• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG

(

Katsuwonus pelamis

Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN

DI PPS CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH

AISYA INTAN WIDYA SATRIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(4)

ABSTRAK

AISYA INTAN WIDYA SATRIA. Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh YONVITNER dan RAHMAT KURNIA.

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis penting di perairan Samudera Hindia dan merupakan salah satu ikan tangkapan dominan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter dinamika populasi ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia. Pelaksanaan penelitian pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Analisis data terdiri atas rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur, hubungan panjang bobot, parameter pertumbuhan, laju eksploitasi, dan model produksi surplus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan cakalang lambat (K = 0,3). Panjang tubuh asimptotik (L∞) ikan cakalang sebesar 992,6 mm, dengan laju eksploitasi sebesar 0,93 yang berarti telah mengalami tangkap lebih. Hasil tangkapan maksimum lestari dan upaya optimum masing-masing 3354,3 ton per tahun dan 1700 trip per tahun. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan adalah pengendalian upaya penangkapan dan pembatasan musim penangkapan.

Kata kunci: Ikan cakalang, Cilacap, indikator populasi, manajemen

ABSTRACT

AISYA INTAN WIDYA SATRIA. Dynamic Population Parameters of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) landed on PPS Cilacap, Central Java. Guided by YONVITNER and RAHMAT KURNIA.

Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) is a large pelagic fish that have important economic value in the Indian Ocean and also as a dominant fish landed in PPS Cilacap, Central Java. The aim of this research is to determine the population dynamics parameter of skipjack tuna in the Indian Ocean. This research was in December 2014 until March 2015. The data analysis conducted are sex ratios, gonad maturity, first lenght maturity, length frequency distribution and age, lenght and weight relationship, growth parameters, exploitation rate, and the surplus production model. The results shown growth of skipjack tuna move slow (K = 0,3). Lenght infinity (L∞) of skipjack tuna is 992,6303 mm, the exploitation rate is 0,93 and called as overexploited. Maximum sutainable yield (MSY) is about 3354,3 ton per year and optimum effort amount is 1700 trip per year. Management efforts to control fishing effort and restrictions of the fishing season.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

PARAMETER DINAMIKA POPULASI IKAN CAKALANG

(

Katsuwonus pelamis

Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN

DI PPS CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH

AISYA INTAN WIDYA SATRIA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Parameter Dinamika Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk studi. 2. Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku dosen pembimbing akademik.

3. Dr Yonvitner, SPi MSi serta Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

4. Dr Ir Etty Riani, MS selaku penguji tamu dan Ali Mashar, SPi MSi selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas saran dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

5. Keluarga Penulis Ibu Ratna Dewi, Bapak Ir Budi Satria, Adik Annisa Putri WS dan Alika Tririsky WS yang telah memberikan banyak motivasi dan doa kepada Penulis baik moril maupun materil.

6. PPS Cilacap (Bapak Agung, Ibu Eko, Bapak Taufik, Mas Iqbal dan lain-lain) dan Tim Penelitian Cilacap (Tini, Ira, Diah, dan Riana).

7. Sahabat Penulis (Oktarina KS, Anisa NF, Siti NK, Meti F, FJ Ilmil, Poppy H, dan Tria Khairunnisa), Muhamad Radifa, Gama, Asisten Biologi Perikanan dan Oseanografi Umum atas semangat, dukungan, motivasi, serta doa kepada Penulis.

8. Teman-teman terbaik Manajemen Sumberdaya Perairan angkatan 48. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 3

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

Pengumpulan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Hasil 10

Pembahasan 17

KESIMPULAN DAN SARAN 23

Kesimpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 26

(10)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis) 4

2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap

pengambilan contoh 10

3 Sebaran kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 14 4 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

berdasarkan model von Bertalanffy 15

5 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 16 6 Produksi perikanan (ton) dan upaya penangkapan (trip) 16 7 Perbandingan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 19 8 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis) 20

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 2

2 Peta lokasi penelitian 3

3 Penentuan panjang total (A-B) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 4

4 Hasil tangkapan per jenis ikan di PPS Cilacap 10

5 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

betina 11

6 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

jantan 11

7 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwnous pelamis) 12 8 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis) 13

9 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 14 10Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 15 11Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer 17

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Chi-square terhadap proporsi kelamin ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis) 26

2 Tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) betina 26 3 Tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) jantan 27 4 Ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

jantan 27

5 Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 28 6 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 28 7 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 29 8 Pendugaan mortalitas ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) 29

9 Standarisasi alat tangkap 29

10Model produksi surplus 30

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Samudera Hindia kaya akan sumberdaya ikan pelagis besar, seperti madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus allalunga), tuna sirip biru selatan (Thunnus macoyii), tuna abu-abu (Thunnus tonggol) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Merta et al. 2006). Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis sumberdaya perikanan terpenting baik sebagai komoditi ekspor maupun sebagai bahan konsumsi dalam negeri. Kajian Komisi Stok Nasional menunjukkan pemanfaatan stok cakalang masih dalam tingkat moderate (KepMen KP nomor 45/Men/2011).

Data Ditjen Perikanan Tangkap menunjukkan produksi perikanan ikan cakalang tahun 2014 sebesar 484610 ton, dengan persentase kenaikan rata-rata dari tahun sebelumnya sebesar 0,75%. Produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap meningkat cukup tinggi terutama ikan cakalang. Hasil tangkapan rata-rata ikan cakalang tahun 2014 di PPS Cilacap sebesar 675,45 ton dengan harga Rp 14.000-17.000 per-kg.

