• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan politik Mohamad Roem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perjuangan politik Mohamad Roem"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM

Oleh:

LUSIANA

NIM: 0033218845

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

gelar Sarjana Sosial

Oleh:

LUSIANA

NIM: 0033218845

Di Bawah Bimbingan:

Dra. Gefarina Djohan, M.A. Drs. Agus Nugraha, M.Si.

NIP: 150 295 488

NIP: 150 299 478

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Perjuangan Politik Mohamad Roem” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada tanggal 04 Juni 2007, skripsi ini

telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

Islam (S.Sos.) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 04 Juni 2007

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota

Dra. Hj. Hermawati, M.A.

NIP. 150 227 408

Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP. 150 270 808

Anggota

Penguji I

A. Bakir Ihsan, M.Si.

NIP. 150 326 915

Penguji II

Zaki Mubarok, M.A. NIP. 150 371 093

Pembimbing I

Dra. Gefarina Djohan, M.A.

NIP. 150 295 488

Pembimbing II

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya, berkat taufik dan hidayahNya.

Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya

walaupun masih dalam bentuk yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan.

Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad

SAW, dan segenap sahabatnya yang telah membawa umatnya kearah kemuliaan

dan kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti, serta telah membimbing kita kepada

jalan yang diridhai Allah SWT.

Dalam upaya penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan kekurangan

dan keterbatasan kemampuan, namun berkat adanya bantuan dan saran dari

berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka dalam

kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih serta penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah turut serta membantu,

antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Amsal Baktiar selaku dekan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat (yang saat ini sudah menjabat sebagai Purek II).

2. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan Pemikiran Politik

Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sadjaroh, M.Si, selaku Sekjur yang dengan sabarnya

(5)

3. Ibu Dra. Gefarina Djohan, M.A, dan Drs. Agus Nugraha, M.Si, selaku

pembimbing yang sangat baik dalam membimbing dan mengarahkan penulis

guna menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT meridhoi semua

amal baiknya, Amiin.

4. Kepada seluruh staf karyawan perpustakaan Utama, perpustakan Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih telah membantu

memudahkan penulis dalam mencari buku-buku referensi.

5. Terima kasih yang terdalam pada Bapak Idris Thaha dan keluarga yang telah

bersedia memberikan pinjaman referensi pada penulis.

6. Terima kasih kepada Mamah (Etih) dan Bapak (H. Mudasir) tercinta karena

berkat dorongan mereka akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Juga

tidak ketinggalan pula saudara-saudara penulis yang manis-manis (Ka’ Melan,

Dhia, Mira, juga Linda) yang selalu membantu menjaga buah hati penulis

dengan baik.

7. Terima kasih untuk Suami (Ardian) tercinta yang telah memberikan motivasi

dan segenap pengertiannya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dan tak lupa untuk buah hatiku tercinta

Amira Zahra yang selalu ditinggal oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

8. Teruntuk teman-teman di PPI yang baik hati yang selalu mendorong penulis

intuk menyelesaikan skripsi ini, Eka, Rotu, Ide, Lilis, Sauki, dan Ifan yang

sama-sama berjuang untuk mneyelesaikan skripsi secepatnya. Juga

(6)

9. Terima kasih juga buat Rental Inovasi (Mas Syukron) yang membantu dalam

memberikan fasilitas kepada penulis dalam mengetik.

10.Terima kasih untuk anak-anak TPA Al- Mujahidin dan guru-gurunya yang

sudah begitu pengertian, juga Ibu-ibu pengajian yang telah mendoakan

penulis, agar bisa cepat menyelesaikan skripsi ini.

Terhadap semua jasa dan amal baik mereka yang sangat berharga itu,

penulis tidak dapat membalasnya, semoga Allah melimpahkan rahmat dan

hidayahNya dengan balasan yang setimpal dan semoga memperoleh kebahagiaan

didunia dan diakhirat nanti.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih

menyempurnakan skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis dan pembaca.

Jakarta, 19 Mei 2007

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian... 8

E. Sistematika Penelitian ... 8

BAB II. RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM A. Latar Belakang Keluarga... 10

B. Latar Belakang Pendidikan ... 13

C. Riwayat Jabatan ... 16

BAB III. MOHAMAD ROEM: PERJUANGAN DAN PERGERAKAN A. Peranan dalam Perjuangan dan Pergerakan A.1. Sebelum Kemerdekaan ... 20

a. Zaman Penjajahan Belanda... 20

b. Zaman Pendudukan Jepang ... 25

A.2. Sesudah Kemerdekaan ... 30

(8)

BAB IV. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM

A. Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem... 43

B. Negara Islam Perspektif Mohamad Roem ... 48

C. Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan

Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Amien Rais ... 66

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Jika sejarah dipandang sebagai rentetan jejak langkah orang besar, maka Mohamad Roem adalah salah seorang yang jejak langkahnya paling mudah dikenali, serta paling banyak diakui dan dihargai, dalam sejarah negara kita Indonesia merdeka. Sekalipun Mohamad Roem sendiri mungkin kurang suka mendengarnya disebabkan oleh kerendahan hatinya menurut tuntutan agama yang diyakininya secara benar bahwa semua yang telah terjadi dalam sejarah negeri adalah “Takdir” tuhan yang maha kuasa, namun kiranya tetap dikatakan bahwa diantara tonggak bagi berdiri tegaknya Republik kita ini hasil jerih payah Mohamad Roem.

Para ahli Indonesia yang berkumpul sekitar Prof. George McTurnan

Kahin di Universitas Cornell di Amerika, dan yang kemudian menyebar

kemana-mana hampir diseluruh dunia, semuanya menunjukan sikap penghargaan yang

seragam kepada tokoh Mohamad Roem ini, bukan karena apa-apa selain dari

keahlian dan kewenangannya sebagai seorang negarawan modern dan seorang

“pemecah masalah ” yang efektif.

Menurut Herbert Feith dalam bukunya: tentang “Masa kemunduran

Demokrasi Konstitusional di Indonesia”, sebagaimana tercermin dari kutipan

diatas. Mohamad Roem bersama dengan Sultan Hamengkubuwono, Ir. Djuanda,

Prof. Mr. tambunan dan Ij. Kasimo, adalah jenis para pemimpin administrators

dengan Bung Hatta sebagai tokoh utamanya. Mereka ini adalah “lawan”

(10)

solidaritas), yaitu para pemimpin yang dijiwai oleh, serta dilambangkan dalam

gaya kepemimpinan Bung Karno.1

Mohamad Roem juga aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Namun ketika partai ini dilanda kemelut, bersama Haji Agus Salim, Mohamad

Roem mendirikan partai penyadar. Dimasa pendudukan Jepang Mohamad Roem

menjadi Ketua Muda Barisan Hizbullah Jakarta. Di Masyumi, ia pernah duduk

sebagai anggota pimpinan pusat. Sedang jabatan di pemerintahan, Ketua Komite

Nasional Jakarta Raya. Komisaris Agung Indonesia di Belanda, Menteri Dalam

Negeri Kabinet Natsir (1950-1953 ), dan Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali

Sastroamijoyo (1956-1957).

Dilapangan diplomasi, hampir tidak ada perundingan Internasional yang

tidak melibatkan Mohamad Roem. Yang paling monumental adalah perundingan

dengan Van Roijen (17 Januari 1949), yang melahirkan kesepakatan Konferensi

Meja Bundar (14 april 1949). Konferensi ini menandai era baru perjuangan

Repulik Indonesia. Karena secara eksplisit mendorong pengakuan Belanda atas

kemerdekaan Republik Indonesia.

Sewaktu Belanda melancarkan Agresi kedua tahun 1947, Mohamad Roem

bersama para pemimpin Indonesia lainnya diasingkan kepulau bangka. Mohamad

Roem kembali mendekam di ganjar setelah Masyumi dibubarkan oleh pemerintah

orde lama. Selama empat tahun (1962-1966) Mohamad Roem mendekam

dipenjara atas tuduhan berada dibalik percobaan pembunuhan Bung Karno.

1

(11)

Tuduhan yang tidak pernah terbukti. Dari buku dan artikel- artikelnya, terekam

betapa luas perhatian Mohamad Roem terhadap berbagai persoalan.2

Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan,

keagamaan, politik dan masalah-masalah sosial lainnya. Mohamad Roem

termasuk salah satu tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (pada penjajahan

Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan).

Pada masa penjajahan Belanda, bersama-sama dengan pemuda jawa

lainnya, aktif di Jong Java. Mohamad Roem pun ikut berpartisipasi dalam

pembentukan Jong Islamiten Bond (JIB). Dalam JIB ini Mohamad Roem menjadi

panitia kongres di Jakarta (1930/ 1349 H). Mohamad Roem juga aktif di Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan pernah menjadi ketua panitia kongres PSII di

Jakarta (1932 /1351H ).

Pada tahun 1937, bersama dengan Yusuf Wibisono dan kawan- kawan

lainnya, Mohamad Roem mendirikan organisasi kemahasiswaan. Student Islam

Studie Club (SIS), dan ia sendiri menjadi ketuanya. Dan ketika SIS membuat

majalah Muslimehe Revielle, ia menjadi anggota dewan redaksinya. Selain itu

untuk mengembangkan bukunya yang pernah digelutinya di RHS, Mohamad

Roem membuka kantor advokat di Jakarta. Ia pun menjadi pengacara pada rumah

muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.

Keluar dari tahanan politik (1966), kegiatan tersebut diteruskan kembali,

bahkan ia kemudian memegang jabatan penting lagi (diluar pemerintahan), antara

lain : Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta 1971

2

(12)

dan anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami 1975. Disamping itu ia

aktif mengikuti beberapa Konferensi Internasional, seperti Konferensi

Internasional tentang Bangladesh di New Delhi 1971, Konferensi Menteri-

menteri Luar Negeri Islam di Tripoli dan Member of Board Asian Conference of

Religion for Peace di Singapura 1977.3

Karena turut serta dalam PSII dengan sendirinya Mohamad Roem dekat

dan menghayati sepak terjang politik pemuka-pemuka partai tersebut. Tokoh

utama yang memperoleh pengakuan nasional secara menyeluruh adalah Haji

Oemar Said Tjokroaminoto. Tokoh ini menjadi bapak dari pemimpin-pemimpin

politik bangsa Indonesia berikutnya, baik dari kalangan Islam maupun nasional.

Perintis kemerdekaan, pahlawan nasional dan pemimpin umat islam yang terkenal

ini dengan sangat tepat dilukiskan oleh Mohamad Roem dalam artikel yang

berjudul “Kongres Nasional pertama Central Serikat Islam”.4

Mohamad Roem sebagai perunding (diplomat) memang menempati

kedudukan yang khas dalam sejarah negara Indonesia. walaupun kegiatannya

dalam perundingan itu sudah sekaligus termasuk dalam rangkaian perjuangannya,

masih perlu untuk mengemukakan Mohamad Roem sebagai perunding, diberi

tempat tersendiri secara khusus pula. Kasman juga menjelaskan:

“bahwa Mohamad Roem sangat dekat dan mengagumi Haji Agus Salim, mengikuti jejaknya sangat dekat adalah wajar, bahwa nama Mohamad Roem kemudian muncul sebagai perunding selalu disebut dalam buku-buku tentang Indonesia dari penulis-penulis luar negeri. Tidak bedanya seperti dialami oleh H. Agus Salim sebagai pendahulunya.”5

3

Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1922), h. 679-681.

4

Mohamad Roem, 70 Tahun Pejuang dan Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 39.

5

(13)

Kita tidak tahu, apakah untuk menjadi seorang diplomat hal itu bisa

dipelajari semata-mata, ataukah memerlukan sesuatu bakat yang harus dimiliki

semenjak muda, mungkin juga seorang diplomat terbentuk dari bakatnya

semenjak kecil digabungkan dengan pelajaran yang diperolehnya kemudian, dan

mungkin lebih jelas lagi ditambah dengan pengalaman yang ditemui sepanjang

hidupnya.

Diplomasi atau perundingan yang dilakukan oleh seorang diplomat

merupakan karya gabungan dari pemberian bakat, ditambah pelajaran dan

dilengkapi dengan pengalaman sebab diplomasi bukan yang dilakukan secara

resmi dibelakang meja perundingan saja. Tetapi termasuk juga berunding secara

tidak resmi dalam kesempatan yang lebih leluasa.6

Mohamad Roem adalah seorang penulis yang produktif, yang banyak

mewariskan beberapa buku penting antara lain: Bunga Rampai dari Sejarah

(sebanyak 4 jilid), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, dan Tidak ada

Negara Islam: Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Dalam

salah satu tulisannya, Mohamad Roem membuat catatan pribadi tentang beberapa

perundingan dengan Belanda yang diikutinya. Mohamad Roem mengakui, bahwa

pada setiap perundingan yang akan atau sedang berlangsung memang selalu ada

pro dan kontra ditengah masyarakat. Menurut Mohamad Roem, hal itu bisa

dimaklumi, karena banyak pendapat yang timbul, tergantung pada sisi mana

6

(14)

perundingan itu dilihat. Dan Mohamad Roem menyadari bahwa tidak sedikit yang

tidak sepakat dengan persetujuan Roem-Royen yang pernah dilakukan.7

Dengan melihat kondisi yang banyak terjadi pada saat sekarang ini guna

memberikan sebuah kontribusi yang baik bagi perkembangan perpolitikan di

Indonesia maka penulis merasa perlu untuk mengangkat tema “Perjuangan Politik

Mohamad Roem”. Sebab perjuangan Mohamad Roem dalam menentukan

langkah-langkah politik khususnya sebagai seorang diplomat yang handal

mempunyai peranan yang sangat penting, agar dapat kita pelajari. Dan menjadi

seorang diplomat bukan hanya membawa diri sendiri, tetapi juga membawa nama

negaranya agar senantiasa dihargai oleh negara lain. Demi terciptanya suatu

keadilan dan persamaan hak yang merata.

Selain itu juga penulis ingin memunculkan pemikiran-pemikiran politik

Mohamad Roem berkisar pandangannya mengenai Negara Islam, karena penulis

membaca bahwa Mohamad Roem adalah salah seorang tokoh yang tidak setuju

dengan sebutan Negara Islam, yang terpenting bagi Mohamad Roem adalah

substansi atau tata nilai dalam suatu negara yang berlandaskan pada Islam.

Dan kalau penulis melihat dan membaca sudah ada beberapa tulisan yang

mengungkap tentang sejarah perjuangan Mohamad Roem, tetapi sedikit yang

memunculkan Pejuangan politiknya secara lebih mendalam. Oleh sebab itu

penulis merasa perlu untuk mengangkat hal tersebut agar dapat dimunculkan

sebagai tambahan pengetahuan politik bagi kepentingan penulis khususnya dan

umumnya bagi pembaca.

7

(15)

Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah

Pembatasan penulisan skripsi ini berkisar pada tokoh Mohamad Roem (1908-1983). Dengan ide dan gagasan serta perjuangan politik Mohamad Roem tentang kancah perpolitikan pada zamannya, dimana Mohamad Roem selalu berusaha untuk menjadi seorang diplomat yang bisa membawa nama negaranya kemanapun Mohamad Roem pergi, dengan berbagai kemampuannya dia kerahkan baik

didalam perjuangan dan berbagai macam perundingan yang telah jalaninya.

Sedangkan untuk lebih fokusnya penulisan ini maka penulis perlu merumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Mengapa Mohamad Roem begitu tertarik dengan dunia perpolitikan?

2. Apa yang menyebabkan Mohamad Roem dikenal sebagai seorang pejuang

dan juga seorang perunding yang dapat dihandalkan?

3. Apa saja peranan Mohamad Roem sebagai seorang diplomat?

4. Bagaimana pandangan Mohamad Roem mengenai Negara Islam?

Tujuan dan kegunaan penelitian

Tujuan dari pada penelitian ini adalah bahwasanya disini penulis ingin

mengetahui Bagaimana perjuangan politik Mohamad Roem, kemudian apa saja peranan Mohamad Roem sebagai seorang pejuang dalam mencapai

keberhasilannya dimeja perundingan sebagai seorang diplomat. dan penulis ingin meletakkan figur seorang Mohamad Roem menurut proporsi yang sebenarnya dalam sejarah bangsa. Juga yang terakhir adalah penulis ingin mencari hubungan latar belakang kehidupan Mohamad Roem dengan kehadirannya sebagai seorang diplomat pada masanya.

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menjadikan penelitian ini sebagai pijakan dan input yang baik bagi perkembangan perjuangan politik Islam dari segi aspek politik Islam, serta diharapkan penelitian ini bisa berguna untuk para pembaca agar bisa mengembangkan ilmu politik yang sedang dipelajari. Dan penelitian ini barguna bagi penulis sebagai syarat untuk meraih gelar S1 pada Fakultas

(16)

Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini berdasarkan pengumpulan data melalui penelitian

kepustakaan (Library Research) berupa buku-buku dan tulisan yang berhubungan

dengan masalah diatas.

Metode pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif dan analistis, guna menjelaskan secara objektif dan kompherensif dari gagasan dan pemikiran tokoh Mohamad Roem ini bagi perkembangan Politik Islam Indonesia.

Teknik penulisan skripsi ini menunjuk pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press, 2007, cetakan pertama.

Sistematika Penulisan.

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, pembahasan akan disusun secara sistematis menjadi lima bab, dan tiap bab menjadi sub-sub bab yang secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisikan dasar pemikiran yang mencerminkan isi

seluruh skripsi, kemudian pembatasan dan perumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II : Membahas tentang riwayat hidup Mohamad Roem dari segi latar

belakang pendidikan dan latar belakang keluarga, dan membahas

tentang riwayat jabatan-jabatan yang pernah dijalani semasa

hidupnya.

Bab III : Menjelaskan tentang peranan Mohamad Roem dalam perjuangan dan

pergerakan pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, kemudian

(17)

demi memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia agar

mendapatkan kemerdekaan secara utuh dan sempurna.

Bab IV : Pembahasan mengenai dasar pemikiran politik Mohamad Roem,

serta pembahasan mengenai pandangan Mohamad Roem tentang

Negara Islam, dan kemudian pembahasan tentang relevansi

pemikiran politik Mohamad Roem terhadap pemikiran Abdurrahman

Wahid dan Amien Rais mengenai kaitannya dengan perpolitikan di

Indonesia.

