pupuk naik 10 persen Skenario 2 = harga TBS naik 10 persen

Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2

Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3

Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3

Walaupun harga pupuk naik 10 persen (Skenario 1), ternyata produsen perkebunan kelapa sawit masih saja memperoleh dampak kebijakan protektif dan bukannya disinsentif. Dampak dari kebijakan kenaikan input ini langsung terlihat pada nilai NPCI (merupakan indikator tingkat proteksi pemerintah terhadap input) menjadi tertinggi dari seluruh tujuh skenario yang ada baik pada perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun dari kebun perusahaan inti. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan harga pupuk memang berdampak terhadap pengurangan nilai dari subsidi yang ada. Dari analisis rasio lainnya juga diperoleh hal yang sama yaitu: (1) nilai EPC relatif tidak berubah (masih lebih

(34)

besar dari 1) yang mengindikasian adanya proteksi secara simultan terhadap input-output, (2) nilai PC juga relatif tidak berubah (masih tetap lebih besar dari 1), mengindikasikan bahwa keseluruhan kebijakan masih memberikan insentif kepada produsen walaupun terjadi sedikit pengurangan, dan (3) nilai SRP tetap positif, yang mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah masih berakibat pada pemberian subsidi kepada produsen walau sedikit berkurang.

Pada Skenario 2, dari nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

Pada Skenario 3, nilai EPC, NPCI dan NPCO juga relatif tidak berubah, menegaskan bahwa dampak dari menguatnya nilai rupiah ini masih belum mengeleminir sifat protektif. Begitu juga dengan nilai PC dan SRP yang relatif tetap, mengandung pengertian bahwa terjadinya penguatan nilai rupiah ternyata dampaknya memberikan insentif atau masih memberikan subsidi kepada produsen.

Pada Skenario 4, nilai EPC, NPCI dan NPCO relatif tidak berubah, menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif. Nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah mengindikasikan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau masih memberikan subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

Pada Skenario 5, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC

(35)

dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

Pada Skenario 6, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

Pada Skenario 7, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang agak sedikit menurun juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif. Dan dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kombinasi kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

5.5.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif

Dampak kebijakan ekonomi terhadap keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada perkebunan kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 16. Dampak dari penerapan kebijakan Skenario 1 menurunkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari meningkatnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3746 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3673. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari meningkatnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3743 serta meningkatnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3658.

(36)

Tabel 16. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif pada Perkebunan Kelapa Sawit

Skenario Kebijakan PCR DRC

Kebun Petani Plasma

Nilai Basis 0.3731 0.3658 Skenario 1 0.3746 0.3673 Skenario 2 0.3311 0.3234 Skenario 3 0.3714 0.3640 Skenario 4 0.3323 0.3246 Skenario 5 0.3729 0.3656 Skenario 6 0.3298 0.3220 Skenario 7 0.3309 0.3232

Kebun Perusahaan Inti

Nilai Basis 0.3729 0.3644 Skenario 1 0.3743 0.3658 Skenario 2 0.3307 0.3220 Skenario 3 0.3712 0.3627 Skenario 4 0.3318 0.3232 Skenario 5 0.3726 0.3641 Skenario 6 0.3294 0.3207 Skenario 7 0.3305 0.3218 Keterangan:

Skenario 1 = harga pupuk naik 10 persen Skenario 2 = harga TBS naik 10 persen

Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2

Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3

Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3

Sementara itu, dampak kebijakan Skenario 2 menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3311 serta menurunnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3234. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3307 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3220.

Dampak dari penguatan nilai tukar rupiah dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 (Skenario 3) juga menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif

(37)

dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3714, serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3640. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3712 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3627.

Kombinasi kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen dengan kebjakan kenaikan output TBS sebesar 10 persen (Skenario 4) memberikan dampak yang sama dengan Skenario 2 dan 3. Keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma meningkat, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3323 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3246. Keunggulan kompetitif dan komparatif kebun perusahaan inti juga meningkat, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3318 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3232.

Dari nilai rasio-rasio di atas tampak bahwa dampak negatif dari kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen menjadi tertutupi oleh dampak positif yang lebih besar dari kebijakan kenaikan output TBS 10 persen. Sehingga pada akhirnya Skenario 4 juga berdampak positif bagi pengusahaan kelapa sawit petani plasma maupun bagi kebun perusahaan inti.

Dampak kebijakan protektif input dan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 5) menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma (walaupun relatif kecil), diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3729 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3656. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari

(38)

menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3726 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3641. Hasil analisis Skenario 5 juga tetap berdampak positif bagi kebun petani plasma maupun bagi kebun perusahaan inti.

Dampak kebijakan kenaikan output TBS 10% dan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 9000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 6) menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3298 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3220. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3294 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3207.

Dari nilai rasio-rasio di atas tampak bahwa kebijakan kenaikan harga output TBS 10 persen diikuti dengan penguatan nilai rupiah memberikan dampak kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi yang tertinggi dari semua skenario kebijakan yang ada. Begitu juga dengan dampaknya pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Melalui penerapan Skenario 6 memberikan dampak positif bagi kebun petani plasma maupun bagi kebun perusahaan inti dalam bentuk capaian tertinggi pada keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRCR yang terendah dibandingkan dengan penerapan skenario-skenario lainnya.

Dampak kebijakan protektif input-output dan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah (Skenario 7) menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3309 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3232. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang

(39)

diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3305 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3218.

5.6. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pengusahaan Pabrik Kelapa Sawit

5.6.1. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial

Dampak kebijakan ekonomi terhadap keuntungan privat dan keuntungan sosial pada pengusahaan pabrik kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 17.

Dari Tabel 17 dapat diketahui kenaikan harga input TBS sebesar 10 persen ( Skenario 1) memberikan dampak yang sangat negatif pada pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini berdampak pada keuntungan privat dan sosial yang negatif (penurunan keuntungan sebesar 951.66 persen dan penurunan keuntungan sosial sebesar 266.6 persen). Terjadinya penurunan keuntungan yang sangat besar ini bisa dimaklumi karena TBS merupakan input utama dari pabrik kelapa sawit.

Berbeda dengan Skenario 1 yang memberikan dampak yang sangat negatif pada pabrik kelapa sawit, Skenario 2 (kebijakan kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen) berdampak sangat positif bagi pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial sebesar 1733.83 persen dan kenaikan keuntungan ekonomi sebesar 490 persen.

Terjadinya penguatan rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 3) berdampak negatif bagi pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini mengakibatkan kerugian sebesar 8 316 817 826 rupiah atau dengan kata lain keuntungan privatnya negatif (terjadi penurungan keuntungan sebesar 723.6%).

(40)

Kebijakan ini juga berdampak terhadap penurunan keuntungan sosial sebesar -208.2 persen..

Tabel 17. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Pabrik Kelapa Sawit

Skenario Kebijakan Keuntungan Privat Keuntungan Sosial

Nilai Basis 1,333,687,546 4,761,617,260 Skenario 1 -11,358,472,454 -7,930,542,740 Skenario 2 24,457,567,546 28,092,323,308 Skenario 3 -8,316,817,826 -5,152,868,641 Skenario 4 11,765,407,546 15,400,163,308 Skenario 5 -21,008,977,826 -17,845,028,641 Skenario 6 13,028,302,174 16,383,167,711 Skenario 7 336,142,174 3,691,007,711 Keterangan:

Skenario 1 = harga TBS naik 10 persen

Skenario 2 = harga CPO dan Inti naik 15 persen

Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2

Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3

Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3

Kombinasi kebijakan kenaikan harga input TBS 10 persen dengan kebijakan kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen ( Skenario 4) memberikan dampak yang positif bagi pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial (782.17 persen) dan keuntungan ekonomi (223.4 persen) pada pabrik kelapa sawit.

Penerapan kebijakan kenaikan harga input TBS sebesar 10 persen pada saat terjadinya penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 5) memberikan dampak yang sangat negatif pada pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini mengakibatkan kerugian baik dari sisi finansial maupun ekonomi.

(41)

Apabila terjadi kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen, yang bersamaan dengan terjadinya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat (Skenario 6) ternyata dapat menutupi dampak negatif dari penguatan nilai rupiah. Dengan skenario ini pabrik kelapa sawit memperoleh keuntungan baik dari sisi finansial maupun ekonomi. Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial sebesar 876.9 persen dan kenaikan keuntungan ekonomi sebesar 244.1 persen.

Adapun penerapan kebijakan kenaikan harga input TBS sebesar 10% yang diterapkan pada saat kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen, dan bersamaan dengan terjadinya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika ( Skenario 7) masih berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Walaupun demikian kebijakan ini mengakibatkan penurunan keuntungan finansial sebesar 74.8 persen dan penurunan keuntungan ekonomi sebesar 22.5 persen.

5.6.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Tingkat Proteksi Pemerintah pada Pabrik Kelapa sawit

Dampak kebijakan ekonomi terhadap tingkat proteksi pemerintah pada pabrik kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 18.

Diberlakukannya Skenario 1 menghasilkan nilai EPC yang lebih kecil 1, NPCI yang lebih besar 1 yang relatif tidak berubah dengan nilai basisnya, serta dari nilai PC dan SRP yang negatif, semakin menegaskan bahwa kebijakan skenario pertama ini bersifat disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Nilai NPCO < 1, karena memang pada pabrik kelapa sawit tanpa ada intervensi apapun dari pemerintah telah berdampak pada insentif terhadap output pabrik kelapa sawit. Kebijakan disinsentif terhadap input ini yaitu berupa kenaikan harga input TBS

(42)

sebesar 10% ternyata berdampak negatif dan secara keseluruhan merupakan disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Penerapan kebijakan ini dapat mengakibatkan pabrik kelapa sawit memperoleh kerugian sebesar 280.1 persen dari keuntungan yang seharusnya.

Tabel 18. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Berbagai Rasio Analisis Matriks Kebijakan pada Pabrik Kelapa Sawit

Skenario Kebijakan NPCO NPCI EPC PC SRP

Nilai Basis 0.9973 1.0376 0.9614 0.2801 -0.0204 Skenario 1 0.9973 1.0350 0.9586 -1.4322 -0.0204 Skenario 2 0.9966 1.0376 0.9676 0.8706 -0.0190 Skenario 3 0.9968 1.0348 0.9591 -1.6140 -0.0205 Skenario 4 0.9966 1.0350 0.9658 0.7640 -0.0190 Skenario 5 0.9968 1.0323 0.9557 -1.1773 -0.0205 Skenario 6 0.9961 1.0348 0.9661 0.7952 -0.0191 Skenario 7 0.9961 1.0323 0.9639 0.0911 -0.0191 Keterangan:

Skenario 1 = harga TBS naik 10 persen

Skenario 2 = harga CPO dan Inti naik 15 persen

Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2

Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3

Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3

Penerapan Skenario 2 berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Dampak positif ini terjadi karena memang kebijakan bersifat protektif terhadap output, diindikasikan dari nilai NPCO yang < 1 (0.9973) yang merupakan kebijakan paling protektif terhadap output dari semua skenario diluar skenario gabungan yang ada. Namun bila dilihat secara keseluruhan dengan menggunakan nilai rasio EPC, PC dan SRP mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Dari rasio gabungan input dan output tampak bahwa kebijakan ini bersifat disinsentif terhadap pabrik kelapa sawit, hal ini ditunjukkan dari nilai EPC < 1 (0.9676), nilai PC < 1 (0.8706) dan nilai SRP -0.00190. Dengan demikian dapat dinyatakan

(43)

bahwa penerapan kebijakan yang bersifat protektif terhadap output ini ternyata secara keluruhan masih bersifat disinsentif terhadap pabrik kelapa sawit.

Penerapan Skenario 3 berdampak negatif pada pabrik kelapa sawit, dan

merupakan kebijakan yang bersifat disinsentif, hal ini dapat ditunjukkan dari nilai NPCO yang < 1 (0.9968), menunjukkan bahwa penguatan nilai rupiah ternyata bersifat disinsentif terhadap output pabrik kelapa sawit. Apabila dilihat secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Hal ini dapat dilihat dari nilai EPC dan PC yang sama sama < 1 dan nilai SRP yang menunjukkan transfer yang minus. Hal ini mengindikasikan bahwa pabrik kelapa sawit mengalami penurunan keuntungan kotor sebagai dampak penerapan kebijakan ini. Penerapan kebijakan yang secara keluruhan bersifat disinsentif ini dapat menurunkan keuntungan, karena pabrik kelapa sawit hanya menerima sebesar -161.40% dari keuntungan yang seharusnya.

Penerapan Skenario 4 memberikan dampak yang positif bagi pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini memang merupakan gabungan dari kebijakan yang sifatnya insentif terhadap output, yaitu kenaikan harga CPO dan Inti sebesar 15%, yang diindikasikan dari nilai NPCO < 1 (0.9966) dan kebijakan yang sifatnya disinsentif terhadap input, yaitu kenaikan harga TBS 10%, yang diindikasikan dari nilai NPCI > 1 (1.0350). Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa penerapan skenario ini memberikan dampak positif baik terhadap keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Dampak positif ini tidak serta merta menjadikannya suatu kebijakan yang bersifat protektif. Karena secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Hal

Gambar

Tabel 10.  Rata-Rata Biaya Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten  Siak per Tahun
Tabel  14. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keuntungan Privat dan  Keuntungan Sosial Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Siak
Tabel 15.  Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Berbagai Rasio Analis Matrik  Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit
Tabel 16.  Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keunggulan Kompetitif dan  Keunggulan Komparatif pada Perkebunan Kelapa Sawit

Referensi

Dokumen terkait

kesehatan seperti yang dilakukan pada “Forum Nasional II: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia”.  Harapan: semoga forum bisa menghasilkan

 Secara ideal, sumber daya manusia yang diharapkan untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah mereka yang selama ini telah bekerja di sektor kesehatan

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Pendapat Mahasiswa Program Studi PKn Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Atas Buku” adalah hasil karya sendiri

Hal ini bisa terjadi mungkin karena perbedaan tingkat nonpolar diantara pelarut-pelarut tersebut.dengan tetapan dielektrik benzena 2,284, sikloheksana 1,924,

Simpulan dari penelitian ini adalah penambahan vitamin A, vitamin E serta kombinasi keduanya sebanyak 2000 IU/100g dan 20 IU/100g dalam ransum menghasilkan konsumsi

Kualitas tidur mahasiswa FK UR angkatan 2012 sebagian besar termasuk dalam kategori buruk (84%), tekanan darah sistolik mahasiswa FK UR angkatan 2012 terdapat

Tema masalah yang dipilih dalam studi ini adalah mengenai harga lahan dalam suatu koridor jalan terkait intensitas pemanfaatan ruang. Berdasarkan penjelasan yang

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan dinding sel atau komponen  –    komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid )