• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam S"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia

pada Masa Kolonial

Oleh: Baha` Uddin

A. Pengantar

Berbeda dengan bidang ekonomi dan politik, ketika pemerintah Hindia Belanda mempunyai desain dan arah yang cukup jelas serta terstruktur, yang tercermin pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik kolonial, pada aspek kesehatan hampir sebagian besar kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda didasarkan pada peristiwa yang bersifat insidentil dan tidak terencana. Hal ini semakin meyakinkan bahwa sebenarnya pemerintah kolonial tidak berniat memberi akses pelayanan kesehatan (modern) kepada masyarakat pribumi. Sebaliknya sejak masa VOC sampai paruh kedua abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda dengan sengaja membiarkan masyarakat pribumi untuk menggunakan jasa dukun dan tabib dalam mencari solusi untuk kesehatannya, sedangkan pada sisi yg lain dalam waktu bersamaan di Indonesia pada waktu itu kalangan Eropa sudah mendapatkan pelayanan medis yang bersifat modern.

Pada masa VOC, para surgeon (ahli bedah) yang dibawa dari Belanda dikhususkan untuk kepentingan perang dan pendukung kesehatan tentaranya. Kebijakan ini kemudian juga dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun melihat kualifikasi golongan orang-orang yang direkrut untuk menjadi surgeon bagi kepentingan militer VOC, sepertinya kebijakan ini juga tidak lebih hanya sebagai pelengkap pasukan militer. Pada akhir abad ke-18 VOC telah menyertakan surgeon dalam pasukan militernya yang direkrut dari para tukang cukur, tukang patri, dan pengebiri babi.1

Sebelum kedatangan para dokter, sampai menjelang pertengahan abad ke-19 para surgeon inilah yang menangani kesehatan orang-orang Eropa dan terutama kalangan militernya. Ketika Militaire Geneeskundige Dienst (MGD) dibentuk pada masa pemerintahan Daendels, terdapat 3 klasifikasi surgeon yang bekerja pada lembaga tersebut. Tingkat paling rendah adalah surgeon yang masih dalam status magang atau pegawai kesehatan kelas tiga. Kemudian tingkat menengah ditempati oleh para asisten surgeon atau pegawai kesehatan kelas dua, sedangkan tingkat yang paling atas ditempati oleh para surgeon utama atau pegawai kesehatan kelas satu.2

Secara keseluruhan, jumlah surgeon yang dipekerjakan di MGD pada masa Daendels ini sejumlah 81 surgeon.

1 A.H.M. Kerkhoff, “The Organization of the Military and Civil Medical Service in the Nineteenth Century”, dalam A.M. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi, 1989), hlm. 9.

(2)

Para dokter Belanda yang mendapatkan pendidikan di Belanda, mulai berperan dalam bidang kesehatan di Indonesia pada masa kolonial terutama ketika dibentuk lembaga baru yaitu Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) pada tahun 1820. Sebagaimana keberadaan lembaga kesehatan pada waktu itu, maka pada waktu itu juga terdapat dokter militer dan dokter sipil. Para dokter Belanda pada waktu itu lebih memilih sebagai pegawai (dokter) pemerintah jika dibandingkan menjadi pegawai swasta dan membuka praktek sendiri. Status itu lebih banyak dipilih oleh para dokter dengan pertimbangan kesejahteraan mereka lebih layak ketika menjadi pegawai pemerintah jika dibandingkan membuka praktek sendiri.

Sampai pertengahan abad ke-19, praktis pelayanan kesehatan modern di Indonesia mutlak milik orang Eropa terutama kalangan militer. Masyarakat pribumi baru mulai berperan dalam pelayanan kesehatan ketika pemerintah Belanda menyadari keterbatasan sumber daya manusia medis yang dimilikinya. Kondisi tersebut paling tidak terjadi pada dua keadaan, pertama pada suatu kondisi ketika terjadi wabah suatu penyakit di daerah tertentu yang membutuhkan penanganan cepat sedangkan dokter yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Kedua mobilisasi dokter Belanda sangat terbatas di daerah perkotaan saja sedangkan biasanya sebagian besar wabah penyakit terjadi di wilayah pedesaan. Oleh karena itulah untuk pemerintah Hindia Belanda dengan terpaksa membuat kebijakan untuk mencetak profesi baru di kalangan masyarakat pribumi dalam bidang kesehatan yaitu Dokter Jawa dan mantri kesehatan. Jika Dokter Jawa harus dicetak melalui pendidikan formal sedangkan mantri kesehatan cukup dengan pelatihan-pelatihan khusus sesuai dengan bidang penyakit atau aspek kesehatan lain yang menjadi tanggung jawabnya.

Tulisan singkat ini mencoba untuk mendiskripsikan sisi lain kesehatan masyarakat Indonesia pada masa kolonial dengan menyoroti dinamika kehidupan dua profesi baru tersebut karena menurut penulis sebenarnya tingkat keberhasilan kebijakan kesehatan pemerintah kolonial Belanda, terutama dalam propaganda kesehatan dan pengendalian wabah penyakit-penyakit tropis, sangat tergantung dengan dua golongan masyarakat pribumi ini. Hal itu disebabkan oleh kedudukan dan posisi sosio-kultural mereka dalam masyarakat yang tidak dimiliki oleh dokter Belanda. Walaupun Dokter Jawa dalam historiografi Indonesia lebih populer kiprahnya dalam perluasan ide-ide dan gerakan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20 dibandingkan dengan tugasnya pada pelayanan medis namun keberadaanya sangat berarti bagi masyarakat pribumi terutama dalam memperluas akses pelayanan kesehatan. Sementara keberadaan mantri kesehatan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan pada masa kolonial baik yang bersifat promotif, preventif, dan terutama pengendalian wabah penyakit di wilayah tertentu.

B. Sekolah Dokter Jawa: Mencetak Profesi Baru

(3)

1. Pandangan pemerintah Hindia Belanda terhadap keberadaan dukun di masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat negatif. Dalam kasus epidemi, keberadaan dukun bahkan sama sekali tidak bisa diandalkan.3

2. Munculnya berbagai wabah penyakit, terutama wabah penyakit cacar di perkebunan Belanda di Banyumas Jawa Tengah pada tahun 1847.4

Dokter-dokter Belanda yang ditugaskan untuk melakukan pemberantasan wabah cacar di daerah itu, karena keterbatasan jumlahnya, merasa tidak sanggup untuk menanggulangi keganasan penyakit itu yang menjangkiti mayoritas buruh di perkebunan itu. Peristiwa itu kemudian menyadarkan pemerintah Hindia Belanda, bahwa kepentingannya untuk membatasi akses pelayanan pengobatan modern yang hanya diperbolehkan untuk kalangan masyarakat Belanda (Eropa) dan kalangan militer saja dalam konteks ini gagal. Pemerintah Hindia Belanda dengan terpaksa mengobati para buruh yang notabene adalah orang pribumi dari keganasan penyakit cacar karena untuk melindungi kepentingan ekonominya yaitu perkebunan.

Dengan mengobati para buruh perkebunan dari serangan penyakit cacar maka kerugian perusahaan dapat teratasi karena roda produksi bisa berjalan seperti sedia kala. Sehingga sebenarnya perhatian pemilik perkebunan swasta terhadap kesehatan para buruh belum bisa dilihat sebagai tanggung jawab sosial, namun lebih pada kepentingan ekonominya semata. Pada beberapa kasus yang lain seperti di beberapa perkebunan di Sumatera Timur, pengobatan yang dilakukan terhadap para buruh lebih didorong motif untuk melindungi golongan Eropa dari kemungkinan tertularinya penyakit dibandingkan motif untuk menyembuhkan para buruh dari penyakit yang dideritanya.

Kedua aspek tersebut diatas kemudian mendorong para pejabat yang bertugas di Militaire Geneeskundige Dienst (MGD) dan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ketidakseimbangan tenaga medis yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itulah kemudian muncul gagasan untuk memanfaatkan penduduk pribumi untuk membantu dibidang kesehatan. Sebenarnya ide seperti ini bukan hal yang baru karena pada awal abad ke-19, penduduk pribumi sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah kolonial dalam menangani masalah-masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai mantri cacar atau juru cacar (vaccinateur).5

Namun untuk ide mendidik penduduk pribumi dengan pendidikan formal kesehatan memang baru muncul pada pertengahan abad ke-19 ini.

3Liesbeth Hesselink, Genezers op de koloniale markt: Inheemse dokters en vroedvrouwen in Nederlandsch oost-indië,1850-1915, (Amsterdam, Amsterdam University Press, 2009), hlm. 85-86.

4 Slamet Riyadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Dasar-dasar dan sejarah

(4)

Peristiwa wabah penyakit cacar di Banyumas itu kemudian menjadi tonggak penting bagi perkembangan dunia kesehatan dan juga kedokteran di Indonesia, tidak hanya pada masa kolonial namun juga sampai sekarang. Peristiwa itulah yang mendorong pemerintah kolonial untuk membuka pendidikan dokter pertama di Indonesia yang disebut dengan Sekolah Dokter Jawa atau Dokter Jawa School. Dengan menggunakan dasar hukum Gouvernements Besluit no. 22 tahun 1849, sekolah yang dikhususkan untuk mendidik dokter dari kalangan pribumi ini resmi didirikan pada tanggal 1 Januari 1851 atas prakarasa Dr. William Bosch, kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer). Sementara untuk mengelolanya diangkat Dr. P. Bleeker sebagai direktur dengan dibantu 2 orang koleganya sebagai guru pada periode awal ini.

Bosch sangat paham mengenai permasalahan dan kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia pada masa kolonial karena sampai pada pertengahan abad ke-19 sudah bertugas di Jawa kurang lebih 25 tahun. Sehingga prakarsanya untuk mendirikan sekolah Dokter Jawa ini tentu sudah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Dalam pandangan Bosch pengetahuan medis (modern) di kalangan orang Jawa sangat rendah, bahkan pada golongan pribumi yang bangsawan. Oleh karena itu beberapa diantara mereka kemudian justru menggunakan jasa dokter Eropa. Selain itu, jasa dukun sangat sedikit digunakan pada kasus epidemi hal itu terbukti pada kasus epidemi cacar di Banyumas, Jawa Tengah. Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1847, Bosch mengajukan “proposal” kepada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen untuk mengadakan pendidikan kedokteran Barat kepada penduduk pribumi.

Sekolah yang berlokasi di Weltevreden, Batavia, ini merancang kurikulum pendidikannya selama 2 tahun. Mata pelajaran pada tahun pertama siswa diharuskan mempelajari pelajaran Fisika, Kimia, Geologi, Botani dan Zoologi, serta melakukan analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, pelajaran yang diajarkan adalah ilmu bedah, latihan membedah mayat, Patologi, Anatomi Patologis, material medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik.6

Setelah lulus para siswanya kemudian mendapatkan gelar Dokter Jawa. Sampai pada tahap perkembangan ini sebenarnya yang dicetak oleh pemerintah kolonial melalui pendidikan ini bukanlah murni seorang dokter, melainkan pembantu dokter Eropa (hulp geneesher). Hal itu terbukti ketika sekolah ini mulai meluluskan para muridnya yang kemudian diberi tugas sebagai pembantu dokter bahkan ada lulusannya yang kemudian diberi tugas sebagai mantri cacar. Kebijakan penugasan lulusan Sekolah Dokter Jawa ini bahkan ditetapkan melalui Gubernements Besluit no. 10 tanggal 5 Juni 1853 yang menyatakan bahwa lulusan sekolah ini diberi gelar Dokter Jawa dan kemudian dipekerjakan sebagai mantri cacar.

Hasil lulusan sekolah pada tahap awal ini dan kemudian penempatan para lulusannya yang tidak sesuai dengan ide awal pendirian sekolah kemudian menimbulkan perdebatan dikalangan para dokter Belanda. Inti permasalahan perdebatan terletak pada

5 D. Schoute, De Geneeskundige in Nederlandsche-Indie gedurende de negentiende eeuw, (Weltevreden: DVG, 1934), hlm. 250.

(5)

rasa kurang puas atas hasil pendidikan dokter yang lulusannya “hanya” dijadikan sebagai mantri cacar, sebuah profesi paramedis pada masa itu hanya dihasilkan cukup melalui pelatihan. Permasalahan kedua, adalah mengenai perlu tidaknya ditingkatkannya kompetensi pendidikan sekolah dokter ini. Jika memang perlu ditingkatkan maka konsekuensinya adalah harus menambah lama pendidikan menjadi 3 tahun.

Menghadapi permasalahan tersebut, sikap dan pendapat dari kalangan dokter Belanda terbelah menjadi 2 kelompok. Kelompok orang-orang Belanda yang progresif menaruh simpati terhadap pendidikan Dokter Jawa berpendapat bahwa untuk lebih meningkatkan keahlian lulusan Sekolah Dokter Jawa mutlak harus dilakukan perubahan kurikulum yaitu dengan menambah lama studi menjadi 3 tahun. Dengan penambahan lama studi menjadi 3 tahun, mereka beranggapan para lulusannya sudah dapat berdiri sendiri dalam menjalankan prakteknya, sehingga diharapkan benar-benar dapat membantu dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, terutama dalam pengendalian wabah penyakit. Dalam konteks ini, para lulusan cukup diawasi oleh para dokter Belanda dan pemerintah daerah setempat, lokasi para Dokter Jawa bertugas. Pemikiran kelompok ini diilhami oleh model yang dikembangkan dunia kedokteran di Belanda, dan mereka berharap bisa menerapkannya dalam sekolah Dokter Jawa.