Bab V : Merupakan penutup, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran

(18)

BAB II

RIWAYAT HIDUP MOHAMAD ROEM

Latar Belakang Keluarga

Mohamad Roem lahir pada sabtu pahing, 16 Mei 1908 di Desa

Klewongan, Kawedanan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ia

adalah anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan suami istri Dulkarnaen

Djojosasmito (Lurah Desa Klewongan) dan Siti Tarbijah. Masa kecil Mohamad

Roem dilewatkan di dua tempat, yakni Parakan (1908-1919) dan Pekalongan Jawa

Tengah (1919-1924).8 Mohamad Roem menikah dengan Markisah Dahlia di

Malang, Jawa Timur, pada 11 Juni 1932. Mereka dikarunia dua orang anak:

Roemoso dan Rumeisa.9

Parakan sebagai tempat kelahiran Mohamad Roem memberikan kenangan

tersendiri baginya. Di kota inilah, Mohamad Roem tinggal bersama nenek, ayah,

ibu, dan saudara-saudaranya. Nenek memegang peranan penting dalam keluarga

Dulkarnaen Djojosasmito, sedangkan sang ayah seolah hanya memegang peranan

kedua. Keberadaan nenek dalam keluarga Mohamad Roem dapat dikatakan

sebagai pendidik utama anak-anak. Meskipun demikian, pengaruh ayah bagi

Mohamad Roem cukup kuat. Mohamad Roem cenderung lebih tunduk terhadap

ayahnya daripada kepada nenek, sedangkan ibu Mohamad Roem kurang

menjalankan peranan penting dalam keluarga itu.

8

Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya (Magelang: Indonesiatera, 2002), h. 1.

9

(19)

Selama Mohamad Roem tinggal di Parakan, perkembangan kepribadiannya

banyak dipengaruhi oleh sistem pengasuhan anak yang saling bertolak belakang

antara nenek dan ayahnya. Di satu sisi, nenek Mohamad Roem menerapkan pola

pengasuhan anak yang cenderung feodalistik, sedangkan disisi lain ayahnya

menerapkan pola pengasuhan anak yang lebih demokratis. Namun, sebagai

seorang ayah sekaligus anak, Dulkarnaen Djojosasmito tidak pernah bersikap

konfrontatif terhadap nenek Mohamad Roem yang menerapkan pola pengasuhan

anak yang kurang demokratis.

Di lihat dari latar belakang kehidupannya, sudah sewajarnya apabila nenek

Mohamad Roem masih memiliki sifat-sifat feodal. Menurut Mohamad Roem,

nenek adalah putri seorang priyayi. Pada waktu itu anak priyayi dilarang keras

berbaur dengan anak kampung. Pandangan nenek tentang larangan itu

diterapkannya kepada Mohamad Roem.

Berbeda dengan neneknya yang cenderung bersifat konservatif, pola

pengasuhan Dulkarnaen Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, lebih bersifat

demokratis. Ia tidak pernah melarang Mohamad Roem untuk bergaul dengan siapa

pun dan dari kalangan mana pun juga. Ayah Mohamad Roem memiliki sikap yang

berkebalikan dengan sang nenek yang melarangnya bergaul dengan anak

kampung. Menyikapi prinsip ayahnya itu, Mohamad Roem berpendapat, “Ayah

adalah seorang yang mempunyai visi, pendapat tentang hidup, tetapi tidak

articulate. Artinya, anak diberi kebebasan berkembang dengan sendirinya”.

Prinsip Mohamad Roem yang memandang bahwa anak kampung dan anak priyayi

(20)

Mohamad Roem mampu bersahabat dengan siapa saja dari berbagai

golongan. Mohamad Roem yang merupakan tokoh besar Islam, tenyata dapat

berteman dekat dengan Ignatius Josef Kasimo dan Petrus Kanisius Ojong yang

beragam katolik, dan T.B Simatupang dan Leimena wakil dari agama Protestan,

dan Sjahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang sangat fasih dengan nilai-nilai

sosialis. Bahkan, dalam rangka mempererat persahabatannya dengan I.J. Kasimo

dan P.K. Ojong, Mohamad Roem mengadakan pertemuan secara rutin, yakni pada

1 Januari di rumah I.J. Kasimo dan pada I Syawal di rumah Mohamad Roem

sendiri.

Kehidupan Mohamad Roem bersama nenek, ayah, ibu, dan kakak terpaksa

harus ditinggalkannya ketika Parakan di landa wabah penyakit kolera, pes, dan

influenza sekitar tahun 1919. Mohamad Roem dan adik perempuannya yakni Siti

Chatijah kemudian tinggal bersama kakak perempuan mereka (Mutiah) di

Pekalongan.

Kepindahan Mohamad Roem dari Parakan ke Pekalongan, mulanya hanya

bersifat sementara, yakni hanya sampai wabah penyakit menular di Parakan

mereda. Tetapi ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 1920, Pekalongan

menjadi tempat kedua bagi Mohamad Roem dalam menempuh pendidikan dasar.

Pekalongan menjadi tempat penting bagi Mohamad Roem karena di sinilah

dalam usia 11 tahun, Mohamad Roem mengalami proses sosialisasi gerakan sosial

Islam. Ide-ide tentang sosialisme Islam dicetuskan oleh H.O.S. Tjokroaminoto

berpadu dengan semangat puritanisme Muhamadiyah. Pada waktu itu memang

(21)

Karena itu, pemimpin dari kedua organisasi itu dimungkinkan menjadi pemimpin

yang merangkap.

Mohamad Roem yang sejak di Parakan sering mengaji di rumah Pak

Wongso, seorang Kyai di desa Klewongan, akhirnya semakin memperdalam ilmu

agamanya dalam asuhan kakak ipar yang juga tokoh Muhamadiyah itu.

Pendidikan agama yang diperoleh Mohamad Roem selama di Pekalongan maupun

parakan merupakan landasan fundamental dalam dirinya yang terkristal dalam

pribadi muslim sejati. Landasan ini semakin kuat setelah Mohamad Roem

berkecimpung dalam JIB dibawah asuhan Haji Agus Salim, bapak kaum

intelektual muslim Indonesia.10

Mohamad Roem adalah seorang aktifis berbagai kegiatan kepemudaan,

keagamaan, politik dan masalah-masalah social lainnya. Ia termasuk salah seorang

tokoh nasional yang hidup pada tiga zaman (zaman penjajahan Belanda,

pendudukan Jepang dan zaman kemerdekaan).11

Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan formal pertama yang ditempuh Mohamad Roem adalah

pendidikan Sekolah Desa (Volkschool) tahun 1915. Di sekolah ini Mohamad

Roem mengikuti pendidikan selama dua tahun. Setelah dua tahun mengikuti

pendidikan di sekolah itu, Mohamad Roem kemudian masuk ke HIS (Hollands

Inlandshe School) di Temanggung. Jarak antara Parakan-Temanggung

ditempuhnya dengan naik kereta api.

10

Insaniwati, Mohamad Roem Karier politik dan perjuangnnya, h. 1-7.

11

(22)

Pendidikan di HIS ditempuhnya antara tahun 1917-1924 di dua tempat,

yaitu Temanggung (1917-1919) dan pekalongan (1919-1924). Seperti telah

disebutkan pada bagian terdahulu, kepindahan Mohamad Roem ke Pekalongan

mulanya hanya bersifat sementara, tetapi ketika sang ayah meninggal dunia pada

tahun 1920, Pekalongan dijadikannya sebagai tempat kedua dalam menempuh

pendidikan dasar. Karena itu, Mohamad Roem menempuh sekolah di HIS

Temanggung hanya sampai di kelas III, selanjutnya ia pindah ke HIS Pekalongan

sampai lulus pada tahun 1924.

Setelah tamat di HIS Pekalongan, Mohamad Roem mendapatkan beasiswa

untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA (School tot Opeleiding van Indische

Artsen) di Jakarta. STOVIA adalah sekolah untuk mendidik dokter pribumi. Lama

pendidikan di sekolah tersebut adalah 10 tahun yang kemudian dibagi menjadi dua

bagian, yaitu bagian Persiapan selama 3 tahun, dan bagian Geneeskundig

(kedokteran) selama 7 tahun.

Suatu keuntungan bagi Mohamad Roem setelah lulus saringan masuk

STOVIA, penerimaan untuk STOVIA dihentikan karena pada tahun 1927 sekolah

tersebut dihapuskan. Untuk dapat melanjutkan pelajaran, mereka dapat masuk ke

NIAS (Nederlandsh Indische Artsen School). Antara tahun 1924 sampai dengan

1927 Mohamad Roem menyelesaikan pelajarannya pada bagian persiapan di

STOVIA. Kemudian Mohamad Roem masuk AMS pada tahun 1927 dan lulus

pada tahun 1930.

Selama dua tahun pertama sebagai pelajar STOVIA, Mohamad Roem

(23)

Gedung Kebangkitan Nasional di Jalan Dokter Abdurachman Saleh 22 Jakarta.

Ketika gedung itu berubah menjadi sekolah AMS, maka dua kelas terendah

dipindah ke asrama Jan Pieterzoon Coen di Jalan Guntur Jakarta. Di asrama kedua

tersebut, Mohamad Roem tinggal selama 4 tahun. Jadi, selama 6 tahun (3tahun di

STOVIA, 3 tahun di AMS) Mohamad Roem telah hidup dalam suasana

kepanduan, serta suasana yang berbau politik, khususnya yang berkaitan dengan

persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara.

