PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Rosc.) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) GINJAL DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL
MENCIT
YANG DIBERI PLUMBUM ASETAT
TESIS
Oleh: YENITA 087008008
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Rosc.) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) GINJAL DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL
MENCIT YANG DIBERI PLUMBUM ASETAT
TESIS
Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh Y E N I T A
087008008
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK JAHE (Zingiber officinale Rosc.) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID (MDA) DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT YANG DIBERI PLUMBUM ASETAT
Nama : YENITA Nomor Pokok : 087008008 Program Studi : BIOMEDIK
Menyetujui Komisi Pembimbing
(dr. Datten Bangun, MSc, SpFK) (dr. Delyuzar, SpPA (K)) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(dr.Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof.dr. Gontar A.Siregar, SpPD-KGEH)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Desember 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Datten Bangun, MSc, SpFK Anggota : 1. dr. Delyuzar, SpPA(K)
Bismillahirrahmaanirrohiiim;
Dalam Al-Quran Allah SWT berfirman,
“Dan di sana mereka diberi segelas minuman bercampur
jahe”.
ABSTRAK
Jahe (Zingiber officinalis Rosc.) merupakan herbal yang memiliki banyak manfaat antara lain sebagai bumbu masak, bahan baku minuman dan obat-obatan karena mengandung antioksidan yang banyak digunakan untuk masalah kesehatan. Jahe diekskresi melalui ginjal, sedangkan herbal ini mengandung polifenol berupa gingerol dan shogaol yang bersifat antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek pemberian ekstrak jahe secara oral terhadap kadar MDA (Malondialdehid) dan gambaran histopatologis ginjal mencit yang diberi Pb asetat.
Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa jantan dibagi menjadi 6 kelompok secara random, yaitu satu kelompok kontrol (K) diberi 0,5 ml Tween 80 dalam 2% , dan5 kelompok perlakuan: (P1) diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB, (P2) diberi ekstrak jahe 0,14 mg/g BB, (P3) diberi ekstrak jahe 0,28 mg/g BB, (P4) diberi ekstrak jahe 0,14 mg/g BB setelah 1 jam, diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB dan (P5) diberi ekstrak jahe 0,28 mg/g BB setelah 1 jam, diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB, lewat sonde lambung 1 kali dalam 1 hari, dan diamati 30 hari. Pada hari ke-38 mencit didekapitasi untuk mengukur kadar MDA ginjal dan diamati gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjalnya.
Data kadar MDA ginjal dan gambaran histopatologis ginjal dinalisis dengan uji Kruskal-Wallis sedangkan data mikroskopis dianalisis dengan uji Oneway-Anova dilanjutkan uji Post-Hoc.
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian ekstrak jahe 0,14 mg/g BB lebih baik menurunkan kadar MDA dibandingkan dengan ekstrak jahe 0,28 mg/g BB. Ekstrak jahe 0,14 mg/gBB lebih baik menghambat kerusakan histopatologis dibandingkan dengan 0,28 mg/gBB.
Tidak didapati korelasi yang signifikan antara kadar MDA ginjal dengan gambaran kerusakan pada histopatologi (p>0,05) walau kelihatan ada korelasi positif tetapi amat lemah (0,199).
ABSTRACT
Ginger (Zingiber officinale Rosc.) is a kind of multipurpose herb that can be used as seasoning, raw material from beverages and medicine because it contains antioxidant mostly used for health issues. Ginger excreted through kidneys contains polyphenols in the forms of gingerol and shogaol which are antioxidant in nature. The purpose of this study was to analyze whether or not there was the effect of oral ginger extract administration on the content of MDA (Malondialdehyde) and hitophatological description of mice kidney which was given Pb acetate.
This study employed 24 adult male DD Webster strain mice (Mus musculus L.) of which were randomly divided into 6 groups. One control group (K) was given 0,5 ml Tween 80 in 2%, and 5 (five) experiment groups (P). P1 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight, P2 was given ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight, P3 was given ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight, P4 was given ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight after 1 (one) hour P4 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight, and P5 was given extract for 0,28 mg/g Body Weight after 1 (one) hour P5 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight via gastric sonde once a day and was observed for 30 days. On the 38 th day, the mice were decapitated to measure the content of MDA kidney and the proximal tubule histophatological description of their kidneys was observed. The data of MDA and histophatological description of kidneys were analyzed through Kruskal-Wallis test the microscopic data were analyzed throught Oneway-Anova and then it was continued with Post-Hoc test.
The result of this study showed that the administration of ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight was better to be used to minimize the content of MDA compared to the administration of ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight. Ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight was better to suspend the histophatological damage compared to ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight.
The conclusion is that the significant correlation between the content of MDA kidney and the description of histophatological damage (p > 0,05) was not found out although a very weak positive correlation (0,199) was seen.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianNya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini adalah hasil penelitian yang berjudul “ Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe
(Zingiber officinale Rosc.) Terhadap Kadar Malondialdehid (MDA) Ginjal dan
Gambaran Histopatologis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit yang Diberi Plumbum
Asetat”.
Tesis ini untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Magister ilmu
Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Atas selesainya tesis ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister ilmu
Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.dr. Gontar
A.Siregar, Sp.PD,KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah
Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan program Magister ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran
Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya
disampaikan kepada dr.Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK (sebagai ketua komisi
pembimbing) dan dr. Delyuzar, Sp.PA(K) (anggota komisi pembimbing), Prof.Dr. dr.
Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK serta Prof. Dr. Drs. Syarifuddin Ilyas, M.Biomed
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk
meberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang
bermanfaat kepada Penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian
tesis ini.
Komisi penguji, Prof. Em. Dr. dr. Jazanul Anwar, Sp.FK dan dr. Betty, Sp.PA,
yang telah bersedia dengan sabar membantu Penulis dalam menyempurnakan,
menguji, dan menilai tesis ini. Tak lupa terima kasih juga saya sampaikan kepada
semua dosen yang telah membimbing saya selama mengikuti program studi ini.
Kepada Ketua yayasan UISU dan Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah
memberikan dana kepada saya untuk kelangsungan pendidikan S2.
Persembahan terima kasih yang tulus dan rasa hormat kepada Ayahnda
H. Muslim Djas dan Ibunda Hj. Aswariah Ghazali, Kakaknda Aswita (Alm),
Abangnda Ir. Djasli, Budi Irsaf, SE, Adiknda Ernita, STP, Ibu Gondek dan Irfan
Afuza beserta keluarga, yang penuh kasih sayang senantiasa memberikan dukungan
moril serta do’a selama Penulis menjalani pendidikan di program Magister ilmu
Khusus kepada suami tercinta Ir. Zulkarnaen, M.Psi, Penulis menaruh rasa hormat,
bangga dan terima kasih yang tak terhingga atas segala pengertian dan pengorbanan
dalam mendukung cita-cita Penulis. Kepada dr. Oke Rina Ramayani, Sp.A terima
kasih atas dorongan semangat sehingga tesis ini dapat selesai, dan kepada semua
pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini, Penulis mengucapkan terima
kasih, dan dengan segala kerendahan hati mohon maaf bila ada kesalahan selama
menjalani pendidikan ini. Semoga Allah SWT, Maha pengasih dan penyayang, akan
membalas semua amal kebaikan yang telah diberikan. Amin.
Penulis menyadari bahwa isi penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan
masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik serta
saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Medan, Desember 2010
Penulis,
Y e n i t a
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Yenita
NIK : 11080028
Pangkat/Golongan : Penata Muda Tk.I/Assisten Ahli/IIIb Tempat/Tgl Lahir : Pabatu, 01 Januari 1970
Agama : Islam
Nama Suami : Ir. Zulkarnaen, M.Psi
Alamat : Jl. Rumah Sumbul No.12 Medan, 20216
II. PENDIDIKAN
SD Negeri 010193 Lima puluh, Asahan, tamat tahun 1982. SMP Negeri 11 Medan, tamat tahun 1985.
SMA Negeri 8 Medan, tamat tahun 1988.
Strata I (S1) Fakultas Kedokteran UISU Medan, tamat tahun 1997.
III.PEKERJAAN
1994 – 1999 : Assisten dosen Biologi di Fakultas Kedokteran UISU. 1999 – 2002 : Dokter PTT, Puskesmas Melati, Kec. Perbaungan,
Deli Serdang, Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
ABSTRAC ……… ii
UCAPAN TERIMA KASIH ……… iii
RIWAYAT HIDUP ……….. vi
DAFTAR ISI ……….……… vii
DAFTAR GAMBAR ……….……… xi
DAFTAR TABEL ….……… xii
DAFTAR SINGKATAN …...……… xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ……… 1
1.1Latar belakang ……… 1
1.2Perumusan masalah ………... 5
1.3Landasan teori ………... 5
1.4Tujuan penelitian ……… 8
1.5Hipotesis ……… 8
1.6Manfaat penelitian ………. 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 10
2.1 Tanaman jahe ……… 10
2.1.1 Nama daerah ……….. 10
2.1.3 Sistematika tanaman rimpang jahe ……… 11
2.1.4 Kandungan kimia jahe ……… 13
2.1.5 Antioksidan pada jahe ………..…… 15
2.1.6 Farmakokinetik jahe ………..…….. 15
2.2 Plumbum ……….. 16
2.2.1 Gambaran umum ...……… 16
2.2.2 Sifat fisika dan kimia ……..………. 16
2.2.3 Farmakokinetik ……….. 17
2.2.4 Metabolisme dan toksisitas ……...……… 18
2.3 Radikal bebas dan antioksidan……… 20
2.4 Tubulus proksimal ginjal ……… 22
2.4.1 Anatomi dan histologi tubulus proksimal ginjal …….……... 22
2.4.2 Efek Pb terhadap tubulus proksimal ginjal ………..…..………. 24
2.5 Tween 80 ……….……… 26
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ……….……… 27
3.1 Tempat dan waktu penelitian ………. 27
3.2 Populasi dan sample penelitian ……….. 27
3.3 Variabel yang diamati ……… 28
3.4 Definisi operasional ……… 28
3.5 Etika penggunaan ……… 29
3.6 Pelaksanaan penelitian ……… 29
3.6.2 Pemeliharaan hewan coba ………..……….. 29
3.7 Pembuatan bahan-bahan yang digunakan untuk percobaan …...…… 30
3.7.1 Pembuatan ekstrak jahe ……….….. 30
3.7.2 Perhitungan dosis ……….…… 30
3.7.3 Uji kandungan kimia ekstrak jahe ………...…… 32
3.8 Prosedur pelaksanaan uji pengaruh pemberian ekstrak jahe …..…… 33
3.9 Pengamatan ………. 34
3.9.1 Pengamatan kadar MDA ginjal mencit ……….….. 34
3.9.2 Pengamatan gambaran mikroskopis tubulus proksimal ginjal mencit……… 37
3.10 Analisa data dan pengujian hipotesis ……… 39
3.10 Jadwal penelitian ……… 40
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….……. 41
4.1 Skrining fitokimia senyawa bahan alam ……….. 41
4.1.1 Hasil skrining fitokimia senyawa bahan alam ……… 41
4.1.2 Pembahasan skrining fitokimia senyawa bahan alam ……… 41
4.2 Berat ginjal mencit jantan dewasa ………...…… 42
4.2.1 Hasil berat ginjal mencit jantan dewasa ………. 42
4.2.2 Pembahasan berat ginjal mencit jantan dewasa ………. 43
4.3 Kadar MDA ginjal mencit jantan dewasa …………..……… 44
4.3.1 Hasil kadar MDA ginjal mencit jantan dewasa ………. 44
4.4 Gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa …………...…. 47
4.4.1 Hasil gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa ....…. 47
4.4.2 Pembahasan gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa ………..…… 48
4.5 Korelasi kadar MDA ginjal dengan gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa ………. 50
4.5.1 Hasil korelasi kadar MDA ginjal dengan gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa ……….….. 50
4.5.2 Pembahasan korelasi kadar MDA ginjal dengan gambaran histopatologi ginjal mencit jantan dewasa ………...…. 51
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN …………..……….…… 52
5.1 Kesimpulan ………. 52
5.2 Saran ……… 53
DAFTAR PUSTAKA ……… 54
Daftar Gambar
No. Judul Halaman
1. Kerangka konsep penelitian pengaruh pemberian Pb asetat dan
ekstrak jahe terhadap kadar MDA dan kerusakan jaringan……... 6
2. Kerangka teori penelitian pengaruh pemberian ekstrak jahe terhadap kadar MDA dan kerusakan jaringan……… 7
3. Jenis-jenis jahe ……….. 1
4. Ginjal dan nefron………… ……….. 24
5.Pengaruh pemberian Pb asetat pada kerusakan tubulus proksimal ginjal……….... 25
6.Prosedur pelaksanaan uji pengaruh pemberian ekstrak jahe……... 33
7. Kerangka operasional percobaan hari ke 8-38……… 34
8.Grafik berat ginjal mencit jantan dewasa (g)... 43
9.Grafik kadar MDA dalam ginjal mencit jantan dewasa (µM/mL)... 45
10.Grafik histopatologi ginjal mencit jantan dewasa... 48
11. Proses pembuatan ekstrak jahe ... 81
12. Jaringan ginjal pada kelompok kontrol (K) ... 82
13. Jaringan ginjal pada kelompok P2 ... 82
Daftar Tabel
No. Judul Halaman
1. Komponen volatile dan non-volatile rimpang jahe……... 14
2.Toksikologi senyawa Pb ……….. 17
3. Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia ……….. 31
4.Persiapan standar MDA untuk spektrofotometri……….. 36
5. Jadwal pelaksanaan ………. 40
6. Hasil skrining fitokimia senyawa bahan alam ……… 41
7. Hasil uji korelasi data nonparametric MDA dan histopatologi…... 51
8. Data berat ginjal mencit dewasa (Mus musculus L.)………... 57
9. Data konsentrasi MDA ginjal mencit jantan dewasa (Mus musculus L.)……… 59
Daftar Singkatan
B3 Bahan Kimia Beracun dan Berbahaya
GSH-Px Glutation Peroksida
GSH-R Glutation reductase
HE Hematoksilin- Eosin
MDA Malondialdehid
ATN Akut Tubular Nekrosis
Pb Plumbum
PUFA Polyunsaturated fatty acid
RAL Rancangan Acak Lengkap
ROS Reactive Oxygen Species
SOD Superdioksida Dismutase
ABSTRAK
Jahe (Zingiber officinalis Rosc.) merupakan herbal yang memiliki banyak manfaat antara lain sebagai bumbu masak, bahan baku minuman dan obat-obatan karena mengandung antioksidan yang banyak digunakan untuk masalah kesehatan. Jahe diekskresi melalui ginjal, sedangkan herbal ini mengandung polifenol berupa gingerol dan shogaol yang bersifat antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya efek pemberian ekstrak jahe secara oral terhadap kadar MDA (Malondialdehid) dan gambaran histopatologis ginjal mencit yang diberi Pb asetat.
Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa jantan dibagi menjadi 6 kelompok secara random, yaitu satu kelompok kontrol (K) diberi 0,5 ml Tween 80 dalam 2% , dan 5 kelompok perlakuan: (P1) diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB, (P2) diberi ekstrak jahe 0,14 mg/g BB, (P3) diberi ekstrak jahe 0,28 mg/g BB, (P4) diberi ekstrak jahe 0,14 mg/g BB setelah 1 jam, diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB dan (P5) diberi ekstrak jahe 0,28 mg/g BB setelah 1 jam, diberi Pb asetat 0,1 mg/g BB, lewat sonde lambung 1 kali dalam 1 hari, dan diamati 30 hari. Pada hari ke-38 mencit didekapitasi untuk mengukur kadar MDA ginjal dan diamati gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjalnya. Data kadar MDA ginjal dan gambaran histopatologis ginjal dinalisis dengan uji Kruskal-Wallis sedangkan data mikroskopis dianalisis dengan uji Oneway-Anova dilanjutkan uji Post-Hoc.
Hasil penelitian menunjukkan, pemberian ekstrak jahe 0,14 mg/g BB lebih baik menurunkan kadar MDA dibandingkan dengan ekstrak jahe 0,28 mg/g BB. Ekstrak jahe 0,14 mg/gBB lebih baik menghambat kerusakan histopatologis dibandingkan dengan 0,28 mg/gBB.
Tidak didapati korelasi yang signifikan antara kadar MDA ginjal dengan gambaran kerusakan pada histopatologi (p>0,05) walau kelihatan ada korelasi positif tetapi amat lemah (0,199).
ABSTRACT
Ginger (Zingiber officinale Rosc.) is a kind of multipurpose herb that can be used as seasoning, raw material from beverages and medicine because it contains antioxidant mostly used for health issues. Ginger excreted through kidneys contains polyphenols in the forms of gingerol and shogaol which are antioxidant in nature. The purpose of this study was to analyze whether or not there was the effect of oral ginger extract administration on the content of MDA (Malondialdehyde) and hitophatological description of mice kidney which was given Pb acetate.
This study employed 24 adult male DD Webster strain mice (Mus musculus L.) of which were randomly divided into 6 groups. One control group (K) was given 0,5 ml Tween 80 in 2%, and 5 (five) experiment groups (P). P1 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight, P2 was given ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight, P3 was given ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight, P4 was given ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight after 1 (one) hour P4 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight, and P5 was given extract for 0,28 mg/g Body Weight after 1 (one) hour P5 was given Pb acetate for 0,1 mg/g Body Weight via gastric sonde once a day and was observed for 30 days. On the 38 th day, the mice were decapitated to measure the content of MDA kidney and the proximal tubule histophatological description of their kidneys was observed. The data of MDA and histophatological description of kidneys were analyzed through Kruskal-Wallis test the microscopic data were analyzed throught Oneway-Anova and then it was continued with Post-Hoc test.
The result of this study showed that the administration of ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight was better to be used to minimize the content of MDA compared to the administration of ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight. Ginger extract for 0,14 mg/g Body Weight was better to suspend the histophatological damage compared to ginger extract for 0,28 mg/g Body Weight.
The conclusion is that the significant correlation between the content of MDA kidney and the description of histophatological damage (p > 0,05) was not found out although a very weak positive correlation (0,199) was seen.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam era industrialisasi terjadi peningkatan jumlah industri, akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas.
Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya (B3). Salah
satu dari limbah B3 tersebut adalah logam berat Pb. Kehadiran Pb tetap
mengkhawatirkan, terutama yang bersumber dari pabrik/industri, dimana Pb banyak
digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai bahan penolong. Sifat beracun dan
berbahaya dari logam berat tersebut ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia.
Masuknya limbah ke perairan dapat menimbulkan pencemaran terhadap perairan.
Menurut Listari dan Edward (2004). Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling
tercemar di Asia akibat limbah industri dan rumah tangga.Diperkirakan dalam sehari
lebih dari 7.000 m3 limbah cair, termasuk diantaranya yang mengandung Pb dibuang
melalui sungai, hal ini menyebabkan biota air seperti udang, kerang-kerangan dan
beberapa jenis ikan yang hidup di dalamnya ikut tercemar, menyebabkan kematian
massal ikan-ikan yang terjadi pada bulan Mei 2004. Hasil penelitian Ernawati (2010).
Tingginya kandungan Pd pada daging kerang bulu (Anadara inflata) di dekat
pelabuhan kapal-kapal bongkar muat, kapal ikan, pabrik-pabrik, dan galangan kapal
buangan air yang di buang ke sungai terbawa air sungai dan berakhir di muara sungai
dan menjadi tempat berkumpulnya zat-zat cemaran yang dibawa oleh aliran sungai
tersabut.
Pembuangan limbah pabrik baterai, cat, tekstil memperburuk sanitasi makanan,
sehingga Pb dapat memberika efek racun terhadap fungsi organ yang terdapat
dalam tubuh (Darmono, 2001), merupakan faktor yang menunjang untuk terjadinya
toksisitas Pb pada makhluk hidup.
Pemaparan Pb bisa melalui makanan, minuman, udara dan penetrasi pada lapisan
kulit. Jalur makanan dan minuman, akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh.
Namun demikian jumlah Pb yang masuk bersama makanan dan minuman hanya
sekitar 5-10% akan diserap oleh tubuh (Palar, 2008).
Toksikitas Pb sangat mempengaruhi proses metabolisme organ penting pada
makhluk hidup yaitu hati dan ginjal. Kedua organ tersebut sangat berperan dalam
proses metabolisme dan filtrasi unsur-unsur nutrisi bagi kesehatan makhluk hidup.
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai hambatan proses metabolisme tersebut
baik dalam sudut perubahan biokimia dan histologi dari organ yang bersangkutan
terutama pada hewan laboratorium. Selain itu beberapa penelitian mengenai toksisitas
plumbum pada ginjal menunjukkan terjadinya kerusakan tubulus ginjal sehingga
fungsinya sebagai organ filtrasi sangat menurun. Sebagai akibatnya beberapa janis
asam amino dan elektrolit diekskresikan (Darmono, 2001).
Intoksikasi Pb mengakibatkan nefrotoksik pertama sekali ditemukan oleh
tubulus ginjal seorang seniman yang kerap kali memasukkan kuas yang digunakan
untuk melukis ke dalam mulutnya (Kathuria, 2010).
Penelitian yang dilakukan Anggraini DR (2008), dengan pemberian Pb asetat
pada mencit, 100 mg/kg BB/oral/hari selama 4 minggu sudah terjadi degenerasi,
vakuolisasi lumen tubulus sebesar 20%. Kerusakan ginjal terjadi meningkat terus
sampai akhir penelitian, karena ginjal lebih beresiko daripada jaringan tubuh
lain (Hariono B, 2005).
Aktivasi senyawa plumbum dalam tubuh seringkali dikaitkan dengan stres
oksidatif, melalui pembentukan molekul Reactive Oxygen Species (ROS)
(Aykin,et al., 2003). Toksisitas Pb dalam menentukan radikal bebas adalah melalui
dua cara berbeda yaitu pembentukan ROS dan penekanan langsung cadangan
antioksidan tubuh (Ercal,et al., 2001). Kemampuan menetralisir senyawa oksidan
sebenarnya sudah dimiliki oleh tubuh/sel itu sendiri namun tidak cukup, sehingga
perlu antioksidan dari luar tubuh untuk menetralisir senyawa oksidan yang
diakibatkan oleh paparan bahan-bahan beracun yang berasal dari lingkungan bersifat
radikal bebas, termasuk salah satunya Pb. Reaksi radikal bebas oksigen atau
peroksida lipid dalam membran sel dapat mendegradasi asam lemak tak jenuh,
kemudian mengakumulasikannya menjadi aldehid, meliputi MDA sehingga MDA
dapat digunakan sebagai indikator stres oksidatif, yang dapat ditentukan dalam suatu
pengukuran asam tiobarbiturat (Winarsi H, 2007). Tingginya kadar radikal bebas
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan,
dan senyawa ini juga mampu mengaktivasi berkambangnya reaksi oksidasi. Secara
umum, antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis
dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis berdasarkan mekanisme kerjanya,
digolongkan antioksidan primer (antioksidan endogenus) meliputi enzim Superoksida
Dismutase (SOD), katalase, dan Glutation Peroksidase (GSH-Px) sedangkan
antioksidan non-enzimatis digolongkan antioksidan sekunder (antioksidan
eksogenus) dapat berupa komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan meliputi
vitamin C, vitamin E, ß-karoten, flavonoid, isoplavon, antosianin, katekin (Winarsi
H, 2007).
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) sebagai tanaman rempah-rempah dan berbagai keperluan lain seperti obat tradisional (Paimin F.B, 2008) mempunyai beberapa
komponen utama di dalamnya seperti gingerol, shogaol dan gingerone yang
memiliki antioksidan di atas ά-tokoferol. Sehingga jahe diidentifikasi mengandung
antioksidan dan dapat menghambat peroksida lipid dan memiliki aktivitas antioksidan
yang relative tinggi (Kikuzaki dan Nakatani, 1993 ; Winarsih H, 2007).
Menurut Zakaria F R, et al., (2000) penurunan MDA plasma dari 2,36 µmol/l
menjadi 1,94 µmol/l ditentukan oleh peranan antioksidan gingerol pada jahe yang
Untuk itu peneliti ingin membuktikan kebenaran pengaruh pemberian ekstrak jahe
tehadap kadar MDA ginjal dan gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjal
mencit yang diberi Pb asetat ( Pb(C2H3O2)2.3H2O2 ).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian ringkas dalam latar belakang masalah yang tersebut di atas
memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian
berikut ini :
1. Apakah pemberian ekstrak jahe dapat menurunkan kadar MDA ginjal mencit
yang diberi Pb asetat?
2. Apakah pemberian ekstrak jahe dapat menghambat kerusakan tubulus
proksimal ginjal mencit akibat diberi Pb asetat berdasarkan gambaran
histopatologis?
1.3Landasan Teori
Pb asetat dapat menginduksi terjadinya oksidasi lipid, terutama pada rantai
asam lemak tidak jenuh/polyunsaturated fatty acid (PUFA). Lipid yang mengalami
oksidasi ini akan menjalani reaksi lanjutan secara berantai membentuk produk radikal
bebas peroksil, radikal bebas PUFA, dan radikal bebas superoksida. Peningkatan
menjadi lipid peroksida yang tidak stabil. Peroksida lipid juga dapat terkomposisi
oleh senyawa radikal bebas menjadi senyawa MDA .
Produk peroksidasi lipid, yaitu MDA dapat bereaksi dengan Thiobarbituric Acid
(TBA) akan membentuk kromogen berwarna merah. Absorbsinya dapat diukur
dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 534 nm, dan
dari absorbansi tersebut dapat ditentukan kadar MDA secara kuantitatif dalam sampel
tertentu, seperti pada jaringan, dan plasma. Peningkatan kadar MDA menunjukkan
secara tidak langsung terjadi peningkatan stres oksidasi.
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh Pemberian Pb asetat Terhadap Kadar MDA dan Kerusakan Jaringan Ginjal
Beberapa penelitian telah membuktikan jahe memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat kuat dan jahe diidentifikasi mengandung antioksidan yang dapat menghambat
Pb asetat
Radikal bebas
Stres oksidatif
Peroksida lipid
Kerusakan Jaringan >> ginjal
peroksida lipid dan memiliki aktivitas antioksidan yang relatif tinggi. Sebagai
antioksidan, jahe mengandung senyawa fenolik yang dapat digunakan untuk
mencegah atau menghambat autooksidasi lemak yang disebabkan Pb asetat dengan
cara mendonasikan radikal hydrogen sehingga radikal bebas peroksida akif menjadi
tidak aktif, dan penurunan jumlah radikal, mengakibatkan terjadinya dekomposisi
asam lemak tidak jenuh menjadi lipid peroksida yang stabil, sehingga kerusakan
jaringan juga sedikit. Disamping itu juga peroksida lipid yang terkomposisi oleh
senyawa radikal bebas menjadi senyawa MDA juga akan sedikit dihasilkan.
Penelitian ini akan mengungkapkan kemampuan jahe melindungi jaringan
ginjal dari kerusakan yang disebabkan toksisitas senyawa logam berat Pb asetat.
Gambar 2. Kerangka Teori Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe Terhadap Kadar MDA dan Kerusaka Jaringan Ginjal
Pb asetat
Jahe (Zingiber officinaleRosc.)
Radikal bebas
Stres oksidatif
Peroksida lipid MDA <<
Kerusakan Jaringan
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan umum :
Untuk membuktikan bahwa ekstrak jahe dapat menghambat kerusakan
tubulus proksimal ginjal mencit akibat diberi Pb asetat.
Tujuan khusus :
1. Kemampuan ekstrak jahe dalam menurunkan kadar MDA ginjal
mencit yang diberi Pb asetat.
2. Kemampuan ekstrak jahe dalam menghambat kerusakan tubulus
proksimal ginjal mencit akibat diberi Pb asetat.
3. Mengetahui besarnya dosis ekstrak jahe yang dapat menurunkan kadar
MDA ginjal dan dapat menghambat kerusakan tubulus proksimal ginjal
pada mencit yang diberi Pb asetat.
1.5Hipotesis
1. Pemberian ekstrak jahe dapat menurunkan kadar MDA ginjal mencit yang
diberi Pb asetat.
2. Ada perbedaan gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjal mencit
yang diberi Pb asetat dan diberi ekstrak jahe dengan yang diberi Pb
asetat tetapi tidak diberi ekstrak jahe.
3. Penambahan dosis ekstrak jahe dapat menurunankan kadar MDA ginjal dan
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan penemuan baru tentang sediaan
ekstrak jahe dan membuka kemungkinan bagi penelitian lanjutan untuk
pengembangan obat-obat tradisional, khususnya yang ditujukan untuk pengembangan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jahe
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kesehatan. Jahe
merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan termasuk
dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Jahe berasal dari Asia Pasifik yang
tersebar dari India sampai Cina. ( Paimin, 2008).
2.1.1 Nama daerah. Zingiber officinale Rosc. mempunyai nama umum atau nama Jahe, dengan aneka sebutan misalnya Aceh (halia), Batak karo (bahing),
Lampung (jahi), Sumatra Barat (sipadeh atau sipodeh), Jawa (jae), Sunda (jahe),
Madura (jhai), Bugis (pese) dan Irian (lali) (Muhlisah F, 2005).
2.1.2 Deskripsi jahe. Tanaman jahe termasuk keluarga Zingiberaceae yaitu
suatu tanaman rumput - rumputan tegak dengan ketinggian 30 -75 cm, berdaun
sempit memanjang menyerupai pita, dengan panjang 15 – 23 cm, lebar lebih kurang
dua koma lima sentimeter, tersusun teratur dua baris berseling, berwarna hijau
bunganya kuning kehijauan dengan bibir bunga ungu gelap berbintik-bintik putih
berbau harum, berwarna kuning atau jingga dan berserat (Paimin, 2008 ;
Rukmana 2000).
2.1.3Sistematika Tanaman Rimpang Jahe :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Musales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : officinale
Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpang, jahe dibedakan menjadi
tiga jenis yaitu :
1. Jahe putih/kuning besar disebut juga jahe gajah atau jahe badak.
Ditandai ukuran rimpangnya besar dan gemuk, warna kuning muda atau
kuning, berserat halus dan sedikit. Beraroma tapi berasa kurang tajam.
Dikonsumsi baik saat berumur muda maupun tua, baik sebagai jahe segar
maupun olahan. Pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku
Jahe Gajah / Jahe Badak Jahe Sunti / Jahe Emprit
Jahe Merah Tanaman Jahe
2. Jahe kuning kecil disebut juga jahe sunti atau jahe emprit.
Jahe ini ditandai ukuran rimpangnya termasuk katagori sedang, dengan
bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma serta
berasa tajam. Jahe ini selalu dipanen setelah umur tua. Kandungan
minyak atsirinya lebih besar dari jahe gajah, sehingga rasanya lebih
pedas. Jahe ini cocok untuk ramuan obat- obatan, atau diekstrak
oleoresin dan minyak atsirinya.
3. Jahe merah ditandai dengan ukuran rimpang yang kecil, berwarna
merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa tajam
(pedas). Dipanen setelah tua dan memiliki minyak atsiri yang sama
dengan jahe kecil sehingga jahe merah pada umumnya dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat-obatan.
2.1.4 Kandungan Kimia. Rimpang jahe mengandung 2 komponen, yaitu:
1. Volatile oil (minyak menguap)
Biasa disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang
khas pada jahe, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut
dalam air. Minyak atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama
minyak jahe. Jahe kering mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe
segar yang tidak dikuliti kandungan minyak atsiri lebih banyak dari jahe
kering. Bagian tepi dari umbi atau di bawah kulit pada jaringan epidermis
jahe mengandung lebih banyak minyak atsiri dari bagian tengah demikian
pula dengan baunya. Kandungan minyak atsiri juga ditentukan umur panen
dan jenis jahe. Pada umur panen muda, kandungan minyak atsirinya tinggi.
Sedangkan pada umur tua, kandungannyapun makin menyusut walau
baunya semakin menyengat.
2. Non-volatile oil (minyak tidak menguap)
Biasa disebut oleoresin salah satu senyawa kandungan jahe yang sering
diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat pedas
tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa pedas dan
pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat tua dan mengandung
minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari bubuk jahe. Kandungan
pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit. Jenis pelarut yang
digunakan, pengulitan serta proses pengeringan dengan sinar matahari atau
dengan mesin mempengaruhi terhadap banyaknya oleoresin yang
dihasilkan.
Table 1. Komponen Volatil dan Non-volatil Rimpang Jahe
Fraksi Komponen
Volatile (-)-zingeberene, (+)-ar-curcumene, (-)-β-sesquiphelandrene, -bisaboline, -pinene, bornyl acetat, borneol, camphene, -cymene, cineol, cumene, β-elemene, farnesene, β-phelandrene, geraneol, limonene, linalool, myrcene, β-pinene, sabinene.
Non-volatil Gingerol, shogaol, gingediol, gingediasetat, Gingerdion, Gingerenon.
Sumber : WHO Monographs on selected medicinal plants Vol 1,1999
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe terutama
golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai, 1984). Senyawa
fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang berpengaruh dalam sifat
pedas jahe (Kesumaningati, 2009), sedangkan senyawa terpenoida adalah merupakan
komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau, dapat diisolasi dari bahan
nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan biosintesa
senyawa terpenoida, disebut juga senyawa “essence” dan memiliki bau spesifik.
spasmolitik, sedative, dan bahan pemberi aroma makanan dan parfum. Menurut
Nursal, 2006 senyawa-senyawa metabolit sekunder golongan fenolik, flavanoiada,
terpenoida dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak jahe diduga merupakan
golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakeri.
2.1.5 Antioksidan Pada Jahe. Menurut Kusumaningati RW (2009) kemampuan
jahe sebagai antioksidan alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total yang
terkandung di dalamnya, dimana jahe memiliki kadar fenol total yang tinggi
dibandingkan kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan
shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.
Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap mencit yang diinduksi oleh
gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS) dan
jahe yang mengandung flavanoida dapat menormalkan kadar serum kreatinin,
urea dan asam urat (Laksmi B.V.s ., Sudhakar M, 2010).
2.1.6 Farmakokinetik Jahe. Menurut Zick SM, et al ., 2008. Pada manusia
konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian melalui oral, dan
mencapai Tmax antara 45 -120 menit, dengan t½ eliminasi 75 – 120 menit pada dosis
dua gram. Pada uji ini tidak ada efek samping dilaporkan setelah menggunakan 2 g
2.2 Plumbum
2.2.1 Gambaran umum . Plumbum (Pb) adalah logam berat secara alami terdapat di alam tetapi bisa juga didapat dari industri. Pb secara alami bersumber dari
bebatuan, air telaga dan air sungai, udara dan tumbuh-tumbuhan. Pb organik dan
anorganik banyak digunakan pada pabrik pembuat kaca, pabrik cat, pewarna karet,
pewarna tinta, bahan peledak, bahan pembuat tekstil, regensia kimia, dan
sebagai bahan kimia baterai. Pb asetat khususnya digunakan pada proses
pencelupan dan pencetakan tekstil, bahan pernis kayu, pabrik pestisida, pabrik cat,
regensia kimia dan pewarna rambut (Johonson, 1998; Palar, 2000).
Pb dapat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan,
yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Pemaparan Pb
melalui makanan, minuman, akan diikutkan dalam proses metabolisme tubuh.
2.2.2 Sifat Fisika dan Kimia. Plumbum adalah logam berat, dengan nomor atom
delapan puluh dua, berat atom 207,19 dan berat jenis 11,34, bersifat lunak dan
berwarna biru keabu-abuan dengan kilau logam yang khas sesaat setelah dipotong.
Kilauanya akan segera hilang sejalan dengan pembentukan lapisan oksida pada
permukaannya, meliputi titik leleh 327,50C dan titik didih 17400C (MSDS, 2005).
Lebih dari 95% Pb merupakan senyawa anorganik dan umumnya dalam bentuk
garam Pb anorganik, kurang larut dalam air dan selebihnya berbentuk Pb organik.
Tetramethyllead (TML) terdapat dalam bahan bakar kenderaan. Jenis senyawa ini
hampir tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam pelarut organik, misalnya
dalam lipid (WHO, 1977).
2.2.3 Farmakokinetik. Secara perlahan namun konsisten, Pb anorganik diserap
melalui saluran nafas dan cerana. Pb anorganik tidak diserap secara baik melalui
kulit, tetapi komposisi Pd organik, misalnya antiknock gasoline yang mengandung
Pb, dapat diserap dengan baik melalui kulit. Penyerapan debu yang mengandung Pb
melalui saluran nafas merupakan penyebab paling umum dari keracunan industri.
Saluran cerna merupakan jalan masuk non-industri (Tabel 2).
Tabel 2 . Toksikologi Senyawa Pb
Penyerapan melalui pencernaan berbeda sesuai dengan sifat komposisi Pb. Secara
umum, orang dewasa menyerap sekitar 10% dari jumlah yang masuk sementara
anak-anak menyerap sampai mendekati 50%. Kalsium diet rendah, kurang zat besi, dan
Setelah diserap dari saluran nafas atau saluran cerna, Pb terikat ke eritrosit dan
awalnya didistribusikan secara luas ke jaringan lunak seperti sumsum tulang, otak,
ginjal, hati, otot, dan gonad; kemudian ke permukaan tulang subperiosteal; lalu ke
matriks tulang. Pb juga menyeberangi plasenta dan merupakan bahaya potensial bagi
janin.
Kinetika klirens Pb dari tubuh mengikuti model multikompartemen, terdiri dari
sebagian besar darah dan jaringan lunak, dengan waktu paruh 1-2 bulan; dan
kerangka tubuh dengan waktu paruh tahunan hingga puluhan tahun. Lebih dari 90%
Pb yang dieliminasi dijumpai dalam urin, dan sisanya diekskresi melalui empedu,
kulit, rambut, kuku, keringat, dan air susu. Sebagian yang tidak segera diekskresi,
kira-kira setengah dari Pb yang diserap, mungkin dimasukkan kedalam kerangka
tubuh, tempat pembuangan lebih dari 90% dari beban Pb tubuh pada kebanyakan
orang dewasa (Katzung BG, 2004).
2.2.4 Metabolisme dan Toksisitas. Absorbsi melalui saluran pencernaan hanya
beberapa persen saja, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan
biasanya cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil dan absorbsi Pb melalui
saluran pencernaan tergantung dengan ukuran logam berat tersebut, waktu transit
gastrointestinal, status gizi, dan usia (Khaturia, 2008). Namun demikian jumlah
plumbum yang masuk bersama makanan dan minuman masih mungkin ditolelir oleh
lambung disebabkan asam lambung (HCl) yang mempunyai kemampuan untuk
Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Waktu paruh dalam
darah kurang 25 hari, pada jaringan 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Eksresi
yang lambat menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan
okupasional maupun nonokupasional (Nordberg, 1998).
Toksikitas Pb sangat mempengaruhi proses metabolisme organ penting pada
makhluk hidup yaitu hati dan ginjal. Kedua organ tersebut sangat berperan dalam
proses metabolisme dan filtrasi unsur-unsur nutrisi bagi kesehatan makhluk hidup.
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai hambatan proses metabolisme tersebut
baik dalam sudut perubahan biokimia dan histologi dari organ yang bersangkutan
terutama pada hewan laboratorium. Selain itu beberapa penelitian mengenai toksisitas
Pb pada ginjal menunjukkan terjadi kerusakan tubulus ginjal sehingga fungsinya
sebagai organ filtrasi sangat menurun. Sebagai akibatnya beberapa janis asam amino
dan elektrolit diekskresikan (Darmono, 2001). Saluran pencernaan, susunan saraf,
system hematopoitik dan ginjal merupakan alat-alat tubuh yang paling sensitif
terhadap efek toksik Pb. Logam berat Pb dapat meracuni tubuh manusia baik secara
akut maupun kronis. Senyawa Pb organik mempunyai daya racun yang lebih kuat
dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik.
Keracunan Pb akut pada anak-anak dan dewasa dapat menderita disfungsi tubuli
proksimal dengan gejala-gejala seperti sindroma de fanconi (aminoasiduria,
glukosuria dan hiperfosfaturia) (Doloksaribu B, 2008).
jejas reversible atau jejas irreversible. Jejas reversible menunjukkan perubahan sel
yang dapat kembali menjadi normal jika rangsangan dihilangkan atau jika penyebab
jejasnya ringan, sedangkan jejas irreversible terjadi jika stresornya melampaui
kemampuan sel untuk beradaptasi (hingga di luar point of no return) dan
menunjukkan perubahan patologik permanen yang menyebabkan kematian sel.
Namun pada jejas reversible maupun irreversible bila terjadi, akan mempunyai ciri
yang khas, diantaranya pada jejas reversible akan terjadi pembengkakan sel
sedangkan pada jejas irreversibel (nekrosis) membran sel mengalami fragmentasi dan
perubahan nukleus meliputi piknosis, kariolisis, dan karioreksis.
2.3 Radikal Bebas dan Antioksidan
Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai species yang terdiri dari satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan
berbagai cara. Salah satunya apabila dua radikal bebas bertemu maka elektron yang
tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen
(Halliwell B, 1991).
Radikal bebas berbahaya jika menjadi sangat reaktif dalam mendapatkan
pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul penting
seperti enzim, DNA, dan juga merusak sel lain yang akhirnya dapat menimbulkan
penyakit, hal ini dapat dihambat dengan pengguanan antioksidan. Ketidak
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal
bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan
yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang
berbeda (Tuminah, 2000).
Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal
atau meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan
satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa
oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007).
Antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu antioksidan enzimatis dan
antioksidan non-enzimatis.
1. Antioksidan Enzimatis
Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di
dalamnya adalah enzim Superoksida Dismutase (SOD), katalase, Glutation
Peroksidase (GSH-PX), serta Glutation Reduktase (GSH-R) (Mates JM, 1999;
Tuminah, 2000). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat
pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai
(polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil,
sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant
(Winarsih, 2007). Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan
cara mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida
menjadi H2O2 (Langseth L, 1995; Winarsih 2007).
2. Antioksidan Non-enzimatis
Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan
ini bekerja secara preventif, dimana terbentukanya senyawa oksigen reaktif
dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya
(Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen
nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat
antioksidan dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C,
vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin dan
isokatekin (Kahkonen,et al.,1999). Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu
melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas.
2.4 Tubulus Proksimal Ginjal
2.4.1 Anatomi dan Histologi Tubulus Proksimal Ginjal. Secara anatomi ginjal terbagi menjadi dua bagian yaitu korteks dan medulla ginjal. Di dalam
korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medulla banyak terdapat
duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal (Underwood JCE,
2004; Alpers CE, 2007). Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron
terdiri atas bagian yang melebar, korpuskulus renal; tubulus kontortus proksimal,
urinarius pada korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsul
Bowman, berhubungan langsung dengan epitel silidris dari tubulus kontortus
proksimal . Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya
tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks. Tubulus ini
juga memiliki lumen lebar dan di kelilingi oleh kapiler peritubuler
(Junqueira L.C, 1995). Lapisan sel tubulus proksimal merupakan jaringan di ginjal
paling sangat sensitif untuk plumbum (Goyer RA,1973).
Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam
glomeruli kemudian di tubuli ginjal,beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi
bersama air membentuk urin sehingga ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting (Guyton, 1997; Purnomo BB, 2009). Toksin atau konsentrasi zat yang
Gambar 4. Ginjal dan nefron (Junqueira LC, 2007)
2.4.2 Efek Pb Terhadap Tubulus Proksimal Ginjal. Pb yang masuk melalui
mulut akan terdistribusi ke jaringan, salah satunya ginjal. Di ginjal Pb terakumulasi
akan membentuk vakuolisasi sel tubulus proksimal, kemudian akan terbentuk
tonjolan (bleb) dari sitoplasma sel tubulus proksimal, sehingga tubulus sempit,
penyempitan tubulus dapat menjadi suatu tanda awal dari kerusakan ginjal akibat
substansi nefrotoksik dalam darah. Selanjunya bleb tersebut pecah sehingga mikrofili
hilang. Pecahan-pecahan bleb akan menyumbat tubulus proksimal sehingga terjadi
Ekskresi Pb asetat
Tubuh
Akumulasi Pb di ginjal
Respon Radang Akut
Vasodilatasi
Ekstravasasi Cairan
Difusi Intraselular
Vakuolisasi Sel
Tonjolan (Bleb) Sitoplasmapecah
Akut Tubuler Nekrosis (ATN)
Gagal Ginjal Akut (GGA)
Nekrosis dan berakhir dengan gagal ginjal akut (GGA) (Underwood JCE, 2004;
Jennette JC, 2007). Lihat Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh pemberian Pb asetat pada kerusakan tubulus proksimal ginjal
ATN adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik oleh
destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers
CE, 2007 ). ATN dapat dibedakan atas ATN iskemik dan ATN nefrotoksik. ATN
nefrotoksik disebabkan oleh berbagai bahan seperti logam berat (Pb, merkuri,
arsenik, emas, kromium, arsenik, bismuth, dan uranium) (Nurdjaman, 2004).
jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang
mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood JCE, 2004; Alpers
CE, 2007 ).
ATN merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Klinisnya adalah
oliguria yang dilanjutkan dieresis. Peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi
sehingga kurang lebih 25% kematian akibat ATN terjadi selama fase diuretik
(Underwood JCE, 2004).
2.5 Tween 80
Tween 80 (polisorbat 80) adalah surfaktan nonionik digunakan secara luas
sebagai aditif dalam makanan, farmasi , dan kosmetik sebagai emulsifier, dispersan,
atau stabilizer. Menurut laporan program toksikologi, 2009. Penelitian toksisitas dan
karsinogenik dilakukan dengan pemberian polisorbat 80 dalam pakan tikus dan
mencit selama 14 hari, 13 minggu, semua binatang bertahan sampai akhir penelitian.
Berat badan dan tikus mirip dengan kontrol. Tidak ditemuan kelainan klinis,
perubahan organ bobot relatif atau absolut, dan lesi mikroskopis tidak dijumpai pada
tikus atau mencit yang diberi polisorbat 80 dan tidak terbukti sebagai karsinogenik.
Menurut data keamanan material, 2008. Tween 80 tidak menyebabkan toksisitas mau
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan,
Laboratorium Patologi Anatomi FK USU Medan, Laboratorium Fitofarmaka
Fakultas Farmasi USU Medan dan Laboratorium Biokimia FK USU Medan
mulai Juli - Agustus 2010.
3.2. Populasi dan Sempel Penelitian
Mencit (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa, jenis kelamin jantan
yang sehat, umur ± 3 bulan, belum pernah digunakan untuk percobaan
lain dan mempunyai berat badan antara 26 - 38 gram yang diperoleh dari FMIPA
Biologi USU Medan. Pemilihan sampel dilakukan dengan tehnik acak sederhana
“Sample Random Sampling”. Jumlah hewan uji perkelompok ditentukan dengan
rumus (t-1) (n-1) ≥ 15. Jika t adalah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok
perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang
diharapkan (teoritis) adalah 4 (Federer, 1963). Sehingga jumlah hewan coba yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 ekor dan untuk menjaga adanya
kematian dalam penelitian hewan yang digunakan ditambahkan 2 ekor setiap
3.3. Variabel yang Diamati
3.3.1 Variabel Independent :
1. Jahe.
2. Plumbum asetat.
3.3.2 Variabel dependent :
1. Kadar MDA ginjal.
2. Gambaran histopatologis tubulus proksimal ginjal.
3.4. Definisi Operasional
1. Kadar MDA jumlah kadar MDA (nanomol) dalam jaringan ginjal (g).
2. Gambaran histopatologis jaringan pemeriksaan terhadap perubahan
perubahan abnormal pada tingkat jaringan secara mikroanatomi.
3. Nekrosis merupakan perubahan morfologik yang terjadi setelah kematian sel
dalam jaringan atau organ hidup. Perubahan nukleus (inti lisis) meliputi
piknosis (nukleus kecil serta padat), kariolisis (nukleus yang melarut serta
terlihat kabur), dan karioreksis ( nukleus terfragmentasi) (Robbins, 2006).
4. Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalamai pengolahan apapun juga, berupa bahan yang telah dikeringkan.
5. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari
3.5. Etika Penggunaan
Penggunaan dan penanganan hewan di laboratorium penelitian dilakukan
sesuai dengan aturan etika penelitian hewan penelitian yang diatur dalam Deklarasi
Helsinki untuk memperoleh “Ethical clearance” dari komite etik dan komite ilmiah
penelitian FMIPA USU Medan (Lampiran 22).
3.6. Pelaksanaan Penelitian
3.6.1. Sampling simplisia jahe. Jahe yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari pasar Pancurbatu, dipilih yang segar dan bersih. Tanaman jahe ini sudah di
identifikasi/determinasi di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Depertemen Biologi
FMIPA USU Medan (Lampiran 23).
3.6.2. Pemeliharaan Hewan Percobaan. Mencit ditempatkan di dalam kandang
yang terbuat dari bahan plastik ukuran (30x20x10 cm) yang ditutup dengan kawat
kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap
tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan
pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00),
sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah.
Pakan (pellet B551) dan minum (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebihan.
3.7. Pembuatan Bahan-Bahan yang Digunakan untuk Percobaan
milimeter, dan dikering-anginkan kemudian diblender halus menjadi
serbuk simplisia jahe.
2. Serbuk simplisia dimaserasi dengan etanol 96% destilasi dilakukan
selama 3 kali 24 jam pada tempratur kamar.
3. Maserat yang diperoleh diuapkan dengan penguap putar (Rotary
evaporator) pada tempratur 500C.
4. Pelarut yang masih tersisa diuapkan di atas penangas air (water bath)
untuk mendapatkan ekstrak kental (Nursal, 2006).
5. Ekstrak kental tersebut dibuat suspensi dengan menggunakan larutan
tween 80 dalam 2% (Shanmugam, 2009). Lihat Lampiran 25.
3.7.2 Perhitungan Dosis .
1. Dosis ekstrak jahe yang dipakai pada penelitian dirancang jumlahnya
berdasarkan dosis yang diberikan pada tikus yaitu 100 mg/kg BB/oral
dan 200 mg/kg BB/oral (Shanmugam, 2009), dan dosis Pb asetat 100
mg/kg BB/oral (Anggraini DR 2008).
2. Konversi dosis ekstrak jahe dari tikus ke mencit lihat Tabel 3 (Laurance dan
Tabel 3. Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia
Pada uji klinik ekstrak jahe yang digunakan 100 mg/kg BB dan 200 mg/kgBB
tikus, didapati;
100 mg/Kg BB 0,1 mg/g BB tikus
0,1 mg/200 g BB tikus
20 g x 0,14 = 2,8 mg/20 g mencit
= 0,14 mg/g BB mencit
200 mg/Kg BB 0,2 mg/g BB tikus
0,2 mg/200 g BB tikus
40 g x 0,14 = 5,6 mg/20 g mencit
Dosis Pb asetat, 100 mg/kg BB mencit, maka dosis tiap mencit diberikan adalah 0,1 mg/g BB.
3. Interval waktu pemberian ekstrak jahe dan Pb asetat 30 hari dan
pencekokan dilakukan setiap hari.
3.7.3. Uji kandungan Kimia Ekstrak Jahe. Uji kandungan pada penelitian ini dengan
menggunakan metode fitokimia adalah sebagai berikut :
1. Uji zat fenolik dilakukan dengan cara menambahkan ekstrak jahe
dengan FeCl3, hasil uji positif mengandung uji positif mengandung zat
fenolik jika terbentuk larutan hitam pada sampel.
2. Uji zat flavonoida dilakukan dengan menggunakan Mg-HCl encer
yang ditambahkan dengan ekstrak jahe, hasil uji positif mengandung
zat flavonoida jika terbentuk larutan berwarna merah jambu pada sampel.
3. Uji zat alkaloida dilakukan dengan menggunakan pereaksi Wagner yang
ditambahkan ekstrak jahe, akan menghasilkan endapan coklat pada sampel
jika mengandung alkaloida.
4. Uji zat steroida dilakukan dengan menggunakan H2SO4 (p) dan pereaksi
LB (Lieberman-Burchad). Ekstrak jahe ditambahkan dengan
masing-masing zat. Uji dengan cara menambahkan ekstrak jahe dengan
H2SO4 (P) hasil uji positif jika terbentuk larutan berwarna merah pada
(Lieberman-Burchad), hasil uji positif jika terbentuk larutan berwarna hijau
kebiruan pada sample.
5. Uji zat terpenoida dilakukan dengan menambahkan ekstrak jahe dengan
kloroform, kemudian diambil filtratnya, ditambahkan pereaksi salkowsky
(H2SO4), hasil positif jika terbentuk larutan merah pada sampel.
6. Uji zat saponin dilakukan dengan cara menambahkan ekstrak jahe
dengan akuades, lalu dikocok sampai terbentuk buih. Hasil uji positif
jika buih yang dihasilkan setelah didiamkan selama 15 menit tetap ada
yang dihasilkan (Lampiran C) (Harborne, 1987 dalam kelana, 2003, hlm : 17).
3.8. Prosedur Pelaksanaan Uji Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe
Sebelum percobaan, mencit jantan ditimbang dan di tempatkan dalam kandang tersendiri di dalam ruangan laboratorium (aklimatisasi). Mencit dibagi secara
acak ke dalam 6 kelompok perlakuan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 6
dan 7.
Gambar 6. Prosedur Pelaksanaan Uji Pengaruh Pemberian Ekstrak Jahe HARI
0 7 8 9 37
AKLIMATISASI PENGAMBILAN DATA AWAL
PERLAKUAN PADA HEWAN
PENELITIAN
Gambar 7. Kerangka Operasional Percobaan Hari ke 8 - 38
3.9. Pengamatan
Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan
cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Kemudian dilakukan pengamatan
sebagai berikut :
3.9.1 Pengamatan Kadar MDA Ginjal Mencit. Pemeriksaan kadar MDA ginjal
mencit dilakukan pada hari ke-30 setelah perlakuan pada semua kelompok.
Ginjal dihomogenkan dengan 5 ml larutan buffer phosphate (pH 7,2).
n = 4 n = 4 n = 4 n = 4 n = 4 n = 4
Kontrol (+) Kontrol (+) Kontrol (+) Kontrol (+) ekstrak jahe ekstrak jahe 0,5 ml Tween 80 Pb asetat ekstrak jahe ekstrak jahe 0,14 mg/kg BB 0,28 mg/kg BB dalam 2% 0,1 mg/g BB 0,14 mg/g BB 0,28 mg/g BB
1 jam 1 jam
0,1 mg/g BB 0,1 mg/g BB Pb asetat Pb asetat HARI
8 38
PERLAKUAN SELAMA HARI KE 30
PERLAKUAN PADA HARI KE 38 :
Mencit didekapitasi Dilakukan pemeriksaan kadar MDA ginjal
Dilakukan pemeriksaan histopatologis tubulus proksimal ginjal
Kel.I Kel.II Kel.III Kel.IV Kel.V Kel.VI
Metode pemeriksaan MDA menurut Rao et al., dalam Hsieh et al, (2006) yang telah
dimodifikasi sebagai berikut :
a) Reagensia :
1) 2-thiobarbiturat acid (Merek; Cat No. 1.08180.0025)
2) 1,1,3,3-terramethoxypropane 99% (Sigma; Cat. No. 108383) 500 µM
3) Acetic acid glacial
4) Sodium hydroxide (NaOH)
5) Aquades
b) Persiapan Reagensia :
1. TBA/Buffer Reagent. TBA/Buffer Reagent terdidi dari : 0,67 g
2-thiobarbituric acid dilarutkan dalam 100 mL aquadest, selanjutnya 0,5
gram sodium hydroxide dan 100 mL asam asetat glacial.
2. Standard MDA. Sebanyak 250 µL 1,1,3,3-tetramethoxypropane
(Malondialdehid bis) 500 µM dilarutkan dalam 750 µL aquadest
untuk memperoleh larutan stok MDA 125 µM. Selanjutnya dari
larutan stok MDA 125 µM dilarutkan dalam aquadest dan dibuat 8 seri
Tabel 4. Persiapan Standar MDA untuk Spektrofotometri
Nomor Konsentrasi Volume Volume Standar MDA (µM) MDA pelarut (µL) Standar (µL)
8 50 400 600 7 25 200 800 6 10 80 920 5 5 40 960 4 2,5 20 980 3 1,25 10 990 2 0,625 5 995 1 0 0 1000
c) Prosedur uji :
1) Sebanyak 500 µL sample (suspensi ginjal) atau standar MDA
dimasukkan dalam tabung ependorf yang masing-masing telah diberi
label.
2) Ditambahkan 0,5 ml aquades pada masing-masing tabung.
3) Kemudian ditambahkan 0,5 ml TBA/Buffer Reagent.
4) Selanjutnya masing-masing tabung diinkubasi di dalam water
bath dengan suhu 950C selama 60 menit.
5) Setelah diinkubasi, masing-masing tabung dikeluarkan dari waterbath
dan setelah dingin masing-masing tabung disentrifugasi dengan
6) Supernatan diambil untuk selanjutnya dianalisa dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 534 nm.
3.9.2 Pengamatan Gambaran Mikroskopis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit.
Pengamatan mikroskopis tubulus proksimal ginjal mencit meliputi vakuolisasi
pada sitoplasma sel epitel tubulus, dan perubahan pada sel-sel pelapis epitel
tubulus berupa degenerasi hidrofilik (perubahan sel dan inti yang membengkak) dan
nekrosis (inti yang lisis) .
a) Prosedur uji:
1. Jaringan ginjal yang diambil segera difiksasi dalam larutan
formalin 10%.
2. Dehidrasi dengan memakai alkohol 70% ke 100%.
3. Penjernihan dengan memakai toluene.
4. Impregnasi (mamasukkan ke lilin cair).
5. Pembuatan block parafin (penanaman sampel jaringan).
6. Dipotong dengan mikrotom setebal 3 µm.
7. Potongan lilin beserta jaringan dimasukkan ke dalam water bath
8. Jaringan diletakkan di objek glas.
9. Pencairan lilin yang melekat di sample jaringan.