• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metodologi Berpikir al-Gazâlî dan Ibn Rusyd

ANALISA PERBANDINGAN

B. Metodologi Berpikir al-Gazâlî dan Ibn Rusyd

Di antara unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa al-Gazâlî ialah filsafat, baik filsafat Yunani, maupun filsafat India dan Persia. Filsafat Yunani banyak diserap oleh para teolog, filsafat India didaptasi oleh kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah. Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam memperopagandakan pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baik yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajarai filsafat lebih dahulu.76

Ada tiga klaim filosof yang menjadi perhatian utama kritisisme al-Gazâlî, sebab ketiga klaim ini menyangkut sendi-sendi keimanan. Ketiga klaim ini yang menurutnya telah merusak doktrin Islam ini wajib dianggap sesat dan selanjutnya penganutnya dipandang kafir. Ketiga klaim ini adalah bahwa : (1) Allah hanya mengetahui hal-hal besar dan tidak terhadap hal-hal kecil; (2) alam semesta adalah kekal tanpa permulaan; (3) kebangkitan kembali hanya terjadi pada jiwa, bukan raga.

Dengan demikian, salah satu di antara ketiga konsepsi ini merupakan konsepsi dalam eskatologi, yakni bagian ketiga. Serangan al-Gazâlî terhadap para filosof dalam masalah eskatologi ini tidak hanya tertuju pada konsepsi kebangkitan kembali. Tetapi secara luas juga merambah pada konsepsi mereka yang menolak kesenangan fisik di surga atau kesengsaraan fisik di neraka. Al-Gazâlî bahkan tidak hanya

76 Zurkani Yahya, Teologi al-Gazâlî: Pendekatan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

menyerang para filosof, karena dalam doktrin kebangkitan kembali, al-Gazâlî juga mengkritik para teolog, yakni teolog yang terlalu mengedepankan peranan akal. Sehingga, secara sepintas dapat dikatakan bahwa pemikiran Yunani yang menjadi basis pemikiran para filosof (temasuk para teolog) tersebut tidak diakui, bahkan disangkal secara mentah-mentah oleh al-Gazâlî.77

Di antara pendapat para filosof yang ditolak al-Gazâlî adalah (1) berpendapat bahwa alam itu azali dan abadi, (2) menafikan sifat-sifat Tuhan, (3) berpendapat bahwa al-Awwal (Tuhan) itu bukanlah jenis dan bukan pula deferensia, (4) Tuhan adalah wujud yang simpel tanpa esensi, (5) Tuhan tidak mengetahui partikular, (6) langit adalah hewan yang bergerak dengan iradah (kehendak), (7) jiwa-jiwa langit mengetahui partikular, (8) mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk merasakan kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani di neraka.78

Namun demikian, penolakan al-Gazâlî ini tampaknya hanya berada pada tataran ide, dan bukan pada tataran pendekatan ataupun metode. Al-Gazâlî tetap memakai jalur-jalur filosofis, sekalipun ide dari filosof itu sendiri tidak diterimanya. Jika semua ide serangannya diperhatikan, baik yang ditujukan kepada para filososf maupun para teolog, tampak bahwa al-Gazâlî sendiri sebetulnya sedang mengikuti pola fikir filsafat Yunani. Salah satu figur Yunani utama yang berpengaruh dalam formulasi al-Gazâlî adalah Aristoteles (384-322 SM). Sikap respek yang ditunjukkan oleh al-Gazâlî terhadap logika dalam banyak karyanya pada dasarnya sudah cukup

77Sibawaihi, Eskatologi al-Gazâlî dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi

Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta: Islamika, 2004), Cet. ke-1, h. 212

mengindikasikan bahwa sedikit banyak ia terpengaruh dengan model penalaran Aristotelian.

Misalnya dalam al-Qistâs, al-Gazâlî mengukuhkan logika yang digalinya dari al-Qur’an sebagai satu-satunya kriteria yang dianggapnya valid dalam menimbang benar salahnya setiap hasil pemikiran, baik dalam ilmu agama maupun non agama. Di sini al-Gazâlî juga menjelaskan beberapa bentuk logika yang dipergunakan sementara orang yang bisa membawa kesesatan, sehingga disebutnya dengan “mizân al-Syaitân” (logika setan). Dengan demikian, al-Gazâlî sudah memilah-milah bentuk-bentuk logika yang dianggapnya benar dan terpercaya dari bentuk-bentuk-bentuk-bentuk logika yang salah dan menyesatkan. 79 Yang dianggap al-Gazâlî logika setan itu ialah beberapa bentuk logika yang dipergunakan sementara ahli kalam, karena ada kekeliruan dalam penerapannya, bukan dari esensi dari logika itu sendiri,

Penilaian al-Gazâlî terhadap logika Aristoteles yang dianggap menggambarkan sifatnya yang final termuat dalam al-Munqiz. Di sini al-Gazâlî mendudukan status logika di mata agama. Menurut al-Gazâlî, logika tidak ada hubungannya dengan doktrin agama untuk mengafirmasi atau menolaknya. Karena logika hanya merupakan alat yang membimbing berpikir yang antara lain mencakup: bagaimana cara berargumentasi dan membuat silogisme, apa saja syarat-syarat

79 Mengenai pendapat al-Gazâlî ini lihat al-Gazâlî, Meretas Jalan Kebenaran, terj. Masyhur

membuat premis-premis dalam argumentasi dan cara menyusunnya, syarat-syarat definisi dan cara membuatnya. 80

Aristoteles juga memiliki metode penyimpulan data atau sistem dan argumen berpikir yang terkenal dengan “deduksi” dan “induksi”. Pembuktian deduksi bertolak dari kebenaran umum yang tidak diragukan lagi dan berdasarkan kebenaran umum itu, akan disimpulkan kebenaran yang lain. Dengan ungkapan lain, deduksi adalah penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal atau contoh khusus dari kebenaran itu. Misalnya: Semua mahasiswa diwajibkan membuat makalah; Arif adalah seorang mahasiswa; maka Arif diwajibkan membuat makalah. Bagi Aristoteles metode deduksi merupakan cara sempurna dalam menghasilkan pengetahuan. Oleh sebab itu, hampir seluruh pembahasan logikanya diarahkan pada pembuktian deduksi. Metode ini pada gilirannya dielaborasi dalam bentuk silogisme. Namun di sini perlu ditegaskan bahwa deduksi atau dalam bentuk silogisme dalam epistimologi Islam agak berbeda dari deduksi Aristoteles. Sebab, dalam epistimologi Islam, teks diakui sebagai sumber pengetahuan yang paling valid, kemudian dilakukan analisis istidlâl

dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang kemudian memunculkan kesimpulan-kesimpulan. Inilah sistem berpikir yang dalam istilah al-Jabiri disebut sebagai epistimologi bayânî. Adapun pembuktian induksi, yang disebut Aristoteles dengan istilah epagoge ini, adalah suatu metode penyimpulan yang bertitik tolak dari kasus-kasus khusus, kemudian menghasilkan pengetahuan yang umum. Metode ini tidak

80 Al-Gazâlî, Kegelisahan al-Gazâlî: Sebuah Otobiografi Intelektual {al-Munqiz min

ad-Dalal dan Kimiya as-Sa’adah), terj. Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Cet. ke-1, h. 25

banyak mendapatkan perhatian dari Aristoteles, mungkin karena kebenarannya bersifat kemungkinan atau nisbi.81

Dari keterangan tentang pola pikir Aristoteles ini, tampaknya al-Gazâlî menggunakan prinsip logika kontradiksi dan metode berpikir deduksi. Pada yang pertama, al-Gazâlî kelihatan mempertentangkan segala sesuatu secara dikotomis. Misalnya, ketika ia mengklaim kebenaran pengutukannya terhadap para filosof yang memahami Kebangkitan kembali dengan ide-ide filosofis mereka. Al-Gazâlî menolak mereka, bahkan serta merta mengkafirkan mereka. Dalam hal ini, ia menyimpulkan bahwa yang dibangkitkan adalah jiwa dan raga, maka pendapat yang selain itu salah. Kesalahan pemahaman ini menurut al-Gazâlî bahkan dibarengi dengan penegasan akan kekuasaan Tuhan, yang tentu saja berakibat pada kekufuran.82

Selain pola pikir Aristotelian yang telah mempengaruhi al-Gazâlî, pengaruh filosof Yunani lainnya yang tampak menonjol dalam eskatologinya adalah Platonian. Plato sebagai pencetus aliran platonisme ini, mengajukan gagasan dualisme, yaitu Dunia Idea (tidak nyata) dan Dunia Non Idea (nyata). Sesungguhnya, yang merupakan hakikat wujud sebenarnya adalah idea, dan bukannya non Idea yang dapat ditangkap secara indrawi. Idea adalah tujuan atau akhir dari segala dari wujud indrawi. Pandangan ini sebetulnya dianut oleh hampir seluruh filosof Yunani, termasuk diantaranya Aristoteles sendiri, meski pada akhirnya ia membantah klaim sang guru (Plato) tersebut yang sangat terkenal dengan gagasan kesempurnaan Dunia

81Sibawaihi, op. cit. , h. 214 82Ibid.

Idea-nya. Konsep dualisme ala platonian ini berbeda dari “dualisme” yang dianut oleh Stoa yang tidak mengakui adanya dunia Idea. Dunia idea dalam pandangan Stoa tidaklah ada, sebab yang ada hanyalah realitas yang dapat dilihat berupa materi.

Al-Gazâlî juga mengibaratkan raga sebagai kendaraan, dan jiwa sebagai pengemudinya. Ini menegaskan bahwa raga adalah alat bagi jiwa. Raga tidak mempunyai tujuan, sebab tujuannya akan diketahui setelah adanya jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya. Namun ia juga tidak menegaskan pengaruh raga terhadap jiwa. Ia menyebutkan ketertarikan jiwa untuk berhubungan dengan raga. Tentu saja hal ini menggiring pada suatu asumsi bahwa al-Gazâlî berlaku adil dalam menempatkan posisi antara keduanya, dimana tanpa raga jiwa juga tidak berarti apa-apa. Dengan demikian, dari pembagian-pembagian ini, tampak jelas kemiripan ide dualisme al-Gazâlî dengan ide dualisme Plotinus (Platonian).

Jadi, al-Gazâlî tampaknya tidak bisa lari dari filsafat Yunani, khususnya dari Plato dan Aristoteles. Ini sejalan dengan pendapat Ibn ‘Arabi (w. 638) yang dikutip Ibn Taymiyah (w. 728) bahwa: “Abu Hamid telah masuk ketengah-tengah para filosof kemudian ia berusaha untuk keluar, tetapi tidak berhasil”. Pengamatan yang cermat dari Marmura pun dalam kaitan ini dapat dibenarkan, yakni bahwa meskipun al-Gazâlî berusaha menolak ide kebangkitan kembali Ibn Sina, bahkan mengklaimnya sebagai kekufuran, tetapi pada dasarnya pada tulisan-tulisannya yang lain, al-Gazâlî kurang menunjukkan ketidaksukaannya pada ide ini, dan bahwa secara umum psikologi Ibn Sina cukup banyak mempengaruhinya. Dengan kata lain, jalur-jalur

yang ditempuh al-Gazâlî dalam menolak konsepsi-konsepsi para filosof adalah berdasarkan perangkat-perangkat filososf itu sendiri.83

Secara lebih rinci, bila dibuat pemetaan mengenai metode pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd adalah sebagai berikut: Pertama, walaupun pemikiran al-Gazâlî banyak dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles, tetapi ketika membahas mengenai masalah kebangkitan kembali ia memposisikan diri sebagai ahli kalam. Jadi, metode berpikir yang digunakan al-Gazâlî adalah metode dialektis atau al-manhaj al-jadâlî. Metode debat ini bertujuan untuk mempertahankan kebenaran pendapat sendiri dan mematahkan pendapat lawan, baik secara rasional maupun tektual. Metode ini pada umumnya dipergunakan oleh para ahli kalam, termasuk al-Gazâlî ketika membicarakan masalah kebangkitan kembali.

Sebagai sebuah metode, kalam dipahami sebagai teologi defensif (bersifat pembelaan atau pertahanan diri), atau seni polemik yang secara eksplisit menganggap objektif pembelaan terhadap doktrin Islam dari para pencela, apakah ia berasal dari kaum agnostik ataupun teolog dari agama lain. Metodologi kalam adalah dialektis, yang berlawanan dengan pendekatan deduktif dari para logikawan klasik. Dialektika kalam dalam mendekati isu-isu epistimologi tidak hanya didasarkan atas seperangkat hubungan logis yang unik (interpretasi distingtif atas hubungan kausal), tetapi juga dunia wacana yang unik (terminologi khusus atas item-item atau objek-objek yang tidak ditemukan dalam disiplin lain. Penyamaan kalam dengan logika harus dipahami dalam pengertian ini. Pendekatan dialektika merupakan pergeseran secara perlahan

dari teks ke nalar. Namun teks masih ditempatkan pada posisi fundamental, sehingga produk atau argumen pendekatan ini terkesan bersifat penjelasan (explanatory), bukan eksplorasi (exploratory). Itulah sebabnya kalangan pemikir modern merasa perlu untuk merekonstruksi kembali posisi metode ini dalam banyak hal semisal epistimologi, persepsi, free will, dan sebagainya.

Metode (pendekatan keilmuan) kalam lebih menekankan dimensi lahiriah-tekstual, eksoterik, konkret, dan final. Al-Gazâlî sendiri sebetulnya tidak mengakui keunggulan metode ini, sebab kalam tidak dapat diandalkan lebih banyak, tidak dapat menyembuhkan penyakit batin yang dideritanya, dan tentu saja tidak pula dapat memuaskan dahaga intelektualnya. Kendati pada satu sisi al-Gazâlî membenarkan bahwa kalam bersumber dari dan berlandaskan pada al-Qur’an, pada sisi lain ia menganggap metodologi kalam terdiri dari kepercayaan (iman) dan rasionisasi yang dicemari oleh silogisme palsu. Kalam telah terpengaruh oleh filsafat. Dengan bentuknya yang seperti ini, maka dalam pandangan al-Gazâlî kalam hanya bisa dipergunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang sudah dianut oleh umat; tetapi tidak bisa untuk menanamkan akidah yang benar kepada orang yang belum menganutnya, lebih-lebih untuk menuntun orang agar mau menghayatinya. 84

Munculnya jargon “kafir” (kafir-mengkafirkan) dalam suatu pembahasannya adalah sebuah indikator kuat untuk mengatakan bahwa formulasi al-Gazâlî berada dalam posisi metode kalam, yang dalam hal ini lebih bersifat dialektis. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan fakta bahwa formulasinya sendiri pada gilirannya dianggap

sebagai yang terbaik dan yang paling benar diantara formulasi-formulasi lainnya. Bahkan, untuk mendukung argumentasinya, al-Gazâlî kerap mengatakan bahwa ia memakai argumen rasional, indrawi, dan intuitif yang jika di perhatikan, telah memasuki seluruh wilayah pembahasan dalam epistimologi Islam. Jika ternyata pandangannya masih sukar dicerna oleh kaum awam, al-Gazâlî akan mengatakan bahwa batapapun ini sulit diterima, tetapi sebenarnya ada yang lebih sulit lagi ketimbang itu. Untuk membuktikan kebenaran Al Qur’an dalam meyakini ide kebangkitan kembali, misalnya, ia mengatakan: “Anda tidak usah heran dengan adanya kehidupan setelah mati, yang merupakan siklus kehidupan. Sebab, yang lebih patut diherankan tetapi akhirnya diterima adalah bayi yang semula adalah makhluk tidak berdaya, lalu setelah dewasa menjadi raja yang menguasai dunia dan memanfaatkannya sesuka hatinya”.85

Kedua, kekhasan metodologi pemikiran Ibn Rusyd, sudah kita pahami, yakni metode rasional atau al-manhaj al-‘aqlî. Yaitu metode yang mengganggap rasio sebagai alat yang dominan, sehingga teks-teks wahyu harus diterima secara rasional dan keyakinan orang terhadap kebenaran materi akidah harus didasarkan atas pengetahuan rasional. Untuk itu semua hasil pemikiran rasional umat manusia bisa dipergunakan bila bermanfaat untuk mmeperkuat kebenaran danm menambah keyakinan.86

85 Ibid. , h. 230

Jadi, bila al-Gazâlî dengan metode kalamnya lebih menekankan aspek lahiriah dan eksateris, maka Ibn Rusyd dengan metode filosofisnya, lebih menekankan dimensi esoteris, batiniah, transendental, dan abstrak. Metode filosofis setidaknya ditandai dengan tiga ciri: pertama, pembahasannya terarah pada perumusan ide-ide dasar terhadap obyek yang dikaji. Kedua, pengenalan dan pendalaman persoalan-persoalan fundamentalnya dapat membentuk pola-pola pikir yang kritis. Ketiga, dari hasil pembahasannya diharapkan dapat membentuk mentalitas, cara berpikir, dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual, toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan lain, serta terbebas dari dogmatisme dan fanatisme.

C. Pengaruh Pemikiran al-Gazâlî dan Ibn Rusyd tentang Eskatologi terhadap

Dokumen terkait