• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Kausalitas antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum Kausalitas antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM KAUSALITAS: ANTARA AL-GHAZALI DAN IBN RUSYD Oleh: Aktobi Gozali

Pendahuluan

Polemik filosofis antara Al-Ghazali1 dan Ibn Rusyd2 selalu menarik untuk dikaji. Salah satu polemik yang tak kalah menariknya adalah persoalan kausalitas. Dengan cara pandang yang berbau teologis Al-Ghazali menilai bahwa para filosof yang mendahuluinya—antara lain Al-Farabi3 dan Ibn Sina4-- telah jatuh ke dalam “bid’ah”

karena meyakini hukum kausalitas. Kritikan yang ditulisnya dalam Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof) meruntuhkan bangunan pemikiran filsafat hingga kini—terutama di dunia suni.

Dalam konteks ini Ibn Rusyd hadir memberi jawaban atas kritikan Al-Ghazali. Ia melihat bahwa Al-Ghazali telah keliru di dalam memahami pemikiran Al-Farabi dan Ibn Sina. Bahkan menurut Ibn Rusyd, Al-Farabi dan Ibn Sina sendiri telah keliru di dalam memahami pemikiran Aristoteles. Tahafut al-Tahafut (kerancuan dalam kerancuan) ditulisnya sebagai sanggahan dan kritik terhadap Al-Ghazali atas pemahaman keliru yang dilakukan Al-Farabi dan Ibn Sina terhadap burtir-butir pikiran Aristoteles.

Persoalan yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana

pandangan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas?”. “Apa itu “sebab” dan apa itu “akibat” bagi kedua tokoh tersebut?”. Serta logika yang dapat dipahami,

“Sejauhmana pandangan terhadap hukum kausalitas ini mempengaruhi perkembangan

(2)

Pandangan Al-Ghazali Tentang Kausalitas

Al-Ghazali sampai pada penilaian kafir bagi mereka yang meyakini tiga masalah: kadimnya alam, pengetahuan Tuhan tentang yang parsial (juz’i), dan kebangkitan jasmani.

Ia menyatakan bid’ah bagi yang mempercayai tujuh belas masalah lain, termasuk di

dalamnya hukum kausalitas. Kritik ini ditujukan kepada dua filosof muslim sebelumnya: Al-farabi dan Ibn Sina, yang dalam penilaiannya, sudah terlalu jauh mencampurkan ajaran-ajaran agama dengan pandangan filsafat, yakni filsafat Yunani--Sebut saja Aristoteles.

Di dalam salah satu karya monumentalnya, tahafut al-falasifah, Al-Ghazali menempatkan hukum kausalitas pada urutan ke-17 dari 20 butir pandangan filsafat yang dikomentarinya.5Ia mengatakan bahwa keterkaitan sesuatu yang diyakini sebagai

“akibat”dari kebiasaan (al-‘adah) tidaklah bersifat “pasti” (dharuri).Tidak ada kepastian

pada salah satunya, baik pada apa yang disebut “sebab” atau pun “akibat”. Tidak ada

sesuatu penegasian untuk menegasikan yang lain yang dapat dikatakan “pasti”.6

(3)

Pandangan tadi jelas tidak sejalan dengan pandangan para filosof muslim sebelumnya. Bahkan, yang dianggap mungkin saja terjadi dalam pandangan al-Ghazali, menurut mereka (para filosof) adalah mustahil terjadi. Singkatnya, tidak ada kemungkinan untuk terjadi.9

Yang disangkal Al-Ghazali di sini adalah anggapan bahwa sifat-sifat khusus pada alam (thabi’ah) berfungsi dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan Tuhan. Hubungan keterkaitan inilah yang diputus para filosof muslim. Karena al-Ghazali memandang bahwa sifat khusus pada alam tidak dapat terlepas dariqudrahNya, maka bagaimana mungkin, api misalnya, sebagai benda mati, dapat membakar sebuah benda yang berada di dekatnya, dengan kehendak api itu sendiri. Ini tidaklah mungkin terjadi.

Sekarang marilah kita telaah lebih jauh. Sebagai contoh api dengan kapas. Bagi para filosof, pelaku (al-fa’il) pembakaran itu hanyalah api an sich. Api menjadi pelaku karena wataknya dan bukan karena ikhtiarnya.10 Inilah yang disangkal Al Ghazali dengan dalil bahwa Tuhanlah yang menciptakan hitam pada kapas, mengubah struktur bagian-bagiannya berikut transformasinya ke dalam tumpukan nyala api atau debu, baik melalui perantara malaikat-malaikat atau tanpa perantara. Api adalah benda mati (al-jamad). Ia tidak dapat mencipta perbuatan.11

(4)

kebetulan dan spontan menurut kehendak dari benda-benda itu sendiri sebagaimana anggapan kaum materialis atau naturalis. Para filosof selalu mengembalikan fenomena alam ini sebagai berasal dari dan karena alam itu sendiri. Hal iniah yang tidak dikehendaki Al-Ghazali karena anggapan seperti ini dapat menyebabkan manusia menjadi kufur.

Yang disangkal Al-Ghazali dalam hal kausalitas adalah ‘memastikan’ terjadinya

efek dari sifat-sifat khas pada segala sesuatu. Padahal, kesimpulan itu diambil lewat proses pengamatan inderawi yang berasal dari kebiasaan (al-‘adah). Dari kebiasaan memang dapat ditarik suatu kesimpulan namun hasilnya tidak pasti.12 Baginya, segala sesuatu di hadapan

Allah adalah ‘mungkin’ dan sumuanya masuk akal. Setiap sesuatu dapat berubah di luar

kebiasaan sesuai dengan kesiapan benda-benda itu di dalam menerima sebab yang mengubahnya.13

Dalam hal ini bagi para filosof tidaklah demikian. Mereka menolak apa yang dianggap telah terjadi pada Nabi Ibrahim saat ia dibakar. Bagi mereka Nabi Ibrahim tidak dibakar. Karena sifat pada api bersifat tetap dan permanen, maka tidak mungkin api berubah menjadi dingin kecuali jika panas pada api dihilangkan. Sedangkan hal demikian berarti telah mengubah sifat dan keadaan api. Atau boleh jadi, Tuhan mengubah jasad Ibrahim menjadi batu atau sesuatu yang tak terpengaruh oleh api. Hal ini tidak mungkin.14

(5)

itu.15 Ia menyatakan bahwa para filosof tidak mempercayai hal ini karena mereka tidak menyaksikannya.16

Begitu pula, lanjut Al-Ghazali, dengan dihidupkannya orang yang telah mati, berubahnya tongkat menjadi ular, dapat terjadi dengan cara ini karena materi sesungguhnya dapat menerima berbagai macam perubahan. Tanah dan segala unsur dapat berubah menjadi tumbuhan. Kemudian, setelah tumbuh-tumbuhan dimakan manusia atau binatang berubah menjadi sel-sel darah. Darah berubah menjdi sperma. Sperma kemudian dimasukkan ke dalam rahim, maka jadilah binatang-binatang. Hal ini terjadi dalam hukum yang biasa dan dalam rentang waktu yang panjang. Mengapa para filosof menolak kekuasaan Allah swt untuk memutar materi melalui fase ini, dalam waktu yang lebih pendek dari yang biasa terjadi. Bila dalam waktu yang lebih pendek dibolehkan, maka tidak ada hambatan untuk lebih pendek lagi, dan bahkan sampai pada periode tertentu sagat singkat yang di dalam pengamatan inderawi seakan-akan perubahan terjadi secara seketika dan spontan. Hal demikian menimbulkan sesuatu yang disebut mukjizat bagi seorang nabi.17 Sesuatu pada dirinya sendiri adalah ‘mungkin’. Tetapi segala kemungkinan itu tidak begitu saja terjadi. ‘Kemungkan’ itu dapat terjadi saat diperlukan seorang nabi untuk

memperkuat keberadaannya dan menambah kebaikan. Kekhususan pada diri nabi tidak menutup kemungkianannya secara akal. Karenanya, mengapa harus didustakan ketika suatu

berita dinukilkan secara mutawatir dan dibenarkan syara’.18

Dalam sebuah artikelnya berjudul tahafut al-falsifah li al-Ghazali, Fuad al Ahwani mengatakan bahwa Imam al-Ghazali tidak membantah sanggahan para folosof. Al-Ghazali mengakui bahwa benda-benda alami mempunyai keadaan atau sifat-sifat yang menjadi

(6)

‘kemestian’ karena Allah yang menjadikannya dalam wujud demikian, dan Allah berkuasa mengubah sifat-sifat benda-benda itu, jika Ia menghendaki.19 Keberlanjutan (istimrar) atau kebiasaan (al-‘adah) yang terjadi pada benda-benda akan mengakar dalam akal pikiran kita. Ini berarti kelaziman eksternal antar fenomena alami terpantul dalam pikiran melalui

kebiasaan, sehingga timbul kepercayaan bahwa fenomena awal adalah ‘sebab’ bagi

kejadian berikutnya.20

Di dalam maqashid al-falasifah Al-Ghazali menggunakan istilah illah dan ma’lul sebagai istilah untuk kausalitas atau sebab-akibat.21 Setiap sesuatu yang mempunyai wujud pada dirinya sendiri yang bukan berasal dari wujud sesuatu yang lain adalah ma’lum. Sedangkan bila ma’lumtidak terwujud, kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu disebut‘illatbagima’lum.22

Al-Ghazali membagi ‘illah kepada dua bagian: Illah yang berasal dari ma’lul, dan inilah semua berasal dari luar yang semuanya tidak menjadi faktor dominan karena

dianggap tidak aktif. Sedangkan yang dimaksud dengam ‘illah yang aktif (‘llah al-faa’ilah) adalah ‘illah atau sebab yang berlaku secara alami seperti: api membakar dan matahari yang memantulkan cahaya bereaksi secara alami.23 Demikian pandangan berikut argumen dan penjelasan Al-Ghazali mengenai hukum kausalitas.24

Pandangan Ibn Rusyd Tentang Kausalitas

(7)

Di dalam buku tersebut Ibn Rusyd menjawab sekaligus memberi umpan balik terhadap bebarapa persoalan, yang menurutnya, Al-Ghazali telah ‘salah’ di dalam

memahami maksud yang diinginkan para filosof yang mendahuluinya, Al-Farabi dan Ibn Sina.

Menariknya, di dalam buku tersebut Ibnu Rusyd tidak hanya memberikan kritik atas Al-Ghzali saja, melainkan ia pun memberikan kritik atas Al-Farabi dan Ibnu Sina. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Ibn Sina pun telah melakukan kekeliruan di dalam memahami pikiran-pikiran Aristoteles.25

Ibn Rusyd berpendapat bahwa wujud yang baru (al-maujudat al-muhdatsah) mengandaikan adanya empat sebab: sebab efesien (fa’il), sebab materi (maddah), sebab bentuk (shurah), dan sebab tujuan (ghayah). Keempat sebab tersebut bersifat pasti (dharuri) dalam membentuk dan melahirkan akibat.26

Eksistensi “sebab” menjadi niscaya (dharuri) dalam melahirkan suatu “akibat”. Para

teolog pun berpendapat bahwa kehidupan ini menjadi syarat bagi adanya alam.27 Artinya, keberadaan alam tidak terlepas dari suatu tujuan, yakni adanya sebuah kehidupan. Seorang

yang mengetahui pasti seorang yang hidup. Artinya, “hidup” menjadi syarat yang niscaya

dalam pengetahuan karena bagaimana mungkin seorang yang telah mati, atau benda mati,

dapat mengetahui sesuatu. Hal ini tidak mungkin. Oleh karena itu, “sebab” bukanlah

sesuatu yang bersifat mungkin, dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada, melainkan bersifat pasti. Demikian pula para teolog mengakui bahwa segala sesuatu memilki hakikat dan batasan (hukum-hukum) yang bersifat dharuri dalam mewujudkan yang ada (maujud). 28

(8)

Ibn Rusyd meyakini bahwa alam diciptakan Allah lengkap berikut hukum-hukumnya. Hukum-hukum itulah yang menjadi sifat khusus pada setiap benda di alam ini. Sifat-sifat tersebut bersifat pasti. Manusia tidak begitu saja mengetahui sifat-sifat yang ada pada benda-benda dengan segenap kompleksitas kekhususannya. Untuk mengetahuinya diperlukan penelitian.30 Karena itu, menolak hukum kausalitas sebagai sesuatu yang dapat disaksikan lewat pancaindra adalah pandangan sufistik. Barang siapa yang menafikan itu (sebab efesien) niscaya tidak akan mampu menolak untuk mengakui bahwa stiap hasil perbuatan adalah akibat dari si pembuat. Dengan kata kain, setiap akibat mestilah ada pelakunya.31

Ibn Rusyd mengatakan: “Saya tidak tahu apa yang diinginkan mereka (Al-Ghazali dan para telog lainnya) dengan menyebut al-‘adah (adat kebiasaan). Apakah kebiasaan

pelaku (‘adah al-fa’il), kebiasaan wujud (al-‘adah al-maujud), ataukah kebiasaan kita di

dalam menghukumi yang ada?”; Karena mustahil Allah memiliki adat kebiasaan. Sebab,

kebiasaan mesti melekat pada pelaku dan mengharuskan adanya perbuatan yang berulang-ulang.32

(9)

Ibn Rusyd juga mengakui bahwa keputusan atau penilaian tentang yang wujud pada akal berasal dari pengalaman empiris. Hal ini menjadi dasar pertimbangan mengapa hukum sebab akibat bersifat dharuri. Akal di sini berfungsi meneliti fenomena yang ada berupa kejadian-kejadian yang ada di alam ini dalam kaitan hukum kausalitas, sehingga kemampuan akal berbeda satu dengan yang lain. Logika menetapkan adanya hukum kausalitas. Sedangkan mengetahui berbagai akibat tidak akan sempurna tanpa mengetahui sebab-sebabnya. Menolak kausalitas berarti menolak eksistensi ilmu pengetahuan (sains). Sebagai konsekuensi logis, tidak ada sesuatu yang dapat diketahui secara pasti; Dan kalau memang ada, tidak lebih dari prasangka belaka, tidak ada pembuktian (burhan) dan tidak ada definisi sama sekali.35

Selanjutnya Ibn Rusyd mengatkan bahwa akal merupakan kumpulan hukum dan undang-undang yang berlaku pada alam. Sedangkan hukum kausalitas sendiri bersandar pada alam. Karenanya, hukum kausalitas yang berada pada akal adalah juga hukum kausalitas yang ada pada alam.36

Di dalam persoalan mukjizat, Ibn Rusyd memberikan alasan sekaligus pembelaan terhadap tuduhan Al-Ghazali yang menyerang para filosof dengan alasan bahwa mereka tidak mempercayai mukjizat yang terjadi pada nabi dan rasul.

(10)

setiap orang harus menerima begitu saja; menentang, beradu argumen dalam masalah-masalah prinsip berarti membatalkan keberadaan manusia. Oleh karena itu orang zindik harus dibunuh.39

Ibn Rusyd menambahkan bahwa dasar-dasar dan prinsip syari’at adalah termasuk

masalah ketuhanan yang mengatasi akal pikiran manusia. Karenanya, manusia harus mengakui tanpa harus mengetahui sebab-sebabnya. Karena itu pula dari generasi terdahulu belum pernah seorang pun berbicara soal mukjizat, menyebarluaskan, dan menjelaskanya;

karena mukjizat merupakan dasar dalam menetapkan dan mengukuhkan syari’at.40

Sedangkan syari’at merupakan prinsip keutamaan.41

Al-Ghazali menganggap para filosof tidak memiliki dalil yang kuat untuk menetapkan kepastian hukum kausalitas. Dalam hal ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa andaikata pelaku pertma (Allah) dapat membuat terjadinya kebakaran tanpa penciptanya (api), maka keyakinan seperti ini berarti menolak pancaindera dalam mewujudkan kausalitas.42 Tidak seorang pun filosof yang meragukan pembakaran (proses terjadinya api yang membakar) yang terjadi pada kapas, berasal dari api. Apilah yang menjadikan pembakaran itu. Tetapi, hal itu tidak mutlak. Bahkan, faktor luar merupakan syarat yang lebih penting dalam mewujudkan api terhadap proses terjadinya pembakaran. Di sinilah terjadinya perselisihan pendapat dalam menetapkan faktor ekstern tadi—apakah faktor itu berfungsi sebagai pemisah (mufariq) atau perantara (washitah) di antara pelaku kejadian dan pemisah selain dari api.43

Ibn Rusyd mengatakan tidak perlu ragu seseorang untuk menyatakan “sebab”—

(11)

mewujudkan suatu “akibat”. Sedangkan prinsip eksistensi peristiwa ini secara hakiki (bi al-dzat)—apakah Allah sendiri atau pengada yang lain-- merupakan penengah di antara pengada dengan wujud lainnya.44

Al-Ghazali juga mengakui hal ini. Sekalipun demikian, pada saat yang sama ia juga

menyangkal pandangannya sendiri. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu memilki tabi’at

khusus yang dapat menjadi “sebab” bagi yang lainnya. Tetapi, ia pun “membolehkan”,

seperti pandangan para teolog, nabi yang dilemparkan ke dalam api dan api tidak membakar seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim. Kemungkinan ini terjadi dengan cara Allah yang mengubah sifat api atau sifat yang ada pada diri nabi Ibrahim. Allah mengurangi kadar panas pada api melalui perantara malaikat sampai akhirnya panas pada api hilang sama sekali atau Allah memperbarui sifat pada diri Ibrahim yang dengan sifat itu efek yang ditimbulkan api tertolak.45

Ibn Rusyd menolak argumen di atas. Ia mengatakan bahwa bahwa sesunguhnya para filosof menerima mukjizat terjadi pada para nabi—seperti Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Namun, kadang-kadang “akibat” dapat berbeda dari biasanya, jika ada faktor

penghambat pada “sebab”. Faktor tersebut berasal dari luar, sehingga akibat yang biasa

terjadi, seperti benda akan hangus bila di bakar, tidak terjadi. Misalnya, bila tubuh dilapisi benda atau materi tahan api, maka materi tersebut akan menghambat pengaruh api.46Sebab

inilah yang perlu dan ini pula yang menjadi ‘hikmah’ penciptaan. Pada konteks ini manusia

(12)

Perbedaan pandanagn kaum mutakallimin, termasuk Al-Ghazali dengan para filosof

dalam soal “sebab”. Al-Ghazali tidak mengingkari hubungan niscaya antara “sebab” dengan “akibat”, akan tetapi kemudian mengembalikan “sebab” langsung kepada Allah.

Rasa kenyang pada saat perut penuh dengan air sebagai contoh. Rasa kenyang muncul karena Allah yang memberi rasa tersebut, bukan air.48 Sedangkan para filosof meyakini dengan sepenuhnya bahwa air memiliki sifat—antara lain—mengenyangkan. Sifat ini menjadi ciri khusus pada air. Demikian pula sifat khusus ini berlaku pada benda lain. Bagi para filosof, Tuhan menciptakan segala yang ada di alam sekaligus menetapkan hukum-hukumnya. Oleh karenanya, setiap benda (materi) memiliki sifat-sifat yang berbeda-beda yang menjadi ciri dan sifat kekhususannya.

Khalil Syarifudin mengtakan bahwa Ibn Rusyd tidak mengingkari mukjizat para nabi seraya mengakui tidak ada suatu apa pun yang dapat melemahkan sifat iradah Allah. Tetapi, ia mengatakan lebih lanjut bahwa Ibn Rusyd menempatkan mukjizat pada urutan kedua sebagai bukti kebenaran seorang nabi. Bagi Ibn Rusyd, mukjizat adalah persoalan yang datang dari luar diri nabi yang kemudian memperkuat kebenaran misi kerasulannya, bukan menjadi tolok ukur kebenaran dari risalahnya. Sedankan orang pada umumnya memandang mukjizat sebagai dalil. Ingatlah, demikian kata Ibn Rusyd, bahwa dalil satu-satunya yang dapat menetapkan kebenaran risalah kenabian.49Itu sendiri satu-satunya yang

dapat menetapkan kerbenaran. Salah satu risalah kenabian adalah syari’at itu sendiri yang

sudah tercakup dalam Risalah itu.50

Ibn Rusyd memberi perumpamaan dengan dua orang dokter yang salah satunya

“menyembuhkan orang sakit untuk menunjukkan bahwa ia seorang doketer. Sedangkan

(13)

keluar dari kebiasaan dan merupakan mukjizat. Tetapi, hal ini bukalah dalil untuk menunjukkan bahwa ia serang dokter51

Kesimpulan

Al-Ghazali memandang hukum kausalitas sebagai sesuatu yang tidak pasti karena bersumber dari pengalaman empiris. Pandangan manusia atas sesuatu yang diyakini pasti terjadi hanyalah kemestian akal semata. Padahal, hal yang diyakini bersifat pasti itu merupakan hasil pengamatan manusia terhadap kebiasaan (al-‘adah). Karenanya, suatu kebiasaan mungkin saja berubah pada saat dan tempat yang berbeda. Bagi, Tuhan yang maha kuasa, tidak ada hal yang tidak mungkin berubah. Tuhan bisa saja mengubah suatu kebiasaan dengan kebiasaan yang lain, jika Ia menghendaki. Sifat-sifat khusus pada benda-benda dan lainnya dapat saja berubah. Manusia tidak dapat memastikan apa pun.

Adapun Ibn Rusyd memandang bahwa hukum kausalitas bersifat pasti. Keteraturan alam dan sifat-sifat khusus pada benda-benda menunjukkan adanya suatu hukum yang bersifat pasti (dharuri). Sunatullah tidak mungkin berubah—secara aksidental—karena telah menjadi ketetapanNya sejak azali. Dari fakta-fakta inilah manusia dapat memahami hukum-hukum Allah sehingga ia dapat mengelola alam ini dan mewujudkan misi Tuhan sebagai khalifah di bumi.

Sebagai konsekuensi logis dari sikap menerima dan menolak terhadap eksistensi hukum kausalitas, maka,-- secara logis— yang pertama dapat melahirkan sikap ‘pesimis’

terhadap pengetahuan dan sain. Adanya ketidakpastian pada hukum-hukum yang berlaku

(14)

akibatnya lebih jauh, di dunia Islam, perkembangan pengetahuan dan sain mengalami keterlambatan—jika tidak dapat dikatakan tertinggal di banding dunia lain.

Sedangkan yang kedua dapat melahirkan sikap optimis terhadap pengetahuan dan sain. Semangat meneliti dan mengeksplorasi alam—dalam arti positif—akan muncul dari dalam diri manusia yang pada akhirnya akan mampu melahirkan pengetahuan dan sain yang amat menakjubkan demi kemaslahatan umat manusia.

Wallahua’lam

Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd. Lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M dan wafat di Maroko pada tahun 595 H/ 1198 M.

3

Lahir di Farab, Transoxania, tahun 872-950 M. nama lengkapnya Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Turkhan ibn Uzlaqh al-Farabi. Ia banyak memberikan komentar terhadap karya-karya Aristoteles terutama bidang logika dan kosmologinya. Bahkan komentarnya tentang metafisika besar memberi pengaruh pada Ibn Sina yang hidup dua generasi setelahnya. Dikenal pula dengan sebutan guru kedua (al-mu’allim al -tsani) setelah Aristoteles. Lihat., Seyyed Husein Nasr dalam Suharsono dan Djamaluddin MZ (terj.),

Intelektual Islam Teologi, Filsafat, dan Gnosis,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h.36-37. Harun Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1984), jilid 2, Cet.ke-2, h.49.

4

Filosof bergelaral-Syaikh al-Ra`is(Kiyahi Utama) ini lahir di Afshana, suatu tempat dekat Bukhara tahun 980 M dan wafat tahun 1037 M. Ia menulis lebih dari 200 karya. Karya monumentalnya antara lainKitab al-Syifa, Al-Qanun fi al-Thib, Kitab al-Najat, al-Mabda` wa al-Ma’ad, dan Al-Isyarat wa al-Tanbihat.

Lihat Seyyed Hussein Nasr,Ibid. h. 38-39. Nurcholish Madjid (Ed.),Khazanah Intelektual Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.33

5

Dua puluh masalah yang dikomentari Al Ghazali adalah: 1). Alam bersifat azali (tak bermula) 2). Alam bersifat abadi (kekal) 3).Allah sebagai pembuat dan alam adalah hasil perbuatannya. 4). Ketetapan pembuat. 5). Mustahilnya ada dua Tuhan 6). Penolakan terhadap sifat 7). Tuhan tidak terbagi kepada jenis (al-jins) dan pembeda (al-fashl) 8). Tuhan bersifatbashittanpa hakikat (maahiyah) 9).Tuhan bukan jasmani 10). Masa tidak diciptakan 11). Tuhan mengetahui kepada selainNya. 12). Tuhan mengetahui zatNya. 13). Tuhan tidak mengetahui hal yang bersifat parsial (al-juz`iyyat) 14). Langit hidup dan bergerak dengan kemauan.15). Tujuan yang menggerakan langit 16). Jiwa langit mengetahui semua hal yang bersifat parsial (juz`iyyat) 17). Yang menyalahi kebiasaan adalah mustahil 18). Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri bukan jasmani dan bukan sifat. 19). Jiwa manusia tidak hancur 20). Tidak ada kebangkitan jasmani. Lihat,Tahafut al-Falasifah h. 86. Harun Nasution meringkasnya menjadi sepuluh masalah. Lihat Harun Nasution,Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Cet., ke-7. h. 44-45.

6

Al-Ghazali,Tahafut al-Falasifah,Sulaiman Dunya (ed.), (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), Cet.ke-5, h. 239.

7 Ibid. 8

Ibid. Pada titik ini tampaklah sosok al-Ghazali sebagai penganut setia faham teologi Asy’ariyah yang

bertitik tolak dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan di dalam melihat berbagai persoalan.

(15)

10

Ahmad Daudi (ed.),Segi-segi Pemikiran Falsafi dalamIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), Cet.,ke-1, h. 76.

20 Ibid. 21

Al-Ghazali,Maqashid al-Falasifah,Sulaiman Dunya (ed.), (Mesir, Dar al-Ma’arif, tth.), Cet., ke-2, h. 189.

22 Ibid. 23

Ibid.,h. 189-190.

24

Dalam konteks ini penulis ingin memberi satu catatan bahwa persoalan kausalitas (sebab-akibat) muncul pada saat Aristoteles mencoba memikirkan tentang sebab pertama (causa prima) yang menjadi sumber dari segala sebab yang pada akhirnya melahirkan alam ini. Uniknya, ketika masuk ke dalam dunia Islam dan menjadi bagian dari wacana filsafat Islam, persoalan ini justru melahirkan kontroversi di kalangan filosof muslim sendiri, sebut saja Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Lihat, Sulaiman Dunya (ed.),Al-Haqiqah fi Nazhr al-Ghazali,(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), Cet. ke-3, h. 252-256.

25

Namun, bukan di sini tempatnya, untuk menguraikan kritikan Ibn Rusyd terhadap Al-farabi dan Ibn Sina. Dalam hal ini Ibn Rusyd, di dalam bukunya, hendak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dipahami dan dimaksudkan oleh Aristoteles, yang menurutnya kemudian, telah disalahpahami oleh para filosof lainnya, khususnya dalam permasalahan kausalitas.

26

Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut,Sulaiman Dunya (ed.), (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), j.II, h. 784.Gagasan

mengenai empat sebab ini berasal dari Aristoteles. K. Bertens menjelaskan sebagai berikut: pertama,

Penyebab efesien (“efficient cause”) yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang kayu yang membuat sebuah kursi. Kedua, penyebab final (“final cause”). Inilah yang tujuan menjadi arah seluruh kejadian.

Misalnya, kursi dibuat supaya orang dapa duduk di atasnya. Ketiga, penyebab material (“material cause”) misalnya kayu sebagai bahan yang dijadikan kursi. Keempat, penyebab formal (“formal cause”). Misalnya

bentuk dari kursi. K. BertensSejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kansius, 2006), Cet., ke-22, h. 174.

27

Karena Ibn Rusyd telah dengan jelas mengkategorisasikan sebab—sebagaimana tertulis di depan—ia tampak kebingungan ketika Al-Ghazali menyebut hal demikian dengan istilah al-‘adah (kebiasaan). Sementara Al-Ghazali menyebut ‘adat’ karena kesimpulan yang diambil para filosof berdasarkan hasil

pengamatan pancaindera. Hemat penulis hal ini dapat dipahami karena di dalam perjalanan dan pengembaraan intelektualnya Al-Ghazali mengalami keraguan pada pancaindera sebagai sumber pengetahuan. Ia memandang bahwa pancaindera tidak dapat sipercaya sepenuhnya karena seringkali melakukan kebohongan. Sebuah tongkat tampak bengkok ketika diasukan ke dalam air. Benda-benda yang berukuran sangat besar menjadi tampak sangat kecil disebabkan karena letak yang jauh dari mata dan sebagainya. Inilah yang kemudian membuat Al-Ghazali skeptis terhadap logika dan pengalaman inderawi.

32

Untuk memperkuat argumentasinya, Ibn Rusyd mengutipa ayat al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 62 dan Fathir ayat 43.

Ibid.,h. 786. Lihat: Oemar Amin Hoesin,Filsafat Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1964), Cet. ke-2, h. 156-157.

34 Ibid. 35

(16)

36

Khalil Syarifuddin,Ibn Rusyd, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1979), h. 75.

37

Ibn Rusyd,op. cit., h. 791.

38

Ibid., (selanjutnya lihatfoot note1 pada halaman buku tersebut).

39 Ibid. 40

Ibid.,h. 792.

41 Ibid. 42

Ibid.,h. 793.

43 Ibid. 44

Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah fi Ra’y Ibn Rusyd wa Falasifah al-‘Ashr al-Washith, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), Cet. ke-2, h. 219.

45 Ibid. 46

Ibid. 47

Ibid.,h. 220.

48 Ibid. 49

Khalil Syarifudin,loc. Cit. 50

Ibid. 51

Ibid.,h. 76.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kitab Tahâfut al-Tahâfut , al-Gazâlî menolak pendapat para filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam. wujud rohani, tidak

[r]

Kemunculan Al-Ghazali yang mengkritik para filosof tidak terlepas dari kehidupan ummat Islam yang telah dipenuhi dan disesaki dengan pertentangan-

Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid yang wajib adalah tauhid ulūhiyyah yang bermakna ”menyembah Allah tanpa menyekutukan- Nya dengan sesuatu apapun, sehingga ketaatan