• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengupahan karyawan dalam perfektif fiqih muamalah : studi kasus pada home industri konveksi di palu kalibata jakarta selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengupahan karyawan dalam perfektif fiqih muamalah : studi kasus pada home industri konveksi di palu kalibata jakarta selatan"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUPAHAN KARYAWAN DALAM PERSPEKTIF

FIQIH MUAMALAH

(Studi Kasus Pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

ZULKHAIRIL HADI SYAM NIM 107046101839

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 30 Juni 2011

(5)

Segala puji bagi Allah SWT, tuhan pencipta alam beserta isinya, yang selalu mencurahkan segala rahmat dan kekuatan-Nya untuk bergerak, berfikir, dan berkarya dalam menggapai ridho-Nya. Serta rasa syukur yang tiada hentinya disampaikan atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah memberikan warna dalam kehidupan. Shalawat beserta salam pun tak lupa dihaturkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah menyebarkan risalah Islam sebagai pegangan dan petunjuk dalam segala dimensi kehidupan.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga membuat penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, rasa terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak, terkhusus kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., dan Bapak Mu’min Rauf, M.A., sebagai Ketua dan

(6)

M.E. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah Bapak ajarkan dan arahkan mendapat balasan dari Allah SWT.

4. Kepada seluruh dosen dan sifitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.

5. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda Drs. Syafruddin dan Ibunda

Dra. Misnawati Nur, yang dengan tulus selalu mendo’akan, memberikan

dorongan semangat tiada henti kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini yang juga menjadi amanah bagi penulis kepada orang tua. Semoga Allah selalu memberikan perlindungan untuk Mama dan Papa, dibawah payung kasih sayang-Nya. Amin

(7)

ini.

8. Teman-teman Perbankan Syariah yang telah memberikan motivasi moril kepada penulis, khususnya temen-temen PS C 07 yang selalu kompak dan semoga terus kompak. Tak lupa pula kepada teman-teman kosan yang telah mau berbagi selama tinggal bersama. Serta seluruh teman-teman lainnya yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu.

9. Seluruh pihak-pihak terkait yang telah membantu penulis, menyemangati dan menghibur penulis selama proses penyelesaian tugas akhir ini.

Akhirnya penulis secara terbuka dan berbesar hati menerima berbagai kritik dan masukan yang konstruktif terhadap perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat dan para akademisi.

Jakarta, 30 Juni 2011 M.

(8)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 4

1. Pembatasan Masalah ………. 4

2. Perumusan Masalah ………... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 5

D. Review Studi Terdahulu ……… 6

E. Metode Penelitian ……….. 9

1. Jenis Penelitian ……….. 10

2. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengambilan Data ……….. 10

3. Teknik Pengolahan Data ………... 11

4. Metode Analisis Data ……… 12

F. Teknik Penulisan ……… 12

(9)

C. Upah dalam Tinjauan Fiqih Muamalat ……….. 27

D. Perbedaan Tingkat Upah dalam Islam ………... 38

E. Metode Penentuan Upah ………... 42

F. Hubungan Kerja dalam Islam ……… 46

BAB III GAMBARAN UMUM HOME INDUSTRI KONVEKSI DI PULO KALIBATA JAKARTA SELATAN A. Sejarah dan Ruang Lingkupnya …..………... 52

1. Sejarah Singkat ... 52

2. Visi dan Misi ... 53

3. Ruang Lingkup Bidang Usaha ... 53

4. Tujuan Pendirian ... 54

B. Organisasi dan Manajemen ... 55

1. Struktur Organisasi ... 55

2. Uraian Tugas dan Tanggung Jawab ... 56

3. Jumlah Tenaga Kerja ... 58

4. Jam Kerja ... 59

5. Sistem Pengupahan ... 60

(10)

A. Mekanisme Pengupahan di Home Industri Konveksi ... 64

B. Aplikasi Fiqih Muamalat Terhadap Pengupahan Karyawan pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan ... 68

1. Akad atau Kontrak Kerja ... 70

2. Bentuk Pengupahannya Dilihat Dari Metode/Sistem Penetapan Upahnya ... 74

3. Hubungan Kerjanya Dilihat Dari Fasilitas Yang Disediakan Dan Kesejahteraan Karyawannya ... 78

C. Analisis Konsep Upah Dalam Model Pengupahan pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……… 82

B. Saran-saran ……… 84

DAFTAR PUSTAKA ………... 86

(11)

menerima penetapan upah tersebut karena dorongan akan kebutuhan hidup yang mendesak.

Kebanyakan pengusaha menentukan upah karyawannya dengan mematok jumlah upah yang tetap untuk karyawannya berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Seperti: perhari, perminggu, atau pun perbulan.

Lain halnya dengan home industri konveksi yang berada di daerah Pulo Kalibata Jakarta Selatan, dimana pimpinannya menentukan jumlah upahnya berdasarkan jumlah output atau hasil produksi yang bisa diproduksi oleh masing-masing karyawan tiap harinya.

Untuk itu, pada skripsi ini penulis mencoba menganalisis praktik pengupahan karyawan di sebuah home industri yang bergerak di bidang konveksi dengan ketentuan pengupahan dalam perspektif fiqih muamalah. Dengan memberikan gambaran berupa deskriptif dari praktik pengupahan karyawan yang ada di home industri konveksi tersebut, kemudian penulis membandingkan dengan konsep upah sesuai dengan ketentuan fiqih muamalah.

Dari hasil penelitian dan analisa menunjukan bahwa pengupahan karyawan pada home industri konveksi ini masih jauh dari ketentuan fiqih muamalah, walaupun secara akad home industri telah menjalankan sesuai ketentuan akan tetapi dalam penentuan jumlahnya karyawan hanya bisa menerima ketetapan dari pimpinan dan masih jauh dari kebutuhan hidup dari karyawan tersebut yang di ukur dari ketentuan Upah Minimum Propinsi (UMP) DKI Jakarta yaitu di bawah Rp 1.290.000.

(12)

A. Latar Belakang Masalah

Islam selalu mengatur umatnya dalam setiap perilakunya. Mulai dari kepentingan individu sampai dengan kepentingan hidup khalayak banyak. Semuanya itu ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah baku dalam ajaran Islam.

Pada dasarnya setiap yang dilakukan manusia itu boleh selama tidak ada larangan yang melarang sesuatu itu untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi,

أ

ال

ص

ل

ف

لا ى

م

اع

اما

ال

لا

اب

احا

ة

إ

ل

ي ر حات ىالاع ٌل ي لاد َل داي اأ

ااه م

Pada dasarnya dalam bermuamalah itu boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Berpijak dari kaidah di atas, banyak manusia yang mengartikannya hanya setengah-setengah atau tidak sepenuhnya. Manusia menganggap segala hal itu boleh tanpa melihat larangan yang menjadi tolak ukur pembeda antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran yang lainnya.

(13)

keuntungan yang besar. Terkadang mengabaikan kepentingan orang lain dari usahanya tersebut, yaitu kepentingan karyawannya.

Pada dasarnya, produsen pada tatanan ekonomi konvensional tidak memperhatikan istilah halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan pribadi dengan mengumpulkan laba, harta dan uang. Ia tidak mementingkan apakah yang diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, etis atau tidak etis.1

Dalam suatu usaha bisnis, produksi merupakan suatu kegiatan yang sangat menentukan kelangsungan usaha tersebut. Banyak usaha yang bisa dilakukan oleh manusia dimuka bumi ini. Setiap usaha yang dilakukan tentunya harus bersifat produktif. Karena keberlangsungan usaha yang dijalani seseorang itu, tergantung dari tingkat produktifitas usaha tersebut. Jika hasil produksi yang dihasilkan itu bagus, maka keuntungan yang diperoleh dari usaha seseorang itu akan lebih besar. Sebaliknya jika hasil produksinya kurang memberikan kepuasan, maka pengahasilan yang diperoleh juga akan kurang memuaskan atau bahkan bisa rugi.

Keberhasilan itu tentunya tergantung dari para buruh atau karyawan yang mempunyai kualitas dalam melakukan kegiatan produksi. Karyawan yang mempunyai prestasi dalam melakukan kegiatan produksi, sewajarnya mendapatkan imbalan atau upah yang sesuai dengan yang dilakukannya.

1

(14)

Praktik-praktik yang terjadi secara garis besar para pengusaha mengabaikan tanggung jawab sosial yang seharusnya dipenuhi. Hubungan perusahaan dengan pekerja (karyawan) dibangun di atas sistem kapitalisme, implikasinya pekerja (karyawan) diperas tenaganya tanpa dihargai secara layak oleh para pemodal. Ini terbukti dengan minimnya upah yang mereka terima, upah yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, belum lagi perlakuan yang tidak etis juga sering terjadi.

Dari paradigma tersebut, maka dibutuhkan pula sebuah aturan, ketentuan atau ketetapan yang berkaitan dengan pengupahan yang sesuai dengan aturan Islam yang berlaku dalam bisnis itu sendiri.

Upah itu sendiri sudah menjadi ketetapan yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawannya. Dengan upah itu diharapkan karyawan bisa termotivasi meningkatkan kinerjanya dalam berproduksi, sehingga dapat memajukan perusahaan itu sendiri.

Home industri konveksi di daerah Kalibata merupakan salah satu gambaran usaha yang telah berjalan sejak 20 tahun yang lalu. Hubungan antara karyawan dengan pengusaha konveksi terjalin bagus. Dari hal pengupahannya sendiri berbeda dengan pengupahan di industri pada umumnya.

[image:14.612.144.538.57.425.2]
(15)

minggu, atau juga per bulan dengan nilai yang tetap tanpa melihat seberapa besar kontribusinya dalam berproduksi tersebut.

Lain halnya dengan home industri konveksi yang ada di Pulo Kalibata Jakarta Selatan, karyawannya akan mendapat hasil upah pekerjaannya berdasarkan jumlah barang yang dihasilkannya dalam kegiatan produksi tersebut. Tentunya hal ini mempunyai nilai positif dan negatif tersendiri bagi karyawan maupun bagi pengusaha konveksi itu sendiri.

Dari pemaparan di atas, penulis tertarik meneliti praktik pengupahan yang berlaku pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan dengan tolak ukur fiqih muamalah, dengan judul penelitian: “Pengupahan Karyawan dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(16)

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis mencoba merumuskan masalah untuk memudahkan dalam pembahasan selanjutnya. Adapun rumusan masalah yang akan dirumuskan adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Konsep Upah dalam Fiqih Muamalah?

b. Bagaimana Sistem Pengupahan Karyawan pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan?

c. Apakah penerapan sistem pengupahan yang dijalani Home Industri Konveksi sesuai dengan konsep pengupahan dalam Fiqih Muamalah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini :

1. Untuk mengetahui proses penetapan upah yang dilakukan Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

2. Untuk mengetahui implementasi bisnis yang dijalani Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

3. Untuk mengetahui keselarasan praktik bisnis yang dijalani Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan dengan aturan Fiqih Muamalah dalam pengupahan.

(17)

1. Bagi mahasiswa, diharapkan berguna untuk menambah khazanah pengetahuan dan diharapkan juga berguna untuk memahami bisnis yang sesuai dengan syariah.

2. Bagi Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan diharapkan dapat memberikan informasi dan kontribusi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penentapan upah yang wajar.

3. Bagi masyarakat diharapkan berguna untuk mengetahui dan memahami tentang pengupahan yang pantas menurut hukum ekonomi Islam.

D. Review Studi Terdahulu

Tema upah telah banyak dikaji dalam beberapa penelitian. Penelitian tersebut diantaranya adalah:

No Aspek

Perbandingan

Studi

Terdahulu Skripsi

1

a. Judul

Upah Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam

Pengupahan Karyawan Dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)

b. Pendekatan Teori

Menggunakan teori upah dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam

Menggunakan teori Upah dalam perspektif fiqih muamalah

c. Fokus

Pembahasan terfokus pada perbedaan dan persamaan antara upah dalam ekonomi

konvensional dengan ekonomi Islam

(18)

d. Metode Penulisan

Metode kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif yang

menggunakan analisis-deskriptif-komparatif. Memaparkan konsep upah dalam ekonomi konvensional dan konsep upah dalam ekonomi Islam, kemudian membandingkannya untuk melihat perbedaan dan persamaannya. Metode kepustakaan (library research) dan lapangan (field

research) dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan analisis-deskriptif-komparatif. Memaparkan pengupahan karyawan home industri konveksi, kemudian

membandingkannya dengan konsep upah dalam fiqih muamalah.

e. Waktu/Tempat

Penelitian dilakukan pada tahun 2004

Penelitian dilakukan pada tahun 2011 pada Home Industri

Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

2

a. Judul

Cara Upah Dalam Perspektif Hadis

Pengupahan Karyawan Dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)

b. Pendekatan Teori Menggunakan teori upah ditinjau dari perspektif hadis

Menggunakan teori Upah dalam perspektif fiqih muamalah

c. Fokus

Pembahasan terfokus pada hadis-hadis yang menerangkan tentang tata cara dalam pengupahan.

Pembahasan terfokus pada pengupahan karyawan di home industri konveksi

d. Metode Penulisan

Metode kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif yang

menggunakan analisis-deskriptif. Memaparkan

Metode kepustakaan (library research) dan lapangan (field

(19)

konsep upah dalam perspektif hadis. analisis-deskriptif-komparatif. Memaparkan pengupahan karyawan home industri konveksi, kemudian

membandingkannya dengan konsep upah dalam fiqih muamalah.

e. Waktu/Tempat

Penelitian dilakukan pada tahun 2008

Penelitian dilakukan pada tahun 2011 pada Home Industri

Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

3

a. Judul

Pengaruh Kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Jumlah Penduduk Terhadap Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Jakarta Selatan

Pengupahan Karyawan Dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Pada Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)

b. Pendekatan Teori

Menggunakan teori tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Upah Minimum Provinsi (UMP) dan jumlah penduduk.

Menggunakan teori Upah dalam perspektif fiqih muamalah

c. Fokus

Pembahasan terfokus pada pengaruh kenaikan UMP dan jumlah penduduk terhadap penerimaan PBB, selain itu juga terfokus pada pengaruh kenaikan UMP terhadap penerimaan PBB, kenaikan jumlah penduduk terhadap penerimaan PBB, serta pengaruh kenaikan UMP dan jumlah

(20)

penduduk terhadap penerimaan PBB.

d. Metode Penulisan

Metode kepustakaan (library research) dan lapangan (field

research) dengan pendekatan kuatitatif yang menggunakan analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menggunakan program SPSS dalam mengolah data-datanya dengan variabel-variabel yang terdiri dari UMP, jumlah penduduk, dan penerimaan PBB.

Metode kepustakaan (library research) dan lapangan (field

research) dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan analisis-deskriptif-komparatif. Memaparkan pengupahan karyawan home industri konveksi, kemudian

membandingkannya dengan konsep upah dalam fiqih muamalah.

e. Waktu/Tempat

Penelitian dilakukan pada tahun 2010

Penelitian dilakukan pada tahun 2011 pada Home Industri

Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka peneliti menulis tentang

“Pengupahan Karyawan Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Pada Home

Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan)” yang belum pernah

dilakukan sebelumnya. Terdapat kesamaan dalam metode penelitian antara skripsi ini dengan skripsi pertama dan kedua, yaitu sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yang membedakan skripsi ini dengan skripsi terdahulu bahwa skripsi ini menganalisis tentang praktik pengupahan karyawan suatu home industri konveksi di daerah Pulo Kalibata Jakarta Selatan ditinjau dari perspektif Fiqih Muamalah.

(21)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini yaitu Penelitian Deskriptif yang bertujuan mencari atau merumuskan masalah-masalah dari suatu fenomena, serta berusaha memberikan interpretasi yang tepat.2 Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.3

Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pengupahan karyawan pada Home Industri Konveksi di lihat dari perspektif fiqih muamalah.

2. Jenis, Sumber, dan Teknik Pengambilan Data a. Data Sekunder

Pada penelitian ini digunakan metode kepustakaan (Library Research) untuk menjawab permasalahan penelitian, yaitu dengan mencari bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dalam penelitian, diantaranya dokumen-dokumen, buku-buku sumber, internet, majalah, surat kabar dan media-media lainnya termasuk data yang telah

2

Ety Rohaety, Dkk.. Metodelogi Penelitian Bisnis dengan Aplikasi SPSS. Jakarta:Mitra Wacana Media. 2007. Hal 55

3

(22)

dihimpun oleh lembaga atau instansi resmi yang berkaitan dengan tema di atas. Sumber tersebut harus relevan dengan pokok masalah yang akan dibahas.

b. Data Primer

Disamping itu penelitian ini juga menggunakan metode lapangan (Field Research), dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada narasumber (data kualitatif) dalam hal ini adalah Pimpinan home industri tersebut. Serta melakukan observasi ke tempat penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

c. Teknik Pengambilan Data/Pengumpulan Data

Penulis menggunakan metode wawancara (in depth interview) dalam pengambilan data kualitatif, mengenai pengupahan karyawan di Home Industri Konveksi. Mekanisme pengupahan ini di dapat dari data perjanjian kontrak karyawan, slip gaji karyawan/buruh dan hasil wawancara dengan pihak terkait. Dengan mewawancarai narasumber yang terkait dengan pembahasan, antara lain:

1) Pimpinan atau bagian data dan informasi Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan.

2) Karyawan di Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan.

(23)

Setelah data-data kualitatif terkumpul, penulis menggunakan studi komparatif (perbandingan) dengan membandingkan pengupahan dalam konsep fiqih muamalah dengan mekanisme pengupahan di Home Industri Konveksi.

4. Metode Analisis Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis deskriptif yang terkandung dalam data tersebut. Berdasarkan metode penelitian ini, skripsi ini nantinya diharapkan dapat tersusun secara deskriptif, sistematis dan obyektif.

F. Teknik Penulisan

Adapun untuk teknis yang dipakai penulis skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

G. Sistematika Penulisan

(24)

Bab I. Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Upah

Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang pengertian upah, upah dalam tinjauan ekonomi dan sosial, upah dalam tinjauan fiqih muamalah, perbedaan tingkat upah dalam Islam, metode penentuan upah dan hubungan kerja dalam Islam.

Bab III. Gambaran Umum Home Industri Konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

Bab ini terdiri dari sejarah dan ruang lingkupnya, visi dan misi, tujuan pendirian, organisasi dan manajemen, jumlah tenaga kerja, jam kerja, sistem pengupahan dan proses produksi pada home industri konveksi di Pulo Kalibata Jakarta Selatan

Bab IV. Pengupahan Terhadap Karyawan Home Industri Konveksi Menurut Perspektif Fiqih Muamalah

(25)

Bab V. Penutup

(26)

Di Indonesia kata upah biasa digunakan dalam konteks hubungan antara pengusaha dengan para pekerjanya. Upah itu sendiri mempunyai

pengertian yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah, “Uang dan lain

sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar

tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.”1

Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan upah ialah pembayaran yang diterima oleh buruh untuk jasa-jasa yang telah diberikannya.2

Menurut ekonomi konvensional, ada yang membedakan pembayaran tenaga kerja pada dua pengertian, yakni gaji dan upah. Istilah gaji biasa digunakan pada instansi pemerintah dan istilah upah biasa digunakan perusahaan-perusahaan swasta.3 Akan tetapi, pada kenyataannya perusahaan swasta pun masih menggunakan istilah gaji dalam pemberian jasa kepada karyawannya.

Dalam pengertian sehari-hari, gaji merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada pemimpin-pemimpin, pengawas-pengawas, pegawai

1

Pusat Bahasa DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ke-3, h. 1250

2

Hasan Syadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1984), cet. Ke-6, h. 3718

3

(27)

usaha, dan pegawai-pegawai kantor serta para manajer lainnya.4 Pembayaran gaji biasanya berdasarkan waktu yang telah ditentukan oleh perusahaan. Gaji umumnya tingkatannya dianggap lebih tinggi dari pada pembayaran kepada pekerja-pekerja upahan, walaupun pada kenyataannya sering tidak demikian.

Sedangkan upah dalam teori ekonomi konvensional adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya.5 Dalam hal ini, upah lebih dipandang sebagai balas jasa kepada pekerja kasar yang lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik. Pembayarannya pun biasanya ditetapkan secara harian atau berdasarkan unit pekerjaan yang diselesaikan.

Dengan demikian dalam teori ekonomi membedakan istilah upah dan gaji dilihat dari sisi jenis pekerjaan dan teknis pembayarannya. Dalam upah lebih kepada pekerjaan kasar yang mengandalkan fisik dengan pembayarannya berdasarkan unit pekerjaan yang diselesaikannya. Sedangkan gaji lebih kepada pekerjaan yang menggunakan keahlian tertentu yang pembayarannya ditetapkan berdasarkan waktu tertentu.

Hal-hal yang terkait dengan upah itu sendiri yaitu:

1. Upah bersih: Merupakan jumlah uang yang dibayarkan kepada karyawan, berupa gaji dan tunjangan setelah dilakukan pemotongan.6

4

Ibid., h. 16

5

Ibid., h. 17

6

(28)

2. Upah borongan: Merupakan upah yang dibayarkan kepada karyawan bukan atas dasar satuan waktu (hari, minggu, bulan) melainkan atas dasar satuan barang (tugas) yang harus dikerjakan.7

3. Upah harian: Merupakan bayaran yang diberikan kepada karyawan hanya untuk hasil kerja harian, apabila yang bersangkutan masuk kerja.8

4. Upah lembur: Merupakan upah yang dibayarkan kepada karyawan yang melakukan pekerjaan di luar jam kerja resmi yang telah ditetapkan atau pada hari libur resmi.9

5. Upah minimum: Merupakan upah paling rendah yang menurut undang-undang atau persetujuan serikat buruh harus dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan.10

6. Upah wajar: Merupakan upah yang diberikan perusahaan seimbang dengan jasa yang disumbangkan karyawan kepada perusahaan.11

Dalam kacamata Islam, upah dimasukkan ke dalam wilayah fiqih muamalah, yakni dalam pembahasan tentang ujarah. Menurut bahasa, ujrah

berarti „upah‟. Sedangkan menurut tata bahasa, ujrah (ةرجا) atau Ijarah (ةراجا)

atau ajaarah (ةراجا) dan yang fasih adalah ijarah, yakni masdar sam’i dari fi’il

ajara (رجا) dan ini menurut pendapat yang sahih.12

7

Ibid., h. 1250

8

Ibid., h. 1250

9

Ibid., h. 1250

10

Ibid., h. 1250

11

Ibid., h. 1250

12

(29)

Secara etimologis al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-Iwadl yang arti dalam bahasa Indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rachmat Syafei dalam fiqih muamalah Ijarah adalah (ةعفنملا عيب) menjual manfaat.13

Bila di atas disinggung ujrah/upah berlaku umum atas setiap akad yang berwujud pemberian imbalan atas sesuatu manfaat yang diambil, maka pada garis besarnya ijarah itu terdiri atas:

1. Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari sesuatu, seperti rumah, mobil, pakaian dan lain-lain.

2. Pemberian imbalan akibat sesuatu pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang (nafs), seperti seorang pelayan.14

Jenis pertama mengarah pada sewa-menyewa, sedangkan jenis kedua lebih tertuju pada upah-mengupah. Jadi bidang perburuhan pun tentunya sudah termasuk dalam bidang ijarah/ ujrah.15

Selain ijarah/ujrah, fiqih muamalah juga membahas tentang ju’alah yang mempunyai keterkaitan dengan upah itu sendiri. Ju’alah menurut arti tata

bahasa bermakna „sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk dikerjakan‟,

dan makna ini mendekati makna syar‟i-nya karena mengungkapkan formula

konsekuensi bagi seseorang yang menghasilkan manfaat tertentu, seperti

13

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 121

14

Abdurrahman al-Jaziri, op. cit., h. 96-97

15

(30)

perkataan anda, “Siapa yang menjahit bajuku ini akan mendapatkan sekian.”16

Formula ini diisyaratkan dalam firman Allah SWT,



:



)

۲۹

(

Artinya: “….Dan siapa pun yang dapat membawakannya (mengembalikan piala raja yang hilang) maka akan mendapat (bahan makanan)

sepenuh muatan unta, dan aku yang menjaminnya.” (QS. Yusuf:

72)

Dalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili mengungkapkan bahwa ju’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu.17Ju’alah bukanlah suatu kesepakatan perjanjian, melainkan hanya berupa konsekuensi atas suatu pekerjaan yang dilakukan seseorang. Karenanya ju’alah hanya membutuhkan ijab dan tidak selain itu.

Dengan demikian, Ju’alah bisa diartikan janji hadiah atau upah. Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti, “suatu Iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang

16

Baqir Syarif Al-Qasyari, Keringat Buruh, Penerjemah: Ali Yahya, (Jakarta: Al-Huda, 2007), cet. ke-1, h. 159

17

(31)

belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang

diharapkan.”18

Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang. Sedangkan madzhab Syafi‟i mendefinisikan Ju’alah adalah memberi imbalan atau bayaran kepada seseorang sesuai dengan jasa yang diberikannya kepada kita.19

Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab

Syafi‟i( menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan

yang diharapkan.

Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Mannan, bahwa upah dapat dipandang dari dua segi, yaitu moneter dan yang bukan moneter. Jumlah uang yang diperoleh seorang pekerja selama jangka waktu yang ditentukan, katakanlah sebulan, seminggu atau sehari, mengacu pada upah nominal tenaga kerja. Sesunguhnya upah dari seorang pekerja tergantung pada beberapa faktor. Seperti jumlah upah berupa uang, daya beli uang dan seterusnya, dapat dikatakan terdiri dari jumlah kebutuhan hidup yang sebenarnya. Diterima oleh seorang pekerja karena pekerjaannya. “pekerja kaya atau miskin, diberi imbalan

18 Saifudin, “Konsep Ju’alah”,

di akses pada tanggal 1 April 2011dari situs http://ustazsaifudin.wakaf.org/v1/2009/01/06/konsep-jualah/

19

Musthafa Diib al-Bugha, FIKIH ISLAM LENGKAP Penjelasan Hukum-hukum Islam

(32)

baik atau buruk sebanding dengan harga nyata atau bukan harga nominal atas jerih payahnya.20 Upah merupakan hak dan bukan pemberian sebagai hadiah. Oleh karena itu, tidak ada pekerjaan tanpa upah. Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT. Surat al-Fusilat ayat 8 yaitu:











(

تلصف

:

٨

)

Artinya:“Sesungguhnya orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan, maka bagi mereka adalah upah (pahala) yang tanpa putus.” (QS. Al-Fusilat: 8)

Dari gambaran di atas, terlihat bahwa upah kerja hendaklah profesional, sesuai dengan ukuran kerja dalam proses produksi dan dilarang adanya kecurangan.21

Beberapa konsep sekitar upah yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi22:

1. Ibnu Taimiyah: Ia mengemukakan konsep tentang ujrah al-Mitsl (upah yang setara). Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Islahi, upah yang setara adalah upah yang secara bebas diserahkan pada kekuatan permintaan dan penawaran pasar, tanpa intervensi pemerintah. Tetapi ketika upah berjalan tidak wajar, misalnya pekerja menuntut upah yang terlalu tinggi, sehingga merugikan perusahaan atau perusahaan memberikan upah secara sewenang-wenang, maka pemerintah berhak

20

M.A. Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), Edisi-1, h.116

21

Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Buruh Sebelum Keringan Mengering, (Jakarta: PPMI, 2000), cet. 1, h. 41

22

(33)

untuk menetapkan upah (intervensi). Hal tersebut bermaksud untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak (employer and employed), yakni sama-sama menerima ketetapan yang ada. Akan tetapi jika terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka mereka harus sepakat tentang besarnya upah yang telah ditentukan pemerintah.23

2. Ibnu Khaldun: Menurutnya, kedudukan pekerja sangat tergantung pada nilai kerjanya dan nilai kerja itu sangat ditentukan oleh penghasilan (upah) atau keuntungan dari hasil kerja.

Dari beberapa pengertian upah di atas, meskipun berbeda-beda termnya, tetapi maksudnya sama, yaitu pengganti atas jasa yang telah diserahkan pekerja kepada pihak lain atau majikan. Sedangkan bentuk upah bermacam-macam dari beberapa ulasan di atas. Dapat ditarik kesimpulan bahwa upah memegang peranan penting bagi kehidupan pekerja, karena banyak para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari upah yang diterima. Dengan kata lain, tidak ada manusia yang mau mengerahkan tenaga atau jasanya untuk menggerakkan sesuatu secara terus-menerus atau dalam jangka waktu yang tertentu untuk kepentingan orang lain tanpa dibarengi dengan upah atau imbalan yang memadai.

B. Upah Dalam Tinjauan Ekonomi dan Sosial

Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki berbagai macam kebutuhan. Kebutuhan itu akan menuntut manusia untuk melakukan suatu

23

(34)

kegiatan. Salah satu kegiatannya dilakukan dengan suatu gerakan-gerakan teratur yang merupakan suatu proses untuk mewujudkan sesuatu yang bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Manusia bisa saja memfungsikan orang lain dalam kegiatan tersebut, dengan konsekuensi harus memberikan upah (imbalan) kepadanya atas jerih payah orang lain tersebut. Jika tidak, berarti ia termasuk orang yang zalim.

Setiap manusia akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk selalu bekerja dan berusaha agar dapat memperoleh nafkah atau penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini Allah SWT telah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk selalu bekerja dan berusaha melalui firmannya dalam al-Quran surat al-Jum‟ah ayat 10, yakni:





)

ع݋جلا

ۻ

:

١١

)

Artinya: “Apabila telah dikerjakan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan sebutlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian memperoleh

keuntungan.”(QS. Al-Jum‟ah : 10(

(35)

Menurut tinjauan ekonomi dan sosial, seseorang yang bekerja dan bisa melangsungkan kehidupannya, maka hak seorang yang bekerja harus diberikan, berupa upah (imbalan). Karena dengan upah menusia bisa memenuhi kebutuhannya dalam mejalankan roda kehidupan. Mereka membutuhkan rumah untuk tempat tinggal, kendaraan untuk berpergian, makanan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan membutuhkan berbagai peralatan untuk digunakan dalam kehidupan dan lain sebagainya.

Dalam pemberian upah tersebut, si pemberi tentunya diharuskan untuk bersikap adil secara moral. Keadilan tercakup dalam “memberikan orang lain

akan apa yang menjadi haknya”. Hal ini dikemukakan oleh Plato sebagaimana

dikutip Muslehudin, apa yang menjadi hak setiap orang adalah dia harus diperlakukan sebagaimana harusnya, mengingat kapasitas dan kemampuannya, sementara apa yang menjadi hak darinya adalah tuntutan kinerja yang jujur dengan posisi yang diberikan kepadanya.24 Manusia dalam masyarakat disatukan bukan untuk saling memenui kebutuhan satu sama lain yang berarti mementingkan dirinya sendiri, melainkan untuk saling memelihara satu sama lain dan bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruhnya.

Dalam penetapan upah yang berlaku di Indonesia masih memakai pola kebutuhan fisik minimum, bukannya hidup layak sesuai kebutuhan dasar manusia. Bahkan mengenai jaminan sosial yang adapun masih diluar kendali

24

(36)

buruh. Walaupun hal tersebut menjadi haknya karyawan, akan tetapi bisa mempengaruhi kinerja karyawan. Jadi hal demikian dianggap perlu agar mereka dapat bekerja dengan baik, teratur, tenang dan mencukupi syaratnya. Masalah ini bukan berarti majikan diwajibkan untuk menanggung keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh buruhnya, akan tetapi yang demikian itu, dimaksudkan agar Negara memberikan jaminan para karyawan dapat menikmati hak ini. Hal tersebut apabila upah yang diterimanya nyata-nyata tidak mencukupi kalau dipergunakan untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan tadi.25

Adapun tujuan ekonomi dan sosial mempunyai beberapa hubungan, diantaranya:

1. Hubungan Manusia dan Kebutuhannya

Manusia dihadapkan pada kebutuhan hidup yang mempunyai hubungan erat mengenai penentuan batas yang tegas antara kebutuhan pokoknya dengan berbagai kebutuhan yang sifatnya semu atau hanya sebagai pelengkap. Kebutuhan yang semu tersebut tidak menimbulkan dampak negatif jika tidak terpenuhi. Tetapi sebaliknya, apabila kebutuhan semu tersebut dipenuhi, justru menimbulkan efek negatif yang mendasar pada diri manusia tersebut.

25

(37)

Pada dasarnya, fitrah manusia itu tidaklah berbeda-beda satu sama lainnya. Sehingga kebutuhan setiap manusia di dunia ini relatif sama dan telah diketahui dengan jelas dan terbatas.

Islam telah menawarkan jalan untuk memecahkan problematika ekonomi manusia ini dengan Akidah Tauhid yang dibawanya. Di mana Akidah Tauhid tersebut mengandung berbagai komponen dasar, yaitu berupa kaidah dan prinsip hidup bagi seluruh umat. Antara lain seperti: prinsip kekhalifahan di bumi, mengimani adanya hari akhir dan kehidupan akhirat, dan adanya pahala atau siksa bagi umat manusia.26

2. Hubungan Antar Sesama Manusia

Dalam hubungan manusia dan kebutuhannya lebih kepada tingkat pribadi (personal), sedangkan dalam hubungan ini lebih menyoroti usaha manusia dalam tingkat sosial. Atau dengan kata lain, tingkat umum kemanusiaan.

Lebih jauh, berbagai penelitian lapangan telah menguatkan kesimpulan bahwa problematika ekonomi manusia, tidak akan pernah dapat diatasi hanya dengan upaya produksi. Karena produktifitas yang ditujukan, semata untuk memenuhi berbagai keinginan manusia yang ditopang oleh kemampuan daya beli.27

26

Syauqi Ahmad Dunya, Sistem Ekonomi Islam (Sebuah Alternatif), (Jakarta: Fikahati Aneska, 1994), cet 1, h. 144

27

(38)

Berdasarkan pada tujuan ekonomi dan sosial di atas, upah menjadi penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan menjadikan hubungan dalam tujuan ekonomi dan sosial di atas sebagai dasar dalam pemenuhan kebutuhan manusia.

C. Upah Dalam Tinjauan Fiqih Muamalah

Dalam fiqih muamalah, upah masuk ke dalam pembahasan tentang

ijarah/ujrah. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Dengan kata lain, dapat pula disebutkan bahwa ijarah

adalah salah satu akad yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan penggantian.28

Karena itu, lafaz ujrah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu kegiatan. Kalau sekarang kitab-kitab fiqih selalu menerjemahkan kata ujrah dengan „sewa

-menyewa‟, maka hal tersebut sebenarnya jangan lantas diartikan dengan

menyewa suatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus pula dapat dipahami dalam arti yang luas.

Ijarah ada dua macam:29

1. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.

28

Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid. 3, h. 198

29

(39)

2. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah. Dalam ijarah bagian ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.

Pendapat lain mengemukakan bahwa ujrah berasal dari kata al-ajru

yang berarti al-„iwadlu (ganti). Dengan sendirinya, lafaz al-tsawab (pahala) bisa dikaitkan dengan upah. Mengingat, al-tsawab (pahala) merupakan imbalan atas sesuatu pekerjaan baik.30

Ujrah atau upah diartikan sebagai pemilikan jasa dari seorang ajir

(orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.31 Kompensasi imbalan inilah yang kemudian disebut ujrah (ةرجا),

ajrun (رجا). Term ini dapat kita temukan dalam surat at-Thalaq ayat 6 yakni:







...

)

اطلا

ܼ

:

٦

)

Artinya: “Apabila mereka (wanita-wanita) menyusui (anak) kalian maka berikanlah upah-upahnya.” (QS. At-Thalaq: 6)

Adapun mengenai bentuk upah, tidak selalu harus berbentuk uang. Makanan, pakaian dan sejenisnya dapat pula dijadikan upah. Seorang ajir boleh dikontrak dengan suatu kompensasi atau upah berupa makanan dan pakaian. Sebab praktik semacam ini diperbolehkan terhadap wanita yang menyusui, seperti yang telah disebutkan dalam ayat di atas.32

30

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa oleh H. Kamaludin A. Marjuki, (Bandung: al-Ma‟arif(, cet. Ke-7, h. 15

31

Taqyudin an-Nabahani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 83

32

(40)

Dari term fiqih muamalah, upah (ijarah) adalah transaksi yang lazim dilakukan dalam mengambil manfaat dengan harga tertentu dan dalam waktu tertentu. Tentu saja, hukum mengenai upah adalah boleh.33 Mengingat banyak ayat dan riwayat hadist yang dijadikan argumen oleh para ulama akan kebolehan ijarah tersebut. Landasan dari al-Quran diantaranya:

1. Surat al-Kahfi ayat 77,

...

)

فݓ݃لا

:

۲۲

)

Artinya: “…. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al-Kahfi: 77)

2. Surat al-Baqarah ayat 233,

...















(

ۺܕق۹لا

:

۹۲۲

)

Artinya: “… Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,

maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

pembayaran menurut yang patut….”(QS. Al-Baqarah: 233)

3. Surat al-Qashash ayat 26-27



.





33
(41)









(

صصقلا

:

۹٦

-۹۲

)

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberatimu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. al-Qashash: 26-27)

Adapun hadist tentang ijarah ini antara lain: 1. Hadist riwayat Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:

اݏثدح

ميݒاܕبا

ݍب

ىسوم

اݎܕ۹خا

݈اشݒ

ݍع

ܕ݋عم

ݍع

ݖܕݒܗلا

ݍع

ۺوܕع

ݍب

ܕيبܗلا

ݍع

ۻشئاع

ىضر

ه

ا݋ݓݏع

:

ܕجاۿساو

ي۹ݏلا

ىلص

ه

ݑيلع

ملسو

و

وبا

ܕ݃ب

اجر

ݍم

يݏب

ليܐ

اݒ

ايܐ

اۿيܕخ

وݒو

ىلع

ݍيܐ

راܻك

شيܕق

ݐاݏمءاف

عفدف

ݑيلا

ا݋ݓۿيلحار

ݐادعوو

راغ

ݖروثلا

دعب

܀اث

لايل

݋ݒاتاف

ا

ا݋ݓۿيلحاܕب

ۻحي۹ص

لايل

(

ݐاور

ݖرا܏۹لا

)

34

Artinya: “Dari Aisyah r.a., Rasulullah saw dan Abu Bakar pernah menyewa seorang dari Bani al-Dil sebagai penunjuk jalan yang ahli, dan orang tersebut beragama yang dianut oleh orang-orang kafir Quraisy, mereka berdua memberikan kepada orang tersebut kendaraannya dan menjanjikan kepada orang tersebut supaya dikembalikan sesudah tiga malam di Gua Tsur sesudah tiga malam lalu laki-laki datang kepada keduanya membawa kedua kendaraannya diwaktu subuh pada hari ketiga.” (H.R. Bukhari)

34

(42)

2. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

اݏثدح

سا۹علا

ݍب

ديلولا

ىقشمدلا

اݏث

بݒو

ݍب

ديعس

ݍب

ۻيطع

ى݋لسلا

اݏث

د۹ع

ݍ݋حܕلا

ݍب

ܖ

دي

ملسا

ݍع

ݑيبا

ݍع

د۹ع

ه

ݍب

ܕ݋ع

لاق

:

لاق

لوسر

ه

ىلص

ه

ݑيلع

ملسو

" :

اوطعا

ܕيجاا

ݐܕجا

ل۹ق

݌ا

فجي

ݑقܕع

( "

ݐاور

ݍبا

ݑجام

)

35

Artinya: “Menceritakan kepada kami Abbas bin Walid

al-Dimasqi menceritakan kepada kami Wahab bin Sa’id bin

„Atiyah al-Salami menceritakan kepada kami Abdurrahman

bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar berkata: Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: bayarlah upah sebelum keringat mongering.” (H.R. Ibnu Majah)

3. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas menyebutkan:

اݏثدح

ىسوم

ݍب

ليعا݋سا

اݏثدح

بيݒو

اݏثدح

ݍبا

سواط

ݍع

ݑيبا

ݍع

ݍبا

سا۹ع

ىضر

ه

ا݋ݓݏع

لاق

:

مجۿحا

ي۹ݏلا

ىلص

ه

ݑيلع

ملسو

و

ىطعا

݈اجحلا

ݐܕجا

(

ݐاور

را܏۹لا

)

36

Artinya: “Meriwayatkan kepada kami Musa bin Ismail, meriwayatkan

kepada kami Wuhaib, meriwayatkan kepada kami Ibnu Tawus dari Bapaknya, dari Ibnu Abbas r.a. berkata: Bahwasanya Nabi Muhammad saw pernah berbekam,dan memberikannya upah kepada tukang.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ayat dan hadist di atas menyinggung bahwa ijarah berlaku umum atas setiap akad yang berwujud pemberian imbalan atas sesuatu manfaat yang diambil, maka garis besarnya ijarah itu terdiri atas: Pertama, pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari sesuatu „ain, seperti rumah, pakaian, dan lain-lain. Kedua, pemberian imbalan akibat sesuatu pekerjaan yang

35

Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Kitab al-Rahn, Juz 2, hlm. 817

36

(43)

dilakukan oleh nafs, seperti seorang pelayan. Jenis pertama lebih mengarah kepada sewa-menyewa, dan jenis yang kedua lebih tertuju kepada upah-mengupah.

Pemilik yang menyewakan manfaat, dalam hal ini tenaga pekerja, disebut mu’jir (orang yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut musta’jir (orang yang menyewa). Dan sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya disebut ma’jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran/ujrah (upah).

Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 (empat), yaitu:37 1. „Aqid (orang yang berakad)

2. Shighat akad 3. Ujrah (upah) 4. Manfaat

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan keempat rukun ijarah di atas. Agama menghendaki agar dalam pelaksanaan ijarah itu senantiasa harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin pelaksanaannya agar tidak merugikan salah satu pihak, serta terpelihara maksud-maksud mulia yang diinginkan agama.

Selain ijarah/ujrah, fiqih muamalah juga membahas tentang Ju’alah yang mempunyai keterkaitan dengan upah itu sendiri. Sebagaimana pengertian ju’alah yang sudah dijelaskan, ju’alah juga dapat dijadikan akad dalam

37

(44)

pengupahan karyawan atas imbalan jasa yang diberikannya. Namun harus diperhatikan bahwa Ju’alah bukanlah sesuatu kesepakatan perjanjian. Ia hanya berupa konsekuensi. Karenanya al-Ju’alah hanya membutuhkan ijab dan tidak selain itu.

Madzhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali berpendapat, bahwa agar

perbuatan hukum yang dilakukan dalam bentuk Ju’alah itu dipandang sah, maka harus ada ucapan (shigah) dari pihak yang menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti iklan dalam surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti. Ucapan tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain seperti wakilnya, anaknya atau bahkan orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah. Kemudian Ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa ada ucapan qabul (cukup sepihak).

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam melaksanakan akad ju’alah ini, yaitu:38

1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Sedangkan

38

(45)

menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah, akad ju’alah sah dilakukan oleh anak yang mumayyiz.39

2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai

harta yang bernilai )Madzhab Maliki, Syafi‟I dan Hanbali(.

3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang

jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara‟.

4. Madzhab Maliki dan Syafi‟I menambahkan syarat bahwa dalam masalah tertentu, ju’alah tidak boleh dibatasi waktu dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.

5. Madzhab Hanbali menambahkan bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali, seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.

Menurut ulama Hanafiah, akad ju’alah tidak dibolehkan karena didalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan

dan waktunya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah,

akad ju’alah dibolehkan dengan dalil firman Allah SWT dalam kisah Nabi Yusuf a.s. bersama saudara-saudaranya.40

39

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. ke-1, jilid ke-5, h. 435

40

(46)





)

ي

و

فس

:

۲۹

)

Artinya: “Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.” )QS. Yusuf:

72)

Dalam Hadist juga diriwayatkan yang berkaitan dengan ju’alah, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda: “Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan

beri saya sebagian”. )HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali An Nasa‟i(41

Ulama yang membolehkan akad ju’alah bersepakat bahwa akad ini adalah akad yang tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah. Oleh karena itu dibolehkan bagi ja’il (pembuat akad) dan „amil (pelaksana akad) membatalkan

akad ju’alah ini. Pembatalan ini terjadi perbedaan pendapat oleh para ulama dari segi waktu pembatalan akad ini.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ju’alah sebelum pekerjaannya dimulai. Menurut mereka akad ini mengikat atas ja’il, bukan „amil, dengan dimulainya pekerjaan itu. Adapun bagi „amil yang akan

41

(47)

diberikan upah, akad ini tidak mengikat atasnya dengan sesuatu apapun, baik sebelum bekerja atau sesudahnya, maupun sesudah dimulai pekerjaan.

Sedangkan ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh

membatalkan akad ju’alah kapan saja sesuai dengan keinginan ja’il dan „amil khusus (yang ditentukan). Hal ini seperti akad-akad yang bersifat tidak mengikat lainnya, seperti akad syarikah dan wakalah, sebelum selesainya pekerjaan yang diminta itu. Jika yang membatalkan adalah ja’il atau „amil khusus sebelum dimulainya pekerjaan yang diminta, atau yang membatalkannya adalah „amil sesudah pekerjaannya dimulai, maka „amil tidak berhak mendapat apa pun dalam dua keadaan tersebut. Hal itu karena pada keadaan pertama dia belum mengerjakan apa pun, dan pada keadaan kedua belum tercapai maksud ja’il dalam akad itu. Adapun jika ja’il membatalkannya setelah pekerjaan itu dimulai, maka dia wajib memberikan upah pada „amil sesuai dengan pekerjaannya menurut ulama Syafi‟iyah dalam pendapat yang paling benar (al-ashahh), karena itu adalah pekerjaan yang berhak mendapatkan imbalan dan ja’il belum menyerahkan pada „amil upah kerjanya. Hal ini sama seperti jika pemilik harta membatalkan akad mudharabah setelah pekerjaannya

dimulai dan „amil berhak mendapatkan upah tertentu dengan selesainya

pekerjaan itu. Namun, jika „amil membatalkannya sebelum pekerjaannya selesai, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun.42

42

(48)

Meskipun ju’alah merupakan akad dalam upah-mengupah sebagaimana halnya dengan ijarah, akan tetapi ada lima perbedaan antara ju’alah dan ijarah, yaitu:43

1. Akad ju’alah sah dikerjakan oleh „amil umum (tidak tertentu), sedangkan

ijarah tidak sah dilakukan oleh orang yang belum jelas.

2. Akad ju’alah dibolehkan pada pekerjaan yang belum jelas, sedangkan

ijarah tidak sah kecuali pekerjaan yang sudah jelas.

3. Dalam ju’alah tidak disyarat adanya qabul )penerimaan( dari „amil, karena ju’alah adalah akad dengan kehendak satu pihak. Sedangkan dalam akad

ijarah wajib adanya qabul dari buruh yang mengerjakan pekerjaan itu, karena ijarah adalah akad dengan kehendak dua belah pihak.

4. Ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, sedangkan ijarah adalah akad yang mengikat dan salah satu pihak tidak boleh membatalkan kecuali dengan kerelaan dan persetujuan pihak lainnya.

5. Dalam ju’alah „amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali setelah menyelesaikan pekerjaannya. Jika ia mensyaratkan agar upahnya didahulukan, maka akad ju’alah batal. Sedangkan dalam ijarah boleh mensyaratkan upah didahulukan.

Dari gambaran di atas, upah dalam konteks fiqih muamalah mengandung nilai yang sangat kompleks dengan aturan-aturan yang telah

43

(49)

ditentukan. Penetapan upah ini tentunya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan karyawannya.

Dari beberapa ulasan mengenai upah dalam konsep fiqih muamalah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, ujrah atau upah, adalah berupa pengambilan atau pemilikan manfaat, baik pemanfaatan barang maupun pemanfaatan tenaga.

D. Perbedaan Tingkat Upah dalam Islam

Pandangan orang tentang tingginya tingkat upah boleh dikatakan tidak berubah, yaitu asal mencukupi. Namun, arti mencukupi sangat relatif dan tergantung sudut pandangan yang dipakai. Sisi lain dari mencukupi adalah kewajaran. Berapa sebenarnya tingkat upah yang wajar? Dalam sejarah pemikiran ekonomi dikenal berbagai madzhab yang masing-masing mempunyai konsep sendiri-sendiri tentang upah wajar.44

Upah didefinisikan sebagai balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada para pekerja atas jasa-jasanya dalam mencapai tujuan organisasi. Upah merupakan imbalan finansial langsung yang diberikan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyak pelayanan yang diberikan.45

Bekerja bukanlah masalah kuantitas tapi kualitas penggunaan waktu dengan keberkahan sebagai margin keuntungan. Dari sini, semakin efektif

44

Arfida BR. Ekonomi Sumber Daya Manusia. JakartaGhalia Indonesia, 2003. Hal 149

45

Veithzal Rivai. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik.

(50)

seseorang memanfaatkan waktunya untuk kepentingan Allah, dirinya dan perusahaan akan semakin mahal kompensasi yang dapat diberikan atas pemanfaatan waktu tersebut.46

Adakalanya perbedaan upah itu sangat mencolok sekali. Ada yang upahnya hanya cukup untuk hidup, ada yang memungkinkan untuk kehidupan yang menyenangkan. Bahkan, bisa mencapai suatu kehidupan yang sangat mewah. Akan tetapi yang penting untuk dianalisa di sini adalah faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan upah tersebut. Adapun Faktor-faktor yang menjadi sumber dari perbedaan upah yaitu :47

1. Perbedaan jenis pekerjaan

Kegiatan ekonomi meliputi berbagai jenis pekerjaan. Diantara jenis pekerjaan tersebut, ada pekerjaan yang ringan dan sangat mudah. Tetapi ada pula pekerjaan yang harus dikerjakan dengan mengeluarkan tenaga yang besar.

2. Perbedaan kemampuan, keahlian, dan pendidikan

Kemampuan, keahlian, dan keterampilan para pekerja di dalam suatu jenis pekerjaan sangatlah berbeda. Ada sebagian pekerja yang mempunyai kemampuan fisik dan mental yang lebih baik dari pada segolongan pekerja lainnya. Secara lahiriah, sebagian pekerja mempunyai kepandaian,

46

Dep. Pengembangan Bisnis, Perdagangan & Kewirausahaan Syariah Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah, Etika Bisnis Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2011), h. 16

47

(51)

ketekunan, dan ketelitian yang lebih baik. Sifat tersebut menyebabkan mereka mempunyai produktifitas yang lebih tinggi.48

3. Ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja

Dalam teori sering kali diumpamakan bahwa terdapat mobilitas faktor-faktor produksi, termasuk juga mobilitas tenaga kerja. Dalam konteks mobilitas tenaga kerja perumpamaan ini berarti: kalau dalam pasar tenaga kerja terjadi perbedaan upah, maka para pekerja akan mengalir kepasar tenaga kerja yang upahnya lebih tinggi.49

Faktor geografis juga merupakan salah satu sebab yang menimbulkan ketidaksempurnaan dalam mobilitas tenaga kerja. Adakalanya ditempat-tempat tertentu terdapat masalah kekurangan buruh walaupun tingkat upahnya lebih tinggi. Sedangkan ditempat lain, terdapat banyak pengangguran dan tingkat upah relatif lebih rendah. Dalam keadaan seperti ini, wajar apabila para penganggur itu berpindah ke tempat di mana terdapat kekurangan tenaga kerja dihadapi.

Perbedaan tingkat upah juga bisa ditimbulkan karena perbedaan keuntungan yang tidak berupa uang. Perbedaan biaya latihan pun sering menyebabkan adanya perbedaan tingkat upah. Perbedaan tingkat upah bisa juga disebabkan oleh ketidaktahuan atau juga keterlambatan. Tetapi dalam beberapa hal, hukum Islam mengakui adanya perbe

Gambar

gambaran usaha yang telah berjalan sejak 20 tahun yang lalu. Hubungan
GAMBARAN UMUM HOME INDUSTRI KONVEKSI DI PULO KALIBATA
Gambar 1. Struktur Organisasi Home Industri Konveksi
Tabel 1. Nama-nama Karyawan Home Industri Konveksi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kebijakan tersebut Kepulauan Anambas masuk ke dalam pengembangan Koridor Pariwisata Daerah (KPD) sebagai kawasan pengembangan wisata maritim dan ekowisata..

Parfum Laundry Sukamulya Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI TARGET MARKET PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Azis dan Idris (2012) menghasilkan kesimpulan sebuah kesimpulan yaitu dengan menggunakan pendekatan model UTAUT dapat

Hasil uji coba sistem radio pengendali robot terbang ialah jarak terbang mencapai 200 meter, sistem komunikasi telemetri dan GPS telah berhasil digunakan untuk mengirimkan

Teknologi java dapat digunakan untuk pembuatan aplikasi database , jaringan, web, ataupun grafis Keberhasilan itu tak lepas dari campur tangan Sun Microsystem yang

Jika dilihat dari pemaknaan zuhud, bahwa yang dimaksud dengan zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memperbanyak ibadah kepada Allah

l) mokytojo užduotis; 2) specialus laikas, skirtas jai atlikti; 3) mokinių aktyvu. mas, siekiant nurodyto tikslo ir 4) jų protinė veikla. Apibrėžime pateiktas po. sakis