Tahun 1930, setelah tamat dari AMS, Mohamad Roem meneruskan

pendidikannya ke GHS (Geneeskundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi

Kedokteran di Jalan Salemba selama dua tahun, tetapi tidak berhasil lulus. Ujian

pertama gagal, demikian pula dengan ujian yang kedua. Mohamad Roem

kemudian berhenti menjadi mahasiswa GHS. Tahun 1932, Mohamad Roem

masuk RHS (Rechts Hoogeschool) di Jakarta dan lulus pada tahun 1939. Melalui

RHS inilah Mohamad Roem mendapat gelar “Meester in de Rechten” (Mr) atau

Sarjana Hukum. Setelah itu Mohamad Roem memulai kariernya sebagai seorang

advokat yang membela rakyat kecil.12

STOVIA dibubarkan diganti dengan Geneeskundige Hogeschool (1927),

memakan waktu, 10 tahun sesudah sekolah dasar. Maka STOVIA adalah sekolah

yang tertinggi yang dapat dicapai oleh pribumi. Tapi, meskipun orang mempunyai

pendidikan tertinggi, Mohamad Roem dapat membatasi diri dalam profesinya.

Bangsa Indonesia dapat merasa bersyukur, bahwa putra-putranya yang

pertama mendapat pendidikan tinggi, menyadari bahwa justru karena itu mereka

12

(24)

memikul kewajiban untuk mengangkat rakyat dari kebodohan dan kemelaratan.

Mereka tahu apa yang tercantum dalam peribahasa: nobless oblige, mereka yang

memiliki kelebihan, memikul kewajiban. 13

Mohamad Roem adalah seorang terpelajar dan tokoh Nasional tiga zaman:

penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan Indonesia merdeka. Ia juga seorang

pemimpin, politikus, pendidik, dan perunding, yang mengikuti perundingan

penting antara lain perundingan Renville, persetujuan Roem-Royen, dan

Konferensi Meja Bundar.14

C. Riwayat Jabatan

Nurcholish Madjid (cendikiawan muslim Indonesia) mengatakan bahwa

Mohamad Roem adalah orang yang paling berjasa diurutan ketiga setelah

Soekarno (proklamator, presiden pertama Indonesia; 1901-1970) dan Mohammad

Hatta (negarawan, proklamator, Wakil Presiden pertama Indonesia; 1902-1980).

Mohamad Roem berperan sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam perjuangan

Roem-Royen (7 Mei 1949) yang membuka jalan Konferensi Meja Bundar

(KMB), dan kemudian menghasilkan kedaulatan resmi bagi Indonesia pada 27

Desember 1949. Mohamad Roem masuk dalam urutan para Pahlawan Nasional.

Mohamad Roem adalah seorang aktivis dalam organisasi kepemudaan,

keagamaan, dan politik, misalnya Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB), dan

Nationale Indonesische Padvinderij (Natipij, Kepanduan Nasional Indonesia).

Bersama Yusuf Wibisono dan kawan-kawannya. Mohamad Roem mendirikan

13

Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 83-84.

14

(25)

Studenten Islam Studie Club, dan menjadi ketuanya. Ketika organisasi

kemahasiswaan ini menerbitkan majalah Muslimche Reveille, ia menjadi dewan

redaksinya. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum yang diperolehnya di RHS,

Mohamad Roem membuka kantor Advokat dengan papan nama “Mr. Mohamad

Roem”di Jakarta. Mohamad Roem juga menjadi pengacara pada Rumah Piatu

Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Puwokerto.

Di dalam dunia politik, Mohamad Roem aktif dalam Partai Syarikat Islam

Indonesia (PSII) tahun 1932. Karena terjadi kemelut dalam partai ini, Mohamad

Roem bersama Haji Agus Salim (pejuang kemerdekaaan Indonesia; 1884-1954)

mendirikan Partai Penyadar. Dalam partai baru ini, Mohamad Roem menjadi

Ketua Komite Central Executif (Lajnah tanfiziyah). Mohamad Roem juga pernah

menjadi Ketua Muda Hizbullah Jakarta. Pada masa kemerdekaan , Mohamad

Roem menduduki berbagai jabatan penting, antara lain Ketua KNIP Jakarta

(1945), Menteri Dalam Negeri (1946-1948), delegasi Indonesia dalam persetujuan

KMB (1949), anggota Pimpinan Pusat Masyumi(1950), Menteri Luar Negeri

(1950-1951),Wakil Perdana Menteri (1956-1957), Wakil Ketua Masyumi

(1958-1960), dan Ketua Umum Parmusi (1968).

Selama aktif pada Partai Politik Islam, Masyumi, Mohamad Roem pernah

tiga kali menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (dalam Kabinet Sjahrir III dan

Kabinet Ali Sastroamidjojo, Kabinet pertama setelah pemilu 1955). Mohamad

Roem lebih dikenal sebagai mantan Menteri Luar Negeri, walaupun memangku

(26)

Menteri Pertepel (portofolio) dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS)

dibawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Hatta.

Mohamad Roem adalah seorang diplomat ulung. Banyak pertemuan dan

perundingan penting yang diikutinya, baik berskala Nasional maupun

Internasional, antara lain penandatanganan perundingan Renville (17 Januari

1948), persetujuan Roem-Royen (14 April 1949), KMB di Den Haaq, Belanda (2

November 1949), Conference For Moeslim and Christian Cooperation di

Iskandariah, Mesir (1955), dan berbagai perjalanan penting kebeberapa negara.

Di dunia pendidikan, Mohamad Roem pernah menjadi Rektor Universitas

Islam Sumatera Utara (1953-1956) dan Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah

Tinggi Kedokteran Islam Jakarta (1971), setelah keluar dari tahanan politik, sejak

Partai Masyumi dibubarkan pada 17 Agustus 1960, Mohamad Roem tidak aktif

lagi di pemerintahan. Namun Mohamad Roem masih menghadiri dan memberikan

ceramah pada beberapa pertemuan Ilmiah Internasional. Mohamad Roem juga

menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975) dan aktif

sebagai tokoh Organisasi Konferensi Islam (OKI).15

Sebagai tenaga berpendidikan tinggi, tempat karyanya adalah dalam

bidang kepemimpinan, pengarahan dan pemikiran; sehingga langsung

menempatkannya dalam kursi pimpinan tingkat pusat. Dan kedudukannya di

tingkat pusat tersebut, menyebabkan terbuka hubungan yang dekat dengan

tokoh-tokoh politik yang utama. Begitu pula tempat tinggal yang sejak lama berada di

Jakarta sebagai pusat politik negara, memberi peluang lebih banyak untuk dekat

15

(27)

dengan Haji Agus Salim daripada kepada H.O.S. Tjokroaminoto. Hubungan dan

pergaulan dengan Haji Agus Salim tidak terbatas pada suasana politik dan

pergerakan saja, tetapi juga meliputi hubungan persahabatan yang akrab dengan

seluruh keluarganya.16

Bagi seorang pejuang, apalagi berjuang di bidang politik dan kenegaraan

dalam jangka waktu yang cukup panjang seperti Mohamad Roem, tentu wajar

ditemui kawan dan lawan. Namun begitu kita akan sulit untuk menanyakan, siapa

lawan-lawan Mohamad Roem kepadanya. Dia tidak akan memberikan jawaban

siapa lawan-lawannya, baik siapa yang melawan kepadanya, ataupun siapa yang

dilawan olehnya. Dia hanya menunjukkan cita-cita perjuangannya, yang

dilakukannya dengan pedoman-pedoman tertentu menurut ajaran agamanya dan

menurut sopan-santun politik yang wajar dalam perangkat hukum yang adil dan

benar.

Tetapi kalau kita bertanya siapa teman dan sahabatnya, maka Mohamad

Roem akan memberikan urutan nama yang panjang. Dan di muka sendiri dari

nama-nama itu hanyalah almarhum Haji Agus Salim. Setelah itu tidak sanggup

pula dia dengan jelas menyebut satu-persatu secara urut. Sebab bagi Mohamad

Roem teman-teman seperjuangannya itu cukup banyak, satu tidak lebih dari yang

lain, semuanya adalah teman, sahabat, kawan seperjuangan yang menyenangkan

sepanjang masa. Mohamad Roem seorang pejuang muslim, demokrat.17

Rasanya kesibukan dan kegiatan Mohamad Roem pada usia tua, sekitar

70 tahunan, tidak begitu berbeda dan berkurang dari dalam masa mudanya dahulu.

16

Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 44.

17

(28)

Sekali lagi yang demikian itu hanya memperkuat pembenaran, bahwa Mohamad

Roem memang seorang pejuang.18

18

(29)

BAB III

MOHAMMAD ROEM: PERJUANGAN DAN PERGERAKAN

B. Peranannya Dalam Perjuangan Dan Pergerakan

1. Sebelum Kemerdekaan

a. Zaman Penjajahan Belanda

Sesungguhnya Mohamad Roem termasuk sebagian anak-anak Jawa

yang beruntung. Tahun-tahun itu merupakan masa dilaksanakannya

kebijaksanaan baru penjajah yang lebih memperhatikan bumiputera.

Kritik-kritik kaum sosialis dan kaum etisi Belanda yang dilancarkan sejak

tahun 1891 telah mendorong lahirnya kebijaksanaan baru program

pemerintah Belanda tentang Hindia. Pada Januari 1901, didepan parlemen,

Ratu Wilhelmina mengumumkan tujuan utama pemerintah jajahan di masa

mendatang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Katanya, bangsa

Belanda berutang budi kepada rakyat Hindia karena eksploitasi yang

dilaksanakan sebelumnya telah melimpahkan keuntungan besar kepada

Belanda. Dengan perubahan kebijaksanaan ini, perlahan-lahan pemerintah

Hindia Belanda memperluas kesempatan kepada anak-anak Indonesia

golongan atas untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah tingkat dasar

dan menengah yang berbahasa Belanda. Mohamad Roem termasuk salah

seorang diantara anak-anak Hindia Belanda yang terpilih memperoleh

kesempatan tersebut.19

19

(30)

Penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung pada awal abad ke-20 diwarnai dengan munculnya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda 1901. Kebijakan yang terkenal dengan nama “Politik Etis” itu terdiri dari irigasi, edukasi, dan emigrasi. Kebijakan tersebut telah membawa angin segar bagi bangsa Indonesia. Edukasi bagi bangsa pribumi yang

diusahakan oleh pemerintah Belanda pada gilirannya menghasilkan elite baru yang semakin lama semakin menyadari tentang kedudukannya yang dibedakan dalam masyarakat kolonial. Dari slogan inilah muncul pembaharuan yang direalisasikan dalam bentuk pergerakan modern.

Dimulai dari Budi Utomo (1908), satu persatu pergerakan nasional

tumbuh di Indonesia, seperti Sarekat Islam (1912), Muhammadiyah

(1912), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, organisasi lokal dan

regional, seperti Rukun Minahasa (1912), Perkumpulan Pasundan (1914),

Sarekat Ambon (1920), Sarekat Celebes (1930) bermunculan bagaikan

cendawan di musim hujan. Pemuda atau pelajar tidak ketinggalan untuk

ikut serta mendirikan organisasi yang dikhususkan bagi mereka, sehingga

lahirlah organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Sumatranen Bond

(1917), Jong Java (1918), Jong Islamieten Bond (1925), Jong Celebes, dan

lain-lain.

Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai

pemuda dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar

berorganisasi melalui organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat

itu. Mohamad Roem mulai belajar arti berorganisasi ketika melanjutkan

studinya dari HIS di Temanggung ke STOVIA di Jakarta 1924.

Saat itulah Mohamad Roem mulai mengenal dunia organisasi

pemuda atau pelajar, seperti Jong Java (1924) dan Jong Islamieten Bond

(1925) yang berkembang dilingkungan STOVIA. Walaupun Jong Java

(31)

justru melalui kedua organisasi pemuda itulah Mohamad Roem berkenalan

dengan dunia perpolitikan Indonesia sehingga wajar bila karier politik

Mohamad Roem diawali dari keanggotaannya dalam Jong Java dan Jong

Islamieten Bond yang kemudian dilanjutkan dengan kiprahnya dalam

Partai Sarekat Islam Indonesia dan gerakan penyadar.

Selama menjadi anggota Jong Java, banyak kegiatan yang

dilakukan oleh Mohamad Roem dalam organisasi itu, antara lain kegiatan

yang berkaitan dengan olah raga maupun kegiatan menari Jawa. Selain itu,

Mohamad Roem rajin menyimak ceramah-ceramah yang diberikan

kakak-kakak kelasnya

Berdirinya JIB tersebut memberikan kesempatan bagi Mohamad

Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasakan Islam, agama yang

semakin diperdalamnya ketika Mohamad Roem masih tinggal di

Pekalongan. Ketika Mohamad Roem masuk menjadi anggota JIB (1925),

keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Namun demikian, bila

dibandingkan dengan Jong Java, Mohamad Roem lebih aktif lagi dalam

JIB, suatu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam

yang keanggotaanya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari

berbagai daerah.

Bagi Mohamad Roem, ada satu hal yang sangat penting dalam

perjalananya berkecimpung dalam organisasi pemuda khususnya JIB,

yakni perkenalannya dengan Haji Agus Salim yang kala itu menjadi

(32)

Salim pada 1925, ketika Mohamad Roem masih duduk di STOVIA bagian

persiapan.

Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus

Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem

kelak di kemudian hari. Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem

dengan Haji Agus Salim telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII

dan kemudian Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim,

dan lain-lain.

Mohamad Roem mulai tertarik pada partai politik, khususnya Partai

Sarekat Islam Indonesia (PSII) sewaktu Mohamad Roem masih menjadi

anggota JIB. Kiprah Mohamad Roem dalam panggung politik Indonesia

pada waktu itu bukan atas nama anggota JIB, melainkan atas nama

perorangan. Walaupun JIB bukan organisasi politik, organisasi Islam ini

tidak melarang anggota-anggotanya untuk berkiprah dalam panggung

politik. Hal ini dimaksudkan agar para anggota JIB dapat berbuat atau

menonjol sejak masa mudanya dan dapat berperan saat terjun ke arena

politik.

Mohamad Roem secara resmi masuk menjadi anggota PSII pada

tahun 1932, walaupun sebelumya telah banyak turut serta dalam

kegiatan-kegiatan seperti menjadi Ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta 1932. Ia

masuk menjadi anggota PSII tanpa menjadi anggota SIAP (Syarikat Islam

(33)

Keaktifan Mohamad Roem waktu itu adalah membela nasib atau

perkara orang-orang PSII didepan pengadilan negeri pemerintah kolonial

Belanda. Sebagian besar perkara yang dibelanya menyangkut persoalan

tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap

bawahan. Semua kegiatan ini dilaksanakan bersama-sama dengan Haji

Agus Salim.

Tindakan Abikusno Tjokrosujoso yang tidak memasukkan Haji

Agus Salim dalam jajaran pengurus PSII sehingga mengakibatkan

terpecahnya anggotanya banyak mengundang keprihatian para pemimpin

partai. Haji Agus Salim dengan segenap kesungguhannya mencoba

menyadarkan kawan-kawan seperjuangan, terutama tentang bahaya yang

akan muncul akibat perpecahan tesebut. Bersama dengan yang lain,

gagasan untuk menyadarkan kawan-kawan seperjuangannya kemudian

dilembagakan ke dalam satu organisasi baru yaitu Barisan Penyadar PSII.

Sebagai organisasi politik, pergerakan penyadar tidak berhaluan

nonkooperasi seperti yang dianut oleh PSII. Alasan pergerakan penyadar

untuk tidak berhaluan nonkooperasi menurut Haji Agus Salim adalah

bahwa kemajuan yang hendak diusahakan ditengah-tengah rakyat, bersama

dengan rakyat dan untuk rakyat itu pada hakikatnya hanya dapat

diusahakan dalam keadaan tertib, aman, dan damai di dalam negeri.20

Perjuangan politik umumnya, dan perjuangan politik umat Islam

khususnya, Di zaman penjajahan Belanda itu menunjukkan suatu

20

(34)

kehidupan politik yang bersemangat dan segar. Pejuang-pejuang politik

bangsa Indonesia bisa menunjukkan kepribadian politiknya dengan

sempurna, dan memperoleh saluran walaupun tak sempurna tetapi sangat

terjamin dengan jelas dalam ketentuan-ketentuan hukum. Bahkan adanya

artikel-artikel yang merupakan ranjau yang ganas bagi pemerintah penjajah

untuk dapat memindah sewaktu-waktu para pejuang politik bangsa

Indonesia, tetap masih cukup memberikan peluang bergerak bagi

pejuang-pejuang politik pada waktu itu untuk mencapai cita-cita mereka. Maka

tidak heran, bahwa suasana dan keadaan seperti itu telah melahirkan

tokoh-tokoh politik yang berbobot dan bernilai. Pemimpin-pemimpin politik

bangsa Indonesia menjadi terlatih dan tergembleng secukupnya, siap kelak

untuk menghasilkan kemerdekaan penuh bagi bangsa dan tanah air

mereka.21

b. Zaman Pendudukan Jepang

Masa pendudukan Jepang di Indonesia berawal dari runtuhnya kekuasaan

Hindia Belanda yang ditandai dengan menyerahnya Gubernur Jenderal Tjarda

van Starkenborg Stachouwer berserta komandan KNIL Letnan Jenderal Hein

Ter poorten kepada Jenderal Hitoshi Imamura tanpa syarat di Kalijati, Jawa

Barat pada tanggal 8 Maret 1942. Jauh sebelum invasi ke Indonesia, Jepang

sudah melakukan penyelidikan-penyelidikan untuk mengetahui keadaan

masyarakat di Indonesia dan bagaimana tanggapan mereka terhadap

21

(35)

pemerintah Hindia Belanda melalui orang-orangnya yang menyamar sebagai

pedagang yang membuka toko-toko di Indonesia.

Berdasarkan penyelidikan tersebut, Jepang mengetahui bagaimana

keadaan rakyat Indonesia yang sudah terlalu kecewa terhadap

pemerintahan Hindia Belanda. Meluapnya perasaan kecewa rakyat

Indonesia terhadap pemerintahan Hindia Belanda memberikan peluang

kepada Jepang untuk melakukan propaganda. Melalui propaganda

tersebut, Jepang menyatakan keinginannya untuk membebaskan rakyat

Indonesia dari penjajahan bangsa Barat. Di samping itu, Jepang

menyatakan bahwa setelah Belanda (bangsa Barat) terusir dari Indonesia

(Asia), Jepang bertekad untuk “memajukan” bangsa Indonesia (Asia)

sehingga mereka setaraf dengan bangsa-bangsa yang telah maju.

Propaganda Jepang memberikan secercah harapan bagi bangsa

Indonesia akan datangnya kesejahteraan dari pemerintah Jepang. Namun,

harapan tinggal harapan, Jepang yang menyatakan dirinya sebagai

“saudara tua” dan sebagai “pembebas” justru melakukan penindasan

dengan kejam, baik secara ekonomis maupun politis.

Secara ekonomis, pemerintah Jepang melakukan perampasan

kekayaan Indonesia untuk menghidupi indusri guna mempertahankan

peperangan. Secara politis, Jepang melakukan penindasan deengan cara

mengeluarkan Undang-undang No. 3 tertanggal 30 Maret 1942 yang

(36)

tentang pergerakan nasional Indonesia, masa depan negara Indonesia,

menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengibarkan sang Merah Putih.

Undang-undang No. 3 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah

Jepang tersebut menimbulkan perubahan terhadap kondisi nasional

Indonesia. Pergerakan nasional yang telah tumbuh pada masa penjajahan

Belanda, khususnya pada abad ke-20, terpaksa mengalami kemunduran,

bahkan kematian ketika pemerintah Jepang menginjakan kakinya ke bumi

pertiwi ini.

Kondisi pergerakan nasional yang kian melemah dirasakan pula

oleh Mohamad Roem. Pergerakan penyadar yang diikutinya turut terkena

peraturan pemerintah Jepang mengenai pembubaran semua partai politik

yang ada pada waktu itu. Saat itu, untuk sementara waktu Mohamad Roem

tidak berkecimpung dalam dunia perpolitikan. Mohamad Roem

melanjutkan praktik sebagai pengacara.

Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, seluruh partai politik

dibubarkan, termasuk Pergerakan Penyadar. Kendati demikian,

pengalaman Mohamd Roem dengan Haji Agus Salim memberikan arah

aktivitas politik Mohamad Roem sebagai perunding dan pejuang

Seiring dengan berjalannya waktu, Jepang yang selalu

membuktikan kekuatan dan keunggulan angkatan perangnya dalam

berbagai pertempuran harus mengalami kenyataan pahit setelah aramada

(37)

pada 7 Mei 1942. Pertempuran itu merupakan titik balik Jepang karena

setelah itu Jepang mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran.

Pada akhir September 1944. Barisan pelopor melatih para pemuda

dengan latihan-latihan militer, walaupun senjata yang digunakan hanya

senapan kayu atau bambu runcing. Mereka juga dikerahkan untuk

mendengarkan pidato dari pemimpin-pemimpin nasionalis, bahkan

dianjurkan kepada mereka agar meneruskan pidato-pidato itu kepada

rekan-rekannya yang tidak hadir. Mereka juga dilatih dengan cara-cara

menggerakan massa rakyat, memperkuatkan pertahanan, dan hal-hal lain

yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat.

Dalam barisan pelopor inilah Mohamad Roem yang semula tidak

aktif dalam dunia perpolitikan mulai terlibat lagi ke panggung politik

Indonesia. Ia diangkat menjadi Kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang

(kampung tempat tinggalnya). Menurut Mohamad Roem,

pengangkatannya berawal dari undangan menjadi anggota Barisan Pelopor

Kampung Kwitang.

Pengalaman yang paling berkesan bagi Mohamad Roem ketika

menjadi kepala Barisan Pelopor Kampung Kwitang adalah ketika ia ikut

serta dalam pekerjaan umum yang dipimpin Soekarno sendiri. Pekerjaan

yang dilakukan ketika itu adalah membuat tanah lapang yang sekarang

menjadi lapangan terbang internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng

Jakarta Barat. Pekerjaan ini dilakukan bersama kelompok Barisan Pelopor

(38)

Selain dalam Barisan Pelopor, Mohamad Roem juga pernah aktif

dalam Barisan Hizbullah (Tentara Allah) yang didirikan pada 14 Oktober

1944. Hizbullah merupakan organisasi khas pemuda Islam yang didukung

oleh pihak Jepang, di samping organisasi lain yang memperoleh latihan

militer seperti keibondan (pertahanan sipil), seinendan (korps pemuda)

yang bisa dimasuki oleh kalangan pemuda Islam.

Keterlibatan Mohamad Roem dalam barisan Hizbullah berakhir

ketika berakhir ketika Masyumi yang didirikan pada masa pendudukan

Jepang dibubarkan berkaitan dengan menyerahnya pemerintah Jepang

pada Sekutu pada 15 Agustus 1945. Dengan demikian, pada awal

pendudukan Jepang di Indonesia, Mohamad Roem yang belum lama lulus

dari Sekolah Tinggi Hukum (1939) lebih banyak mencurahkan waktunya

untuk praktik sebagai pengacara. Ketika Jepang merestui berdirinya

Barisan Pelopor di bawah Jawa Hokokai dan Barisan Hizbullah di bawah

Masyumi, barulah Mohamad Roem aktif kembali dalam dunia pergerakan

nasional Indonesia.22

Segala suasana dan keadaan masyarakat dan kenegaran di

Indonesia (Hindia Belanda), tiba-tiba mengalami perubahan yang terbalik,

sewaktu pecah Perang Pasifik dalam tahun 1942, dan tentara Jepang

menguasai seluruh tanah air Indonesia. Dalam masa pendudukan tantara

Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun berikutnya, kehidupan

politik terhenti sama sekali. Dan pada masa itu terjadi pergeseran tata-nilai

22

(39)

mengenai segala macam masalah Indonesia, yang menyebabkan orang

tidak banyak dapat berbuat atau berkarya. Suasana baru itu, yang sebagian

besarnya belum pernah terbayangkan kejadiannya oleh bangsa kita,

menyebabkan banyak orang menunggu waktu untuk menempatkan diri

atau menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Rupanya demikian pula

tak terkecuali dengan Mohamad Roem, yang praktis tidak kelihatan

menonjol dalam kegiatan dan peranan seperti masa sebelumnya. Keadaan

terselimut dan terdiam itu baru mulai tesingkap kembali, setelah terjadi

proklamasi kemerdekaan Indonesia bulan Agustus 1945.23

2. Sesudah Kemerdekaan

Hari-hari pertama kemerdekaan Indonesia penuh dengan suasana yang

tegang, terutama disebabkan karena tentara pendudukan Jepang dari Perang Dunia

masih utuh ada di sini. Dan tentara Jepang itu menerima tugas sebagai pihak yang

kalah dalam perang, atas nama negara-nagara “Sekutu” sebagai pihak yang

menang, memelihara keadaan keamanan di wilayah Indonesia. Padahal waktu itu

semangat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sudah meluap-luap di

mana-mana, tidak sudi lagi diperintah lagi oleh bangsa asing manapun juga.

Ketegangan tersebut memuncak pada saat dilangsungkan suatu rapat raksasa di

Jakarta Raya, sebagai suatu pembuktian tekad bangsa dan rakyat Indonesia yang

bulat mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara.24

23

Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding, h. 44-45.

24

(40)

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menandai dimulainya babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang terus bergulir seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai negara yang baru merdeka, bangsa Indonesia telah disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perangkat

kenegaraan. Pada hari-hari pertama setelah proklamasi kemerdekaan, kesibukkan ditujukan untuk melengkapi perangkat kenegaraan yang bersifat pokok, seperti memilih presiden dan wakil presiden, menyusun Undang-Undang Dasar, menyusun lembaga perwakilan rakyat darurat, dan disusul dengan membentuk kabinet pertama Republik Indonesia.

Hasil dari kegiatan tersebut adalah diangkatnya Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden yang pertama, disusunnya suatu UUD 1945, dibentuknya suatu Komite Nasioanal Indonesia Pusat yang pertama dan diketuai oleh Mr. Kasman Singodimedjo, serta dibentuknya Kabinet pertama Republik Indonesia yang terrdiri dari 15 orang menteri dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang merupakan Kabinet Presidentil menurut UUD 1945.

Di antara perangkat kenegaraan yang dibentuk oleh bangsa Indonesia yang

baru merdeka itu, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi tempat

pertama bagi Mohamad Roem dalam mengabdikan dirinya untuk kepentingan

bangsa dan negara. KNIP merupakan suatu badan pembantu presiden yang

pembentukannya didasarkan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan untuk membentuk Komite

Nasional di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta. Dalam proses

perkembangan berikut, Komite Nasional Indonesia (KNI) dikembangkan menjadi

KNIP.

Dalam KNIP yang beranggotakan 136 orang, hanya 15 orang yang

termasuk dari kalangan Islam, sedangkan dalam Badan Pekerja hanya 2 orang

yang dapat mewakili kalangan Islam. Mohamad Roem termasuk salah satu dari 15

orang yang berasal dari kalangan Islam. Mohamad Roem kemudian memperoleh

kedudukan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta Raya.

(41)

Walikota Jakarta Raya yang dijabat oleh Suwirjo. Salah satu kerjasama antara

Mohamad Roem dengan Suwirjo dapat dilihat dari peristiwa 19 September 1945,

yakni rapat raksasa di Lapangan Ikada (Lapangan Merdeka).

Selama Masyumi berdiri yakni antara tahun 1945-1960 (kurang dari 15

tahun), Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan Pimpinan Pusat

Masyumi, yakni tahun 1945, 1949, 1951, 1952, 1954, 1956, dan 1959. Selama

tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam Pimpinan Pusat Masyumi. Bila

diurut, kedudukan Mohamad Roem dalam pimpinaan pusat Masyumi adalah

sebagai berikut: periode 1 tahun 1945-1949, Mohamad Roem menjabat sebagai

anggota; periode II tahun 1949-1951, juga duduk sebagai anggota; periode III

tahun 1951-1952, Mohamad Roem menjabat sebagai Wakil Ketua; periode IV

tahun 1952-1954, periode V 1954-1956, dan periode tahun VI tahun 1956-1959

kembali Mohamad Roem menjabat sebagai anggota pimpinan pusat; dan pada

periode terakhir, yaitu periode VII tahun 1959-1960, Mohamad Roem menjabat

sebagai Wakil Ketua III.

Dari Sususan Pengurus Pusat Masyumi tersebut, terlihat bahwa Mohamad

Roem termasuk salah satu anggota Pengurus Pusat Masyumi yang dibentuk dalam

Muktamar pertama tahun 1945 sampai Muktamar terakhir 1959. Selama menjadi

anggota Masyumi, Mohamad Roem banyak terlibat dalam bidang pemerintahan

yang berkali-kali mendudukkannya sebagai menteri dalam berbagai kabinet dan

pernah satu kali menjadi Wakil Perdana Menteri. Mohamad Roem lebih banyak

menyumbangkan tenaganya kepada pemerintah, dan tidak begitu menonjol dalam

(42)

Setelah tidak terlalu lama Masyumi berdiri di Yogyakarta, Mohamad

Roem kembali ke Jakarta untuk menjalankan tugasnya sebagai Ketua KNI Jakarta

Raya. Ketika peristiwa penembakan terhadap Mohamad Roem terjadi (sekitar

November 1945), untuk sementara Mohamad Roem berhenti dari berbagai

kegiatan, termasuk kegiatan Partai Politik Masyumi pada awal berdirinya.

Baru tiga bulan aktif dalam pengurus pusat Masyumi di Yogyakarta,

Mohamad Roem terpaksa melepaskan kembali kepengurusannya karena berkaitan

dengan pengangkatan dirinya sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir III (2

Oktober 1946-27 Juni 1947). Ketika Kabinet Sjahrir III jatuh dan digantikan oleh

Kabinet Amir Sjarifuddin, Mohamad Roem pun ikut duduk dalam kabinet itu

sebagai Menteri Dalam Negeri (11 November 1947-29 Januari 1948). Antara 20

Desember 1949-6 Desember 1950, Mohamad Roem menjabat sebagai Menteri

Negara dalam Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) setelah sebelumnya sibuk

berunding dengan Belanda yang membuahkan pernyataan Roem-Royen dan

KMB.

Antara 6 September 1950-27 April 1951, Mohamad Roem duduk sebagai

Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad Natsir. Ketika Kabinet Natsir

jatuh dan digantikan oleh Kabinet Soekiman (1951-1952), Mohamad Roem tidak

duduk lagi dalam kabinet. Mohamad Roem kembali aktif dalam partai dan

menyiapkan dirinya turun ke daerah-daerah diseluruh Indonesia, menghadiri

konferensi dan rapat-rapat. Pada tahun 1952 Kabinet Soekiman jatuh dan

digantikan oleh Kabinet Wilopo (3 April-30 Juli 1953), dan Mohamad Roem

(43)

Wilopo pun akhirnya jatuh dan digantikan secara berturut-turut adalah Kabinet

Ali Sastroamidjojo I (1953-1955) dan Kabinet Burhanuddin Harahap

(1955-1957). Dalam dua kabinet terakhir tersebut, Mohamad Roem tidak duduk dalam

kabinet, baru setelah Kabinet Burhanuddin Harahap jatuh dan digantikan Kabinet

Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957), Mohamad Roem duduk

kembali dalam kabinet sebagai Wakil Perdana Menteri.

Kedudukan Mohamad Roem dalam bidang pemerintahan berakhir ketika

kabinet ini pun jatuh dan diganti dengan Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli

1959) yang merupakan masa transisi menjelang munculnya Demokrasi Terpimpin

tahun 1956-1966. Mohamad Roem kemudian lebih mencurahkan perhatiannya

terhadap Masyumi sampai partai ini bubar pada 13 September 1960 sehubungan

dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no. 200/1960 tertanggal 17 Agustus

1960.25

Tidaklah mengherankan jika Mohamad Roem, walau menjadi anggota

Masyumi, memutuskan untuk duduk dalam satu kabinet yang tidak didukung oleh

Masyumi. Tidak ada keterangan apakah sikapnya ini menimbulkan ketegangan

antara Mohamad Roem dengan pemimpin Masyumi. Akan tetapi, yang jelas,

sikap inilah yang berlanjut sampai tahun 1968 ketika Mohamad Roem terpilih

menjadi Ketua Umum PMI, atau ketika menerima pencalonannya sebagai anggota

parlemen dalam pemilu 197226.

25 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h. 34-46.

26

(44)

B. Perjuangan Mohamad Roem Dalam Bidang Politik

Faktor yang amat mempengaruhi Mohamad Roem sebagai diplomat dan

perunding bukanlah semata-mata bakat atau warisan ketrampilan yang diperoleh

dari Agus Salim, melainkan bentukan pribadi yang bebas. Dengan bentukan itu,

Mohamad Roem terbebas dari rasa risih untuk bertindak sebagai perunding sebab

waktu itu kelompok-kelompok kekuatan perlawanan terhadap Belanda lebih

menekankan perjuangan fisik daripada perundingan.

Debut pertama diplomasinya berlangsung ketika kekuasaan Republik Indonesia semakin lama semakin tergerogoti. Ketika Mohamad Roem menerima jabatan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III, Mohamad Roem sangat sadar bahwa wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang efektif hanya di yogyakarta dan Aceh. Alasan ini mendorong Mohamad Roem bersedia menjadi anggota delegasi perjanjian Linggarjati, Walau Masyumi, partainya sendiri, menolak perjanjian tersebut.

Perjuangan diplomasi ini merupakan jalan panjang yang mendebarkan

sebab setiap tahap perundingan melahirkan kekeruhan, walau hasil yang dicapai

dapat dijadikan dasar berpijak dalam perudingan selanjutnya. Perundingan pun

merupakan jalan bertahap menuju kemerdekaan. Perundingan Linggarjati

merupakan kelanjutan dari perundingan-perundingan informal lainnya, termasuk

antara Soekarno-Hatta atas desakan Inggris dengan Belanda, atau antara Sjahrir

sebagai perdana menteri dan Dr. Van Mook sebagai Gubernur Jenderal Hindia

Belanda serta Christison wakil dari tentara sekutu. Perundingan Linggarjati yang

lebih dulu diawali dengan praperundingan di Jakarta 7-14 Oktober 1945,

melahirkan gencatan senjata yang memungkinkan pertemuan berikutnya.

Betapa pun perjanjian Linggarjati diliputi kekeruhan, kondisi struktural

mengharuskan perjuangan diplomasi berjalan terus. Serangan Belanda terhadap

(45)

tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menyerukan supaya permusuhan

di Indonesia dihentikan dan diselesaikan dengan satu perantara atau dengan cara

yang lain, perdamaian. Dalam waktu hampir bersamaan dengan tekanan-tekanan

internasional itu, di Indonesia terjadi perubahan-perubahan politik yang

menentukan nasib Mohamad Roem di dunia diplomasi. Kegagalan perjanjian

Linggarjati telah menimbulkan krisis kepemimpinan Sjahrir.

Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin inilah, atas prakarsa KTN, usaha-usaha

perundingan Indonesia-Belanda dilaksanakan kembali. Perundingan ini terjadi

pada tanggal 8 Desember 1947 diatas kapal Renville, yang kemudian dikenal

sebagai perjanjian Renville, dengan Mohamad Roem sebagai anggota.

Keikutusertaan dalam perundingan Linggarjati tetap mengikat Mohamad Roem

untuk terus menekuni bidang ini sampai terjadi krisis Kabinet Amir Sjarifuddin.

Setalah itu dibentuk kabinet baru dibawah pimpinan Hatta. Sekali lagi, Mohamad

Roem dipercaya sebagai ketua delegasi Indonesia untuk perundingan-perundingan

selanjutnya. Kabinet baru ini mencanangkan 4 pasal program: pertama, berunding

dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville; kedua, meningkatkan

pembentukan Indonesia Serikat; ketiga, rasionalisasi tentara dan ekonomi;

keempat, pembangunan fisik akibat kerusakan-kerusakan selama pendudukan

jepang.27

Campur tangan Dewan Keamanan PBB ini melahirkan sebuah panitia jasa-jasa baik yang meskipun tak memiliki wewenang kecuali wewenang moril. Dengan demikian jelas, bahwa persetujuan Renville ini merupakan hasil antara panitia jasa-jasa baik dengan suatu Badan Internasional yang tingkatnya tinggi sekali, yaitu Dewan Keamanan PBB. Kemudian harinya, panitia jasa-baik ini diberi tugas untuk memantau tanpa wewenang yang mengikat pelaksanaan dari persetujuan

27

(46)

Renville ini. Namun demikian, sejarah pun berulang dan nasib persetujuan ini sama saja dengan persetujuan Linggarjati.

Perlu juga diterangkan bahwa sejak Dewan Keamanan PBB membentuk

Panitia Jasa-Jasa Baik, sengketa Indonesia-Belanda ini, di mana perlu, dibicarakan

dalam forum Dewan Keamanan. Dan karena itulah, sampai berakhirnya sengketa

Indonesia dilakukannya penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949,

selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan

sidang mengenai sengketa itu, lebih dari 90 kali.28

Pada tanggal 14 April 1949 mulailah perundingan Belanda-Indonesia

dengan prakarsa Komisi Tiga Negara PBB yang sudah memperoleh kekuasaan

lebih besar dari “Pedoman Kanada” Indonesia diwakili oleh Mohamad Roem,

Belanda diwakili Dr. J.H. Van Royen, dan ketua KTN adalah Cochran. Nada

pidato Van Royen lemah lembut, barangkali untuk menghapuskan kesan negatif

dirinya sewaktu aktif di PBB. Tetapi pidato pembukaan Mohamad Roem sangat

tegas dan keras:

“Agresi Militer Belanda yang kedua telah mengakibatkan hilangnya sama sekali kepercayaan Rakyat Indonesia bagi berhasilnya perundingan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 harus dilaksanakan, dan langkah pertamanya harus berupa pemulihan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Setelah itu baru soal-soal lain bisa dibicarakan kemudian.”29

Perundingan Mohamad Roem-Van Royen yang beberapa kali juga

disaksikan oleh Cochran, ternyata merupakan karya puncak Mohamad Roem

dalam diplomasi. Hasil dari karya diplomat tersebut berupa suatu pernyataan Van

Royen dan Mohamad Roem, yang merupakan dokumen bersejarah yang penting

bagi kelanjutan tegaknya Republik Indonesia. Dengan demikian dokumen

28

Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 7-8.

29

(47)

Royen menempati kedudukan yang khas yang dikenal oleh seluruh dunia. Ini pula

telah menempatkan Mohamad Roem dalam deretan nama-nama diplomat dunia

dengan hasil karya yang senafas dengan sebutan namanya pribadi.30

Mengenai persetujuan Roem-Royen, Mohamad Roem dalam wawancara

yang diberikan kepada Alastrair Taylor menjelaskan sebagai berikut:

“perundingan-perundingan itu didasarkan atas Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949, yang sebagian terbesarnya sesungguhnya ditolak oleh Belanda. Belanda menandinginya dengan Rencana Beel dan usul Konferensi Meja Bundar. Kami berpendapat, kalau kami menerima hal itu berarti kami tidak memiliki dukungan apa-apa di belakang kami pada saat memasuki ruang konferensi tersebut, dan kami hanya tampil sebagai perorangan saja. Selalu menjadi pendirian kami untuk menerima sesuatu usul yang isinya tidak seluruhnya buruk walaupun misalnya Belanda tidak menolak Resolusi 28 Januari 1949 tersebut. Maka kami berkata: kami hanya bersedia datang ke Konferensi Meja Bundar sebagai Republik Indonesia, dan kami hanya mau berangkat dari Yogyakarta, bukan dari Bangka. Hasilnya adalah suatu kemacetan.”31

Konferensi Meja Bundar di Den Haaq, yang sudah disetujui oleh kedua

pihak dalam pernyatan Roem-Royen, dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 dan

selesai pada tanggal 2 November 1949. Pada saat itu Republik Indonesia sudah

merasa sangat terkejar waktu, sebab tetap ingin melaksanakan cita-cita lama yaitu

mencapai Indonesia berdaulat dan merdeka selambat-lambatnya pada I Januari

1950, seperti pernah tercantum dalam persetujuan Linggarjati. Cita-cita

tersebut ternyata dapat dikejar, karena pada tanggal 27 Desenber 1949, jadi

sebelum batas akhir waktumya yaitu pada tanggal 1 Januari 1950, pada saat

bersamaan, di Amsterdam dan di Jakarta berlangsung upacara penyerahan dan

30

Ibid., h.154.

31

(48)

pengakuan kedaulatan kepada Negara Republik Indonesia Serikat, di Amsterdam

pada jam 10.00 dan di Jakarta pada jam 17.00.32

Ketika Demokrasi Terpimpin dibawah rezim Soekarno tumbang dan

diganti oleh Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, umat Islam

menginginkan terbentuknya kembali wadah baru bagi mereka sebagai pengganti

Masyumi yang telah bubar saat masa pemerintahan Soekarno. Umat Islam zaman

Orba akhirnya di bawah Badan Koordinasi Amal Muslimin membentuk “panitia

Tujuh” untuk melahirkan suatu partai baru. Ketujuh panitia anggota tersebut ialah

Fakih Usman, Anwar Harjono, Agus Sudono, Ny. Sjamsuridjal, Hasan Baru, E. Z.

Muttaqien, dan Marzuki Jatim.33

Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto pada

awalnya memberikan harapan baru bagi tegaknya keadilan dan kebenaran di

negeri kita. Hukum memperoleh udara segar kembali untuk ditegakkan, dan

demokrasi mendapat siraman semangat yang mengairahkan. “Waktu itulah

umumnya kaum politisi memberikan tafsiran, bahwa lembaran kehidupan

politik dan kenegaraan baru akan benar-benar dimulai”.34

Mohamad Roem dengan tekun mengikuti permasalahan dan sewaktu-

waktu memberikan tanggapan dan komentarnya secara tertulis, dimuat dalam

surat kabar atau majalah atau diterbitkan sendiri dalam bentuk brosur. Sampai pun

pada pemilihan umum yang ke-II dalam pemerintahan Presiden Soeharto, masih

banyak hal-hal yang tidak wajar berlaku didalamnya. Oleh karena itu sikap

32

Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak perjuangan RI, h. 14.

33

Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h. 46.

34

(49)

Mohamad Roem terhadap pemilihan umum tanggal 2 Mei 1977, tidak berbeda

dengan sikapnya terhadap pemilihan umum tahun 1971. Sikap itu adalah tidak

berselera.35

Kemampuan Mohamad Roem sebagai diplomat tidak hanya kedekatannya

dengan Haji Agus Salim, tetapi juga karena pengaruh pendidikannya di bidang

hukum. Gelar Sarjana Hukum yang berhasil diraihnya terbukti mampu

mendukung kemampuan Mohamad Roem dalam berdiplomasi. Hal ini bisa dilihat

dari kejeliannya dalam mengkaji kata demi kata yang sudah dituangkan dalam

naskah perundingan. Dari penelaahan tersebut, Mohamad Roem bisa melihat

apakah kalimat-kalimat dalam naskah perundingan yang belum ditandatangani itu

bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda atau tidak.

Selain faktor pengalaman pendidikan, ada satu faktor lagi yang ikut

mendukung kemampuannya, yaitu keyakinan yang mendalam akan ajaran agama

Islam yang dipeluknya. Islam dijadikan dasar dalam segala hal, sebab faktor

demokrasi dan hak asasi manusia dalam Islam dijunjung tinggi mengingat Islam

sendiri memandang kedudukan manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, yang

membedakan hanyalah ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan berlandaskan

keimanan yang kuat, Mohamad Roem sangat gigih mempertahankan segala

sesuatu yang dianggapnya benar dan adil. Mohamad Roem berpendapat bahwa

sesuatu yang benar dan adil bila diperjuangkan dengan gigih, cepat atau lambat

akan memperoleh kemenangan.

35

Referensi

Dokumen terkait

Walau pun wartawan warga bebas menyuarakan pendapat atas talian, tetapi sebagai golongan yang menyampaikan berita dan berkongsi maklumat dengan individu lain, wartawan

Sesuai dengan amanat Pasal 28 dan 28J UUD 1945, Indonesia telah memiliki aturan yang memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan berpendapat dalam konteks pelaksanaan

Kementerian Kesehatan RI (2014) menyatakan bahwa Lauk pauk terdiri dari pangan sumber protein hewani dan pangan sumber protein nabati. Kelompok Pangan lauk pauk sumber

Penguatan jurnal Biology, Medicine, & Natural Product Chemistry telah dilakukan dan kemungkinan dapat meningkatkan kualitas jurnal, baik dari segi kualitas

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas tampung padang penggembalaan alam di kawasan penelitian yaitu melalui introduksi legum ramban seperti Siratro,

BAB pertama buku ini membahas realita yang diperoleh dari hasil studi lapangan mengenai pelaksanaan dan kendala yang dihadapi oleh beberapa pemerintah daerah dalam penerapan

Untuk membedakan contoh permasalahan konteks orde ketiga dan kedua secara sederhana yaitu pada orde ketiga siswa belum mengetahui model matematika apa yang dapat digunakan

Merah Putih di Puncak Denali UNAIR NEWS – Setelah melewati perjalanan selama hampir 12 jam, tim atlet Airlangga Indonesia Denali Expedition (AIDeX) Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta