• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola asuh pembina terhadap santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola asuh pembina terhadap santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMADIYAH GARUT

Oleh:

CATUR TRESNA RUSWARADITFl'.A

NIM: 103070028987

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian per.syaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi ($.Psi)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

MUHAMMADIYAH GARUT

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk mememuhi syarat-syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Catur Tresna Ruswaraditra NIM: 103070028987

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

セ@

(-Bamban di Ph.D

NIP. 150 326 891 NIP. 150 293 234

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Skripsi yang berjudul POLA ASUH PEMBINA TERHADAP SANTRI DI

PONDOK PESANTREN DARUL ARQAM MUHAMMADIYAH GARUT

telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06

Februari

2008.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, Februari 2008

Ketua Mer Jkap Anggota,

LZLO|MQセ@

Ora. H'. Net Hartati M.Psi. NIP. 150 21 38

Penguji I

Sidang Munaqasyah

Sekretaris Merangkap Anggota

Anggota: Penguji II

Ors. Rachmat Mulyono. M.Si

NIP.

150 293 240

Pernbirnbing I Pembimbing II

(4)

Jadilah Sukses Berdasarkan Penilaian Tuhan

Lakukanlah Sekuat Tenaga bukan semampunya

lngatlah selalu dan perbaiki kesalahan yang pernah kita

pe?rbuat, k@mudian

Lupakan ke?baikan yang pernah kita perbuat

(AAGymj

"Ke

bahagiaan ada pada

ェゥセイ。@

yang

be

rs yukur"

(Andy F Noya)

"<Pada setiap satu

セウオオエ。ョ@

terdapat

V。ョケ。ォLセュオ、。ィ。ョN@

Sunggufi, setefali ftesuutan

adiz

セュオ、。ィ。ョMセュオ、。ヲゥ。ョN@

:Malig apa6ifa f«imu

CJ'e{afi

sefesai ( dari. sesuatu urusan),

R§tjalignfali dengan sungguli-sungguli (umsan) yang fain.

<Dan Uanya

セー。エヲ。@

<Iufianmufali liendak,nya /igmu

(5)

Tiada kata indah selain memuji dan bersyukur kepada Allah SWT yang dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walau dalam menjalaninya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Tak lupa Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada Kanj13ng Nabi

Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membimbing manusia keluar dari masa kegelapan menuju masa yang penuh asa.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada insan-insan yang menjadi penyemangat penulis di saat-saat genting tanpa inspirasi dan mengajarkan berbagai hal mengenai kehidupan.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak dan !bu tercinta yang selalu mendampingi tanpa mengenal kata lelah yang dengan doa dan semangatnya terus mendukung tiada henti agar penulis cepat menyelesaikan skripsi. Kedua kakaku Owi Tresna R sekeluarga, dan Tri Tresna R sekeluarga yang banyak mewarnai

kehidupan penulis. Kalian merupakan anugerah untukku, terima kasih Allah atas keluarga yang hebat ini.

2. Ora. Hj. Netty Hartati, M.Si., Oekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(6)

4. Prof. Hamdan Yasun, M.Si., Ketua Bidang Psikolooi Sosial dan Pembimbing Akademik kelas A Fakultas Psikologi 2003 yang telah memberikan banyak arahan dan pengalamannya kepada penulis. 5. Bambang Suryadi, Ph.D Pembimbing I yang telah memberikan banyak

masukan untuk perbaikan skripsi pada penulis.

6. Solicha, S.Ag. Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu pribadinya untuk memberi koreksi pada skripsi penulis.

7. Seluruh staff pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah bersedia memberikan secercah harapan masa depan selama proses perkuliahan. Jajaran akademik dan karyawan Fakultas Psikologi lbu Sri, Pak Miftah lbu Syariah dan lbu Nur, dkk, yang sabar mendengar keluhan-keluhan dan direpotkan dalam menyusun nilai-nilai penulis yang tak beraturan.

8. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut beserta seluruh staff pengajar dan pembina yang telah memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi penulis dalam mengadakan penelitian.

9. Siti Rahmi Rahimah yang sudah memberikan begitu banyak perhatian dan kesabaran bagi perkembangan penulisan skripsi ini.

1 O. The Kostan Family (Dani dan Yusuf) Plus Uwa Ramdan, dengan kalian kuliah serasa penuh makna. Arif, Badru, Yamani, Sugih, Indra, Adit, dan Cupie atas kerja samanya selama perkuliahan. Semua

orang-orang luar biasa angkatan 2003 kelas A, lta, Maya, Tika, Yeyen, lea, Nca, Rida, dan lain-lain yang banyak memberi warna kehidupan. Persahabatan kita selamanya.

(7)

sebagai penambah spirit dalam mengerjakan skripsi ini ketika jenuh. Dan untuk semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya karena keterbatasan ruang. Hanya doa yang bisa penulis panjatkan, semoga bantuan dan kebaikan yang telah mereka berikan menjadi amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT.

Jakarta, Januari 2008

(8)

(C) Catur Tresna Ruswaraditra

(A) Fakultas Psikologi (B) Januari 2008 (D) Pola Asuh Pembina Terhadap Santri Di Pondok Pesantren Darul

Arqam Muhammadiyah Garut (E) xi+ 108

(F) Pendidikan dalam jenjang menengah merupakan jembatan darl pendidikan dasar ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu pendic:fikan menengah menjadi sangat penting. Lembaga pendidikan pesantren yang berada dalam jenjang pendidikan menengah bahkan membekali anak didiknya dengan menambahkan berbagai ilmu agama. Hal ini dimaksudkan untuk memiliki generasi yang unggul dalam ilmu dan akhlak. Pola asuh pembina terhadap santri merupakan faktor yang turut berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan di pesantren. Upaya untuk mendukung terlaksananya visi dan misi pesantren ini meliputi aspek pengasuhan, kontrol, harapan, dan komunikasi. Perkembangan zaman yang cepat dan penuh kemajuan juga berbagai perubahan dalam pesantren itu sendiri membuat peran

pembina menjadi semakin vital sebagai pengganti orang tua. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren. Pola asuh yang dimaksudkan adalah segala bentuk interaksi pengasuhan antara pembina dan santri, baik yang berbentuk otoriter, demokratis, permisif indifferent, atau permisif indulgent.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode studi kasus. Teknik analisa data penelitian menggunakan metode perbandingan tetap. Lokasi pelaksanaan penelitian di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Subjek dalam penelitian ini adalah pembina yang di tugaskan

membina santri oleh pimpinan pondok pesantren di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Jumlah subjek sebanyak tiga orang.

(9)

Untuk perkembangan lebih lanjut maka ada beberapa saran yakni; perlu adanya penambahan jumlah sampel termasuk

membandingkannya dengan santri, serta mempertimbangkan aspek lainnya, seperti kelekatan santri dengan pembina, efektifitas rasio pembina dengan santri, dan tingkat ekonomi pembina dalam menggambarkan pola asuh responden.

(10)

Halaman Judul

Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan Motto

Persembahan

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... iv

Daftar lsi ... v

Daftar Tabel ... viii

Daftar Bagan ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB 1 PENDAHULUAN

1-10

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. ldentifikasi Masalah ... 6

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

1.3.1. Pembatasan Masalah ... 6

1.3.2. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4. 1. Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Sistematika Penulisan ... 8

(11)

2.2. Pondok Pesantren ... 20

2.2.1. Definisi Pesantren ... 20

2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren ... 22

2.2.3. Kultur Kehidupan Pondok Pesantren ... 23

2.2.4. Jenis-jenis Pondok Pesantren ... 26

2.2.5. Jenis-jenis Santri. ... 27

2.2.6. Program Pengasuhan ... 27

2.3. Pola Asuh Pembina Terhadap Santri di Pondok Pesantren ... 28

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 31-42 3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.1. 1. Pendekatan Penelitian ... 31

3.1.2. Metode Penelitian ... 32

3.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional. ... 33

3.3. Subjek Penelitian ... 35

3.3.1. Responden ... 35

3.3.2. Karakteristik Subjek ... 35

3.4. Sumber dan Jenis Data ... 36

3.5. Teknik dan lnstrumen Pengumpulan Data ... 36

3.5.2. Wawancara ... 37

3.5.3. Observasi. ... 39

3.6. Teknik Analisa Data ... 39

3.6.3. Analisa Data Kualitatif ... 39

(12)

