ESKATOLOGI : SUATU PERBANDINGAN ANTARA
AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD
Oleh :
Ahmad Suja’i
NIM : 1983314739
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
KATA PENGANTAR
Bismillâhirrahmânirrahîm
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Hanya kalimat ini yang dapat
penulis ucapkan sebagai refleksi syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini.
Hanya kepada-Nya segala kelebihan terpulangkan dan atas rahmat, kasih sayang-Nya
dan juga karena tuntuna serta bimbingan-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan dengan judul “ESKATOLOGI; SUATU PERBANDINGAN ANTARA
AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD”
Shalawat dan salam penulis panjatkan untuk nabi muhamad SAW, sebagai
insan kamil yang membawa dan menyampaikan risalah suci Ilahi yang penuh dengan
nilai-nilai pembebasan untuk segenap alam. Begitu juga kepada keluarga , sahabat
dan penerus ajarannya hingga hari kiamat nanti.
Skripsi ini penulis susun, salah satu fungsinya adalah memenuhi dan
menyempurnakan prasyarat meraih gelar sarjana (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat
fakultas ushuludin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah.
Dengan penuh kesadaran penulis melihat bahwa penyelesaian skripsi ini tidak
hasil dari jerih payah penulis semata, tetapi juga atas bantuan da motivasi –baik moril
dan terlebih materil– dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa terima kasih dan
1. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Syamsuri, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Masri Mansoer, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak
Drs. Syamsuri, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah rela meluangkan
waktunya guna membimbing, memberikan saran dan kritik serta motivasi kepada
penulis selama proses penulisan ini dan juga pada seluruh dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, yang ikhlas memberikan ilmu selama penulis dalam
proses belajar.
Terima kasih dan penghargaan serta doa yang tak henti-hentinya kepada
Ayahanda H. Muhammad Amsari. HD dan Ibunda Hj. Siti Subani yang telah
membesarkan dan memberikan cinta dan kasih sayang sejak tangisan pertama hingga
saat ini – lebih dari segala-galanya, tanpa sedikitpun mengharapkan imbalan. Juga
kepada kakanda Nahrowi & Istri, Syaifullah SE, Ahmad Syarif, dan adinda Fahmi
Afrizal yang selalu ceria bersama merekalah tangis serta tawa selalu menyertai serta
Hj. Siti Juriah yang telah bersedia menyediakan pikiran dan waktu untuk selalu
bersedia menjadi tempat konsultasi skripsi penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman AF diantaranya, Agus
Wiyanto, Yunus, H. Fahmi, Rohmawan, Khatib, terutama Muhammad ‘Om Acin’
Yasin (kapan kawin …?). Ikhwan IKRAMI (Ikatan Remaja Masjid Ibadurrahman) : Hendi ‘Bondil’, Saipul ‘Mr. Troubleshooting’, Asep ‘Cobe Brian’, Toto S. Hut, Agus
‘Naryo’. Barudak FORMAS (Forum Rembuk Masyarakat Sawangan): Yanto ‘Tepoz’, Abbas, Damsik, B-Doel ‘Hacker Egleg’. TTYK (Tetuyukan) Team. Tiga adik kelasku yang manis : Maftuhin,Ucok, Fadli ‘Syarkum’ dan lainnya yang satu persatu tak dapat penulis sebutkan atas partisipasinya dalam penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis memanjatkan do’a kepada Allah SWT Yang Rahman dan
Rahim, agar usaha dan bantuan individu serta instansi tersebut di atas diterima
sebagai suatu amal shaleh serta dibalas-Nya dengan balasan yang lebih baik. Penulis
menyerahkan skripsi ini kepada segenap pembaca untuk memahami dan menilainya.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan walaupun penulis
telah mengerahkan usaha dengan maksimal.
Jakarta, 26 Agustus 2005
Bismillâhirrahmânirrahîm
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
…خ
khش
syغ
gن
nب
bد
dص
sف
fو
wت
tذ
zض
dق
qه
hث
sر
rط
tك
kء
’ج
jز
zظ
zل
lى
yح
hس
sع
‘م
mâ = a panjang
î = i panjang
û = u panjang
Merujuk pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI,
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI …………....
KATA PENGANTAR ………..
PEDOMAN TRANSLITERASI …….………
DAFTAR ISI ……….
BAB I
: PENDAHULUAN
………..
A. Latar Belakang Masalah …..………..
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………...
D. Metode Penelitian ………..
E. Sistematika Pembahasan ………
BAB II
: SEKITAR ESKATOLOGI
……….………..
A. Pengertian Eskatologi ………
B. Sejarah Munculnya Eskatologi dalam Filsafat Islam ………
BAB III
: ESKATOLOGI MENURUT AL-GHAZALI DAN
IBN
RUSYD
………...
A. Al-Ghazali ……….
1. Riwayat Hidup al-Ghazali ………
2. Karya-karya al-Ghazali ………
3. Eskatologi menurut al-Ghazali ……….
B. Ibn Rusyd ………...
1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd ………
2. Karya-karya Ibn Rusyd ………
3. Eskatologi menurut Ibn Rusyd ………...
BAB IV
: ANALISA PERBANDINGAN
……….
A. Landasan Titik-Tolak Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rusyd..
B. Metodologi Berpikir al-Ghazali dan Ibn Rusyd ……… C. Pengaruh Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rusyd tentang
Eskatologi terhadap Perkembangan Paham Keagamaan …... 47 47
56
66
BAB V
: PENUTUP
……….….
A. Kesimpulan ………
B. Saran-saran ………
DAFTAR PUSTAKA
………...
72 72
73
74
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Eskatologi ialah suatu ilmu yang menjelaskan tentang gambaran hari akhirat.
Ilmu ini menjelaskan akhir segala sesuatu, seperti kematian, kebangkitan dan
penghitungan amal. Dengan kata lain eskatologi adalah ilmu yang menerangkan
tentang keakhiratan. Menurut Eliade, “…eskatologi termasuk bagian dari agama dan
filsafat yang menguraikan secara runtut semua persoalan dan pengetahuan tentang
akhir zaman, seperti kematian, alam kubur (barzakh), kehidupan surga dan neraka, hukuman bagi yang berdosa, pahala bagi yang berbuat baik, hari kebangkitan,
pengadilan pada hari itu dan sebagainya”.1
Eskatologi dalam ajaran Islam merupakan salah satu rukun iman yang harus
diimani oleh semua muslim. Sebagai contoh, jika seorang muslim tidak mengimani
adanya kehidupan setelah kematian, maka orang tersebut boleh dicap sebagai kafir.
Seperti jenis ilmu pengetahuan lain yang berkembang dalam dunia pemikiran
dan keilmuan Islam. Permasalahan eskatologi pun tak lepas dari perdebatan dan
kontroversi. Pada abad pertengahan misalnya, ketika terjadi kontroversi pemikiran
antara para filosof (falâsifah) dan para teolog (mutakallimûn), al-Gazâlî muncul, lalu
1Mircae Eliade (ed). “Eschatology”, The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan
Publishing Company, 1987). h. 152-153
meruntuhkan konsepsi-konsepsi eskatologi yang bertentangan pada saat itu, terutama
konsepsi para filosof.
Serangan al-Gazâlî terhadap isu-isu eskatologi ini pada dasarnya tidaklah
merambah pada semua konsep eskatologi Islam secara menyeluruh. Serangannya
hanya bergerak dalam kosep kebangkitan kembali (resurrection). Serangan ini merupakan serangkaian dari dua puluh persoalan yang ditujukan para filosof
(falâsifah), terutama sekali diperuntukan bagi konsepsi Ibn Sînâ (980-1037). Filosof Ibn Sînâ, yang sebetulnya sangat berjasa membangun watak filosofis dalam
eskatologi Islam ini, memperkenalkan suatu gagasan bahwa jiwa bersifat abadi
sedangkan raga bersifat sementara. Implikasinya, yang dibangkitkan pada hari
kebangkitan adalah jiwa, sementara badan hancur dengan sendirinya. Konsepsi inilah
sebenarnya yang ditolak al-Gazâlî, dengan mengatakan bahwa konsepsi filosof
tersebut adalah keliru, karena mana mungkin manusia yang dahulunya memiliki raga
tetapi setelah dibangkitkan raganya tersebut musnah dan menghilang; konsepsi filosof
tersebut menegasikan kekuatan Tuhan, karena bukankah Tuhan itu Mahakuasa atas
segala sesuatu, termasuk untuk hanya sekedar menampilkan kembali raga-raga yang
lama atau pun yang baru ?2
Serangan yang melambangkan inkoherensi para filosof Muslim tersebut, oleh
al-Gazâlî diletakan sebagai salah satu tiga konsepsi sesat yang dapat menjerumuskan
2Sibawaihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur Rahman: Studi komparatif Epistemologis
seseorang ke dalam kekafiran. Hal ini merupakan salah satu pendapatnya yang cukup
terkenal dalam Tahâfut al-Falâsifah tentang kafirnya para filosof dalam tiga hal:
1. Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2. Tuhan tak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.3
Pengkafiran (takfîr) filosof tersebut di atas mendapat reaksi yang sangat keras dari filosof muslim sesudahnya, terutama Ibn Rusyd yang kemudian menulis buku
khusus yakni Tahâfut al-Tahâfut. Buku ini merupakan ”serangan balasan” terhadap tuduhan al-Gazâlî. Dalam buku ini Ibn Rusyd membela filosof atas tuduhan al-Gazâlî
dalam masalah-masalah filsafat.4
Tentang permasalahan kebangkitan kembali (resurrection) yang merupakan fokus dari penelitian ini, Ibn Rusyd berpandangan bahwa al-Gazâlî sebagai orang
yang tidak konsisten dalam pengertian bahwa pendapat al-Gazâlî bertentangan
dengan pendapatnya yang lain. Ibn Rusyd menunjukan di dalam Tahâfut al-Falâsifah, al-Gazâlî menganut pandangan tentang kebangkitan jasmani dan rohani sekaligus. Tapi pendapat al-Gazâlî dalam buku yang lain, ketika ia telah mencapai
puncak pengalaman sufistiknya, al-Gazâlî berpendapat bahwa kebangkitan hanya
akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani.5 Dalam hal ini ia
berpandangan sama dengan filosof, karena baik filosof mau pun sufi mengalami
3 Lihat al-Gazâlî , Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya (ed), (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.).
Cet. ke-8, h.307
4 Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama.
(Jakarta: GMP, 2004), Cet. Ke-1, h.29
5 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995) Cet
puncak kebahagiaan pada rohani dan telah melepaskan diri dari kungkungan
kebendaan. Ini berarti bahwa al-Gazâlî sendiri menolak pendapatnya yang
pertama. Karena itu, tuduhan dan pengkafiran al-Gazâlî terhadap filosof juga gugur
dengan sendirinya.
Persoalannya kemudian adalah, bagaimana sebenarnya posisi al-Gazâlî dalam menggugurkan para filosof dan bagaimana juga
posisi Ibn Rusyd dalam menjawab tuduhan al-Gazâlî. Bentuk perdebatan dengan masing-masing argumen inilah yang cukup
menarik untuk dikaji dan didalami, karena tak dapat dipungkiri kedua tokoh Islam ini memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam membentuk pola pemikiran umat Islam hingga sekarang.
Di samping itu, kedua pemikir tersebut cukup representatif untuk diangkat sebagai pemikir yang mewakili pemikiran teologi dan
filsafat khususnya tentang permasalahan eskatologi. Karena dari sekian banyak filosof Islam, keduanya sangat intens
berkomunikasi dan berdebat tentang persoalan eskatologi dibandingkan teolog dan filosof Islam lainnya. al-Gazâlî , dengan
pendekatan teologi yang condong pada aliran Asy‘ariah, memberikan pola yang jelas dan tegas tentang bagaimana berpikir lewat
pola tersebut. Sementara Ibn Rusyd, yang cenderung pada pendekatan filsafat beraliran Aristotelian juga mengungkapkan
dengan pola dan ciri khas Aristoteles.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas, maka penting dan akan menarik untuk membahasnya, membandingkannya dan
sekaligus menganalisanya lebih lanjut sebagai sebuah wacana pemikiran filsafat Islam. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk
membahasnya dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul “ ESKATOLOGI: Suatu Perbandingan antara al-Gazâlî dan Ibn
Rusyd”.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagai sebuah wacana, eskatologi mempunyai banyak sekali permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas, namun agar
penelitian ini lebih terarah sehingga dapat sampai pada tujuan yang diinginkan maka penulis membatasi permasalahan eskatologi
hanya pada masalah kebangkitan (al-ma’âd/resurrection).
Berdasarkan pada latar belakang dan batasan masalah seperti tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi (hidup sesudah mati)
2. Apa landasan serta metodologi al-Gazâlî dan Ibn Rusyd dalam memandang eskatologi dan apa perbedaan serta persamaan
3. Apa pengaruh pandangan al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi terhadap perkembangan faham keagamaan dalam
Islam.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini selain sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam pada
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat juga agar penulis mengetahui
lebih mendalam tentang eskatologi khususnya permasalahan kebangkitan kembali (resurrection) menurut al-Gazâlî dan Ibn
Rusyd berikut landasan titik tolak pemikiran, metodologi berpikir, dan pengaruh pemikiran keduanya terhadap perkembangan
paham keagamaan.
Metodelogi Penelitian
Ada tiga hal yang perlu dilakukan dalam metodologi penelitian ini, yaitu pengumpulan bahan atau data, analisis terhadap data
yang telah dikumpulkan dan presentasi hasil penelitian. Penelitian ini sepenuhnya bersifat penelitian kepustakaan (library
research). Dalam tulisan ini, penulis akan melacak pendapat-pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd terutama yang berkaitan dengan
masalah eskatologi baik dari sumber primer maupun sekunder. Di samping itu, penulis juga akan mencari tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan pengertian eskatologi dan pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam.
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode penelitian komparasi. Karena dalam skripsi ini
penulis akan membandingkan dua pemikiran yakni al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang eskatologi khususnya permasalahan
kebangkitan kembali (resurrection).6
Sedangkan untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi.Tesis dan Disertasi IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan IAIN Jakarta Press yang diterbitkan oleh Logos, 2000.
Sistematika Pembahasan
Secara sistematis, skripsi ini disusun menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:
bab satu, merupakan pendahuluan, di dalamnya akan dibahas tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Dalam bab ini akan diungkapkan signifikansi
pembahasan tentang eskatologi khususnya tentang kebangkitan terutama dalam pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd.
Bab dua, membahas tentang pengertian eskatologi dan pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam. Dalam bab ini akan diuraikan
pengertian tentang eskatologi dan bagaimana pemikiran eskatologi dalam filsafat Islam.
Bab tiga, membahas eskatologi dalam pendapat al-Gazâlî dan Ibn Rusyd, dalam bab ini juga akan dibahas tentang riwayat hidup
al-Gazâlî dan Ibn Rusyd, serta karya-karya mereka.
Bab empat, merupakan analisa perbandingan antara pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang masalah eskatologi, dalam bab
ini akan dibahas landasan pemikiran, metodologi berpikir, perbedaan dan persamaan serta pengaruh pemikiran al-Gazâlî dan
Ibn Rusyd tentang eskatologi terhadap perkembangan paham keagamaan.
Bab lima, merupakan penutup yang memberikan kesimpulan dan saran-saran penulis.
SEKITAR ESKATOLOGI
A. Pengertian Eskatologi
Secara etimologis, eskatologi berasal dari bahasa Yunani eschaton artinya “yang terakhir”. “yang selanjutnya”, “yang
paling jauh” dan logos “pengetahuan”. Secara umum eskatologi merupakan keyakinan yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain.7 Menurut
Lorens Bagus, eskatologi merupakan “…doktrin Yahudi akhir dan Kristen awal mengenai hal-hal yang terakhir seperti
kematian, kebangkitan kembali, keabadian, akhir zaman, pengadilan, keadaan masa mendatang…”.8
Lebih jauh lagi dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa “…eskatologi adalah doktrin atau teori (logos) tentang “
yang terakhir “. “Yang terakhir” bisa mempunyai dua arti, Pertama, ia dpat diartikan akhir kehidupan setiap manusia. Kedua, ia
dapat pula berarti akhir dari dunia.9
Berdasarkan pengertian dan pendapat tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa eskatologi merupakan suatu pengetahuan
yang berkaitan dengan hal-hal yang ‘terakhir’ dan ia merupakan bagian dari agama dan filsafat yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan dan sebagainya.
Menurut klasifikasi pengetahuan, eskatologi merupakan cabang dari teologi sistematis yang berkaitan dengan doktrin tentang
hal-hal akhir (ta eschata).10 Kosakata Yunani untuk eskatologi sebenarnya baru diperkenalkan, tetapi dalam pemakaian modern
hal tersebut sebagian besar menggantikan padanan latinnya De Novissimis.11
Asal dokrin ini hampir sama tuanya dengan ras manusia, bukti arkeologis berupa kebiasaan pada zaman batu telah menandai
adanya suatu konsep keabadian yang bersifat elementer. Bahkan di tahap awal perkembangan agama, spekulasi tentang hal-hal
yang akan datang adalah tidak secara keseluruhan dibatasi pada nasib individu.12 Kehancuran secara alami seperti banjir,
kebakaran besar, angin puyuh, gempa bumi, dan letusan gunung merapi sudah selalu mengusulkan kemungkinan dari akhir
7 Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, (New York: Harper & Row Publishers,1981).
h. 80
8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta: Gramedia,1996), h. 216
9 Paul Edward (ed.), “Eschatology”. Encyclopedia of Philosophy, (New York : Macmillan Publishing
Co. Jac & The Free Press), Vol.3, h.48
10 P.J. Toner, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.ewtn.com/
library/HOMELIBR/05528B.TXT
11 Ibid
12 G. M. Burge, Eschatology, diambil tanggal 26 Mei 2005 pada http://www.mb soft.com/
believe/text/eschatol.htm
dunia. Bentuk pemikiran-pemikiran eskatologi yang lebih tinggi adalah produk dari suatu pertumbuhan sosial yang kompleks
dan pertumbuhan pengetahuan yang ditinggalkan dari ilmu pengetahuan alami.
Oleh karena itu, perkembangan spekulasi eskatologi, biasanya mencerminkan pertumbuhan intelektual dan persepsi moral
manusia, perluasan pengalaman sosial, dan pengetahuan alam yang berkembang. Bagaimanapun, bentuk akhir doktrin.
Eskatologi akan sangat beragam, menurut karakteristik dari suatu lingkungan dan orang-orang yang tinggal didalamnya.
B. Eskatologi dalam Filsafat Islam
Hampir semua agama -termasuk Islam- mengajukan konsep tentang awal segala sesuatu; Tuhan, dunia, dan manusia. Demikian
juga halnya dengan akhir segala sesuatu. Namun demikian seperti dijelaskan di atas, bahwa harus dibuat perbedaan yang jelas
antara eskatologi individu dan eskatologi umum. Eskatologi individu berkaitan dengan akhir dari manusia secara pribadi, yakni
akhir dari jiwa setelah kematian. Sedang eskatologi umum berkenaan dengan transformasi yang lebih umum atau akhir dunia ini.
Eskatologi adalah faham yang bercorak kefilsafatan yang berusaha menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup
meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi, dan menekan dorongan darah dan daging tubuhnya, dengan mengutamakan
kehidupan akhirat, serta mengikuti secara total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya
menjadi upaya pemikiran transendental untuk menyingkap kehidupan sesudah mati.
Persoalan eskatologi tidak hanya ‘meresahkan’ manusia zaman dahulu, tetapi manusia modern yang sangat mengagungkan akal
pun kerap dibuat ‘resah’ untuk mengetahui, mencari dan menggapai kehidupan sesudah kematian, bahkan di dunia Barat yang
sekuler. Namun demikian kemunculan eskatologi dalam filsafat Islam bukanlah suatu kelanjutan dari pemikiran eskatologi dari
fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan dalam al-Qur’an dan Hadits banyak sekali keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
permasalahan eskatologi, yang menjadi kelanjutan adalah metode pembahasannya.
Dalam filsafat Islam, eskatologi tentang kehidupan sesudah mati menjadi salah satu wacana penting sebagai upaya penyingkapan
refleksi metafisik atas dilema ketuhanan.13 Dimensi eskatologis ini dilihat melalui pancaran nalar yang tetap melandaskan diri
pada ajaran-ajaran al-Qur’an. Meski pun demikian, menurut Majid Fakhry “…tantangan yang dihadapi berkenaan dengan tafsir
terhadap problema ini tidak kecil, terutama rata-rata datang dari kalangan ortodoksi dan lebih khusus lagi yang diwakili oleh
al-Gazâlî.14
Agama-agama wahyu telah mengembangkan suatu penyesuaian antara isi kitab suci dengan keinginan masyarakat di hampir
semua kehidupan keagamaan. Hal ini nampak sekali terlihat dalam perkembangan eskatologi Islam, yakni selalu dalam proses
13Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta : LESFI,2002),
Cet.ke-3, h. 239
perkembangan dan penyesuaian. Dengan kata lain, dualisme radikal terhadap kitab suci dalam agama monoteistik jarang sekali
terjadi dalam bentuknya yang murni. Hal tersebut biasanya menjadi semu karena proses interaksi dengan gagasan dan praktek
yang popular. Dibandingkan dengan agama-agama monoteistik lainnya, Islam merupakan agama yang paling kaya dengan latar
belakang dan paling luas dalam pergaulan kebudayaan.
Gambaran umum mengenai eskatologi Islam adalah “…kenikmatan surga dan azab neraka. Surga dan neraka ini sering
dinyatakan al-Qur’an sebagai imbalan dan hukuman secara global, termasuk keridhaan dan kemurkaan Allah”15 Namun, ide
pokok yang mendasari ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai akhirat adalah gambaran tentang kiamat ketika setiap manusia akan
memperoleh kesadaran unik yang tak pernah dialami sebelumnya dari perbuatan baik dan buruknya. Pada saat ini manusia
dihadapkan kepada apa yang telah dilakukannya, kemudian ia akan menerima ganjaran karena perbuatannya. Lebih lanjut,
Rahman menyebutkan bahwa pada umumnya manusia sangat tertarik pada kepentingan-kepentingan yang bersifat langsung
(pragmatis terutama kepentingan-kepentingan untuk dirinya sendiri yang dangkal dan bersifat materi, sehingga ia tidak
menghiraukan akhir kehidupan ini. Akibatnya manusia sering sekali melanggar norma-norma dan hukum moral.
Al-Qur’an memang sarat dengan nilai-nilai eskatologis. Kalau ditelusuri dengan cermat, maka “…sekitar sepertiga dari
keseluruhan isi al-Qur’an memuat ajaran tentang eskatologi”.16 Setiap pembicaraan tentang amal manusia senantiasa ditutup
dengan balasannya di hari kiamat nanti. Perkataan surga dan neraka, pahala dan dosa, kesenangan dan siksaan selalu
diulang-ulang di hampir semua surat. Hal ini menunjukan bahwa persoalan eskatologis dalam Islam merupakan hal yang sangat penting.
Kehilangan inilai eskatologis tidak hanya dapat menjauhkan seseorang dari agama tetapi juga dapat menjerumuskannya kepada
kekufuran dan kezaliman.
Karena pentingnya persoalan eskatologi ini, al-Qur’an di banyak tempat menyebutkan pesan-pesan tentang akhir segala sesuatu.
Surat-surat Makkiyah terutama Juz ‘Ammâ umumnya mengandung pesan-pesan ini. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebelum
mengamalkan ajaran agama, ia terlebih dahulu mempunyai motivasi untuk melakukannya karean setiap apa yang dilakukan itu
akan diberikan balasan. Kemudian, keyakinan kepada hari akhir menjadi bagian yang paling esensial dalam beragama.
Bahkan dalam al-Qur’an senantiasa digandengkan “beriman kepada Allah dan hari kiamat”. Penggandengan ini bukanlah suatu
kebetulan, tetapi suatu ketetapan yang dirumuskan oleh Allah sendiri. Ini menunjukan betapa eratnya kaitan antara beriman
kepada Allah dan meyakini dengan sesungguhnya hari akhir itu pasti terjadi. Dengan demikan manusia akan sangat hati-hati
dalam melakukan sesuatu, karena apa yang dikerjakannya pasti Allah melihatnya dan dengan sendirinya ia menyadari bahwa
kalau Allah sudah melihat, maka perbuatannya itu akan diberikan balasan. Balasan itu pun sangat tergantung pada kualitas
amal, yang baik diberi pahala kesenagan surgawi. Sedang amal yang jelek akan diberi azab hukuman neraka.
15Darwis Hude, et al., Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-1,
h. 162
Yang menarik dari keterangan al-Qur’an tentang eskatologi menurut Amsal Bakhtiar adalah “…kerincian penjelasannya.
Dibandingkan dengan persoalan ibadah individual seperti shalat dan zakat, keterangan tentang hari akhirat jauh lebih
terperinci.17” Hal ini mungkin karena pengetahuan manusia tentang alam metafisika sangat terbatas. Terlebih, ijtihad dalam
lapangan ini membutuhkan keahlian khusus, dan kalu salah berijtihad akan berakibat fatal karena hal ini berkaitan dengan
akidah.
Kenyataan ini menggambarkan sekaligus mempertegas bahwa persoalan eskatologi adalah bagian yang rumit dan tidak
terpisahkan dari Islam dan kehidupan manusia. Manusia pada dasarnya memiliki naluri takut mati karena telah mengetahui apa
yang ada dan bagaimana setelah mati. Karena itu, agama menjelaskan persoalan yang sangat misterius ini, sehingga orang yang
beragama menjadi lebih tenang dibandingkan dengan orang tidak beragama.
Dalam eskatologi islam, permasalahan yang menjadi pembahasan para pemikir Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
permasalahan yang pernah timbul pada pemikiran eskatologi sebelum Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Ada pun
permasalahan-permasalahan dalam eskatologi Islam antara lain : kematian, alam kubur, hari kiamat dan kebangkitan kembali,
berkumpul di mahsyar, penghitungan dan pertimbangan amal, pembalasan dan hukuman. Berikut penulis akan menjelaskan
beberapa hal tersebut secara singkat :
1. Kematian
Realitas kematian adalah kepastian, yang tidak dapat ditolak, setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka,
dan dalam konsep filsafat Islam kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di
akhirat.18 Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri.
Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama
yang berpandangan bahwa kematian adalah “netral” (neutral death) yaitu tidak ada siksaan maupun kenikmatan setelah
kematian, pandangan ini berkembang di Persia kuno. Sedangkan konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah bermoral
(moral death), yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu apakah mendapat siksa atau mendapat nikmat, pandangan ini
muncul di Mesir dan kemudian berkembang di Yunani.19
2. Alam Kubur
17 Amsal Bakhtiar, “Eskatologi dalam Perdebatan antara al-Gazali dan Ibn Rusyd” dalam Mimbar
Agama dan Budaya, Jakarta, Vol. XVIII, No. 4, tahun 2001, h. 317
18Musa Asy’arie,op.cit. , h. 243
19 Lihat Alan E. Bernstein, The Formation of Hell: Death and Retribution in The Anicient and Early
Alam kubur bukanlah semata-mata kuburan tetapi alam yang dimasuki oleh setiap orang yang telah mengakhiri kehidupan di
dunia. Jadi kuburan tidak berarti wujud lubang di dalam tanah, tetapi lebih dari itu kuburan adalah alam yang dimasuki oleh
orang yang telah meninggal kapan saja dan dimana saja. Secara lebih spesifik alam kubur dinamakan juga alam barzakh.
Barzakh artinya batasan yang mendindingi dunia dan akhirat. Orang yang telah mati berarti ia berada di ruang tunggu menuju
akhirat.
3. Hari Kiamat dan Kebangkitan
Dalam wacana keagamaan, hari kiamat adalah hari kebangkitan dari kehancuran, yaitu dibangkitkannya manusia setelah
terjadinya kehancuran total. Setelah kehancuran total tersebut, akan ditegakkan suatu pengadilan yang dijamin oleh Tuhan,
karenanya manusia dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan itu.20
Disamping menggunakan istilah hari kiamat ( al-yawm al-âkhîr), Al-Qur’an juga menggunakan istilah-istilah atau
nama-nama lain, yang masing- masing mengacu kepada peristiwa, keadaan atau situasi yang akan dialami oleh umat manusia dalam
proses menuju kehidupan yang abadi. Nama-nama lain yang senada dengan hari kiamat adalah:
a. As-Sâ’ah artinya waktu atau masa
b. Al-Âkhirah artinya hari akhirat
c. Al-Âzifah artinya peristiwa dahsyat
d. At-Tâmmah artinya malapetaka hebat
e. As-Sâkhah artinya tiupan sangkakala kedua
f. Al-Gâsyiyah artinya kejadian yang menyelebungi
g. Al-Wâqi’ah artinya peristiwa menggemparkan
h. Yawm al-Fasl artinya hari keputusan
i. Yawm at-Tanâd artinya hari panggil memanggil
j. Yawm al-Hasrah artinya hari penyesalan
k. Yawm al-Khurûj hari eksodus
l. Yawm al-Khulûd artinya hari keabadian
m. Yawm at-Tagâbun artinya hari ditampakan segala kesalahan
n. Yawm al-Jam’i artinya hari berkumpul
o. Yawm at-Talâq artinya hari pertemuan
p. Yawm al-Fath artinya hari kemenangan
q. Yawm ad-Dîn artinya hari agama
r. Yawm al-Hisâb artinya hari perhitungan
s. Yawm al-Ba’s artinya hari berbangkit
t. Yawm al-Qiyâmah artinya hari kiamat.21
Ada pun mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan pendekatan nafs, untuk dapat memahaminya. Seperti yang
dikenalkan Ibn Sînâ untuk membuktikan adanya nafs, yaitu dengan adanya alam mimpi atau pengandaian orang bisa terbang.
Teori Ibn Sînâ ini bias dikembangkan lebih lanjut untuk memahami adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek
20 Seperti telah dijelaskan bahwa pengertian eskatologi mencakup dua makna yakni eskatologi
individu dan eskatologi umum. Kematian merupakan salah satu contoh dari eskatologi individu sedang hari kiamat dan kebangkitan adalah bentuk dari eskatologi umum atau universal.
transendentalnya nafs. Transendensi nafs menjadikan kebangkitan itu pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia
sebagai nafs, karena nafs itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggung jawabkan amalnya di hadapan Tuhan.
Kepastian adanya kebangkitan pada hakekatnya merupakan tuntutan hokum moral, untuk menuntaskan perbuatan jelek manusia
yang tak terselesaikan dalam pengadilan di dunia, yang dalam banyak hal sering kali dimanipulasi, direkayasa dan tidak
mencerminkan adanya keadilan yang benar-benar adil, sehingga adanya hari kebangkitan dan pengadilan Tuhan yang dijamin
Tuhan sendiri akan keadilannya, pada hakekatnya merupakan rahmat dan anugrah Tuhan kepada manusia, terutama yang
merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di dunia.
Dalam persoalan kebangkitan, menurut Ahmad Syams ad-Din, pandangan manusia terbagi menjadi lima kelompok yakni:
1. Sebagian kecil kaum teolog mengatakan bahwa kebangkitan hanya jasmani saja. 2. Sebagian besar kaum filosof ketuhanan mengatakan bahwa kebangkitan hanya jiwa saja.
3. Hampir semua kaum muslimin, termasuk al-Gazâlî mengatakan bahwa kebangkitan adalah jiwa dan jasad sekaligus. 4. Para filosof mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan di akhirat baik jasmani mau pun jiwa.
5. Galenus berpendapat bahwa kita tidak bias menentukan mana yang benar dari pendapat di atas. Karenanya dia menganjurkan untuk bersikap pasif dan tidak membahas persoalan ini panjang lebar.22
Eskatologi dalam filsafat Islam telah menjadi bahasan yang sangat menarik pada awal perkembangan keilmuan dalam dunia
Islam. Namun demikian respons pemikir Islam modern terhadap masalah eskatologi Islam tidak begitu intens seperti halnya
pendahulu mereka. Pemikir Islam modern tidak membahas permasalahan eskatologi karena menurut mereka hal tersebut terlalu
sulit untuk dirasionalisasikan.23 Sehingga pembahasan mereka tentang permasalahan eskatologi pada umumnya hanya
merupakan pengembangan, penekanan dan pembaharuan terhadap pemikiran sebelumnya
22 Ahmad Syams ad-Din, al-Gazâlî: Hayâtuhu, Âsâruhu, Falsafatuhu, (Beirut: Dâr Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 93
23 Mircae Eliade (ed), “Eschatology: Islamic Eschatology”, The Encyclopedia of Religion
BAB III
ESKATOLOGI MENURUT AL-GAZÂLÎ DAN IBN RUSYD
Al-Gazâlî
Riwayat Hidup al-Gazâlî
Abu Hamid al-Gazâlî dilahirkan pada pertengahan abad kelima Hijriyah, yaitu
tahun 450 H di desa Tus kota Khurasan, sekitar masa pengangkatan Sultan Alp
Arsalan ke atas singgasana Saljuk.24 Di Tus, al-Gazâlî belajar sejumlah ilmu
pengetahuan. Setelah itu ia, ia pergi ke Jurjan, lalu ke Naysabur, pada saat Imam
al-Haramayn al-Juwayni menjabat sebagai kepala Madrasah Nizamiyyah. Di bawah
asuhan Juwayni, Gazâlî belajar ilmu fikih, ushul, mantiq, dan kalam, sampai
al-Juwayni wafat pada 478 H/1085 M. Pada tahun 478, al-Gazâlî meninggalkan
Naysabur menuju Mu’askar. Ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga
pengajar di Madrasah Nizamiyyah di Baghdad pada 484 H. Di sini al-Gazâlî
mencapai puncak prestasi keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus
ulama terkemuka.25
Di Madrasah Nizamiyyah, al-Gazâlî menjabat sebagai guru besar selama
empat tahun. Kemudian ia meninggalkan Baghdad guna meninggalkan kehidupan
24 Abdul Qayyum, Surat-surat al-Gazâlî , terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1991), Cet.
ke-4, h. 1
25 Lihat Sulayman Dunya, “Al-Gazâlî :Biografi dan Pemikirannya” dalam al-Gazâlî ,
Kehancuran Filsafat (Tahâfut al-Falâsifah), terj. Achmad Maimun, (Yogyakarta: Islamika, 2003), Cet. ke-1, h. xxix
umum. Keadaan yang demikian ini berlangsung selama sepuluh tahun. Selama masa
itu al-Gazâlî antara lain pergi ke Damaskus, al-Quds, Makkah, dan Madinah. Setelah
kehidupan menyendiri, al-Gazâlî, atas permintaan Sultan, kembali mengajar di
Madrasah Nizamiyyah Naysabur. Namun hal itu tidak bertahan lama. Akhirnya ia
kembali ke tempat kelahirannya, Tus, dengan membuat madrasah di samping
rumahnya.26
Al-Gazâlî meninggal pada tahun 505 H/1111 M dalam usia hanya 53 tahun,
namun secara moral dan intelektual menempatkan perubahan dalam sejarah di Dunia
Islam. Al-Gazâlî adalah orang yang menyaksikan kemunduran tajam Dinasti Saljuk,
menyusul pembunuhan atas Maliksyah pada 485 H/1092 M.27 Al-Gazâlî juga adalah
tokoh yang kehidupannya begitu lekat dengan berbagai gerakan religius dan politik
yang saling bertentangan pada masanya. Bahkan ketika al-Gazâlî masih bersama
dengan kekuasaan, tidak ada satupun keputusan politik-pemerintahan yang tidak
melalui dirinya.
Al-Gazâlî mendapat banyak kehormatan dari para penguasa Saljuk. Penguasa
yang cukup berjasa meningkatkan karir al-Gazâlî adalah Nizam al-Mulk. Dialah yang
meminta al-Gazâlî untuk mengajar di Universitas Nizamiyyah.28 Masuknya al-Gazâlî
ke dalam kekuasaan diawali lebih karena karir inetelektualnya, bukan melalui
26Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-Gazâlî sang Sufi sang Filosof, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani,
(Bandung: Pustaka, 1987), Cet. ke-1, h. 9
27Pengantar Penerbit dalam Abu Hamid al-Gazâlî , Peringatan bagi Penguasa, terj. Ahmadie
Thaha dan Ilyas Ismail, (Jakarta: Hikmah, 2000), h. v
patronase kekuasaan-politik yang cenderung memanfaatkan kesempatan dan
menafikan pertimbangan kemampuan keilmuan.
2. Karya-karya al-Gazâlî
Al-Gazâlî adalah seorang ahli fikir Islam. Ia menulis puluhan buku yang
meliputi berbagai disiplin ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam
(fiqh), tasawuf, tafsir dan akhlak, kemudian autobiografi.29 Sebagian besar buku
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan lainnya dalam bahasa Persia.30
Yusuf Qardawi mengatakan bahwa Faqih Muhammad Ibn Hasan
al-Husayni al-Wasity dalam kitabnya, at-Tabaqât al-Âliyah fi Manâqib asy-Syâfi’iyyah, ada 98 judul kitab karya al-Gazâlî.31 Sedangkan as-Subky dalam kitabnya, at-Tabaqât asy-Syâfi’iyyah, ada 58 karyanya.32 Tasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya,
Miftâh as-Sa’âdah wa Misbâh as-Siyâdah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab.33
Dr. Badawi Tabanah, di dalam pengantar (muqaddimah) Ihyâ ‘Ûlûm ad-Dîn, mencantumkan 47 karya al-Gazâlî. Menurutnya jumlah tersebut sebagian terdiri dari
risalah (makalah) kecil dan belum berbentuk buku.34 Karya-karya itu adalah:
1. Ihyâ ‘Ûlûm ad-Dîn, berisi tentang berbagai kajian seperti fiqh, tasawuf dan lain-lain.
29 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), Cet. ke-6, h. 136 30Ibid
31 Yusuf al-Qardawi, Pro-Kontra Pemikiran al-Gazâlî , terj. Achmad Satori Ismail,
(Surabaya:Risalah Gusti, 1997) h. 189
32Ibid 33Ibid
34 Al-Gazâlî , Ihyâ ‘Ûlûm Ad-Dîn, dalam “muqaddimah”, (Mesir : Dâr Ihyâ Kutub
2. Tahâfut al-Falâsifah, berisi studi tentang filsafat yang diringkas dalam 20 persoalan filsafat.
3. Al-Iqtisâd fî al-I’tiqâd, kurang lebih seratus halaman berisi tentang teologi (ilmu kalam).
4. Al-Munqiz min ad-Dalâl, mengkaji salah satu tujuan dan rahasia ilmu. 5. Jawâhîr al-Qur`ân, membahas tentang rahasia ayat-ayat al-Qur’an
6. Mizân al-`Amal, merupakan falsafah agama yang menjelaskan tujuan serta maksud lmu pengetahuan agama.
7. Al-Maqsâd al-Asnâ fî Ma’ânî Asmâ Allâh al-Husnâ, menjelaskan tentang makna
asmâ al-husnâ.
8. Faysal at-Tafriqah bayna al-Islâm wa az-Zandaqah, menjelaskan kerusakan orang yang cepat mengkafirkan setiap mazhab yang berbeda dengan mazhabnya
9. Al-Qistâs al-Mustaqîm, menjelaskan tentang cara menghilangkan pertentangan di antara mekhluk, kriteria ilmu, dan tidak perlunya imam yang ma’sum.
10. Al-Mustazhiri
11. Hujjah al-Haq
12. Mufassal al-Khilâf fî Usûl ad-Dîn, ketiga kitab ini (10, 11 dan 12) mengungkap golongan Batiniyyah serta kelemahan-kelemahan mazhab tersebut
13. Kîmiyâ as-Sa’âdah, uraian singkat tentang yang samar (syibh) dan penyingkapannya
14. Al-Basît,
16. Al-Wajîz,
17. Khulasah al-Mukhtasar, beberapa kitab di atas (14, 15, 16 dan 17) membahas masalah-masalah fiqhiyyah.
18. Yâqût at-Ta`wil fî Tafsîr at-Tanzîl, terdiri dari 40 jilid berupa kitab tafsir 19. Al-Mustasfa,
20. Al-Mankhûl, keduanya (no. 19 dan 20:pen) adalah kitab ushul fiqh
21. Al-Muntaqâl fî ‘Ilm al-Jadal, buku ini menjelaskan tentang ilmu berdebat 22. Mi’yar al-‘Ilm, buku ini berisi tentang ilmu mantiq
23. Al-Maqâsid al-Falâsifah,
24. Al-Madnûn bihâ ‘alâ Gayr Ahlihâ,
25. Misykah al-Anwâr, berisi tentang tafsir sufistik terhadap ayat 35 Surat an-Nûr. 26. Mihak an-Nazar,
27. Kitâb Asrâr ‘Ilm ad-Dîn, berisi tentang hikmah-hikmah dan rahasia ilmu agama. 28. Minhâj al-‘Âbidîn,
29. Ad-Durar al-Fâkhirah fî Kasyf al-‘Ulûm al-Âkhirah, 30. Al-Anîs fî al-Wahdah,
31. Al-Qurbân Ilâ Allâh ‘Azza wa Jall,
32. Akhlak al-Abrâr wa an-Najâh min al-Asrâr, beberapa buku di atas (no. 28 sampai dengan no. 32) berisi berbagai ajaran tasawuf.
35. Al-Zarî’ah Ilâ Makârim as-Syarî’ah, buku ini menjelaskan berbagai cara mencapai hakikat kemuliaan syari’at Islam.
36. Al-Mabâdi’ wa al-Gâyât, buku ini berisi tentang dasar-dasar dan tujuan syari’at. 37. Talbîs Iblîs, buku ini berisikan tentang berbagai perbedaan pendapat di dalam
masalah fiqh.
38. Nasîhah al-Mulûk, buku ini berisi tentang nasihat untuk para raja (penguasa) 39. Syifâ` al-Alîl, buku ini mengungkap terapi terhadap berbagai penyakit ruhani. 40. Iljâm al-Awâm ‘an Ilm al-Kalâm, buku ini membicarakan persoalan-persoalan
akidah
41. Al-Intisâr,
42. Al-‘Ulûm al-Laduniyyah, buku-buku ini berisi tentang ilmu-ilmu laduni 43. Ar-Risâlah al-Qudsiyyah,
44. Isbât an-Nazr,
45. Al-Ma’khaz
46. Al-Qawl al-Jamîl fî ar-Rad ‘alâ Man Gayyara al-Injil, buku ini berisi kritik terhadap berbagai penyimpangan di dalam Injil.
47. Al-Amâlî35
3. Eskatologi Menurut al-Gazâlî
Dalam hierarki doktrin eskatologi Islam, dipahami bahwa kebangkitan
kembali terjadi jika kehancuran kosmos pada saat kiamat telah selesai.36 Doktrin
35Ibid
36Dalam konteks pemikiran eskatologinya, al-Gazâlî secara khusus menulis buku yang
kebangkitan kembali, adalah sebuah doktrin yang sangat sulit diterima oleh
orang-orang Makkah Jahiliyah yang berpandangan ‘Sekuler’. Bahkan di era modernitas ini,
sebagian kalangan yang terutama tunduk dengan keangkuhan daya kognitifnya, masih
tetap menolak eksistensinya. Misalnya, Marx, Freud, dan Sartre, adalah di antara
tokoh-tokoh kognitif yang termasuk dalam kategori ini. Ide ini pada dasarnya selalu
menarik untuk dikupas sebab merupakan bahasan yang senantiasa menimbulkan
kontroversi. Demikian juga khususnya di lingkungan Muslim, jika pada masa Nabi
SAW isu debatnya masih berkutat di sekitar pertanyaan ontologis masyarakat
Makkah Jahiliyah tentang, “mungkinkah manusia yang sudah mati akan bisa
dibangkitkan kembali”, maka pada abad pertengahan, bahkan hingga hari ini, isu
yang seakan-akan sudah diterima jawabannya secara aksiomatik itu mendapatkan
pembahasan lebih lanjut di tangan para filosof. Persoalan yang sebetulnya menghiasi
polemik abad pertengahan ini adalah, “apakah kebangkitan kembali terjadi pada jiwa
saja ataukah juga melibatkan raga? Dengan kata lain apakah manusia akan
dibangkitkan hanya dalam bentuknya yang spiritual (jiwa) ataukah dalam bentuknya
yang utuh, perpaduan antara jiwa dan raga?”.37
Sebelum al-Gazâlî, para filosof Muslim (falâsifah) meyakini bahwa hanya jiwa (nafs) saja yang akan dibangkitkan. Raga dalam hal ini tidak lebih dari sekadar menjadi sarana keduniaan yang tidak akan dikembalikan lagi pada jiwa manakala
kekacauan pemikiran para filosof, antara lain tentang pernyataan al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina yang mempercayai bahwa kehidupan di akhirat hanya bersifat jiwa/rohani saja.
37Sibawihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur rahman: Studi Komparatif Epistemologis
jiwa dibangkitkan. Pandangan ini secara historis keislaman, berakar pada prakarsa
yang diajukan oleh Ibn Sina.38 Filosof ini menjelaskan pandangannya dengan
mengilustrasikan bahwa bila jiwa dan raga berada di ruang hampa sedang mata
pemiliknya ditutup dan organ-organ raganya terpisah, maka pemiliknya tersebut akan
menyadari keberadaan jiwanya sekalipun ia tidak memiliki gagasan tentang raganya.
‘Ada’ yang dimaksud terbebas dari ruang. Penetapannya adalah bahwa ia ‘ada’ bukan
lewat indra atau raganya melainkan lewat jiwanya. Oleh karena itu, jiwanya pulalah
semata yang dipastikan akan kebangkitannya.39
Di kalangan para filosof, tentu saja ilustrasi semacam ini dapat dengan mudah
diterima, sebab ia mengikuti pola pemikiran diskursif. Namun, setelah al-Gazâlî
muncul, pandangan Ibn Sina tersebut dipandangnya sebagai keliru dan sesat, lantaran
dalam kesan al-Gazâlî, pandangan tersebut menafikan kekuasaan Tuhan. Tuhan,
menurut al-Gazâlî, adalah Maha Kuasa, sehingga pertanyaan apakah dia akan
membangkitkan manusia dalam bentuknya yang spiritual (jiwa) ataukah jasmani
(raga), bukanlah suatu persoalan bagi Tuhan. Tiada sesuatu pun yang mampu
mencegah kehendak Tuhan. Tuhan mungkin saja menghadirkan manusia dalam
bentuknya yang utuh, dan karena masalah ini bersifat kemungkinan (mumkin), maka bukanlah wewenang manusia untuk melangkahi semua yang serba mungkin
dilakukan Tuhan. Berdasarkan al-Qur’an surat as-Sajdah/32: 17, al-Gazâlî meyakini
bahwa ada hal-hal tertentu, yang berkaitan dengan janji Tuhan, di mana jiwa tidak
mampu mengetahuinya, dan apa yang dijanjikan itu tentulah akan diketahui oleh
sesuatu yang paling sempurna. kesempurnaan itu dimungkinkan dengan berpadunya
antara jiwa dan raga, dan karenanya perpaduan itu menjadi wajib untuk dibenarkan.
Al-Gazâlî tidak hanya berhenti pada argumen ini, sebab ia memperluas
argumennya dengan analogi bahwa yang lebih patut diherankan sebetulnya bukanlah
bagaimana jiwa akan dikumpulkan kembali bersama raganya, melainkan adalah
proses pertama kali melekatnya jiwa ke dalam raga. Raga manusia itu pun menurut
al-Gazâlî sifatnya melalui tahapan:40
Kesiapan raga berlangsung secara evolutif, melalui tahapan. Misalnya dari
benih sel nutfah yang tersimpan kuat di rahim ibu berkembang dalam
tahapan-tahapan sampai benih tersebut menjadi embrio yang kemudian menjadi makhluk yang
sempurna. Bila prosesnya tidak evolutif, maka argumennya akan tertolak. Tidaklah
diketahui bahwa tikus yang lahir dari keturunannya setelah terlebih dahulu
bertemunya sel kelamin jantan dan betinanya, lalu hamil, kemudian muncul anak
tikus.
Melalui ilustrasi ini, selain al-Gazâlî ingin menjustifikasi bahwa betapa jiwa
dan raga saling bergantung dan terkait, di mana kesempurnaan keterkaitannya
berlangsung secara evolutif, ia juga ingin menegaskan bahwa raga yang dibangkitkan
pada kali yang kedua nanti adalah berasal dari ‘bagian-bagian’ yang dahulunya
menyatu dengan raga, sekali pun kemudian bagian-bagian tersebut berantakan
tersebar di mana-mana dan telah hilang rupa dan bentuknya.
Penolakan al-Gazâlî terhadap penolakan filosof di atas ternyata juga diperluas
dengan penolakannya terhadap pemahaman para teolog atau mutakalim kendati para
teolog tersebut juga menganut konsep kebangkitan raga. Para teolog berpendapat
bahwa manusia adalah raga, dan bahwa kehidupan hanyalah suatu aksiden (‘arad);
bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri dan yang disebut pengatur raga tidak ada;
dan bahwa kematian berarti ketidak berlangsungnya kehidupan, atau terhalangnya
Pencipta dari penciptaan kehidupan. Karenanya, menurut para mutakalim ini,
kebangkitan kembali dapat diartikan sebagai: (a) Perbaikan kembali oleh Allah
terhadap raga yang telah lenyap; (b) Pengembalian eksistensi tubuh; dan (c)
Perbaikan kembali kehidupan yang telah lenyap. Atau dapat dikatakan bahwa materi
raga tetap sebagai tanah, dan bahwa kebangkitan kembali (al-ma’âd) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun ke dalam manusia, di mana kehidupan
diciptakan untuk pertama kalinya.
Menurut al-Gazâlî argumen seperti ini sudah kelihatan jelas akan
kesalahannya. Al-Gazâlî menjelaskan: ketika kehidupan serta raga telah tiada,
penciptaan kembalinya akan merupakan suatu penciptaan yang sama. Tetapi tidak
identik dengan apa yang telah ada sebelumnya. Namun, kata ‘kembali’
mengiplikasikan pengandaian kebakaan suatu hal, serta membarunya hal yang lain.
sesuatu yang secara jenerik sama dengan apa yang sebenarnya telah dia miliki tetapi
berbeda kuantitasnya.41
Jadi, kendati para teolog sama dengan al-Gazâlî dalam penerimaan konsep
kebangkitan raga, mereka berhenti pada titik di mana raga yang dibangkitkan adalah
raga baru, karena raga lama telah lenyap. Sementara al-Gazâlî tetap meyakini bahwa
raga lama itulah yang akan dibangkitkan dan diperbarui kembali. Al-Gazâlî memang
tampak emosional dalam menanggapi persoalan di seputar konsep kebangkitan
kembali ini, dan khususnya terhadap para filosof yang menafikan kebangkitan raga, ia
menggolongkan mereka sebagai kafir. Pemikiran para filosof yang dianggapnya
bertentang denagn syara’ ini, secara lebih luas lagi merambah dalam wilayah-wilayah: pertama, penolakan akan kebangkitan raga, kedua, penolakan kepada kesenangan fisik di surga; dan ketiga, penolakan kepada eksistensi surga dan neraka. Ketiga wilayah konsepsi inilah sebetulnya yang terangkum dalam kritisisme
al-Gazâlî, khususnya ditujukan kepada para filosof, dalam kaitan dengan pembahasan
tentang kebangkitan kembali.42
Kendati sebagian kalangan Muslim dewasa ini menilai sikap takfir
(pengkafiran) Gazâlî tersebut terlalu berlebihan atau melampaui batas, pendapat
al-Ghzali tetaplah diterima dan dilestarikan, dan al-Gazâlî sendiri tetaplah merupakan
Hujjah al-Islâm, yang konsepsi-konsepsinya dijadikan standar. Itulah sebabnya,
41Mengenai argumen al-Gazâlî , lihat al-Gazâlî , al-Tahâfut al-Falâsifah, Sulayman Dunya
(ed), (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), Cet. ke-8, h. 287
menyadari sikap al-Gazâlî yang berlebih-lebihan dalam hal ini, dan lebih luas dalam
seluruh konsepsinya, hampir seabad setelah kematiannya, seorang filosof kritikus dari
Andalusia, Ibn Rusyd (1126-1198), mencoba menkonstruksi ulang tesis ini, dan lebih
luas lagi tesis-tesis yang dikembangkan al-Gazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah. Konsepsi Ibn Rusyd yang dalam hal ini mengakumulasikan ide-ide kritiknya lewat
Tahâfut at-Tahâfut, mengatakan bahwa ide kebangkitan raga ala Gazalian tersebut hanya cocok ditujukan untuk kalangan masyarakat awam. Sebab, jika berbagai
fenomena ukhrawi termasuk penggambaran surga dan neraka umumnya digambarkan
secara fisik dalam al-Qur’an, hal itu semata-mata bertujuan untuk mempermudah
daya tangkap intelek kaum awam.
Kenyataannya, menurut Ibn Rusyd, Nabi saja menggambarkan akhirat dengan
ungkapan yang lebih bersifat spiritual: “Surga tidak pernah dilihat oleh mata, tidak
pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia”.,
demikian juga, Ibn Abbas pernah mengatakan : “Di akhirat, tidak ada yang seperti di
dunia, kecuali hanya nama-nama”. Namun Demikian, meski pun pendapat Ibn Rusyd
ini sudah diracik secara rasional-argumentatif, pendapat tersebut kurang mendapatkan
tempat di masyarakat. Pada gilirannya, tenggelam dengan kebesaran al-Gazâlî
sendiri. Sesungguhnya, fakta inilah secara historis, kendati bukan satu-satunya, yang
menyebabkan berurat-akarnya pandangan di lingkungan kesarjanaan Barat bahwa
filsafat Islam telah mati atas serangan al-Gazâlî, sekalipun sebenarnya kajian-kajian
Persia yang menghidupkan salah satu karakter filsafat Islam, dapat menampik klaim
Barat ini.43
B. Ibn Rusyd
1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd
Ibn Rusyd44 yang nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd lahir di kota Cordova, pada tahun
1126 M/520 H.45 Ia berasal dari keluarga yang sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Kakek dan bapaknya, sebagaimana Ibn Rusyd sendiri pernah menjadi hakim dan qâdî al-qudât di Cordova.46 Ibn Rusyd juga seorang faqih besar yang menganut mazhab Maliki, salah satu mazhab yang mendominasi Maghrib dan Andalusia. Selain
kedudukannya tadi, ia juga sangat aktif dalam kegiatan politik dan sosial47
Pendidikan awalnya dimulai dari belajar al-Qur’an di rumahnya sendiri
dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar ilmu-ilmu dasar keislaman seperti fiqh, ushul
fiqh, hadis, ilmu kalam, bahasa Arab dan sastra. Dalam bidang fiqh, ia mempelajari
dan menguasai kitab al Muwatta’ karya Imam Malik (94-179 H / 716-795 M), pendiri
43Ibid., h. 111,
44Tentang sekilas Ibn Rusyd baca TJ. De Boer, The History of Philosophy in Islam,
diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Edward R. Jone, (New York; Dover Publication, Inc., 1967). h. 187 dan seterusnya. Termasuk Majid Fakhry, dalam A History of Islamic Philosophy, (New York & London: Columbia University Press, 1970), h. 302 dan seterusnya. Tentang Riwayat hidup Ibn Rusyd yang lebih lengkap baca karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd, (Mesir: Dâr al Ma'ârif, t.t. ).
45 Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ bayna al-Hikmah wa as-Syarî’ah min al-Ittisâl,
Muhammad Imarah (ed), (Mesir:Dâr al-Ma’ârif, t.t. ), h. 5
46 Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd dan Averroisme : sebuah pemberontakan terhadap agama,
(jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), Cet. ke.1, h. 21-22
Mazhab Maliki, dari ayahnya. Seperti diketahui bahwa mazhab Maliki adalah mazhab
mayoritas yang diamalkan muslim Spanyol. Ibn Rusyd sendiri adalah pengikut
mazhab tersebut.48
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga berguru kepada Abu Muhammad ibn
Rizq dalam disiplin ilmu perbandingan hukum Islam (fiqh al-ikhtilâf) dan kepada Ibn Basykuwal di bidang hadis. Namun Ibn Rusyd kelihatannya lebih interes pada bidang
yang pertama. Ini dapat dilihat dari indikasi bahwa ia akhirnya menjadi pengarang
kitab Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, sebuah kitab fiqh yang lebih menitik beratkan pada pembahasan perbandingan mazhab.49
Dalam bidang kedokteran dan filsafat, ia belajar pada Abu Ja’far Harun
al-Tardjalli (berasal dari Trujillo). Ia juga belajar pada Abu Marwan al-Djurrayyul.
Selain itu, gurunya yang juga berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zuhr
(Avenzoar, 1091-1162 M). Ibn Sina (980-1037 M) juga memberi andil tidak langsung
kepada Ibn Rusyd dalam bidang kedokteran. Ia mempelajari kitab Qânûn fî al-Tibb, sebuah kitab ensiklopedi tentang kedokteran karangan Ibn Sina.50
Pada tahun 548 H / 1153 M, Ibn Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy),
Maroko atas permintaan Ibn Tufail (w. 581 H / 1158 M), pengarang kitab roman
filsafat terkenal Hayy Ibn Yaqzan yang ketika itu menjadi dokter pribadi Khalifah Abu Ya’kub Yusuf (558-580 H / 1163-1184 M) dari Dinasti Muwahhidun. Ibn Tufail
48 Muhammad Iqbal, loc. cit. 49Ibid.
memperkenalkannya kepada khalifah. Dengan pertemuan pertama antara Khalifah
dan Ibn Rusyd, setelah menanyakan asal usul dan latar belakang Ibn Rusyd, khalifah
menanyakan kepadanya tentang berbagai persoalan filsafat, termasuk pandangan
kaum filosof sekitar masalah keqadiman alam. Ibn Rusyd menyangka bahwa
pertanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karena persoalan ini sangat krusial dan
sensitif ketika itu. Apalagi sejak al-Gazâlî (1059-1111 M) mengutuk kaum filosof
dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, filsafat seakan-akan menjadi “barang haram” bagi umat Islam. Sebagai tindakan hati-hati, Ibn Rusyd menjawab bahwa dirinya
tidak tertarik pada filsafat.51
Ternyata dugaan Ibn Rusyd meleset. Khalifah yang pencinta ilmu ini malahan
berdiskusi dengan Ibn Tufail tentang masalah-masalah diatas. Seperti air mengalir,
Khalifah Ibn Ya’kub dengan fasih dan lancar menjelaskna persoalan tersebut dan
mengutip pendapat-pendapat para filosof seperti Plato dan Aristoteles. Kedua mereka,
Khlaifah dan Ibn Tufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang “berat” tersebut.
Terlihat bahwa khalifah yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat
menguasai persoalan filsafat, pendapat-pendapat para mutakallimn (teolog), Plato dan
Aristoteles. Ibn Rusyd kagum pada pengetahuan Khalifah yang dalam tentang
filsafat. Karenanya, ia pun akhirnya berani menyatakan pendapatnya sendiri. Ketika
akan pulang, khalifah memberi hadiah kepada Ibn Rusyd.52
51Ibid, h. 23
Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah bagi Ibn Rusyd. Khalifah
yang gandrung akan filsafat ini ingin mengakses karya-karya Aristoteles, tapi sulit
memahami dan mencernanya secara langsung dari bahasa Yunani. Khalifah juga
mengeluh karena buruknya terjemahan yang ada selam ini. Karena itu, Ibn Tufail
meminta kepada Ibn Rusyd agar berkenan menterjemahkan dan menafsirkan
karya-karya Aristoteles tersebut. Maka Ibn Rusyd pun bekerja memikul tugas tersebut.
Selain itu, pertemuan ini juga mengantarkan Ibn Rusyd untuk menjadi Qâdi (hakim agama) di Seville. Setelah dua tahun mengabdi, Ibn Rusyd diangkat menjadi hakim
agung di Cordova, jabatan yang juga pernah dipegang ayah dan kakeknya. Pada tahun
1182 ia kembali ke istana Muwahhidun di Marakesh menjadi dokter pribadi khalifah
menggantikan Ibn Tufail yang sudah tua.53
Pada 1184 khalifah Abu Ya’kub meninggal dunia dan digantikan oleh
putranya Abu Yusuf ibn Ya’kub al-Mansur yang memerintah pada 578-595 H /
1184-1199 M. pada awal pemerintahannya, Khalifah Abu Yusuf al-Mansur juga
menghormati Ibn Rusyd, sebagaimana perlakuan ayahnya, Abu Ya’kub. Namun, pada
1195 mulai terjadi kasak kusuk di kalangan tokoh agama. Mereka mulai menyerang
filsafat dan para filosof. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibn Rusyd. Ia harus
berhadapan dengan para pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya
kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara, mereka pun memfitnah
Ibn Rusyd. Akhirnya Ibn Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari segala jabatannya.
Pada tahun 1195 ia diasingkan ke Lucena, sebuah perkampungan Yahudi yang
terletak sekitar 50 km disebelah selatan Cordova. Buku-bukunya dibakar di depan
umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi
yang tidak dibakar. Semua kegiatan berpikir bebas dilarang dan berfilsafat dianggap
membahayakan akidah Islam. Bahkan Ibn Rusyd sendiri dituduh kafir, sesat dan
menyesatkan orang lain. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fuqaha’ dan
sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu ‘Abd Allah ibn
Ibrahim (hakim di Afrika), Abu Ja’far az-Zahabi, Abu Rabi’ al-Khafif dan Nafiz Abu
al-‘Abbas. 54 Harun Nasution memberikan alasan yang senada tentang persoalan di
atas, seperti dalam kutipan berikut ini:
Sebagai filosof, pengaruhnya di kalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha……….Keadaan berbalik dan Ibn Rusyd dengan mudah dapat disingkirkan oleh kaum ulama dan fuqaha. Ia dituduh membawa falsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan disingkirkan ke suatu tempat bernama Lucena di daerah Cordova. Dengan timbulnya pengaruh kaum ulama dan fuqaha ini, kaum filosof mulai tidak disenangi lagi dan buku-buku mereka dibakar.55
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal,
khalifah menunjukan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak
kepada pemikiran kreatif Ibn Rusyd, suatu sikap yang sebenarnya ia warisi dari
ayahnya. Khalifah al-Mansur merehabilitasi Ibn Rusyd dan memanggilnya kembali
ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu,
54Ibid , h. 25
55 Harun Nasution, Fasafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1995), Cet.
pada 19 Safar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rusyd meninggal dunia di kota
Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung
halamannya, Cordova.56
2. Karya-karya Ibn Rusyd
Sebagai seorang penulis produktif, Ibn Rusyd banyak menghasilkan
karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti kedokteran, astronomi, sastra, fiqh,
ilmu kalam dan tentu saja filsafat. Perhatiannya pada dunia ilmu pengetahuan
sungguh luar biasa, sehingga Ibn al-Albar, seperti dikutip al-Ahwani, menyimpulkan
bahwa di bumi Spanyol belum pernah ada seorang ilmuwan yang utama dan
sempurna seperti Ibn Rusyd. Lebih dari 10.000 lembar kertas telah dihabiskannya
untuk menulis karya-karyanya, sehingga tidak berlebihan kiranya ada ungkapan
bahwa Ibn Rusyd tidak pernah lepas dari kegiatan membaca dan menulis, kecuali
hanya pada malam perkawinannya dan malam ketika ayahnya wafat.
Menurut Ernest Renan (1823-1892), 57 karya Ibn Rusyd mencapai 78 judul,
dengan rincian 39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu kalam, delapan tentang
fiqh, empat tantang ilmu falaq, matematik dan astronomi, dua tentang Nahwu dan
sastra serta dua puluh judul tentang kedokteran. Namun sayang, karya-karya tersebut
banyak yang raib dan tidak sampai ketangan kita. Hal ini terjadi terutama ketika Ibn
Rusyd mengalami fitnah dan pengasingan. Dalam masa itu, banyak sekali
56 Muhammad Iqbal, loc. cit.
57Ernest Renan, Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, (Kairo: Darul Ihya al-Kitab al-Arabiyah, 1957),
karyanya, terutama dalam bidang filsafat, yang dibakar atas perintah khalifah. Hanya
buku-buku kedokteran, astronomi, matematik yang selamat dari pembakaran. Masih
beruntung bahwa yang musnah dibakar hanyalah karya-karya asli Ibn Rusyd yang
berbahasa arab. Tidak lama setelah pembakaran tersebut, muncul karya-karya Ibn
Rusyd dalam bahasa Latin dan Ibrani Yahudi.58
Penyelamatan terhadap karya-karya Ibn Rusyd ini diperkirakan dilakukan
oleh mahasiswa-mahasiswa dari universitas-universitas Seville, Cordova, Granada
dan universitas-universitas lainnya di Spanyol yang berasal dari berbagai daerah di
Eropa. Mereka menaruh hormat dan simpati pada usaha-usaha dan pemikiran Ibn
Rusyd. Karenanya, buku-buku Ibn Rusyd di bawa ke Universitas Toledo di Spanyol
dan Palermo di Sicilia yang ketika itu menjadi pusat penerjemahan karya-karya
intelektual muslim. Disinilah karya-karya Ibn Rusyd dialih bahasakan ke dalam
bahasa latin. Sebagian besar karya-karya yang bisa diselamatkan tersebut masih
berupa makhthuth (manuskrip) dan tersimpan di berbagai perpustakaan seperti perpustakaan Escoreal di Spanyol, di Kairo, di Venesia (Itali) dan Munich (Jerman).
Selain itu, dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi politik, kehidupan Ibn
Rusyd tidak terpaut jauh dengan waktu jatuhnya pemerintahan Islam di Spanyol.
Sejak abad ke-11 hingga 1492 satu persatu kota-kota Islam jatuh ketangan orang
kristen Spanyol. Pada 1058 kota Toledo jatuh ketangan kristen. Lalu disusul
Sarragosa tahun 1118. Dinasti Muwahhidun yang memerintah Spanyol selama Ibn
Rusyd masih hidup jatuh pada 1235. kemudian pada periode 1238-1260, kota-kota
Cordova, Valencia, Murcia dan Seville jatuh pula hingga terakhir Granada 1492.
Dalam penaklukan kembali ini, Cardinal Ximenez memerintahkan pembakaran
buku-buku Islam. Tercatat 80.000 jilid buku-buku, termasuk karangan Ibn Rusyd, musnah
dibakar di Granada. Ini juga menyebabkan sulitnya beberapa karya-karya Ibn Rusyd
di temukan. Karya-karya Ibn Rusyd akhirnya menjadi korban balas dendam pihak
kristen Spanyol.
Penyusunan secara kronologis karya-karya Ibn Rusyd pertama kali dilakukan
oleh M. Alonso dalam karyanya La Cronologia en Las Obras des Averoes pada 1943. karya-karya Ibn Rusyd ini pun bisa antara yang asli berasal dari pemikirannya sendiri
dan yang merupakan komentar atas karya-karya lain, terutama karya-karya
Aristoteles. Karya dalam bentuk yang kedua ini juga dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu yang berupa komentar panjang (great commentaries, tafsirat), komentar menengah atau sedang (middle commentaries, jawâmi’) dan komentar yang ringkas (compendium, talkhishat). Banyak komentar Ibn Rusyd yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada awal-awal abad ke-13 M.59
R. Arnaldez mencatat bahwa periode hingga tahun 1178 dari kehidupannya,
Ibn Rusyd mulai menulis karya komentar atas karya-karya Aristoteles dan filosof
lainnya. Barulah setelah itu hingga 1180 ia menulis karyanya yang orisinal.
Sementara Dominique Urvoy membagi kronologi riwayat kepenulisan Ibn Rusyd
kepada tiga periode. Pertama, periode awal hingga tahun 1176. dalam fase ini, Ibn
Rusyd menulis komentar-komentar pendek dan menengah dari karya-karya filosof
Aristoteles. Lalu pada fase kedua, sekitar masa 1177 –1190 Ibn Rusyd sudah mulai
menulis karya-karya orisinalnya. Pada fase inilah lahir dari tangannya kitab-kitab
filsafatnya seperti Fashl al-Maqâl, Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah dan Tahâfut al-Tahâfut . Pada fase ini, karya-karya Ibn Rusyd mengambil bentuk-bentuk doktrinal yang radikal. Terakhir pada fase ketiga, Ibn Rusyd menjadi dokter istana, ia menulis
komentar-komentar panjang karya-karya Aristoteles. Dalam komentar panjang ini,
Ibn Rusyd sesekali berbeda pendapat dari Aristoteles dan ia mengemukakan
pendapatnya sendiri sebagai perbandingan atas pendapatnya Aristoteles.
Karya-karya Ibn Rusyd yang masih dapat dilacak diantaranya adalah sebagai
berikut:60
1. Karya Asli
Karya-karya asli pemikiran Ibn Rusyd meliputi berbagai bidang seperti
filsafat, kedokteran, fiqh/ ushul fiqh, psikologi. Diantaranya adalah:
1. Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan dari buku Kerancuan [maksudnya buku al-Gazâlî yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah]). Buku ini merupakan magnum opus dan puncak kematangan pemikiran filsafat Ibn Rusyd. Isi buku ini merupakan “serangan balasan” Ibn Rusyd atas serangan al-Gazâlî terhadap
para filosof sebagaimana dalm bukunya Tahâfut al-Falâsifah . Dalam buku
60Kalsifikasi karya Ibn Rusyd mengikuti klasifikasi yang dibuat Muhammad Iqbal, ibid., h.
ini Ibn Rusyd membela filosof atas tuduhan al-Gazâlî dalam
masalah-masalah filsafat. Buku ini ditulis sekitar tahun 1180 dan sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan bahasa Ibrani 1328. pada tahun
1955, S. Van den Berg menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
2. Fasl al-Maqâl fî mâ Bayn al-Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittisâl (Penjelasan mengenai Hubungan antara Filsafat dan Agama). Dalam buku ini Ibn Rusyd mencoba menjelaskan hubungan yang erat antara akal dan
wahyu. Ibn Rusyd menegaskan bahwa akal adalah teman seiring yang tidak
saling bertentangan dengan wahyu. Buku ini juga diterjemahkan kedalam
bahasa Ibrani dan Latin.
3. Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî ‘Aqâ’id al-Millah (Menyingkap Metode-metode Demonstratif yang Berhubungan dengan Keyakinan Pemeluk Agama). Buku ini ditulis Ibn Rusyd di Seville pada 1179 (575 H).
4. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al Muqtasid (Tingkat awal bagi seorang Mujtahid dan tingkat Akhir bagi Kaum Awam). Ini adalah bukunya
dibidang fiqh Islam dan merupakan satu-satunya karyanya dalam bidang ini
yang masih ada. Dalam buku ini, Ibn Rusyd membahas permasalahan fiqh
dengan metode perbandingan (muqaranah). Dalam buku ini ia mengungkapkan berbagai pandangan ulama dalam satu masalah fiqh,
kemudian baru memaparkan pandangan nya sendiri sebagai seorang
5. Mukhtasar al-Mustasfâ fi Usûl al-Gazâlî (Ringkasan atas kitab al Mustasfa al-Gazâlî). Buku ini masih tersimpan di perpustakaan Escoreal, Spanyol.
6. Risalah al-Kharâj (tentang Perpajakan). Buku ini juga tersimpan di perpustakaan Escoreal, Spanyol.
7. Kitab al-Kulliyât fî at-Tibb ( Ensiklopedi Kedokteran). Buku ini ditulis sebelum tahun 1162 M (558 H). dalam buku ini, Ibn Rusyd menguraikan
berbagai permasalahan kedokteran. Buku ini juga telah diterjemahkan
pertama kali kedalam bahasa latin pada 1255 dan dicetak dalam tujuh jilid
dengan judul De Colliget. Jilid 2,4 dan 7 dihimpun oleh Jean Bruyerin Champier dengan judul Collectanea de Remedica.
8. Dhâmînah li Mas’alah al-Ilm al-Qadîm. Buku ini merupakan apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam