• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patogenesis Infeksi Streptococcus Pyogenes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Patogenesis Infeksi Streptococcus Pyogenes"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PATOGENESIS

 

INFEKSI

 

STREPTOCOCCUS

 

PYOGENES

 

 

DISUSUN

 

OLEH

 

RINA

 

YUNITA

 

NIP.

 

19790624

 

200312

 

2

 

003

 

 

 

DEPARTEMEN

 

MIKROBIOLOGI

  

FAKULTAS

 

KEDOKTERAN

  

(2)

DAFTAR

 

ISI

 

Abstrak

1

I.

Pendahuluan

2

II. Identifikasi dan Morfologi Streptococcus

pyogenes

4

III.

Patogenesis

dan

Faktor

Virulensi

6

3.1

Faktor-faktor

Virulensi

6

3.2

Patogenesis

dan

Imunitas

8

IV.

Gambaran

Klinis

10

4.1

Suppurative

Streptococcal

Disease

10

4.2 Non Suppurative Streptococcal

Disease

12

V.

Diagnosis

Laboratorium

14

5.1

Spesimen 14

5.2

Pemeriksaan

Mikroskopis

14

5.3 Kultur dan Identifikasi

Biokimia 14

5.4

Deteksi

Antigen

15

5.5

Deteksi

Antibodi

16

VI.

Penanganan

Medis

16

Tabel 1. Karakteristik dari Streptokokus yang penting secara klinis

3

Tabel 2. Faktor virulensi dari Stretococcus pyogenes

7

Tabel 3. Streptokokus grup A serotipe M yang berhubungan dengan

komplikasi non supurasi di Daerah Barat

13

Tabel 4. Identifikasi biokimia

beberapa

streptokokus

15

(3)

PATOGENESIS INFEKSI STREPTOCOCCUS PYOGENES

Rina Yunita

Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU

Abstrak

Streptokokus adalah kelompok besar dan beraneka ragam dari kokus gram positif yang

tumbuh secara berpasangan atau berantai. Sebagian merupakan flora normal, sebagian lain

berkaitan dengan infeksi penting pada manusia. Streptococcus pyogenes (Streptokokus group

A) adalah organisme yang diketahui dapat menimbulkan beraneka ragam penyakit pada

manusia. S. pyogenes tersebar secara luas pada manusia; sebagian menjadi asymptomatic

carrier. S.pyogenes berkolonisasi di tenggorokan dan kulit manusia dan membentuk

mekanisme virulensi yang kompleks untuk melawan sistem pertahanan tubuh. S.pyogenes

dapat menyebabkan infeksi superfisial atau sistemik berdasarkan toksin dan respon imun yang

memerantarai mekanisme timbulnya penyakit.

Penyakit yang umum disebabkan oleh bakteri ini adalah faringitis bakterial dan impetigo.

Selain itu S. pyogenes juga berkaitan dengan infeksi sistemik dan invasif khususnya bakterimia,

sepsis, infeksi jaringan lunak dalam seperti erisipelas, selulitis, dan fasciitis nekrotik. Manifestasi

yang lebih jarang yaitu miositis, osteomielitis, septic arthritis, pneumonia, meningitis,

endokarditis, perikarditis, dan infeksi neonatal berat akibat transmisi intrapartum. Komplikasi

nonsupuratif dapat terjadi berupa poststreptococcal glomerulonephritis dan acute rheumatic

fever, yang terjadi setelah infeksi faringitis dan infeksi kulit akibat S.pyogenes.

Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan

mulai dari pemeriksaan mikroskopis, kultur dan identifikasi biokimia, deteksi antigen serta

antibodi. Terapi menggunakan penisilin G atau penisilin V. Pada penderita yang alergi penisilin,

erythromicin,azitromycin,clarithromycin biasanya efektif.

Kata Kunci : Streptokokus hemolisis β, group A streptococci, poststreptococcal

(4)

I. Pendahuluan

S pyogenes digambarkan pertama sekali oleh Billroth tahun 1874 pada penderita luka

infeksi. Tahun 1883 Fehleisen mengisolasi organisme berbentuk rantai pada kultur murni dari

lesi perierysipleas. Rosebach menamakan organisme ini S pyogenes di tahun 1884. Penelitian

dari Schottmueller tahun 1903 dan J.H Brown menggiring kepada pengetahuan tentang

perbedaan pola hemolysis yang dijelaskan sebagai alpha, beta dan hemolysis gamma.1

Perkembangan lebih lanjut adalah klasifikasi Lancefield dari streptokokus hemolisis beta

dengan serotyping berbasis reaksi presipitasi M-protein. Lancefield membangun aturan penting

dari M-Protein sebagai penyebab penyakit.2 Di tahun 1900an, Dochez, George and Dick

mengidentifikasi bahwa demam scarlet (scarlet fever) disebabkan oleh infeksi streptokokus

hemolitikus. Studi epidemiologi di pertengahan tahun 1900-an menolong pengembangan

hubungan antara infeksi Kelompok A Streptokokus (Group A streptococci (GAS)) dengan

demam rematik akut (Acute Rheumatic Fever (ARF)) dan Glomerulonephritis Akut.1

Streptokokus adalah kelompok besar dan beraneka ragam dari kokus gram positif yang

tumbuh secara berpasangan atau berantai. Sebagian merupakan flora normal, sebagian lain

berkaitan dengan infeksi penting pada manusia2. Streptococcus pyogenes (streptokokus group

A) adalah organisme yang diketahui dapat menimbulkan beraneka ragam penyakit pada

manusia. Berdasarkan surveilans bakteri pada infeksi yang muncul, data epidemiologik

menyatakan bahwa infeksi akibat S. Pneumoniae, S. pyogenes (grup A), dan S. agalactiae

(grup B) terjadi pada 17-30 juta orang di USA pada tahun 2003.3

S. pyogenes tersebar secara luas pada manusia; sebagian menjadi asymptomatic

carrier.4 S.pyogenes berkolonisasi di tenggorokan dan kulit manusia dan membentuk

mekanisme virulensi yang kompleks untuk melawan sistem pertahanan tubuh. S.pyogenes

dapat menyebabkan infeksi superfisial atau sistemik berdasarkan toksin dan respon imun yang

memerantarai mekanisme timbulnya penyakit. Penyakit yang umum disebabkan oleh bakteri ini

adalah faringitis bakterial dan impetigo. Selain itu S. pyogenes juga berkaitan dengan infeksi

sistemik dan invasif khususnya bakterimia, sepsis, infeksi jaringan lunak dalam seperti

erisipelas, selulitis, dan necrotizing fasciitis. Manifestasi yang lebih jarang yaitu miositis,

osteomielitis, septic arthritis, pneumonia, meningitis, endokarditis, perikarditis, dan infeksi

neonatal berat akibat transmisi intrapartum. Komplikasi nonsupuratif dapat terjadi

poststreptococcal glomerulonephritis dan acute rheumatic fever, yang terjadi setelah infeksi

(5)

Komplikasi dari infeksi tonsilopharingitis yang bernanah karena infeksi GAS adalah:

selulitis atau abses tonsilofaringeal, otitis media, sinusitis, necrotizing fasciitis, Streptococcal

bacteremia, meningitis atau abses otak (komplikasi yang jarang).1

Komplikasi infeksi tonsilopharingitis yang tidak bernanah karena infeksi GAS adalah:

demam rematik Akut, Glomerulonephritis, Toxic Shock Sydrome (Streptococcal toxic shock

syndrome).1

Tabel 1. Karakteristik dari Streptokokus yang penting secara klinis2

Nama Group-Specific Substance1

*

Hemolisis2* Habitat Kriteria Laboratorium

Penyakit

Streptococcus pyogenes

A Beta Tenggorokan

, kulit

Koloni besar (>0,5 mm), PYR3* test (+), inhibisi oleh bacitracin Faringitis, impetigo, demam rematik, glomerulonefritis Streptococcus agalactiae

B Beta Saluran

genital perempuan Hippurate hydrolysis, CAMP-positive4* Sepsis neonatal dan meningitis Streptococcus dysgalactiae subspesis equisimilis; dll

C, G Beta (infeksi manusia), alfa, nonhemolisi s

Tenggorokan Koloni besar (>0,5 mm) Faringitis, infeksi pyogenic mirip dengan Streptokokus grup A Enterococcus faecalis (dan enterococcus lainnya)

D Nonhemolisi

s, alfa

Kolon Tumbuh di media dengan empedu, hydrolize esculin, 6,5% NaCl, PYR (+) Abses abdomen, infeksi saluran kemih, endokarditis Streptococcus bovis (non-enterokokus)

D Nonhemolisi

s

Kolon Tumbuh di media dengan empedu, hydrolize esculin, tidak pada 6,5% NaCl, degradasi gula

Endokarditis, isolat yang sering pada kanker kolon

Streptococcus anginosus

F (A, C, G) dan tidak

Alfa, beta, nonhemolisi

Tenggorokan , kolon,

Koloni kecil (<0,5 mm) varian

(6)

terkategori s saluran genital perempuan

spesies

hemolisis. Grup A bacitracin-resistant dan PYR (-). Fermentasi karbohidrat otak Streptococcus viridans (banyak spesies) Biasanya tidak terkategori Alfa, nonhemolisi s Mulut, tenggorokan, kolon, sal.genital perempuan Optochin-resistant. Koloni tidak larut di empedu.

Fermentasi karbohidrat

Karies dentis (S mutans), endokarditis, abses (bersama spesies bakteri lain) Streptococcus pneumoniae

Tidak Ada Alfa Tenggorokan Sensitif terhadap optochin. Koloni larut di empedu, reaksi quellung positif Pneumonia, meningitis, endokarditis Peptostreptococcus (banyak spesies)

Tidak ada Nonhemolisi s, alfa

Mulut, kolon, sal.genital perempuan

Anaerob obligat Abses (infeksi multipel dengan bakteri lain)

1*

Klasifikasi Lancefield

2*

Hemolisis setelah inkubasi satu malam pada agar darah domba 5%

3*

Hidrolisis dari L-pyrrolidonyl-2-naphthylamide (“PYR”)

4*

Christie, Atkins, Munch-Peterson test

II. Identifikasi dan Morfologi Streptococcus pyogenes

Sebagian besar streptokokus yang memiliki antigen grup A adalah Streptococcus

pyogenes, dan bakteri ini adalah prototipe dari patogen pada manusia2. Masa sebelum adanya

antibiotika, streptokokus sering menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan. Namun,

pada masa antibiotika sekarang, penyakit karena infeksi streptokokus dapat dikontrol dan

jarang menyebabkan kematian. Streptokokus tidak hanya menyebabkan infeksi akut tetapi juga

bertanggung jawab terhadap gejala sisa paska infeksi seperti demam rematik dan

(7)

Ciri Organisme

Kelompok A Streptokokus (Group A streptococci (GAS)) adalah gram positif, nonmotile,

tidak membentuk spora dan berpasangan dalam bentuk rantai pendek pada spesimen klinik

dan rantai yang lebih panjang jika dibiakkan pada media cair.3 Panjangnya rantai yang

terbentuk tergantung pada faktor lingkungan. Pada beberapa jenis streptokokus, dalam

keadaan kultur yang tua atau bakteri mati, streptokokus kehilangan sifat gram positifnya dan

dapat terlihat menjadi gram negatif, hal ini dapat terjadi setelah bakteri dibiakkan lebih dari satu

malam.2 (gambar 1)

Organisme tunggal berbentuk kokus spheris atau oval dengan diameter 1-2 µm.

Pertumbuhan lebih optimal pada media agar darah yang diperkaya tetapi diinhibisi oleh media

yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi. Kultur pada cawan agar darah setelah inkubasi

24 jam menampilkan gambaran koloni putih keabuan berdiameter 1-2 mm dikelilingi daerah

hemolisis beta. (Gambar 2,3) Beberapa koloni memproduksi sejumlah asam hyaluronik yang

berbentuk mukus di kultur.1,3 Asam hyaluronic tersebut merupakan komponen dari kapsul strain

grup A. Kapsul ini mudah dilihat pada kultur yang sangat muda, yang berperan untuk

fagositosis. Jenis kapsul ini berbeda pada kelompok streptokokus yang lain.2

Gambar 1. Gambaran mikroskopis dari

(8)

Dinding sel S.pyogenes terdiri dari protein antigen yang spesifik-serotipe (protein M, T,

R), karbohidrat spesifik-grup (Antigen A) dan peptidoglikan. Pili seperti rambut terdapat di

kapsul pada strain grup A ini. Pili sebagian terdiri dari protein M dan diselubungi oleh

lipoteichoic acid. Hal terakhir ini penting untuk perlekatan streptokokus pada sel epitel2,5 Gambar 2. Gambaran koloni dari Streptococcus pyogenes pada agar darah,

menunjukkan adanya hemolisis β yang ditandai dengan daerah jernih di sekeliling koloni

III. Patogenesis dan Faktor Virulensi

Banyak jenis streptokokus yang mempunyai kecenderungan menyerang saluran

pernafasan atas. Banyak faktor mempengaruhi virulensi dan permulaan infeksi. Sehubungan

dengan struktur antigennya, dinding sel streptokokus adalah sebuah struktur yang kompleks

berisikan bermacam-macam zat antigenik. Dinding sel streptokokus tahan terhadap degradasi

dan dapat bertahan didalam jaringan. Peptidoglikan dan dinding selnya dapat menyebabkan

inflamasi kronik dengan aktifasi komplement/pelengkap dan mensintesa berjenis mediator.1

3.1 Faktor-Faktor Virulensi

1. Karbohidrat spesifik-grup

Karbohidrat ini mengisi sekitar 10% dari berat sel. Antign grup A ini (berdasarkan

klasifikasi Lancefield) merupakan dimer dari L-rhamnose and N-acetyl-D-glucosamine.

Antigen ini biasanya digunakan untuk mengklasifikasi Group A Streptococcus (GAS) dan

membedakannya dari Streptokokus lain.5

2. Protein spesifik-serotipe.

Group A Streptococcus (GAS) menghasilkan 2 kelas utama dari antigen protein: antigen

M dan antigen T. Protein antigen M adalah protein utama dari serotipe ini yang berkaitan

dengan virulensi dari Streptokokus. Antigen T (trypsin-resistant) mungkin berguna untuk

(9)

protein M.5 Jenis yang mengandung banyak sekali protein M akan tahan terhadap

fagositosis, cepat memperbanyak diri di jaringan tubuh dan menyebabkan penyakit.

Protein M adalah makromolekul di membran sel; dia menembus dinding sel bakteri.

Molekul ini berisikan anti fagositosis spesifik yang memfasilitasi kuatnya ikatan dari

organisme ke dinding sel. Protein M terdiri dari dua rantai polipeptida kompleks dalam

gulungan yang disebut alpha helix, yang tampak seperti proyeksi rambut di dinding sel.

Protein ini berakar di membran sitoplasma dan berjalan menembus keluar ke

permukaan sel. Terminal karbonnya berada di membran sitoplasma sedangkan terminal

aminonya berada di atas permukaan sel dan bertanggung jawab atas variabilitas antigen

diantara lebih dari 100 serotipe protein M. Protein M dibagi atas molekul kelas I dan

kelas II. Protein M kelas I memberikan ekspos antigen, sementara protein M kelas II

tidak. Meskipun strain dengan kedua kelas protein dapat menyebabkan infeksi supuratif,

hanya strain dengan protein kelas I saja yang dapat menyebabkan demam rematik5.

Protein M membuat organisme tahan terhadap fagositosis dengan menghambat aktifasi

jalur alternatif pada permukaan sel.1

3. Komponen di Permukaan Sel Lainnya

Komponen lain di dinding sel S.pyogenes yang cukup penting antara lain protein

permukaan yang menyerupai M (M-like), lipoteichoic acid, dan protein F. Lipoteichoic

acid, protein F memfasilitasi ikatan dengan sel host dengan cara berkompleks dengan

fibronectin yang ada di permukaan sel host.5

4. Kapsul

Beberapa strain S.pyogenes membentuk kapsul luar hyaluronic acid yang mengandung

molekul glucoronic acid dan N-acetylglucosamine yang berulang. Kapsul ini secara

antigenik tidak dapat dibedakan dari hyaluronic acid pada jaringan ikat mamalia.

Berfungsi untuk mencegah fagositosis terhadap bakteria. Strain S.pyogenes yang

berkapsul bertanggung jawab lebih besar terhadap kejadian infeksi sistemik yang berat.5

Tabel 2. Faktor virulensi dari Streptococcus pyogenes5

Faktor Virulensi Efek Biologik

Kapsul Antifagositik

Lipoteichoic acid Berikatan dengan sel epitel

Protein M Adhesin; memerantarai internalisasi oleh sel host; antifagositik; degradasi komponen komplemen C3b

(10)

inhibitor); antifagositik

Protein F Memerantarai perlekatan dengan sel epitel dan internalisasi

Eksotoksin pirogen Memerantarai pirogenisitas, menyempurnakan delayed hypersensitivity dan kerentanan terhadap endotoksin, sitotoksisitas, nonspesific mitogenicity dari sel T, Supresi fungsi imun sel-B, produksi scarlatiniform rash

Streptolysin S Lisis lekosit, platelet, dan eritrosit, menstimulasi enzim lisosom;nonimunogenik

Streptolysin O Lisis lekosit, platelet, dan eritrosit, menstimulasi enzim lisosom; imunogenik

Streptokinase Lisis bekuan darah, memfasilitasi penyebaran bakteri di jaringan Dnase Depolimerase DNA bebas pada material pus

C5a peptidase Mendegradasi komponen komplemen C5a

3.2 Patogenesis dan Imunitas

Virulensi dari GAS ditentukan oleh kemampuan bakteri melekat pada permukaan sel,

invasi ke dalam sel epitel dan menghindari peristiwa opsonisasi, fagositosis dan memproduksi

beragam toksin dan enzim.5

Organisme berikatan ke membran mukosa melalui asam lipotechoic (LTA) yang ada di

dinding sel streptokokus. LTA adalah cytotoksik dan mampu melakukan beberapa aktifitas

biologi. Sekali terikat, streptokokus akan bertahan terhadap fagositosis, memperbanyak diri dan

mulai menginvasi jaringan sekitar. Sebagai tambahan terhadap protein M, organisme ini

memiliki kemampuan virulensi lain seperti C5A peptidase. Peptidase C5 menghancurkan sinyal

kimia dengan memotong komponen C5A pada jalur komplemen.1

S.pyogenes juga memiliki banyak mekanisme untuk menghindari opsonisasi dan

fagositosis. Regio dari protein M dapat mengikat faktor H dari -globulin serum yang

merupakan protein regulator untuk jalur alternatif dari komplemen. Komponen komplemen C3b,

mediator untuk fagositosis di-tidak stabilkan oleh faktor H. Saat C3b terikat pada permukaan sel

di regio protein M, C3b akan didegradasi oleh faktor H dan fagositosis akan tercegah.5

(11)

Sebagian besar GAS memproduksi 2 jenis racun hemolitik: streptolysin O and

streptolysin S. Streptolisin S merupakan komponen yang stabil terhadap oksigen,

nonimunogenik, merupakan hemolisin yang dapat melisiskan eritrosit, leukosit dan trombosit.

Dapat menstimulasi lepasnya kandungan lisosomal setelah fagositosis yang dilanjutkan dengan

kematian sel fagosit. Streptolysin beracun pada banyak sel, termasuk leukosit

polymorphonuklear, keping darah, kultur jaringan. Streptolisin S diproduksi jika ada serum dan

bertanggung jawab akan karakteristik dari hemolisis yanbg terlihat pada media blood agar.1,2,5

Streptolisin O merupakan komponen yang tidak tahan oksigen. Antibodi segera

terbentuk melawan antigen O (antistreptolysin O-ASO antibody), yang merupakan sifat khusus

yang membedakan dengan streptolisin S, dan berguna untuk melihat infeksi GAS baru (anti

ASO-test).5 Pengukuran antibodi antisreptolisyn O (ASO) di manusia digunakan sebagai

indikator dari infeksi streptokokus yang baru terjadi. Streptolysin O dapat di inaktifasi oleh

Oksigen. Streptolysin O adalan protein rantai tunggal imunogenik yang menginduksi respon

antibodi yang cepat.3,5

Produk ekstraselular lain adalah deoksiribonuklease A,B,C dan D yang tidak bersifat

sitolitik, tetapi dapat mendepolimerase DNA bebas yang ada di pus. Proses ini akan

mengurangi viskositas dari materi abses dan memfasilitasi penyebaran dari organisme. Antibodi

yang dibentuk melawan DNAse B merupakan marker penting dari infeksi S.pyogenes,

khususnya pada pasien dengan infeksi kutaneus, karena mereka tidak membentuk antibodi

melawan streptolisin O.1,5

Eksotoksin Pyrogenik

GAS memproduksi Streptococcal pyrogenic exotoxins (Spes), Ada empat jenis

eksotoksin (SpeA, SpeB, SpeC, dan SpeF). Toksin bersifat tidak tahan panas dan secara

imunologikal dapat dibedakan. Toksin ini bertindak sebagai superantigen, yang berinteraksi

dengan makrofag dan sel T-helper dengan melepaskan :5

 Interleukin-1 (IL-1), IL-2, IL-6

 Tumor necrosing factor –α (TNF- α) dan TNF-

 Interferon gamma (Ifn- )

Pelepasan mediator sitokin ini menyebabkan berbagai efek yang penting seperti meningkatkan

kemungkinan terjadinya shock, kegagalan organ, menyebabkan disfungsi sistem

reticuloendothelial, menyebabkan nekrosis hati dan jantung pada hewan dan menekan sintesa

antibodi seperti yang terlihat pada pasien dengan streptococcal toxic shock syndrome.

Toksin-toksin ini juga bertanggung jawab menyebabkan demam dan rash pada demam scarlet.1,5

(12)

GAS melepaskan sejumlah besar protein kesekitar lingkungannya. Dua jenis

streptokinase yang berbeda dihasilkan (Streptokinase A dan Streptokinase B). Streptokinase

membentuk ikatan kompleks dengan aktivator plasminogen dan mengkatalisasi perubahan

plasminogen menjadi plasmin dan selanjutnya akan mecerna fibrin dan melisiskan bekuan

darah. Akibatnya enzim akan melisiskan bekuan darah dan simpanan fibrin serta memfasilitasi

penyebaran S.pyogenes pada jaringan yang terinfeksi dengan cepat. Antibodi terhadap enzim

ini (anti-streptokinase antibody) bermanfaat sebagai petanda infeksi.3,5

Hyaluronidase menghydrolysis asam hyaluronik yang ditemukan didasar jaringan ikat.

Sebagai tambahan, streptokokus juga memproduksi proteinase, nicotinamide adenin

dinucleotidase, adenosis triphosphatase, neuroaminidase, lipoproteinase dan toksin

cardiohepatik.1

IV. Gambaran Klinis

4.1 Suppurative Streptococcal Disease

Faringitis

Streptokokus grup A sering berkolonisasi di tenggorokan orang yang sehat. Frekuensi

pembawa diantara anak usia sekolah bervariasi berdasarkan letak geografis dan pengaruh

musim. Pada beberapa studi, frekuensi pembawa berkisar 15-20%.6

Faringitis biasanya terjadi 2 sampai 4 hari setelah terpapar patogen, ditandai dengan

munculnya sakit di tenggorokan secara mendadak, demam, malaise, dan sakit kepala.5,6 Faring

posterior terlihat merah dengan adanya eksudat disertai limfadenopathy kelenjar leher yang

mencolok. Dari gejala ini, sulit membedakan faringitis yang disebabkan oleh Streptokokus

dengan yang disebabkan oleh virus. Diagnosis yang spesifik hanya dapat ditegakkan dengan

pemeriksaan bakteriologik atau serologi.5 Selama fase akut dari infeksi tonsilofaringeal,

streptokokus grup A tipe M umumnya dijumpai dalam jumlah besar pada hidung dan

tenggorokan. Pada kakus yang tidak diobati, organisme menetap selama beberapa minggu,

meskipun gejala penyakit mereda dalam beberapa hari. Pada masa konvalesen, jumlah

mikroorganisme berkurang disertai penurunan kadar protein M.6

Temuan laboratorium menunjukkan adanya kultur usap tenggorokan yang positif terhadap

streptokokus hemolisis β, jumlah lekosit yang meningkat mencapai 12.000/mm3 dengan

peningkatan jenis lekosit polimorfonuklear. Uji C-reactive protein biasanya positif.6

Scarlet fever merupakan komplikasi dari faringitis streptokokus yang terjadi saat strain

bakteri yang menginfeksi dilisogeni oleh bakteriofaga yang menstimulasi produksi dari

(13)

eritematus yang difus di bagian dada dan menyebar ke ekstremitas, kecuali area sekitar mulut

yang terlihat sebagai circumoral pallor, demikian juga pada telapak tangan dan kaki. Pada lidah

terdapat gambaran strawberry tongue. Ruam akan menghilang setelah 5 sampai 7 hari dan

diikuti dengan proses deskuamasi. Komplikasi menjadi proses supuratif (cth., abses peritonsilar

dan retrofaringeal jarang dijumpai sejak adanya terapi antibiotik.5

Pyoderma

Pyoderma (impetigo) merupakan infeksi kulit bernanah yang berbatas, biasanya timbul pada

area yang terpapar (wajah, lengan, kaki). Infeksi terjadi oleh karena adanya kolonisasi S.

pyogenes akibat kontak langsung dari orang yang terinfeksi. Organisme masuk ke jaringan

subkutan melalui kerusakan kulit seperti garukan dan gigitan serangga. Terbentuk vesikel

kemudian menjadi pustula dan kemudian pecah. Kelenjar getah bening regional dapat

membesar, tetapi tanda infeksi sistemik jarang dijumpai. Penyebaran sekunder umumnya

disebabkan oleh garukan.2

Pyoderma biasanya terjadi selama musim panas dengan kelembaban dan suhu yang

hangat, terutama pada anak kecil dengan higinitas dan status ekonomi yang jelek. Meskipun S.

pyogenes bertanggung jawab pada sebagian besar infeksi kulit streptokokal, namun

Streptokokus grup C dan G juga dapat dijumpai. Stafilokokus aureus umumnya juga dapat

dijumpai pada lesi tersebut. Strain streptokokus tipe M yang menyebabkan infeksi kulit berbeda

dengan yang menyebabkan faringitis secara serotipe dan genotipe.5,6 Strain kulit dan

tenggorokan dapat dibedakan dengan marker genetik.6

Erysipelas

Erisipelas merupakan infeksi kulit akut, disertai rasa nyeri, inflamasi, pembesaran

kelenjar getah bening disertai tanda sistemik (demam, menggigil, lekositosis). Area kulit yang

terlibat ditandai dengan adanya peninggian dan berbeda dari kulit yang sehat. Erisipelas paling

sering terjadi pada anak atau lansia, pada daerah wajah tetapi sekarang lebih sering terjadi di

kaki dan biasanya diawali oleh infeksi saluran nafas atau kulit oleh S.pyogenes.5

Selulitis

Selulitis melibatkan kulit dan jaringan subkutan, dan batas antara kulit sehat dan yang

terinfeksi tidak jelas. Seperti halnya erisipelas, inflamasi lokal dan gejala sistemik harus

diobservasi. Identifikasi dengan tepat dari organisme penyebab mutlak diperlukan, oleh karena

banyak organisme berbeda yang dapat menyebabkan selulitis.5

(14)

Disebut juga gangren streptokokus, merupakan infeksi yang terjadi di jaringan subkutan

yang dalam, menyebar di sepanjang bidang fasia serta ditandai dengan kerusakan otot dan

lemak yang luas. Organisme masuk ke jaringan melalui kerusakan pada kulit (luka atau trauma,

infeksi virus vesikular, luka bakar, pembedahan). Toksisitas sistemik, kegagalan multiorgan,

dan kematian merupakan komplikasi dari penyakit ini, sehingga diperlukan intervensi medis

yang tepat untuk menyelamatkan pasien. Selain pemberian antibiotik, fasciitis juga harus diatasi

secara agresif dengan melakukan pembedahan debridement dari jaringan yang terinfeksi.5

Streptococcal toxic shock syndrome (STSS)

Pasien yang mengalami kondisi ini awalnya mengalami inflamasi jarinan lunak pada

lokasi infeksi, nyeri, gejala inflamasi non-spesifik seperti demam, menggigil, malaise, mual,

muntah, dan diare. Rasa nyeri semakin hebat seiring dengan progresitas penyakit menuju syok

dan kegagalan organ (ginjal, paru, hati dan jantung). Meskipun semua orang dari berbagai

kelompok umur rentan terhadap streptococcal toxic shock syndrome, namun pasien dengan

kondisi tertentu lebih berisiko tinggi, seperti pada pasien dengan infeksi HIV, kanker, diabetes

melitus, penyakit jantung dan paru, infeksi virus varicella-zooster, serta pecandu alkohol dan

narkotika suntik. Strain dari S.pyogenes yang bertanggung jawab terhadap sindroma ini

berbeda dari strain yang menyebabkan faringitis, dimana yang paling banyak adalah serotipe M

1atau 3 dan banyak yang memiliki kapsul asam hialuronat mukopolisakarida yang prominen

(strain mukoid). Produksi dari eksotoksin yang pirogenik, khususnya SpeA dan SpeC, juga

merupakan gambaran prominen dari organisme ini.5

Bakterimia

S.pyogenes merupakan salah satu jenis streptokokus hemolisis β yang paling sering

diisolasi dari kultur darah. Pasien dengan infeksi yang terlokalisir seperti faringitis, pyoderma,

dan erisipelas jarang mengalami bakterimia. Kultur darah dari sebagian besar pasien fasciitis

nekrotik atau toxic shock syndrome positif terdapat organisme ini, dan mortalitas dari pasien

yang mengalami bakterimia mencapai 40%.5

4.2 Nonsuppurative Streptococcal Disease

Demam rematik (Rheumatic fever)

Demam rematik merupakan komplikasi lambat non-supurative dari infeksi S.pyogenes di

saluran nafas atas.5,6 Ditandai dengan reaksi inflamasi yang melibatkan jantung, sendi,

pembuluh darah, dan jaringan subkutan. Manifestasi pada jantung berupa pankarditis

(endokarditis, perikarditis dan miokarditis) dan sering dihubungkan dengan nodul subkutan.

Dapat terjadi kerusakan progresif dan kronis pada katub jantung. Manifestasi pada sendi

(15)

pola yang berpindah-pindah. Organisme penyebab adalah dari tipe M spesifik (tipe 1, 3, 5, 6,

dan 18).5 Khususnya dari strain mukoid M18.6

Demam rematik dikaitkan dengan faringitis streptokokus, namun tidak pada infeksi

streptokokus kutan. Kondisi ini banyak terjadi pada anak usia sekolah, tanpa ada predileksi jeni

kelamin dan sering terjadi selam musim dingin. Meskipun penyakit ini paling banyak terjadi

pada pasien dengan riwayat faringitis streptokokus yang berat, namun sebanyak sepertiga

pasien mengalami infeksi yang ringan atau asimtomatik.5

Penjelasan yang lengkap mengenai patogenesis dari demam rematik akut membutuhkan

pemahaman tidak hanya dari agen penyebab namun juga dari kerentanan alamiah dari

penjamu. Terbukti dari meskipun pada epidemi yang berat dari faringitis yang eksidatif, namun

demam rematik terlihat hanya pada proporsi yang kecil dari orang yang terinfeksi,

bergandengan dengan hubungan keluarga dari kasus demam rematik, menunjukkan adanya

kemungkinan predisposisi genetik dari terjadinya serangan rematik. Sebuah laporan

menyatakan adanya asosiasi yang secara statistik signifikan antara antigen HLA kelas II

tertentu (HLA-DR2 pada kulit hitam dan HLA-DR4 pada kulit putih) dengan demam rematik.6

Acute glomerulonephritis

Ditandai dengan adanya inflamasi akut dari glomerulus ginjal yang ditandai adanya lesi

glomerulus yang proliferatif dan difus dan secara klinis disertai edema, hipertensi, hematuria

dan proteinuria.5,6 Penyakit ini merupakan komplikasi nonsupuratif lambat dari infeksi di faring

atau infeksi kulit oleh strain tertentu dari streptokokus grup A yang nefritogenik dalam jumlah

yang terbatas. Serotipe M-12 merupakan serotipe tersering yang menyebabkan

glomerulonefritis akut setelah infeksi faringitis atau tonsilitis, sedangkan serotipe M-49

merupakan jenis yang sering dari nefritis yang disebabkan oleh pyoderma (tabel 3).6 Diagnosis

ditegakkan berdasarkan gambaran klinis serta adanya bukti infeksi S.pyogenes sebelumnya.5

Mekanisme pasti dari streptokokus yang menyebabkan glomerulonefritis akut belum dapat

digambarkan. Namun bukti menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal yang diperantarai

mekanisme imunologis. Imunoglobulin, komponen komplemen, dan antigen yang bereaksi

dengan antiserum streptokokus dapat dijumpai pada glomerulus segera setelah munculnya

penyakit. Kemungkinan antibodi yang didapat dari infeksi streptokokus nefritogenik bereaksi

dengan jaringan ginjal yang menyebabkan terjadinya trauma pada glomerulus. Di sisi lain,

temuan mikroskop elektron menunjukkan adanya subepitelial nodul pada biopsi ginjal pasien

dengan glomerulonefritis akut yang mengindikasikan terjadinya penumpukan kompleks yang

mengandung antigen streptokokus dan antibodi penjamu di dalam glomerulus. Penumpukan

nodul subepitelial tersebut merupakan gambaran khas dari penyakit yang disebabkan kompleks

(16)

Tabel 3. Streptokokus grup A serotipe M yang Berhubungan dengan Komplikasi

Nonsupurasi di Bagian Barat* 6

Demam Rematik Akut Glomerulonefritis Akut

berkaitan dengan Faringitis

Glomerulonefritis Akut berkaitan dengan Pyoderma

1 1 2

3 4 49^

5 12 55^

6 25 57

14 59

18 60

19 61

24

* Daftar ini menunjukkan serotipe utama yang telah diketahui pada belahan bumi barat, namun tidak semuanya dimasukkan. Tipe M dari strain streptokokus yang diisolasi dari berbagai area geografi dapar bervariasi

^ Tipe M49 dan 55 juga pernah dilaporkan pada kejadian glomerulonefritis yang berhubungan dengan faringitis.

V. Diagnosis Laboratorium

5.1 Spesimen

Spesimen yang diambil tergantung dari infeksi streptokokus yang terjadi. Untuk kultur,

digunakan spesimen yang berasal dari usap tenggorokan, pus, atau darah. Sedangkan untuk

pemeriksaan antibodi, digunakan spesimen serum.2

Meskipun sulit untuk melakukan pengambilan spesimen usap tenggorokan dari anak,

namun spesimen harus diambil dari bagian orofaring posterior. Bakteri yang berada di daerah

anterior mulut lebih sedikit, dan mulut (khususnya saliva) terkolonisasi oleh bakteri yang dapat

menghambat pertumbuhan S.pyogenes.5

5.2 Pemeriksaan Mikroskopis

Sebagai diagnosis preliminer dari infeksi jaringan lunak maupun pyoderma dapat

dilakukan pewarnaan Gram dari sampel yang berasal dari jaringan yang terkena. Dijumpainya

kokus Gram positif berpasangan dan berantai serta adanya lekositosis merupakan hal yang

penting oleh karena streptokokus bukan flora normal pada kulit. Sebaliknya, streptokokus

merupakan bagian dari flora normal orofaring, sehingga keberadaannya pada spesimen

pernafasan dari pasien faringitis memiliki nilai prediksi yang jelek.2,5 Sebagai contoh

Streptococcus viridans dapat dijumpai pada usap tenggorok dan memiliki gambaran yang sama

(17)

sangat membantu terutama pada spesimen dari lokasi steril, seperti cairan serebrospinal.3

Streptokokus dapat menjadi Gram negatif oleh karena organisme yang tidak dapat bertahan

hidup lama serta menjadi kehilangan kemampuannya untuk menahan zat warna ungu kristal.2

5.3 Kultur dan Identifikasi Biokimia

Spesimen yang diduga mengandung streptokokus diinkubasi pada media agar darah

dalam suasana inkubasi dengan 10% CO2 untuk mempercepat hemolisis. Kultur darah akan

menumbuhkan streptokokus grup A dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Sedangkan

beberapa streptokokus hemolisis α dan enterokokus dapat tumbuh lebih lambat. Jenis dan

tingkatan dari hemolisis serta gambaran koloni dapat membantu menempatkan organisme

kedalam grupnya secara defenitif.2 Bakteri streptokokus membutuhkan bahan pertumbuhan

untuk organisme fastidius. Antibiotik (seperti trimethoprim-sulfamethoazole) dapat ditambahkan

pada media agar darah untuk menekan pertumbuhan flora mulut.5

S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan uji cepat yang spesifik untuk melihat keberadaan

antigen spesifik grup A dan juga melalui uji PYR. Sebagai metode identifikasi presumtif untuk

streptokokus grup A dapat dilakukan uji penghambatan pertumbuhan oleh basitrasin (tabel 4).2

S.pyogenes dapat diidentifikasi dengan melihat suseptibilitasnya terhadap basitrasin. Melalui

metode ini, cakram kertas yang mengandung 0,04 unit basitrasin diletakkan pada permukaan

media agar darah yang sebelumnya telah disemai dengan organisme yang akan diidentifikasi.

Setelah diinkubasi selama satu malam, adanya zona inhibisi disekitar cakram diindikasikan

sebagai streptokokus grup A.2,7 Jika tidak ditemukan zona dianggap sebagai streptokokus non

grup A.7

Tabel 4. Identifikasi Biokimia Beberapa Streptokokus5

Suseptibilitas

Organisme

Basitrasin Optochin

Hidrolisis

Hippurate

Reaksi CAMP Bile

Solubility

S. pyogenes* S R - - -

S. agalactiae R R + + -

S. anginosus± R R - - -

S. dysgalactiae~ R R - - -

S. pneumoniae R S - - +

Grup viridans R R - - -

CAMP, Christie, Atkins, Munch-Petersen (test); PYR, L-pyrrolidonyl arylamidase; R, resisten; S, suseptibel

* S. pyogenes : reaksi PYR positif

±

S. anginosus : reaksi PYR negatif, reaksi Voges-Proskauer (VP) positif

(18)

Diferensiasi dari S. pyogenes dari S. anginosus dan streptokokus hemolisis β yang lain

secara cepat adalah melalui keberadaan enzim L-pyrrolidonyl arylamidase (PYR). Enzim ini

menghidrolisis L-pyrrolindonyl-β-naphtylamide, melepaskan β-naphtylamine yang akan

terdeteksi dengan adanya p-dimethylaminocinnamaldehyde yang membentuk senyawa

berwarna merah.5

5.4 Deteksi Antigen

Streptokokus secara defenitif diidentifikasi berdasarkan karbohidrat spesifik grup melalui

uji deteksi antigen langsung.5 Berbagi macam tes imunologi yang menggunakan antibodi yang

akan bereaksi dengan karbohidrat spesifik grup pada dinding sel bakteri dapat digunakan untuk

mendeteksi streptokokus grup A secara langsung dari usap tenggorokan.2,3,5 Tes ini

menggunakan metode kimiawi atau enzimatik untuk mengekstraksi antigen dari swab,

kemudian menggunakan enzyme immunoassay (EIA) atau uji aglutinasi dari partikel lateks

untuk melihat keberadaan antigen.2,5 Ekstrasi antigen dari spesimen menggunakan nitrous acid

atau pronase selama 5 menit.5 Uji ini dapat diselesaikan dalam beberapa menit atau beberapa

jam sejak spesimen didapat, dengan sensitifitas 60-90% dan spesifisitas 98-99% jika dibanding

dengan metode kultur.2 Metode deteksi langsung S. pyogenes dari spesimen dengan

sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dapat diperoleh melalui pemeriksaan dengan probe

asam nukleat.5

5.5 Deteksi Antibodi

Pasien yang mengalami infeksi S. pyogenes memproduksi antibodi terhadap banyak

enzim yang spesifik.2,5 Diantaranya antistreptolisin O (ASO), khususnya untik infeksi di saluran

nafas, anti-DNase, dan antihialurodinase pada infeksi kulit, antistreptokinase, antibodi anti M

spesifik. Meskipun antibodi terhadap protein M diproduksi dan penting untuk mempertahankan

imunitas, namun antibodi ini munculnya lambat dalam perjalanan penyakit dan bersifat spesifik.

Sebaliknya pengukuran antibodi terhadap Streptolysin O (uji ASO) bermanfaat untuk

mengkonfirmasi kondisi demam rematik atau glomerulonefritis akut yang dihasilkan dari infeksi

faring oleh streptokokus yang baru dialami. Antibodi ini muncul 3-4 minggu setelah paparan

awal organisme dan kemudian menetap, namun peningkatan titer ASO ini tidak dijumpai pada

pasien dengan pyoderma. Produksi antibodi yang lain terhadap enzim streptokokus, khususnya

DNase B telah dilaporkan pada pasien dengan faringitis maupun pyoderma oleh streptokokus.

Uji anti-DNase B sebaiknya dilakukan jika ada kecurigaan terhadap glomerulonefritis karena

streptokokus.5

(19)

Pemberian terapi pada infeksi Streptococcus pyogenes berdasarkan manifestasi yang

terjadi. Terapi untuk pharingitis streptokokus pada dasarnya bertujuan untuk mencegah

komplikasi lebih jauh. Infeksi streptokokus harus dieradikasi dari faring untuk mencegah demam

rematik akut. Pemberian terapi selama 10 hari biasanya membuat gagal pengobatan menjadi

minimal. Penisilin dapat diberikan dengan suntikan tunggal intramuskular sebanyak 1,2 juta unit

Penisilin G atau Penisilin V secara oral selama 10 hari. Amoksisilin sama baiknya dan mungkin

bisa ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Pada penderita yang alergi penisilin, erythromicin,

azitromycin, clarithromycin biasanya efektif. Gagal pengobatan bisa terjadi. Jika gejala

berulang, usapan tenggorokan harus diulang dan jalur terapi lain harus diresepkan, lebih baik

dengan sefalosporin oral. Karier tanpa gejala, jika dibuktikan dengan kultur tenggorokan selama

seminggu, tidak diobati dengan antibiotik.1

Pengobatan untuk selulitis dan erisipelas menggunakan penisilin G atau V sebagai

pilihan pertama dan dikloksasilin sebagai pilihan kedua. Untuk fasciitis nekrotik dan STSS

digunakan penisilin G ditambah dengan klindamisin. Sebagai profilaksis untuk demam rematik

diberikan benzathine penicillin, 600.000 unit IM sekali sebulan pada anak dan 1,2 juta unit IM

sekali sebulan untuk dewasa.7 (tabel 5)

Tabel 5. Profilaksis terhadap Demam Rematik

Anak Dewasa

Pilihan Pertama <60 lbs :

Benzathine penicillin, 600.000

unit IM, sekali sebulan

>60 lbs :

Benzathine penicillin,

1.200.000 unit IM, sekali

sebulan

Pilihan kedua Phenoxomethyl penicillin, 250

mg 4 x sehari, PO

Phenoxomethyl penicillin, 250

mg 4 x sehari, PO

Pilihan jika alergi

terhadap penisilin

Eritromisin 250 mg/hari, PO1

OR <60 lbs : Sulfadizine PO,

0,5 g/hari

Eritromisin 250 mg/hari, QID x

10 hari PO1 OR >60 lbs :

Sulfadizine PO, 1 g/hari

1 Sefalosporin oral, seperti sefaleksin, sefradin, sefradoksil, sefaklor, sefiksim,

sefuroksim, sefpodoksim dan sefdinir, diberikan secara oral selama 10 hari, merupakan

alternatif yang baik dari eritromisin untuk pasien yang alergi penisilin

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sharma S, Harding G: Strepcoccus Group A Infection, 1996. Available at

http://www.emedicine.com/med/TOPIC2184.HTM. December, 31. 2009

2. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical Microbiologi. 24 th ed. Mc Graw-Hill, 2005. p : 233-39

3. Murray PR (ed in chief). Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. ASM Press. 2007. p :

412-29

4. Willey J, Sherwood L, Woolverton C. Microbiology Prescott, Harley, and Klein’s. 7th ed. Mc

Graw-Hill. 2008. p : 125-30

5. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 5 th ed. Elsevier Mosby. 2005.

p : 237-46

6. Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practise

of Infectious Diseases. 6th ed. Elsevier Churchill Livingstone. 2005. p : 2364-87

7. Cappuccino JG, Sherman N. Microbiology : A Laboratory Manual. 8 th ed. Pearson

International Edition. 2008. p : 452-3

8. Wilson WR, Sande MA (ed). Current Diagnosis & Treatment in Infectious Diseases. Lange

(21)

Gambar

Tabel 1. Karakteristik dari Streptokokus yang penting secara klinis2
Gambar 1. Gambaran mikroskopis dari Streptococcus pyogenes
Gambar 2. Gambaran koloni dari Streptococcus pyogenes menunjukkan adanya hemolisis pada agar darah, β yang ditandai dengan daerah jernih di
Tabel 2. Faktor virulensi dari Streptococcus pyogenes5
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian tahap pertama, dari empat strain nila yang dipergunakan yaitu nila Nirwana, Nila Srikandi, Nila BEST dan nila Sultana diperoleh hasil bahwa tidak

Diharapkan dengan mengetahui tentang heat shock proteins, protein ini dapat dijadikan sasaran barn dan antibiotik, sehingga kasus penyakit infeksi karena beberapa bakteri yang

Perlu dilakukan perbandingan dengan variasi umur biji buah pepaya dari varietas yang lain sehingga dapat diketahui ada/tidaknya perbedaan kemampuan menghambat

a) Pada penyebaran hematogen, bakteri berasal dari pembuluh darah yang masuk ke dalam ginjal dan menginfeksi jalur perkemihan. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi

Keadaan ini memberi kesempatan yang besar bagi antibakteri yang terdapat pada air rebusan kelopak bunga rosella untuk merusak peptidoglikan pada dinding sel dari

Selain itu, berdasarkan penelitian in vitro yang pernah dilakukan pada proses ekstraksi bawang putih yang digunakan sebagai antibakteria pada bakteri Escherichia coli dan

Adanya infeksi streptokokus dapat diketahui dengan melihat peningkatan titer antibodi terhadap antigen yang berasal dari dinding sel dan produk ekstraselular kuman. Secara

Kristal ini membentuk lapisan menutupi kateter yang melindungi bakteri dari efek antimikroba.4,12 Pembentukan biofilm juga dapat meningkatkan kemampuan strain penyebab prostatitis akut