MUHAMMADIYAH GARUT
Oleh:
CATUR TRESNA RUSWARADITFl'.A
NIM: 103070028987
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian per.syaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi ($.Psi)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
MUHAMMADIYAH GARUT
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk mememuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
Catur Tresna Ruswaraditra NIM: 103070028987
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I, Pembimbing II,
セ@
(-Bamban di Ph.D
NIP. 150 326 891 NIP. 150 293 234
FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Skripsi yang berjudul POLA ASUH PEMBINA TERHADAP SANTRI DI
PONDOK PESANTREN DARUL ARQAM MUHAMMADIYAH GARUT
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06
Februari
2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, Februari 2008
Ketua Mer Jkap Anggota,
LZLO|MQセ@
Ora. H'. Net Hartati M.Psi. NIP. 150 21 38
Penguji I
Sidang Munaqasyah
Sekretaris Merangkap Anggota
Anggota: Penguji II
Ors. Rachmat Mulyono. M.Si
NIP.
150 293 240Pernbirnbing I Pembimbing II
Jadilah Sukses Berdasarkan Penilaian Tuhan
Lakukanlah Sekuat Tenaga bukan semampunya
lngatlah selalu dan perbaiki kesalahan yang pernah kita
pe?rbuat, k@mudian
Lupakan ke?baikan yang pernah kita perbuat
(AAGymj
"Ke
bahagiaan ada pada
ェゥセイ。@
yang
be
rs yukur"
(Andy F Noya)
"<Pada setiap satu
セウオオエ。ョ@
terdapat
V。ョケ。ォLセュオ、。ィ。ョN@
Sunggufi, setefali ftesuutan
adiz
セュオ、。ィ。ョMセュオ、。ヲゥ。ョN@
:Malig apa6ifa f«imu
CJ'e{afi
sefesai ( dari. sesuatu urusan),
R§tjalignfali dengan sungguli-sungguli (umsan) yang fain.
<Dan Uanya
セー。エヲ。@
<Iufianmufali liendak,nya /igmu
Tiada kata indah selain memuji dan bersyukur kepada Allah SWT yang dengan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walau dalam menjalaninya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Tak lupa Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada Kanj13ng Nabi
Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah membimbing manusia keluar dari masa kegelapan menuju masa yang penuh asa.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada insan-insan yang menjadi penyemangat penulis di saat-saat genting tanpa inspirasi dan mengajarkan berbagai hal mengenai kehidupan.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak dan !bu tercinta yang selalu mendampingi tanpa mengenal kata lelah yang dengan doa dan semangatnya terus mendukung tiada henti agar penulis cepat menyelesaikan skripsi. Kedua kakaku Owi Tresna R sekeluarga, dan Tri Tresna R sekeluarga yang banyak mewarnai
kehidupan penulis. Kalian merupakan anugerah untukku, terima kasih Allah atas keluarga yang hebat ini.
2. Ora. Hj. Netty Hartati, M.Si., Oekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Hamdan Yasun, M.Si., Ketua Bidang Psikolooi Sosial dan Pembimbing Akademik kelas A Fakultas Psikologi 2003 yang telah memberikan banyak arahan dan pengalamannya kepada penulis. 5. Bambang Suryadi, Ph.D Pembimbing I yang telah memberikan banyak
masukan untuk perbaikan skripsi pada penulis.
6. Solicha, S.Ag. Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu pribadinya untuk memberi koreksi pada skripsi penulis.
7. Seluruh staff pengajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah bersedia memberikan secercah harapan masa depan selama proses perkuliahan. Jajaran akademik dan karyawan Fakultas Psikologi lbu Sri, Pak Miftah lbu Syariah dan lbu Nur, dkk, yang sabar mendengar keluhan-keluhan dan direpotkan dalam menyusun nilai-nilai penulis yang tak beraturan.
8. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut beserta seluruh staff pengajar dan pembina yang telah memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi penulis dalam mengadakan penelitian.
9. Siti Rahmi Rahimah yang sudah memberikan begitu banyak perhatian dan kesabaran bagi perkembangan penulisan skripsi ini.
1 O. The Kostan Family (Dani dan Yusuf) Plus Uwa Ramdan, dengan kalian kuliah serasa penuh makna. Arif, Badru, Yamani, Sugih, Indra, Adit, dan Cupie atas kerja samanya selama perkuliahan. Semua
orang-orang luar biasa angkatan 2003 kelas A, lta, Maya, Tika, Yeyen, lea, Nca, Rida, dan lain-lain yang banyak memberi warna kehidupan. Persahabatan kita selamanya.
sebagai penambah spirit dalam mengerjakan skripsi ini ketika jenuh. Dan untuk semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya karena keterbatasan ruang. Hanya doa yang bisa penulis panjatkan, semoga bantuan dan kebaikan yang telah mereka berikan menjadi amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT.
Jakarta, Januari 2008
(C) Catur Tresna Ruswaraditra
(A) Fakultas Psikologi (B) Januari 2008 (D) Pola Asuh Pembina Terhadap Santri Di Pondok Pesantren Darul
Arqam Muhammadiyah Garut (E) xi+ 108
(F) Pendidikan dalam jenjang menengah merupakan jembatan darl pendidikan dasar ke pendidikan tinggi. Oleh karena itu pendic:fikan menengah menjadi sangat penting. Lembaga pendidikan pesantren yang berada dalam jenjang pendidikan menengah bahkan membekali anak didiknya dengan menambahkan berbagai ilmu agama. Hal ini dimaksudkan untuk memiliki generasi yang unggul dalam ilmu dan akhlak. Pola asuh pembina terhadap santri merupakan faktor yang turut berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan di pesantren. Upaya untuk mendukung terlaksananya visi dan misi pesantren ini meliputi aspek pengasuhan, kontrol, harapan, dan komunikasi. Perkembangan zaman yang cepat dan penuh kemajuan juga berbagai perubahan dalam pesantren itu sendiri membuat peran
pembina menjadi semakin vital sebagai pengganti orang tua. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren. Pola asuh yang dimaksudkan adalah segala bentuk interaksi pengasuhan antara pembina dan santri, baik yang berbentuk otoriter, demokratis, permisif indifferent, atau permisif indulgent.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode studi kasus. Teknik analisa data penelitian menggunakan metode perbandingan tetap. Lokasi pelaksanaan penelitian di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Subjek dalam penelitian ini adalah pembina yang di tugaskan
membina santri oleh pimpinan pondok pesantren di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Jumlah subjek sebanyak tiga orang.
Untuk perkembangan lebih lanjut maka ada beberapa saran yakni; perlu adanya penambahan jumlah sampel termasuk
membandingkannya dengan santri, serta mempertimbangkan aspek lainnya, seperti kelekatan santri dengan pembina, efektifitas rasio pembina dengan santri, dan tingkat ekonomi pembina dalam menggambarkan pola asuh responden.
Halaman Judul
Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan Motto
Persembahan
Kata Pengantar ... i
Abstrak ... iv
Daftar lsi ... v
Daftar Tabel ... viii
Daftar Bagan ... ix
Daftar Lampiran ... x
BAB 1 PENDAHULUAN
1-10
1.1. Latar Belakang Masalah ... 11.2. ldentifikasi Masalah ... 6
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
1.3.1. Pembatasan Masalah ... 6
1.3.2. Perumusan Masalah ... 7
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.4. 1. Tujuan Penelitian ... 7
1.4.2. Manfaat Penelitian ... 8
1.5. Sistematika Penulisan ... 8
2.2. Pondok Pesantren ... 20
2.2.1. Definisi Pesantren ... 20
2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren ... 22
2.2.3. Kultur Kehidupan Pondok Pesantren ... 23
2.2.4. Jenis-jenis Pondok Pesantren ... 26
2.2.5. Jenis-jenis Santri. ... 27
2.2.6. Program Pengasuhan ... 27
2.3. Pola Asuh Pembina Terhadap Santri di Pondok Pesantren ... 28
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 31-42 3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.1. 1. Pendekatan Penelitian ... 31
3.1.2. Metode Penelitian ... 32
3.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional. ... 33
3.3. Subjek Penelitian ... 35
3.3.1. Responden ... 35
3.3.2. Karakteristik Subjek ... 35
3.4. Sumber dan Jenis Data ... 36
3.5. Teknik dan lnstrumen Pengumpulan Data ... 36
3.5.2. Wawancara ... 37
3.5.3. Observasi. ... 39
3.6. Teknik Analisa Data ... 39
3.6.3. Analisa Data Kualitatif ... 39
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS DATA
43-102
4.1. Gambaran Urn um Responden ... .43
4.2. Riwayat Kasus dan Analisa Kasus ... .44
4.2.1 Kasus ES ... .46
4.2.2 Kasus NH ... 63
4.2.3 KasusAY ... 78
4.3. Analisa Perbandingan Antar Kasus ... 93
4.4. Hasil Tambahan ... 97
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
103-108
5.1. Kesimpulan ... 1035.2. Diskusi ... 103
5.3. Saran ... 107
Tabel 3.1 Kategori Pola Asuh ... 34
Tabel 3.2 Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 38
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden ... .44
Tabel 4.2 Kategori Pola Asuh ... .45
Tabel 4.3 Analisa Kasus ES ... 61
Tabel 4.4 Analisa Kasus NH ... 76
Tabel 4.5 Analisa Kasus AY ... 91
Tabel 4.6 Analisa Perbandingan Antar Kasus ... 93
Tabel 4.7 Latar Belakang Responden ... 98
Tabel 4.8 Skor Skala Pola Asuh ... 101
[image:13.595.57.447.136.498.2]DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Bimbingan Skripsi ... 1 ·12
Lampiran 2. Surat lzin Penelitian dari Fakultas Psikologi UIN Syahid .... 113
Lampiran 3. Surat lzin Telah Melaksanakan Penelitian dari Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut.. ... 114
Lampiran 4. Angket Penelitian Untuk Pembina ... 115
Lampiran 5. Kunci Jawaban Angket.. ... 120
Lampiran 6. Validitas ... 123
Lampiran 7. Reliabilitas ... 125
Lampiran 8. Data Hasil Penelitian Pembina ... 127
Lampiran 9. Surat Permohonan Kesediaan Wawancara ... 133
Lampiran 10. Pedoman Wawancara ... 135
PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis membahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1. latar
Belakang Masalah
Pondol< pesantren bukanlah institusi pendidikan baru, melainkan institusi pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous (asli). Pada zaman penjajahan, institusi ini bukan hanya tempat membina ilmu tetapi juga dijadikan basis perjuangan dalam mengusir penjajahan bangsa-bangsa asing seperti Belanda dan Jepang.
um um digunakan yaitu bandongan dan sorogan. Metode bandongan atau layanan kolektif mengharuskan para santrinya mendengarkan Kiai
membacakan naskah-naskah keagamaan yang berbahasa Arab sambil memberi catatan. Metode sorogan adalah santri yang membacakan kitab, sementara Kiai atau ustadz yang sudah mahir menyimak sambil
mengevaluasi bacaan santri. Para santri yang mendapatkan pendidikan di pesantren ini ada yang tinggal di asrama dikenal dengan nama santri mukim
dan ada yang tinggal di rumahnya masing-masing dikenal dengan nama
santri kalong.
Pondol< pesantren dapat menghasilkan lulusan yang berk.ualitas, baik secara intelektual maupun perilaku. Pola pendidikannya mengharusk.an para santri tinggal dalam asrama, selain bertujuan agar lebih fokus dalam mempelajari ilmu-ilmu agama dan umum, juga mengajarkan kemandirian. Namun pola seperti ini memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan juga bukan jaminan bahwa masalah tidak akan ada. Karena pengasuhan berpindah dari orang tua masing-masing kepada pola pengasuhan di pondok pesantren.
Saat ini perkembangan pesantren telah sangat meluas di tanah air, terdapat ribuan pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik pesantren tradisional maupun pesantren modern. Data Statistik dari Departemen
signifikan terlihat dalam dua dasawarsa kemudian tahun ·1977, di mana pesantren berjumlah 9.388 buah dengan jumlah santri mencapai 1. 770. 768 orang. Data terakhir Depag tahun 2001 menunjukkan jumlah pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan :santri sebanyak 2.737.805 orang.
Namun bukan hanya jumlahnya saja yang mengalami perkembangan, dari segi kualitas pesantren juga mengalami perkembangan. Dari
penyelenggaraan pendidikan pun sejak tahun 1970-an be1ntuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Sistem pembelajaran tradisional yang berlaku, yaitu sorogan, bandongan,
balaghan, dan halaqah mulai diseimbangkan dengan sist19m pembelajaran
modern. Dalam aspek kurikulum juga mengalami perubahan, bila dahulu pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja kini beberapa pesantren banyak yang telah mengadopsi ilmu-ilmu umum untuk diajarkan kepada para santrinya.
dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau.
Kini cara pengasuhan di banyak pondok pesantren tidak hanya berpusat pada satu figur Kiai saja, akan tetapi melibatkan para pengasuh lainnya; ustadz, ustadzah, pembina atau apapun istilahnya. Hal ini dikarenakan banyak pesantren yang memiliki jumlah santri yang cukup banyak, sehingga dibutuhkan tenaga pengasuh yang lebih banyak pula untuk membina santri yang tinggal di asrama.
Pola asuh yang diterapkan di asrama oleh pembina cenderung bergaya authoritarian atau terpusat pada satu figur saja. Melalui gaya pengasuhan seperti ini diharapkan santri akan patuh dan berkembang ke arah yang diinginl<an atau dikehendaki oleh pihak pondol< pesantren. Penelitian yang dilakul<an oleh Muhtar (2005) membuktikan terdapat perbedaan kontribusi dari kebervariasian pola asuh authoritarian terhadap kebeirvariasian prestasi
belajar santri mul<im dan santri non·mukim.
•Ada perbedaan kontribusi dari kebervariasian pola asuh otoriter terhadap kebervariasian prestasi belajar santri mukim dan santri nonmukim. Harga t yang diperoleh sebesar 2,570 apabila
Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bagaimana pola asuh authoritarian berpengaruh terhadap kondisi santri yang tinggal di pondok pesantren bila dibandingkan dengan gaya pola asuh yan{l lainnya seperti permisif dan demokratis. Pengaruh yang menonjol salah satunya terhadap prestasi belajar. Oleh karena itu para pembina harus merniliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pengasuhan.
Latar belakang santri yang berbeda-beda dan jumlahnya yang banyak
menyebabkan pola asuh yang dijalankan pembina tidaklah mudah dilakukan. Para santri datang dengan membawa kebiasaan pengasuhan dari orang tuanya masing-masing yang berbeda-beda dan kemudian harus mengikuti gaya pengasuhan di pondok pesantren. Belum lagi jika ーセュァァ。ョエゥ。ョ@ kelas terjadi, maka penggantian pembina pun bisa jadi berubah. Hal ini menjadi masalah tersendiri tak hanya bagi santri tapi juga pembina, pengasuh,
ustadz, ustadzah sebagai pengasuh di pondok pesantren. Kesulitan lain jika rasio pengasuh tidak berimbang dengan jumlah santri. Pcmdok pesantren yang menggunkan sistem asrama di mana jumlah santrinya dikelompokan dalam jumlah yang besar dengan tenaga yang minim akan mengurangi
intensifnya bimbingan yang diberikan terhadap santri mukim.
1.2. ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di alas penulis dapat mengidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren
Darul Arqam Muhammadiyah Garut?
2 Apakah pola asuh yang dilakukan pembina di pondok pesantren
Darul Arqam Muhammadiyah Garut dapat mengatasi problem keterpisahan
santri dengan orang tuanya?
3. Apakah pola asuh yang dilakukan pembina di pondok pesantren
Darul Arqam Muhammadiyah Garut dapat mengganti peran orang tua santri?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak meluas dan lebih terarah, penulis memberikan
batasan pada penelitian ini terhadap:
1. Jenis pola asuh yang dimaksud oleh penulis mencakup keseluruhan
macam-macam pola asuh, yaitu: otoriter, demokratif, dan permisif.
3. Santri yang dimaksud oleh penulis adalah santri mukim, yaitu santri yang tinggal di asrama sebagai tempat istirahat, dan kegiatan-kegiatan rumah tangga lainnya.
4. Pondok pesantren yang dimaksud oleh penulis adalah pondok pesantren khalafi atau disebut juga pondok pesantren yang sudah
menggabungkan kurikulum agama dan umum. Selain itu pola pengasuhan yang diberikan kepada santri tidak lagi terpusat pada satu orang saja, melainkan dibagi kepada kelompok-kelompok atau kelas-kelas dengan melibatkan banyak pembina.
1.3.2. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penulis menjawab masalah tersebut diatas, maka penulis mencoba merumuskannya dalam bentuk rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya pengembangan ilmu-ilmu psikologi melalui data-data yang diperoleh dari proses penelitian ini, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi: a. Penulis sebagai bahan kajian yang berguna terutama dalam
bidang psikologi perkembangan khususnya pengasuhan di pondok pesantren.
b. Pihak Pondok Pesantren sebagai bahan evaluasi bagi peningkatan pola asuh di pondok pesantren.
c. Pemerhati atau peneliti lain sebagai referensi guna melakukan penelitian serupa yang lebih komprehensif.
Dengan demikian, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu upaya menghimpun data tentang pola asuh terhadap santri di pondok pesantren.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan kaidah penulisan
American Psychology Assosiation (APA) style yang mengacu pada Pedoman
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004. Untuk mengetahui gambaran tentang hal-hal yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan sistematika penulisan skripsi ini dalam lima bab, yakni:
Bab 1 Pendahuluan
Berisi: Latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab 2 Kajian Pustaka
Berisi: Pola asuh; Definisi pola asuh, tipe-tipe pola asuh, indikator pola asuh. Pondok pesantren; definisi pesantren, sejarah dan
perkembangan pondok pesantren, kultur kehidupan pondok pesantren, jenis-jenis pondok pesantren, jenis-jenis santri, dan program
pengasuhan. Disertakan juga kerangka berpikir mengenai pola asuh pembina terhadap santri di pondok pesantren.
Bab 3 Metodologi Penelitian
Berisi: Jenis Penelitian; Pendekatan penelitian, metode penelitian, definisi variable dan definisi operasional, subjek penelitian; populasi dan sampel, karakteristik subjek, sumber dan jenis data, teknik
pengambilan sampel; teknik dan instrument pengumpulan data, teknik analisa data, serta prosedur penelitian.
Bab 4 Hasil Penelitian
Bab 5 Penutup
KAJIAN PUSTAKA
Seperti yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pola asuh pembina terhadap santri pondok
pesantren. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam bab ini akan dibahas berturut-turut mengenai pola asuh, pesantren, pembina, santri, program pengasuhan dan kerangka berfikir.
2.1. Pola Asuh
2.1.1. Definisi Pola Asuh
Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) mengatakan ketika anak memasuki usia remaja (9 -21 tahun), orang tua harus memberikan model tingkah laku kemandirian sesuai dengan usia mereka. Proses-proses interaksi seperti ini, secara umum disebut pengasuhan.
Tarmudji menyatakan, pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan, serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Tarmudji, 2007).
Sedangkan Menurut Slavin (dalam Mukhtar, 2005) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan
anak-anak.
Bagi seorang anak interaksi pertama kali yang terjadi dalam kehidupannya adalah dengan keluarga. Oleh karena itu keluarga khususnya orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalarn proses turnbuhkernbangnya anak rnenuju kedewasaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hess bahwa lbu dan Ayah rnernpunyai peranaan yang sangat penting dalarn
perkembangan sikap-sikap positif anak kecil terhadap pembelajaran dan pendidikan (Santrock, 2006: 247).
Jadi berdasarkan pengertian-pengertian di atas yang dimaksud dengan pola asuh menurut penulis di sini adalah bahwa pola asuh merupakan
mendisiplinkan, serta melindungi anak untuk mencapai kEidewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) mengidentifikasikan adanya empat aspek pola asuh, yaitu:
1. Kehangatan atau pengasuhan, yaitu orang tua menunjukan ekspresi-ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap anak dan
menunjukan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak.
2. Kejelasan dan konsistensi peraturan, yaitu orano tua berusaha untuk mengontrol kebebasan, inisiatif, dan tingkah laku anaknya.
3. Tingkat pengharapan, di mana Baumrind menguraikan dalam masa dari tuntutan kedewasaan, yaitu orang tua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuan agar lebih dewasa dalam s1agala hal.
4. Komunikasi antara orang tua dan anak, yaitu orang tua meminta pendapat anak disertai dengan alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya
2.1.2. Tipe-tipe
polaasuh
Elannor Maccoby dan John Martin (dalam Boyd, 2006: 202) mengajukan
variasi sistem kategori milik Baumrind. Mereka mengkate!;JOrikan keluarga
dalam dua dimensi: tingkat tuntutan atau kontrol dan kuar\titas penerimaan
melawan penolakan. Pemotongan dari dua dimensi ini mEmciptakan empat
tipe, tiga tipe dari Baumrind yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Maccoby
dan Martin mengkonsepkan jumlah tambahan sebuah tipe keempat, tipe
pengasuhan tidak melibatkan (Permisif
Indifferent).Tipe pengasuhan
Pennisif Indifferent
sebuah tipe pengasuhan yang rendah dalam
pengasuhan, tuntutan, kontrol, dan komunikasi.
a. Pola Asuh Otoriter
Pengasuhan yang otoriter adalah suatu gaya membatasi dan menghukum
yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan
menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan
batas-batas yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar kepada
anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter
diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak-anak (Santrock, 2006: 257).
dengan teman sebaya daripada anak-anak dari tipe keluarga lainnya. Beberapa dari anak-anak ini terlihat mengganti hak; lainnya mungkin
mempertihatkan agresivitas tinggi atau indikasi lainnya adalah di luar kontrol (Boyd, 2006: 202).
Elizabeth Hurlock menyatakan bahkan setelah anak bertambah besar, orang tua yang menggunakan pengendalian otoriter yang kaku jarang
mengendurkan pengendalian mereka atau menghilangkan hukuman badan. Tambahan pula, mereka tidak mendorong anak untuk dengan mandiri mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan den1Jan tindakan mereka. Sebaliknya mereka, hanya mengatakan apa yan1J harus dilakukan. Jadi anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar bagaimana
mengendalikan perilaku mereka sendiri (Hurlock, 2002: 9a).
b. Pola Asuh Demokratis
Pengasuhan yang demokratis mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada a1nak. Pengasuhan yang demokratis diasosiasikan dengan kompetensi sosial, anak-anak
Hasil yang positif paling konsisten memiliki hubungan dengan pola asuh demokratis. Yang mana orang tua dengan kedua kontrol dan penerimaan yang tinggi, penetapan batasan yang jelas namun juga merespon kebutuhan individual anak-anak. Anak-anak dengan latar belakang tipikal orang tua yang seperti itu menunjukan harga diri yang lebih tinggi dan lebih mandiri, namun mereka juga mungkin untuk tunduk dengan permintaan orang tua dan mungkin memperlihatkan tingkah laku yang lebih penolong (simpatik) yang bagus. Mereka percaya diri dan berorientasi prestasi di sekolah dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya dengan gaya pengasuhan yang lain (Boyd, 2006: 203).
c. Pola Asuh Permisif
Indulgent
Pengasuhan yang Permisif Indulgent ialah suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang permisif indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri (Santrock, 2006: 258).
Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua pemurah dan serba membolehkan juga menunjukan sebuah hasil yang negatif. Penelitian menemukan bahwa anak-anak ini sedikit lebih buruk dalam sekolah sejak
remaja dan mungkin menjadi yang kedua daripada agresifitas (fakta-fakta jika orang tua spesifik permisif ke arah agresifitas) dan agak belum matang dalam tingkah laku mereka dengan teman sebaya dan di sekolah. Mereka mungkin kurang menggunakan kemampuan merespon dan mereka kurang mandiri
(Boyd, 2006: 203).
Akibat buruk yang harus diterima anak sehubungan dengan pola asuh orang tua yang seperti ini jelas tidak sedikit. Di antaranya anak jadi sama sekali tidak belajar mengontrol diri. la selalu menuntut orang lain untuk menuruti keinginannya tapi tidak berusaha belajar menghormati orang lain. Anak pun cenderung mendominasi orang lain, sehingga punya kesulitan dalam
d. Pola Asuh Permisif Indifferent
Pengasuhan yang permisif indiferent ialah suatu gaya di rnana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe pengasuhan ini
diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri (Santrock, 2006: 258).
Hasil yang paling konsisten negatif adalah berhubungan dengan empat pola, tidak melibatkan, atau mengabaikan gaya pengasuhan. Dari diskusi aman, dan kelekatan gelisah bahwa satu dari karakteristik keluarga sering
ditemukan dalam tempo bayi sebuah kegelisahan atau peinghindaran adalah "ketidaktersediaan kejiwaan" dari ibu. lbu mungkin depresi atau mungkin ditenggelamkan dengan masalah-masalah lain dalam hidupnya dan mungkin
mudah bukan membuat koneksi terdalam manapun dari anak. Demikian juga, orang tua mungkin mengalihkan dari pengasuhan oleh aktifitas yang lebih aktif. Dalam masa remaja, sebagai contoh, remaja dari keluarga yang
mengabaikan lebih impulsif dan anti sosial, kurang kompeten dengan teman sebaya mereka dan sangat rendah orientasi berprestasinya disekolah (Boyd, 2006: 203).
2.1.3. Faktor-faktor Pola Asuh
Pola Asuh orangtua terhadap anak dapat terbentuk oleh karena beberapa faktor, dari beberapa faktor tersebut ada yang merupakan faktor internal, yaitu berasal dari dalam diri orang tersebut dan faktor eksternal yang merupakan hasil dari pengalaman dan belajar. Menurut Elder (dalam Kurniasih, 2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor pola asuh meliputi:
a. Pola asuh yang diterima orangtua ketika masih anak-anak. Orang tua cenderung menerapkan pola asuh yang sama dengan yang mereka terima ketika masih anak-anak, dalam hal ini orang tua mengidentifikasi pola pengasuhan yang didapatkannya adalah model yang paling diidentifikasi anak dalam tingkah laku mereka.
b. Pendidikan orang tua. Orang tua berpendidikan yang baik
cenderung menerapkan pola asuh permisif dan demokratis ketimbang orang tua dengan pendidikan terbatas, ini disebabkan karena pendidikan lebih membantu orang tua untuk memahami kebutuhan anak
c. Status sosial ekonomi. Orang tua dengan keadaan ekonomi yang berlebih cenderung menerapkan pola asuh permisif, ini biasanya disebabkan orang tua menganggap uang bisa menggantikan semua hal yang dibutuhkan oleh anak seperti perhatian dan kasih sayang.
e. Kepribadian orang tua. Orang tua dengan kepribadian introvet dan konservatif lebih menerapkan pola pengasuhan anak secara ketat dan otoriter.
f. Kepribadian anak. Anak ekstrovet biasanya lebih terbuka terhadap rangsangan yang diberikan orang tuanya, hal ini yang membuat orang tua mengetahui kebutuhan dan kemandirian anak.
g. Faktor nilai yang dianut orang tua. Orang tua yang menganut nilai barat lebih berpegang pada konsep equlitarian yaitu orang tua sejajar dengan anak, sedangkan orang tua yang menganut nilai ketimuran lebih berpegang pada konsep kepatuhan.
h. Usia anak. Tingkah laku dan sikap orang tua sangat dipengaruhi oleh usia anak, sehingga dalam menerapkan pola asuh juga disesuaikan dengan usia anak.
2.2. Pondok Pesantren
2.2.1. Definisi Pesantren
Menurut Dhofier (seperti dikutip Mansur, 2005: 95) Pesantren berasal dari
kata santri yang mendapat awalan
pe
dan akhiran
an,
berarti tempat tinggal
para santri. lstilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji,
dan ada juga yang mengatakan bahwa santri mempunyai arti orang yang
tahu buku-buku suci, buku agama, atau buku-buku tentang ilmu-ilmu
pengetahuan.
Pondok Pesantren menurut Arifin (seperti dikutip Qomar, 2007: 2)
berarti, suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di rnana santri-santri
menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari
leadership
seorang atau
beberapa orang Kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta
independen dalam segala hal.
Menurut Syarif (dalam Mansur, 2005: 96) Pesantren menipakan lembaga
pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri umum yaitu
Kiai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid
sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan dan pengajaran agama Islam
melalui kitab dengan metode
wetonan (bandongan), sorogan,
dan
Sugarda (dalam Zarkasyi 2005: 59 - 60) mengemukakan bahwa kata santri
berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren mempunyai arti
tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.
2.2.2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren
Sejarah masuknya agama Islam di Indonesia adalah karena penyebaran
agama Islam oleh mubaligh-mubaligh pertama dengan ptmerangan dan
amalan serta melalui pendidikan berbentuk pondok pesantren. Kemudian
mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan keadaan,
waktu dan tempat. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa pondok pesantren
adalah lembaga pendidikan pertama yang dikenal oleh umat Islam di
Indonesia (Mansur, 2005: 97).
Salah satu upaya penyebaran agama Islam kepada mas11arakat Jawa adalah
melalui jalur pendidikan. Lembaga pendidikan Islam yang didirikan pada
masa awal penyebaran Islam merupakan
prototypedari sistem pendidikan
pesantren. Pendidikan Islam pada waktu itu difokuskan pada ajaran-ajaran
Islam baik yang terdapat dalam al-Qur'an, Hadist, maupun yang telah
dikupas oleh ulama-ulama salaf seperti yang tertuang dalam kitab-kitab klasik
(Zarkasyi, 2005: 57).
Tingkatan pesantren paing sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al-Qur'an. Sementara, pesantren yang agak tinggi adalah pesantrenn yang mengajarkkan berbagai kitab fiqih, ilmu akidah, dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahara Arab (Nahwu Sharf).
Mastuki (2003: 3) mengatakan pada paruh kedua abad k13 - 20 mengamati adanya dorongan arus besar dari pendidikan ala Barat yang dikembangkan pemerintah Belanda dengan mengenalkan sistem sekolal1. Di kalangan pemimpin-pemimpin Islam, kenyataan ini direspon secara positif dengan memperkenalkan sistem pendidikan berjenjang dengan nama "madrasah"
(yang dalam beberapa hal berbeda dengan sistem sekolah).
2.2.3. Kultur Kehidupan Pondok Pesantren
Pada dasarnya pesantren memiliki tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari pesantren itu sendiri. Untuk lebih jelasnya, di sini dikutip tradisi-tradisi (bentuk fisik) meminjam istilah Dhofier (dalam Zarkasyi, 2005: 67), ada 5 elemen pesantren, yaitu;
a. Kiai. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang ciri-cirinya dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi pendiri dan pimpinannya. Di sinilah signifikansi Kiai. Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam
serta keterampilan Kiai. Oleh karena itu, wajar kalau hidup mati pesantren tergantung Kiainya.
Salah satu tradisi pesantren adalah tradisi penghormatan santri kepada guru dan Kiai. Prinsip yang menjadi patokan hidup santri yang tinggal di pesantren adalah kemauan menerima realitas hidup alias sanggup rnenanggung
penderitaan atau tabah untuk hidup apa adanya. Apabila tiada perjuangan, tidak akan ada kemajuan; tiada kemajuan tidak ada kemerdekaan; tiada kemerdekaan tidak akan ada kebudayaan. Artinya, semakin besar cobaan dan keprihatinan yang dilewati santri dalam menuntut ilmu Allah, semakin besar pula ilmu yang diperoleh dan sekaligus memperolel1 pahala yang banyak (Madjid,
1997:
3).Imam Bawani (dalam Yasmadi, 2002: 63) mengibaratkan keberadaan seorang Kiai dalam lingkungan pesantren laksana jantunfJ bagi kehidupan manusia. lntensitas Kiai memperlihatkan peran yang
otoriter
disebabkan karena Kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam
tradisional.
c. Santri yaitu siswa yang tinggal di pesantren guna menyerahkan diri.
Dalam pesantren santri diajarkan hidup dalam suasana kejujuran, jauh dari
sifat serakah, apalagi menghalalkan segala cara. Dalam sistem pendidikan
tradional, hubungan santri dan Kiai sangat erat.
d. Asrama, Pondok. pesantren pada dasarnya sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional dimana para santrinya tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan Kiai. Asrama fetaknya di dalam komplek
pesantren. Kecil-besarnya asrama tergantung jumlah santrinya. Faktor
urgensi asrama di antaranya mayoritas pesantren berada di desa, dimana
tidak ada akomodasi yang cukup menampung santri-santri.
e. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Entah berdiam sementara atau
agak lama, pengajaran kitab klasik mesti diterima oleh santri. Pengajaran ini
diperoleh melalui pengajian-pengajian. Kitab-kitab klasik iini di antaranya;
nahwu, sharaf, fiqhi, usul fiqhi, hadis, tafsir, tasawuf, dan tauhid.
Di samping itu, pendidikan disiplin sangat ditekankan di pesantren. Mulai dari
bangun sampai kembali lagi ke tempat tidur, jadualnya telah diatur. Bagi yang
melanggar akan dikenakan sanksi, baik berupa sanksi fisik, penugasan, atau
drop-out.
Oleh karena itu, santri yang berhasil melewati hari-hari yang penuh
Semua itu dimaksudkan agar
out putpesantren menjadi manusia yang
memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan
welstanchaungyang bersifat menyeluruh. Yaitu, aspek Tuhan, manusia, dan alam
terintegrasi dalam sistem nilai pendidikan di pesantren. Dengan demikian,
para santri memiliki tujuan yang konkret dalam mengarungi hidup, baik hidup
di dunia maupun di akhirat (Madjid, 1997: 4).
2.2.4. Jenis-jenis Pondok Pesantren
Dhofier (seperti dikutip oleh Qomar, 2007: 16 - 17) memandang dari
perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
kemudian membagi pesantren menjadi dua kategori yaitu pesantren
sa/afidan
khalafi.Pesantren jenis
salafimerupakan jenis pesantren yang
エエセエ。ー@mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti
pendidikannya. Di pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak
diberikan. Tradisi masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem
madrasah hanya untuk memudahkan sistem sorogan seperti yang dilakukan
di lembaga-lembaga pengajaran bentuk lama. Pada umumnya pesantren
dalam bentuk inilah yang menggunakan sistem sorogan clan weton.
telah memasukan pelajaran-pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal yang dikembangkan dan membuka sekolah-sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Tetapi pengajaran kitab islam klasik masih tetap dipertahankan. Pesantren dalam bentuk ini diklasifikasikan sebagai pesantren modem di mana tradisi salaf sudah ditinggalkan sama sekali.
2.2.5. Jenis-jenis Santri
Penggolongkan jenis santri seperti dilakukan oleh Dhofier yang
mengklasifikasikan santri ke dalam dua kelompok, yaitu santri kalong dan
santri mukim (Zarkasyi, 2005: 69).
Madjid (dalam Yasmadi, 2002: 66) menjelaskan bahwa Santri kalong
merupakan santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Sedangkan santri mukirn ialah santri yang menetap di dalarn pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh.
2.2.6. Program Pengasuhan
Khusus dalam kaitan dengan program bimbingan ini, Mai;tuki menyebutkan pembina memiliki tugas sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan masalah-rnasalah yang dirasakan santri di kelas yang berjenjang maupun konvensional {pondokan, asrama).
2) Mengidentifikasi gejala-gejala salah penyesuaian (mal.:1djustment) pada diri murid/santri.
3) Mendorong pertumbuhan dan perkembangan santri di pesantren. 4) Melengkapi bimbingan kelompok di dalam kelas atau pondokan.
5) Melengkapi rencana-rencana yang telah dirumuskan oleh santri bersama penyuluh.
6) Mengajar sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan santri. 7) Mengumpulkan informasi dan data tentang santri.
8) Melaksanakan kontak dengan masyarakat, dengan orang tua santri. 9) Melaksanakan penyuluhan terbatas, karena hubungan baik dapat mudah terjalin antara pembina dengan santri.
2.3. Pola Asuh Pembina Terhadap Santri di Pondok Pesantren
Pondok pesantren telah mengalami perkembangan dari masa ke rnasa, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Hal ini dilakukan untuk
pesantren yang telah mengkombinasikan dengan berbagai mata pelajaran seperti yang diberikan di dalam pendidikan formal.
Pendidikan di pondok pesantren tak lepas dari adanya pemgasramaan bagi santri-antrinya yang menginap untuk mendapatkan materi-materi pelajaran. Di samping itu sekaligus mendidik santri dari kehidupan rnandiri, karena di
pondol< pesantren para santrinya terutama santri mukim tidak tinggal lagi di rumah masing-masing yang mungkin dapat dibantu segala sesuatunya oleh para orang tuanya.
Berbicara mengenai pengasramaan santri berarti ada penggantian peran orang tua di sana. Para pengasuh seperti pembina ditugaskan untuk
mengasuh anak didiknya (santri), mendampinginya bila ada kendala seputar kehidupan di pondok pesantren. Dalam hal ini pengasuh akan menggunakan cara untuk dapat mengasuh santri yang jumlahnya banya.k. Apalagi mereka yang datang dari latar belakang yang beraneka ragam.
Cara yang berbeda pula di lakukan oleh dua jenis pesantren. Untuk lebih jelasnya berikut ini skema yang membandingkan antara keempat tipe pola asuh yaitu otoriter, demokratris, permisif
indulgent,
dan permisifindifferent
dengan dua jenis pesantren yaitu salafi dan khalafi:Gambar2.1
Skema perbandingan tipe pola as uh dengan jenis pesantren
Jenis Pesantren lndikator
- otoritas Kiai, pengasuh tunggaf
- jumlah santri yang sedikit - pengajaran tradisional,
satu metode
- keterbatasan informasi
- pengasuhan kolektif - jumlah santri yang banyak - pengajaran modem,
berbagai metode
- perkembangan teknologi dan komunikasi
PolaAsuh
- + Otoriter
- + Demokratris
[image:45.595.49.456.152.567.2]METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini penulis membahas mengenai jenis penelitian, pendekatan dan metode penelitian, definisi variabel dan operasional, subj1ak penelitian, responden dan karakteristik subjek, sumber dan jenis data, teknik dan instrumen pengumpulan data, teknik analisa data, serta prosedur penelitian.
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum yang lebih objektif juga gambaran dinamika fenomenologis dari subjek penelitian secara mendalam. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperdalam masalah penelitian, dan memahami gejala atau permasalahan sesuai perspektif subjek yang mengalaminya.
Berkaitan dengan kedua pendekatan tersebut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007: 4) mendefinisikan "metode kualitatiF sebagai prosedur penelitian yang
Ada dua alasan yang mendasari penulis untuk menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yaitu:
1. Karena dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah mengenai proses pengasuhan di pondok pesantren.
2. Untuk lebih memaknai kegiatan interaktif ini, kare•na penulis
seyogyanya berinteraksi langsung dengan para responden, antara lain dengan menginterview dalam latar alamiah.
3.1.2. Metode penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus (case study).
Punch (Poerwandari, 2001: 65) yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Kasus itu dapat
berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa kasus tertentu.
Alasan penulis menggunakan studi kasus (case study) aclalah dengan metode ini penulis ingin mendapatkan gambaran dari per'!anyaan
3.2. Definisi Variabel dan Definisi Operasional
Definisi pola asuh yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada definisi pola asuh orang tua yang diungkapkan oleh Tarmudji (2007) yakni pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini dapat berarti orang tua mendidik, membimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak untuk
mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma ケ。ョAセ@ ada dalam masyarakat. Pengasuhan orang tua tersebut dibagi menjadi empat kategori utama berdasarkan Maccoby dan Martin (dalam Boyd, 2006), yaitu:
a. Pola Asuh Otoriter
Adalah, tinggi dalam kontrol dan tuntutan kedewasaan, namun rendah dalam pengasuhan dan komunikasi.
b. Pola Asuh Demokratis
Adalah, tinggi dalam kontrol, tuntutan kedewasaan, pe1ngasuhan dan komunikasi.
c. Pola Asuh Permisif Indulgent
Adalah, tinggi dalam pengasuhan, namun rendah dalam kontrol, tuntutan kedewasaan dan komunikasi.
d. Pola Asuh Permisif Indifferent
Berikut bagan pola asuh berdasarkan empat kategori ternebut :
Tipe Pola Asuh
Otoriter
Demokratis
Permisif Indulgent
[image:49.595.42.497.139.520.2]Permisif Indifferent
Tabel 3.1
Kategori Pola Asuh
lndikator
Pengasuhan Kontrol Harapan
Rendah Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi Rendah Rend ah
Rend ah Rend ah f;tendah
Komunikasi
Rend ah
Tinggi
Rendah
Rendah
Pondok Pesantren yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pondok
pesantren khalafi (modern) yang memiliki sistem pengasuhan yang
dijalanl<an oleh pembina. Pondol< Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah
Garut adalah salah satu pesantren yang menggunakan sistem tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi operasional dalam penelitian
ini adalah pola asuh yang digunakan pembina di pesantre1n dalam mengasuh
para santri selama dua puluh empat jam. Dalam hal ini pcila asuh pembina
terhadap santri yang terdapat di Pondok Pesantren Darul Arqam
3.3. Subjek Penelitian
3.3.1. Responden
Dalam penelitian ini penulis menunjuk tiga orang sebagai responden atau subjek penelitian. Penentuan jumlah subjek ini adalah untuk jumlah sampel yang disesuaikan dengan fenomena yang akan diamati.
Adapun bentuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan cara
purposive
sampling, yaitu subjek dipilih berdasarkan pertimbangan dantujuan tertentu. Hal ini seperti diungkapkan Patton (dalam Poerwandari, 2001) bahwa penelitian kualitatif umumnya menggunakan pendekatan purposif. Sampel tidak diambil secara acak tetapi justru dipilih mengikuti kriteria tertentu.
3.3.2. Karakteristik Subjek
Adapun karakteristik sampel yang digunakan oleh penulis adalah pembina yang ditunjuk secara resmi oleh pondok pesantren untuk menggantikan peran orang tua di Pondok Pesantren berusia minimal 25 tahun. Baik
3.4. Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui skala dan wawancara. Sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari observasi dan bahan-bahan dokurnentasi, seperti buku-buku, dan referensi lainnya
Menurut Lofland dan Lofland (dalarn Moleong, 2007: 157). sumber data utarna dalam penelitian Kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokurnen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalarn kata-kata, dan tindakan, surnber data tertulis, foto, dan statistik
Berdasarkan pendapat di atas penulis rnenggunakan kata-kata, tindakan, surnber data tertulis, foto dan data statistik sebagai surnb13r data.
3.5. Teknik dan lnsfrumen Pengumpulan Data
Patton (dalam Moleong, 2007: 187) mengatakan jenis wawancara dengan petunjuk umum mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar wawancara. Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Petunjuk wawancara hanyalah berisi ーエセエオョェオォ@ secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok- pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup.
3.5.1. Wawancara
Wawancara di sini adafah untuk memperoleh gambaran rnengenai pola asuh yang dilakukan oleh pembina. Wawancara dilakukan kepada subjek yang rnernunculkan fenornena tertentu dan bersedia untuk diwawancarai. Jumlah subjek yang akan diwawancarai adalah sebanyak tiga orang pembina. Wawancara ini dilakukan setelah kuesioner disebar dan diisi oleh subjek dengan tujuan mendapatkan responden yang sesuai 、・ョAセ。ョ@ karakteristik penelitian.
Wawancara dalarn penelitian ini rnernerlukan pedoman wawancara agar melalui wawancara didapatkan data-data yang tidak menirimpang dari tujuan penelitian. Dalarn teknik wawancara ini, pewawancara dapat rnemodifikasi, rnengulangi, rnenguraikan pertanyaan yang ditanyakan dan dapat mengikuti jawaban responden asal tidak menyimpang dari tujuan wawancara. Selain itu,pedoman wawancara juga sebagai alat bantu untuk mt:ilakukan
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dibuat tidak hanya berdasarkan teori teori pada bab dua dan permasalahan di bab satu.
Pedoman wawancara juga mengacu pada teori yang dirangkum dari berbagai penelitian mengenai pola asuh.
Berikut isi dari kisi-kisi pedoman wawancara yang dibuat oleh penulis;
Tabel 3.2
Kisi-kisi Pedoman wawancara
No. lndikator Sub lndikator
1. Gambaran dan riwayat • Latar belakang keluarga responden • Latar belakang ーHセョ、ゥ、ゥォ。ョ@
• Pengalaman mengasuh/membina • Motivasi menjadi Pembina
• Awai mula mengasuh, proses adaptasi kepada :santri
• Perasaan pada waktu mengasuh
2. Pengetahuan mengenai pofa • Pengertian pola asuh dan
macam-as uh macamnya
" Pentingnya pengasuhan " Orang yang berperan
• Tempat-tempat pengasuhan • Pengasuhan ケ。ョAセ@ baik
• Pengarahan mengenai pengasuhan • Hal-hal penting yang patut
dipersiapkan untuk mengasuh
3. Aspek-aspek tentang pola " Kehangatan dan pengasuhan asuh di pondok pesantren • Kontrol (kejelasan dan konsistensi
peratur1;1n)
• Harapan (tuntutan kedewasaan) • Komunikasi terhadap santri " Jenis Pola Asuh vang diaunakan
4. Output yang diharapkan dari • Secara individu (pribadi)
pola asuh di pondok • Terhadap keluarga dan hubungan
pesantren sosial
[image:53.595.41.472.140.701.2]3.5.2. Observasi
Metode observasi digunakan untuk memperoleh informasi perilaku manusia yang menggunakan tempat-tempat umum baik untuk bemosialisasi maupun untuk melakukan kegiatan mandiri. Metode ini menggunakan pendekatan pengamatan terhadap objek yang diamati. Dalam penelitian ini observasi digunakan sebagai metode sekunder untuk menunjang metode primer yaitu wawancara.
3.6. Teknik Analisa Data
3.6.1. Analisa Data Kualitatif
Sedangkan dalam mengolah data kualitatif, maka penulis menggunakan teknik analisis kualitatif.
Analisis data yang dilakukan mencakup tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Organisasi data, karena data kualitatif sangat beragam dan banyak
sehingga mesti disusun secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin.
2. Pemberian kode, Coding dimaksudkan untuk dapat
3. Melakukan analisis data, pada tahap ini penulis menggunakan metode perbandingan tetap dari Glaser dan Strauss (dalam Moleong, 2007: 288), yaitu dalam menganalisis datanya secara tetap membandingkan satu data utama (datum) dengan datum lainnya, kemudian secara tetap membandingkan satu kategori dengan kategori lainnya.
4. Selanjutnya dilakukan lnterpretasi, menurut Kvale (Poerwandari, 2001: 95) linterpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih
ekstensif (luas) sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.
3.7. Prosedur Penelitian
Ada beberapa tahapan yang akan penulis lalui untuk menyelesaikan penelitian ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Tahap 1 Persiapan Penelitian
Tahap2 Pembuatan Pedoman Wawancara.
Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan tujuan penelitian dan teori yang berkaitan dengan permasalahan penelitian seperti yang telah dicantumkan dalam kajian pustaka. Pedoman wawancara ini juga digunakan agar wawancara tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Tahap 3 Mempersiapkan Alat Bantu Perekam
Untuk memudahkan berlangsungnya wawancara maka jawaban-jawaban yang diberikan subjek direkam, hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Poerwandari bahwa setepat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkrip secara verbatim (Poerwandari, 2001 ). Oleh karena itu, diperlukan tape recorder dan perlengkapan lainnya.
Tahap 4 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah pedoman wawancara dibuat, tape recorder beserta
Tahap5 Pengolahan Data
Hasil wawancara di lapangan yang telah direkam kernudian dipindahkan secara verbatim ke dalarn bentuk naskah (teks}.
1PEMBAHASAN DAN ANAL1S1S !DAT A
Pada bab ini penuiis menjelaskan data dan hasil dari penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif berisi tentang garnbaran urnurn responden, riwayat kasus, analisa kasus, perbandingan antar kasus, dan data tarnbahan.
4. 1. Gambaran
Umum
Responden
Adapun pengarnbilan responden sebagai sampel penelitian kualitatif adalah sebanyak tiga orang pernbina yang berada di pondok ー・ウ。ョエョセョ@ Darul Arqam
Garut. Terdiri dari dua orang laki-laki masing-masing berusia 28 tahun dan 40 tahun, dan satu orang perernpuan berusia 39 tahun yang telah dipilih
Gambaran Umum Responden
Nama lnisial ES NH AY
Jenis Kelamin p L L
Pendidikan
S1
S1 S1Teralkhir
Usia 39Tahun 40Tahun 28Tahun
Pekerjaan Pembina I guru I Pembina I Guru I Pembina I Guru pembina lrmawati Staff keuangan
Suku Bangsa Sunda Sunda Sunda
Status Menikah Menikah Single
Masakerja 12 12
2
Membina
4 . 2. Riwayat Kasus dan Analisa Kasus
Untuk analisa kasus, penulis menggunakan indikator berupa e1mpat dimensi pola asuh dari Baumrind (dalam Boyd, 2006: 202) yaitu:
1. Kehangatan atau pengasuhan
2. Kejelasan dan konsistensi peraturan (kontrol) 3. Tingkat pengharapan (tuntutan)
4. Komunikasi
[image:59.595.21.463.116.521.2]Maccoby dan Martin (dalam Boyd, 2006: 202) yaitu tipe pola asuh tidak melibatkan (Uninvolvecf).
Cara untuk mengetahui subyek termasuk ke dalam klasifikasi tipe pola asuh tertentu, dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tipe Pola Asuh
Otoriter Demokratis
Permisif Indulgent
[image:60.595.30.474.152.487.2]Permisif Indifferent
Tabel 4.2
Kategori Pola Asuh
lndikator
Pengasuhan Kontrol Harapan
Rend ah Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi
Tinggi Rendah Rendah
Rendah Rendah Rend ah
Komunikasi Rendah
Tinggi Rend ah Rendah
Untuk mengukur tinggi rendahnya indikator, berdasarkan kepada karakteristik masing-masing tipe pola asuh. Disebut kategori tinggi, apabila terdapat hal-hal seperti; menunjukkan ekspresi kehangatan dan kasih sayang, menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh oleh anak, berusaha mengontrol
kebebasan, inisiatif, dan tingkah laku anak, ada penekanan kepada anak untuk mengoptimalkan semua kemampuan yang dimilikinya, serta memberikan alasan yang jelas pada saat pemenuhan kebutuhan anak. Sedangkan yang disebut
kategori rendah, apabila terdapat hal-hal seperti; menghukum dan menuntut
tegas, tidak terlibat dalam kehidupan anak, dan sedikit kendali terhadap anak.
Berikut satu persatu hasil analisa kasus terhadap setiap ウオ「ケeセォZ@
4. 2. 1. Kasus ES Riwayat Kasus ES
ES adalah seorang wanita berkeluarga berusia 29 tahun kelahiran kota Kembang Bandung yang besar bersama bibinya hingga SMA. ES diadopsi karena bibinya tidak mempunyai anak, sehingga meminta kepada kedua orang tuanya agar dapat merawatnya hingga besar. Anak sulung dari enam bersaudara ini memulai
pendidikan sekolah dasar hingga tiga sekolah karena seringnya berpindah tempat. Sedangkan jenjang pendidikan kuliahnya, ES tempuh di salah satu
perguruan tinggi swasta di Solo yang mana mengantarkan dirinya kepada suami yang diikutinya hingga saat ini. Wawancara dengan ES berlangsung dua kali kareha keterbatasan waktu. Wawancara pertama dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22 September 2007 pukul 10.50 hingga 11.30 WIB bertempat di ruang
mahkamah pondok pesahtren. Ketika proses wawancara berlangsung ES memakai pakaian resmi yaitu seragam karena usai mengajar di kelas. ES mengenakan baju berwarna cokelat, serta celana dan kerudung hitam.
Selama proses wawancara berlangsung ES tampak serius meimperhatikan setiap pertanyaan yang diajukan oleh interviewer kepadanya. Hal ini terlihat dari alis matanya yang sering meruncing. Namun secara keseluruhan ES tetap terlihat santai dan senang diwawancarai, ES juga suka tertawa ketika membicarakan hal-hal yang lucu. Dengan suara rendah dan intonasi yang terkadang naik turun, ES dengan lugas menjawab setiap pertanyaan. Meskipun pada saat
diadakannya wawancara tidak terdapat kehadiran orang lain, !Jangguan sempat terjadi ketika beberapa pembina lain sebanyak dua orang mernasuki ruangan untuk mencari suatu barang yang tertinggal, sehingga wawarn::ara sempat
terhenti selama Hrna menit.
ES mulai membina sejak tahun 1994. Awai mula membina di pesantren ini karena ikut suami yang telah 1ebih dulu bekerja di sini. Meskipun orang tua asuhnya sempat keberatan karena akan merasa kesepian, tetapi mereka mengerti yang harus diikuti adalah suami, akhimya diizinkan juga untuk bekerja di pesantren dengan izin yang tidak dilakukan secara formal.
"Ortu ikut saja pada yang ngasuh karena dari awal seperti itu .. Meskipun sempat
ada sedikit keberatan dari bapak yang mengasuh. Karena akan
merasa
kesepian. /bu sempat mfnta izin meskipun secara tidak resmi. Tetapi karena
o/'$ng tua juga mengerti I paham yang harus diikuti adalah suami, akhimya tetap
mengizinkan ibu untuk membina disini."
yang pemah dipelajarinya dari SD sampai kuliah. ES juga sernpat belajar dan
membaca pengetahuan seputar psikologi agama yang mungkin membantunya
dalam membina santriwati selama ini. Menurut apa yang dituturkannya tidak
pemah terbayang sebelumnya menjadi seorang pembina, kartma di jurusan yang
diambilnya di Universitas tersebut yang tergambar paling menjadi penyuluh,
pegawai di KUA atau di BKKBN. Karena yang tergambar padst saat kuliah adalah
melanjutkan studi saja. Alasan lain yang menguatkan ES untuk membina adalah
karena biaya kuliahnya adalah beasiswa dari sebuah organisasi kemasyarakatan
bemama Muhammadiyah. ES mendapatkan beasiswa tersebut karena lolos
seleksi mewakili Jawa Barat bersama seorang temannya dari lima orang yang
mendaftar. Program ini diadakan untuk menjadi pembinaan kader
Muhammadiyah. Dan pesantren yang ES diami saat ini berada dalam naungan
Muhammadiyah, sehingga ES berpikir sekaligus mengabdi saja.
"Masuk ke
UMSitu beasiswa dari utusan masing-masing wilaJrah
muhammadiyah. Setiap wilayah boteh mengirim berapa saja esat tutus seteksi.
Dari jabar ada lima orang peserta yang tu/us dua orang ibu dan pa Ncep.
Programnya untuk kader muhammadiyah. Yang tergambar ada/ah melanjutkan
studi aja. Lapangan pekerjaan ushutudin adatah di tapangan itu sendiri. Seperti
di KUA, BKKBN ataujadi penyutuh.
Gaada gambaran untukj;!ldi pembina"
Berdasarkan pengakuan ES menjadi pembina adalah keinginan dirinya sendiri.
Karena ES mempunyai pendapat apabila telah lulus kuliah tentunya harus cari
kerja, apa saja yang mampu akan dikerjakannya. Apalagi ES seorang wanita,
mau apa lagi, paling menikah dan lain-lain. Ternyata beberapa hari setelah
santri perempuan. Baginya mengapa tidak untuk dilakukan, apalagi suarni juga menganjurkan.
"Setelah lu/us tentunya cari kerja, apa saja yang kita mampu
saya
akan kerjakan,
ketika menikah ditawari o/eh pimpinan untuk kerja disini. Ya kenapa tidak.
Suamijuga menganjurkan meskipun semua keputusan ada di tangan ibu. Sudah Ju/us
kuliah mau apa? Ap.alagi wanita., paling menikah ... dll. Nikah Si:Jtelah tutus. Karena
bapak sudah mengajar disini. Pak farid ada/ah kakak kelas ibu. empat hari nikah
(19 Juni) /angsung siap siap buat ngajar di tahun ajaran baru bu/an juli."
ES mengaku belum pemah mengasuh sebelumnya, hanya saja ES memiliki orang tua asuh yang mempunyai panti asuhan, mungkin pengalaman secara tidak langsung. Karena pada saat itu ES masih berusia anak-anak atau masih di
SD, ketika telah SMP bapak sudah tidak lagi mengurusi panti asuhan tersebut. Hanya ES suka bergaul dengan anak-anak di panti asuhan,
"Dari segi pengalaman orang tua ada. Pengasuh atau bapak ;mgkat ibu yang
berada di jalan karapitan punya panti asuhan bernama taman harapan. Punya
(pimpinan cabang) PC Lengkong. Bapak waktu itu berlugas disitu. Namun pada
saat itu ibu masih usia
SD(anak-anak) pada saat
SMPudah imgga, hanya ibu
bergau/ dengan mereka.
nAnalisa Kaisus ES
Pola asuh menurut ES adalah membina atau membimbing anak-anak sesuai visi dan rnisi pondok pesantren. Menjadikan anal< lebih baik. ES menyebutkan ada dua macam pola asuh, satu pola asuh yang bersifat langsung, kedua pola asuh tidak langsung. Yang dimaksud dengan pola asuh Jangsung adalah pembina
belum meneruskan studi.
"Menurut ibu po/a asuh yaitu membina atau membimbing anak-anak sesuai visi dan
misi
pondok pesantren. Menjadikan anak lebih baik.Maccrm-macam
po/a asuh yang ibu ketahui yaitu Pola asuh langsung dan bertingkat. Yang disebut Pola asuh /angsung yaitu pembina !angsung membina anak asuh (santri) seperti di Darul Arqam (DA). Pola asuh secara langsung, yang dilakul(an pembina terhadap anak asuhnya. Sebagaimana dilakukan orangtua di rumah. Pada mu/anya Kiai Miskun du/u berpegang teguh agar santri tidak diasuh o/eh kakak kelasnya. Tetapi o/eh pembina yang bertugas mengganti peran orang tua di pondok pesantren, pembina yang ditunjuk dan sampai sekarang tidak pemah berubah yaitu po/a asuh secara langsung, karena harapan pondok pembina dapat berperan sebagai pengganti orang tua. Sedangkan bertingkat arlinyapembina memiliki bawahan-bawahan, dalam ha/ ini kakak ke/as mereka atau
para senior. Mereka/ah yang membina santri."
Dalam membina ES menganggap santri sebagai anak sendiri meskipun tetap saja berbeda. Bila anak sendiri ES mengaku dapat bebas mernarahi dan tidak ada beban terhadap siapapun atau apapun. Tetapi jika terhadap anak asuh rasa sayangnya sama terhadap anak-anak yang lain, hanya dalam pemberian
hukumannya mesti mempertimbangkan banyak hal. Karena bukan anak kita sendiri, sehingga bila nanti ketika dimarahi santri melapor kepada orang tuanya bagaimana pertanggung jawabanya.
"Anak sendiri bebas ngemarah-marahin ga ada beban untuk clpa-apa. istilahnya milik kita sendiri jadi ka/au punya sa/ah dimarah-marahin juga ga apa-apa. Tapi
kalau anak asuh kasih sayangnya
sama
ke anak-anak yang le1in. Tetapi dalampemberian hukuman mesti memperlimbangkan banyak ha/ karena bukan anak kita sendiri, karena anak orang. Anak sendiri di ceprat-cepret lidak ada yang marah. Tapi kalau anak orang, nanti dia bilang sama orang tuanya bagaimana?
Tapi ka/au kasih sayang
sama."
hanya dapat membina santri sesuai dengan kemampuannya saja. Dalam
mempersiapkan pembinaan ES menyebutkan ada persiapan yang khusus,
karena setiap menghadapi tahun ajaran baru selalu diadakan rapat pembina satu
hari menjelang libur. Dalam rapat tersebut ditetapkan pembini:1-pembina yang
akan menangani kelas berapa saja di tahun ajaran baru. Jadi IES dapat
mempersiapkan dan merancang akan melakukan apa saja nainti, juga mencari
tahu latar belakang santri yang akan diasuhnya kemudian hari. Selain itu
sebagian besar santri sudah ES kenal, karena ES lebih banyak ditunjuk untuk
membina kelas-kelas besar. ES mengaku dalam menghadapi kelas besar bila
diajak curhat atau bicara, santri-santri dapat mengerti. Bila melanggar peraturan
tinggal ditanya balik saja apakah hal itu baik untuk dirinya atau tidak. Lain halnya
terhadap kelas kecil, harus banyak bicara dan memanjakan. ES mengaku
kesulitan jika ditunjuk untuk menangani kelas kecil karena dirinya merasa kurang
dapat bersabar.
''Tidak cukup. Rata-rata 40 orang ibu membina. Selama 24 jam bisa membina
paling sekemampuan ibu saja. Biasanya ibu membina anak besar. Tidak pemah
kelas 1 (satu) karena dari segi kesabaran ibu kurang. Kan harus banyak
ngomong. Harus manjain kurang bisa. Ka/au ditunjuk ke/as besar tidak begitu
kesulitan. Diajak curhat atau bicara mereka bisa nyambung, kalau melanggar
tinggal dibalikan saja, bagus ga buat kamu. Ka/au di ke/as 2 (dua) dan 3(tiga)
pemah membina cuma satu tahun. Ka/au anak kecil paling nangis, nah ibu
kurang bisa sabar"
Bagi ES hal yang paling berpengaruh dalam pembinaan adalah perhatian yang
dilakukan oleh pembina kepada santri. Oleh karena itu pembina memiliki
peranan yang sangat berpengaruh terhadap pola asuh. Akan berbeda seorang
memperhatikan perkembangan anak didiknya, para santri akan membuat ulah
untuk diperhatikan. Pada dasamya santri suka dan senang diperhatikan atau
diasuh. Bila perhatian bisa maksimal maka pengaruhnya akani baik. Kalau
pengasuhannya tidak maksimal akan kurang baik. Selain itu faktor bawaan dari
rumah, faktor sosial cara santri bergaul dengan teman-temannya, dan
kemampuan anak untuk belajar disekolah merupakan hal-hal yang mesti
diperhatikan akan berpengaruh terhadap anak.
uTentu berbeda, ada anak yang diasuh dengan perhatian yani1 cukup dengan
anak yang dibiarkan sa1a. Jangan jauh-jauh, coba
saja
lihat dalam keluarga.
Beda anak yang ke/uarganya broken home dengan keluarga yang perhatiannya
cukup atau baik baik.sama juga dengan po/a asuh di DA, kalau pembinanya
acuh tidak memperhatikan perkembangan anak-anak didiknya/asuhnya. Mereka
akan membuat ulah untuk pengen diperhatikan. Pada dasamya mereka pengen
dilihat, senang diperhatikan atau diasuh. Yang paling berpengaruh adafah
perhatian, kalau perhatian
bisa
maksimal maka pengaruhnya ,akan baik. Ka/au
pengasuhannya tidak maksimal akan kurang baik. Dan faktor-faktor lain yang
berpengaruh diantaranya faktor bawaan dari rumah, faktor sosial setelah mereka
beradaptasidengan teman-temannya. Atau kemampuan anak· untuk bersekolah.
Sekolah itu sendiri. Menghadapi masalah itu sendiri, dan masl'h banyak lagi
ha/-ha/ yang berpengaruh."
" Pengasuhan
dengan mental sebisa mungkin diatasi oleh ES dengan hati-hati. Akan digali
permasalahannya sampai sejauh apa namun tidak tenalu dalam upaya yang
dilakukan pondok untuk mengatasinya. Sebagai contoh santri yang sudah
merasa tidak betah tinggal di pondok, ES akan memberikan perhatian lebih.
Tetapi hat tersebut tidak ditampakkan di depan teman-temannya yang lain,
seperti diajak ke rumah ES lalu diajak ngobrol. Jika ES sakit, tugas digantikan
oleh kepala sekolah, atau memanggil santri yang telah dianggap dewasa untuk
membimbing teman-temannya. Pada saat ES sakit ada perasaan pada dirinya
ingin dijenguk oleh santri namun tidak memaksakan kepada santri untuk datang.
"Bila santri sakit ibu dilihat saja dulu. Sakit ringan, sedang atau berat. Ka/au
panas saja, dilongok dahu/u, dikompres, di/akukan sendiri sebisa mungkin, jika
agak sedang dibawa ke dokter. Ka/au berat seperti kejang jam 1
ma/am
(kolik)
dan setelah diberi obat tetap saja, lalu dibawa ke rumah sakit (terus dibawa ke
orang tuanya). Terhadap tugasnya dilihat dulu, jika ringan disuruh istirahat, kalau
kelihatan udah agak baik si/ahkan dilakukan lag; tugasnya. Ka/au sakit mental ga
terlalu dalam, ya sejauh mana dikoreknya, ka/au bisa diatasi ya diatasi.
Contohnya ada anak yang ngerasa intimidasi anak yang lain. Ditangani setahun
febih dengan ekstra hati-hati, afhamdulillah sekarang berubah sudah lebih baik.
Apalagi mengasuh anak itu lagi. Sekarang dia menyadari kesalahannya bahwa
hat itu tidak baik (sikapnya selama ini). Ada anak yang punya .keluhan hanya
untuk diperhatikan saja"
Santri yang dibina oleh ES tidak terlihat tegang atau takut ketil<a ES mengontrol
ke asrama atau bertemu di jalan. Namun bila ada santri yang l:>erbuat tidak benar
akan malu dengan sendirinya. Karena berdasarkan pengakua11 ES, beliau ingin
membina hubungan yang harmonis, sehingga bila terjadi sesuatu ES akan
sebis