• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

19

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200464

MILYADRI GAGAH DININGRAD

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PERTIMBANGAN HAKIM MENOLAK KASASI DALAM KASUS NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2338/K.Pid.Sus/2013

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA)

Oleh

090200464

MILYADRI GAGAH DININGRAD

Disetujui Oleh

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP. 195703261986011001

Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. H. Syafrudddin Kalo, SH., M. Hum)

NIP. 196107021989031001 NIP. 196005201998021001

Alwan, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

PERTIMBANGAN HAKIM MENOLAK KASASI DALAM KASUS NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2338/K.Pid.Sus/2013

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA)

Milyadri Gagah Diningrad (*

Prof. Dr. H. Syafrudddin Kalo, SH., M. Hum (** Alwan, SH., M.H (***

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia. Pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013. Akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban. Pertimbangan hakim dalam menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika, Berdasarkan uraian dan ulasan permasalahan pertama, pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung No. 2338/K.Pid.Sus/2013 bahwa Hakim tingkat kasasi menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dengan alasan Judex Faxtie (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum, karena berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung No. 2338 K/Pid.Sus/2013maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh Terdakwa Pemohon Kasasi yaitu Irmanto pgl. Ir bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang mengakibatkan Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pencabulan

(4)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur kehadirat Allah Swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudul: Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik

Indonesia)

Dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

6. Bapak Prof. Dr. H. Syafrudddin Kalo, SH., M. Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

7. Bapak Alwan, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Koesmoko, SH dan Ibunda Nurizah Laila, yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun materi serta doa yang tidak putus-putusnya sehingga terselesaikanya skripsi ini.

10.Buat Rizky Della Hoya, yang sudah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Kepada teman-teman 09, Willy, Deri dkk yang sudah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

(6)

dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, April 2015 Hormat Saya

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Pemidanaan ... 9

2. Pengertian Tindak Pidana ... 10

3. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 12

F. Metode Penulisan ... 15

G. Sistematikan Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA ... 19

A. Sejarah Tindak Pidana Narkotika ... 19

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Narkotika ... 25

(8)

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM YANG NDILAKUKAN

HAKIM DALAM PELAKSANAAN PENOLAKAN KASASI

DALAM PUTUSAN NOMOR 2338 K/Pid.Sus/2013 ... 37

A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan ... 37

B. Pertimbangan Hakim yang dilakukan hakim dalam Pelaksanaan Kasasi ... 38

BAB IV AKIBAT HUKUM PENOLAKAN KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG NO. 2338 K/Pid.Sus/2013 ... 44

A. Posisi Kasus ... 44

1. Kronologi ... 44

2. Dakwaan ... 45

3. Fakta-fakta Hukum ... 48

4. Tuntutan ... 50

B. Analisis Kasus ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

(9)

ABSTRAK

PERTIMBANGAN HAKIM MENOLAK KASASI DALAM KASUS NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2338/K.Pid.Sus/2013

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA)

Milyadri Gagah Diningrad (*

Prof. Dr. H. Syafrudddin Kalo, SH., M. Hum (** Alwan, SH., M.H (***

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia. Pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013. Akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban. Pertimbangan hakim dalam menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika, Berdasarkan uraian dan ulasan permasalahan pertama, pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung No. 2338/K.Pid.Sus/2013 bahwa Hakim tingkat kasasi menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dengan alasan Judex Faxtie (Pengadilan Tinggi) tidak salah menerapkan hukum, karena berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung No. 2338 K/Pid.Sus/2013maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh Terdakwa Pemohon Kasasi yaitu Irmanto pgl. Ir bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang mengakibatkan Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pencabulan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), maka kualitas sumber daya manusia (selanjutnya disebutt SDM) Indonesia, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, perlu ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Hal ini berarti, untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi, dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan, dan di sisi lain, melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.1

Realita yang ada di masyarakat, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sudah tidak lagi pada tingkat yang mengkhawatirkan, melainkan sudah sampai pada titik yang berbahaya, karena dalam lima tahun terakhir, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan

1

(11)

peningkatan yang sangat tajam.2

Masalah narkotika dapat dikategorikan sebagai masalah nasional dan bahkan termasuk masalah internasional, karena sudah banyak konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang penggunaan dan peredaran narkotika dikeluarkan oleh badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, antara lain :

Perlu adanya penanganan yang intensif agar penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tersebut dapat teratasi, karena apabila kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tanpa ditangani dengan baik oleh semua pihak yang terkait (pemerintah, masyarakat, keluarga/orang tua, sekolah, dan sebagainya), maka sudah tentu pada akhirnya ini akan berdampak buruk bagi kelangsungan masa depan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melalui aparatur penegak hukum, berkewajiban menegakkan hukum dan perundang-undangan, dengan cara menindak tegas dan memberikan sanksi (pidana) terhadap setiap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai pengguna maupun pengedar narkotika.

Terjadinya kecemasan di tengah-tengah masyarakat akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lebih disebabkan karena, dampak yang ditimbulkan lebih jauh lagi adalah meningkatnya angka kriminal, seperti perampokan, perkosaan, pembunuhan, tawuran, dan lain-lain, yang dapat menciptakan keresahan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Dengan kata lain, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika akan berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarakat.

2

(12)

1. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug 1961) ;

2. Convention on Manufacture and Distribution of Narcotic Drugs (Jenewa

1931) ;

3. Convention for Suppression of Illicit Traffic in Dangerous Drugs (Jenewa

1936) ;

Perlu dilakukan pendekatan lain untuk mencegah semakin banyaknya peredaran narkotika dan semakin meluasnya penggunaan narkotika. Hal ini dapat dimulai jika sudah ada pembedaan yang jelas dan tegas antara pengguna dan pengedar narkotika, sehingga pada akhirnya hukuman yang dijatuhkan terhadap pengguna tidak dapat disamakan dengan pengedar narkotika. Hukuman bagi pengedar narkotika seharusnya lebih berat dibandingkan hukuman yang akan diterima oleh pengguna narkotika, karena akibat dari narkotika yang diedarkannya tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak yang negatif bagi penggunanya. Pengedar secara sadar mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain yang mengalami kecanduan akibat mengkonsumsi narkotika yang dijual oleh pengedar.

(13)

hukuman maksimal, akan tetapi sebagian hakim lainnya tidak pernah menetapkan penerapan hukuman maksimal tersebut dalam putusannya.

Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang.3

Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh suburkan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern, sehingga samar perbuatan yang legal dan illegal. Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana). Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama. Kejahatan berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (selanjutnya disebut IPTEK).

3

(14)

Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai, akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik pencucian uang bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.4

Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Di mana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.

Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.

5

4

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm 94.

5

Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm 50.

(15)

Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.6

Penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:7 1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan

yang dilakukan oleh pelakunya;

2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari

6

Ahmad Rifai, Op cit, hlm 111.

7Ibid

(16)

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.8

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013?

3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penolakan kasasi dalam putusan Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013

8

(17)

c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penolakan kasasi oleh Mahkamah Agung Nomor 2338 K/Pid.Sus/2013.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu:

a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menolak kasasi dalam kasus narkotika

b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pertimbangan hakim dalam menolak kasasi dalam kasus narkotika.

D. Keaslian Penelitian

(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pemidanaan

Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan menurut Anttila telah berlangsung beratus-ratus tahun.9 Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua dengan peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang menyebutkan sebagai “older philosophy of crime control”10

Pengertian pemidanaan sering juga digunakan dengan istilah hukuman, penghukuman, penjatuhan pemidanaan, dan hukuman pidana. Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf”dan istilah dihukum berasal dari perkataan “ woedt gestraft”, merupakan istilah-istilah konvesional.11

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum,sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukuman atau menetapkan sebagai hukumannya (berechten) menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,akan tetapi juga hukum perdata,oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana,yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan

9

Marlina, Hukum Penitensier, (Refika Aditama, Bandung, 2011P), hlm. 22

10Ibid 11

(19)

pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence.12

Perkataan penghukuman mempunyai pengertian lain yaitu suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum.13

2. Pengertian Tindak Pidana

Penghukuman merupakan tindakan untuk memberikan tindakan penderitaan terhadap pelaku kejahatan sebanding atau lebih berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, apakah penghukuman berupa hukuman penjara atau yang bersifat penderaan

Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalamperaturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Undang telah menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHP Belanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan istilah tindak pidana Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata , yaitu straf, baar, dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.14

Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang diancam pidana,

12

P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armiko, 1984), hlm 36.

13

Abdulsyani, Sosiologi Kriminal, (Bandung: Remadja Karya, 1987), hlm 36.

14

(20)

asal saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kekuatan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu

Simons, guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht Belanda, memberikan terjemahan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana. Menurutnya,

Srafbaar feit adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab.15 Selain itu, Simons juga merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16

Moeljatno merumuskan istilah strafbaar feit menjadi istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.17

Berdasarkan uraian pendapat pakar hukum di atas, penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh manusia, baik dengan melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan ataupun tidak

15

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm. 224.

16

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 185

17

(21)

melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana.

3. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat.Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang digunakan oleh DepKes RI yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah diatas mengacu pada sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tentang Narkotika yang baru, maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru.

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

(22)

menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun masih haruis di gertak) serta adiksi.18

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 :

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

18

(23)

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenal hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda.19

Dalam peraturan perundang-undangan indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. Demikian pula dengan apa yang didefenisikan Simons dan Van Hammel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda dan Indonsia hingga saat ini.20

19

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , (Bandung : Citra Aditya Bakti , 1997), hlm. 26

20

(24)

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,21 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 22

21

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,(Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hlm.3

22

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 41.

2. Sumber data

(25)

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar

b. Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

44

3. Alat pengumpulan data

Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.

4. Analisis data

(26)

cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana narkotika, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI

(27)

Bab ini berisikan mengenai sejarah tindak pidana narkotika, bentuk-bentuk tindak pidana narkotika, pengaturan tindak pidana narkotika.

BAB II PERTIMBANGAN HAKIM YANG DILAKUKAN HAKIM

DALAM PELAKSANAAN PENOLAKAN KASASI DALAM PUTUSAN NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENOLAKAN KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2338 K/PID.SUS/2013

Bab ini akan membahas mengenai POSISI KASUS, KRONOLOGI, DAKWAAN, FAKTA-FAKTA HUKUM, TUNTUTAN, PUTUSAN HAKIM, ANALISIS KASUS

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(28)

AB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

A. Sejarah Tindak Pidana Narkotika

Pertama kali psikotropika diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantie yang kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur sendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras (Daftar G). Pada tanggal 2 April 1985 keluar Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Obat Keras Tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri RI Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 dikeluarkan lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/ II.1993 tentang Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan Menteri Kesehatan RI terdahulu, dalam peraturan tersebut juga dilampiri Lampiran I dan Lampiran II, tetapi belum mencantumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 Maret 1997, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika.

(29)

atau penerapannya sehingga undang-undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009 sehingga melahirkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu;

1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927).

Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.58 Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.

(30)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.23

Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan akibat sampingan dari 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.

23

(31)

penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.24

1. Pada Pasal 23 ayat (1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.

Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) sampai (7) adalah :

2. Pada Pasal 23 ayat (2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. 3. Pada Pasal 23 ayat (3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan

untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.

4. Pada Pasal 23 ayat (4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.

5. Pada Pasal 23 ayat (5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 6. Pada Pasal 23 ayat (6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika

terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.

7. Pada Pasal 23 ayat (7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.

(32)

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime . Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional.

(33)

UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.25

Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.

25

(34)

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Narkotika

Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industri), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lain.

Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.

(35)

bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

C. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika

Narkotika masuk ke Indonesia diketahui pada tahun 1969 di Jakarta. Pada waktu itu dari sejumlah pasien yang berobat ke Senatorium Kesehatan Jiwa Dharmawangsa oleh psikiater mendapati seorang pasien pengguna narkotika dan sejak itulah disadari bahwa narkotika telah masuk ke Indonesia.26

Pola peredaran narkotika di Indonesia melalui udara terutama di pelabuhan udara yang banyak menerima wisatawan mancanegara. Meskipun diketahui Indonesia telah masuk narkotika tahun 1969 dalam tingkat peredaran Indonesia diketahui sebagai negara transit. Pada tahun 1999 status tersebut telah berubah menjadi negara tujuan pemasaran/pengguna. Perubahan terjadi setelah jumlah korban terus bertambah dan tertangkapnya jenis narkotika oleh petugas Bea Cukai di Bandara Internasional dalam jumlah yang banyak. Di samping itu pula aparat kepolisian berhasil menangkap/membongkar jaringan sindikat pengedar tingkat internasional di Hotel berbintang dan tempat-tempat pemukiman penduduk.Oleh karena pengawasan peredaran narkotika yang semakin ketat sejak tahun 1999

Sejak diketemukan sampai tahun 1972 jumlah pasien penyalahgunaan narkotika terus meningkat dan Senatorium kewalahan menanganinya. Pada tahun 1972 didirikanlah Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati.

26

(36)

narkotika masuk ke Indonesia tidak hanya lewat pelabuhan udara tetapi melalui jalur laut dan darat dan dimungkinkan telah beredar ke kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Di samping itu pula ada jenis-jenis narkotika yang telah diproduksi secara illegal.27

Perkembangannya transaksi narkotika di Jakarta tahun 2000 setiap harinya diperkirakan 1,3 milyar rupiah yang diimpor secara gelap dari manca Negara.28

1. Lewat paket pos yang dikirim dari mancanegara kepada seseorang di negara tujuan dengan menggunakan nama alibi/alias, guna menghindari tertangkapnya si pemesan. Jika barang tersebut lolos dari sensor atau pengawasan aparat, narkotika yang dalam paket sampai ke tangan pengedar/banda.

Sindikat jaringan pengedar sangat dideteksi oleh aparat Bea Cukai. Diperkirakan masuknya narkotika dari mancanegara tidak dapat dituntaskan mengingat adanya negara di Kawasan Asia yang mengandalkan ekspornya dari jenis-jenis narkotika. Di samping itu wilayah Indonesia bertetangga dengan negara Australia yang menjadi negara tujuan pemasaran setelah transit lebih dahulu di bandara internasional di Indonesia, setidaknya waktu transit dimungkinkan pengedar mengupayakan narkotika yang tertinggal.

Berbagai kajian yang dilakukan pemerhati masalah narkotika disimpulkan bahwa pola peredaran narkotika sangat bervariasi yakni

27

Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1991), hlm 28

28Ibid

(37)

2. Lewat orang yang diberi gaji/upah dengan membawa secara langsung yang tersimpan dalam kas/koper yang telah dikemas sampai tidak terdeteksi alat sensor di pelabuhan udara.

Penentuan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana haruslah melewati tahap kriminalisasi, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”.29 Teori-teori criminali sering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor -faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali. Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem30

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari

29

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm. 255.

30

(38)

sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem.31

Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, ini disebut legalitas dalam hukum pidana.32

Dalam hal ini negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (permusan delik) mempunyai hubngan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya terti hukum dalam suatu Negara.33

Proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan Diana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk

31

Teguh Prasetyo dan Abdul Hlmim Bakatullah,Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. hlm. 14

32

Ibid., hlm 5

(39)

diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi).34

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:35

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat; mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

34

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2010), hlm 32

35Ibid

(40)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting)

Berangkat dari permasalahan di atas maka dalam Undang-Undang Narkotika sendiri perlulah memiliki suatu kebijakan tertulis mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pada Bab XV Ketentuan Pidana yaitu pada Pasal 111 sampai Pasal 148.

Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika telah diatur pada kebijakan Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu: a. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan precursor

narkotika, meliputi

1) Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan narkotika golongan II bukan tanaman;

2) Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III, yang tidak menaati ketentuan perundang-undang yang berlaku, seperti:

a) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

(41)

c) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

d) menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, golongan II, narkotika golongan II setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri;

b. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129;

c. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan 126, dan Pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi;

d. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 undang-undang ini; e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut;

f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi:

1) Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Pasal 45;

(42)

mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

3) pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

4) pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau

5) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau; 6) mengedarkan narkotika golongan II dan III, bukan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

7) nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28;

8) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89;

9) Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4);

(43)

11)Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi:

1) Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129

2) Pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun;

3) Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana precursor narkotika di muka sidang pengadilan;

(44)

5) saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

6) apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar;

7) setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.

Melakukan kejahatan money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, meliputi:

a. menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentrasfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

(45)

diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

(46)

37

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum khususnya lembaga peradilan seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang sangat kontroversial yang sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mengetahui seluk beluk hukum.

Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku tindak pidana narkotika, baik dalam kapasitasnya sebagai pengguna maupun sebagai pengedar, masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma hukum, dan tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum narkotika secara konsekuen.

Selain itu, tindak pidana narkotika berdasarkan UU Narkotika, memberikan sanksi yang cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dapat dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataannya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sanksi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya (baik sebagai pengguna maupun pengedar).36

Bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim sehingga tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana narkotika

36

(47)

dipengaruhi oleh adanya hal-hal yang dapat meringankan hukuman. Hal-hal yang dapat meringankan hukuman tersebut, yakni :

1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.

2. Terdakwa menyesali perbuatannya.dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kembali.

3. Terdakwa selama persidangan berlaku sopan.

4. Selama proses persidangan Terdakwa tidak menyulitkan jalannya persidangan.

5. Terdakwa usianya relatif masih muda, sehingga ada kesempatan baginya untuk memperbaiki dirinya di masa depan.

6. Terdakwa belum pernah dihukum.

7. Terdakwa adalah tulang punggung keluarganya. 8. Terdakwa masih berstatus pelajar (bersekolah).

B. Pertimbangan hakim yang dilakukan hakim dalam Pelaksanaan

penolakan kasasi

(48)

berupa hukuman pidana agar si pengguna tidak mengulangi perbuatannya kembali, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi orang lain yang berada disekitarnya untuk melakukan tindak pidana narkotika tersebut (menggunakan narkotika).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis lebih cenderung meringankan hukuman pidana terhadap pengguna dibandingkan terhadap pengedar karena pengguna dipandang masih memiliki harapan baginya untuk memperbaiki diri.37

Putusan Pengadilan Tinggi Padang No. 167/Pid/2013/PT.PDG, tanggal 1 Oktober 2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh No. 47/Pid/2013/PN.PYK, tanggal 4 Juli 2013, dalam pertimbangan hukum sama sekali tidak ada mempertimbangkan masalah barang bukti sebagaimana terurai dalam memori banding berupa 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash tanpa plat nomor, dan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ atas nama Fauzi, yang mana barang bukti tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan menyatakan bahwa barang bukti 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash tanpa plat nomor digunakan Terdakwa Irmanto pgl. Ir bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang untuk melakukan Kejahatan, dan pada saat penangkapan 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash tanpa plat nomor dimaksud tidak memiliki plat atau nomor polisi, hal ini merupakan strategi dari

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi pada pokoknya sebagai berikut:

37

(49)

Terdakwa agar dengan mudah Terdakwa dapat melakukan aksi kejahatannya, yakni tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual-beli Narkotika Golongan I(satu) dalam bentuk tanaman jenis Ganja sebanyak 1(satu) paket seberat 4,21 gr (empat koma dua satu gram), sedangkan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ atas nama Fauzi disita oleh Penyidik setelah penangkapan terhadap Terdakwa dan/atau selama proses pemeriksaan penyidikan terhadap Terdakwa, yang mana pada saat itu Penyidik berhasil menemukan data bahwa 1 (satu) sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ tersebut ternyata STNK atas nama Fauzi;

Dari uraian-uraian seperti di atas kami berpendapat bahwa 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash tanpa plat nomor, dan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ atas nama Fauzi seharusnya “Dirampas untuk Negara” (Sesuai dengan amar ke-3 huruf c dan d Surat Tuntutan Nomor Reg. Perkara:

PDM-/PYKBH//2013, yang telah kami bacakan dan serahkan dalam sidang hari Rabu tanggal 19 Juni 2013). Namun Pengadilan Tinggi Padang No. 167/Pid.B/2013/PT.PDG, tanggal 1 Oktober 2013 terhadap barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash tanpa plat nomor, dan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ atas nama Fauzi dikembalikan kepada Terdakwa (menguatkan putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh No. 47/Pid.B/2013/PN.PYK, tanggal 4 Juli 2013);

(50)

dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit motor Suzuki Smash tanpa plat nomor dan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Nopol BL 4204 EZ atas nama Fauzi dinyatakan dikembalikan kepada Terdakwa;

Dasar atau alasan pertimbangan sehingga barang bukti tersebut tidak dirampas untuk Negara, karena berdasarkan STNK motor tersebut bukan atas nama Terdakwa, berarti bukan milik Terdakwa melainkan atas nama orang lain pihak ketiga yaitu Fauzi. Sehingga apabila barang bukti tersebut dirampas untuk Negara tentu akan dikuatirkan menjadi sengketa di kemudian hari yang dapat membutuhkan tenaga, pikiran dan biaya yang nilainya sama dengan barang bukti tersebut sehingga akan menjadi kontra produktif, tidak efektif dan efisien;

Ketentuan Pasal 101 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memberikan peluang atau kesempatan kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan, atas harta pihak ketiga yang telah dirampas;

(51)

dari Terdakwa. Terdakwa sendiri memperoleh Narkotika dari seorang yang bernama Reno dengan cara membeli; Bahwa beberapa saat sebelum Terdakwa ditangkap, terlebih dahulu saksi Guntur menelepon Terdakwa memesan Ganja paket Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), selanjutnya Terdakwa menelpon Reno, beberapa saat kemudian datang Reno mengantar barang kepada Terdakwa.

Terdakwa menghubungi Guntur untuk menemui di pinggir Jalan Panglima Polim. Bahwa di TKP tersebut, Terdakwa duduk di atas sepeda motor Suzuki Smash warna hitam tanpa plat nomor, menunggu kedatangan saksi Guntur, di tangan kiri memegang ganja pesanan dan tangan kanan memegang handphone, kemudian datang petugas menangkap Terdakwa. Bahwa dua hari sebelum Terdakwa ditangkap petugas, Terdakwa telah menjual Narkotika paket Ganja Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) kepada saksi Guntur. Ketika saksi Guntur ditangkap kemudian menyatakan dirinya membeli Narkotika dari Terdakwa;

Meskipun barang bukti Narkotika jenis Daun Ganja yang ditemukan pada diri Terdakwa relatif sedikit sesuai jumlah yang disebutkan dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 jo. SEMA No. 3 Tahun 2011, tidak dengan sendirinya diterapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sebab ternyata Terdakwa bertujuan atau bermaksud untuk melakukan transaksi jual beli Narkotika dengan tujuan peredaran gelap Narkotika guna mendapatkan keuntungan. Terdakwa menjual Narkotika kepada Guntur tidak ada izin, tanpa hak atau melawan hukum;

(52)

maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak; oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum ditolak dan Terdakwa dipidana, maka Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini;

Memperhatikan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa/Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri Payakumbuh tersebut;

(53)

BAB IV

AKIBAT HUKUM PENOLAKAN KASASI OLEH MAHKAMAH

AGUNG NOMOR 2338 K/Pid.Sus/2013

A. Posisi Kasus

1. Kronologis

Memeriksa perkara pidana khusus pada tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa: Nama : Irmanto panggilan IR bin Bakri DT. Penghulu Nan Panjang; Tempat lahir : Payakumbuh; Umur / tanggal lahir : 37 tahun/15 Maret 1976;Jenis kelamin : Laki-laki; Kebangsaan : Indonesia; Tempat tinggal : Kelurahan Tarok Koto Nan Gadang, Kecamatan Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh; Agama : Islam; Pekerjaan : Tani; Terdakwa berada di dalam tahanan:

a. Penyidik sejak tanggal 28 Februari 2013 sampai dengan tanggal 19 Maret 2013;

b. Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 20 Maret 2013 sampai dengan tanggal 28 April 2013;

c. Penuntut Umum sejak tanggal 25 April 2013 sampai dengan tanggal 14 Mei 2013;

d. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 30 April 2013 sampai dengan tanggal 29 Mei 2013;

e. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 30 Mei 2013 sampai dengan tanggal 28 Juli 2013;

(54)

g. Perpanjangan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi sejak tanggal 10 Agustus 2013 sampai dengan tanggal 8 Oktober 2013;

h. Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung sejak tanggal 9 Oktober 2013 sampai dengan tanggal 7 November 2013;

i. Berdasarkan Penetapan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia u.b. Ketua Muda Pidana No. 3589/2013/S.1206.Tah.Sus/PP/2013/MA, tanggal 2 Desember 2013 Terdakwa diperintahkan untuk ditahan selama 50 (lima puluh) hari, terhitung sejak tanggal 6 November 2013;

j. Perpanjangan berdasarkan Penetapan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia u.b. Ketua Muda Pidana No. 3590/2013/ S.1206.Tah.Sus/PP/2013/ MA, tanggal 2 Desember 2013 Terdakwa diperintahkan untuk ditahan selama 60 (enam puluh) hari, terhitung sejak tanggal 26 Desember 2013;yang diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Payakumbuh karena didakwa:

a. Dakwaan

Primair:

(55)

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I (satu) berupa 1 (satu) paket kecil ganja (cannabis.sp No. urut 8 Lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) seberat 3,88 gr (tiga koma delapan delapan gram), perbuatan mana Terdakwa lakukan.

(56)
(57)

pada waktu penangkapan berhasil menyita barang bukti dari Terdakwa berupa: 1 (satu) paket kecil Narkotika Gol. I jenis Ganja yang dibungkus dengan kertas koran, 1 (satu) unit sepeda motor Suzuki Smash warna hitam tanpa plat nomor, 1 (satu) unit HP warna merah merek Mito beserta kartu seluler Axis no. 089620 82103 39048 0677 dan kartu Telkomsel no +6210 1466 5296 1832 dan 1 (satu) lembar STNK sepeda motor Suzuki Smash No. Pol BL 4204 EZ a.n. Fauzi;

Bahwa saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur sudah ± 10 (sepuluh) kali membeli Narkotika Golongan I (satu) jenis Ganja kepada Terdakwa Irmanto pgl. IR bin BAKRI Dt. Penghulu Nan Panjang, sebagai imbalannya saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur setiap kali membeli Ganja, saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur memberikan sedikit atau sebagian Ganja yang dibelinya kepada Terdakwa atau terkadang saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur bersama-sama Terdakwa mengkonsumsi atau menggunakan Ganja yang dibeli dari Terdakwa;

b. Fakta-fakta

(58)

a. Narkotika Gol. I diduga jenis Ganja 3,88 Gr (tiga koma delapan delapan gram) Pemeriksaan Barang bukti

b. Narkotika Gol. I diduga jenis Ganja 0,33 Gr (nol koma tiga-tiga gram) Pemeriksaan Laboratorium Selanjutnya barang bukti Narkotika Golongan I (satu) yang diduga Ganja seberat 0,33 Gr (nol koma tiga tiga gram) dilakukan pemeriksaan secara Laboratorium, dan berdasarkan Laporan Hasil Pengujian No. 60/LN.45.2013, tanggal 14 Maret 2013 yang ditandatangani oleh Dra. Hj. Siti Nurwati, Apt., M.M. Nip. 19600411 198903 2 001 dan Drs. H. Indra Ginting, Apt., M.M. Nip. 19561227 198802 1 001 selaku Kepala Balai Besar POM Padang; Nama contoh : Diduga Narkotika jenis Ganja. Kemasan : Contoh dalam plastik bening dijahit dengan benang merah, pinggirnya di klip, dilak dengan timah berlabel dan disegel. Komposisi : -Kode/No. Adm BBPOM : No. SPU: 25 Pengirim contoh : Kepolisian Negara RI Daerah Sumbar Resor Payakumbuh. No. Tgl. Surat pengirim : B/07.b/II/2013/ Res Narkoba: 28-02-2013. Atas nama Tersangka : Irmanto Pgl. Ir. Jumlah contoh yang diterima : 0.3233 gram. Surat dan Contoh diterima tgl : 28/NKB/III/2013: 08-03-2013.

Hasil pengujian:

Etiket : Contoh Berlabel dan disegel. K: emasan Contoh dalam plastic bening Dijahit dengan benang mBau : Khas. I:si 0.3233 gram. I:dentifikasi Reaksi warna:

(59)

menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I (satu) berupa 1(satu) paket kecil ganja (cannabis.sp No. urut 8 Lampiran Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) seberat 3,88 gr (tiga koma delapan delapan gram) seperti diuraikan di atas, bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, pelatihan dan pendidikan serta tidak memiliki izin yang sah dari pejabat berwenang untuk itu;

4. Tuntutan

Perbuatan Terdakwa IRMANTO pgl. IR bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang seperti diuraikan di atas, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Subsidair:

(60)
(61)
(62)

Bahwa saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur sudah ± 10 (sepuluh) kali membeli Narkotika Golongan I (satu) jenis Ganja kepada Terdakwa Irmanto pgl. IR bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang, sebagai imbalannya saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur setiap kali membeli Ganja, saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur memberikan sedikit atau sebagian Ganja yang dibelinya kepada Terdakwa atau terkadang saksi Guntur Firdaus Pgl. Guntur bersama-sama Terdakwa mengkonsumsi atau menggunakan Ganja yang dibeli dari Terdakwa;

Bahwa barang bukti yang disita secara sah menurut hukum dari Terdakwa Irmanto pgl. IR bin Bakri Dt. Penghulu Nan Panjang berupa 1(satu) paket kecil Narkotika Golongan I (satu) yang diduga Ganja yang dibungkus dengan kertas koran dilakukan penimbangan oleh PT (Persero) Pegadaian Cabang Payakumbuh, dan berdasarkan Lampiran BA Penimbangan, yang ditandatangani oleh Rosi Martha Nik. P84556 (Penimbang I), Media Fatma, S.E. Nik. P 83221 (Penimbang II), Hermanus, S.H. Nik. P 81243 selaku Pjs. Pimpinan PT (Persero) Pegadaian Cabang Payakumbuh, Zol Emigren AIPTU NRP. 70070294 (saksi) dan Tersangka Irmanto Pgl. Ir dengan hasil sebagai berikut:

1. Narkotika Gol. I diduga jenis Ganja 3,88 Gr (tiga koma delapan delapan gram) Pemeriksaan Barang bukti

(63)

Siti Nurwati, Apt.MM Nip. 19600411 198903 2 001 dan Drs. H. Indra Ginting, Apt., M.M. Nip. 19561227 198802 1 001 selaku Kepala Balai Besar POM Padang: Nama contoh : Diduga Narkotika jenis Ganja. Kemasan : Contoh dalam plastic bening dijahit dengan benang merah, pinggirnya di klip, dilak dengan timah berlabel dan disegel.

Komposisi : -

Kode/No. Adm BBPOM : No. SPU : 25 Pengirim contoh : Kepolisian Negara RI Daerah Sumbar Resor Payakumbuh. No. Tgl. Surat pengirim : B/07.b/II/2013/ ResNarkoba : 28-02-2013. Atas nama Tersangka : Irmanto Pgl. Ir. Jumlah contoh yang diterima : 0.3233 gram. Surat dan Contoh diterima Tgl : 28/NKB/III/2013 : 08-03-2013.

HASIL PENGUJIAN : Etiket : Contoh berlabel dan disegel. Kemasan : Contoh dalam plastik bening dijahit dengan benang mer

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hal yang dimodifikasi oleh para mahasiswa adalah dapat dilihat dari gambar di atas, mahasiswa menambahkan lampu untuk membuat Truncted Icosidodecahedron tampak

dilakukan, perbedaan antara panas yang diterima oleh udara dengan yang diberikan oleh refrigeran kurang dari 5%, sehingga asumsi tersebut masih dapat diterima. Hal ini

g) hanya ada 1 (satu) valve terbuka sebagai titik injeksi. Operating valve harus yang paling dalam. Kondisi tidak ideal. Kondisi ideal ;.. Semua data yang diperlukan untuk

Pembelajaran inovatif yang relevan dengan kondisi sekarang ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) , yaitu pembelajaran yang menekankan

Ucapan puji syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan ridho-Nya atas kami sehingga akhirnya kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul.. "IDENTIFIKASI SIDIK

33 Pengertian lain salat ialah, salat merupakan beerhadapnya hati kepada Allah sebagai ibadah, dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan

Mahasiswa merasa mereka dilatih disiplin, pembelajarannya menyenangkan, bisa belajar dari teman-teman sehingga memiliki banyak ide untuk kegiatan pembelajaran nanti waktu

Selain itu, pada penelitian tugas akhir ini penulis juga menggunakan pendekatan terhadap fitur dari Twitter, dengan melihat fitur – fitur apa saja dari Twitter yang