• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Rekomendasi Untuk Draft SRAN HIV & AIDS 2015 – 2019 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

A. Pengantar

Integrasi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam DRAFT SRAN 2015-2019

Salah satu isu strategis di dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV & AIDS Tahun 2015-2019 (SRAN 2015-2019) yang dikeluarkan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah isu tentang pentingnya integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Hal ini merupakan isu baru yang membedakan dengan SRAN sebelumnya. Integrasi dalam dokumen SRAN 2015-2019 sangat kuat tampak pada keinginan untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS baik secara vertikal (pusat dan daerah) dan horizontal (lintas sektor dan lintas program) dalam aspek tata kelola, pembiayaan, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan obat dan perlengkapan medik, pengembangan sistem informasi, pengelolaan dan penyediaan layanan kesehatan dan penguatan partisipasi masyarakat. Berbagai bentuk integrasi dalam berbagai aspek tersebut bisa ditemukan pada dokumen Draft SRAN 2015-2019 seperti di bawah ini:

(1) Integrasi isu AIDS dengan pembangunan nasional dan daerah pada tingkat strategi dan implementasi. Isu integrasi AIDS dengan pembangunan kesehatan khususnya dilakukan dalam strategi nasioal dan operasional melalui berbagai inisiatif pokok seperti LKB, PMTS, SUFA, PMTCT.

(2) Integrasi perencanaan HIV dalam skema pendanaan khusus atau terintegrasi dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah. Perencanaan menjadi salah satu poin pokok dalam integrasi HIV dengan sektor lain di dalam anggaran pemerintah.

(3) Integrasi layanan HIV ke dalam layanan kesehatan dasar dan rujukan, misalnya integrasi HIV di puskesmas menjadi salah satu bentuk dari pendekatan fungsi pada sektor-sektor layanan kesehatan dasar. Contoh lainya, Test HIV dan pengembangan layanan CST untuk fasyankes yang telah dipilih, dikembangkan melalui program LKB, PMTS, PITC dan PMTCT. Bentuk-bentuk integrasi ini menjadi strategi yang dikembangkan untuk implementasi layanan HIV.

(4) LKB merupakan bentuk integrasi yang dipilih untuk mencapai pelayanan komprehensif berkesinambungan dengan partisipasi aktif masyarakat. Inisiatif melalui

(2)

pengembangan program LKB ke dalam layanan kesehatan dan masyarakat menjadi kata kunci. LKB merupakan satu bentuk dan tujuan dari integrasi.

(5) Integrasi perlindungan sosial untuk ODHA dan populasi kunci terkait dengan HIV ke dalam sistem asuransi sosial. Sistem asuransi sosial menjadi satu terobosan untuk memberikan perlindungan bagi ODHA termasuk perlindungan kesehatan ODHA secara berkelanjutan.

(6) Integrasi kebijakan penanggulangan HIV & AIDS pada tingkat provinsi dan kabupaten untuk menjamin mekanisme layanan HIV terintegrasi dengan layanan kesehatan di daerah.

(7) Integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnostic ke dalam sistem pengadaan logistic yang ada di setiap level pemerintahan. Misalnya integrasi penyediaan obat dan perlengkapan diagnosis untuk mendukung program SUFA.

(8) Integrasi informasi yang terkait dengan HIV diterjemahkan dalam SIHA yang merupakan bagian integral dari monitoring dan evaluasi di dalam SRAN 2015-2019.

Berbagai bentuk integrasi seperti di atas diharapkan bisa meningkatkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang terutama ketika pendanaan luar negeri semakin berkurang. Demikian pula, pada masa lima tahun terakhir ini upaya untuk membangun kebijakan yang bersifat lintas sektor dan lintas program juga semakin banyak dan pendanaan dalam negeri cenderung meningkat. Kebijakan desentralisasi juga menjadi dasar untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang. Dalam dokumen SRAN 2015-2019, tujuan dari integrasi adalah sebagai berikut :

(1) Meningkatkan cakupan layanan kesehatan dengan pengembangan inisiatif pencegahan secara aktif oleh Nakes melalui prosedur LKB, PITC, PMTS, dan PMTCT. (2) Mengurangi biaya layanan dengan implementasi integrasi layanan dalam sistem

kesehatan dan sistem layanan komunitas.

(3) Meningkatkan keadilan dan aksesibilitas dalam pelayanan kesehatan dan masyarakat (4) Meningkatkan peran dan tanggungjawab daerah di dalam penanggulangan HIV &

AIDS

(3)

Secara garis besar upaya integrasi yang tercantum dalam dokumen SRAN 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat, menyediakan perlindungan finansial bagi mereka yang mengalami situasi kesehatan tersebut dan peka terhadap perubahan-perubahan kebutuhan kesehatan masyarakat. Diyakini bahwa tujuan tersebut bisa dimungkinkan terwujud jika berbagai upaya integrasi ke dalam sistem kesehatan ini bisa berjalan dengan baik.