Sementara kelompok yang tidak setuju menentang usulan diatas. Mereka berpendapat bahwa jika kompetensi sekolah Dokter Jawa ditingkatkan maka secara tidak langsung lulusannya nanti akan menggeser peran dan kedudukan para dokter Belanda. Lebih lanjut, kelompok kedua ini berpendapat bahwa pendidikan dokter untuk kalangan pribumi memang tidak seharusnya sama dengan pendidikan dokter yang diterima oleh mereka di Belanda. Polemik mengenai perlu tidaknya ditambah masa studi pendidikan untuk Dokter Jawa memakan waktu yang lumayan lama. Sampai akhirnya pada tahun 1863 ketika Kepala MGD dijabat oleh Dr G. Wassink lama studi pendidikan Dokter Jawa diperpanjang menjadi 3 tahun. Perubahan ini membawa konsekuensi pada persyaratan siswa masuk yang lebih diperketat.

Selain itu perubahan kurikulum pendidikan Dokter Jawa itu juga berdampak pada kewenangan para lulusannya yang bisa mandiri menjadi dokter walaupun berada dalam pengawasan. Tentu saja perubahan ini disambut gembira oleh para lulusannya jika dibandingkan dengan pada periode sebelumnya yang hanya berperan sebagai pembantu dokter atau mantri cacar. Perubahan lama studi ini juga meningkatkan status kepegawaian mereka yang diangkat menjadi pegawai rendah pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian para Dokter Jawa berhak atas gaji karena sebelumnya mereka hanya menerima uang saku saja dari pemerintah.

(6)

mempunyai kemampuan untuk menyuntik maka dianggapnya sudah cukup dan tidak perlu melakukan perubahan pada kurikulumnya.

Kekhawatiran golongan konservatif pada akhir abad ke-19 itu sebenarnya sangat beralasan karena dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan komunikasi serta pemahaman kultural yang sangat baik dengan semua lapisan masyarakat pribumi, Dokter Jawa sangat mudah melakukan gerakan-gerakan politik dengan memanfaatkan profesinya.7

Sementara golongan moderat yang simpati terhadap pengembangan pendidikan dokter di Hindia Belanda tetap bertahan pada pendapatnya bahwa penambahan lama studi itu harus dilakukan karena hal tersebut merupakan kebijakan yang mulia yaitu berhubungan dengan masalah tugas-tugas kemanusiaan.

Berkat adanya kritikan yang tajam dan dilakukan secara terus menerus serta didukung oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa pada saat itu, Dr. J.J.W.E. van Riemsdyk, yang merasa belum puas dengan kemampuan Dokter Jawa dengan kurikulum 3 tahun. Pada 1875 pemerintah Hindia Belanda akhirnya melakukan perubahan besar dalam perkembangan pendidikan dokter di Indonesia yaitu mengubah kurikulum dengan menambah lama studi dari 3 tahun menjadi 7 tahun dengan perincian 2 tahun awal sebagai pendidikan persiapan dan 5 tahun untuk pendidikan ilmu kedokteran. Jika pada kurikulum sebelumnya bahasa pengantar dalam pendidikan adalah Bahasa Melayu, pada kurikulum yang baru ini bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Belanda.

Penggunaan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar merupakan kebijakan yang dipaksakan karena dalam prakteknya siswa yang rata-rata berusia 14 – 18 tahun itu sama sekali belum menguasai bahasa Belanda. Walaupun pada 2 tahun pertama mereka diwajibkan untuk belajar bahasa Belanda namun menjelang ujian untuk masuk pada tahap pendidikan kedokteran hanya 20% siswa yang dinyatakan lulus dan berhak melanjutkan ke bagian medis pada periode 1876 – 1880.

Pada tahun 1881 dilakukan perubahan kurikulum lagi dengan menambah lama studi dibagian persiapan dari 2 tahun menjadi 3 tahun, sehingga total lama pendidikan menjadi 8 tahun (3 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian ilmu kedokteran). Perubahan kurikulum ini kemudian diikuti juga perubahan syarat masuk siswanya. Sejak tahun 1890 para calon siswa yang akan masuk Sekolah Dokter Jawa diharuskan lulus sekolah dasar Belanda atau ELS (Europeesche Lagere School).8

Setelah sebelumnya sempat berganti nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen, pada tahun 1898 Sekolah Dokter Jawa diubah namanya menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).9

Perubahan ini juga berdampak pada gelar lulusannya yang tidak lagi bergelar Dokter Jawa melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi).10

7 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: Pergerakan Nasional dari Kolonialisme

sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 100-106.

8 D. Schoute, loc.cit.

(7)

Perbaikan pendidikan kedokteran di Indonesia belum berhenti ketika nama sekolahnya sudah berubah menjadi STOVIA. Pada tahun 1902 terjadi penambahan lama studi terutama pada bagian ilmu kedokterannya yang semula 5 tahun ditingkatkan menjadi 6 tahun sehingga total lama studi di STOVIA menjadi 9 tahun (3 tahun dibagian persiapan dan 6 tahun dibagian ilmu kedokteran). Bersamaan dengan perubahan kurikulum ini, pada tahun yang sama atas prakarasa direktur Dr. H.F. Roll gedung baru STOVIA dibuka di Hospitaalweg. Diharapkan dengan lama pendidikan 9 tahun maka kemampuan lulusannya akan semakin sempurna karena bidang kebidanan dan forensik juga dimasukkan dalam kurikulum ini. Harapan itu banyak datang dari kalangan pengusaha swasta pada waktu itu, terutama para pengusaha perkebunan di Deli, Sumatera Timur yang sangat membutuhkan tenaga dokter pribumi untuk melayani kesehatan para kuli perkebunan. Bagi mereka, dokter pribumi lulusan STOVIA ini merupakan solusi bagi permasalahan kesehatan para kuli di perusahaannya ketika mereka tidak bisa menjangkau gaji yang diminta oleh para dokter Eropa.

Penyempurnaan pendidikan kedokteran di STOVIA dilakukan lagi, pada tahun 1913 lama studi ditambah menjadi 10 tahun yaitu dengan menambah lama studi bagian ilmu kedokteran dari 6 tahun menjadi 7 tahun. Seiring dengan perubahan kurikulum itu juga dilakukan perubahan pada gelar lulusan dari Inlandsche Artsen menjadi Indische Artsen. Selain itu sekolah kedokteran ini semakin terbuka dalam menerima siswanya karena mulai waktu itu STOVIA juga menerima siswa dari etnis Tionghoa dan orang-orang Belanda. Keterbukaan penerimaan siswa ini merupakan desakan dari Indo Europeesche Verbond (IEV), sebuah perkumpulan peranakan Belanda, yang menuntut bahwa golongan masyarakat lain juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di STOVIA, tidak hanya pribumi saja.

Pada tahun yang sama Sekolah Dokter kedua didirikan di Surabaya berdasarkan Keputusan Pemerintah "Besluit van de Gouverneur General van Nederlansch Indie van 8 Mei 1913 No. 4211" dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Tujuan didirikannya NIAS ini adalah menghasilkan dokter-dokter yang langsung dapat bekerja di kalangan masyarakat desa dan dapat memberikan pertolongan praktis dengan pengetahuan cukup serta dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah dokter di Surabaya ini diresmikan pada tanggal 15 September 1913 di Jalan Kedungdoro No. 38 Surabaya. Ciri khas pendidikan dokter di Surabaya (NIAS) adalah aspek kemasyarakatannya. Kurikulum NIAS disesuaikan dengan kurikulum STOVIA, dengan masa pendidikan 10 tahun, yaitu 3 tahun bagian persiapan dan 7 tahun bagian kedokteran. Seperti halnya di STOVIA, siswa yang diterima adalah lulusan sekolah dasar Belanda (ELS), dan terbuka untuk semua etnis dan golongan baik pribumi, Arab, Tionghoa, maupun Belanda.

Pendidikan di STOVIA dan NIAS semakin baik ketika di kedua lembaga tersebut kemudian melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya. Pada tahun 1919, stadverband11

10 A. de Waart, “Het Indisch Geneeskundige Onderwijs in de laatse 25 jaren” dalam

Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift Nederlandsch Indie 1936, hlm. 247.

(8)

yang ada di Batavia dikembangkan menjadi rumah sakit pusat yang disebut dengan Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) yang kemudian menjadi rumah sakit pendidikan bagi STOVIA. Setahun kemudian gedung pendidikan kedokteran di Salemba 6 selesai dibangun dan seluruh fasilitas pendidikan STOVIA kemudian dipindahkan ke Salemba 6. Sementara di Surabaya pada tahun 1923 gedung baru NIAS selesai dibangun dan kemudian menjadi pusat aktivitas pendidikannya, pada periode yang sama Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen yang ada di Surabaya juga dijadikan sebagai rumah sakit pendidikan bagi NIAS.

Mulai tahun 1924, baik di STOVIA maupun NIAS, syarat penerimaan siswa dilakukan perubahan. Jika sebelumnya kedua sekolah itu hanya mensyaratkan siswanya lulusan sekolah dasar Belanda atau ELS maka sejak waktu itu siswa yang akan masuk STOVIA dan NIAS harus sudah lulus Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama. Oleh karena itu lama studi kemudian dipersingkat menjadi 8,5 tahun dengan meniadakan bagian persiapan. Atas perjuangan para dokter pribumi dan juga direktur dan para mantan direktur STOVIA, pada tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk menggantikan STOVIA. Perubahan STOVIA menjadi GHS tertuang dalam Staatsblad Van Nederlansch Indie tahun 1924, No. 456. Praktis sejak tahun itu STOVIA tidak menerima siswa lagi dan hanya menyelesaikan pendidikan bagi para siswanya yang sudah ada. Siswa yang duduk pada tingkat rendah diberi kesempatan untuk pindah ke AMS (Algeemen Midelbaar School) atau ke NIAS Surabaya, sedangkan siswa yang duduk pada tingkat tinggi dapat menyelesaikan studi di Batavia, disamping GHS. Tercatat, sebagai lulusan terakhir dari STOVIA adalah dr. Sanjoto yang lulus pada tahun 1934.12

Pendirian GHS ini tidak lepas dari perjuangan Ikatan Dokter Pribumi (Indische Artsen Bond), terutama dr. Abdul Rivai dan teman-temannya sesama Dokter Jawa. Ide untuk mendirikan sekolah tinggi dalam bidang kedokteran di Indonesia pertama kali dilontarkan oleh dr. Abdul Rivai dimuka sidang Volksraad pada tahun 1918. Pada forum itu dr. Abdul Rivai mengusulkan perlu diselenggarakannya sebuah pendidikan yang bersifat universiter di Indonesia. Untuk menindaklanjuti gagasan ini, kemudian dibentuklah sebuah “Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran”. Dari pihak Indische Artsen Bond yang duduk di kepanitian itu antara lain, J. Kajadoe, Abdoel Rasjid, dan R. Soetomo. Hasil laporan panitia ini berkesimpulan bahwa dokter yang diluluskan dari lembaga pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia pada waktu itu belum memenuhi tuntutan kemampuan dokter sebagaimana yang ada di luar negeri, oleh karena itu mendesak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk secepatnya mendirikan sebuah sekolah tinggi dalam bidang kedokteran di Indonesia. Laporan itu oleh panitia sudah diserahkan kepada

Ketiga stadverband inilah yang kemudian pada awal abad ke-20 dikembangkan menjadi Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) atau rumah sakit umum pusat. Lihat D. Schoute, Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies during three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) (Batavia: G. Kolff & Co., 1937), hlm 163.

(9)

pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 namun baru lima tahun kemudian Sekolah Tinggi Kedokteran didirikan di Indonesia. Atas perjuangan para dokter pribumi yang tergabung dalam Indische Artsen Bond status ijasah GHS akhirnya disamakan dengan ijasah fakultas-fakultas kedokteran universitas yang ada di Belanda.13

Selain adanya faktor desakan dan tuntutan dari para dokter pribumi, terdapat 2 faktor yang sangat mendukung terjadinya perkembangan dari STOVIA menjadi GHS yaitu keberadaan lembaga-lembaga penelitian kedokteran dan tersedianya rumah sakit pendidikan. Keberadaan lembaga penelitian kedokteran sangat menguntungkan karena selain menghasilkan karya-karya yang langsung dapat diterapkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan juga mengembangkan iklim ilmiah yang dibutuhkan oleh sebuah pendidikan tinggi. Sampai pada awal abad ke-20, terdapat 2 lembaga penelitian kedokteran di Indonesia yang sangat terkenal yaitu Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie di Batavia yang kemudian diubah namanya menjadi Eijkman Instituut pada tahun 1938,14

dan Centrale Laboratorium di Medan.15

Penerimaan mahasiswa GHS sangat berbeda dengan STOVIA. Di antara beberapa persyaratannya antara lain bahwa siswa harus lulusan HBS (Hoogere Burger School) bagian B dan lulusan AMS (Algeemen Midelbaar School). Calon mahasiswa yang bebas ujian masuk adalah lulusan diploma Akademi Militer di Breda dan Institute Maritim di Willemsoord. Lulusan STOVIA bisa langsung melanjutkan ke GHS dan duduk pada tingkat pertama. Perbedaan yang jelas antara STOVIA dan GHS juga terlihat pada aspek pembiayaan, jika di STOVIA pemerintah Hindia Belanda memberi beasiswa kepada siswanya, namun di GHS mahasiswa harus membiayai sendiri biaya kuliahnya.

Pembiayaan pendidikan di STOVIA memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah kolonial dengan memberi beasiswa kepada semua siswanya. Hanafiah menceritakan bahwa setiap pelajar menerima uang saku sebesar 15 gulden/bulan dan mendapatkan tambahan 2,5 gulden setiap tiga tahun hingga akhirnya 20 gulden/bulan. Biaya sebesar itu digunakan untuk ongkos makan dan untuk memenuhi kebutuhan harian seorang pelajar. Sementara Soemohamidjojo menyatakan bahwa beasiswa yang diterima oleh seorang siswa di STOVIA adalah sebesar 8 - 20 gulden/bulan, hampir dua kali lipat dari yang diterima oleh seorang magang yang bekerja sebagai juru tulis.16

13Ibid., hlm. 45.

14 Atas saran Commissie Beri-beri, pada 1888 didirikan Laboratorium voor Pathologische

Anatomie en Bacteriologie (Laboratorium Anatomi Patologi dan Bakteriologi) di bangsal Rumah Sakit Pusat Militer di Weltevreden, yang kemudian menjadi Geneeskundige Laboratorium

(Laboratorium Kesehatan) pada 1901. Untuk menghormati Eijkman, atas izin keluarganya pada 1938 nama laboratorium resmi diganti menjadi Eijkman Instituut. Centraal Laboratorium van den Dienst der Volksgezondheid. A.A. Loedin, “Pengungkapan Misteri Penyakit Beri-beri” dalam

Tempo, Edisi Mei 2002.

15 Departemen Kesehatan RI, Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH: Selayang Pandang

(10)

Dalam kurikulum GHS dengan tegas dinyatakan bahwa sama dengan kurikulum sekolah-sekolah kedokteran di negeri Belanda, baik dalam pelaksanaan maupun persyaratan yang harus dipenuhi calon yang akan menempuh ujian. Begitu juga dengan kedudukan lulusannya mempunyai wewenang yang sama antara dokter lulusan GHS dengan dokter lulusan universitas di Belanda. Lulusan GHS bergelar Artsen, mempunyai hak dan wewenang yang sama dengan dokter-dokter di Belanda, dan dapat mempraktekkan semua ilmu yang telah diperolehnya baik dalam negara Hindia Belanda maupun di Belanda. Lulusan GHS tidak terikat lagi pada pemerintah untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah. GHS merupakan salah satu cita-cita yang sudah tercapai untuk menciptakan tenaga ahli bidang kedokteran yang status dan wewenangnya sama dengan tenaga ahli bidang dan diharapkan bisa mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat Hindia Belanda.17

C. Kedudukan dan Posisi Dokter Jawa dalam Masyarakat Kolonial

Ketika Sekolah Dokter Jawa pertama kali dibuka pada tahun 1851, pemerintah Hindia Belanda menargetkan ada 30 pemuda-pemuda dari Jawa yang akan masuk dalam program ini. Namun ternyata target tersebut meleset karena jumlah murid pada angkatan tahun pertama ini hanya berjumlah 12 orang. Mereka diharuskan berasal dari keluarga baik-baik dan lebih disukai dari keluarga terhormat atau keluarga priyayi dan aristokrat Jawa. Selain itu, mereka tidak diharuskan lulus sekolah dasar Belanda, namun cukup bisa menulis dan membaca dalam bahasa Melayu, serta berumur 15 – 16 tahun.

Pada tahun 1853, menurut laporan Bosch kepada Gubernur Jenderal, bahwa dari 12 orang siswa angkatan pertama 11 orang diantaranya dinyatakan lulus dan berhak mendapatkan gelar Dokter Jawa. Sesuai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda, sebagian besar murid Sekolah Dokter Jawa didominasi oleh golongan priyayi. Dari 11 orang yang dinyatakan lulus pada tahun 1853, hanya satu orang yang bergelar Mas, sebuah gelar priyayi paling rendah dalam kebangsawanan Jawa. Kemudian lulusan pada periode 1853-1865, diantara 81 orang lulusannya, 6 orang bernama depan Si,18

15 orang bergelar Mas, 13 orang bergelar Raden, 1 orang bergelar Bagindo dan 1 orang Raja. Dari jumlah keseluruhan lulusan pada periode tercatat 36 orang atau sekitar 44% adalah berasal dari golongan bangsawan.19

Pada tahun 1875, ketika kurikulum diubah menjadi 7 tahun, siswa sekolah ini juga mengalami peningkatan yang tajam yaitu tidak kurang dari 50 sampai 100

16 M.A. Hanafiah S.M., “Sepuluh Tahun dalam Asrama STOVIA”, 125 Tahun Pendidikan

Dokter di Indonesia 1851-1976, (Jakarta: Panitya Peringatan 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia, 1976), hlm. 101; Soemohamidjojo, “Hal Dokter Djawa”, Pewarta Prijaji, Jilid 1-2, 1900-1901, hlm. 215.

17 “Ensiklopedi Jakarta” dalam www.jakarta.go.id, diakses pada tanggal 18 November 2011

18 Merupakan sebutan untuk membedakan nama-nama orang kebanyakan dan tidak memiliki jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan tradisional di Jawa.

(11)

siswa pada setiap angkatannya. Jumlah itu semakin meningkat menjadi dua kali lipat yaitu antara 100 sampai 200 siswa pada periode 1890 – 1900.20

Jika dilihat dari kondisi dunia pendidikan pada saat itu, angka-angka diatas menjadi sangat wajar karena sampai tahun 1845 hanya dari golongan bangsawan sajalah dari masyarakat pribumi yang bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar dan berkemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Melayu. Oleh karena itu yang bisa menjadi bagian Sekolah Dokter Jawa kemudian didominasi oleh golongan aristokrat Jawa. Sampai pertengahan dekade kedua abad ke-19, keberadaan sekolah ini bagi masyarakat pribumi sebenarnya masih samar terutama dalam hal motivasi memasukkan anak mereka untuk mengikuti pendidikan di sekolah ini. Hal itu dikarenakan, bagi masyarakat pribumi, ilmu pengobatan Barat masih sangat asing. Sebagian besar dari para orang tua ini justru berharap jika anaknya lulus dari sekolah ini akan bisa menduduki jabatan di pemerintahan.

Dalam rancangan awal pendirian sekolah ini adalah bagaimana masyarakat pribumi ikut berpartisipasi dalam menanggulangi terjadinya wabah-wabah penyakit tropis yang sering melanda daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sebenarnya pemerintah kolonial berharap para Dokter Jawa harus kembali lagi ke daerah asal mereka dan bukan menjadi pejabat pemerintah di perkotaan. Walaupun tempat dan nama sekolah ini ada unsur Jawa, namun sebenarnya asal siswanya sangat beragam. Sebagian besar tentu saja berasal dari wilayah Jawa namun tidak sedikit asal siswa sekolah ini yang berasal dari luar Jawa. Pada tahun 1854, sudah ada 2 orang pertama siswa yang berasal dari luar Jawa yaitu dari Manado. Pada periode-periode berikutnya justru terjadi fenomena sebaliknya artinya siswa yang berasal dari wilayah Jawa lebih sedikit dibandingkan dengan siswa yang berasal dari luar Jawa. Misalnya pada tahun 1856, dari 20 orang siswa yang diterima hanya 6 orang yang berasal dari Jawa, selebihnya berasal dari luar Jawa.

Selain menjadi pembantu dokter Eropa dan vaccinaeur, lulusan Dokter Jawa pada periode awal ini, oleh pemerintah kolonial Belanda juga dipekerjakan perawat beberapa penyakit antara lain: menjadi perawat penderita penyakit kusta di Leprozerien di Karawang, penderita penyakit Siphilis di Kudus, Madiun, dan Cianjur, serta perawat umum di rumah sakit pribumi di Malang. Bandung dan Sumedang.

Dinamika perkembangan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir abad ke-19 telah membuka pos-pos pekerjaan baru bagi para dokter pribumi. Pertama, sebagai dampak dari politik ekonomi liberal dan dibangunnya infrastruktur pendukungnya seperti pembangunan rel kereta api, pelabuhan, dan jalan telah membuka pos pekerjaan baru bagi para dokter. Baik dokter Eropa maupun pribumi pada periode ini banyak dijadikan sebagai staf layanan medis pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur tersebut. Beberapa dokter pada periode ini juga sudah ada yang menjadi staf medis di perusahaan swasta seperti yang dilakukan oleh perusahaan tambang timah di Bangka.

Kedua, adanya perang-perang yang dilakukan oleh Belanda untuk menganeksasi beberapa daerah di Indonesia yang belum dikuasai sangat membutuhkan tenaga dokter sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Misalnya pada Perang Aceh, sejak akhir tahun 1876, sedikitnya empat orang Dokter Jawa dikirim ke Aceh untuk menjadi staf militer Belanda

(12)

dalam bidang medis. Selain itu ekspedisi-ekspedisi dalam bidang lain yang dilakukan oleh pemerintah Belanda selalu menyertakan Dokter Jawa untuk menjadi bagian didalamnya.21

Ketiga, pekerjaan baru bagi Dokter Jawa adalah menjadi tenaga medis pada setiap rombongan haji ke Mekkah. Pada setiap kapal pemberangkatan jamaah haji terdapat lebih dari 200 orang Dokter Jawa. Salah satu Dokter Jawa yang pada tahun 1887 ikut menyertai perjalanan haji ke Mekah adalah I. Groneman, dokter pribadi Sultan Yogyakarta. Menurut C. Snouck Hurgronje pada tahun 1888, sudah ada seorang dokter Djawa yang ditempatkan untuk konsul di Jeddah. Bahkan beberapa Dokter Jawa juga ada yang bekerja untuk rumah sakit zending, seperti Dokter Jawa Ismail yang bekerja di rumah sakit zending Mojowarno pada tahun 1920-an, dan dokter Soetomo pada tahun 1912 pernah bekerja di rumah sakit zending Blora.

Para Dokter Jawa ini umumnya mendapatkan gaji 20 sampai 25 gulden setiap bulannya. Jika dibandingkan dengan profesi yang setara yaitu guru pribumi, jumlah itu relatif rendah karena gaji guru pribumi 30 gulden per bulan dan setelah bekerja lima tahun akan menjadi 50 gulden per bulan.22

Fenomena yang lebih buruk dari itu menimpa beberapa Dokter Jawa yang dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya menjadi vaccinateur. Mereka ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dipekerjakan di rumah sakit pribumi Malang menjadi pembantu dokter Eropa, mandor jaga, dan pengasuh. Pembantu dokter Eropa di rumah sakit itu digaji 8 gulden/bulan, mandor 6 gulden/bulan, dan pengasuh 10 gulden/bulan. Rendahnya gaji dan politik diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial telah memaksa Dokter Jawa kemudian membuka praktek sendiri, walaupun hal ini sangat disangsikan oleh para dokter Eropa dan pemerintah sendiri.

Pada tahun 1864, besaran gaji Dokter Jawa sama dengan jumlah gaji guru tahun 1858, yakni 30 gulden/bulan. Jumlah itu kemudian naik pada tahun 1875 menjadi 50/bulan dan akan mendapatkan kenaikan sebesar 10 gulden setelah bekerja pada pemerintah selama lima tahun. Gaji maksimal Dokter Jawa pada periode ini adalah 90 gulden/bulan setelah dia bekerja selama 20 tahun kepada pemerintah kolonial. Namun gaji tertinggi Dokter Jawa tersebut jika dibandingkan dengan gaji guru pada periode yang sama masih lebih rendah. Seorang guru pada waktu itu mendapatkan gaji 75 gulden/bulan dan setiap tiga tahun meningkat 15 gulden sampai maksimal gaji 150 gulden/bulan. Tidak ada argumen dari pihak pemerintah yang bisa menjelaskan mengenai perbedaan yang mencolok antara gaji Dokter Jawa dengan guru pada akhir abad ke-19 ini.23

Gaji dokter mengalami kenaikan setelah C. Snouck Hurgronje memberi saran kepada Direktur Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid (DOEN) bahwa pendapatan para Dokter Jawa masih jauh dibandingkan dengan tuntutan pekerjaan mereka. Oleh karena itu C. Snouck Hurgronje menyarankan untuk dilakukannya kenaikan gaji Dokter Jawa secara signifikan. Akhirnya atas saran tersebut jumlah gaji Dokter Jawa dinaikkan, untuk gaji awal sebesar 70 gulden/bulan dan menjadi 150 gulden setelah 12

21 A. de Waart, op.cit., hlm. 251.

22Liesbeth Hesselink, ibid., hlm. 95.

(13)

tahun. Pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1910 gaji Dokter Jawa dinaikkan lagi, dengan gaji awal sebesar 150 gulden/bulan dan menjadi 250 gulden/bulan setelah 12 tahun.

Gaji merupakan salah satu objek isu yang sering diangkat dan dikeluhkan oleh para dokter pribumi bahkan sampai pada tingkat Volksraad karena mereka merasa didiskriminasi oleh pemerintah kolonial. Sekitar tahun 1900, seorang dokter pribumi bernama W.K. Tehupeiory dalam sebuah ceramahnya di depan masyarakat Indonesia di Den Haag mengatakan bahwa pejabat pribumi setingkat Asisten Wedana menerima gaji antara 120-150 gulden per bulan sementara Dokter Jawa menerima 70 gulden. Pendapat itu dibenarkan oleh dokter Belanda yang bertugas kotapraja Semarang W. Th. Vogel, menurutnya adalah gaji maksimal Dokter Jawa lebih rendah dari gaji setiap pejabat pribumi lainnya.

Selain gaji, diskriminasi yang harus diterima oleh Dokter Jawa lainnya adalah pelarangan penggunaan payung. Pada abad ke-19 dalam upacara-upacara resmi tradisional yang diselenggarakan oleh aristokrat Jawa, terdapat beberapa peralatan yang selalu digunakan, yaitu kotak sirih, tombak, payung, beberapa ornament yang selalu menempel di baju kebesaran. Untuk mengetahui tingkatan jabatan tradisional aristokrat Jawa dalam upacara resmi itu bahkan bisa dilihat dari warna payung yang digunakan serta jumlah garis dan lingkarannya. Oleh karena itu payung dalam konteks ini bagi aristokrat Jawa merupakan simbol status sosial.

Terdapat 3 kelompok dalam masyarakat kolonial yang menggunakan payung sebagai simbol status sosialnya. Golongan pertama adalah para kepala pemerintahan pribumi, golongan kedua adalah pemimpin wilayah pribumi (seperti bupati, asisten bupati, dan wedana), golongan ketiga adalah para pegawai etnis Tionghoa (leutnan dan kapiten). Selain itu beberapa golongan pejabat dalam pemetintahan Hindia Belanda juga menggunakan payung dalam menjalankan aktivitas pekerjaannya yaitu residen dan asisten residen.

Sebagai keturunan dari aristokrat Jawa, Dokter Jawa juga mempunyai hak untuk menggunakan payung sebagai simbol status sosialnya. Namun tanpa alasan yang jelas, pemerintah kolonial Belanda melarang mereka untuk menggunakan payung terutama dalam upacara-upacara resmi. Beberapa kalangan menduga sikap pelarangan pemerintah kolonial itu didasarkan oleh minimal 2 alasan, pertama karena para dokter Eropa dalam tugasnya juga tidak menggunakan payung maka demikian juga dengan dokter pribumi, kedua Dokter Jawa adalah sebuah profesi baru dalam masyarakat kolonial dan oleh karena itu harus melepaskan simbol-simbol lama termasuk payung. Alasan diatas merupakan baru sebatas dugaan karena baik gubernur jenderal maupun kepala dinas kesehatan Belanda tidak pernah menjelaskan alasan resmi pelarangan penggunaan payung kepada Dokter Jawa terutama pada saat menghadiri upacara-upacara resmi.

(14)

bahwa payung hanya diizinkan digunakan oleh Dokter Jawa yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda dan berada di wilayah Jawa dan Madura saja. Hal ini berarti Dokter Jawa yang memilih untuk membuka praktek swasta tetap tidak diizinkan menggunakan payung walaupun dia keturunan dari aristokrat. Selain pertimbangan diatas, pemerintah kolonial Belanda juga memandang bahwa izin pemakaian payung bagi Dokter Jawa justru akan menambah rasa percaya diri dan meningkatkan rasa hormat mereka akan kemampuannya.

Masih berhubungan dengan pakaian, pada tahun 1902, Dokter Jawa bernama Raden Moekadi meminta izin kepada pemerintah untuk diperbolehkan memakai pakaian Barat. Alasan yang dikemukakannya adalah pakaian Barat lebih praktis dibandingkan dengan pakaian tradisional, selain itu para Dokter Jawa dengan berpakaian tradisional sering diperlakukan kasar oleh petugas kereta api dan kapal laut. Pemerintah kolonial akhirnya mengizinkan permohonan ini dan sejak saat itu sebagian Dokter Jawa banyak yang menggunakan pakaian Barat sebagai pakaian resmi mereka. Dalam konteks lain, hal ini bisa dilihat sebagai upaya melawan diskriminasi karena dengan menggunakan pakaian model Barat tidak bisa dibedakan lagi antara dokter Eropa dengan dokter pribumi dalam hal pakaian.24

Semua siswa sekolah ini diwajibkan menggunakan atribut yang disediakan oleh pihak sekolah. Atribut itu adalah sebuah blangkon bernomer dengan lambang ilmu kedokteran (ular melilit tongkat atau serpent and staff) dan sebuah sabuk. Kedua atribut itu wajib digunakan oleh semua siswa pada tiga tahun akademik terakhir. Jika siswa meninggalkan sekolah tanpa memakai atribut tersebut maka pihak sekolah akan menghukumnya. Atribut ini yang dikenakan oleh siswa STOVIA ini sangat mirip dengan atribut yang dikenakan oleh siswa dari Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah untuk mendidik pegawai bumiputera.

Dalam konteks hubungan sosial dan budaya, sebagai orang yang berasal dari masyarakat asli pribumi, posisi Dokter Jawa ditempatkan sebagai jembatan antara penduduk pribumi dengan dunia kedokteran Barat. Posisi itu memang sesuai dengan pekerjaan sehari-hari Dokter Jawa yang lebih banyak menangani pasien penduduk pribumi dibandingkan dengan dokter Eropa. Dalam beberapa kasus, menurut Kepala BGD, A.G. Vorderman, kemampuan Dokter Jawa lebih baik dibandingkan dengan dokter Eropa dalam menangani penyakit dikalangan masyarakat pribumi karena Dokter Jawa menguasai bahasa dan budaya lokal. Hal ini terjadi karena sebagian besar dokter Eropa tidak menguasai bahasa lokal, sehingga terdapat hambatan sosial dan budaya ketika dokter Eropa melakukan layanan medis kepada masyarakat pribumi. Dalam konteks inilah posisi dan peran penting Dokter Jawa yang tidak bisa digantikan oleh dokter Eropa.

Dalam beberapa kasus, pejabat pemerintah Belanda justru lebih percaya kepada Dokter Jawa daripada dokter Eropa. Sebagai dampak dari terjadinya perlawanan Orang Sasak di Lombok yang daerahnya tidak mau dianeksasi maka terjadilah perang antara tahun 1894-1900. Kontrolir Lombok A.J.N. Engelberg melaporkan bahwa setelah perang selesai kemudian justru terungkap beberapa penyakit yang ada diantara masyarakat Sasak, salah satunya adalah cacar yang kemudian menjadi epidemi. Pengendalian epidemi cacar pada masyarakat Sasak pada waktu itu terkendala masalah sosio-kulural, hal itu disebabkan

(15)

orang Sasak menolak vaksinasi. Mereka percaya sakit yang dideritanya disebabkan oleh adanya roh jahat yang masuk dalam tubuhnya. Dokter Eropa tidak bisa mengatasi kondisi ini, akhirnya Engelberg mengandalkan Dokter Jawa untuk melakukan vaksinasi. Kepada masyarakat Sasak, para Dokter Jawa ini mengatakan bahwa vaksinasi adalah air suci yang bisa mengusir roh jahat dalam tubuh.

Wilayah Indonesia yang sangat luas dan menjamurnya epidemi penyakit tropis pada awal abad ke-20 menyebabkan banyaknya permintaan profesi ini. Walaupun jumlah siswanya dari periode ke periode selalu mengalami peningkatan namun STOVIA tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan akan dokter pada waktu itu. Kondisi ini terjadi sampai akhir masa kolonialisme di Indonesia. Pada tahun 1930 di Indonesia hanya ada 1.030 orang dokter, 667 diantaranya ada di Jawa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia pada waktu itu, maka perbandingan adalah seorang dokter melayani 62.000 orang untuk di Jawa dan 52.000 orang untuk di luar Jawa.25

D. Pendidikan Kedokteran pada Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, pendidikan kedokteran di Surabaya (NIAS) ditutup oleh pemerintah Jepang, sementara yang Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta juga sempat ditutup selama 6 bulan. Adalah inisiatif seorang mahasiswa NIAS bernama Soejono Martosewojo dibantu perwakilan mahasiswa Jakarta-Surabaya serta didampingi oleh Dr. Abdul Rasjid dan beberapa dosen, mengajukan penggabungan konsep kurikulum eks-GHS dan eks-NIAS. Prof. Ogira Eiseibucho yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Kesehatan Pemerintah Militer Jepang, menyetujui proposal tersebut. Menindaklanjuti hal tersebut, komite pendidikan segera dibentuk, selain untuk mengembangkan kurikulum pendidikan kedokteran, juga mempromosikan staf pengajar untuk menjadi dosen, asisten dosen, dan guru besar. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula komite yang terdiri dari mahasiswa Jakarta dan Surabaya. 26

Komite ini mengembangkan rencana untuk menggabungkan GHS dan eks-NIAS menjadi sekolah kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun. Penyesuaian penerimaan siswa pun dilakukan untuk menunjang sistem pendidikan tersebut. Akhirnya pada tanggal 29 April 1943, sekolah kedokteran bernama Ika Daigaku dibuka sebagai hadiah dari pemerintah Jepang untuk Indonesia, dengan Prof. Itagaki sebagai dekan fakultas. Sementara itu di Semarang didirikan Sekolah Pembantu Dokter yang disebut dengan Hojoi, siswa sekolah ini diambil dari para perawat dengan masa studi satu tahun.

E. Pendidikan Kedokteran masa Awal Kemerdekaan

Ketika kekuasaan Jepang berakhir dengan diproklamirkan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Ika Daigaku akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Ketika terjadi agresi militer I tahun 1946, Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia terpaksa

25 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 234.

(16)

mengungsi bersama Pemerintah Republik ke daerah. Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dipencar tempatnya di Jakarta, Solo, Klaten dan Malang sebagai tindakan persiapan terhadap kemungkinan pembumihangusan Belanda. Pada tahun ini juga, Pemerintah Belanda mendirikan "Nooduniversitet van Indonesia" dan satu diantaranya adalah "Geneeskundige Faculteit" di Rumah Sakit Cikini Jakarta dengan 128 mahasiswa (63 orang Cina, 63 orang Belanda dan 2 orang Indonesia). Pemerintah Belanda membuka kembali Faculteit der Geneeskunde dan cabangnya di Surabaya pada tanggal 1 September 1948 . Faculteit der Geneeskunde cabang Surabaya yang dibuka pada tahun 1948 baru dimulai dengan tingkat persiapan, namun pada tahun 1951 telah lengkap sampai Tingkat VII dengan cara menerima mahasiswa eks sebelum perang yang sudah duduk di tingkat atas. Ketika terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia pada 29 Desember 1949, maka turut serta penyerahan Faculteit der Geneeskunde baik yang ada di Jakarta maupun Surabaya.

Tanggal 1 April 1950, Prof. Dr. G.M. Streef menyerahkan jabatan Ketua Faculteit der Geneeskunde kepada Prof. Dr. Moch. Syaaf. Selanjutnya, nama Faculteit der Geneeskunde diganti namanya menjadi Fakultet Kedokteran di Jakarta dan cabangnya Fakultet Kedokteran di Surabaya. Fakultet Kedokteran di Jakarta kemudian menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sedangkan Fakultet Kedokteran di Surabaya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sementara itu Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK) yang ada di Klaten menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang didirikan pada tahun 1949. Pendidikan Kedokteran setelah tahun 1950 dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Kementerian Kesehatan hanya berwenang menangani pendidikan tenaga paramedik.27

(17)

DAFTAR PUSTAKA

“Ensiklopedi Jakarta” dalam www.jakarta.go.id,

A.A. Loedin. “Pengungkapan Misteri Penyakit Beri-beri” dalam Tempo, Edisi Mei 2002.

D. Schoute, 1934 De Geneeskundige in Nederlandsche-Indie gedurende de negentiende eeuw, Weltevreden: DVG.

_____________. 1936. De Geneeskundige in Nedeerlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw. Batavia: G.Kolff & Co.

_____________, 1937. Occidental Therapeutics in the Netherlands East Indies during three Centuries of Netherlands Settlement (1600-1900) Batavia: G. Kolff & Co.

Departemen Kesehatan RI, 1978 Sejarah Kesehatan Nasional I.Jakarta: Depkes.

___________________________,2004. Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH: Selayang Pandang Perjalanan Kesehatan Nasional, Jakarta, Depkes

Hesselink, Liesbeth. 2009. Genezers op de koloniale markt: Inheemse dokters en vroedvrouwen in Nederlandsch oost-indië,1850-1915, Amsterdam, Amsterdam University Press.

http://www.fk.ui.ac.id

Kerkhoff, A.H.M. , , 1989. “The Organization of the Military and Civil Medical Service in the Nineteenth Century”, dalam A.M. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya Archipelago 1816-1942, Amsterdam: Rodopi.

M.A. Hanafiah S.M., 1976. “Sepuluh Tahun dalam Asrama STOVIA”, 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976, Jakarta: Panitya Peringatan 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia.

Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Slamet Riyadi, 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Dasar-dasar dan sejarah perkembangannya,Surabaya: Usaha Nasional

Soemohamidjojo, “Hal Dokter Djawa”, Pewarta Prijaji, Jilid 1-2, 1900-1901.

Referensi

Dokumen terkait

Pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) dan Pegagan (Centela asiatica (L). Urb) dengan dosis masing-masing 1,250 g/KgBB dapat meningkatkan aktivitas motorik mencit putih

CONTOH PROGRAM PERBAIKAN DAN PENGAYAAN ANALISIS HASIL EVALUASI BELAJAR Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Satuan Pendidikan : SMAN 4 Sungai

terjadi pada masa pensiun merupakan masa perubahan yang penting dalam hidup.. seseorang, individu yang bekerja menjadi tidak bekerja,

Kertas ini membincangkan bagaimana pendidikan alam sekitar yang boleh diajar di peringkat sekolah boleh melahirkan warga yang ‘celik alam sekitar’ dan mencintai

antara lain opini audit modifikasian going concern , kepemilikan manajerial,. kepemilikan institusional, kebijakan dividen, aliran kas

Dalam beberapa kasus, pemberlakuan batasan waktu sangat diperlukan oleh perusahaan karena berpengaruh pada kinerja auditor yang baik, oleh karena itu pemberlakuan batasan waktu

dari perda kebersihan, hasil survey menunjukkan bahwa hanya 5% responden yang menganggap Pemkot Bandar Lampung sudah bertindak tegas untuk ketertiban masalah kebersihan,

identifikasi melalui suara echolokai juga dapat membedakan jenis kelamin dari jenis yang sama pada empat jenis yang diamati yaitu R..