• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Bladder Training Sitz Bath Terhadap Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan Pada Ibu Post Partum Spontan Di RSUP. H. Adam Malik – RSUD. Dr. Pirngadi Medan Dan RS. Jejaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Bladder Training Sitz Bath Terhadap Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan Pada Ibu Post Partum Spontan Di RSUP. H. Adam Malik – RSUD. Dr. Pirngadi Medan Dan RS. Jejaring"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING SITZ BATH

TERHADAP FUNGSI ELIMINASI BERKEMIH SPONTAN

PADA IBU POST PARTUM SPONTAN DI

RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN

DAN RS. JEJARING

 

 

T E S I S

 

 

 

 

 

 

 

OLEH :

MAYA HASMITA

 

 

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN

MEDAN

(2)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING SITZ BATH TERHADAP FUNGSI ELIMINASI BERKEMIH SPONTAN PADA IBU POST PARTUM SPONTAN DI

RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN DAN RS. JEJARING

Maya Hasmita, R.Haryono Roeshadi, M.Rhiza Tala Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Tujuan : Untuk mengetahui efektifitas bladder training Sitz bath terhadap fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan. Untuk mengetahui waktu pertama kali terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath. Untuk mengetahui volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan yang terjadi pertama kali pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath. Untuk mengetahui perbedaan volume dari berkemih spontan berdasarkan waktu antara ibu post partum spontan yang dilakukan bladder training Sitz bathdan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath.

Tempat : RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD. Dr. Pirngadi Medan, RSU. Sundari

Rancangan Penelitian : Penelitian quasi eksperimental dengan kelompok kontrol sebagai pembanding.

Metode Penelitian : Populasi penelitian adalah seluruh ibu post partum spontan yang dirawat di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP.H. Adam Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan RSU. Sundari. Dimana sampel penelitian sebanyak 22 orang pada kelompok intervensi dan 22 orang pada kelompok tanpa intervensi, dimana sampel diambil dengan cara purposive sampling dengan penetapan kriteria inklusi dan eksklusi.

(3)

Kesimpulan : Fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat intervensi bladder training sitz bath tercapai lebih cepat dengan volume urin yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa intervensi.

(4)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Penelitian ……….……… 1

1.2. Rumusan Masalah………,………. 3

1.3. Hipotesis Penelitian ……….………... 3

1.4. Tujuan Penelitian ………... 3

1.5. Manfaat Penelitian ……… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 5

2.1. Definisi fungsi eliminasi . ……….

2.2. Cara-cara fungsi eliminasi ………..……..

2.3. Organ sistem urinaria ………...

2.4. Fisiologi fungsi berkemih ………...…

2.5. Persarafan sistem urinaria bagian bawah………...

2.6. Persarafan pada kulit dari organ urogenitalia eksterna……..

2.7. Retensi urin ………...

2.9. Penanganan retensi urin post partum ………

2.10.Hidroterapi ………

2.11.Bladder training dengan Sitz bath………. 2.12.Faktor karakteristik ibu terhadap kejadian retensi urin

15

16

(5)

post partum………. 2.13.Kerangka konsep penelitian ………..

20

22

BAB III METODE PENELITIAN ………. 23

3.1. Rancangan Penelitian ……… 23 3.6. Perhitungan Besar Sampel ………...………..…… 24 24 24 24 25 3.7. Batasan Operasional ……….………. 25

3.8. Cara Kerja ………..

4.1. Karakteristik ibu post partum spontan dengan intervensi dan

tanpa intervensi bladder training sitz bath ………

4.2.Perbandingan rerata lama kala dua pada ibu post partum dengan intervensi dan tanpa intervensi bladder training sitz bath ...

4.3.Perbandingan rerata waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath dengan kelompok kontrol tanpa intervensi……...

4.4.Perbandingan rerata volume urin dari fungsi eliminasi

29

29

(6)

BAB V

berkemih spontan pertama kali pada ibu post partum spontan dengan intervensi dan tanpa intervensi…………...

4.5.Perbandingan volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bathdengan kelompok kontrol tanpa intervensi berdasarkan waktu………..

KESIMPULAN DAN SARAN ………

5.1. Kesimpulan ……….

5.2. Saran ………... 33

35

37

39

39

39

DAFTAR PUSTAKA ……… 40

LAMPIRAN Kuesioner-kuesioner …………...……….. 41

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kandung kemih………..

7

Gambar 2 Anatomi genitalia eksterna wanita, persarafan dan pembuluh darah………. 9

Gambar 3 Persarafan kandung kemih dan ureter bagian bawah ……… 11

Gambar 4 Distribusi kuantitatif nerve endings pada regio tertentu pada genitalia wanita 12

Gambar 5 Alat Sitz Bath ………...

(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

4.1. Karakteristik ibu post partum spontan dengan intervensi dan

tanpa intervensi bladder training sitz bath ………...

4.2.Perbandingan rerata lama kala dua pada ibu post partum dengan intervensi dan tanpa intervensi bladder training sith bath...

4.3.Perbandingan rerata waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath dengan kelompok kontrol tanpa intervensi……...

4.4.Perbandingan rerata volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada ibu post partum spontan dengan intervensi dan tanpa intervensi…………...

4.5.Perbandingan volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bathdengan kelompok kontrol tanpa intervensi berdasarkan waktu………...

29

31

33

35

37

(8)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING SITZ BATH TERHADAP FUNGSI ELIMINASI BERKEMIH SPONTAN PADA IBU POST PARTUM SPONTAN DI

RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI MEDAN DAN RS. JEJARING

Maya Hasmita, R.Haryono Roeshadi, M.Rhiza Tala Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Tujuan : Untuk mengetahui efektifitas bladder training Sitz bath terhadap fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan. Untuk mengetahui waktu pertama kali terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath. Untuk mengetahui volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan yang terjadi pertama kali pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath. Untuk mengetahui perbedaan volume dari berkemih spontan berdasarkan waktu antara ibu post partum spontan yang dilakukan bladder training Sitz bathdan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath.

Tempat : RSUP. H. Adam Malik Medan, RSUD. Dr. Pirngadi Medan, RSU. Sundari

Rancangan Penelitian : Penelitian quasi eksperimental dengan kelompok kontrol sebagai pembanding.

Metode Penelitian : Populasi penelitian adalah seluruh ibu post partum spontan yang dirawat di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP.H. Adam Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan RSU. Sundari. Dimana sampel penelitian sebanyak 22 orang pada kelompok intervensi dan 22 orang pada kelompok tanpa intervensi, dimana sampel diambil dengan cara purposive sampling dengan penetapan kriteria inklusi dan eksklusi.

(9)

Kesimpulan : Fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat intervensi bladder training sitz bath tercapai lebih cepat dengan volume urin yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa intervensi.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 % kasus retensio plasenta diakibatkan oleh kandung kemih yang distensi akibat retensi urin.1

Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 % dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%. 2,3,4,5

Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unlam/RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan ekstraksi vakum. Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas terbanyak adalah paritas 1 (54,5%).1

Retensi urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan angka kejadian disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %.10

Retensi urin post partum menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa komplikasi akibat retensi urin post partum adalah terjadinya uremia, infeksi, sepsis, bahkan ada penulis yang melaporkan terjadinya ruptur spontan vesika urinaria.1

(11)

Sedangkan komplikasi kronik dari retensi urin, menyebabkan refluks ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.1,2,3

Merujuk terhadap perubahan fisiologis masa nifas, retensi urin post partum dapat disebabkan oleh keadaan hipotonik dari kandung kemih. Perubahan ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu post partum.6,7

Selama proses persalinan, trauma tidak langsung dapat terjadi pada uretra dan kandung kemih. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemis dan edema serta sering kali disertai daerah hemoragik. Rasa nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan kepala bayi saat persalinan serta rasa nyeri akibat laserasi vagina atau episiotomi dapat mempengaruhi proses berkemih.6,7

Pencegahan dan penanganan kejadian retensi urin post partum sangat perlu dilakukan karena angka kejadian persalinan spontan cukup tinggi. Pada tahun 2009 angka kejadian persalinan spontan pervaginam di RSUD. Dr. Pirngadi Medan sebesar 37,8 % dan di RSUP. H. Adam Malik Medan sebesar 42,7 %. Dimana kejadian retensi urin post partum di kedua rumah sakit belum dilakukan penelitian.9

Mengatasi masalah berkemih salah satunya dapat dilakukan dengan intervensi bladder training diantaranya kateterisasi baik secara intermitten 4-6 jam sampai tercapai residu urin <150 ml, bila residu urin >150 ml dipasang kateter menetap selama 24-48 jam. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan melatih kembali kandung kemih mencapai tonus otot otot kandung kemih yang normal sehingga tercapai kembali pola berkemih normal. Pada perawatan maternal, bladder training dilakukan pada ibu yang mengalami gangguan berkemih diantaranya pada kasus retensi urin post partum. 6,7

(12)

Dari beberapa literatur, salah satu intervensi non invasif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah perkemihan adalah menggunakan alat Sitz bath dengan prinsip hidroterapi. Terapi ini menggunakan air dengan posisi duduk pada alat Sitz bath. Prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi darah di daerah pelvis. Aplikasi ini menggunakan alternatif air dingin dan hangat. Sitz bath juga digunakan secara luas dalam praktek medis salah satunya pada pasien retensi urin dan nyeri di daerah pelvis tanpa gangguan neurologis. Dari literatur, aplikasi ini terbukti bermanfaat untuk pemulihan organ urogenitalia eksterna.18,19,20

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana efektifitas bladder training Sitz bathterhadap fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dibandingkan dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan tanpa bladder training Sitz bath?

1.3. Hipotesis

1. Waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath lebih cepat dibandingkan dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan tanpa bladder training Sitz bath.

2. Volume dari fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bathlebih banyak dibandingkan dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan tanpa bladder training Sitz bath.

2.1. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

(13)

Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui waktu pertama kali terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath.

- Untuk mengetahui volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan yang terjadi pertama kali pada ibu post partum spontan yang mendapat bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath.

- Untuk mengetahui perbedaan volume dari berkemih spontan berdasarkan waktu antara ibu post partum spontan yang dilakukan bladder training Sitz bath dan yang tidak mendapat bladder training Sitz bath.

2.2. Manfaat Penelitian

- Upaya bladder training Sitz bath diharapkan dapat menjadi salah satu prosedur standar untuk mencegah terjadinya retensi urin terhadap ibu post partum spontan.

- Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memprediksi risiko terjadinya retensi urin pada ibu post partum spontan berdasarkan faktor-faktor karakteristik ibu yang meliputi umur, paritas, lama kala dua, keadaan perineum dan luaran berat badan bayi.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum atau setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung kemih.11

Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non invasif seperti upaya bladder training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar fungsi eliminasi berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka diperlukan penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan memasang kateter foley dalam kandung kemih selama 24 - 48 jam untuk menjaga kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai proses berkemih spontan.12,13

Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, serta pengukuran volume residu urin . Selain itu, fungsi berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetry.5

Saultz et al, menyatakan volume residu urin normal adalah kurang atau sama dengan 150 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 150 ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Volume residu urin normal adalah maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria.Kapasitas kandung kemih normal orang dewasa adalah ± 1000 ml. Namun keadaan over distensi dapat mencapai volume + 2000-3000 ml. Fungsi berkemih dikatakan masih normal bila volume urin minimal 0,5 - 1 ml / kgBB /jam. 2

Secara umum penanganan retensi urin diawali dengan kateterisasi. Namun, studi terakhir menyatakan bahwa penanganan awal secara non invasif berupa hidroterapi dapat diupayakan terlebih dahulu. Apabila residu urin lebih dari 150 ml, antibiotik profilaksis perlu diberikan

(15)

2.1. Definisi Fungsi Eliminasi

Fungsi eliminasi yaitu proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan sisa-sisa zat yang tidak diperlukan

oleh tubuh untuk mencapai keseimbangan (homeostasis). Hal yang berkaitan dengan fungsi eliminasi,

antara lain: 15

1. Hemostatis internal.

2. Keseimbangan asam basa tubuh. 3. Pengeluaran sisa metabolisme.

2.2. Cara-cara Fungsi Eliminasi

Cara-cara fungsi eliminasi adalah sebagai berikut : 15 1. Urin melalui uretra

2. Faeces melalui anus 3. Keringat melalui kulit

4. Gas CO2 dan uap air melalui paru-paru

2.3. Organ Sistem Urinaria

1. Ginjal 2. Ureter 3. Trigonum

4. Hubungan ureter-vesika 5. Vesika urinaria (Bladder) 6. Uretra

2.3.1. Vesika urinaria (bladder)

(16)

Otot detrusor melanjutkan perjalanannya ke arah uretra membentuk suatu "pipa" yang disebut bladder neck. Kandung kemih berbentuk oblik untuk menghindari urin kembali keatas.15

Gambar 1. Kandung kemih 22

2.3.2. Uretra

Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urin keluar dari tubuh. Fungsi uretra pada pria dan wanita berbeda. Pada wanita, uretra berfungsi hanya untuk

menyalurkan urin keluar dari tubuh dengan panjang + 4 cm. Sedangkan pada pria, uretra sebagai pengalihan urin dan sebagai organ reproduksi dengan penjang 18-20 cm. Sementara itu, sfingter uretra dibentuk oleh serat-serat otot lurik. Peranannya adalah untuk menahan upaya berkemih sementara waktu atau segera menghentikan proses berkemih bila dikehendaki.11,15

2.4. Fisiologis Fungsi Berkemih

Secara fisiologis, kandung kemih dapat menimbulkan rangsangan pada saraf apabila volume urin pada kandung kemih berisi + 250 - 450 ml (dewasa) dan 200-250 ml (anak-anak). Secara normal, urin orang dewasa diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan + 120 ml/jam (1200 ml/hari) atau 25 % dari curah jantung. Volume urin normal minimal adalah 0,5-1 ml/kgBB/jam, dimana produksi urin dikatakan abnormal atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal (oliguria) adalah sekitar 100 – 500 ml/hari.15

(17)

Kandung kemih adalah organ penampung urin. Selain itu, berfungsi pula mengatur

pengeluarannya. Proses berkemih dimulai dari tekanan intramural otot detrusor. Tekanan ini dahulu dianggap semata-mata akibat persarafan, akan tetapi pada penelitian terakhir

menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor lebih ditentukan oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak), dimana stimulasi ini diterima oleh stretch receptor pada kandung kemih. 2-7

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk

mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera.Jika kandung kemih terisi cukup dan mengembang, sementara tekanan intravesika tetap, maka sesuai dengan hukum Laplace, tekanan intramural otot detrusor akan meningkat.2-7

Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretchreceptor, sehingga timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang akan diteruskan ke pusat refleks berkemih di korteks serebri lobus frontalis pada area detrusor piramidal. Penelitian terakhir menyatakan bahwa kontrol terpenting terutama berasal dari daerah yang disebut Pontine Micturition Centre. Sistem ini ditunjang oleh sistem refleks sakralis yang disebut Sacralis Micturition Centre. Jika jalur persarafan antara pusat berkemih pontin dan sakralis dalam keadaan baik, maka proses berkemih akan berjalan dengan baik juga.14,15

Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf otonom dan somatik. Jalur persarafan yang terdiri dari refleks fungsi detrusor dan refleks sfingter uretra meluas dari lobus frontalis samapi ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab dari gangguan fungsi berkemih neurogenik dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai tingkatan jalur persarafan.Proses berkemih menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi otot lurik uretra (rhabdosfingter), kontraksi otot detrusor kandung kemih dan pembukaan dari leher kandung kemih dan uretra.14,15

Selain saraf otonom dan somatik, proses berkemih fisiologis juga dipengaruhi oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri. Perasaan subyektif ini melibatkan emosi yang diatur oleh sistem limbik pada sistem saraf pusat. Tingkah laku merupakan fungsi sistem saraf pusat yang melibatkan emosi. Tingkah laku khusus yang berhubungan dengan emosi, dorongan motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan rasa tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan oleh struktur sub kortikal yang terletak di daerah basal otak yang disebut sistem limbik. Struktur sentral serebri basal dikelilingi korteks serebri yang disebut korteks limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi untuk

pengendalian fungsi tingkah laku tubuh dan penyimpan informasi yang menyimpan informasi mengenai pengalaman seperti rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan sebagainya. 15

(18)

2.5.1. Persarafan sensorik dan somatik

Persarafan sensorik melibatkan saraf aferen yang berakhir pada pleksus sub-urogenital yang tidak mempunyai ujung saraf sensorik khusus. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis

thorakolumbal, parasimpatis sakral dan nervus pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan di dalam pelvis membawa sensasi dari keadaan distensi kandung kemih yang terisi cukup dan merangsang stretch receptor. 14

Gambar 2. Anatomi genitalia eksterna wanita, persarafan dan pembuluh darah 21

Peran saraf aferen sensorik dari nervus hipogastrika kemungkinan menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kemih. Sedangkan peran saraf aferen somatik dari nervus pudendus menyalurkan impuls dari sensasi aliran urin, sensasi nyeri dan sensasi suhu dari uretra menuju ke medulla spinalis sakral sebagai penerima impuls saraf aferen dari kandung kemih. Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah di medulla spinalis sakral berperan dalam proses integrasi saraf visero-somatik.14

Penemuan ini berasal dari penelitian yang dilakukan pada pasien yang mengalami kordotomi anterolateral. Hasil menyimpulkan bahwa jalur persarafan asending dari uretra dan kandung kemih berjalan di dalam traktus spinothalamikus. Selain itu, serabut spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan pada transmisi dari informasi saraf aferen ini.14

(19)

Gambar 3. Persarafan kandung kemih dan ureter bagian bawah 22

2.6. Persarafan pada kulit dari organ urogenitalia eksterna

(20)

1. Sensasi suhu

2.6.2. Perasarafan pada kulit yang berfungsi terhadap sensasi suhu

Persarafan pada kulit dari organ urogenitalia eksterna berperan dalam menerima stimulus yang diterima oleh nerve ending (ujung persarafan) pada kulit. Dimana salah satunya berfungsi sebagai penerima sensasi suhu yang melibatkan sistem saraf otonom, somatik dan sistem saraf pusat. Sensasi suhu pada kulit terdistribusi secara merata pada kulit yang terbagi atas hot spot dan cold spot yang diatur oleh nerve ending untuk suhu panas (ruffini) dan suhu dingin (krause).18,21

2.6.3. Nerve endings 21

Gambar 4. Distribusi kuantitatif nerve endings pada regio tertentu pada genitalia wanita.21 Regio

(21)

kemih sehingga menyebabkan distensi kandung kemih atau keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dimana dari beberapa literatur lama waktu dari ketidak-mampuan berkemih spontan serta volume residu urin berbeda-beda. Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf, yaitu : 14

1)Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–4 dan Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena gangguan persarafan.

2) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan dengan - masa kehamilan dan proses persalinan, misalnya : retensi urin akibat iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis.

3) Infravesikal

Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi.

2.7.1. Gejala klinis retensi urin

- Mengedan bila miksi

- Rasa tidak puas sehabis miksi

- Frekuensi miksi bertambah

- Nokturia atau pancaran kurang kuat

- Ketidak nyamanan daerah pubis

- Distensi vesika urinaria

2.8. Retensi urin post partum

Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu : 9

(22)

Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidak-mampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum, yaitu : 2-7 1. Trauma Intrapartum

Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin, dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul, sehingga dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa kandung kemih se dan ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat menimbulkan hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum.

2. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.

Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.

3. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas

Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi epidural.

4. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih spontan.

2.8.1. Patofisiologi retensi urin post partum

Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu : 15 (1) pengisian dan penyimpanan urin, serta

(2) pengosongan urin dari kandung kemih.

(23)

Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraksi otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan uretra proksimal.14

Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkolin. Penyampaian impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion medulla spinalis di segmen S2 - S4 dan selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga timbul kembali kontraksi otot detrusor.14

Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.2-7

2.9. Penanganan retensi urin post partum

2.9.1. Bladder training

Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum.12,13

(24)

Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan berkemih.10

1. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.

2. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk berkemih spontan

3. Terapi medikamentosa

4. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih.

5. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.

2.10. Hidroterapi

Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi alternatif untuk pemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada masa post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri. 19-26

2.10.1. Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat

(25)

Diketahui pada jalur persarafan, perangsangan oleh satu fungsi sensasi akan menghambat fungsi sensasi yang lain. Sebagai contoh, beberapa area di medulla spinalis menghantarkan sinyal yang diperoleh dari nosiseptor (reseptor rasa nyeri) dan reseptor taktil (reseptor sensasi suhu). Perangsangan reseptor taktil oleh suhu akan menghambat transmisi impuls nyeri dari nosiseptor, sebaliknya stimulasi nyeri dapat menekan transmisi siyal yang diterima dari reseptor taktil. Hal ini dikenal dengan teori pintu gerbang (gate teory).20

Transmisi sinyal yang diperoleh dari reseptor saraf yang satu akan menghambat jalur transmisi untuk sensasi lain. Hal ini disebut “blocking the gate” atau dengan kata lain, sensasi suhu dari air hangat yang diterima reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor nosiseptor. Sehingga sensasi rasa nyeri dapat berkurang.20

Terapi air hangat memberikan efek “crowding process” (proses pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat oleh sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab terhadap sensasi suhu (nerve endings Ruffini dan Krause). sehingga memberikan efek penekanan atau pengurangan rasa nyeri (analgesia).20

Selain itu, manfaat paparan lokal air hangat dapat mengakibatkan peningkatan kadar beta endorphin dalam darah. Beta endorfin diketahui sebagai anti nyeri endogen yang dapat menimbulkan perasaan relaksasi.19,20,21,26,26

2.10.2. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin

Seperti halnya hidroterapi dengan air hangat, rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin juga mengakibatkan terjadinya proses “blocking the gate” (sensasi suhu dari air dingin yang diterima reseptor taktil akan menghambat jalur transmisi rasa nyeri yang diterima oleh reseptor nosiseptor.). Pada hidroterapi air dingin juga terjadi efek pengacauan “crowding process”. Sehingga air dingin juga dapat menekan sensasi rasa nyeri.20

(26)

Dari literatur disebutkan bahwa hidroterapi dengan air dingin pada suhu 55 - 75°F (12 - 24°C) bermanfaat pada penyembuhan luka perineum. Hidroterapi dengan air dingin

mengakibatkan penurunan metabolisme sel dan pengurangan penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak luka. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan terapi air dingin menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena. Dengan terjadinya

vasokonstriksi vena, maka membantu proses drainase pada jaringan edema oleh pembuluh limfe. Dengan terjadinya vasokonstriksi pada jaringan edema, cairan intersellular yang tertahan akan mengalir secara perlahan melalui jaringan ikat di antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain itu, proses drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat kontaksi dan relaksasi otot.20,21,22

Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post partum spontan yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi salah satu manajemen luka perineum untuk penanganan edema perineum selain penanganan higienis perineum dan kuratif dengan medisinal.Dari satu penelitian dilaporkan insidensi penyembuhan luka laserasi perineum dengan hidroterapi sebesar 84 % pada sepuluh hari periode post partum. Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian Infeksi perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %.

Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3 – 4 hari post partum.19,20.

2.10.3. Jenis-jenis Hidroterapi19,20,21,25,26,26

Hidroterapi Kontras

Alternatif terapi menggunkan air hangat dan dingin merupakan salah satu jenis hidroterapi. Penggunaan air hangat adalah untuk membuat terjadinya vasodilatasi, sedangkan penggunaan air dingin untuk membuat terjadinya vasokonstriksi. Aplikasi dari terapi ini dapat dilakukan pada jaringan atau organ tubuh yang inflamasi dan kongesti.

Berendam dan Mandi 19-26

Berendam dan mandi dengan air hangat dan dingin, akhir-akhir ini diteliti mempunyai manfaat untuk kesehatan dan membantu proses penyembuhan karena dapat membantu relaksasi dan mengurangi stres. Mandi dengan air dingin dapat menstimulasi sistem imun dan memperbaiki sirkulasi darah.

Hot Foot Bath 19,20,26

Terapi rendam kaki dengan air hangat direkomendasikan untuk kaki yang kram, nausea, demam, insomnia, kongesti pelvis.

Heating Compress 19,20,26

(27)

Constitutional Hidroterapi 20,21

Ahli Naturopati sering menggunakan alternatif terapi air untuk kesehatan dan memperbaiki sistem imun. Metode ini menggunakan handuk yang direndam ke dalam air hangat dan dingin lalu di aplikasikan pada punggung dan dada yang nyeri.

Sitz bath19,20,21

Sitz bath digunakan secara luas dalam praktek medis, diantaranya pada hemoroid dan pada kasus retensi urin tanpa gangguan neurologis, nyeri haid dan nyeri di daerah pelvis.

2.11. Bladder Training dengan Sitz bath

Dari berbagai literatur, Sitz bath terbukti bermanfaat untuk terapi pemulihan. Terapi ini menggunakan prinsip hidroterapi pada posisi duduk (Sitz bath). Aplikasi prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis. Hidroterapi ini menggunakan alternatif air dingin dan hangat.19

Kontraindikasi metode ini adalah pada pasien dengan penyakit tromboemboli vena seperti deep vein thrombosis (DVT), infeksi kandung kemih dan gangguan sensasi saraf perifer (penyakit serebrovaskular).20

(28)

Gambar 5. Alat Sitz bath20

Hidroterapi dengan suhu air hangat (106-110°F, 410C – 430C) merupakan suhu air dalam batas fisiologis yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan pasokan darah yang akan meningkatkan oksigenisasi ke jaringan. Selain itu, dapat menimbulkan sensasi suhu terhadap nerve endings kulit pada organ urogenitalia eksterna, menstimulus jalur persarafan, menghilangkan rasa nyeri dan membantu proses relaksasi dari sfingter uretra sehingga dapat tercapai fungsi eliminasi berkemih spontan dari ibu post partum spontan. Hidroterapi dengan air dingin bersuhu 55-75°F, 12-24°C juga dapat menimbulkan efek analgesia dan membantu mengurangi edema jaringan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat dan dingin.20

2.12. Faktor Karakteristik Ibu terhadap kejadian Retensi Urin Post Partum

Hasil penelitian sebelumnya di RSCM pada tahun 2008 menemukan kejadian retensi urin pada ibu post partum pada usia 26-30 tahun sebanyak 63,6 %, dan sebanyak 18,2% berusia di atas 35 tahun. Semakin bertambahnya usia ibu hamil maka kemampuan dan fungsi otot sistem urinaria menurun karena proses degeneratif. 22

(29)

Semakin besar berat badan bayi maka penekanan pada kandung kemih dan uretra pada saat penurunan kepala juga semakin besar. Ini menyebabkan trauma pada kandung kemih sehingga meningkatkan resiko pada kandung kemih. Tekanan kepala bayi yang berkepanjangan dan peregangan yang terlalu lama pada kandung kemih dapat menyebabkan pengurangan rangsangan kandung kemih karena saraf dan impuls motorik dapat terganggu.22

Hal ini terjadi akibat edema leher kandung kemih serta ekstravasasi darah ke dalam dinding mukosa kandung kemih yang menyebabkan pengurangan rangsangan kandung kemih. 2,18

Selain itu, persalinan yang lama sering menyebabkan perlukaan pada uretra dan kandung kemih. Terjadinya perlukaan disebabkan penekanan yang lama oleh kepala bayi saat memasuki rongga panggul.Selain itu, episiotomi atau laserasi perineum menimbulkan rasa nyeri dan akhirnya menimbulkan rasa takut untuk berkemih. Hal ini menyebabkan efek inhibisi urinasi.22

2.13. Kerangka Konsep Penelitian

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimental dengan kelompok kontrol sebagai pembanding.Analisis data dengan analitik komparatif tidak berpasangan.

3.2 Waktu dan tempat

Penelitian dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP. H. Adam

Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan RSU. Sundari. Penelitian dimulai pada bulan Juli 2010 sampai jumlah sampel minimal terpenuhi.

3.3 Subyek Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh ibu post partum spontan yang dirawat di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP.H. Adam Malik Medan, RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan RSU. Sundari. Dimana sampel penelitian diambil dengan cara purposive sampling dengan penetapan kriteria inklusi dan eksklusi.

.

3.4 Kriteria Inklusi dan eksklusi

3.4.1 Kriteria inklusi

- Ibu post partum spontan dengan tanda vital baik

- Tidak partus dengan assisted labor (ekstraksi vakum)

- Tidak partus dengan cara seksio sesarea dan bekas seksio sesarea

- Tidak menggunakan painless labor

- Pasien yang tidak mengalami cedera jalan lahir yang luas selain tindakan episiotomi (laserasi tingkat IV)

- Pasien yang tidak memiliki riwayat infeksi saluran kemih dan riwayat gangguan fungsi ginjal

- Pasien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus

(31)

- Tidak ada penyakit hipertensi dalam kehamilan, preeklamsia dan eklamsia yang dilakukan pemasangan kateter urin menetap

- Bersedia ikut penelitian

3.4.2. Kriteria eksklusi

- Berkemih spontan sebelum kala IV selesai

3.5. Cara Penelitian

.3.5.1. Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan dan diperoleh dari hasil observasi terhadap waktu

terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan (pengeluaran urin) dan pengukuran volume urin berdasarkan waktu.

3.5.2. Pengolahan Data

Data ditabulasi dan disajikan berdasarkan bentuk tabel distribusi frekuensi secara komputerisasi.

3.5.3. Variabel-Variabel Penelitian

Variabel Independen : Ibu post partum spontan berdasarkan kriteria inklusi

dan eksklusi.

Kelompok Intervensi : Subyek yang mendapat bladder training Sitz bath

Kelompok Kontrol: Subyek yang tidak mendapat bladdertraining Sitz bath

Variabel dependen: Waktu terjadinya Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan

Volume urin dari berkemih spontan berdasarkan waktu

(32)

Untuk melihat keterpaparan dan perbandingan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Data diuji dengan statistik dengan uji-t dan one way anova dengan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05). Data diolah secara komputerisasi.

3.6. Perhitungan Besar Sampel

Besarnya sampel diambil dengan menggunakan rumus sampel analitik komparatif tidak berpasangan

SD

N

 

=

 

2

(X1 - X2)

Zα = Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang

ditentukan (α = 0,05)  Zα = 1,64

Zβ = Nilai baku normal dari table Z yang besarnya tergantung pada nilai β yang

ditentukan (β = 0,10)  Zβ = 1,28

SD = Rerata simpangan baku waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih

spontan antara 2 kelompok  40,081 menit (kepustakaan)22

X1-X2 = Selisih rerata waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan

kedua kelompok yang bermakna  35,34 menit (kepustakaan)22

 Jadi besar sampel untuk masing-masing kelompok yaitu sebanyak = 21,9

N1= N2 = 22  Jumlah sampel sebanyak 22 orang untuk masing-masing

kelompok subyek penelitian

3.7. Batasan Operasional

(33)

-Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan adalahkemampuan ibu post partum spontan untuk mengeluarkan urin/berkemih pertama kali dan diukur volume urin berdasarkan waktu setelah melahirkan.

-Intervensi Bladder training Sitz bath adalah Terapi menggunakan air pada Posisi duduk atau merendam sebagian bokong dan organ urogenital eksterna (sitzbath). Aplikasi prinsip hidroterapi Sitz bath untuk menstimulasi sirkulasi daerah pelvis. Aplikasi ini menggunakan alternatif air hangat dan dingin. Aplikasi ini menggunakan air hangat (106-110°F, 41-43°C) selama 5 menit. kemudian air diganti dengan menggunakan air dingin (55-75°F, 12-24°C) selama 5 menit. Intervensi dilakukan setelah kala IV selesai (2 jam post partum spontan)

-Tanpa intervensi Bladder Traininng Sitz bath adalah tanpa intervensi Sitz bath (Kelompok Kontrol)

-Karakteristik ibu post partum spontan adalah data yang meliputi umur pasien, paritas (jumlah anak), lama kala dua (waktu yang dimulai sejak pembukaan serviks lengkap sampai lahirnya bayi), keadaan perineum (intak atau laserasi) dan luaran berat badan bayi (berat badan bayi lahir)

3.8. Cara Kerja

1. Subyek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan urutan pengambilan sampel sebagai berikut : kelompok intervensi dimulai dengan angka urutan ganjil, sedangkan kelompok kontrol dilanjutkan dengan angka urutan genap.

2. Selanjutnya peneliti memberikan edukasi pada subyek tentang pentingnya eliminasi berkemih spontan setelah persalinan.

3. Memberikan minum air putih sebanyak 250 ml pada awal kala IV.

4. Menilai tanda vital subyek yang meliputi keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu untuk mengetahui kondisi subyek apakah status presens dalam batas normal dan memungkinkan untuk dilakukan bladder training Sitz bath.

5. Setelah selesai kala IV (setelah 2 jam post partum), subyek diminta turun dari tempat tidur dan berjalan menuju toilet dengan didampingi peneliti.

6. Kran air di dalam toilet dibuka agar terdengar suara aliran air ke dalam bak penampung. Dimulai sejak subyek berada di toilet.

(34)

8. Subyek diminta merendam sebagian bokong serta organ urogenitalia eksterna pada alat Sitz bathpada kloset duduk selama 5 menit.

9. Selanjutnya air diganti dengan menggunakan air dingin dengan suhu 55-75°F, 12-24°C,dengan posisi duduk yang sama dengan sebelumnya. Proses berendam pada air dingin juga dilakukan selama 5 menit.

10.Selanjutnya mengobservasi subyek dan mencatat waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali.

11. Acuan perhitungan waktu (dalam menit) dimulai sejak kala IV selesai baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

12.Selanjutnya dilakukan evaluasi dan pencatatan terhadap volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali dan volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan berdasarkan waktu pengamatan, yaitu pada waktu <120 menit, 120-360 menit dan 120-360-390 menit, baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

13.Bila sudah mencapai waktu 360 menit, dan subyek belum berkemih spontan, maka jumlah volume urin < 360 menit adalah 0 ml. Namun subyek tetap diobservasi waktu terjadinya berkemih spontan.

14.Kemudian diukur volume urinnya pada waktu tersebut. Dengan bantuan kateterisasi diukur volume residu urinnya. Bila kurang dari 150 ml, intervensi bladder training dengan kateterisasi selesai. Pasien dianjurkan minum + 2 liter per hari dan mobilisasi. 15.Tetapi bila volume residu urin lebih dari 150 ml dan kurang dari 500 ml maka perlu

dilakukan kateterisasi intermiten setiap 4 jam sambil mencatat volume urin setiap berkemih dan mengukur volume residu urinnya. Pasien disuruh minum + 2 liter per hari dan mobilisasi.

16.Bila volume residu urin < 150 ml, intervensi bladder training dengan kateterisasi selesai.

17.Selama pemasangan kateterisasi intermitten pasien diberikan obat antibiotik profilaksis dan analgetik.

(35)

3.8. Alur Penelitian

Jumlah sampel yang memenuhi kriteria Inklusi/eksklusi

Penilaian Karakteristik Ibu Post partum Spontan

- Umur

- Paritas

- Lama Kala II

- Keadaan Perineum

- Luaran Berat Badan Bayi

Memberikan minum air putih sebanyak 250 ml pada awal kala IV

Evaluasi tanda vital dan monitoring kala IV

Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol

Kran air pada bak penampung air dibuka Tanpa Bladder Training

dimulai sejak klien berada di toilet.

Dilakukan bladder training Sitz bath Sitz bath

Setelah Kala IV selesai (2 jam Post Partum)

Pencatatan Waktu Pencatatan Waktu

Terjadinya Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan

Terjadinya Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan

i il i j k l l i Di il i S j k K l IV l i

(36)

Volume Urin Volume Urin

- Dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali

- Dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali

(37)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik ibu post partum spontan dengan intervensi dan tanpa intervensi

Bladder training Sitz bath

Dengan Intervensi Tanpa Intervensi

Karakteristik Ibu

N % n %

UMUR

- < 20 Tahun 1 4,5 % 2 9,1 %

- 20-35 Tahun 15 68,1 % 19 86,3 %

- > 35 Tahun 6 26,2 % 1 4,5 %

PARITAS

- 1 7 31,8 % 12 54,5 %

- 2 8 36,3 % 5 22,7 %

- 3-4 6 26,2 % 4 18,2 %

- > 5 1 4,5 % 1 4,5 %

LAMA KALA II

- < 30 menit 12 54,5 % 14 63,6 %

- 30 – 60 menit 10 45,4 % 8 36,3 %

- 60 – 120 menit 0 0 0 0

KEADAAN PERINEUM

- Utuh 6 26,2 % 4 18,2%

- Laserasi Tingkat I 7 31,8 % 10 45,4 %

- Laserasi Tingkat II 9 40,9 % 8 36,3

(38)

LUARAN BERAT BADAN BAYI

- < 2500 gram 1 4,5 % 2 9,1 %

- 2500 – 4000 gram 20 90,9 % 19 86,3 %

- > 4000 gram 1 4,5 % 1 4,5 %

Dari tabel 4.1. diperoleh karakteristik ibu post partum spontan dengan intervensi dan tanpa intervensi Bladder training Sitz bath. Dari karakteristik umur, pada kelompok intervensi didapati kelompok umur 20-35 tahun yang paling banyak, yaitu sebanyak 15 orang (68,1%), demikian pula pada kelompok kontrol, kelompok umur 20-35 tahun adalah yang paling banyak yaitu sebanyak 19 orang (86,3%).

Dari karakteristik paritas, pada kelompok intervensi paling banyak subyek merupakan sekundigravida yaitu sebanyak 8 orang (36,3%), sedangkan pada kelompok kontrol yang paling banyak adalah subyek yang merupakan primigravida yaitu sebanyak 12 orang (54,5%).

Dari karakteristik lama kala II, kedua kelompok paling banyak mengalami kala II kurang dari 30 menit. Pada kelompok intervensi sebanyak 12 orang (54,5%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 14 orang (63,6%).

Dari karakteristik keadaan perineum, pada kelompok intervensi paling banyak mengalami laserasi tingkat II yaitu sebanyak 9 orang (40,9%), sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak mengalami laserasi tingkat I yaitu sebanyak 10 orang (45,4%).

Dari karakteristik luaran berat badan bayi, pada kedua kelompok, paling banyak memiliki luaran berat badan bayi 2500-4000 gram. Pada kelompok intervensi sebanyak 20 orang (90,9%) dan kelompok kontrol sebanyak 19 orang (86,3%).

4.2. Perbandingan rerata lama kala dua pada ibu post partum spontan dengan intervensi dan tanpa intervensi bladder training sitz bath

Lama Kala Dua (menit) Kelompok Subyek

Penelitian

No.

(39)
(40)

2. Kelompok tanpa intervensi bladder training Sitz bath

1

(41)

4.3. Perbandingan rerata waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bath dengan kelompok kontrol tanpa intervensi

Waktu terjadinya

(42)

*) kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bath(x+SD) adalah 149,68 + 30,32 menit, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok intervensi lebih cepat mencapai fungsi eliminasi berkemih spontan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol tanpa intervensi mencapai waktu terjadinya fungsi eliminasi

berkemih spontan (x+SD) adalah 255,23 + 71,65 menit.

2.Kelompok kontrol tanpa

Bladder Training Sitz bath

(43)

jam post partum. Sebanyak 2 orang subyek dalam kelompok tanpa intervensi atau 4,54 % dari 44 orang total subyek mencapai waktu fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali lebih dari interval waktu normal ( > 6 jam). Namun untuk mendiagnosis retensi urin post partum belum dapat ditegakkan karena peneliti masih harus mengukur volume urin residunya.

Dari analisis statistik menggunakan uji-t independen diperoleh nilai p = 0,005 (p<0,05 ; CI 95%). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan waktu yang bermakna untuk terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kedua kelompok.

Hasil penelitian ini dalam mengobservasi pencapaian waktu untuk terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali dari ibu post partum spontan yang mendapat intervensi

Bladder training Sitz bath(X+SD) adalah 149,68 + 30,32 menit dari sejak selesai kala IV atau berada dalam interval normal yaitu dalam waktu 2-6 jam (120-360 menit) post partum. Dan pada kelompok intervensi ini tidak ditemukan pencapaian waktu fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali lebih dari interval waktu normal. Merujuk pada literatur, menurut Ganong et al, Saultz et al dan Stanton et al 2,11,15, hal ini sesuai, karena secara normal, ibu post partum spontan diharapkan dapat berkemih spontan dalam interval waktu 2-6 jam (120 -32-60 menit) jam post partum.

4.4. Perbandingan rerata volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bath dengan kelompok kontrol tanpa intervensi

Volume Urin

1. Kelompok intervensi bladder

(44)

7

2. Kelompok tanpa intervensi

bladder training Sitz bath

(45)

15

16

17

18

19

20

21

22

280

260

250

200

0

100

150

200

Rata-rata (X+SD) 219,32 + 90,70

*) Uji-t independen

Dari tabel 4.4 di atas, diperoleh rerata volume dari terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bath (X+SD) adalah 227,95 + 28,97 ml. Sehingga volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada kelompok intervensi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa intervensi dengan volume urin (X+SD) adalah 219,32 + 90,70 ml.

Pada kelompok kontrol tanpa intervensi bladder training Sitz bath ditemukan 2 orang subyek yang mencapai fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada waktu 375 menit (lebih dari 6 jam post partum) sehingga volume urin pada proses berkemih < 6 jam post partum adalah 0 ml. Pada waktu 375 menit tersebut volume urin sebanyak 460 cc, dengan bantuan kateterisasi volume residu urin 50 cc. Kemudian subyek kedua mencapai fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada waktu 400 menit (lebih dari 6 jam post partum), sehingga volume urin pada proses berkemih < 6 jam post partum adalah 0 ml. Pada waktu 400 menit tersebut volume urin sebanyak 450 cc dengan bantuan kateterisasi volume residu urin 40 cc.

(46)

gejala klinis. Sehingga pada kedua orang subyek tidak dilakukan bladder training dengan kateterisasi intermiten.

Dari analisis statistik menggunakan uji-t independen diperoleh nilai p = 0,001 (p<0,05 ; CI 95%). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan volume urin yang bermakna dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali antara kedua kelompok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali dari ibu post partum yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath (X+SD) adalah sebanyak 227,95 + 28,97 ml atau volume urin berada dalam batas normal dalam waktu 149,68 + 30,32 menit post partum.

Merujuk pada literatur menurut Ganong et al, Saultz et al dan Stanton et al 2,11,15, secara normal, urin orang dewasa diproduksi oleh ginjal secara terus menerus pada kecepatan + 120 ml/jam (1200 ml/hari) atau 25 % dari curah jantung. Volume urin normal minimal adalah 0,5-1 ml / kgBB / jam, dimana produksi urin dikatakan abnormal atau jumlah sedikit diproduksi oleh ginjal (oliguria) adalah sekitar 100 – 500 ml/hari.

(47)

4.5.Perbandingan volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bath dengan kelompok kontrol tanpa intervensi berdasarkan waktu

Volume Urin dari

Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan (ml)

< 120 menit 120-360 menit 360-390 menit

Kelompok Subyek Penelitian

X + SD X + SD X + SD

p-value*

1.Kelompok intervensi

Bladder training Sitz bath

49,09 + 93,39 208,4 + 51,9 242,95 + 66,52

2.Kelompok kontrol tanpa

Bladder training Sitz bath

4,55 + 21,32 223,86 + 86,86 265 + 93,66

0,035*

*) One way Anova

Dari tabel 4.5, dapat dilihat perbandingan volume urin dari fungsi eliminasi berkemih

spontan antara kelompok subyek yang mendapat intervensi Bladder training Sitz bathdengan kelompok kontrol tanpa intervensi berdasarkan waktu pengamatan < 120 menit, 120-360 menit dan 360-390 menit. Analisis statistik menggunakan uji one way anova menghasilkan nilai p (p=0.035; p<0,05; CI 95%) pada waktu pengamatan <120 menit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna hanya pada volume urin pada waktu pengamatan <120 menit antara kedua kelompok, dimana pada kelompok yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath dapat mencapai volume urin lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa intervensi (49,09 + 93,39 ml vs 4,55 + 21,32 ml).

Pada kelompok tanpa intervensi dijumpai rerata volume urin dari berkemih spontan pada waktu <120 menit adalah 4,55 + 21,32 ml. Hal ini dikarenakan hanya satu orang subyek dari 22 orang subyek yang berkemih <120 menit dengan volume urin 100 ml. (Data diperoleh dari tabel induk kelompok tanpa intervensi).

(48)
(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Waktu terjadinya fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan yang mendapat intervensi bladder training Sitz bathlebih cepat yaitu terjadi pada waktu 149,68 + 30,32 menit post partum dibandingkan dengan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan tanpa bladder training Sitz bath yaitu pada waktu 255,23 + 71,65 menit post partum spontan. Sehingga hipotesis pertama pada penelitan ini diterima.

Volume urin dari fungsi eliminasi berkemih spontan pertama kali pada ibu post partum spontan yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath lebih banyak (227,95 + 28,97 ml) dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa intervensi (219,32 + 90,70 ml). Hal ini menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Sehingga hipotesis kedua pada penelitian ini diterima.

Terdapat perbedaan bermakna pada volume urin pada waktu pengamatan <120 menit antara kedua kelompok, dimana pada kelompok yang mendapat intervensi bladder training Sitz bath dapat mencapai volume urin lebih banyak (49,09 + 93,39 ml) dibandingkan dengan

kelompok tanpa intervensi (4,55 + 21,32 ml).

5.2. Saran

- Bladder training Sith bath diharapkan dapat menjadi prosedur rutin untuk mencegah terjadinya retensi urin pada ibu post partum spontan dengan pertimbangan bahwa intervensi ini non invasif, mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006;

2. Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Postpartum urinary retention, Department of Family Medicine, Oregon Health Sciences University, Portland, 2001.

3. Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3

4. Yip S, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the post partum period. Acta Obstet Gynecol Scand 1997:667-72

5. Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 14:119-21

6. Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub bagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI Jakarta, 2002

7. Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia, Vol. 20, Februari 2008.

8. Djusad S, Penanganan Retensi Urin Pasca Bedah, Urogynecology 1 Bagian Obstetri Ginekologi FKUI/ RSCM Jakarta 2002\

9. Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah ginekologi di RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU, 2009. 10.Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post partum.

Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Oktober 2008 11.Stanton SL. Clinical gynecologic urology. Mosby; 1984

12.Josoprawiro MJ. Penanganan retensio urin postpartum. Buku ajar Uroginekologi, Subbagian Uroginekologi Bagaian Obstetri dan Ginekologi FKUI; 2002.p.60-3

13.Kartono, Santoso B. Tesis perbandingan penggunaan kateter menetap selama 6 dan 24 jam pasca seksio sesaria dalam pencegahan retensio urin; FKUI-RSCM, 1998 14.Japardi I,Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi, Bagian Bedah, FKUSU, 2000 15.Ganong W F, Fungsi Ginjal dan Miksi. Fisiologi Kedokteran Edisi 20 EGC Jakarta,

(51)

16.Bennett VR, Brown LK. Myles textbook for midwives. Toronto: Churchill Livingstone, 13th ed, 1999, available at : http:/www.gizi.net/cgi-bin.

17.Groutz A, Hadi E, Wolf Y Maslovitz S, Gold R, Lessing JB et al. Early post partum voiding dysfunction: incidence and correlation with obstetric parameters. 2004. 18.Kellog JH, Sitzbath Rational Hydrotherapy Congress. Washington. D. C. Also entered

at Stationers' London. England. 1981.

19.Hydrotherapy, available http://www.diagnose-me.com/treat/pdf

20.Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic review, evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529.

21.De Cheney AH, Nathaan L. Current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment, 10th edition. Mc. Graw – Hill, Inc. 2006.

22.Netter, Atlas of Human Anatomy, Elsevier.Inc, US, 2004,

23.Nikolai A, Shevchuk

.

Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative treatment.

Molecular Radiobiology Section. USA. 2008.

24.Blazickova, S., Rovensky, J., Koska, J., Vigas, M., Effect of Hyperthermic Water Bath on Parameters of Cellular Immunity, International Journal of Clinical Pharmocology Residents 20. 1-2 (2000): 41-6.

25.Pauline, Chiardli, Jill C. Postpartum Perineal Management and Best Practice. Behavioural Sciences in Relation to Medicine, Newcastle University.2000.

Gambar

Gambar 1. Kandung kemih 22
Gambar 2. Anatomi genitalia eksterna wanita, persarafan dan pembuluh darah 21
Gambar 3. Persarafan kandung kemih dan ureter bagian bawah 22
Gambar 4. Distribusi kuantitatif nerve endings pada regio tertentu pada genitalia wanita.21
+4

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, untuk membandingkan hasil kedua metode tersebut dengan data radiosonde guna mendapatkan metode interpolasi yang paling baik untuk menduga nilai parameter fisik atmosfer

Tari ini ditarikan oleh lima orang penari yaitu penari utama pengantin sebagai primadona dan ke empat penarinya sebagai dayang, dengan penari utama yaitu pengantin

Pada akhirnya penelitian ini memperlihatkan gejala umum praktik-praktik perubahan konsep pra pertunjukan ke pentas di atas panggung di kalangan kelompok musik humor

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan rasio nitrogen dan kalium yang rendah, yaitu nitrogen 10% dan kalium 7,5% dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan vegetative tanaman

Situasi belajar dengan hasil belajar rendah seharusnya memerlukan inovasi baru yang memungkinkan pencapaian hasil belajar peserta didik kearah yang lebih

Sekretaris Desa PNS yang berasal dari Perangkat Desa yang tidak mengajukan izin tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipindahtugaskan pada perangkat daerah di

 Pelaksanaan tindakan menyangkut apa yang dilakukan peneliti sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana tindakan.

Perangkat Ajar Materi Vegetatif Buatan Pada Tumbuhan Di SMA Negeri 9 Kota Bengkulu Menggunakan 3DS MAX.. Bengkulu, Universitas