BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bekerja merupakan aktivitas yang penting dalam kehidupan manusia.
Dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhan, baik fisik maupun psikis,
mengisi waktu luang serta mencari identitas sehingga bekerja menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan individu (Ermayanti & Abdullah). Maslow
membagi kebutuhan manusia menjadi physiological need, safety need, love and
belongingness need, self esteem need, dan self actualization, maka alasan manusia
bekerja untuk dapat memenuhi salah satu dari kelima hierarki kebutuhan tersebut
(Eliana, 2003).
Pilihan pekerjaan yang dilakukan manusia sangat beraneka ragam, dan
pekerjaan yang dipilih merupakan salah satu alat pemenuh kebutuhan dalam
tingkat yang berbeda. Misalnya, ada seseorang yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis, ada juga yang memilih suatu pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri (Rahmi, 2013). Lemme mengatakan bahwa bekerja atau
pekerjaan memberikan pemenuhan kebutuhan, seperti kebutuhan material, harga
diri, penerimaan sosial, status sosial dan penghormatan dari orang lain, kontak
sosial, kedewasaan, dan sumber dari tantangan, kemandirian, kepuasan,
Meskipun demikian, pekerjaan yang bersifat formal tidak akan
berlangsung di sepanjang masa kehidupan. Hal ini dibatasi oleh ruang dan waktu,
berkaitan dengan waktu kapan individu tersebut diangkat, dipromosikan maupun
berbagai hal sesuai dengan peraturan yang berlaku seperti mencapai batas usia
maksimum, atau yang dikenal dengan istilah pensiun (Tarigan dalam Rahmi,
2013).
Secara umum, pensiun dikenal sebagai fenomena yang dialami oleh
seseorang yang usianya sudah dianggap lanjut sehingga dianggap tidak lagi
produktif dan menurut aturan harus berhenti bekerja. Begitu pula dengan yang
bersangkutan tidak bisa mengelak ketika peraturan yang menyebutkan pada usia
tertentu harus sudah siap pensiun (Widiarni, 2013). Masa pensiun, menurut
Schwartz merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru,
dimana pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan
nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup individu (Hurlock,
1991). Turner dan Helms menambahkan bahwa masa pensiun terjadi ketika
individu berhenti dari dunia kerja dan mulai menjalankan peran baru dalam
kehidupannya (Purnamawati, 2007). Menurut Robin Moon, pensiun adalah
transisi jalan kehidupan yang melibatkan perubahan lingkungan sehingga
mengubah kebiasaan hidup, interaksi sosial, tekanan psikososial, sekaligus
mengubah identitas dan pilihan-pilihan hidup. Dengan kata lain, perpindahan dari
fase bekerja menjadi tidak bekerja punya segudang perubahan yang menyertainya
Individu yang berada dalam masa pensiun dihadapkan dengan berbagai
perubahan. Hurlock dan Kimmel menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang
terjadi pada masa pensiun merupakan masa perubahan yang penting dalam hidup
seseorang, individu yang bekerja menjadi tidak bekerja, berkurangnya
penghasilan, berkurangnya kekuasaan dan prestise, berkurangnya interaksi sosial
yang mencakup teman bekerja dan relasi serta meningkatnya waktu luang
(Purnamawati, 2007).
Serangkaian perubahan tersebut merupakan keadaan dari ada menjadi
tidak ada, sehingga perasaan kehilangan merupakan kondisi utama yang
menyertai pensiun. Oleh karena itu, diharapkan individu harus ikhlas ketika waktu
pensiun tiba. Namun tidak jarang, kata pensiun diasosiasikan dengan gambaran
‘menakutkan’. Hal itu biasanya muncul pada awal-awal masa pensiun, sekitar 3-6
bulan pertama masa pensiun tersebut terlewati (Widiarni, 2013).
Sebagian orang menganggap pensiun sebagai masa yang negatif atau
menakutkan karena cukup banyak perubahan yang harus dialami, diantaranya
adalah hilangnya status pekerja, kehilangan fasilitas yang selama ini mereka
dapatkan, adanya bayangan untuk tidak dihargai lagi, banyaknya waktu senggang
yang mereka hadapi pada saat menjalani masa pensiun dan penurunan penghasilan
secara signifikan pada saat menjalani masa pensiun (Widiarni, 2013). Individu
menganggap bahwa pensiun merupakan pertanda diri sudah tidak berguna dan
tidak dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas menurun sehingga tidak
menguntungkan lagi bagi perusahaan atau organisasi tempat individu bekerja
Individu dapat mengalami stres dalam menghadapi segala perubahan yang
terjadi pada masa pensiun. Terlebih lagi bagi pensiunan yang masih harus
membiayai anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun pemasukan
keuangan menjadi berkurang (Rahmi, 2013). Kondisi tersebut dapat mengarah
kepada gangguan psikologis dan menurunnya tingkat kesehatan mental seperti
cemas, depresi dan bunuh diri. Hal ini sesuai dengan Piedmont Heart Institute and
National Women’s Health Information (2011) dan Holmes dan Rahe (1976)
menyatakan bahwa pensiun menduduki ranking ke sepuluh dalam daftar pemicu
stress dalam kehidupan seseorang. Selain mengalami gangguan psikologis, masa
pensiun juga dapat mempengaruhi kondisi fisik seperti, peningkatan berat badan,
munculnya penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya
kepekaan. Penyakit diatas sering disebut dengan retirement syndrome.
Pandangan negatif tentang pensiun menyebabkan individu sering menolak
datangnya masa pensiun. Suatu bentuk dinamika psikologis yang sering muncul
pada saat orangtua memasuki masa pensiun adalah kecemasan. Kecemasan pada
masa pensiun sering muncul pada setiap individu yang sedang menghadapinya
karena dalam menghadapi masa pensiun dalam dirinya terjadi goncangan perasaan
yang begitu berat karena individu harus meninggalkan pekerjaannya. Di samping
itu, faktor terbesar yang akan diambil ketika pensiun adalah terpenuhi atau
tidaknya finansial keuangan keluarga nantinya setelah tiba waktu untuk berhenti
bekerja dan apakah penurunan kondisi tubuh akibat penuaan akan berdampak
pada kesehatan nanti. Banyak yang beranggapan bahwa masa pensiun adalah
cepat lupa, penampilan tidak menarik serta yang terasa kejam adanya anggapan
bahwa masa pensiun adalah merupakan tanda seseorang sudah tidak berguna dan
tidak dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas menurun (Widiarni, 2013).
Namun, beberapa orang beranggapan positif terhadap masa pensiun.
Mereka menilai bahwa pensiun dapat meningkatkan kesehatan dengan
berkurangnya beban tekanan yang harus dihadapi, setelah pensiun akan lebih
banyak waktu dan kesempatan kebersamaan bagi keluarga dan pasangan
(Ermayanti & Abdullah). Masa pensiun juga bisa menjadi masa yang
menyenangkan baik secara jasmani maupun rohani, karena individu menemukan
kebebasan dalam hidupnya. Atchley mengungkapkan bahwa masa pensiun
merupakan kesempatan individu untuk dapat mengembangkan hobi yang sempat
tertunda (Rachman, 2013). Menurut hasil penelitian, pensiun tidak menyebabkan
seseorang menjadi cepat tua dan mudah sakit karena justru berpotensi
meningkatkan kesehatan karena semakin bisa mengatur waktu untuk berolahraga
(Ermayanti & Abdullah).
Mangkuprawira (dalam Widiarni, 2013) menyebutkan bahwa ketika masa
pensiun terjadi maka diperkirakan ada beragam fenomena psikologis yang
muncul. Pertama, merasa bingung apa yang harus diperbuat akibat sudah tidak
memiliki kegiatan rutin lagi. Kedua, merasa kesepian dibandingkan ketika masih
aktif sebagai pegawai. Ketiga, merasa biasa-biasa saja. Hal ini mungkin
dikarenakan pensiunan tersebut belum mempersiapkan rencana kegiatan sesudah
pensiun secara matang. Hal demikian, bisa juga karena yang bersangkutan merasa
misalnya untuk berwirausaha. Selain itu juga mungkin dikarenakan yang
bersangkutan sudah memiliki rencana kegiatan pasti yang telah dirintis sebelum
pensiun. Selain fenomena psikologis yang muncul, beberapa peneliti melakukan
penelitian dan menemukan bahwa kesehatan mental dan fisik merupakan
prekondisi yang mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap
perubahan hidup yang disebabkan oleh pensiun. Hal ini masih ditambah oleh
persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi fisiknya.
Bonsang & Klein (2011) bahwa pensiun berdampak negatif terhadap
kepuasan hidup pensiunan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Diener &
Biswar-Diener bahwa bekerja merupakan area penting dalam penentuan kepuasan hidup
individu (Sihombing, 2011). Argyle menambahkan bahwa individu dengan status
bekerja merasa lebih puas daripada individu yang tidak bekerja (Nasution, 2012).
Kepuasan hidup secara eksplisit menggambarkan kondisi yang bersifat khas pada
orang yang mempunyai semangat hidup dan mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan dengan berbagai perubahan kondisi dalam diri maupun perubahan
kondisi di lingkungannya (Datan & Lohman dalam Purnama, 2009).
Individu diharapkan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang
terjadi baik secara fisik maupun mental, demi dapat mencapai kepuasan hidup
(Minaswari, 2007). Kemampuan individu menerima perubahan yang terjadi pada
masa pensiun menyebabkan individu memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Hal
ini diperkuat oleh hasil penelitian Rachman (2013) pada 30 orang pensiunan
dosen, dimana 27 orang dari pensiunan dosen tersebut berada pada kategori
terlihat dari sikap dan pemikirannya yang positif mengenai masa pensiun serta
dapat melakukan tugas perkembangannya dengan baik (Minaswari, 2007).
Altson & Dudley menyatakan bahwa kepuasan hidup merupakan
kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalaman yang disertai
dengan tingkat kegembiraan yang timbul dari pemenuhan kebutuhan atau harapan
dan merupakan sarana untuk menikmati suatu hal. Kepuasan hidup berkaitan juga
dengan beberapa karakteristik internal, salah satunya spiritualitas (Khan dkk,
2011). Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian (Kelley & Miller, 2007 ; Zullig,
Ward & Horn, 2006 dalam Khan dkk, 2011) yang menyatakan bahwa spiritualitas
dan religiusitas berkorelasi positif dengan subjective well being dan kepuasan
hidup. Selain itu, Wilkerson (2005) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan
variabel prediktor kepuasan hidup. Diener & Biswas Diener (2008) menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup adalah hubungan, kesehatan,
pekerjaan, pendapatan, spiritualitas dan jabatan. Lebih lanjut, Starks & Hughey
(2003) menyatakan bahwa spiritualitas secara signifikan berkorelasi dengan
kepuasan hidup.
Segi spiritual merupakan salah satu yang harus dipersiapkan dalam
menghadapi berbagai kemungkinan dimasa pensiun, selain adanya persiapan dari
segi sosial, finansial, fisik dan mental (Fakhri, 2012). Spiritualitas dibutuhkan
individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup, dengan adanya
kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas
kehidupan. Spiritualitas mengacu kepada usaha manusia menjadi sosok manusia
merupakan keterhubungan manusia dengan sosok ‘supreme power’. Spiritualitas
mendorong manusia untuk hidup dan tumbuh dengan cara yang positif.
Spiritualitas adalah kualitas yang melebihi religiusitas, yang berusaha untuk
mencapai inspirasi, kehormatan, kagum, berarti dan memiliki tujuan, walaupun
pada individu yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Dimensi spiritual mencoba
untuk selaras dengan alam semesta, berjuang demi jawaban yang tak terbatas, dan
menjadi fokus ketika individu dalam menghadapi stress emosional, penyakit fisik
dan kematian (Munro, 2011).
Kegiatan spiritual merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dibutuhkan
pensiunan (Severson, 2013). Hal ini dikarenakan spiritualitas menjadi jauh lebih
penting pada kelompok usia pensiun, dimana mereka mencari makna yang lebih
besar atas kehidupan setelah tidak bekerja lagi, serta mulai menuju kepada akhir
kehidupan mereka. Pada masa ini, kegiatan spiritual merupakan aktivitas berharga
yang penting untuk dilakukan. Ini terbukti bahwa 3 dari 4 pensiunan yang
diwawancarai mengaku tergabung dalam komunitas spiritual berdasarkan agama
masing-masing. Mereka mengaku bahwa dengan aktif melakukan kegiatan
spiritual seperti berdoa, bernyanyi dan pelayanan, mereka merasa lebih bahagia.
Michael & Gornik (2011) menyatakan bahwa individu dengan tingkat spiritualitas
yang baik, berpartisipasi dalam komunitas spiritual, dan melakukan kegiatan
spiritual memiliki hidup yang lebih lama, lebih sehat dan bermakna (berdasarkan
studi di Polestar Garden – Spiritual Retirement in Hawaii, 2011). Kegiatan
religiusitas/spiritualitas, chanting, yoga, berkebun, kegiatan pemeliharaan,
pekerjaan administratif, memasak, dan rekreasi.
Sesuai dengan pernyataan sebelumnya bahwa spiritualitas merupakan
variabel prediktor kepuasan hidup, maka dapat dikatakan bahwa pensiunan yang
tergabung dalam komunitas spiritual dan dengan aktif melakukan kegiatan
spiritual mempengaruhi kepuasan hidupnya.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melihat pengaruh spiritualitas
pada kepuasan hidup pensiunan. Diperkirakan, spiritualitas dapat membantu
dalam proses penerimaan yang tulus atas keadaan yang dihadapi pensiunan, dan
dapat mengurangi tekanan psikologis yang dialami pensiunan, dan membantu
pensiunan menemukan makna positif dari pengalaman dan kehidupannya.
Penerimaan, pengurangan tekanan dan penemuan makna positif yang difasilitasi
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti
merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu ‘Sejauh
mana spiritualitas mempengaruhi kepuasan hidup pensiunan ?’
3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian, tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat pengaruh spiritualitas pada kepuasan hidup pensiunan.
4. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis
Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu Psikologi terutama
yang berkaitan dengan topik pensiunan dan lansia, khususnya melalui
sudut pandang psikologi positif yang sedang berkembang saat ini.
b. Manfaat praktis
1. Bagi masyarakat umum
Mendapatkan gambaran dan pemahaman ilmiah mengenai
pengaruh spiritualitas pada kepuasan hidup pensiunan.
2. Bagi pensiunan
Mengenal diri dan aspek spiritualitas sendiri dan kaitannya dengan
5. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan
masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Memuat landasan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Mencakup teori mengenai spiritualitas, kepuasan hidup,
pensiunan.
Bab III : Metodologi penelitian
Menjelaskan mengenai metode penelitian kuantitatif, partisipan,
metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode
analisis data.
Bab IV : Hasil Analisa Data
Menjabarkan hasil dari analisis data ke dalam penjelasan yang
terperinci disertai dengan data pendukung.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini berisi jawaban dari pertanyaan penelitian dan saran