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA

43-102

4.1. Gambaran Urn um Responden ... .43

4.2. Riwayat Kasus dan Analisa Kasus ... .44

4.2.1 Kasus ES ... .46

4.2.2 Kasus NH ... 63

4.2.3 KasusAY ... 78

4.3. Analisa Perbandingan Antar Kasus ... 93

4.4. Hasil Tambahan ... 97

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

103-108

5.1. Kesimpulan ... 103

5.2. Diskusi ... 103

5.3. Saran ... 107

(13)

Tabel 3.1 Kategori Pola Asuh ... 34

Tabel 3.2 Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 38

Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ... .44

Tabel 4.2 Kategori Pola Asuh ... .45

Tabel 4.3 Analisa Kasus ES ... 61

Tabel 4.4 Analisa Kasus NH ... 76

Tabel 4.5 Analisa Kasus AY ... 91

Tabel 4.6 Analisa Perbandingan Antar Kasus ... 93

Tabel 4.7 Latar Belakang Responden ... 98

Tabel 4.8 Skor Skala Pola Asuh ... 101

[image:13.595.57.447.136.498.2]
(14)
[image:14.595.78.450.168.497.2]
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Bimbingan Skripsi ... 1 ·12

Lampiran 2. Surat lzin Penelitian dari Fakultas Psikologi UIN Syahid .... 113

Lampiran 3. Surat lzin Telah Melaksanakan Penelitian dari Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut.. ... 114

Lampiran 4. Angket Penelitian Untuk Pembina ... 115

Lampiran 5. Kunci Jawaban Angket.. ... 120

Lampiran 6. Validitas ... 123

Lampiran 7. Reliabilitas ... 125

Lampiran 8. Data Hasil Penelitian Pembina ... 127

Lampiran 9. Surat Permohonan Kesediaan Wawancara ... 133

Lampiran 10. Pedoman Wawancara ... 135

(16)

PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1. latar

Belakang Masalah

Pondol< pesantren bukanlah institusi pendidikan baru, melainkan institusi pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous (asli). Pada zaman penjajahan, institusi ini bukan hanya tempat membina ilmu tetapi juga dijadikan basis perjuangan dalam mengusir penjajahan bangsa-bangsa asing seperti Belanda dan Jepang.

(17)

um um digunakan yaitu bandongan dan sorogan. Metode bandongan atau layanan kolektif mengharuskan para santrinya mendengarkan Kiai

membacakan naskah-naskah keagamaan yang berbahasa Arab sambil memberi catatan. Metode sorogan adalah santri yang membacakan kitab, sementara Kiai atau ustadz yang sudah mahir menyimak sambil

mengevaluasi bacaan santri. Para santri yang mendapatkan pendidikan di pesantren ini ada yang tinggal di asrama dikenal dengan nama santri mukim

dan ada yang tinggal di rumahnya masing-masing dikenal dengan nama

santri kalong.

Pondol< pesantren dapat menghasilkan lulusan yang berk.ualitas, baik secara intelektual maupun perilaku. Pola pendidikannya mengharusk.an para santri tinggal dalam asrama, selain bertujuan agar lebih fokus dalam mempelajari ilmu-ilmu agama dan umum, juga mengajarkan kemandirian. Namun pola seperti ini memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan juga bukan jaminan bahwa masalah tidak akan ada. Karena pengasuhan berpindah dari orang tua masing-masing kepada pola pengasuhan di pondok pesantren.

Saat ini perkembangan pesantren telah sangat meluas di tanah air, terdapat ribuan pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik pesantren tradisional maupun pesantren modern. Data Statistik dari Departemen

(18)

signifikan terlihat dalam dua dasawarsa kemudian tahun ·1977, di mana pesantren berjumlah 9.388 buah dengan jumlah santri mencapai 1. 770. 768 orang. Data terakhir Depag tahun 2001 menunjukkan jumlah pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan :santri sebanyak 2.737.805 orang.

Namun bukan hanya jumlahnya saja yang mengalami perkembangan, dari segi kualitas pesantren juga mengalami perkembangan. Dari

penyelenggaraan pendidikan pun sejak tahun 1970-an be1ntuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Sistem pembelajaran tradisional yang berlaku, yaitu sorogan, bandongan,

balaghan, dan halaqah mulai diseimbangkan dengan sist19m pembelajaran

modern. Dalam aspek kurikulum juga mengalami perubahan, bila dahulu pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja kini beberapa pesantren banyak yang telah mengadopsi ilmu-ilmu umum untuk diajarkan kepada para santrinya.

(19)

dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau.

Kini cara pengasuhan di banyak pondok pesantren tidak hanya berpusat pada satu figur Kiai saja, akan tetapi melibatkan para pengasuh lainnya; ustadz, ustadzah, pembina atau apapun istilahnya. Hal ini dikarenakan banyak pesantren yang memiliki jumlah santri yang cukup banyak, sehingga dibutuhkan tenaga pengasuh yang lebih banyak pula untuk membina santri yang tinggal di asrama.

Pola asuh yang diterapkan di asrama oleh pembina cenderung bergaya authoritarian atau terpusat pada satu figur saja. Melalui gaya pengasuhan seperti ini diharapkan santri akan patuh dan berkembang ke arah yang diinginl<an atau dikehendaki oleh pihak pondol< pesantren. Penelitian yang dilakul<an oleh Muhtar (2005) membuktikan terdapat perbedaan kontribusi dari kebervariasian pola asuh authoritarian terhadap kebeirvariasian prestasi

belajar santri mul<im dan santri non·mukim.

•Ada perbedaan kontribusi dari kebervariasian pola asuh otoriter terhadap kebervariasian prestasi belajar santri mukim dan santri nonmukim. Harga t yang diperoleh sebesar 2,570 apabila

(20)

Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bagaimana pola asuh authoritarian berpengaruh terhadap kondisi santri yang tinggal di pondok pesantren bila dibandingkan dengan gaya pola asuh yan{l lainnya seperti permisif dan demokratis. Pengaruh yang menonjol salah satunya terhadap prestasi belajar. Oleh karena itu para pembina harus merniliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pengasuhan.

Latar belakang santri yang berbeda-beda dan jumlahnya yang banyak

menyebabkan pola asuh yang dijalankan pembina tidaklah mudah dilakukan. Para santri datang dengan membawa kebiasaan pengasuhan dari orang tuanya masing-masing yang berbeda-beda dan kemudian harus mengikuti gaya pengasuhan di pondok pesantren. Belum lagi jika ーセュァァ。ョエゥ。ョ@ kelas terjadi, maka penggantian pembina pun bisa jadi berubah. Hal ini menjadi masalah tersendiri tak hanya bagi santri tapi juga pembina, pengasuh,

ustadz, ustadzah sebagai pengasuh di pondok pesantren. Kesulitan lain jika rasio pengasuh tidak berimbang dengan jumlah santri. Pcmdok pesantren yang menggunkan sistem asrama di mana jumlah santrinya dikelompokan dalam jumlah yang besar dengan tenaga yang minim akan mengurangi

intensifnya bimbingan yang diberikan terhadap santri mukim.

(21)

1.2. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di alas penulis dapat mengidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren

Darul Arqam Muhammadiyah Garut?

2 Apakah pola asuh yang dilakukan pembina di pondok pesantren

Darul Arqam Muhammadiyah Garut dapat mengatasi problem keterpisahan

santri dengan orang tuanya?

3. Apakah pola asuh yang dilakukan pembina di pondok pesantren

Darul Arqam Muhammadiyah Garut dapat mengganti peran orang tua santri?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan tidak meluas dan lebih terarah, penulis memberikan

batasan pada penelitian ini terhadap:

1. Jenis pola asuh yang dimaksud oleh penulis mencakup keseluruhan

macam-macam pola asuh, yaitu: otoriter, demokratif, dan permisif.

(22)

3. Santri yang dimaksud oleh penulis adalah santri mukim, yaitu santri yang tinggal di asrama sebagai tempat istirahat, dan kegiatan-kegiatan rumah tangga lainnya.

4. Pondok pesantren yang dimaksud oleh penulis adalah pondok pesantren khalafi atau disebut juga pondok pesantren yang sudah

menggabungkan kurikulum agama dan umum. Selain itu pola pengasuhan yang diberikan kepada santri tidak lagi terpusat pada satu orang saja, melainkan dibagi kepada kelompok-kelompok atau kelas-kelas dengan melibatkan banyak pembina.

1.3.2. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penulis menjawab masalah tersebut diatas, maka penulis mencoba merumuskannya dalam bentuk rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian

(23)

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya pengembangan ilmu-ilmu psikologi melalui data-data yang diperoleh dari proses penelitian ini, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi: a. Penulis sebagai bahan kajian yang berguna terutama dalam

bidang psikologi perkembangan khususnya pengasuhan di pondok pesantren.

b. Pihak Pondok Pesantren sebagai bahan evaluasi bagi peningkatan pola asuh di pondok pesantren.

c. Pemerhati atau peneliti lain sebagai referensi guna melakukan penelitian serupa yang lebih komprehensif.

Dengan demikian, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya menghimpun data tentang pola asuh terhadap santri di pondok pesantren.

1.5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan kaidah penulisan

American Psychology Assosiation (APA) style yang mengacu pada Pedoman

(24)

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004. Untuk mengetahui gambaran tentang hal-hal yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan sistematika penulisan skripsi ini dalam lima bab, yakni:

Bab 1 Pendahuluan

Berisi: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab 2 Kajian Pustaka

Berisi: Pola asuh; Definisi pola asuh, tipe-tipe pola asuh, indikator pola asuh. Pondok pesantren; definisi pesantren, sejarah dan

perkembangan pondok pesantren, kultur kehidupan pondok pesantren, jenis-jenis pondok pesantren, jenis-jenis santri, dan program

pengasuhan. Disertakan juga kerangka berpikir mengenai pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren.

Bab 3 Metodologi Penelitian

Berisi: Jenis Penelitian; Pendekatan penelitian, metode penelitian, definisi variable dan definisi operasional, subjek penelitian; populasi dan sampel, karakteristik subjek, sumber dan jenis data, teknik

pengambilan sampel; teknik dan instrument pengumpulan data, teknik analisa data, serta prosedur penelitian.

Bab 4 Hasil Penelitian

(25)

Bab 5 Penutup

(26)

KAJIAN PUSTAKA

Seperti yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola asuh pembina terhadap santri pondok

pesantren. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam bab ini akan dibahas berturut-turut mengenai pola asuh, pesantren, pembina, santri, program pengasuhan dan kerangka berfikir.

2.1. Pola Asuh

2.1.1. Definisi Pola Asuh

Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) mengatakan ketika anak memasuki usia remaja (9 -21 tahun), orang tua harus memberikan model tingkah laku kemandirian sesuai dengan usia mereka. Proses-proses interaksi seperti ini, secara umum disebut pengasuhan.

(27)

Tarmudji menyatakan, pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan, serta

melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2007).

Sedangkan Menurut Slavin (dalam Mukhtar, 2005) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan

anak-anak.

Bagi seorang anak interaksi pertama kali yang terjadi dalam kehidupannya adalah dengan keluarga. Oleh karena itu keluarga khususnya orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalarn proses turnbuhkernbangnya anak rnenuju kedewasaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hess bahwa lbu dan Ayah rnernpunyai peranaan yang sangat penting dalarn

perkembangan sikap-sikap positif anak kecil terhadap pembelajaran dan pendidikan (Santrock, 2006: 247).

Jadi berdasarkan pengertian-pengertian di atas yang dimaksud dengan pola asuh menurut penulis di sini adalah bahwa pola asuh merupakan

(28)

mendisiplinkan, serta melindungi anak untuk mencapai kEidewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) mengidentifikasikan adanya empat aspek pola asuh, yaitu:

1. Kehangatan atau pengasuhan, yaitu orang tua menunjukan ekspresi-ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap anak dan

menunjukan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak.

2. Kejelasan dan konsistensi peraturan, yaitu orano tua berusaha untuk mengontrol kebebasan, inisiatif, dan tingkah laku anaknya.

3. Tingkat pengharapan, di mana Baumrind menguraikan dalam masa dari tuntutan kedewasaan, yaitu orang tua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuan agar lebih dewasa dalam s1agala hal.

4. Komunikasi antara orang tua dan anak, yaitu orang tua meminta pendapat anak disertai dengan alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya

(29)

2.1.2. Tipe-tipe

pola

asuh

Elannor Maccoby dan John Martin (dalam Boyd, 2006: 202) mengajukan

variasi sistem kategori milik Baumrind. Mereka mengkate!;JOrikan keluarga

dalam dua dimensi: tingkat tuntutan atau kontrol dan kuar\titas penerimaan

melawan penolakan. Pemotongan dari dua dimensi ini mEmciptakan empat

tipe, tiga tipe dari Baumrind yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Maccoby

dan Martin mengkonsepkan jumlah tambahan sebuah tipe keempat, tipe

pengasuhan tidak melibatkan (Permisif

Indifferent).

Tipe pengasuhan

Pennisif Indifferent

sebuah tipe pengasuhan yang rendah dalam

pengasuhan, tuntutan, kontrol, dan komunikasi.

a. Pola Asuh Otoriter

Pengasuhan yang otoriter adalah suatu gaya membatasi dan menghukum

yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan

menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan

batas-batas yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar kepada

anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter

diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak (Santrock, 2006: 257).

(30)

dengan teman sebaya daripada anak-anak dari tipe keluarga lainnya. Beberapa dari anak-anak ini terlihat mengganti hak; lainnya mungkin

mempertihatkan agresivitas tinggi atau indikasi lainnya adalah di luar kontrol (Boyd, 2006: 202).

Elizabeth Hurlock menyatakan bahkan setelah anak bertambah besar, orang tua yang menggunakan pengendalian otoriter yang kaku jarang

mengendurkan pengendalian mereka atau menghilangkan hukuman badan. Tambahan pula, mereka tidak mendorong anak untuk dengan mandiri mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan den1Jan tindakan mereka. Sebaliknya mereka, hanya mengatakan apa yan1J harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana

mengendalikan perilaku mereka sendiri (Hurlock, 2002: 9a).

b. Pola Asuh Demokratis

Pengasuhan yang demokratis mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada a1nak. Pengasuhan yang demokratis diasosiasikan dengan kompetensi sosial, anak-anak

(31)

Hasil yang positif paling konsisten memiliki hubungan dengan pola asuh demokratis. Yang mana orang tua dengan kedua kontrol dan penerimaan yang tinggi, penetapan batasan yang jelas namun juga merespon kebutuhan individual anak-anak. Anak-anak dengan latar belakang tipikal orang tua yang seperti itu menunjukan harga diri yang lebih tinggi dan lebih mandiri, namun mereka juga mungkin untuk tunduk dengan permintaan orang tua dan mungkin memperlihatkan tingkah laku yang lebih penolong (simpatik) yang bagus. Mereka percaya diri dan berorientasi prestasi di sekolah dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya dengan gaya pengasuhan yang lain (Boyd, 2006: 203).

(32)

c. Pola Asuh Permisif

Indulgent

Pengasuhan yang Permisif Indulgent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permisif indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri (Santrock, 2006: 258).

Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua pemurah dan serba membolehkan juga menunjukan sebuah hasil yang negatif. Penelitian menemukan bahwa anak-anak ini sedikit lebih buruk dalam sekolah sejak

remaja dan mungkin menjadi yang kedua daripada agresifitas (fakta-fakta jika orang tua spesifik permisif ke arah agresifitas) dan agak belum matang dalam tingkah laku mereka dengan teman sebaya dan di sekolah. Mereka mungkin kurang menggunakan kemampuan merespon dan mereka kurang mandiri

(Boyd, 2006: 203).

Akibat buruk yang harus diterima anak sehubungan dengan pola asuh orang tua yang seperti ini jelas tidak sedikit. Di antaranya anak jadi sama sekali tidak belajar mengontrol diri. la selalu menuntut orang lain untuk menuruti keinginannya tapi tidak berusaha belajar menghormati orang lain. Anak pun cenderung mendominasi orang lain, sehingga punya kesulitan dalam

(33)

d. Pola Asuh Permisif Indifferent

Pengasuhan yang permisif indiferent ialah suatu gaya di rnana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe pengasuhan ini

diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri (Santrock, 2006: 258).

Hasil yang paling konsisten negatif adalah berhubungan dengan empat pola, tidak melibatkan, atau mengabaikan gaya pengasuhan. Dari diskusi aman, dan kelekatan gelisah bahwa satu dari karakteristik keluarga sering

ditemukan dalam tempo bayi sebuah kegelisahan atau peinghindaran adalah "ketidaktersediaan kejiwaan" dari ibu. lbu mungkin depresi atau mungkin ditenggelamkan dengan masalah-masalah lain dalam hidupnya dan mungkin

mudah bukan membuat koneksi terdalam manapun dari anak. Demikian juga, orang tua mungkin mengalihkan dari pengasuhan oleh aktifitas yang lebih aktif. Dalam masa remaja, sebagai contoh, remaja dari keluarga yang

mengabaikan lebih impulsif dan anti sosial, kurang kompeten dengan teman sebaya mereka dan sangat rendah orientasi berprestasinya disekolah (Boyd, 2006: 203).

(34)

2.1.3. Faktor-faktor Pola Asuh

Pola Asuh orangtua terhadap anak dapat terbentuk oleh karena beberapa faktor, dari beberapa faktor tersebut ada yang merupakan faktor internal, yaitu berasal dari dalam diri orang tersebut dan faktor eksternal yang merupakan hasil dari pengalaman dan belajar. Menurut Elder (dalam Kurniasih, 2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor pola asuh meliputi:

a. Pola asuh yang diterima orangtua ketika masih anak-anak. Orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang sama dengan yang mereka terima ketika masih anak-anak, dalam hal ini orang tua mengidentifikasi pola pengasuhan yang didapatkannya adalah model yang paling diidentifikasi anak dalam tingkah laku mereka.

b. Pendidikan orang tua. Orang tua berpendidikan yang baik

cenderung menerapkan pola asuh permisif dan demokratis ketimbang orang tua dengan pendidikan terbatas, ini disebabkan karena pendidikan lebih membantu orang tua untuk memahami kebutuhan anak

c. Status sosial ekonomi. Orang tua dengan keadaan ekonomi yang berlebih cenderung menerapkan pola asuh permisif, ini biasanya disebabkan orang tua menganggap uang bisa menggantikan semua hal yang dibutuhkan oleh anak seperti perhatian dan kasih sayang.

(35)

e. Kepribadian orang tua. Orang tua dengan kepribadian introvet dan konservatif lebih menerapkan pola pengasuhan anak secara ketat dan otoriter.

f. Kepribadian anak. Anak ekstrovet biasanya lebih terbuka terhadap rangsangan yang diberikan orang tuanya, hal ini yang membuat orang tua mengetahui kebutuhan dan kemandirian anak.

g. Faktor nilai yang dianut orang tua. Orang tua yang menganut nilai barat lebih berpegang pada konsep equlitarian yaitu orang tua sejajar dengan anak, sedangkan orang tua yang menganut nilai ketimuran lebih berpegang pada konsep kepatuhan.

h. Usia anak. Tingkah laku dan sikap orang tua sangat dipengaruhi oleh usia anak, sehingga dalam menerapkan pola asuh juga disesuaikan dengan usia anak.

2.2. Pondok Pesantren

2.2.1. Definisi Pesantren

(36)

Menurut Dhofier (seperti dikutip Mansur, 2005: 95) Pesantren berasal dari

kata santri yang mendapat awalan

pe

dan akhiran

an,

berarti tempat tinggal

para santri. lstilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji,

dan ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang yang

tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu-ilmu

pengetahuan.

Pondok Pesantren menurut Arifin (seperti dikutip Qomar, 2007: 2)

berarti, suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui

masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di rnana santri-santri

menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang

sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari

leadership

seorang atau

beberapa orang Kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta

independen dalam segala hal.

Menurut Syarif (dalam Mansur, 2005: 96) Pesantren menipakan lembaga

pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri umum yaitu

Kiai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid

sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan dan pengajaran agama Islam

melalui kitab dengan metode

wetonan (bandongan), sorogan,

dan

(37)

Sugarda (dalam Zarkasyi 2005: 59 - 60) mengemukakan bahwa kata santri

berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren mempunyai arti

tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.

2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren

Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia adalah karena penyebaran

agama Islam oleh mubaligh-mubaligh pertama dengan ptmerangan dan

amalan serta melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren. Kemudian

mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan keadaan,

waktu dan tempat. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa pondok pesantren

adalah lembaga pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam di

Indonesia (Mansur, 2005: 97).

Salah satu upaya penyebaran agama Islam kepada mas11arakat Jawa adalah

melalui jalur pendidikan. Lembaga pendidikan Islam yang didirikan pada

masa awal penyebaran Islam merupakan

prototype

dari sistem pendidikan

pesantren. Pendidikan Islam pada waktu itu difokuskan pada ajaran-ajaran

Islam baik yang terdapat dalam al-Qur'an, Hadist, maupun yang telah

dikupas oleh ulama-ulama salaf seperti yang tertuang dalam kitab-kitab klasik

(Zarkasyi, 2005: 57).

(38)

Tingkatan pesantren paing sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al-Qur'an. Sementara, pesantren yang agak tinggi adalah pesantrenn yang mengajarkkan berbagai kitab fiqih, ilmu akidah, dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahara Arab (Nahwu Sharf).

Mastuki (2003: 3) mengatakan pada paruh kedua abad k13 - 20 mengamati adanya dorongan arus besar dari pendidikan ala Barat yang dikembangkan pemerintah Belanda dengan mengenalkan sistem sekolal1. Di kalangan pemimpin-pemimpin Islam, kenyataan ini direspon secara positif dengan memperkenalkan sistem pendidikan berjenjang dengan nama "madrasah"

(yang dalam beberapa hal berbeda dengan sistem sekolah).

2.2.3. Kultur Kehidupan Pondok Pesantren

Pada dasarnya pesantren memiliki tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari pesantren itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, di sini dikutip tradisi-tradisi (bentuk fisik) meminjam istilah Dhofier (dalam Zarkasyi, 2005: 67), ada 5 elemen pesantren, yaitu;

a. Kiai. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang ciri-cirinya dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi pendiri dan pimpinannya. Di sinilah signifikansi Kiai. Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam

(39)

serta keterampilan Kiai. Oleh karena itu, wajar kalau hidup mati pesantren tergantung Kiainya.

Salah satu tradisi pesantren adalah tradisi penghormatan santri kepada guru dan Kiai. Prinsip yang menjadi patokan hidup santri yang tinggal di pesantren adalah kemauan menerima realitas hidup alias sanggup rnenanggung

penderitaan atau tabah untuk hidup apa adanya. Apabila tiada perjuangan, tidak akan ada kemajuan; tiada kemajuan tidak ada kemerdekaan; tiada kemerdekaan tidak akan ada kebudayaan. Artinya, semakin besar cobaan dan keprihatinan yang dilewati santri dalam menuntut ilmu Allah, semakin besar pula ilmu yang diperoleh dan sekaligus memperolel1 pahala yang banyak (Madjid,

1997:

3).

Imam Bawani (dalam Yasmadi, 2002: 63) mengibaratkan keberadaan seorang Kiai dalam lingkungan pesantren laksana jantunfJ bagi kehidupan manusia. lntensitas Kiai memperlihatkan peran yang

otoriter

disebabkan karena Kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.
(40)

pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam

tradisional.

c. Santri yaitu siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri.

Dalam pesantren santri diajarkan hidup dalam suasana kejujuran, jauh dari

sifat serakah, apalagi menghalalkan segala cara. Dalam sistem pendidikan

tradional, hubungan santri dan Kiai sangat erat.

d. Asrama, Pondok. pesantren pada dasarnya sebuah asrama

pendidikan Islam tradisional dimana para santrinya tinggal bersama dan

belajar di bawah bimbingan Kiai. Asrama fetaknya di dalam komplek

pesantren. Kecil-besarnya asrama tergantung jumlah santrinya. Faktor

urgensi asrama di antaranya mayoritas pesantren berada di desa, dimana

tidak ada akomodasi yang cukup menampung santri-santri.

e. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Entah berdiam sementara atau

agak lama, pengajaran kitab klasik mesti diterima oleh santri. Pengajaran ini

diperoleh melalui pengajian-pengajian. Kitab-kitab klasik iini di antaranya;

nahwu, sharaf, fiqhi, usul fiqhi, hadis, tafsir, tasawuf, dan tauhid.

Di samping itu, pendidikan disiplin sangat ditekankan di pesantren. Mulai dari

bangun sampai kembali lagi ke tempat tidur, jadualnya telah diatur. Bagi yang

melanggar akan dikenakan sanksi, baik berupa sanksi fisik, penugasan, atau

drop-out.

Oleh karena itu, santri yang berhasil melewati hari-hari yang penuh

(41)

Semua itu dimaksudkan agar

out put

pesantren menjadi manusia yang

memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan

welstanchaung

yang bersifat menyeluruh. Yaitu, aspek Tuhan, manusia, dan alam

terintegrasi dalam sistem nilai pendidikan di pesantren. Dengan demikian,

para santri memiliki tujuan yang konkret dalam mengarungi hidup, baik hidup

di dunia maupun di akhirat (Madjid, 1997: 4).

2.2.4. Jenis-jenis Pondok Pesantren

Dhofier (seperti dikutip oleh Qomar, 2007: 16 - 17) memandang dari

perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,

kemudian membagi pesantren menjadi dua kategori yaitu pesantren

sa/afi

dan

khalafi.

Pesantren jenis

salafi

merupakan jenis pesantren yang

エエセエ。ー@

mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti

pendidikannya. Di pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak

diberikan. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem

madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang dilakukan

di lembaga-lembaga pengajaran bentuk lama. Pada umumnya pesantren

dalam bentuk inilah yang menggunakan sistem sorogan clan weton.

(42)

telah memasukan pelajaran-pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal yang dikembangkan dan membuka sekolah-sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Tetapi pengajaran kitab islam klasik masih tetap dipertahankan. Pesantren dalam bentuk ini diklasifikasikan sebagai pesantren modem di mana tradisi salaf sudah ditinggalkan sama sekali.

2.2.5. Jenis-jenis Santri

Penggolongkan jenis santri seperti dilakukan oleh Dhofier yang

mengklasifikasikan santri ke dalam dua kelompok, yaitu santri kalong dan

santri mukim (Zarkasyi, 2005: 69).

Madjid (dalam Yasmadi, 2002: 66) menjelaskan bahwa Santri kalong

merupakan santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Sedangkan santri mukirn ialah santri yang menetap di dalarn pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh.

2.2.6. Program Pengasuhan

(43)

Khusus dalam kaitan dengan program bimbingan ini, Mai;tuki menyebutkan pembina memiliki tugas sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan masalah-rnasalah yang dirasakan santri di kelas yang berjenjang maupun konvensional {pondokan, asrama).

2) Mengidentifikasi gejala-gejala salah penyesuaian (mal.:1djustment) pada diri murid/santri.

3) Mendorong pertumbuhan dan perkembangan santri di pesantren. 4) Melengkapi bimbingan kelompok di dalam kelas atau pondokan.

5) Melengkapi rencana-rencana yang telah dirumuskan oleh santri bersama penyuluh.

6) Mengajar sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan santri. 7) Mengumpulkan informasi dan data tentang santri.

8) Melaksanakan kontak dengan masyarakat, dengan orang tua santri. 9) Melaksanakan penyuluhan terbatas, karena hubungan baik dapat mudah terjalin antara pembina dengan santri.

2.3. Pola Asuh Pembina Terhadap Santri di Pondok Pesantren

Pondok pesantren telah mengalami perkembangan dari masa ke rnasa, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Hal ini dilakukan untuk

(44)

pesantren yang telah mengkombinasikan dengan berbagai mata pelajaran seperti yang diberikan di dalam pendidikan formal.

Pendidikan di pondok pesantren tak lepas dari adanya pemgasramaan bagi santri-antrinya yang menginap untuk mendapatkan materi-materi pelajaran. Di samping itu sekaligus mendidik santri dari kehidupan rnandiri, karena di

pondol< pesantren para santrinya terutama santri mukim tidak tinggal lagi di rumah masing-masing yang mungkin dapat dibantu segala sesuatunya oleh para orang tuanya.

Berbicara mengenai pengasramaan santri berarti ada penggantian peran orang tua di sana. Para pengasuh seperti pembina ditugaskan untuk

mengasuh anak didiknya (santri), mendampinginya bila ada kendala seputar kehidupan di pondok pesantren. Dalam hal ini pengasuh akan menggunakan cara untuk dapat mengasuh santri yang jumlahnya banya.k. Apalagi mereka yang datang dari latar belakang yang beraneka ragam.

(45)

Cara yang berbeda pula di lakukan oleh dua jenis pesantren. Untuk lebih jelasnya berikut ini skema yang membandingkan antara keempat tipe pola asuh yaitu otoriter, demokratris, permisif

indulgent,

dan permisif

indifferent

dengan dua jenis pesantren yaitu salafi dan khalafi:

Gambar2.1

Skema perbandingan tipe pola as uh dengan jenis pesantren

Jenis Pesantren lndikator

- otoritas Kiai, pengasuh tunggaf

- jumlah santri yang sedikit - pengajaran tradisional,

satu metode

- keterbatasan informasi

- pengasuhan kolektif - jumlah santri yang banyak - pengajaran modem,

berbagai metode

- perkembangan teknologi dan komunikasi

PolaAsuh

- + Otoriter

- + Demokratris

[image:45.595.49.456.152.567.2]
(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai jenis penelitian, pendekatan dan metode penelitian, definisi variabel dan operasional, subj1ak penelitian, responden dan karakteristik subjek, sumber dan jenis data, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisa data, serta prosedur penelitian.

3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum yang lebih objektif juga gambaran dinamika fenomenologis dari subjek penelitian secara mendalam. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperdalam masalah penelitian, dan memahami gejala atau permasalahan sesuai perspektif subjek yang mengalaminya.

Berkaitan dengan kedua pendekatan tersebut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mendefinisikan "metode kualitatiF sebagai prosedur penelitian yang

(47)

Ada dua alasan yang mendasari penulis untuk menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu:

1. Karena dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah mengenai proses pengasuhan di pondok pesantren.

2. Untuk lebih memaknai kegiatan interaktif ini, kare•na penulis

seyogyanya berinteraksi langsung dengan para responden, antara lain dengan menginterview dalam latar alamiah.

3.1.2. Metode penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus (case study).

Punch (Poerwandari, 2001: 65) yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat

berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa kasus tertentu.

Alasan penulis menggunakan studi kasus (case study) aclalah dengan metode ini penulis ingin mendapatkan gambaran dari per'!anyaan

(48)

3.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional

Definisi pola asuh yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada definisi pola asuh orang tua yang diungkapkan oleh Tarmudji (2007) yakni pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini dapat berarti orang tua mendidik, membimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak untuk

mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma ケ。ョAセ@ ada dalam masyarakat. Pengasuhan orang tua tersebut dibagi menjadi empat kategori utama berdasarkan Maccoby dan Martin (dalam Boyd, 2006), yaitu:

a. Pola Asuh Otoriter

Adalah, tinggi dalam kontrol dan tuntutan kedewasaan, namun rendah dalam pengasuhan dan komunikasi.

b. Pola Asuh Demokratis

Adalah, tinggi dalam kontrol, tuntutan kedewasaan, pe1ngasuhan dan komunikasi.

c. Pola Asuh Permisif Indulgent

Adalah, tinggi dalam pengasuhan, namun rendah dalam kontrol, tuntutan kedewasaan dan komunikasi.

d. Pola Asuh Permisif Indifferent

(49)

Berikut bagan pola asuh berdasarkan empat kategori ternebut :

Tipe Pola Asuh

Otoriter

Demokratis

Permisif Indulgent

[image:49.595.42.497.139.520.2]

Permisif Indifferent

Tabel 3.1

Kategori Pola Asuh

lndikator

Pengasuhan Kontrol Harapan

Rendah Tinggi Tinggi

Tinggi Tinggi Tinggi

Tinggi Rendah Rend ah

Rend ah Rend ah f;tendah

Komunikasi

Rend ah

Tinggi

Rendah

Rendah

Pondok Pesantren yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pondok

pesantren khalafi (modern) yang memiliki sistem pengasuhan yang

dijalanl<an oleh pembina. Pondol< Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah

Garut adalah salah satu pesantren yang menggunakan sistem tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi operasional dalam penelitian

ini adalah pola asuh yang digunakan pembina di pesantre1n dalam mengasuh

para santri selama dua puluh empat jam. Dalam hal ini pcila asuh pembina

terhadap santri yang terdapat di Pondok Pesantren Darul Arqam

(50)

3.3. Subjek Penelitian

3.3.1. Responden

Dalam penelitian ini penulis menunjuk tiga orang sebagai responden atau subjek penelitian. Penentuan jumlah subjek ini adalah untuk jumlah sampel yang disesuaikan dengan fenomena yang akan diamati.

Adapun bentuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara

purposive

sampling, yaitu subjek dipilih berdasarkan pertimbangan dan

tujuan tertentu. Hal ini seperti diungkapkan Patton (dalam Poerwandari, 2001) bahwa penelitian kualitatif umumnya menggunakan pendekatan purposif. Sampel tidak diambil secara acak tetapi justru dipilih mengikuti kriteria tertentu.

3.3.2. Karakteristik Subjek

Adapun karakteristik sampel yang digunakan oleh penulis adalah pembina yang ditunjuk secara resmi oleh pondok pesantren untuk menggantikan peran orang tua di Pondok Pesantren berusia minimal 25 tahun. Baik

(51)

3.4. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui skala dan wawancara. Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari observasi dan bahan-bahan dokurnentasi, seperti buku-buku, dan referensi lainnya

Menurut Lofland dan Lofland (dalarn Moleong, 2007: 157). sumber data utarna dalam penelitian Kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokurnen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalarn kata-kata, dan tindakan, surnber data tertulis, foto, dan statistik

Berdasarkan pendapat di atas penulis rnenggunakan kata-kata, tindakan, surnber data tertulis, foto dan data statistik sebagai surnb13r data.

3.5. Teknik dan lnsfrumen Pengumpulan Data

(52)

Patton (dalam Moleong, 2007: 187) mengatakan jenis wawancara dengan petunjuk umum mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar wawancara. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Petunjuk wawancara hanyalah berisi ーエセエオョェオォ@ secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok- pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup.

3.5.1. Wawancara

Wawancara di sini adafah untuk memperoleh gambaran rnengenai pola asuh yang dilakukan oleh pembina. Wawancara dilakukan kepada subjek yang rnernunculkan fenornena tertentu dan bersedia untuk diwawancarai. Jumlah subjek yang akan diwawancarai adalah sebanyak tiga orang pembina. Wawancara ini dilakukan setelah kuesioner disebar dan diisi oleh subjek dengan tujuan mendapatkan responden yang sesuai 、・ョAセ。ョ@ karakteristik penelitian.

Wawancara dalarn penelitian ini rnernerlukan pedoman wawancara agar melalui wawancara didapatkan data-data yang tidak menirimpang dari tujuan penelitian. Dalarn teknik wawancara ini, pewawancara dapat rnemodifikasi, rnengulangi, rnenguraikan pertanyaan yang ditanyakan dan dapat mengikuti jawaban responden asal tidak menyimpang dari tujuan wawancara. Selain itu,pedoman wawancara juga sebagai alat bantu untuk mt:ilakukan

(53)

Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dibuat tidak hanya berdasarkan teori teori pada bab dua dan permasalahan di bab satu.

Pedoman wawancara juga mengacu pada teori yang dirangkum dari berbagai penelitian mengenai pola asuh.

Berikut isi dari kisi-kisi pedoman wawancara yang dibuat oleh penulis;

Tabel 3.2

Kisi-kisi Pedoman wawancara

No. lndikator Sub lndikator

1. Gambaran dan riwayat • Latar belakang keluarga responden • Latar belakang ーHセョ、ゥ、ゥォ。ョ@

• Pengalaman mengasuh/membina • Motivasi menjadi Pembina

• Awai mula mengasuh, proses adaptasi kepada :santri

• Perasaan pada waktu mengasuh

2. Pengetahuan mengenai pofa • Pengertian pola asuh dan

macam-as uh macamnya

" Pentingnya pengasuhan " Orang yang berperan

• Tempat-tempat pengasuhan • Pengasuhan ケ。ョAセ@ baik

• Pengarahan mengenai pengasuhan • Hal-hal penting yang patut

dipersiapkan untuk mengasuh

3. Aspek-aspek tentang pola " Kehangatan dan pengasuhan asuh di pondok pesantren • Kontrol (kejelasan dan konsistensi

peratur1;1n)

• Harapan (tuntutan kedewasaan) • Komunikasi terhadap santri " Jenis Pola Asuh vang diaunakan

4. Output yang diharapkan dari • Secara individu (pribadi)

pola asuh di pondok • Terhadap keluarga dan hubungan

pesantren sosial

[image:53.595.41.472.140.701.2]
(54)

3.5.2. Observasi

Metode observasi digunakan untuk memperoleh informasi perilaku manusia yang menggunakan tempat-tempat umum baik untuk bemosialisasi maupun untuk melakukan kegiatan mandiri. Metode ini menggunakan pendekatan pengamatan terhadap objek yang diamati. Dalam penelitian ini observasi digunakan sebagai metode sekunder untuk menunjang metode primer yaitu wawancara.

3.6. Teknik Analisa Data

3.6.1. Analisa Data Kualitatif

Sedangkan dalam mengolah data kualitatif, maka penulis menggunakan teknik analisis kualitatif.

Analisis data yang dilakukan mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Organisasi data, karena data kualitatif sangat beragam dan banyak

sehingga mesti disusun secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin.

2. Pemberian kode, Coding dimaksudkan untuk dapat

(55)

3. Melakukan analisis data, pada tahap ini penulis menggunakan metode perbandingan tetap dari Glaser dan Strauss (dalam Moleong, 2007: 288), yaitu dalam menganalisis datanya secara tetap membandingkan satu data utama (datum) dengan datum lainnya, kemudian secara tetap membandingkan satu kategori dengan kategori lainnya.

4. Selanjutnya dilakukan lnterpretasi, menurut Kvale (Poerwandari, 2001: 95) linterpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih

ekstensif (luas) sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.

3.7. Prosedur Penelitian

Ada beberapa tahapan yang akan penulis lalui untuk menyelesaikan penelitian ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah:

Tahap 1 Persiapan Penelitian

(56)

Tahap2 Pembuatan Pedoman Wawancara.

Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan tujuan penelitian dan teori yang berkaitan dengan permasalahan penelitian seperti yang telah dicantumkan dalam kajian pustaka. Pedoman wawancara ini juga digunakan agar wawancara tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Tahap 3 Mempersiapkan Alat Bantu Perekam

Untuk memudahkan berlangsungnya wawancara maka jawaban-jawaban yang diberikan subjek direkam, hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Poerwandari bahwa setepat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkrip secara verbatim (Poerwandari, 2001 ). Oleh karena itu, diperlukan tape recorder dan perlengkapan lainnya.

Tahap 4 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah pedoman wawancara dibuat, tape recorder beserta

(57)

Tahap5 Pengolahan Data

Hasil wawancara di lapangan yang telah direkam kernudian dipindahkan secara verbatim ke dalarn bentuk naskah (teks}.

(58)

1PEMBAHASAN DAN ANAL1S1S !DAT A

Pada bab ini penuiis menjelaskan data dan hasil dari penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif berisi tentang garnbaran urnurn responden, riwayat kasus, analisa kasus, perbandingan antar kasus, dan data tarnbahan.

4. 1. Gambaran

Umum

Responden

Adapun pengarnbilan responden sebagai sampel penelitian kualitatif adalah sebanyak tiga orang pernbina yang berada di pondok ー・ウ。ョエョセョ@ Darul Arqam

Garut. Terdiri dari dua orang laki-laki masing-masing berusia 28 tahun dan 40 tahun, dan satu orang perernpuan berusia 39 tahun yang telah dipilih

(59)

Gambaran Umum Responden

Nama lnisial ES NH AY

Jenis Kelamin p L L

Pendidikan

S1

S1 S1

Teralkhir

Usia 39Tahun 40Tahun 28Tahun

Pekerjaan Pembina I guru I Pembina I Guru I Pembina I Guru pembina lrmawati Staff keuangan

Suku Bangsa Sunda Sunda Sunda

Status Menikah Menikah Single

Masakerja 12 12

2

Membina

4 . 2. Riwayat Kasus dan Analisa Kasus

Untuk analisa kasus, penulis menggunakan indikator berupa e1mpat dimensi pola asuh dari Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) yaitu:

1. Kehangatan atau pengasuhan

2. Kejelasan dan konsistensi peraturan (kontrol) 3. Tingkat pengharapan (tuntutan)

4. Komunikasi

[image:59.595.21.463.116.521.2]
(60)

Maccoby dan Martin (dalam Boyd, 2006: 202) yaitu tipe pola asuh tidak melibatkan (Uninvolvecf).

Cara untuk mengetahui subyek termasuk ke dalam klasifikasi tipe pola asuh tertentu, dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tipe Pola Asuh

Otoriter Demokratis

Permisif Indulgent

[image:60.595.30.474.152.487.2]

Permisif Indifferent

Tabel 4.2

Kategori Pola Asuh

lndikator

Pengasuhan Kontrol Harapan

Rend ah Tinggi Tinggi

Tinggi Tinggi Tinggi

Tinggi Rendah Rendah

Rendah Rendah Rend ah

Komunikasi Rendah

Tinggi Rend ah Rendah

Untuk mengukur tinggi rendahnya indikator, berdasarkan kepada karakteristik masing-masing tipe pola asuh. Disebut kategori tinggi, apabila terdapat hal-hal seperti; menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang, menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh oleh anak, berusaha mengontrol

kebebasan, inisiatif, dan tingkah laku anak, ada penekanan kepada anak untuk mengoptimalkan semua kemampuan yang dimilikinya, serta memberikan alasan yang jelas pada saat pemenuhan kebutuhan anak. Sedangkan yang disebut

kategori rendah, apabila terdapat hal-hal seperti; menghukum dan menuntut

(61)

tegas, tidak terlibat dalam kehidupan anak, dan sedikit kendali terhadap anak.

Berikut satu persatu hasil analisa kasus terhadap setiap ウオ「ケeセォZ@

4. 2. 1. Kasus ES Riwayat Kasus ES

ES adalah seorang wanita berkeluarga berusia 29 tahun kelahiran kota Kembang Bandung yang besar bersama bibinya hingga SMA. ES diadopsi karena bibinya tidak mempunyai anak, sehingga meminta kepada kedua orang tuanya agar dapat merawatnya hingga besar. Anak sulung dari enam bersaudara ini memulai

pendidikan sekolah dasar hingga tiga sekolah karena seringnya berpindah tempat. Sedangkan jenjang pendidikan kuliahnya, ES tempuh di salah satu

perguruan tinggi swasta di Solo yang mana mengantarkan dirinya kepada suami yang diikutinya hingga saat ini. Wawancara dengan ES berlangsung dua kali kareha keterbatasan waktu. Wawancara pertama dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22 September 2007 pukul 10.50 hingga 11.30 WIB bertempat di ruang

mahkamah pondok pesahtren. Ketika proses wawancara berlangsung ES memakai pakaian resmi yaitu seragam karena usai mengajar di kelas. ES mengenakan baju berwarna cokelat, serta celana dan kerudung hitam.

(62)

Selama proses wawancara berlangsung ES tampak serius meimperhatikan setiap pertanyaan yang diajukan oleh interviewer kepadanya. Hal ini terlihat dari alis matanya yang sering meruncing. Namun secara keseluruhan ES tetap terlihat santai dan senang diwawancarai, ES juga suka tertawa ketika membicarakan hal-hal yang lucu. Dengan suara rendah dan intonasi yang terkadang naik turun, ES dengan lugas menjawab setiap pertanyaan. Meskipun pada saat

diadakannya wawancara tidak terdapat kehadiran orang lain, !Jangguan sempat terjadi ketika beberapa pembina lain sebanyak dua orang mernasuki ruangan untuk mencari suatu barang yang tertinggal, sehingga wawarn::ara sempat

terhenti selama Hrna menit.

ES mulai membina sejak tahun 1994. Awai mula membina di pesantren ini karena ikut suami yang telah 1ebih dulu bekerja di sini. Meskipun orang tua asuhnya sempat keberatan karena akan merasa kesepian, tetapi mereka mengerti yang harus diikuti adalah suami, akhimya diizinkan juga untuk bekerja di pesantren dengan izin yang tidak dilakukan secara formal.

"Ortu ikut saja pada yang ngasuh karena dari awal seperti itu .. Meskipun sempat

ada sedikit keberatan dari bapak yang mengasuh. Karena akan

merasa

kesepian. /bu sempat mfnta izin meskipun secara tidak resmi. Tetapi karena

o/'$ng tua juga mengerti I paham yang harus diikuti adalah suami, akhimya tetap

mengizinkan ibu untuk membina disini."

(63)

yang pemah dipelajarinya dari SD sampai kuliah. ES juga sernpat belajar dan

membaca pengetahuan seputar psikologi agama yang mungkin membantunya

dalam membina santriwati selama ini. Menurut apa yang dituturkannya tidak

pemah terbayang sebelumnya menjadi seorang pembina, kartma di jurusan yang

diambilnya di Universitas tersebut yang tergambar paling menjadi penyuluh,

pegawai di KUA atau di BKKBN. Karena yang tergambar padst saat kuliah adalah

melanjutkan studi saja. Alasan lain yang menguatkan ES untuk membina adalah

karena biaya kuliahnya adalah beasiswa dari sebuah organisasi kemasyarakatan

bemama Muhammadiyah. ES mendapatkan beasiswa tersebut karena lolos

seleksi mewakili Jawa Barat bersama seorang temannya dari lima orang yang

mendaftar. Program ini diadakan untuk menjadi pembinaan kader

Muhammadiyah. Dan pesantren yang ES diami saat ini berada dalam naungan

Muhammadiyah, sehingga ES berpikir sekaligus mengabdi saja.

"Masuk ke

UMS

itu beasiswa dari utusan masing-masing wilaJrah

muhammadiyah. Setiap wilayah boteh mengirim berapa saja esat tutus seteksi.

Dari jabar ada lima orang peserta yang tu/us dua orang ibu dan pa Ncep.

Programnya untuk kader muhammadiyah. Yang tergambar ada/ah melanjutkan

studi aja. Lapangan pekerjaan ushutudin adatah di tapangan itu sendiri. Seperti

di KUA, BKKBN ataujadi penyutuh.

Ga

ada gambaran untukj;!ldi pembina"

Berdasarkan pengakuan ES menjadi pembina adalah keinginan dirinya sendiri.

Karena ES mempunyai pendapat apabila telah lulus kuliah tentunya harus cari

kerja, apa saja yang mampu akan dikerjakannya. Apalagi ES seorang wanita,

mau apa lagi, paling menikah dan lain-lain. Ternyata beberapa hari setelah

(64)

santri perempuan. Baginya mengapa tidak untuk dilakukan, apalagi suarni juga menganjurkan.

"Setelah lu/us tentunya cari kerja, apa saja yang kita mampu

saya

akan kerjakan,

ketika menikah ditawari o/eh pimpinan untuk kerja disini. Ya kenapa tidak.

Suami

juga menganjurkan meskipun semua keputusan ada di tangan ibu. Sudah Ju/us

kuliah mau apa? Ap.alagi wanita., paling menikah ... dll. Nikah Si:Jtelah tutus. Karena

bapak sudah mengajar disini. Pak farid ada/ah kakak kelas ibu. empat hari nikah

(19 Juni) /angsung siap siap buat ngajar di tahun ajaran baru bu/an juli."

ES mengaku belum pemah mengasuh sebelumnya, hanya saja ES memiliki orang tua asuh yang mempunyai panti asuhan, mungkin pengalaman secara tidak langsung. Karena pada saat itu ES masih berusia anak-anak atau masih di

SD, ketika telah SMP bapak sudah tidak lagi mengurusi panti asuhan tersebut. Hanya ES suka bergaul dengan anak-anak di panti asuhan,

"Dari segi pengalaman orang tua ada. Pengasuh atau bapak ;mgkat ibu yang

berada di jalan karapitan punya panti asuhan bernama taman harapan. Punya

(pimpinan cabang) PC Lengkong. Bapak waktu itu berlugas disitu. Namun pada

saat itu ibu masih usia

SD

(anak-anak) pada saat

SMP

udah imgga, hanya ibu

bergau/ dengan mereka.

n

Analisa Kaisus ES

Pola asuh menurut ES adalah membina atau membimbing anak-anak sesuai visi dan rnisi pondok pesantren. Menjadikan anal< lebih baik. ES menyebutkan ada dua macam pola asuh, satu pola asuh yang bersifat langsung, kedua pola asuh tidak langsung. Yang dimaksud dengan pola asuh Jangsung adalah pembina

(65)

belum meneruskan studi.

"Menurut ibu po/a asuh yaitu membina atau membimbing anak-anak sesuai visi dan

misi

pondok pesantren. Menjadikan anak lebih baik.

Maccrm-macam

po/a asuh yang ibu ketahui yaitu Pola asuh langsung dan bertingkat. Yang disebut Pola asuh /angsung yaitu pembina !angsung membina anak asuh (santri) seperti di Darul Arqam (DA). Pola asuh secara langsung, yang dilakul(an pembina terhadap anak asuhnya. Sebagaimana dilakukan orangtua di rumah. Pada mu/anya Kiai Miskun du/u berpegang teguh agar santri tidak diasuh o/eh kakak kelasnya. Tetapi o/eh pembina yang bertugas mengganti peran orang tua di pondok pesantren, pembina yang ditunjuk dan sampai sekarang tidak pemah berubah yaitu po/a asuh secara langsung, karena harapan pondok pembina dapat berperan sebagai pengganti orang tua. Sedangkan bertingkat arlinya

pembina memiliki bawahan-bawahan, dalam ha/ ini kakak ke/as mereka atau

para senior. Mereka/ah yang membina santri."

Dalam membina ES menganggap santri sebagai anak sendiri meskipun tetap saja berbeda. Bila anak sendiri ES mengaku dapat bebas mernarahi dan tidak ada beban terhadap siapapun atau apapun. Tetapi jika terhadap anak asuh rasa sayangnya sama terhadap anak-anak yang lain, hanya dalam pemberian

hukumannya mesti mempertimbangkan banyak hal. Karena bukan anak kita sendiri, sehingga bila nanti ketika dimarahi santri melapor kepada orang tuanya bagaimana pertanggung jawabanya.

"Anak sendiri bebas ngemarah-marahin ga ada beban untuk clpa-apa. istilahnya milik kita sendiri jadi ka/au punya sa/ah dimarah-marahin juga ga apa-apa. Tapi

kalau anak asuh kasih sayangnya

sama

ke anak-anak yang le1in. Tetapi dalam

pemberian hukuman mesti memperlimbangkan banyak ha/ karena bukan anak kita sendiri, karena anak orang. Anak sendiri di ceprat-cepret lidak ada yang marah. Tapi kalau anak orang, nanti dia bilang sama orang tuanya bagaimana?

Tapi ka/au kasih sayang

sama."

(66)

hanya dapat membina santri sesuai dengan kemampuannya saja. Dalam

mempersiapkan pembinaan ES menyebutkan ada persiapan yang khusus,

karena setiap menghadapi tahun ajaran baru selalu diadakan rapat pembina satu

hari menjelang libur. Dalam rapat tersebut ditetapkan pembini:1-pembina yang

akan menangani kelas berapa saja di tahun ajaran baru. Jadi IES dapat

mempersiapkan dan merancang akan melakukan apa saja nainti, juga mencari

tahu latar belakang santri yang akan diasuhnya kemudian hari. Selain itu

sebagian besar santri sudah ES kenal, karena ES lebih banyak ditunjuk untuk

membina kelas-kelas besar. ES mengaku dalam menghadapi kelas besar bila

diajak curhat atau bicara, santri-santri dapat mengerti. Bila melanggar peraturan

tinggal ditanya balik saja apakah hal itu baik untuk dirinya atau tidak. Lain halnya

terhadap kelas kecil, harus banyak bicara dan memanjakan. ES mengaku

kesulitan jika ditunjuk untuk menangani kelas kecil karena dirinya merasa kurang

dapat bersabar.

''Tidak cukup. Rata-rata 40 orang ibu membina. Selama 24 jam bisa membina

paling sekemampuan ibu saja. Biasanya ibu membina anak besar. Tidak pemah

kelas 1 (satu) karena dari segi kesabaran ibu kurang. Kan harus banyak

ngomong. Harus manjain kurang bisa. Ka/au ditunjuk ke/as besar tidak begitu

kesulitan. Diajak curhat atau bicara mereka bisa nyambung, kalau melanggar

tinggal dibalikan saja, bagus ga buat kamu. Ka/au di ke/as 2 (dua) dan 3(tiga)

pemah membina cuma satu tahun. Ka/au anak kecil paling nangis, nah ibu

kurang bisa sabar"

Bagi ES hal yang paling berpengaruh dalam pembinaan adalah perhatian yang

dilakukan oleh pembina kepada santri. Oleh karena itu pembina memiliki

peranan yang sangat berpengaruh terhadap pola asuh. Akan berbeda seorang

(67)

memperhatikan perkembangan anak didiknya, para santri akan membuat ulah

untuk diperhatikan. Pada dasamya santri suka dan senang diperhatikan atau

diasuh. Bila perhatian bisa maksimal maka pengaruhnya akani baik. Kalau

pengasuhannya tidak maksimal akan kurang baik. Selain itu faktor bawaan dari

rumah, faktor sosial cara santri bergaul dengan teman-temannya, dan

kemampuan anak untuk belajar disekolah merupakan hal-hal yang mesti

diperhatikan akan berpengaruh terhadap anak.

uTentu berbeda, ada anak yang diasuh dengan perhatian yani1 cukup dengan

anak yang dibiarkan sa1a. Jangan jauh-jauh, coba

saja

lihat dalam keluarga.

Beda anak yang ke/uarganya broken home dengan keluarga yang perhatiannya

cukup atau baik baik.sama juga dengan po/a asuh di DA, kalau pembinanya

acuh tidak memperhatikan perkembangan anak-anak didiknya/asuhnya. Mereka

akan membuat ulah untuk pengen diperhatikan. Pada dasamya mereka pengen

dilihat, senang diperhatikan atau diasuh. Yang paling berpengaruh adafah

perhatian, kalau perhatian

bisa

maksimal maka pengaruhnya ,akan baik. Ka/au

pengasuhannya tidak maksimal akan kurang baik. Dan faktor-faktor lain yang

berpengaruh diantaranya faktor bawaan dari rumah, faktor sosial setelah mereka

beradaptasidengan teman-temannya. Atau kemampuan anak· untuk bersekolah.

Sekolah itu sendiri. Menghadapi masalah itu sendiri, dan masl'h banyak lagi

ha/-ha/ yang berpengaruh."

" Pengasuhan

(68)

dengan mental sebisa mungkin diatasi oleh ES dengan hati-hati. Akan digali

permasalahannya sampai sejauh apa namun tidak tenalu dalam upaya yang

dilakukan pondok untuk mengatasinya. Sebagai contoh santri yang sudah

merasa tidak betah tinggal di pondok, ES akan memberikan perhatian lebih.

Tetapi hat tersebut tidak ditampakkan di depan teman-temannya yang lain,

seperti diajak ke rumah ES lalu diajak ngobrol. Jika ES sakit, tugas digantikan

oleh kepala sekolah, atau memanggil santri yang telah dianggap dewasa untuk

membimbing teman-temannya. Pada saat ES sakit ada perasaan pada dirinya

ingin dijenguk oleh santri namun tidak memaksakan kepada santri untuk datang.

"Bila santri sakit ibu dilihat saja dulu. Sakit ringan, sedang atau berat. Ka/au

panas saja, dilongok dahu/u, dikompres, di/akukan sendiri sebisa mungkin, jika

agak sedang dibawa ke dokter. Ka/au berat seperti kejang jam 1

ma/am

(kolik)

dan setelah diberi obat tetap saja, lalu dibawa ke rumah sakit (terus dibawa ke

orang tuanya). Terhadap tugasnya dilihat dulu, jika ringan disuruh istirahat, kalau

kelihatan udah agak baik si/ahkan dilakukan lag; tugasnya. Ka/au sakit mental ga

terlalu dalam, ya sejauh mana dikoreknya, ka/au bisa diatasi ya diatasi.

Contohnya ada anak yang ngerasa intimidasi anak yang lain. Ditangani setahun

febih dengan ekstra hati-hati, afhamdulillah sekarang berubah sudah lebih baik.

Apalagi mengasuh anak itu lagi. Sekarang dia menyadari kesalahannya bahwa

hat itu tidak baik (sikapnya selama ini). Ada anak yang punya .keluhan hanya

untuk diperhatikan saja"

Santri yang dibina oleh ES tidak terlihat tegang atau takut ketil<a ES mengontrol

ke asrama atau bertemu di jalan. Namun bila ada santri yang l:>erbuat tidak benar

akan malu dengan sendirinya. Karena berdasarkan pengakua11 ES, beliau ingin

membina hubungan yang harmonis, sehingga bila terjadi sesuatu ES akan

sebis

Gambar

Tabel 3.1 Kategori Pola Asuh ...............................................................
Gambar 2.1 Skema perbandingan pola asuh dan jenis pe1santren ......... 30
Skema Gambar2.1 perbandingan tipe pola as uh dengan jenis pesantren
Tabel 3.1 Kategori Pola Asuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang

Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh tenaga tata usaha dalam bentuk pelayanan kepada mahasiswa/i magister

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa 1) remunerasi berpengaruh positif terhadap motivasi kerja karyawan ditunjukkan dengan koefisien

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai performa dan peran serta keluarga pra sejahtera guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

Tahap Pelaksanaan sebagai berikut: (1) pemberian materi/informasi tentang KIE kesehatan reproduksi pada kader remaja yang menjadi sasaran sehingga dapat meningkatkan pengetahuan

Sampel yang telah diberi bahan tambahan berupa Matos dan kapur dilakukan pemeraman selama 7, 14, dan 30 hari, setelah itu dilakukan uji geser langsung untuk

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Perencanaan Unit Pengolahan Pangan dengan judul “ Perencanaan

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada pekerjaan inspeksi jalur flowline 4 inch schedule 80 dari sumur X sampai Stasiun Pengumpul Y ini bahwa kondisi ROW (