B. Input Untuk Perbaikan Draft SRAN 2015 – 2019

Perlunya memahami tantangan untuk melakukan integrasi penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan

Upaya untuk mewujudkan integrasi penanggulangan HIV & AIDS ini tentu saja bukan sesuatu yang mudah dilakukan karena secara alami permasalahan HIV dan AIDS pada dasarnya bukan permasalahan kesehatan semata bahkan seringkali dianggap sebagai permasalahan sosial sehingga upaya untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat multisektoral dan lintas program seringkali mengalami berbagai hambatan baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam bagian berikut ini akan disajikan beberapa tantangan integrasi yang perlu dilihat oleh KPA Nasional agar bisa mengembangkan konsep integrasi yang kuat di dalam SRAN 2015-2019.

a. Kompleksitas Tata Kelola Upaya Penanggulangan HIV & AIDS

Kelemahan mendasar pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS terlalu bertumpu pada “pengadaan” kebijakan dan kelembagaan. Studi review yang dilakukan PKMK terkait sistem, mekanisme dan prosedur pengelolaan upaya penanggulangan HIV & AIDS memperkuat argumen penekanan pada produksi kebijakan dan kelembagaan sejak dikeluarkannya mandat PP 36 Tahun 1994 tentang pembentukan kelembagaan KPAN dan KPAD. Terdapat setidaknya 66 Kebijakan Nasional dan 55 Peraturan Daerah termasuk Perbub dan Pergub. Fakta ini menunjukkan bahwa tata kelola upaya penanggulangan HIV & AIDS pada tataran implementasi adalah titik kritis yang perlu dikuatkan.

Selain itu, banyak kebijakan daerah yang diinisiasi oleh kebijakan pusat. Berbagai kebijakan berupa Permenkokesra, Permenkes, Permendagri dan rencana strategi nasional semuanya menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat sangat kuat. Kebijakan dan program penanggulangan HIV & AIDS di daerah yang ada hampir semuanya merupakan turunan dari program nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama ini

(4)

program pencegahan HIV & AIDS di Indonesia bersifat vertikal, yang mengakibatkan persoalan HIV dan AIDS dianggap sebagai persoalan sektoral oleh pemerintah daerah. Salah satu penyebab dominannya kebijakan pusat, selain anggaran adalah akses terhadap data. Sebagian besar data yang digunakan sebagai dasar untuk penyusunan program, dikelola oleh pemerintah pusat sehingga apa yang disebut sebagai ’ evidence-based programming’ sepertinya menjadi hak istimewa pemerintah pusat. Inisiatif stakeholder daerah dalam banyak kasus tidak kuat dalam penggunaan data sebagai basisnya, lebih banyak berdasar anekdot dan kasus.Praktek ’top down’ seperti ini terus berlanjut karena secara teknis mempunyai basis argumen yang kuat, namun banyak kritik terutama dalam hal kontekstualisasi dengan agenda stakeholder lokal. Pendekatan vertikal atau yang sifatnya top-down cenderung membawa agenda dan gagasan yang dianggap ‘luar’ dan jika pelibatan stakeholder lokal kurang, rasa kepemilikan yang akan berimplikasi pada dukungan sumber daya lokal akan rendah. Risiko lainnya adalah kesesuaian dengan program dan prioritas daerah.

Fakta lain yang dapat menjadi salah satu tantangan dalam upaya integrasi ini adalah rujukan pengambilan kebijakan di setiap level pada praktiknya merupakan ‘tarik-menarik kepentingan’, antara rujukan kepada data teknis/epidemiologis dan pertimbangan politik ekonomi. Di beberapa kasus pertimbangan politik ekonomi lebih kuat dibandingkan rujukan kepada data teknis epidemologis sebagai basis utama dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kurangnya koordinasi dan harmonisasi layanan AIDS dengan layanan kesehatan baik antar program maupun antar jenjang. Tantangan konkrit dalam implementasi peran KPA dan KPAD dengan pemangku kepentingan lainnya adalah kelemahan koordinasi dan harmonisasi dalam layanan AIDS dengan layanan kesehatan, seperti pada implementasi LKB.

Terbatasnya SDM yang dapat menunjang upaya pelaksanaan kebijakan juga menjadi tantangan kunci dalam implementasi kebijakan dan layanan AIDS. Rasio nakes yang memiliki kompetensi dalam penanganan layanan masih sangat terbatas.

b. Fragmentasi Aktor/ Sektor dalam Sistem Kesehatan

Selama ini terjadi kontestasi kebijakan, pendekatan dan ketersediaan sumber daya untuk penanggulangan AIDS dan penyediaan layanan kesehatan lainnya. Dengan demikian, integrasi masih menjadi permasalahan serius dengan kenyataan tersebut di atas.

(5)

Selain itu, secara kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS adalah inisiatif pemerintah pusat yang kemudian mengalami penyesuaian karena adanya kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia mulai 2001. Secara struktural, KPA Provinsi dan Kabupaten/Kota memang tidak langsung dibawah KPA Nasional, namun dari sisi program, desain dan agenda program KPA Daerah merupakan refleksi dari kebijakan program KPAN. Terlebih dengan minimnya dana (yang sebagian besar untuk biaya non-program) dan terbatasnya sumber daya manusia di tingkat KPA Daerah, kebergantungan akan program dari KPAN masih besar. Program GF-ATM dan Indonesia Partnership Fund, misalnya semakin memperkuat relasi pusat-daerah ini. Beberapa KPA Daerah menunjukkan respon dan perkembangan tingkat kelembagaan yang berbeda. Di daerah di mana masyarakat sipilnya aktif, misalnya Jawa Timur, Sumatera Utara dan Bali, KPAnya daerah cenderung lebih aktif.

Terkait relasi KPAN dengan KPAP/KPAD, sekalipun secara struktural KPAN bukan atasan KPAP/KPAD, dalam relasi suatu proyek, KPAP/KPAD bisa berperan sebagai lembaga pelaksana KPAN yang bertindak sebagai pemegang kontrak dengan donor. Akibatnya, sering Perda yang ada hanya sebagai dokumen kebijakan yang tidak ditindaklanjuti dengan mekanisme pendanaan yang jelas dan program yang sesuai kondisi daerah. Perubahan pembagian kekuasaan dan wewenang pusat dan daerah yang tidak diimbangi dengan pembagian sumber daya yang mencukupi ke daerah, menyebabkan kebijakan desentralisasi menyisakan banyak permasalahan dalam hal keseimbangan antara pembagian kekuasaan dan kewenangan yang berkonsekwensi pada isu pembagian sumber daya yang cukup antara pusat dan daerah.

Hingga kini masih ada kesulitan untuk merubah pola pikir dari ’project oriented’ atau ’budget oriented’ kepada ”performance based-budgeting’ dan ’client oriented’. Paradigma orientasi proyek ini masih kuat mengakar dalam benak para pengambil kebijakan. Berakhirnya GF pada 2015 membuktikan para pemangku kepentingan menjadi ‘khawatir’ dan ‘tidak punya inisiatif’ untuk melakukan perubahan-perubahan pengelolaan dari ’project oriented’ menjadi ’performance based-budgeting’ dan ’client oriented’. Faktor ini di banyak tempat membuat layanan tidak berjalan, mati suri atau diam di tempat ketika projek berakhir, kecuali di daerah-daerah yang pemerintah daerahnya memiliki kepedulian terhadap isu HIV & AIDS.

(6)

Antar Mitra Pembangunan Internasional (MPI) masing-masing membawa pendekatan (school of thoughts) yang berbeda, misalnya World Bank menekankan pada pengembangan kelembagaan dan piloting intervensi Penyakit Menular Seksual, AusAID/DFAT mendorong kebijakan nasional, keterlibatan unit pemerintah (Puskesmas), meningkatkan penganggaran HR oleh pemerintah daerah serta memperluas program HR. USAID melalui program ASA dan SUM menekankan pada Community-based approach dan menciptakan lingkungan kondusif untuk pelayanan STD dan HIV/AIDS (kebijakan, bimbingan teknis, peningkatan kapasitas, riset aksi dan surveillance). Partnership Fund dan GFATM menekankan pada penguatan kelembagaan KPA di nasional dan sub-nasional (staff, operasional kantor), memastikan intervensi berlangsung di 141 kota/kabupaten prioritas serta penyediaan ARV.

Upaya ini menunjukan kepedulian dari MPI dalam penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia. Namun implikasi dari pendekatan dan fokus yang berbeda-beda salah satunya adalah timbulnya fragmentasi dan tidak terintegrasinya program MPI dengan sistem kesehatan nasional dan sistem kesehatan daerah. Sehingga sebuah program yang dikembangkan, ketika sudah habis periode pendanaan bias berhenti karena tidak sinkron dengan kebijakan lokal kecuali program-program yang terintegrasi dengan sistem kesehatan primer yang langsung berkontribusi pada peningkatan kualitas layanan maupun SDM.

c. Kompleksitas Mekanisme Pembiayaan Penanggulangan HIV & AIDS

Adanya persaingan anggaran antara program kesehatan lainnya dengan program HIV dan AIDS. Program AIDS setelah GF dan lembaga donor masuk menjadi dominan dan cukup menentukan. Ketika proses integrasi penanggulangan AIDS dilakukan ke dalam sistem kesehatan nasional, persaingan dengan program kesehatan lain tidak bisa dihindari.

Dominansi pusat atas daerah sangat kuat terkait pilihan pembiayaan penanggulangan AIDS. Alokasi pembiayaan dari pusat menunjukkan peningkatan signifikan terkait dengan alokasi untuk layanan AIDS yang mencapai 43 % pada tahun 2013. Banyak daerah telah mengalokasikan dana APBD tapi untuk program dan layanan masih terbatas. Komitmen daerah untuk menganggarkan dana APBD untuk sektor kesehatan

(7)

mengalami peningkatan akan tetapi alokasi untuk program dan layanan AIDS masih sangat terbatas.

Lahirnya UU BPJS menjadi alternatif baru untuk pembiayaan perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap ODHA walaupun cakupan yang dicover oleh BPJS belum komprehensif, misalnya; obat ART, test viral load. Selain itu, sistem kapitasi yang diberlakukan untuk program pencegahan di level layanan primer berpotensi untuk dijadikan sumber pendanaan program pencegahan HIV/AIDS tergantung pada prioritas daerah.

Sistem rayonisasi dalam BPJS bisa menghambat ODHA untuk mengakses layanan yang sesuai kebutuhan di tempat ODHA berada.

d. Masih perlunya penguatan partisipasi masyarakat yang berkelanjutan

Terkait dengan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi, dalam SRAN KPAN 2010-2014 menjelaskan bahwa dalam konteks HIV dan AIDS, masyarakat sipil berperan dan mendukung pemerintah dalam upaya penanggulangan AIDS. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang telah terorganisasi, antara lain orang yang terinfeksi HIV dan populasi kunci, lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemasyarakatan, tenaga profesional, organisasi profesi, dan lembaga pendidikan tinggi. Mereka dapat menjadi penggerak utama dan berperan aktif dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia, dalam proses perumusan kebijakan, perencanaan dan implementasi setiap program yang dilakukan, serta monitoring dan evaluasi. Seyogyanya peran masyarakat perlu ditingkatkan tidak saja sebagai keterwakilan komunitas/lembaga tetapi juga peran aktif dalam kegiatan perencanaan, implementasi, dan monitoring program penanggulangan HIV dan AIDS di berbagai level.

Selama ini pilihan layanan kesehatan untuk ODHA masih terbatas. Idealnya masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang mudah diakses, terjangkau dan tidak diskriminatif. Terkait dengan layanan kesehatan untuk ODHA, belum semua layanan kesehatan bisa memenuhi kebutuhan ODHA, seperti layanan ARV terbatas pada layanan di RS rujukan ARV saja, belum sampai pada layanan kesehatan dasar (Puskesmas). Upaya masyarakat sipil untuk mendorong ketersediaan layanan ini sudah banyak dilakukan dan telah direspon oleh pemerintah secara bertahap, seperti upaya membuka layanan MMT di beberapa layanan kesehatan.

(8)

C. Rekomendasi untuk Perbaikan Draft SRAN 2015- 2019 terkait dengan Integrasi Penanggulangan HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan

Catatan awal: rekomendasi yang dipaparkan di bawah ini berfokus pada dua hal. Pertama, sistematika penulisan terkait dengan integrasi di dalam Draft SRAN. Kedua, bentuk integrasi yang efektif dan bisa diadopsi sesuai dengan konteks Indonesia. Namun rekomendasi kedua ini perlu menunggu hasil dari penelitian tahap I : Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Nasional yang akan selesai pada Desember 2014.

Dalam mengkaji dokumen SRAN 2015-2019, meski upaya integrasi sudah disebutkan sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan kinerja upaya penanggulangan HIV & AIDS di masa mendatang tetapi di dalam dokumen tersebut belum bisa ditemukan definisi dan konsep integrasi ke dalam sistem kesehatan secara tegas. Hal ini penting karena tujuan dan bentuk integrasi ditentukan oleh definisi dan konsep yang perlu disepakati sebelumnya. Berbagai bentuk integrasi yang disebutkan dalam dokumen masih terbatas pada ‘gejala-gejala’ yang diharapkan daripada sebuah konsep yang memiliki dasar yang kuat. Untuk itu, perlu untuk mengembangkan kejelasan konsep integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan yang berlaku di Indonesia. Pengembangan konsep ini penting karena secara sistematis bisa digunakan untuk memandu operasionalisasi rencana aksi penanggulangan HIV dan AIDS baik pada tingkat nasional maupun daerah. Meski demikian, integrasi tidak bisa dipandang sebagai tujuan, melainkan merupakan sarana untuk

mengoptimalkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.

Terdapat banyak definisi integrasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal1.

Merujuk pada Shigayeva, Atun, McKee dan Coker (2010), definisi integrasi yang lebih sesuai untuk digunakan di dalam SRAN 2015-2019 adalah: sebuah struktur dan fungsi yang berhubungan dengan penguatan dan keberlanjutan sistem kesehatan beserta komponen-komponennya untuk menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, efisien, dan adil. Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, maka kerangka pikir untuk integrasi ke dalam

1

Lihat: Richard Cooker, et al., A Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of Country case studies: HIV and TB Control programmes and Health System integration. Health Policy and Planning 2010: 25; 121 – 133, bdk Rifat Atun et al., Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis Health Policy and Planning 2010: 25; 104 -111; A. Conseil S.et al., Integration of health systems and priority health interventions: a case study of the integration of HIV and TB control programmes into the general health system in Vietnam. Health Policy and Planning, 2010 ; 25 suppl1: i32-i36; R. Windisch,D. de Savigny, G.Onadja et al., HIV treatment and reproductive health in the health system in Burkina Faso:

(9)

sistem kesehatan berbasis pada tujuh komponen; (1) regulasi dan tata kelola; (2) pembiayaan; (3) upaya kesehatan; (4) informasi strategis, (5) sumberdaya manusia, (6) penyediaan obat dan perlengkapan medik dan (7) pemberdayaan masyarakat.

Kerangka untuk memahami konsep integrasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa upaya penanggulangan AIDS sebagai sebuah intervensi kesehatan yang spesifik dan diinisiasi dan dikembangkan secara vertikal perlu diintegrasikan ke dalam berbagai komponen sistem kesehatan yang berlaku dan menjadi dasar bagi upaya pembangunan kesehatan di Indonesia agar bisa lebih mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan kelompok yang terdampak dan masyarakat secara umum, memberikan perlindungan finansial yang lebih besar dan peka terhadap perubahan kebutuhan dari kelompok tersebut dan masyarakat.

Integrasi mencakup dimensi integrasi struktural dan fungsional dari sistem kesehatan. Secara struktural, integrasi mengandaikan adanya pembagian peran dan tanggung jawab dan hubungan yang jelas diantara pemangku kepentingan strategis di dalam penanggulangan HIV dan AIDS di dalam kerangka kebijakan dan regulasi yang berlaku atau diacu di dalam sistem kesehatan nasional2. Sementara itu secara fungsional, berbagai fungsi atau kompunen

upaya penanggulangan HIV dan AIDS mencerminkan dan menggunakan berbagai komponen di dalam sistem kesehatan sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kesehatan di Indonesia.

Seberapa besar jauh tingkat integrasi yang diharapkan dari upaya penanggulangan AIDS ke dalam sistem kesehatan akan bergantung pada konteks eksternal dari sistem kesehatan dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ini seperti faktor kebijakan desentralisasi dan situasi ekonomi, sosial, demografi dan epidemiologi dari suatu wilayah. Dengan demikian, tingkat integrasi fungsional penanggulangan HIV dan AIDS ini akan berbeda-beda tergantung oleh situasi dan konteks daerahnya masing-masing. Meskipun demikian, secara struktural integrasi penanggulangan AIDS akan mengacu pada kebijakan desentralisasi yang berlaku secara nasional. Gambaran model integrasi yang bisa dikembangkan bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

(10)

Model Integrasi Upaya Penanggulangan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan3

Dengan menggunakan kerangka berpikir seperti dig atas, maka kami merekomendasikan beberapa hal di bawah ini untuk dipertimbangkan di dalam merancang upaya mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan seperti yang tergambar dalam naskah SRAN 2015-2019. Rekomendasi-rekomendasi untuk upaya melakukan integrasi adalah sebagai berikut:

a) Komponen Regulasi dan Tata Kelola

 Pada dasarnya komponen regulasi dan tata kelola di dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS mencakup aspek struktural dan fungsional dimana komponen ini menentukan bentuk, sistem dan proses pengelolaan upaya kesehatan melalui pengembangan perundang-undangan, regulasi dan peraturan

3 Diadaptas dari Richard Cooker, et al., A Conceptual and Analytical Approach to Comparative Analysis of Country case studies: HIV and TB Control programmes and Health System integration. Health Policy and

Regulasi dan Tata Kelola Pembiayaan Upaya Kesehatan SDM Informasi Strategis Obat dan Perlengkapan medik Pemberdayaan Masyarakat

Regulasi dan Tata Kelola

Pembiayaan

Upaya Kesehatan

SDM

Informasi Strategis

Obat dan Perlengkapan medik Pemberdayaan

Masyarakat

Komponen Sistem Kesehatan Nasional

Ko mp o n en Pen an gg ul angan HIV da n AI D S K o n tekx Eksterna l*

Manajamen, kapasitas organisasi, akuntabilitas, responsif Sumber dan mekanisme pembiayaan

Pencegahan; perawatan, pengobatan dan dukungan; mitigasi dampak

Ketersediaan, kompetensi dan kemitraan sektor publik dan non-publik

Surveilans, monitoiring dan evaluasi; peneliian dan pengembangan Pengadaan; penyimpanan dan

distribusi

Partisipasi masyarakat siipil dan terdampak HIV & AIDS; pemanfaatan

layanan penanggulangan AIDS *politik; ekonomi,demografi, legislasi, sosial budaya, teknologi epidemiologi, inisiatif global,

(11)

terkait dengan kesehatan untuk menjamin implementasi upaya kesehatan yang efektif, efisien, merata, berkeadilan dan berkualitas serta membuka ruang bagi partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam penyediaan dan pemanfaatan layanan kesehatan.

 Selama ini sudah cukup banyak kebijakan dan peraturan yang dikembangkan untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan HIV dan AIDS tetapi masih ditemukan berbagai hambatan di dalam pelaksanaan baik dari struktur dan isi peraturan maupun di dalam pelaksanaannya karena belum dirancang dalam peraturan dan regulasi yang telah dikembangkan dalam sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, secara mendasar sangat mendesak untuk dilakukannya sinkronisasi dan penguatan implementasi kebijakan dan regulasi yang telah dikeluarkan di level nasional dan daerah sebagai dasar untuk melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas peran, tanggung jawab dan relasi antar komponen, antar sektor, antar program dan regulasi nasional dan daerah dalam penanggulangan AIDS. Sebagai contoh, memperkuat regulasi tentang kelembagaan pengelolaan penanggulangan HIV & AIDS yang diatur dalam PP 75 tahun 2006 dan Permendagri 20 tahun 2007 dengan mengacu pada UU Kesehatan, UU Otonomi Daerah, PP No. 38 Tahun 2007 dan Permenkes 21 tahun 2013 tentang Upaya Penanggulangan AIDS.

 Pada tingkat daerah, perlunya penyesuaian dan penyelarasan regulasi operasional terkait dengan HIV dengan regulasi tentang kesehatan dan pembangunan daerah seperti RPJMD, Sistem Kesehatan Daerah, Renstra Sektor Kesehatan. Sinkronisiasi dan penyesuaian ini diharapkan bisa berdampak pada dikembangkannya Perencanaan Kerja (Renja) SKPD yang menetapkan SPM untuk penanggulangan AIDS daerah untuk daerah dengan tingkat epidemi yang tinggi atau adanya kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS secara rutin di daerah dengan tingkat epidemi yang lebih rendah. Dengan memberikan perhatian pada aspek struktural ini diharapkan kelembagaan dan kapasitas organisasi daerah untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS bisa menjadi semakin jelas dan kuat.

(12)

b) Komponen Pembiayaan

 Pembiayaan penyelenggaraan penanggulangan HIV dan AIDS mencakup menentukan sumber pembiayaan, pengalokasian dana dan mekanisme pembelanjaan serta akses terhadap pembiayaan kesehatan yang tersedia. Sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia berasal dari banyak sumber baik dari dalam negeri (nasional dan daerah) dan luar negeri. Untuk itu perlu ada strategi untuk melakukan penyesuaian dan penyelarasan dengan mekanisme pembiayaan pembangunan nasional dan daerah sehingga menjadi pembiayaan yang terintegrasi dalam mekanisme APBN dan APBD dan menghilangkan pendekatan yang vertikal.

 Dengan berlakunya JKN sebagai sumber pembiayaan kesehatan di Indonesia, maka perlu ada langkah nyata dari KPAN dan Kementerian Kesehatan untuk melakukan perhitungan pembiayaan pelayanan HIV dan AIDS mulai dari promosi, pencegahan, perawatan dan pengobatan serta mitigasi dampak HIV dan AIDS dan menentukan model atau mekanisme pembiayaannya yang terintegrasi dengan JKN dengan mempertimbangkan peran pemerintah daerah melalui APBD.  Pengembangan mekanisme pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS pada tingkat daerah nasional perlu juga mempertimbangkan akses bagi publik untuk memanfaatkan dana yang tersedia untuk melakukan penanggulangan HIV dan AIDS sebagai bentuk partisipasi masyarakat dimana saat ini permasalahan ini secara substantif belum dipikirkan dengan seksama.

c) Komponen Upaya Kesehatan

 Upaya kesehatan di dalam penanggulangan HIV dan AIDS merupakan intervensi kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman dan berkualitas mulai dari layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di tempat dan waktu tertentu.

 Belajar dari pengalaman integrasi layanan HIV dan AIDS selama ini, ada beberapa layanan khususnya yang bersifat preventif (tes dan konseling HIV, PMTCT, penyediaan metadon, atau penapisan IMS) dan kuratif (pengobatan IMS, terapi ARV dan pengobatan IO) telah terintegrasi dengan baik layanan kesehatan primer yang tersedia. Namun demikian, ada pula integrasi kegiatan yang bersifat

(13)

promotif (KIE), preventif (distribusi jarum atau kondom) dan rehabilitatif (perawatan berbasis rumah) yang belum memberikan hasil seperti yang diharapkan karena masih terbatasnya kapasitas dan ketersediaan sumber daya manusia. Oleh karena itu, dalam proses integrasi perlu mempertimbangkan jenis-jenis layanan apa saja yang perlu diintegrasikan dalam pusat layanan kesehatan primer/sekunder dan layanan lain yang tidak dilakukan oleh pusat layanan kesehatan tersebut agar bisa memaksimalkan pemanfaatannya.

d) Komponen Informasi Strategis

 Informasi strategis di dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS berfungsi untuk memastikan produksi, analisis, diseminasi dan penggunaan informasi yang reliable dan tepat waktu tentang berbagai permasalahan terkait epidemiologi HIV dan AIDS dan kinerja upaya kesehatan serta status kesehatan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan pada tingkat kebijakan/regulasi atau programatik.

 Pengelolaan informasi strategis dalam penanggulangan HIV dan AIDS (SIHA, SINU, R&R KPAN, dll) sangat penting untuk menggunakan sistem pengelolaan informasi strategis yang telah dikembangkan dalam sistem informasi kesehatan nasional (SIKNAS) atau pada tingat daerah dengan memanfaatkan SIKDA Generik  Salah satu ketimpangan utama dalam ketersediaan informasi strategis selama ini adalah terkonsentrasinya data program (epidemilogi, kinerja program, status kesehatan) di tingkat nasional sehingga tidak memungkinkan daerah untuk melakukan perencanaan program. Oleh karena itu, dengan mengintegraskan ke dalam SIKNAS/SIKDA, daerah memiliki akses sumber data yang memadai untuk mengembangkan perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS berbasis data wilayah.

e) Komponen Sumber Daya Manusia

 Secara ideal, sumber daya manusia yang diharapkan untuk melaksanakan penanggulangan HIV dan AIDS adalah mereka yang selama ini telah bekerja di sektor kesehatan pada umumnya. Tetapi dalam kenyataannya, sumber daya manusia yang bekerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS, tidak hanya mereka

(14)

yang bekerja di sektor kesehatan saja tetapi juga melibatkan mereka yang bekerja di sektor non-kesehatan seperti petugas lapangan, kader, manajer kasus, konselor dan pendamping ODHA. Mengintegrasikan sumber daya manusia untuk penanggulangan HIV dan AIDS perlu sekali untuk memperhatikan situasi ini mengingat sumber daya manusia ini memiliki peran yang sangat strategis untuk memastikan pelayanan kesehatan bisa diakses dan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.

 Kualitas sumber daya manusia yang bekerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang diharapkan adalah SDM yang responsif terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat/individual, bekerja secara efisien, dan memiliki kompeten manajerial dan teknis yang memadai. Berbagai pengembangan kapasitas yang telah dilakukan di dalam penanggulangan HIV dan AIDS perlu disesuaikan atau diselaraskan dengan sistem pengembangan SDM yang ada di sistem kesehatan yang ada misalnya pelatihan aparatur atau pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Kemenkes atau pengembangan kapasitas SDM yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

f) Komponen Pengadaan Obat dan Perlengkapan Medis

 Penyediaan obat dan perlengkapan medis diharapkan dapat dijamin kualitas, keamanan, efikasi, cost-effectiveness dan penggunaannya. Dalam praktek terjadi kesenjangan proses pengadaan obat dan perlengkapan medik untuk program HIV dan AIDS dilakukan secara vertikal dan berdampak pada terjadinya sumbatan pada supply chain. Banyak capaian terkait jaminan kualitas obat, penggunaan obat generik dan pengelolaan mata rantai penyediaan bahan yang perlu disinkronkan dengan kebutuhan ODHA. Oleh karena itu mekanisme pengadaan, penyimpanan, distribusi dan pemanfaatan obat dan bahan atau perlengkapan medik untuk pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS perlu dimasukkan ke dalam pedoman pengelolaan obat dan perlengkapan medik yang diberlakukan pada tingkat nasional dan daerah. Selain itu, pembiayaan untuk pengelolaan obat dan perlengkapan medik untuk program HIV dan AIDS perlu juga untuk dimasukkan dalam skema JKN untuk menjamin keberlanjutannya.

(15)

g) Komponen Pemberdayaan Masyarakat

 Konsep pemberdayaan masyarakat di dalam sistem kesehatan sebenarnya lebih diarahkan untuk mendorong masyarakat untuk bisa memanfaatkan layanan kesehatan yang tersedia secara mandiri. Konsep pemberdayaan seperti ini perlu diperluas tidak sekedar hanya untuk memanfaatkan layanan yang tersedia tetapi juga diarahkan untuk mendorong partisipasi masyarakat di dalam setiap tahapan penyelenggaraan program penanggulangan AIDS agar mampu diwujudkannya pelayanan yang berkualitas serta membuka transparansi dan akuntabilitas di dalam pelayanan kesehatan.

 Untuk itu upaya untuk melibatkan (engage) populasi terdampak HIV dan AIDS, masyarakat sipil dan swasta menjadi sangat stategis di dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini. Kemitraan pemerintah, masyarakat sipil dan swasta perlu ditunjukkan secara konkrit di dalam pengembangan, implementasi dan monitoring/evaluasi kebijakan dan program yang ada dengan melalui mekanisme yang telah ada seperti musrenbang, forum KPAN/D, jaringan masyarakat sipil, dan asosiasi bisnis.

 Peran yang lebih besar pada SKPD untuk penguatan kapasitas ekonomi dan sosial dari ODHA dan populasi kunci perlu diperkuat dalam SRAN 2015-2019 dengan mengoptimalkan jaringan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil. Kemitraan ini seperti halnya dalam sektor kesehatan bisa diwujudkan mulai dari pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan sampai menciptakan lingkungan yang mendukung untuk mengurangi efek pengembangan usaha, seperti pendidikan dan pelatihan untuk pekerja dan masyarakat sekitar usaha mereka mengenai persoalan HIV dan AIDS. Peran media dapat melakukan edukasi khalayak luas terkait penanggulangan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia dikembangkan dengan membangun MOU dengan lembaga media sebagai bagian dari kebijakan KIE.

 Peran masyarakat sipil lain yang perlu memperoleh perhatian yang lebih besar untuk mendorong integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan adalah perguruan tinggi. Tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang memberikan perhatian terhadap permasalahan HIV dan AIDS sebagai masalah kesehatan masyarakat melalui penelitian, pengajaran maupun

(16)

pengabdian kepada masyarakat. Rekomendasi perguruan tinggi bahwa HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan akan semakin menguatkan para pemangku kepentingan baik di bidang AIDS maupun sektor kesehatan yang lebih luas untuk memperhitungkan manfaat integrasi layanan, SDM, logistik, dan sistem informasi yang intervensi spesifik ini (AIDS) ke dalam sistem kesehatan.

Referensi

Dokumen terkait

DAVYSUKAMTA & PARTNERS Structural Engineers Secara struktur , gedung tinggi adalah suatu gedung dimana rancangannya ditentukan oleh stiffness. DAVYSUKAMTA &

Pada bagian pendahuluan telah diungkapkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh manfaat hubungan relasional, yang diwakili oleh konstruk manfaat kepercayaan,

Budaya Angngaru Mangkasarak C. Nilai Ajaran Islam Terhadap Budaya Angngaru Mangkasarak …………... Angngaru mangkasarak adalah bagian terpenting dalam sejarah lahirnya

Mencermati Dugaan Kasus Manipulasi Pajak Asian Agri, (Jawa Pos Online, tanggal 8 November 2007), internet, diunduh tanggal 4 April 2008 Dali Bouzoraa, Transfer Pricing

Berdasarkan tingkat kepentingan suatu pengendalian terhadap Sistem Informasi Berbasis Komputer yang harus diupayakan oleh setiap perusahaan, maka penulis berminat untuk

Saya menyatakan di mana saya menyediakan informasi mengenai orang lain, bahwa saya akan, dalam 30 hari kalender sejak menandatangani formulirini, akan memberitahukan orang yang

Jenis tanaman berperawakan rendah di pekarangan Kecamatan Teluknaga, Citeureup dan Pacet ( K = konstansi keterdapatan ) No. Cabe besar Pandan wangi Belitung Panglai Opiopogon

Selain itu adanya kontaminasi total bakteri yang tinggi juga dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang hegienis dimana kontaminasi berasal dari tangan pekerja, alat