• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN

MOST PROBABLE PRODUCING ABILITY

(MPPA)

DAN GEN FSH SUB UNIT BETA PADA SAPI FH

DI BBPTU BATURRADEN

IYEP KOMALA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Iyep Komala

(4)

RINGKASAN

IYEP KOMALA. Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden Dibimbing oleh IIS ARIFIANTINI, CECE SUMANTRI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Rendahnya produksi susu di Indonesia disebabkan sedikitnya populasi sapi perah akibat buruknya performa reproduksi, penyebaran populasi yang tidak merata, rendahnya produksi susu dan semakin menurunya minat generasi muda untuk beternak sapi perah. Kondisi tersebut menyebabkan impor mencapai 80%. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menyeleksi, mempertahankan dan mengembangbiakan betina-betina unggul. Tujuan penelitian ini yaitu mengevaluasi kemampuan genetik sapi FH betina berdasarkan perhitungan Most Probable Producing Ability (MPPA), mengidentifikasi keragaman gen FSH sub-unit beta terhadap kinerja reproduksi dan potensi produksi susu sapi FH sebagai penanda kualitas reproduksi dan produksi dan mengidentifikikasi hubungan produksi susu berdasarkan grade MPPA dan gen FSH sub-unit beta dengan performa reproduksi dan MPPA dengan Body Condition Score (BCS).

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu: tahap pertama berupa koleksi data primer dan sekunder (1) data reproduksi yaitu masa kosong (days open) dan

Conception Rate (CR) serta data BCS dari 202 ekor sapi FH selama 5 laktasi, (2) data produksi susu, yaitu data produksi susu harian dari 213 ekor FH selama 5 laktasi. Penelitian tahap dua yaitu analisis molekuler gen FSH sub-unit beta dihubungkan dengan sifat fenotipik yang diukur yaitu reproduksi dan produksi susu. Identifikasi keragaman gen FSH sub-unit beta dilakukan dengan metode

polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism

(PCR-RFLP). Produksi susu dianalisis dengan menghuting formula repitabilitas (r), heritabilitas (h) dan MPPA. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (GLM), korelasi dan regresi.

Hasil penelitian menunjukkan nilai ripitabilitas produksi susu tergolong tinggi yaitu 0.84, sedangkan nilai heritabilitas tergolong sedang yaitu 0.4. Rataan produksi susu berdasarkan MPPA didapatkan empat grade yaitu A, B, C dan D yang memiliki produksi susu perlaktasi masing-masing 6 611.2 + 428.6 kg (23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%), 4 650.4 + 251.5 kg (27.70%) dan 3 529.5 + 291.3 kg (5.16%). Produktivitas sapi FH berdasarkan MPPA dapat digambarkan dari total produksi susu rata-rata perlaktasi selama 5 laktasi yaitu berkisar antara 3151.2 kg (grade D) sampai dengan rata-rata sebesar 7701.3 kg (grade A), dengan nilai rata-rata 5443.23 kg. Nilai rata-rata produksi susu tersebut masih pada kisaran yang baik. Sapi dengan grade A merupakan sapi yang dapat dijadikan indukan yang baik untuk dipertahankan, supaya bisa melahirkan keturunan yang memiliki produksi susu dengan grade A juga.

(5)

terseleksi, oleh karena itu gen FSH sub-unit beta dalam populasi ini tidak bisa dipakai sebagai marka gen untuk seleksi peningkatan produksi susu.

Performa reproduksi dapat di nilai dengan nilai masa kosong dan CR.

Grade produksi susu memiliki hubungan yang nyata dengan masa kosong dan CR (P<0.05), yaitu dengan semakin baik grade produksi susu, masa kosong semakin pendek dan nilai CR semakin tinggi. Sapi FH dengan grade A dan B masing-masing memiliki masa kosong dalam kisaran normal yaitu selama 75.35+8.54 hari dan 111.59+14.77hari. Sedangkan sapi dengan grade C memiliki masa kosong melebihi kisaran normal yaitu selama 143.14+9.02hari. Sapi FH dengan grade A dan B masing masing memiliki nilai CR yang baik yaitu sebesar 75.68% dan 60.87%. Sedangkan dengan sapi FH dengan grade C dinilai kurang baik karena memiliki nilai CR sebesar 10.45%.

Hasil penelitian menunjukkan nilai BCS pada masing-masing grade A, B dan C yaitu 3.1+0.22, 2.9+0.15 dan 2.7+0.22. Produksi susu memiliki hubungan yang nyata (P<0.05) dan berkorelasi positif dengan nilai BCS. Semakin tinggi produksi susu, maka semakin baik nilai BCS. Sapi grade A memiliki nilai BCS yang ideal, sapi grade B memiliki nilai BCS minimal yang direkomendasikan, sedangkan sapi grade C memiliki BCS di bawah rekomendasi. Sapi grade A dengan BCS 3.1 dan B dengan BCS 2.9 memiliki masa kosong yang pendek dan CR yang tinggi menunjukkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan kemampuannya mengkonsumi pakan. Berbeda dengan sapi grade C dengan BCS 2.7, karena mengalami keseimbangan energi negatif sehingga masa kosong menjadi lebih panjang dan CR yang rendah.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara BCS dengan produksi susu yaitu dengan nilai r=0.68. Hubungan antara BCS dengan produksi susu dinyatakan dalam persamaan regresi MPPA (Kg) = - 59 + 1991 BCS, artinya dengan kenaikan satu satuan BCS akan meningkatkan produksi susu 1991 kg /laktasi. Dengan demikian BCS memiliki pengaruh yang yang cukup besar terhadap produksi susu.

(6)

SUMMARY

IYEP KOMALA. Reproduction Performance Based on Most Probable Producing Ability (MPPA) and FSH Sub-Unit Beta Gene of FH Dairy Cattle in BBPTU Baturraden. Supervised by R IIS ARIFIANTINI, CECE SUMANTRI and LIGAYA ITA TUMBELAKA.

The low of milk production in Indonesia was caused by the least population of dairy cows due to poor reproductive performance, inequitable of population distribution, low milk production and decline of interest in young generation to raise dairy cows. This condition caused import reached the number of 80%. Efforts to do that were by selecting, maintaining and breeding cows high quality. The aim of this study was to evaluate the genetic potential based on Most Probable Producing Ability (MPPA), to identify the FSH sub-unit beta gene polymorphisms on the reproduction performance and the potential of milk production as reproduction and production quality marker, to identify the potential effect of milk production based on MPPA, FSH sub-unit beta gen with reproduction performance and MPPA with Body Condition Score (BCS).

This study was divided into two stages: the first was the collection of primary and secondary data (1) reproduction data was days open and Conception Rate (CR) as well as data BCS of 202 cows FH for 5 lactation, (2) milk production data, which was the daily milk production data of 213 FH tail for 5 lactation. The second was molecular analysis of FSH sub-unit beta gene related with phenotypic that measured it was reproduction and milk production. The identification of FSH sub-unit beta gene polymorphisms were conducted by polymerase chain reaction (PCR) and restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP) method. Milk production data were analyzed with repeatability formulation (r), heritability (h) and MPPA. The data were also analyzed using ANOVA (GLM), correlation and regretion

The result showed repeatability value of milk production was high about 0.84, while the heritability value was medium about 0.4. The average milk yield based MPPA got four grades of A, B, C and D which had a milk production per lactation each 6 611.2 + 428.6 kg (23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%), 4 650.4 + 251.5 kg (27.70%) and 3 529.5 + 291.3 kg (5:16%). Productivity FH cows based on MPPA can be drawn from the total milk production average every lactation for 5 lactation with ranged between 3151.2 kg (grade D) until 7701.3 kg (grade A), with the average 5443.23 kg. The average value of milk production was still in a good range. Cows with grade A can be used as a good mother to be maintained, in order to give birth an offspring that had grade A milk production as well.

(7)

Reproductive performance could be assessed by the value of the days open and CR. Grade milk production had a significant relation with days open and CR (P <0.05), with the higher milk production identicated shorter days open, higher CR. FH cows with grade A and B had days open in the normal range each 75.35 + 8.54 and 111.59 + 14.77 days. While cow with grade C had days open that exceeded the normal range as 143.14 + 9.02 days. FH cow with grade A and B had a good CR value each 75.68% and 60.87%. While the FH cows with grade C was rated poorly because it had a CR value of 10.45%.

The result showed the value of each BCS at grade A, B and C was 3.1 + 0.22, 2.9 + 0.15 and 2.7 + 0.22. Milk production had a significant relation (P<0.05) and positively correlated with the value of BCS. The higher milk production identicated value of BCS better. Cows with grade A had an ideal BCS value, cows with grade B had minimize recommended BCS value and cows with grade C had below recommendation BCS value. Cows with grade A had BCS 3.1 and cows with grade B had BCS 2.9 had short days open and a high CR, showed good adaptation to the environment and its ability to consume feed. Unlike the cows with grade C had BCS 2.7, due to a negative energy balance so that the days open became longer and CR was lower.

Result of correlation analysis showed that there was a close relation between BCS with milk production with value of r = 0.68. The relation between BCS at milk production was expressed in the regression equation MPPA (Kg) = - 59 + 1991 BCS, meaning that with the rise of one unit BCS will be increased milk production 1991 kg/lactation. Thus the BCS had a big influence on milk production.

This research concluded that reproductive performance was strongly influenced by the production of milk based on MPPA grade and BCS. The higher milk production identicated shorter days open, higher CR and better BCS. Follicle stimulating hormone (FSH) sub-unit beta gene could not be used as genetic reproduction marker.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PERFORMA REPRODUKSI BERDASARKAN

MOST PROBABLE PRODUCING ABILITY

(MPPA)

DAN GEN FSH SUB UNIT BETA PADA SAPI FH

DI BBPTU BATURRADEN

IYEP KOMALA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden

Nama : Iyep Komala NIM : B352110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Dra R Iis Arifiantini, MSi Ketua

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc Anggota

Dr drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biologi Reproduksi

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: ( 8 Juli 2015)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah. Performa Reproduksi Berdasarkan Most Probable Producing Ability (MPPA) dan Gen FSH Sub Unit Beta pada Sapi FH di BBPTU Baturraden.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Dra Iis Arifiantini, MSi, Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc dan Dr drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberikan saran. Ucapkan terimakasih juga saya sampaikan kepada penguji luar Prof Dr drh Bambang Purwantara, MSc yang telah memperkaya tulisan ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi dan Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, PhD selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Biologi Reproduksi, serta kepada seluruh Staf Pengajar dan Staf Kependidikan Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh staf BBPTU Baturraden dan Staf Laboratorium Genetika Molekuler Fakultas Peternakan IPB, yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Reny Astiyarini Umar yang selalu mendukung dalam keadaan apapun, juga untuk almarhum ayah dan ibu tercinta serta keluarga yang telah mendukung baik moril maupun materil H Ronny Umar, Dr Ir Amri Djahi, MSc, Dra Masniari Poeloengan, MS. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada staf Divisi Perah Departemen IPTP Dr Ir Bagus P Purwanto, MAgrSc, Dr Ir Ir Afton Atabany, MSi, Ir Andi Murfi, MSi, Ir Lucia Cyrilla ENSD, MSi dan Sukmawijawa, AMd, serta pada seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan Departemen IPTP Fakultas Peternakan IPB atas segala dukungannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 3

2 METODE 3

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Metode Penelitian 3

Analisis Data 4

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Parameter Genetik Produksi Susu 6

Ripitabilias 6

Heritabilitas 6

Pendugaan Nilai MPPA 6

Pendugaan Nilai Probable Breeding Value (PBV) 7

Deteksi Keragaman Gen FSH Sub-Unit Beta 9

Kondisi Iklim Mikro Sapi FH di BBPTU Batrurraden 9 Hubungan Antara Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA

dengan Performa Reproduksi 12

Hubungan Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA dengan

Body condition score (BCS) 15

5 SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 17

(14)

DAFTAR TABEL

1 Sekuens Primer yang digunakan untuk PCR - RFLP 4

2 Rataan MPPA Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade 7 3 Rataan PBV Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade 7 4 Hubungan Antara Grade MPPA dengan Performa Reproduksi pada

Sapi FH 12

5 Hubungan MPPA dengan BCS 15

DAFTAR GAMBAR

1 Rataan produksi susu laktasi 1-5 pada sapi perah di BBPTU Baturraden 8 2 Produksi susu sapi FH tertinggi pada setiap laktasi 8 3 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta produk PCR

yang dipotong oleh enzim Pst1 9

4 Temperature Humidity Index (THI) pada sapi perah 11

(15)

PENDAHULUAN

Latar Bekalang

Populasi sapi perah pada tahun 2015 di Indonesia menurut Kementrian Pertanian (2015) tercatat sebanyak 525.171 ekor dengan produksi susu 805.363 ton dan laju pertumbuhan populasi mencapai 4.51% per tahun. Menurut Kementrian Pertanian (2014) ketergantungan Indonesia akan susu impor sangat tinggi. Konsumsi susu Indonesia saat ini mencapai 3 juta ton per tahun, sebanyak 20% kebutuhan susu nasional dipenuhi oleh peternak Indonesia dan sebanyak 80% diperoleh dari impor.

Secara geografis penyebaran sapi perah tidak merata di Indonesia, sekitar 98.9% dari populasi terkonsentrasi di Pulau Jawa (Kementrian Pertanian 2015), apabila diasumsikan sapi perah yang laktasi sebanyak 50% dari populasi, maka rataan produksi susu masih tergolong rendah yaitu sebesar 10.05 kg/ekor/hari. Populasi dan produktivitas sapi perah tersebut tidak sebanding dengan tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia yang berjumlah 253 juta jiwa. Kebutuhan akan susu dalam negeri diproyeksikan akan meningkat selaras dengan pertambahan penduduk dan tingkat kesadaran gizi masyarakat. Apabila keadaan produksi susu nasional dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi perah tersebut, maka ketersediaan susu untuk memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia semakin kurang, sehingga ketergantungan susu impor semakin besar.

Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan meningkatkan produktivitas dan kapasitas reproduksi sapi perah betina yang ada di Indonesia, antara lain melalui perbaikan mutu genetik, seleksi terhadap sifat produksi dan reproduksi. Reproduksi dan produksi susu sapi perah merupakan sifat yang dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga ekspresi tersebut merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan dan interaksi kedua faktor tersebut. Faktor genetik merupakan hal yang lebih penting dan memperoleh perhatian pada program pemuliaan ternak karena unsur ini akan diwariskan tetua kepada keturunannya (Falconer dan Mackay 1996).

Performa reproduksi betina menurut Hidayat et al. (2002) dapat dievaluasi berdasarkan beberapa indikator reproduksi seperti: (1) umur sapi dara saat berahi, kawin, bunting dan beranak pertama, (2) kawin pertama setelah beranak, (3) masa kosong (days open), (4) angka konsepsi / conception rate (CR), (5) jumlah kawin untuk mencapai satu kebuntingan / service per conception (S/C), (6) jarak antara kelahiran (calving interval) dan (7) angka abortus, angka infertilitas dan angka gangguan reproduksi. Indikator reproduksi yang berhubungan langsung dengan produksi susu adalah jarak antara kelahiran dan jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan.

Produktivitas sapi perah betina dapat dievaluasi dengan mengkaji parameter-parameter genetik yang digunakan sebagai indikator produktivitas ternak tersebut. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengevaluasi kemampuan produksi susu adalah

(16)

2

menjamin bahwa sapi tersebut unggul dalam hal reproduksi. Pemanfaatan teknologi biologi molekuler sebagai penanda seleksi akan sangat membantu dalam proses seleksi, karena prosesnya cepat, biaya yang lebih murah dengan tingkat keakuratan tinggi.

Penelitian tentang biologi molekuler untuk seleksi pada ternak betina telah banyak dilakukan. Penelitian menggunakan biologi molekuler tersebut sudah dilakukan oleh Mannaertz et al. (1994) dengan menggunakan FSH sub-unit beta sebagai kandidat gen reproduksi, karena berfungsi dalam pematangan folikel dari folikel kecil dan sedang menjadi folikel yang besar sampai terjadinya ovulasi. Xiaopeng et al. (2010) melaporkan bahwa keragaman gen FSH sub-unit beta berpengaruh terhadap litter size

atau jumlah anak sekelahiran pada domba.

Gen FSH sub-unit beta telah dieksplorasi selama 30 tahun terakhir dan diketahui bahwa FSH terletak di kromosom 15 mempunyai 2 heterodimer yaitu alfa (FSH-α) dan beta (FSH-β) disebut juga FSHB. Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon glikoprotein yang disekresi di kelenjar dan berfungsi mengontrol aktivitas reproduksi pada mamalia (Grigorova et al. 2007) terutama proses spermatogenesis pada jantan (Dai

et al. 2009) dan laju ovulasi (ovulation rate) pada betina (Lenville et al. 2001). Perkembangan awal folikel dan pembentukan folikel antrum dibutuhkan kinerja FSH. Hormon FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen dan menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan cara menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum, tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan.

Di Indonesia penelitian mengenai seleksi pada ternak jantan telah dilakukan oleh Ishak et al. (2012) menggunakan gen FSH sub-unit beta terhadap kualitas sperma, dan diketahui terdapat keragaman atau polimorfik gen FSH sub-unit beta pada sperma sapi

Frisian Holstein (FH), Brahman, Simmental dan Limousin. Genotipe AB mempunyai persentase abnormalitas sperma lebih kecil dibandingkan dengan genotipe BB dan AA. Hasil genotipe pada sapi Bali (Bos javanicus) menunjukkan tidak ada varian (monomorfik), sehingga menjadi salah satu bukti bahwa sapi-sapi lokal telah beradaptasi dengan lingkungan, sehingga setting gen terutama yang berhubungan dengan produksi dan reproduksi sangat stabil. Grigorova et al. (2007) menyatakan bahwa gen FSH sub-unit beta pada mamalia mempunyai struktur dan fungsi untuk menyeimbangkan seleksi demikian pula pada sapi, sehingga stabilitas runutan nukleotida pada kondisi sudah beradaptasi sangat kuat dan jarang mengalami mutasi.

Peningkatan produksi susu tinggi yang sangat intensif pada seleksi sapi FH akan berdampak pada penurunan tingkat fertilitas, seperti tidak teraturnya siklus estrus, peningkatan kematian embrio dan infeksi uterus (Dobson et al. 2007). Mengingat eratnya hubungan antara produksi dan reproduksi, maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari sejauh mana pengaruh seleksi peningkatan produksi susu melalui MPPA dan aplikasi gen FSH terhadap performa reproduksi sapi FH untuk kondisi Indonesia.

(17)

3 Kerangka Pemikiran

Rendahnya produksi susu di Indonesia disebabkan oleh sedikitnya populasi sapi perah akibat buruknya performa reproduksi, penyebaran populasi yang tidak merata, rendahnya produksi susu dan semakin menurunya minat generasi muda untuk beternak sapi perah. Kondisi tersebut menyebabkan impor mencapai 80%. Peningkatan produksi susu dapat dilakukan dengan memperbaiki performa reproduksi dan meningkatkan populasi sapi perah. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menyeleksi dan mempertahankan betina-betina unggul. Penelitian ini dilakukan dalam upaya untuk menyeleksi sapi perah laktasi yang memiliki performa reproduksi yang baik dengan produksi susu yang optimal. Seleksi yang dilakukan yaitu dengan mengevaluasi kemampuan genetik dengan MPPA, mengidentifikasi secara molekuler menggunakan gen FSH sub-unit beta, sehingga diharapkan didapatkan betina unggul secara reproduksi dan produksi susu.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi kemampuan genetik sapi FH betina berdasarkan perhitungan MPPA. 2. Mengidentifikasi keragaman gen FSH sub-unit beta terhadap kinerja reproduksi dan

potensi produksi susu sapi FH sebagai penanda kualitas reproduksi dan produksi. 3. Mengidentifikikasi hubungan produksi susu berdasarkan grade MPPA dan gen FSH

sub-unit beta dengan performa reproduksi dan MPPA dengan BCS. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dasar untuk membantu menentukan seleksi sapi FH betina yang akan digunakan di Balai Pembibitan atau di masyarakat dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi dan produksi susu.

Hipotesis

Terdapat hubungan antara produksi susu berdasarkan grade MPPA dengan performa reproduksi sapi FH.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai dengan Juli 2013 di BBPTU Baturraden Jawa Tengah dan Laboratorium Genetika Molekuler Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.

Metode Penelitian

(18)

4

yaitu analisis molekuler gen FSH sub-unit beta dihubungkan dengan sifat fenotipik yang diukur yaitu reproduksi dan produksi susu.

Koleksi Sampel Darah

Sampel darah sebanyak 5 ml diambil dari 187 ekor sapi FH betina laktasi melalui vena jungularis dengan venojet tanpa heparin. Sampel ditambah etanol absolut 1 : 1, dan disimpan pada suhu ruang, kemudian dilanjutkan ekstraksi DNA.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dari sampel darah menggunakan metode phenol-chloroform (Sambrook et al. 1989) yang dimodifikasi oleh Andreas et al. (2010).

Amplifikasi Ruas Gen FSH Sub-Unit Beta

Amplifikasi kedua gen dilakukan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Pereaksi yang digunakan untuk kedua gen target adalah 2 μl sampel DNA, 0.1 µl primer (10 pmol), 0.1 µl dNTPs (200 μM), 0.25 MgCl2 (1mM), dan 0.1 unit dreamTaqTM DNA polymerase (Fermentas®). Amplifikasi in vitro dengan mesin

thermal cycler dilakukan pada suhu denaturasi awal 95oC selama 5 menit, 35 siklus yang terdiri dari denaturasi 95oC selama 45 detik, annealing 63oC (FSH sub-unit beta) selama 45 detik, ekstensi 72oC selama 1 menit dan ekstensiakhir 72oC selama 5 menit. Penentuan Genotipe dengan Pendekatan PCR-RFLP

Genotipe dilakukan dengan pendekatan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) yang divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0.5 TBE (tris borat EDTA) ditambah ethidium bromida (EtBr), diaplikasikan pada tegangan 100 Volt selama 40 menit. Hasil visualisasi menggunakan UV transluminator dan difoto menggunakan gel documentation system (Alpha imager®). Enzim restriksi yang digunakan pada gen FSH sub-unit beta adalah Pst1.

Tabel 1 Sekuens primer yang digunakan untuk PCR-RFLP

Primer Sequence Suhu Annealing

FSH sub-unit beta F : 5`CTTCCAGACTACTGTAACTCATC‘3 63oC R : 5`GTAGGCAGTCAAAGCATCCG‘3

An = suhu annealing (Dai et al. 2009)

Analisis Data 1. Analisis Data Reproduksi

Data reproduksi (masa kosong dan conception rate) dianalisis menggunakan analisis deskriptif yaitu dengan menghitung rataan dan simpangan baku populasi (Steel dan Torrie 1997).

Rataan populasi dihitung menggunakan rumus:

=

∑ Keterangan

 : rata-rata populasi Xi : data ke-i

(19)

5 Simpangan baku populasi dihitung menggunakan rumus:

=

Keterangan:

 : simpangan baku populasi  : rata-rata populasi

Xi : data ke-i

N : ukuran Populasi

2. Analisis Data Produksi Susu

Produksi susu perlaktasi dari masing-masing individu kemudian distandardisasi menggunakan faktor koreksi lama laktasi 305 hari dan umur dewasa induk berdasarkan

Dairy Herd Improvement Association-United States Department of Agriculture (DHIA-USDA). Setelah data produksi susu terstandardisasi, nilai ripitabilitas dan MPPA dihitung. Nilai pendugaan MPPA sapi betina yang telah didapat kemudian diurutkan berdasarkan peringkat nilai MPPA tersebut.

A. Ripitabilitas (r)

Perhitungan ripitabilitas produksi susu menggunakan metode sidik ragam satu arah dengan jumlah pengukuran per individu yang tidak sama (Becker 1975) dengan model statistik sebagai berikut:

Ykm= µ + αk + εkm

Keterangan:

Ykm : nilai produksi susu individu ke-k dari catatan pengukuran ke-m

µ : rataan produksi susu populasi αk : pengaruh individu ke-i

εkm : deviasi karena pengaruh lingkungan yang tidak terkontrol pada individu ke-i dari catatan pengukuran ke-k

B. Heritabilitas (h2)

Pendugaan nilai heritabilitas dihitung berdasarkan metode korelasi saudara tiri (paternal halfsib correlation) dengan jumlah anak per betina yang tidak sama (unbalance design) menurut Becker (1975). Model statisti sebagai berikut:

Y

ik

= µ + α

i

+ ε

ik

Keterangan:

Yik : nilai produksi susu individu (anak) ke-k dari betina ke-i

 : rataan produksi susu populasi αi : pengaruh betina ke-i

(20)

6

C. Pendugaan Nilai Most Probable Producing Ability (MPPA)

Perhitungan MPPA dapat dilakukan berdasarkan pendekatan Warwick (1983) dengan rumus:

Keterangan:

P0 : rataan produksi susu populasi Px : rataan produksi susu individu n : jumlah catatan produksi r : ripitabilitas

3. Analisis Data Hubungan MPPA dengan Performa Reproduksi

Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (General Linier Model), regresi dan korelasi, kemudian data yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Tukey (Steel dan Torrie 1997). Analisis data menggunakan Minitab 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Genetik Produksi Susu

Parameter genetik yang diamati adalah heritabilitas (h2) dan ripitabilitas (r). Heritabilitas didasarkan pada metode korelasi saudara tiri sebapak (paternal halfsib correlation), sedangkan ripitabilitas dihitung berdasarkan analisis sidik ragam klasifikasi satu arah. Kedua parameter genetik ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai MPPA dan Probable Breeding Value (PBV) dari masing-masing ternak. Nilai heritabilitas yang didapat yaitu 0.4 dan dan ripitabilitasnya 0.84.

Ripitabilitas

Nilai ripitabilitas produksi susu di BBPTU Baturraden tergolong tinggi yaitu 0.84. Nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Pallawaruka (1999) yaitu ripitabilitas tergolong ke dalam kategori tinggi jika nilainya lebih besar dari 0.4. Nilai tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan genetik yang tinggi antara produksi susu pertama dengan produksi susu berikutnya, pada setiap individu.

Heritabilitas

Nilai heritabilitas dari penelitian ini adalah 0.4. Menurut Noor (2010) nilai heritabilitas kisaran 0.2-0.4 tergolong sedang. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pewarisan sifat produksi susu pada keturunannya tergolong sedang.

Pendugaan Nilai MPPA

Most Probable Producing Ability (MPPA) merupakan suatu taksiran yang mendekati kemampuan produksi secara riil dari seekor ternak betina yang dinyatakan sebagai simpangan terhadap rata-rata kelompok. Daya produksi susu yang diketahui dari perhitungan MPPA merupakan pendugaan produksi susu pada laktasi berikutnya.

(21)

7 Ternak yang memiliki daya produksi yang tinggi akan mempunyai peringkat MPPA yang tinggi dibandingkan dengan rataan populasi.

Besarnya nilai MPPA produksi susu diduga karena tingginya rata-rata produksi susu populasi dan nilai ripitabilitas. Semakin tinggi produksi susu individu dan populasi serta nilai ripitabilitas maka semakin tinggi nilai MPPA yang diperoleh. Individu dengan nilai MPPA produksi susu yang tinggi diprediksi akan menghasilkan keturunan dengan produksi susu yang tinggi pula (Warwick et al. 1990). Hasil penghitungan MPPA dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rataan MPPA Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade

No Grade MPPa Rataan MPPA (kg)b Jumlah Sapi(ekor) Persentase (%) 1 kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0.05).

Pada Tabel 2, sapi dengan grade A, B, C dan D memiliki produksi susu perlaktasi masing-masing 6 611.2 + 428.6 kg (23.94%), 5 533.1 + 306.1 kg (43.19%), 4 650.4 + 251.5 kg (27.70%) dan 3 529.5 + 291.3 kg (5.16%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada sekitar 32.86% sapi memiliki produksi susu di bawah standar. Pada tabel 2 juga menunjukkan antar grade memiliki perbedaan yang nyata (P<0.05). Sapi dengan grade A merupakan sapi yang dapat dijadikan indukan yang baik untuk dipertahankan, supaya bisa melahirkan keturunan yang memiliki produksi susu dengan

grade A juga.

Pendugaan Nilai Probable Breeding Value (PBV)

Dugaan nilai pemuliaan atau Probable Breeding Value (PBV) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak dalam menghasilkan susu. Nilai PBV dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan PBV Produksi Susu Sapi Berdasarkan Grade

No Grade Probable Producing Ability.bAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0.05), PBV: Probable Breeding Value.

(22)

8 Baturraden mengalami kenaikan dari laktasi 1 sampai laktasi ke-4, kemudian menurun pada laktasi ke -5, dengan masing-masing rataan produksi susu dari laktasi 1 sampai 5 berturut-turut yaitu 15.43 kg, 19.31 kg, 20.16 kg, 22.65 kg dan 19.45 kg (Gambar 1). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Tyler dan Ensminger (2006), bahwa sapi perah betina umumnya mencapai puncak produksi pada umur 6-7 tahun atau dapat dikatakan pada periode laktasi ketiga dan keempat, setelah itu terjadi penurunan produksi susu sekitar 6% setiap bulannya sampai masa afkir sapi tersebut.

Laktasi Ke –

Gambar 1 Rataan produksi susu laktasi 1-5 pada sapi perah di BBPTU Baturraden Seekor ternak selalu mendapat peringkat yang sama berdasarkan nilai MPPA dan PBV. Hal ini menunjukkan bahwa ternak yang mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi juga akan memiliki kemampuan pewarisan sifat yang tinggi. Penelitian mengenai kemampuan produksi tertaksir dan nilai pemuliaan juga dilakukan oleh Nugroho (2004) yang menyatakan bahwa ternak yang memperoleh peringkat tinggi pada perhitungan nilai pemuliaan juga akan memiliki peringkat yang tinggi pada perhitungan kemampuan produksi tertaksir.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa produksi susu tertinggi yang pernah dicapai pada laktasi 1 sampai dengan 5, berturut-turut yaitu 27.8 kg, 32 kg, 37.5 kg, 36.6 kg dan 34.6 kg. Dengan produksi susu tertinggi yang pernah dicapai yaitu pada laktasi ke-3 yaitu 37.5 kg (Gambar 2).

Laktasi Ke-

Gambar 2 Produksi susu sapi FH tertinggi pada setiap laktasi Produksi susu

(kg)

(23)

9 Produktivitas susu sapi FH di BBPTU Baturraden berdasarkan MPPA dapat digambarkan dari total produksi susu rata-rata perlaktasi selama 5 laktasi yaitu berkisar antara 3151.2 kg (grade D) sampai dengan rata-rata sebesar 7701.3 kg (grade A), dengan nilai rata-rata 5443.23 kg. Nilai rata-rata produksi susu tersebut masih pada kisaran yang baik sesuai dengan pendapat Soetarno (2003) yaitu bahwa rata-rata produksi susu dasar mature equivalent (ME) berkisar antara 4602.94 kg hingga 5888.99 kg.

Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011) apabila produksi susu sapi FH yang dipelihara di BBPTU Baturraden lebih dicermati, maka akan terlihat bahwa capaian total produksi susu lebih rendah dari produksi susu induknya. Capaian total produksi induk tersebut berlaku sebagai gambaran mengenai potensi total produksi susu yang bisa dicapai oleh keturunannya.

Deteksi Keragaman Gen FSH Sub-Unit Beta

Produk PCR gen FSH sub-unit beta yang telah dipotong menggunakan enzim restriksi Pst1 menghasilkan 1 macam genotype, yaitu AB. Panjang produk amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta sebagian intron 2 dan bagian penuh ekson 3 adalah 313 bp disajikan pada Gambar 3. Hasil RFLP dengan pemotongan produk PCR dengan enzim

Pst1 menunjukkan bahwa dari 100% tidak ada variasi atau monomorfik (genotipe AB). Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Andreas et al (2014) yang menunjukkan adanya keragaman pada titik mutasi yang sama. Hal tersebut dimungkinkan karena sapi-sapi tersebut diimpor dari tempat yang sama dan sudah terseleksi, oleh karena itu gen FSH sub-unit beta dalam populasi ini tidak bisa dipakai sebagai marka gen untuk seleksi peningkatan produksi susu.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Gambar 3 Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen FSH sub-unit beta produk PCR yang dipotong oleh enzim Pst1

Kondisi Iklim Mikro Sapi FH di BBPTU Batrurraden

(24)

10

nyaman. Sapi FH akan kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Jalur utama pelepasan panas melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993).

Suhu udara dan kelembaban harian di Indonesia umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 24 sampai 34oC dan kelembaban 60 sampai 90%. Kondisi tersebut sangat memengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Kondisi tersebut menyebabkan proses penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat, sehingga mengalami cekaman panas. Cekaman panas dapat menurunkan efesiensi reproduksi sebesar 40-50% dan menurunkan produksi susu sebesar 15-20% (St Pierre et al. 2003). Menurut Wolfenson

et al. (1995) cekaman panas berpengaruh negatif terhadap lingkungan endokrin dan perkembangan folikel seperti pendeknya lama estrus dan rendahnya kualitas oosit, sehingga dapat menyebabkan rendahnya fertilitas pada sapi perah.

Keragaman produksi susu dan performa reproduksi sapi FH di BBPTU Baturraden dikarenakan kondisi suhu dan kelembaban lingkungan di BBPTU Baturraden belum ideal untuk pemeliharaan sapi perah laktasi, dengan kisaran suhu lingkungan antara 22 sampai 31°C dengan rata-rata sebesar 25.26°C dan kelembaban udara antara 68 sampai 100% dengan rata-rata sebesar 93.16%. Kelembaban udara yang sangat tinggi sangat mungkin terjadi karena intensitas hujan yang tinggi.

Kondisi lingkungan tropis Indonesia merupakan tantangan terbesar dalam upaya optimalisasi produksi susu, karena sapi perah akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman dengan batas maksimum dan minimum suhu dan kelembaban lingkungan berada pada thermo neutral zone (ZTN). Menurut Rumentor (2003) di luar kondisi tersebut sapi perah akan mudah mengalami stres. Stres panas terjadi ketika suhu dan kelembaban berada di atas ZTN. Wagner (2001) menjelaskan bahwa stres panas akan terjadi ketika panas yang masuk ke dalam tubuh ternak tidak seimbang dengan panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh. Menurut Rumentor (2003) parameter yang sering digunakan di berbagai negara untuk mengetahui potensi stres panas pada ternak adalah dengan Temperature Humidity Index

(THI). Induk sapi perah berada pada kondisi lingkungan dengan THI kritis akan mengalami gangguan fisiologis dan produktivitas.

(25)

11 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Talib et al. (2002) menunjukkan bahwa di Indonesia suhu lingkungan yang mencapai 29°C dapat menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu 11.2 kg/ekor/hari. Menurut Rumentor (2003) pengaruh langsung dari suhu dan kelembaban terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan sistem tubuh untuk menghilangkan kelebihan beban panas, pengurangan laju metabolik dan menyusutnya konsumsi pakan.

Gambar 4 Temperature Humidity Index (THI) pada sapi perah

Hasil pengamatan Sudrajad dan Adiarto (2011) terhadap status fisiologis sapi perah di BBPTU Baturraden menunjukkan bahwa frekuensi respirasi lebih tinggi dari normal berkisar antara 25.33 sampai 80.00 kali/menit dengan rata-rata 50.71 kali/menit, frekuensi pulsus masih dalam keadaan normal antara 46.00 sampai 84.00 kali/menit dengan rata-rata 62.84 kali/menit, dan suhu rektal juga masih berada pada keadaan normal antara 35.63 hingga 39.13°C dengan rata-rata 37.63°C.

Frekuensi respirasi sapi perah di BBPTU Baturraden terlihat lebih tinggi dari kisaran normal, karena menurut Frandson (1996) frekuensi respirasi normal sapi perah berkisar antara 24 sampai 32 kali/menit. Tingginya frekuensi respirasi ini akibat perubahan kondisi suhu dan kelembaban. Rumetor (2003) menjelaskan bahwa naiknya frekuensi respirasi merupakan salah satu tanda sapi perah mengalami stres panas. Tujuan dari respirasi ini adalah untuk memaksimalkan pengeluaran panas karena sapi perah berada di kandang dengan kelembaban tinggi.

(26)

12

Stres ringan yang terjadi pada sapi FH di BBPTU Baturraden tersebut dapat menyebabkan gangguan fisiologis. Setiap sapi memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi tersebut, sehingga menyebabkan produksi susu dan performa reproduksi pada masing-masing sapi berbeda-beda juga. Sapi-sapi yang memiliki respon fisiologis yang baik memiliki produksi susu dan performa reproduksi yang baik.

Hubungan Antara Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA dengan Performa Reproduksi

Banyak faktor yang memengaruhi hubungan antara produksi susu dengan performa reproduksi (fertilitas) seperti: kualitas semen, status kesehatan betina, umur, musim, penyakit, pakan dan inseminator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen FSH sub-unit beta memiliki genotype yang seragam yaitu AB, namun demikian terdapat keragaman sapi FH dalam kemampuan produksi susu dan performa reproduksi. Hasil penelitian hubungan antara kemampuan produksi susu (MPPA) terhadap performa reproduksi yang ditunjukkan dengan masa kosong dan CR dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hubungan Antara Grade MPPA dengan Performa Reproduksi pada Sapi FH No Grade MPPA (kg) Rataan (P<0.05), MPPA: Most Probable Producing Ability, CR: Conception rate.

Menurut LeBlanc (2005) masa kosong selain memengaruhi produksi susu pada laktasi yang berjalan juga menentukan keberhasilan breeding dan selang beranak. Murray (2009) menyatakan masa kosong yang baik adalah 100 hari, dan dibutuhkan perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari, sedangkan menurut Ali et al. (2000) masa kosong yang baik tidak kurang dari 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B masing-masing memiliki masa kosong selama 75.35+8.54 hari dan 111.59+14.77hari, masih di dalam kisaran normal. Sedangkan sapi dengan

grade C memiliki masa kosong selama 143.14+9.02hari, melebihi kisaran normal. Menurut Maršáleket al. (2008) produksi susu memiliki pengaruh terhadap masa kosong yaitu dengan semakin tinggi produksi susu, maka akan memperpanjang masa kosong. Sapi yang memiliki produksi susu kurang dari 7000 kg/laktasi, antara 7000-8000 kg/laktasi dan lebih dari 7000-8000 kg/laktasi masing-masing memiliki masa kosong selama 154.26 hari, 164.72 hari, dan 171.48 hari. Masa kosong pada kisaran produksi susu tersebut melebihi yang dinyatakan dalam penelitian Murray (2009). Berbeda dengan hasil penelitian ini, bahwa sapi FH dengan grade A dan B semakin meningkatnya produksi susu, masa kosong semakin pendek, tetapi masih dalam kisaran normal kecuali pada grade C.

(27)

13 Hafez (2000) kekurangan pakan akan meyebabkan kondisi tubuh induk kurus dan produksi susu menjadi berkurang. Sapi dengan pakan yang kualitas dan kuantitasnya kurang dapat menyebabkan waktu estrus akan menjadi lebih pendek, sehingga terjadi fertilisasi menjadi lebih rendah.

Selama periode awal postpartus, sapi laktasi biasanya dalam kondisi keseimbangan energi negatif (negative energy balance) karena ketidakmampuan mengkonsumsi energi dengan jumlah mencukupi dalam ransum (Collard et al. 2000; Gearhart et al. 1990; Domeq et al.1997). Waktu ovulasi dari folikel dominan pertama diketahui terkait dengan laju dan saat keseimbangan energi mencapai status positif (Stevenson et al. 1996). Keseimbangan energi dalam kondisi negatif mengakibatkan turunnya sekresi LH postpartus, akibatnya memperlambat aktivitas ovarium (Butler 2000). Keseimbangan energi negatif juga memperpanjang interval ovulasi dan estrus pertama postpartus.

Conception rate merupakan persentase sapi betina yang bunting pada perkawinan pertama. Faktor yang memengaruhi CR yaitu kesuburan pejantan (kualitas semen), kesuburan betina, dan kinerja inseminator. Apriem et al. (2012) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya CR juga dipengaruhi oleh deteksi estrus dan pengelolaan reproduksi. Abdullah et al. (2015) juga menambahkan faktor-faktor yang akan menurunkan nilai CR yaitu kawin pertama setelah beranak, masa kosong, calving interval, masa kering, lama laktasi dan umur induk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B masing masing memiliki nilai CR sebesar 75.68% dan 60.87%. Nilai ini dinyatakan baik menurut Fanani et al. (2013) nilai CR yang baik antara 60-70%. Sedangkan sapi dengan

grade C dinilai kurang baik karena memiliki nilai CR sebesar 10.45%. Grade produksi susu memiliki hubungan yang nyata dengan CR (P<0.05), yaitu dengan semakin baik

grade produksi susu, maka nilai CR semakin tinggi.

Menurut Wiltbank et al. (1994) semakin tinggi produksi susu akan memperpendek durasi estrus dan akan meningkatkan multiple ovulation. Sapi yang memiliki rataan produksi susu, 25-30, 30-35, 35-40, 40-45, 45-50 dan 50-55 kg/hari memiliki durasi estrus masing-masing 14.7, 9.6, 6.3, 4.8, 5.1 dan 2.8 jam, serta memiliki persentase multiple ovulation masing-masing 0, 2.5, 6.1, 25.2, 45.3 dan 51.6%. Produksi susu paling tinggi pada penelitian masih dalam kisaran normal yaitu rataan 21.67 kg/hari, sehingga kemungkinan durasi estrus masih dalam kisaran normal, terlihat dengan umur kawin pertama pada sapi yang memiliki produksi susu tinggi masih dalam kisaran normal.

Menurut Marti dan Funk (1994) semakin tinggi produksi susu akan menyebabkan rendahnya beberapa parameter reproduksi. Sapi dengan rataan produksi susu 32.3 + 0.6 kg/hari memiliki ukuran folikel 17.4 + 0.2 mm, konsentrasi estradiol (E2) 8.6 + 0.5 pg/ml, durasi estrus 11.9 + 1.4 jam. Berbeda dengan sapi yang memiliki rataan produksi susu tinggi 46.8 + 1.0 memiliki ukuran folikel 18.6 + 0.3 mm, konsentrasi E2 6.8 + 0.5 pg/ml, durasi estrus 7.0 + 1.1 jam.

(28)

14

rendah akan menyebabkan perubahan reproduksi yaitu rendahnya CR dan penurunan tingkah laku estrus (Wiltbank et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B memiliki nilai CR yang baik, hal ini dikarenakan sapi tersebut menggunakan energi yang normal untuk produksi susu. Berbeda dengan sapi grade C yang memiliki asupan energi yang rendah, sehingga memiliki nilai CR yang rendah. Walaupun manajemen peternakan sapi FH di BBPTU Baturraden sudah mengacu pada standar yang ditentukan, pada grade C hasil menunjukkan CR yang rendah, hal ini dapat dijelaskan dengan adanya stres ringan pada sapi FH di BBPTU Baturraden yang disebabkan memiliki nilai THI berkisar antara 73 sampai 82 (THI > 72). Sapi akan mengaktifkan mekanisme dalam upaya untuk menghilangkan kelebihan beban panas dan menjaga suhu tubuh.

Penelitian Berman (2005) dan Jordan (2003) melaporkan bahwa stres panas menyebabkan tubuh mengurangi laju metabolisme dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak pada penurunan kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan fertilitas ternak tersebut. Jadi stres panas berpengaruh langsung terhadap penampilan reproduksi ternak. Sesuai dengan penelitian West (2003) bahwa stres panas yang dialami ternak dapat menyebabkan penurunan asupan energi yang tersedia untuk fungsi produksi dan reproduksi, serta peningkatan kehilangan natrium dan kalium. Hal ini terkait dengan peningkatan laju respirasi, sehingga memengaruhi keseimbangan asam basa dan mengakibatkan metabolik alkalosis serta dapat menyebabkan penurunan efisiensi pemanfaatan nutrisi.

Menurut Jordan (2003) penurunan konsumsi pakan yang berkaitan dengan dry matter intake (DMI) mengakibatkan penurunan sekresi hormon GnRH dan LH yang berdampak pada rendahnya konsentrasi hormon estrogen, sehingga mengakibatkan ekspresi estrus berkurang, dan akhirnya akan mengurangi efisiensi deteksi estrus. Stres panas juga berpengaruh pada kondisi lingkungan uterus, hal ini berkaitan dengan kemampuan ternak untuk mempertahankan kehidupan awal embrio. Kondisi lingkungan yang tidak sesuai berakibat pada kegagalan implantasi dan kematian embrio, sehingga terjadi penurunan persentase keberhasilan kebuntingan (Gambar 5).

Gambar 5 Pengaruh stres panas pada reproduksi sapi perah (Jordan 2003)

(29)

15

Penurunan konsumsi pakan akan menyebabkan penurunan perkembangan folikel

pada ovarium, sehingga dapat membuat folikel dominan lebih kecil (Bergfeld et al.

1994). Panjangnya periode anestrus diduga disebabkan oleh kekurangan nutrisi. Kekurangan nutrisi kemungkinan dapat menghambat perkembangan folikel sehingga terjadi atresia folikel-folikel dominan. Sejumlah data menunjukkan interaksi antara kondisi tubuh saat melahirkan dengan tingkat pemberian pakan dalam kurun waktu tertentu dapat berpengaruh terhadap interval esterus pertama setelah melahirkan. Protein

intake rendah dapat mengurangi tingkah laku estrus atau disebut silent heat dan dapat

mengurangi terjadinya konsepsi. Hal ini yang menyebabkan sapi pada grade C memiliki

nilai CR yang rendah.

Hubungan Produksi Susu Berdasarkan Grade MPPA dengan Body condition score (BCS)

Body condition score (BCS) merupakan suatu metode penilaian secara subyektif melalui tehnik penglihatan (inspeksi) dan perabaan (palpasi) untuk menduga cadangan lemak tubuh terutama untuk sapi perah pada periode laktasi dan kering. Penilaian BCS telah diterima sebagai metode yang murah dalam pendugaan lemak tubuh yang digunakan baik pada peternakan komersial maupun penelitian (Otto et al. 1991). Pada penelitian ini penilaian BCS menggunakan skala 1–5 (1= sangat kurus, 2 = kurus, 3 = sedang, 4 = gemuk dan 5 = sangat gemuk) dengan nilai 0.25 angka di antara selang itu.

Body condition score juga dijadikan sebagai alat untuk menjelaskan status nutrisi ternak melalui evaluasi dari cadangan lemak dari hasil metabolisme, pertumbuhan, laktasi dan aktivitas. Sapi laktasi mengalami penurunan cadangan lemak tubuh selama awal laktasi, kemudian disimpan kembali pada saat pertengahan dan akhir laktasi (Gallo et al. 1996).

Nilai BCS berkorelasi positif dengan produksi susu, menurut Coffey et al.

(2003) perubahan keseimbangan energi yang terjadi selama laktasi akan berpengaruh terhadap BCS. Domeq et al. (1997) menyatakan bahwa setelah sapi beranak, sapi perah akan mengalami peningkatan konsumsi pakan yang lambat, peningkatan produksi susu yang cepat, dan terjadi peningkatan mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kekurangan konsumsi pakan akibat peningkatan kebutuhan produksi susu pada awal laktasi. Data hasil penelitian tentang hubungan antara MPPA dengan BCS dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hubungan MPPA dengan BCS

No MPPA (kg) Grade Rataan BCS (P<0.05), MPPA: Most Probable Producing Ability¸BCS: Body Condition Score.

(30)

16

susu (2.75), pertengahan laktasi (3.00) dan akhir laktasi (3.25) dengan nilai rataan BCS 3.1 dengan rataan batas minimal BCS 2.9. Sapi dengan grade A memiliki nilai BCS yang ideal, sedangkan sapi dengan grade B memiliki nilai BCS minimal yang direkomendasikan, berbeda dengan sapi grade C memiliki BCS di bawah rekomendasi. Hal ini menunjukkan bahwa sapi dengan grade A dan B memiliki keseimbangan energi positif, yaitu pakan yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan fisiologis tubuhnya. Rendahnya nilai BCS pada sapi grade C dapat diakibatkan karena kurangnya asupan pakan. Kekurangan pakan tersebut dapat diakibatkan oleh cekaman panas akibat THI yang terlalu tinggi.

Body Condition Score menggambarkan sejumlah energi metabolik yang tersimpan sebagai lemak subcutan dan otot pada ternak (Montiel dan Ahuja, 2005). Energi yang tersedia dalam tubuh tersebut digunakan untuk metabolisme, pertumbuhan, laktasi dan aktivitas. Lemak tubuh akan digunakan lebih banyak sebagai cadangan energi pada saat laktasi untuk produksi susu. Data menunjukkan bahwa sapi di BBPTU Baturraden pada umumnya akan mengalami stres ringan karena memiliki THI 73 sampai 82 (THI > 72). Kondisi stres ringan ini akan menyebabkan adanya gangguan secara fisiologis, sehingga cadangan lemak selain digunakan untuk produksi susu, metabolisme, pertumbuhan dan aktivitas, juga digunakan untuk menanggulangi stres. Kondisi inilah yang menyebabkan rendahnya nilai BCS pada sapi grade C.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara BCS dengan produksi susu yaitu dengan nilai r=0.68. Hubungan antara BCS dengan produksi susu dinyatakan dalam persamaan regresi MPPA (Kg) = - 59 + 1991 BCS, artinya dengan kenaikan satu satuan BCS akan meningkatkan produksi susu 1991 kg /laktasi. Dengan demikian BCS memiliki pengaruh yang yang cukup besar terhadap produksi susu.

(31)

17 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Performa reproduksi sangat dipengaruhi oleh produksi susu berdasarkan grade

MPPA dan BCS. Semakin tinggi produksi susu semakin semakin pendek masa kosong, serta semakin tinggi CR dan BCS. Gen FSH sub-unit beta belum dapat dijadikan sebagai marka genetik reproduksi.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi gen hormon lain yang memiliki pengaruh terhadap produksi susu, interaksi antara genetik dengan lingkungan terhadap performa reproduksi dan produksi susu dan seleksi sapi-sapi dengan biologi molekuler yang memiliki ketahanan terhadap Temperature Humidity Index (THI) yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah F, Hartono M, Siswanto. 2015. Conception Rate pada Sapi Perah Laktasi di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden Purwokerto Jawa Tengah. J. Ilm. Pet. Ter. 3(1): 98-105.

Ali AKA, Al-Haidary A, Alshaikh MA, Gamil MH, Hayes E. 2000. Effect of days open on the lactation curve of Holstein cattle in Saudi Arabia. J. Anim. Sci. 13: 277-286. Andreas E, Sumantri C, Farajalah A, Anggraeni A. 2010. Identification of GH|Alu1 and

GHR|Alu1 genes polymorphism in Indonesian Buffalo. J. Indo. Trop. Anim. Agri 35: 215 – 221.

Andreas E, Arifiantini I, Saputra F, Ishak ABL, Imron M, Sumantri C. 2014. Effect of FSH Β-sub unit and FSHR genes polymorphisms on superovulatory response traits. J. Indo. Trop. Anim. Agric. 39(4):197-203,

Apriem F, Ihsan N, dan Poetro S. B. 2012. Penampilan Reproduksi sapi Peranakan Onggole Berdasarkan Paritas di Kota Probolinggo Jawa Timur. Malang (ID): Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya.

Becker WA. 1975. Manual of Quantitative Genetiks. 4th Edition. Published by Academic Enterprise. Pullman, Washington.

Bergfeld EGM, Kojima FN, CuppAS, Wehrman ME Peters KE, Garcia-Winder M, Kinder JE. (1994). Ovarian follicular development in prepubertal heifers in influence by level of dietary energy intake. Biol. Reprod. 51: 1051-1057.

Berman A. 2005. Estimates of heat stres relief needs for Holstein dairy cows. J. Anim. Sci. 83:1377-1384.

Butler WR. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle. Anim. Rep. Sci. 60–61: 449–457.

Churng FL. 2002. Feeding management and strategies for lactating dairy cows under heat stres. International Training on Strategies for Reducing Heat Stres in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

(32)

18

Condition Score Analyzed using Random Regressions. J. Dairy Sci. 86: 2205 – 2212.

Collard BL, Boettcher PJ, Dekkers JCM, Petitclerc D, Schaeffer LR. 2000. Relationship between energy balance and health traits of dairy cattle in early lactation. J. Dairy Sci. 83: 2683–2690.

Dai L, Zhihui Z, Zhao R, Xia S, Hao Jiang, Xupeng Yue, Xichun Li, Yan Gao, Liu J, Zhang J. 2009. Effects of novel single nucleotide polymorphisms of the FSH beta-subunit gene on semen quality and fertility in bulls. J Anim.Reprod. Sci. 114 : 14– 22.

Dobson H, Smith RF, Royal, MD Knight CH, and Sheldon IM. 2007. The high producing dairy cow and its reproductive performance. Reprod. Domest. Anim. 42:17–23.

Domeq JJ, Skidmore AL, Lloid JW, Kaneene JB. 1997. Relationship between body condition score and milk yield in a large dairy herd of heigh yielding Holstein cows. J. Dairy Sci. 80: 101 – 112.

Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Longman Inc, New York.

Fanani S, Subagyo YBP, Lutojo. 2013. Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Surakarta (ID): Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.

Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Gallo L, Carnier P, Cassandro M, Mantovani R, Bailoni L, Bittante G. 1996. Change in body condition score of Holstein cows as affected by parity and mature equivalent milk yield. J. Dairy Sci. 79:1009 – 1015.

Gearhart MA, Curtis CR, Erb HN, Smith RD, Sniffen CJ, Chase LE, Cooper MD. 1990. Relationship of changes in condition score to cow health in Holsteins. J. Dairy Sci. 73: 3132–3140.

Grigorova M, Rull K and M. Laan. 2007. Haplotype Structure of FSHB, the Beta-Subunit Gene for Fertility-Associated Follicle-Stimulating Hormone : Possible Influence of Balancing Selection. Ann of Hum Gen. 71 : 18–28.

Hidayat A, Effendi P, Sugiwaka T. 2002. Informasi Teknologi Penunjang pada Kesehatan Reproduksi. Buku Petunujuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia untuk Petugas penyuluh dan Petugas Teknik. Cetakan Pertama. Bandung (ID): Sonysugema Pressindo.

Ishak ABL, Sumantri C, Noor RR, Arifiantini I. 2012. Identification of polymorphism of FSH beta-subunit gene as sperm quality marker in Bali cattle using PCR-RFLP. J.Indo. Trop.Anim.Agric. 36(4): 221-227.

Jainudeen MR, Hafez ESE. 2000. Cattle and Buffalo. Di dalam: Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Edited by Hafez ESE. Lippincott William and Wilkins. Maryland, USA.

Jordan ER. 2003. Effects of heat stres on reproduction. J. Dairy Sci. 86: (E. Suppl.) :E104-E114.

Kementerian pertanian. 2014. Kebutuhan Susu Nasional. Jakarta (ID). Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

(33)

19 LeBlanc S. 2005. Overall reproductive performance of Canadian dairy cows: challenge

we are facing. Adv in Dairy Tech. 17: 137.

Lenville RC, Pompy D, Johnson RK, Rothschil MF. 2001. Candidate gene analysis for loci affecting litter size and ovulation rate in swine. J. Anim Sci. 2001. 79:60–67. Mannaertz B, Uilenbrock J, Schot P, de Leeuw R. 1994. Folliculogenesis in

hypophesectomized rats after treatment with recombinant human follicle stimulating hormone. Biol. Reprod. 51:1, 72–81.

Maršálek M, Zedníková J, Pešta V, Kubešová M. 2008. Holstein cattle reproduction in relation in milk yield and body condition score. University of South Bohemia in České Budějovice, Agricultural faculty, Department of Special Livestock Breeding.

Marti CF, Funk DA. 1994. Relationship between production and days open at different levels of herd production. J. Dairy Sci. 77(6):1682-90.

Montiel F, Ahuja C. 2005. Body condition score and suckling as factor influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: A review. Anim. Rep. Sci. 85:1-26. Moran J. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding management for small holder dairy

farmers in the humid tropics 321 pp., Landlinks Press.

Murray BB. 2009. Maximazing conception rate in dairy cows: heat detection. Queens peternakan sapi perah Taurus Dairy Farm, Cicurug-Sukabumi [tesis]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Noor RR. 2010. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Otto RL, Ferguson JD, Fox DG, Sniffen CJ. 1991. Relationship between body condition score and compotition of ninth to eleven rib tissue in Holstein dairy cows. J Dairy Sci. 74:852-861. Environmental Temperatute. Doctoral Thesis, Hiroshima University.

Rumentor SD. 2003. Stres panas pada sapi perah laktasi [makalah falsafah dains]. Bogor (ID): Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, USA: 9.16 - 9.19.

Soetarno T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Yogyakarta (ID): Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Steel RGD, Torrie JH. 1997. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan B. Sumantri. Jakarta (ID): PT. Gramedia.

St Pierre NR, Cobanov B, Schnitkey G. 2003. Economic Losses from Heat Stress by US Livestock Industries. J. Dairy Sci. 86:E52-E77.

(34)

20

Sudrajad P, Adiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi

Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Puslitbangnak Bogor.

Suharto K. 2003. Penampilan potensi reproduksi sapi perah Frisien Holstein akibat pemberian kualitas ransum berbeda dan invusi larutan iodium povidum 1% intra uterine [tesis]. Semarang (ID): Magister Ternak Universitas Diponegoro.

Talib CH, Sugiarti T, Siregar AR. 2002. Friesian Holstein and their adaptability to the tropical environment in Indonesia. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA) August 26th – 31th, 2002, Tainan, Taiwan, ROC.

Tyler HD, Ensminger ME. 2006. Dairy Cattle Science. 4th Edition. Prantice Hall, New Jersey.

Wagner PE. 2001. Heat Stres on Dairy Cows. Dairy Franklin Country Publishers.

Warwick EJ. 1983. Pemuliaan Ternak. Terjemahan Astuti JM, Hardjosubroto W. Yoyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada Yogyakarta (ID): University Press.

Webster J. 1993. Understanding The Dairy Cow.Second Edition.Blackwell Scientific Publication. London.

West JW. 2003. Effects of heat stres on production in dairy cattle. J. Dairy Sci. 86:2131-2144.

Wiltbank M, Lopez H, Sartori R. 2004. Effect of high milk production on reproductive efficiency of lactating dairy cows. Department of Dairy Science, University of Wisconsin-Madison.

Wolfenson DW, Thatcher W, Badinga L, Savio JD, Meidan R, Lew BJ, Braw-Tal R, Berman A. 1995. Effect of heat stress on follicular development during the estrous cycle in lactating dairy cattle. J.Biol.Rep. 52:1106–1113.

Xiaopeng AN, Dan H, Jin-Xin H, Guang L, Ya-Na W, Ling L, Guang Q, Jiangang W, Yu-xuan S, Bin-yun CY. 2010. Polymorphism of exon 2 of β gene and its relationship with reproduction performance in two goat breeds. Agric. Sci.China. 6:889-886.

(35)

21

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Rataan produksi susu laktasi 1-5 pada sapi perah di BBPTU Baturraden
Gambar 4 Temperature Humidity Index (THI) pada sapi perah
Gambar 5 Pengaruh stres panas pada reproduksi sapi perah (Jordan 2003)

Referensi

Dokumen terkait