KADAR NH
3DAN DEBU SERTA PRODUKTIVITAS AYAM
PETELUR PADA SUHU BERBEDA DENGAN SISTEM
LITTER DAN CAGE DI KANDANG TERTUTUP
ANNISA KUMALA SUWANDASARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
ABSTRAK
ANNISA KUMALA SUWANDASARI. Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup. Dibimbing oleh RUDI AFNAN dan MARIA ULFAH.
Kualitas udara merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas unggas. Kualitas udara dapat ditentukan oleh kadar gas seperti ammonia
(NH3) dan debu yang dapat memberi dampak negatif. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari pengaturan suhu dan sistem perkandangan terhadap kualitas udara berupa kadar NH3, dan debu serta produktivitas ayam ras petelur. Ternak yang digunakan adalah ayam ras petelur strain Lohmann sebanyak 72 ekor yang berumur 336 hari. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan pengaturan suhu, sistem perkandangan, dan interaksi keduanya tidak mempengaruhi rataan kadar amonia,dan PM2.5 serta performa produksi ayam ras petelur kecuali feed intake, sedangkan sistem kandang mampu mempengaruhi kadar TSP. Pemeliharaan dengan sistem cage menunjukkan performa yang cenderung lebih baik dan efisien.
Kata kunci: amonia, cage, litter, PM2.5, TSP
ABSTRACT
ANNISA KUMALA SUWANDASARI. Level of NH3, Dust, and Layers Productivity at Different Temperatures based on Litter and Cage System in Closed House. Supervised by RUDI AFNAN and MARIA ULFAH.
Airquality by the presence of gases i.e. ammonia (NH3) and dust can influence the growth of poultry. This research aimed to study the effects of temperature and pen systems to the air quality such as ammonia concentration, dust, and layers productivity. A total of 72 layers of Lohmann strain (age 336 days) were used in this research. Data were analyzed byANOVA. This study showed that temperature, pen systems, and their interaction had no effect on ammonia, and PM2.5 as well as laying productivity except for feed intake. Pen systems affected the concentration TSP. Cage system resulted better productive performance.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
KADAR NH
3DAN DEBU SERTA PRODUKTIVITAS AYAM
PETELUR PADA SUHU BERBEDA DENGAN SISTEM
LITTER DAN CAGE DI KANDANG TERTUTUP
ANNISA KUMALA SUWANDASARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup Nama : Annisa Kumala Suwandasari
NIM : D14100014
Disetujui oleh
Dr Rudi Afnan,SPtMScAgr Pembimbing I
Maria Ulfah,SPtMScAgr Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan oleh-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang diambil ialah ayam petelur, dengan judul Kadar NH3 dan Debu serta Produktivitas Ayam Petelur pada Suhu yang Berbeda dengan Sistem Litter dan Cage di Kandang Tertutup.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MscAgr dan Ibu Maria Ulfah, SPt MscAgr selaku pembimbing yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan tugas akhir. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Hafidz Ilman Albana, tim penelitian (Tamaella, Yunita, Heni), Laras, Ria, Anita, Ishfi, dan seluruh mahasiswa IPTP 47. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Ruang Lingkup Penelitian 1
METODE 2
Waktu dan Tempat Penelitian 2
Bahan 2
Alat 3
Prosedur 3
Persiapan Kandang 3
Pemeliharaan 3
Pengukuran Mikroklimat 3
Pengambilan Sampel 4 Sampel NH3 4
Sampel Debu (TSP dan PM2.5) 4
Analisis Sampel 4
Analisis Kadar NH3 4
Analisis Kadar Debu (TSP dan PM2.5) 5
Rancangan 5 Peubah 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Kondisi Umum Kandang 6 Kualitas Udara 6 Performa Produksi Ayam Petelur 9 Hubungan Antara Kualitas Udara dan Performa Produksi Ayam Petelur 16
SIMPULAN DAN SARAN 17
DAFTAR PUSTAKA 17
LAMPIRAN 20
DAFTAR TABEL
1 Komposisi nutrien ransum komersial 3
2 Rataan suhu kandang pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage
pada suhu yang berbeda 6
3 Rataan produksi amonia (ppm) pada pemeliharaan dengan sistem litter
dan cage pada suhu yang berbeda 6
4 Rataan produksi PM2.5 (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem
litter dan cage pada suhu yang berbeda 8
5 Rataan produksi TSP pada (µg per Nm3) pemeliharaan dengan sistem
litter dan cage pada suhu yang berbeda 9 6 Rataan feed intake (g-1ekor-1 minggu-1) pada pemeliharaan dengan
sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda 10 7 Rataan FCR pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada
suhu yang berbeda 11
8 Rataan hen day (%) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage
pada suhu yang berbeda 12
9 Rataan massa telur (g-1minggu-1) pada pemeliharaan dengan sistem
litterdan cage pada suhu yang berbeda 14
10 Rataan bobot telur (g-1butir-1) pada pemeliharaan dengan sistem litter
dan cage pada suhu yang berbeda 15
DAFTAR GAMBAR
1 Grafik kadar amonia pada sistem (a) litterdan (b) cage minggu ke-2,
ke-4, dan ke-6 7
2 Grafik kadar PM2.5 pada sistem (a) litter dan (b) cage minggu ke-2,
ke-4, dan ke-6 8
3 Grafik kualitas udara pada sistem (a) litterdan (b) cage minggu ke-2,
ke-4, dan ke-6 9
4 Grafik feed intake pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap minggu 11 5 Grafik FCR pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap minggu 11 6 Grafik hen day pada sistem (a) litterdan (b) cage setiap hari 12 7 Grafik pengaruh suhu harian terhadap hen day pada sistem (a) litter
18 oC, (b) litter 30 oC dan (c) cage 18 oC dan (d) cage 30 oC 13 8 Grafik massa telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu 14 9 Grafik bobot telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu 15 10 Diagram hubungan kondisi mikroklimat, sistem kandang,
performa layer, dan konsumsi pakan serta kondisi manur
terhadap produksi NH3, PM2.5, TSP 16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil ANOVA untuk produksi amonia 18
2 Hasil ANOVA untuk produksi PM2.5 18
4 Hasil ANOVA untuk hen day 18
5 Hasil ANOVA untuk bobot telur 18
6 Hasil ANOVA untuk massa telur 19
7 Hasil ANOVA untuk FCR 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kualitas udara merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ternak termasuk ayam petelur. Kualitas udara dapat dipengaruhi oleh emisi gas dan partikel debu yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap produktivitas ayam. Emisi gas beracun dapat dihasilkan yang berasal dari kotoran ternak yang menumpuk bersama bahan litter, air, maupun pakan yang tercecer yang akan mengganggu kesehatan ternak maupun manusia. Selain itu, bila melewati ambang batas yang mampu ditoleransi, kotoran juga menjadi media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme dan parasit. Salah satu emisi gas beracun yang dimaksud adalah amonia (NH3). Amonia mampu menurunkan rataan pertumbuhan dan mengurangi efisiensi pakan, merusak saluran pernafasan (Chronic Respiratory Disease) dan meningkatkan virus ND (New Castle Disease) (Rachmawati 2000). Kadar debu yang terdapat di kandang unggas umumnya berasal dari pakan. Semakin banyaknya pakan yang tercecer, semakin meningkat total partikel debu dan emisi debu. Debu memiliki dampak negatif pada kesehatan seperti gangguan pernafasan (Casey et al. 2006).
Kandang dengan alas litter menstimulasi terjadinya persaingan untuk mendapatkan pakan, persaingan sosial dan kanibalisme, peck order tinggi yang mengakibatkan produksi telur di kandang litter lebih rendah dari pada kandang cage (Rasyaf 1994). Kondisi lingkungan yang baik sangat diperlukan oleh ayam untuk menghasilkan produktivitas optimal. Penelitian mengenai kadar NH3, dan debu total suspended particulate (TSP), produksi debu partikulat (PM 2.5) pada kandang closed house dengan suhu yang berbeda untuk ayam petelur di Indonesia diperlukan untuk mempelajari produktivitas optimal ayam petelur pada suhu dan sistem perkandangan yang berbeda.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh dari pengaturan suhu dan sistem perkandangan terhadap kualitas udara berupa kadar NH3, dan debu serta produktivitas ayam petelur.
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Oktober 2013 selama 6 minggu (42 hari) di Laboratorium Lapang Kandang B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kadar NH3 dan partikel debu dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Jl. Agatis, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.
Bahan Ternak
Ternak yang digunakan adalah ayam ras petelur strain Lohmann sebanyak 72 ekor yang berumur 336 hari dengan bobot badan rata-rata 1.9 kg. Ayam yang digunakan merupakan ayam yang dipelihara pada sistem litter di Laboratorium Lapang Kandang B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ransum
Ransum yang digunakan selama penelitian yaitu ransum komersial produksi PT. Gold Coin Indonesia dengan komposisi seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrien ransum komersial
Zat nutrisi Persentase (%)
Kadar air Maks 13
Protein kasar Min 17
Serat kasar Maks 6
Lemak Min 3
Abu Maks 14
Fosfor 0.6-1.0
Kalsium 3.0-4.2
Sumber: Label Pakan PT Gold Coin Indonesia
Alas
Alas untuk litter yang digunakan yaitu sekam padi dengan ketebalan 3 cm dari dasar lantai. Cage menggunakan bilah bambu yang bercelah.
Pengujian NH3, TSP, dan PM2.5
3 Alat
Kandang
Ayam dipelihara dalam sistem kandang litter dan cage yang berada di dalam closed house. Kandang closed house untuk kandang litter sebanyak 2 kandang, dan untuk kandang cage juga sebanyak 2 kandang.
Kandang litter yang digunakan dalam satu closed house sebanyak 3 petak kandang, masing-masing berisi 6 ekor ayam petelur sebagai satu satuan unit percobaan. Alas yang digunakan adalah sekam.
Kandang cage yang digunakan dalam satu closed house sebanyak 18 petak kandang, masing-masing berisi satu ekor ayam petelur sebagai satuan unit percobaan. Tinggi cage dari lantai sekitar 60 cm, dan alas yang digunakan sebagai penampung kotoran adalah terpal.
Perlengkapan Kandang
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah tempat pakan, tempat minum, pembatas, lampu, ember, termometer, bambu, jaring, AC dan heater (pengatur suhu ruang), blower, anemometer (pengukur kecepatan angin), serta timbangan.
Pengujian NH3, TSP, dan PM2.5
Alat yang digunakan untuk pengujian NH3 adalah impinger, spektrofotometer, pipet, tabung reaksi, dan rak tabung reaksi. Alat yang digunakan untuk pengujian TSP dan PM 2.5 adalah timbangan, desikator, dan holder.
Prosedur Persiapan Kandang
Kandang closed house dibersihkan dari kotoran makro. Setelah itu dilakukan pengapuran closed house. Setelah closed house kering, kandang cage dimasukkan ke dalam closed house yang menggunakan AC dan heater, yang sebelumnya telah didisinfeksi. Kandang litterdibuat 3 petak pada 1 closed house yang menggunakan AC dan heater lalu didisinfeksi. Sistem litter menggunakan sekam padi sebagai alas hingga mencapai ketebalan 3 cm dari lantai kandang. Tempat pakan dan minum dicuci terlebih dahulu sebelum dipasang.
Enam ekor ayam dimasukkan ke dalam tiap satu kandang litter sedangkan 1 ekor ayam dimasukkan ke dalam tiap 1 sekat kandang cage. Adaptasi dilakukan selama 10 hari disertai pemberian Vitachick melalui air minum. Pencahayaan yang diberikan untuk ayam berasal dari lampu yang berdaya 40 watt.
Pemeliharaan
4
Pengukuran Mikroklimat
Setiap pukul 09.00 WIB AC dan heater dihidupkan, dan dimatikan pada pukul 15.00 WIB. Pengukuran kecepatan angin dan suhu serta kelembaban udara dilakukan setiap hari di dalam kandang sebanyak tiga kali saat perlakuan, yaitu pukul 09.30, 12.00, dan 15.00 WIB.
Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer yang dilakukan pada ketinggian sekitar 1.5 m di atas permukaan tanah. Pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan termometer bola basah bola kering yang dilakukan pada ketinggian 1.5 m di atas permukaan tanah. Suhu dan kelembaban udara harian rata-rata dihitung dengan persamaan berikut (Tjasyono 2004) :
T rata-rata harian = (2 x T9) + T12 + T15 4
Keterangan :
T rata-rata harian = suhu harian rata-rata
T9, T12, T15 = pengamatan suhu udara pada pukul 09.30, 12.00, dan 15.00 WIB
RH rata-rata harian = (2 x RH9) + RH12 + RH15 4
Keterangan :
RH rata-rata harian = kelembaban harian rata-rata
RH9, RH12, RH15 = pengamatan kelembaban udara pada pukul 09.30, 12.00, dan 15.00 WIB
Pengambilan Sampel
Sampel NH3. Pengambilan sampel udara untuk analisis kadar NH3 dilakukan melalui penangkapan udara di dalam kandang menggunakanimpinger dengan bantuan absorban amonia sebanyak 10 ml. Prinsip dari metode ini adalah menyerap udara terkontaminasi ke dalam larutan penyerap (absorban amonia) dalam tabung yang berada di impinger. Sampel udara tersebut kemudian dianalisis di laboratorium untuk dapat diketahui kadar NH3yang ada di dalam kandang.
Pengambilan sampel udara di dalam kandang dilakukan di satu titik, yaitu tepat di tengah kandang. Alat pengambil sampel udara ditempatkan pada ketinggian 1.5 m - 2.0 m dari permukaan tanah (Badan Standarisasi Nasional 2005a). Proses pengambilan sampel udara dilakukan selama satu jam.
Sampel Debu (TSP dan PM2.5). Pengambilan sampel udara untuk analisis kadar TSP dan PM2.5 dilakukan melalui penangkapan debu di dalam kandang menggunakan holder dengan bantuan kertas saring yang sebelumnya telah dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam dan ditimbang bobot awalnya (Badan Standarisasi Nasional 2004). Prinsip dari metode ini adalah menyerap debu ke dalam kertas saring yang berada di holder. Sampel udara tersebut kemudian dianalisis di laboratorium untuk dapat diketahui kadar TSP dan PM2.5yang ada di dalam kandang.
Pengambilan sampel debu di dalam kandang dilakukan di satu titik, yaitu tepat di tengah kandang. Alat pengambil sampel udara ditempatkan pada ketinggian 1.5 m
5 Analisis sampel
Analisis Kadar NH3. Kadar NH3 kandang diukur dengan metode Phenate atau Indophenol menggunakan spektrofotometer (Badan Standarisasi Nasional 2005b). Prinsip dari metode ini adalah amonia yang diserap dari udara oleh absorban amonia, direaksikan dengan 1 tetes MnSO4, 0.5 mL Clorox, 0,6 mL Phenate dalam suasana basa, membentuk senyawa komplek indophenol yang berwarna biru setelah dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu, tabung ditutup dan dikocok untuk menghomogenkan dan didiamkan selama ±15 menit. Setelah itu, dilakukan pengujian dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 630 nm (Badan Standarisasi Nasional 2005b). Konsentrasi NH3 dalam udara dihitung dengan rumus sebagai berikut :
C = (a/V) x 1000 Keterangan :
C = Konsentrasi NH3 di udara (µg/m3)
A = Jumlah NH3 dalam contoh uji berdasarkan kurva standar (µg) 1000 = Konversi L ke m3
Analisis Kadar Debu (TSP dan PM2.5). Kadar debu kandang diukur dengan metode penimbangan dan konversi satuan. Prinsip dari metode ini adalah penimbangan bobot awal dan bobot akhir kertas saring setelah pengambilan sampel debu yang diserap dari udara oleh kertas filter selama 1 jam. Selisih yang didapatkan dari bobot akhir dan bobot awal kertas saring, dikonversi ke dalam µg per Nm2.
Rancangan
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Fakorial 2x2 dengan perlakuan suhu kandang (18 oC dan 30 oC) dan sistem kandang (litter dan cage). Model Matematis rancangan percobaan yang digunakan mengikuti Gasperz (1995) sebagai berikut:
Yij = µ + αi + βj+(αβ)ij + Ɛijk Keterangan :
Yij = Kadar amonia udara, debu total, debu PM 2,5, produkivitas ayam petelur karena pengaruh perlakuan suhu ke-i dan perlakuan sistem kandang ke-j pada ulangan
ke-k
µ = Rataan kadar amonia udara, debu TSP, debu PM 2.5, produkivitas ayam petelur
αi = Pengaruh taraf ke-i (i = 18 oC, 30 oC) pada faktor suhu
βj =Pengaruh taraf ke-j (j = Litter, Cage) pada faktor sistem kandang
(αβ)ij = Pengaruh taraf ke-i dari faktor suhu dan taraf ke-j dari faktor sistem kandang
Ɛijk = Pengaruh galat percobaan dari satuan percobaan ke-k dengan kombinasi perlakuan ij. Ɛij
6 Peubah
Peubah yang diamati adalah kadar amonia, debu TSP, debu PM2.5, dan produktivitas ayam petelur meliputi feed intake, produksi telur, massa telur, bobot telur, hen day, Feed Conversion Ratio (FCR), dan mortalitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Kandang
Kandang yang digunakan adalah closed house dengan sistem litter dan cage dengan masing-masing kandang bersuhu18 oC dan 30 oC. Alas kandang yang digunakan pada sistem litter adalah sekam sedangkan pada cage adalah bambu bercelah. Suhu kandang perlakuan 18 oC diatur menggunakan AC sedangkan suhu kandang perlakuan 30 oC menggunakan heater. Penggunaan closed house pada penelitian ini menghasilkan kecepatan angin yang konstan dan sama tiap kandang yaitu 0.1 ms-1.
Tabel 2 Rataan suhu kandang pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Perlakuan Kandang
Perlakuan
Suhu Rataan Suhu Rataan Kelembaban
Cage 18 berbeda disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan produksi amonia (ppm) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 0.269±0.152 1.180±1.255 0.724±0.704
30 oC 1.123±1.131 1.059±1.084 1.091±1.095
Rataan 0.696±0.642 1.120±1.170
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
7 Kondisi kotoran ayam dengan kelembaban tinggi sangat mendukung perkembangan bakteri yang merombak asam urat menjadi amonia.
Rataan kadar amonia pada sistem cage suhu 18 oC lebih tinggi dibandingkan sistem cage dengan suhu 30 oC. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh feed intake pada suhu 18 o C lebih tinggi (Tabel 4) yang dapat menghasilkan feses lebih banyak sehingga produksi amonia yang berasal dari feses menjadi lebih tinggi. Namun, perbedaan ini masih dalam standar normal kadar amonia yaitu 5 ppm (Mulyantini 2010).
Menurut Mulyantini (2010), konsentrasi amonia dapat meningkat dengan adanya kelembaban, litter basah, suhu tinggi, kandang yang terlalu padat dan kurangnya ventilasi dalam kandang. Semakin basah kotoran, maka semakin besar peluang terbentuknya gas oleh dekomposisi bakteri, terutama NH3. Ventilasi yang buruk, suhu udara yang ekstrim, dan isi kandang yang terlalu padat meningkatkan kadar amonia dalam kandang (Ibrahim dan Allaily 2012). Berdasarkan pernyataan di atas, faktor yang kemungkinan berpengaruh dalam penelitian ini adalah kelembaban, dan suhu yang tinggi.
Gambar 1 menunjukkan kadar amonia pada sistem litter dan cage selama pemeliharaan ayam. Penurunan kadar amonia tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dengan suhu 18 oC, sistem cage dengan suhu 18 oC dan 30 oC, sedangkan peningkatan kadar amonia tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dengan suhu 30 oC. Kadar amonia selama pemeliharaan ayam cenderung fluktuatif serta dipengaruhi oleh suhu dan sistem kandang .
Gambar 1 Grafik kadar amonia pada sistem (a) litter dan (b)cageminggu ke-2, ke-4, danke-6
Sumber pencemaran yang berasal dari kotoran ayam berkaitan dengan kandungan nitrogen yang terdapat pada kotoran melalui proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit pada saat terjadinya penumpukan kotoran yang menimbulkan bau (Rohaeni 2005). Selama proses dekomposisi kotoran ayam akan timbul bau yang berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi. Amonia merupakan salah satu komponen penyebab terbesar timbulnya bau (NRC 2003). Menurut Xin et al. (2011), tingkat amonia di dalam ruangan sangat dipengaruhi oleh perkandangan dan faktor manajemen, seperti tipe perkandangan (litter, cage), kondisi manure atau litter (tingkat kelembaban) dan ventilasi.
8
Kadar Partikel Debu (PM2.5)
Hasil pengukuran kadar PM2.5 pada suhu dan sistem kandang yang berbeda disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan produksi PM2.5 (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 0.163±0.040 0.123±0.006 0.143±0.023
30 oC 0.163±0.038 0.153±0.029 0.158±0.034
Rataan 0.163±0.039 0.138±0.018
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
Tabel 4 menunjukkan rataan produksi PM2.5 tidak dipengaruhi oleh suhu dan sistem kandang, serta tidak ada interaksi keduanya, namun tetap terlihat adanya perbedaan nilai rataan. Rataan kadar PM2.5 yang terendah adalah pada sistem cage dengan suhu 18 oC, dan yang tertinggi adalah pada sistem litter dengan suhu 30 oC. Hal ini terjadi karena tingkat aktivitas yang dilakukan ayam pada sistem litter lebih tinggi karena memiliki ruang yang lebih luas dibanding ayam pada sistem cage, serta didukung oleh penggunaan sekam pada sistem litter yang meningkatkan kadar PM2.5.
Kadar PM2.5 pada sistem litter dan cage selama pemeliharaan ayam ditunjukkan pada Gambar 2. Penurunan kadar PM2.5 tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dan cage dengan suhu 18 oC, sedangkan peningkatan kadar PM2.5 tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dan cage dengan suhu 30 oC. Kadar PM2.5 selama pemeliharaan ayam cenderung dipengaruhi oleh suhu, suhu tinggi mampu meningkatkan kadar PM2.5.
Gambar 2 Grafik kadar PM2.5 pada sistem (a) litter dan (b) cage minggu ke-2, ke-4, dan ke-6
Bahan partikulat dengan diameter 2.5 μm (PM2.5) merupakan partikulat yang
dapat masuk ke sistem pernapasan. Bahan partikulat yang lebih kecil, lebih berbahaya terhadap manusia dan hewan karena dapat masuk lebih dalam pada sistem pernafasan manusia atau hewan (paru-paru) (Li et al. 2008).
9 Kadar TSP
Hasil pengukuran kadar TSP pada suhu dan sistem kandang yang berbeda disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan produksi TSP (µg per Nm3) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Keterangan : Angka pada baris yang sama diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)
Sistem kandang berpengaruh terhadap rataan produksi TSP (P<0.05). Rataan produksi TSP terendah adalah pada sistem cage (18 oC dan 30 oC), dan tertinggi adalah pada sistem litter (18 oC dan 30 oC). Hal ini disebabkan oleh penggunaan alas yang berbeda yaitu sekam dan bambu yang bercelah, serta pengaruh pakan yang tercecer yang dapat menjadi sumber TSP. Penggunaan sekam dan aktivitas ayam disekitarnya dapat mempengaruhi produksi TSP karena aktivitas ayam yang lebih tinggi pada litter, serta sekam memiliki kandungan debu yang akan menjadi sumber TSP. Batas bahaya total debu adalah 5 000-10 000µgm-3 (Mulyantini 2010).
Kadar TSP pada sistem litter dan cage selama pemeliharaan ayam dapat dilihat pada Gambar 3. Penurunan kadar TSP tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dan cage dengan suhu 18 oC, sedangkan peningkatan kadar TSP tiap 2 minggu terjadi pada sistem litter dan cage dengan suhu 30 oC. Kadar TSP selama pemeliharaan ayam cenderung dipengaruhi oleh suhu, suhu tinggi mampu meningkatkan kadar TSP.
Gambar 3 Grafik kualitas udara pada sistem (a) litterdan (b) cage minggu ke-2, ke-4, danke-6
Data Tabel 2, 3 dan 4 menunjukkan tidak adanya interaksi suhu dan sistem perkandangan yang mempengaruhi rataan produksi amonia, PM2.5, dan TSP. Perlakuan suhu 18 oC pada sistem cage lebih baik dari perlakuan sistem cage dengan suhu 30 oC berdasarkan produksi debu PM2.5 dan TSP.
10
Performa Produksi Ayam Petelur
Feed Intake
Hasil rataan feed intake pada sistem kandang litter dan cage pada suhu yang berbeda disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Rataan feed intake (g-1ekor-1 minggu-1) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang
Litter Cage
18 oC 840.00±0.00a 830.80±8.81a
30 oC 840.00±0.00a 818.01±8.46b
Keterangan : Angka pada kolom dan baris yang sama diikuti dengan huruf yang berbedamenunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Tabel 6 menunjukkan adanya interaksi suhu dan sistem kandang terhadap feed intake. Ayam yang dipelihara pada sistem cage dengan suhu 18 oC mengonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan ayam yang dipelihara pada sistem cage dengan suhu 30 oC. Feed intake dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu dapat menurunkan feed intake. Hal ini sesuai dengan Setyono et al. (2013) yang menyatakan kenaikan suhu kandang dapat menyebabkan nafsu makan berkurang dan ayam akan mengonsumsi air lebih banyak untuk membantu menyesuaikan suhu tubuhnya. Rasio konsumsi air dengan pakan pada suhu yang nyaman (15-27 oC) adalah 1.8-2:1, sedangkan pada suhu diatas 30 oC dapat mencapai 5:1 (Lohmann Tierzucht 2013).
Feed intake yang tinggi juga terjadi pada ayam yang dipelihara pada sistem litter dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada sistem cage. Hal ini disebabkan oleh adanya pakan yang tercecer di litteryang tidak terhitung sebagai sisa pakan. Selain itu, aktivitas ayam yang tinggi pada sistem litter mampu meningkatkan konsumsi pakan. Semakin tinggi tingkat aktivitas ayam, maka energi yang dibutuhkan semakin banyak (Sugino 2002). Oleh karena itu, ayam yang dipelihara pada sistem litterdengan suhu 30 oC mengonsumsi pakan yang lebih banyak pakan dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada sistem cage dengan suhu 30 oC.
11
Gambar 4 Grafik feed intake pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu FCR
Hasil rataan FCR pada sistem kandang dan suhu yang berbeda disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Rataan FCR pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 2.22±0.16 2.17±0.18 2.20±0.17
30 oC 2.24±0.22 2.43±0.47 2.34±0.34
Rataan 2.23±0.19 2.30±0.32
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
Suhu, sistem kandang, serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi FCR. Namun terdapat perbedaan nilai rataan yaitu angka rataan yang terkecil pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan efisien dalam konversi pakan menjadi telur, karena memiliki nilai konversi yang rendah. Semakin rendah nilai FCR, berarti semakin efisien ayam dalam mengubah pakan mejadi telur (Sugino 2002).
Grafik FCR pada sistem litter dan cage selama pemeliharaan ayam dapat ditunjukkan pada Gambar 5. Grafik FCR pada sistem litter dan cage menunjukkan FCR ternak tiap minggu cenderung menurun baik pada suhu 18 oC maupun 30 oC. Hal ini menunjukkan FCR yang baik selama pemeliharaan ayam.
12
Hen Day
Hasil rataan hen day (%) pada sistem dan suhu yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Rataan hen day (%) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 89.15±10.48 89.29±11.47 89.22±10.98
30 oC 86.45±14.00 87.70±12.90 87.08±13.45
Rataan 87.80±12.24 88.50±12.18
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
Produksi telur tidak dipengaruhi suhu, sistem kandang, serta interaksi keduanya (P>0.05). Namun terdapat perbedaan nilai rataan yaitu angka rataan yang tertinggi terdapat pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Hal ini sejalan dengan Talukder et al .(2010), yaitu suhu yang dapat ditoleransi oleh ayam petelur adalah 15-27 °C. Ayam petelur yang dipelihara pada suhu tinggi (>27 °C ) akan mengalami penurunan konsumsi pakan (Talukder et al. 2010) yang akan menyebabkan malnutrisi pada ayam (Kucuk, 2008; Sharma et al. 2009), sehingga menyebabkan penurunan produksi telur seperti tingkat produksi telur (Mashaly et al. 2004; Rozenboim et al. 2007). Produksi telur menurun 2.99% setiap kenaikan 1 oC (Mashaly et al. 2004). Berdasarkan penelitian ini, terjadi penurunan produksi telur sebanyak 0.225% pada sistem litter dan 0.133% pada sistem cage setiap kenaikan suhu 1 oC.
Grafik hen day pada sistem litter dan cage setiap hari ditampilkan pada Gambar 6. Grafik hen day pada sistem litterdan cage cenderung meningkat pada suhu 18 oC maupun 30 oC.
13 pada pada sistem litter dengan suhu 30 oC.
14
Gambar 7 Grafik pengaruh suhu harian terhadap hen day pada sistem (a) litter 18 oC (b) litter 30 oC dan (c) cage 18 oC dan (d) cage 30 oC
Massa Telur
Rataan hen day pada sistem kandang litter dan cage pada suhu yang berbeda disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Rataan massa telur (g -1 minggu -1) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 382.45±26.89 387.63±38.84 385.04±32.86 30 oC 380.64±36.31 371.69±45.46 376.16±40.88 Rataan 381.54±31.60 379.66±42.15
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
Tidak terdapat pengaruh suhu, sistem kandang, serta interaksi keduanya terhadap produksi telur (P>0.05). Namun terdapat perbedaan nilai rataan yang menunjukkan angka rataan yang tertinggi terdapat pada sistem cage dengan suhu 18 o
C.
Massa telur pada sistem litter dan cage setiap hari ditunjukkan pada Gambar 7. Grafik massa telur pada sistem litter dan cage menunjukkan peningkatan massa telur yang dihasilkan tiap minggu pada suhu 18 oC dan 30 oC. Hal ini menunjukkan tidak ada pengaruh suhu terhadap massa telur selama pemeliharaan ayam.
15 Bobot Telur
Hasil rataan bobot telur pada sistem kandang dan suhu yang berbeda disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan bobot telur(g-1 butir-1) pada pemeliharaan dengan sistem litter dan cage pada suhu yang berbeda
Suhu Sistem Kandang Rataan
Litter Cage
18 oC 61.50 ± 2.58 61.61±1.74 61.56±2.16
30 oC 53.25 ± 16.51 60.44±0.72 56.85±8.62
Rataan 57.38 ± 9.55 61.03±1.23 59.20±5.39
Keterangan : Tidak ada pengaruh dari suhu, dan sistem kandang, serta interaksi keduanya
Pengaruh suhu, sistem kandang, serta interaksi keduanya tidak terlihat pada produksi telur (P>0.05). Namun terdapat perbedaan nilai rataan yang menunjukkan angka rataan yang tertinggi yaitu pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Suhu kandang yang tinggi akan menyebabkan penurunan konsumsi pakan (Talukder et al. 2010) sehingga terjadi malnutrisi pada ayam (Kucuk, 2008; Sharma et al. 2009) yang menyebabkan terjadinya penurunan bobot telur (Scott dan Blanave 1988).
Gambar 8 menunjukkan bobot telur pada sistem litter dan cage setiap hari. Grafik sistem litter menunjukkan rataan bobot telur yang dihasilkan tiap minggu pada suhu 18 oC cenderung meningkat, sedangkan pada suhu 30 oC menurun. Grafik sistem cage menunjukkan rataan bobot telur tiap minggu pada suhu 18 oC dan 30 oC cenderung meningkat. Bobot telur selama pemeliharaan ayam tidak dipengaruhi oleh suhu dan sistem kandang serta interaksi keduanya.
Gambar 9 Grafik bobot telur pada sistem (a) litter dan (b) cage setiap minggu
Data Tabel 6, 7, 8, 9 dan 10 menunjukkan adanya pengaruh suhu, sistem kandang, dan interaksi keduanya hanya terhadap feed intake. Feed intake yang tinggi terjadi pada pemeliharaan ayam pada sistem litter baik pada suhu 18 oC maupun 30 oC, dan pada sistem cage dengan suhu 18 oC. Walaupun berdasarkan uji statistik hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR tidak terdapat pengaruh yang nyata, namun bila dilihat berdasarkan rataan menunjukkan perlakuan pada sistem cage dengan suhu 18 oC lebih baik dari perlakuan lainnya.
16
Hubungan Antara Kualitas Udara dan Performa Produksi Ayam Petelur Kualitas udara dipengaruhi oleh faktor mikroklimat yang selanjutnya dapat mempengaruhi performa produksi ayam petelur. Faktor mikroklimat tersebut diantaranya kelembaban udara, suhu lingkungan, dan kecepatan angin. Namun penggunaan closed housepada penelitian ini menghasilkan kecepatan angin yang konstan dan sama tiap kandang yaitu 0.1 ms-1.
Adanya perbedaan suhu, kelembaban udara, dan sistem perkandangan mempengaruhi pembentukan NH3, PM2.5, dan TSP yang akan mempengaruhi performa layer seperti feed intake, hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR serta manur yang dihasilkan (Gambar 9). Perlakuan suhu dan sistem kandang, serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar amonia dan PM2.5 dalam kandang, sedangkan kadar TSP dapat dipengaruhi oleh sistem kandang yang digunakan. Litter menghasilkan kadar TSP yang lebih tinggi dibandingkan cage.
Gambar 10 Diagram hubungan kondisi mikroklimat, sistem kandang, performa layer, dan konsumsi pakan serta kondisi manur terhadap produksi NH3, PM2.5, TSP
Sistem Kandang
(suhu, kelembaban, kecepatan angin)
Litter (18oC , 30 oC)
Cage (18oC , 30 oC)
Feed Intake, FCR, Hen Day, Massa Telur, Bobot Telur Kualitas
dan Kuantitas
Pakan
TSP NH3 PM2.5 Manure
17 Suhu tinggi mengakibatkan feed intake yang rendah dan sistem kandang litter menyebabkan feed intake tinggi karena adanya pakan yang tercecer yang tak terhitung sebagai sisa pakan. Selain itu terdapat interaksi antara suhu dan sistem perkandangan yaitu pada cage dengan suhu 30 oC, mengakibatkan feed intake yang rendah diakibatkan oleh suhu tinggi (>27 oC) serta penggunaan cage yang membuat pakan tidak mudah tercecer karena tumpah. Perlakuan suhu dan sistem kandang tidak berpengaruh nyata terhadap hen day, massa telur, bobot telur, dan FCR.
Suhu tinggi pada kandang dapat menurunkan bobot organ limfoid seperti bursa fabricius, limfa, dan timus yang akan mempengaruhi produksi antibodi yang dihasilkan oleh limfosit seperti gama globulin yang menjadi lebih rendah (Siegel 1995). Selain itu, kadar amonia dapat meningkat karena suhu tinggi. Kombinasi ini dapat mempermudah ayam terserang penyakit yang selanjutnya dapat menyebabkan nafsu makan berkurang, konsumsi pakan menurun, dan konsumsi air meningkat. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan penurunan produksi telur. Seperti yang dapat dilihat pada tabel hasil kualitas udara dan performa ayam petelur, menunjukkan pemeliharaan pada cage dengan suhu 18 oC menghasilkan kualitas udara dan performa yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Interaksi suhu dan sistem perkandangan tidak mempengaruhi rataan produksi amonia, PM2.5, TSP dan produktivitas kecuali feed intake. Nilai rataan pada sistem cage dengan suhu 18 oC cenderung lebih baik dari perlakuan lainnya.
Saran
Pemberian air minum ad libitum menggunakan nipple agar tidak mempengaruhi kualitas udara karena feses menjadi lembab akibat air yang menetes ke feses serta pengukuran konsumsi air minum.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Pengukuran Kadar Debu Total di Udara di Tempat Kerja. SNI 17-7058-2004. Badan Standarisasi Nasional (ID): Jakarta.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2005a. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh Uji Pemantauan Kualitas Udara Ambien. SNI 19-7119.6-2005. Badan Standarisasi Nasional (ID): Jakarta.
18
Spektrofotometer. SNI 19-7119.1-2005. Badan Standarisasi Nasional (ID): Jakarta.
Casey KD, Bicudo R, Schimidt DR, Singh A, Gay SW, Gates RS, Jacobson LD, Haff SJ. 2006. Air quality and emission from livestock and poultry production waste management system in animal agriculture and the environment. National Centre for Manure and Animal Waste Management White Paper. Pp 1-40. bird activity, ventilation rate and humidity on PM10 concentration and emission rate of a turkey barn. Proc 8th Int. Livestock Environment Symposium (BR), Iguassu Falls, Brazil. R. R Stowell, E. F. Wheeler, and H. Xin, ed. American Society of Agricultural and Biological Engineers, St Joseph, MI.
Lohmann T. 2008. Lohmann Brown-Lite Layers Management Guide Cage Housing. Germany (DE): Lohmann Tierzucht.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH. 2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens.Poult. Sci. 83:889–894.
Mulyantini NGA. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas.Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Pr.
[NRC] National Research Council. 2003. Air Emmision from Animal Feeding Operation. Washington DC (US): National Academy Pr.
Rachmawati S. 2000. Upaya pengelolaan lingkungan usaha peternakan ayam. WARTAZOA, Vol. 9 No. 2.
Rasyaf M. 1994. Makanan Ayam Broiler. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Rohaeni ES. 2005. Dampak pencemaran lingkungan dan upaya mengatasinya. Poultry Indonesia. Maret 2005. 58-61.
Rosenboim I, Tako E, Gal-Garber O, Proudman JA Uni Z. 2007. The effect of heat stress on ovarian function of laying hens. Poultry Sci. 86: 1760-1765. Scott TA, Blanave D. 1988. Comparison between concentrated complete diets and
self-selection for feeding sexually maturing pullets at hot and cold temperatures. British Poultry Sci. 29:613-625
Setyono DJ, M Ulfah, S Suharti. 2013. Sukses Meningkatkan Produksi Ayam Petelur. Jakarta(ID) : Penebar Swadaya.
Sharma RK, Ravikanth K, Maini S, Rekhe DS, Rastogi SK. 2009. Influence of calcium and phosphorus supplements with synergitic herbs on eggshell quality in late layers. Veterinary World, Vol.2 (6): 231-233.
Siegel HS. 1995. Stress, strain and resistence. British. Poultry Sci. 36: 3-22.
19 Sugino S. 2002. Performans ayam merawang dengan frekuensi pemberian pakan berbeda pada kandangberalas litter dan kawat (cage). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Talukder S, Islam T, Sarker S, Islam MM. 2010. Effects of environment on layer performance. J. Bangladesh Agril. Univ. 8(2): 253–258.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID) : Penerbit ITB.
20
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil ANOVA untuk produksi Amonia
Sumber Df JK KT Fhit P
Suhu 1 0.001541 0.001541 0.23 0.645
Sistem Kandang 1 0.003201 0.003201 0.48 0.510 Suhu*Sistem Kandang 1 0.004563 0.004563 0.68 0.434
Galat 8 0.053854 0.006732
Total 11 0.063160
Lampiran 2 Hasil ANOVA untuk produksi PM2.5
Sumber Df JK KT Fhit P
Suhu 1 0.0006750 0.0006750 0.69 0.431
Sistem Kandang 1 0.0018750 0.0018750 1.91 0.205 Suhu*Sistem Kandang 1 0.0006750 0.0006750 0.69 0.431
Galat 8 0.0078667 0.0009833
Total 11 0.0110917
Lampiran 3 Hasil ANOVA untuk produksi TSP
Sumber Df JK KT Fhit P
Suhu 1 0.00 0.00 0.00 1.00
Sistem Kandang 1 1 587.00 1 587.00 72.14 0.00 Suhu*Sistem Kandang 1 0.00 0.00 0.00 1.00
Galat 8 176.00 22.00
Total 11 1 763.00
Lampiran 4 Hasil ANOVA untuk Hen day
Sumber Df JK KT Fhit P
Suhu 1 190.8 192.2 1.28 0.260
Sistem Kandang 1 19.7 19.9 0.13 0.717 Suhu*Sistem Kandang 1 13.0 13.0 0.09 0.769
Galat 163 24 563.5 150.7
Total 166 24 787.0
Lampiran 5 Hasil ANOVA untuk bobot telur
Sumber Df JK KT Fhit P
Suhu 1 133.10 133.10 1.88 0.185
Sistem Kandang 1 79.99 79.99 1.13 0.300 Suhu*Sistem Kandang 1 75.14 75.14 1.06 0.315
Galat 20 1 414.24 70.1
21 Lampiran 6 Hasil ANOVA untuk massa telur
Sumber df JK KT Fhit P
Suhu 1 473 473 0.34 0.568
Sistem Kandang 1 21 21 0.02 0.903
Suhu*Sistem Kandang 1 299 299 0.21 0.649
Galat 20 28 084 1 404
Total 23 28 878
Lampiran 7 Hasil ANOVA untuk FCR
Sumber df JK KT Fhit P
Suhu 1 0.11706 0.11706 1.43 0.245
Sistem Kandang 1 0.02925 0.02925 0.36 0.556 Suhu*Sistem Kandang 1 0.08915 0.08915 1.09 0.309
Galat 20 1.63323 0.08166
Total 23 1.86868
Lampiran 8 Hasil ANOVA untuk feed intake
Sumber df JK KT Fhit P
Suhu 1 245.48 245.48 6.58 0.018
Sistem Kandang 1 1 459.12 1 459.12 39.12 0.000 Suhu*Sistem Kandang 1 245.48 245.48 6.58 0.018
Galat 20 745.97 37.30
Total 23 2 696.05
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10 Oktober 1992 dari pasangan Bapak Gumelar dan Ibu Iting Kurniasih. Penulis adalah anak ke-dua dari 3 bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SDN Sutawinangun II pada tahun 1998-2004 dan melanjutkan pendidikan sekolah menengah di SMP N 1 Ciamis pada tahun 2004-2007. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah Kedawung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.