Pertumbuhan ikan cakalang cenderung lambat dan termasuk spesies yang memiliki resiko terhadap stok besar. Menurut World Wildlife Fund (WWF) (2015), bentuk upaya pengelolaan yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 antara lain mengekang praktik penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, serta tidak diatur (Illegal, Unreported, Unregulated Fishing). Namun, hingga saat ini upaya penangkapan ikan cakalang masih dilakukan dengan cara yang tidak sesuai kaidah pengelolaan sumber daya perikanan. Nelayan masih dapat melakukan penangkapan dengan bebas termasuk ikan yang masih belum matang gonad.

Peningkatan armada yang beroperasi dari tahun ke tahun di wilayah ini menyebabkan penurunan hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) maupun penurunan total hasil tangkapan. Kegiatan penangkapan ikan cakalang yang dilakukan terus-menerus dapat mempengaruhi keberadaan dan kondisi stok sumberdaya ikan cakalang di daerah Perairan Samudera Hindia. Oleh karena itu, pertimbangan ini menjadi dasar dalam menentukan parameter dinamika populasi terhadap ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia khususnya PPS Cilacap agar diperoleh informasi mengenai kondisi stok yang berguna untuk menunjang pengelolaan sumberdaya ikan cakalang demi mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang yang lebih tepat dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

(14)

2

laju pertumbuhan dan merupakan beberapa faktor pertimbangan utama dalam menetapkan strategi pengelolaan perikanan suatu sumberdaya ikan tertentu. Data produksi ikan cakalang di PPS Cilacap mengalami fluktuasi. Status pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang di Cilacap juga sudah dalam kondisi tangkap lebih (overfishing). Kegiatan penangkapan ikan yang tinggi dengan volume produksi yang terus meningkat setiap tahunnya dapat mengakibatkan adanya upaya tangkap lebih yang akan menyebabkan penurunan stok ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia khususnya Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan suatu studi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dimana lebih difokuskan pada kajian dinamika populasi sumberdaya ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Informasi mengenai keadaan stok sumberdaya ikan cakalang meliputi sebaran frekuensi panjang, pola pertumbuhan, TKG, laju mortalitas, tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan ikan cakalang di Perairan Samudera Hindia. Informasi tersebut berguna bagi rencana pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang lebih tepat dan berkelanjutan. Pokok permasalahan dari pengelolaan perikanan cakalang yang lebih difokuskan pada pengkajian stok ikan cakalang dengan batasan daerah penangkapan perairan Samudera Hindia yang didaratkan di PPS Cilacap, kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji parameter dinamika populasi sumber daya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sebagai input untuk menetapkan rencana pengelolaan yang tepat.

Upaya penangkapan tinggi

Intensitas

eksploitasi Populasi menurun

Intensitas

penangkapan Stok menurun

Keberlanjutan stok menjadi

terganggu

(15)

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PPS Cilacap, Desa Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Ikan contoh yang diperoleh merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Samudera Hindia. Analisis ikan contoh dilakukan di Laboratorium PPS Cilacap. Pengambilan contoh data primer dan data sekunder dilakukan sebanyak empat kali, dimulai pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015 dengan interval waktu pengambilan contoh lebih kurang 30 hari. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian dan daerah penangkapan dari ikan yang didaratkan.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

Pengumpulan Data

(16)

4

Gambar 3 Penentuan panjang total (A-B) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Ikan yang telah diukur panjang total dan ditimbang bobot basah dianalisis jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) di Laboratorium dengan menggunakan alat bedah. Jenis kelamin dan TKG dapat diketahui melalui pengamatan perkembangan gonad setelah dilakukan pembedahan. Tingkat kematangan gonad (TKG) diamati secara morfologi dengan memperhatikan bentuk, warna dan ukuran gonad ikan contoh. Penentuan TKG mengacu pada klasifikasi sebagai berikut (Orange 1961).

Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

TKG Keadaan

Gonad Deskripsi

I IMMATURE Gonad memanjang, kecil hampir transparan

II MATURING Gonad membesar, berwarna pink-krem, butiran telur belum dapat

terlihat dengan kasat mata

III MATURE Gonad berwarna krem kekuningan, butiran telur sudah dapat

terlihat dengan mata biasa

IV RIPE Butiran telur membesar dan bewarna kuning jernih, dapat keluar

dengan sedikit penekanan pada bagian perut

V SPENT Gonad mengecil, bewarna merah dan banyak terdapat pembuluh

darah

Data sekunder diperoleh dari bagian statistik perikanan PPS Cilacap yang berupa data produksi perikanan dan trip unit penangkapan setiap tahun yang didaratkan di PPS Cilacap. Informasi lain yang dikumpulkan adalah operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap nelayan dan pihak PPS Cilacap.

Analisis Data Rasio kelamin

(17)

5 bahan pertimbangan dalam reproduksi, recruitment, dan konservasi sumberdaya ikan tersebut. Menurut Effendie (2002), rasio kelamin dihitung menggunakan:

p= AB ×100% (1)

p adalah rasio kelamin (jantan atau betina), Aadalah jumlah ikan jantan dan betina. B adalah jumlah total individu ikan jantan dan betina contoh (ekor). Uji khi-kuadrat (Chi-square) digunakan untuk mengetahui keseimbangan hubungan antara populasi betina dan populasi jantan dalam suatu populasi (Steel dan Torrie 1980).

χ2= ∑(oi-ei)2

ei (2)

χ2

adalah nilai statistik khi-kuadrat (Chi-square) untuk peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti sebaran khi-kuadrat, oi adalah frekuensi ikan

jantan dan betina yang teramati, dan ei adalah frekuensi harapan dari ikan jantan

dan betina.

Ukuran pertama kali matang gonad

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan cakalang mencapai matang gonad (M) adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986):

m=[xk+ x2 ]-(x∑pi) (3) Sehingga, M = antilog m

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:

antilog m M =m±1,96 x2pi x qi

ni-1 (4)

m adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, �� adalah log nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad

pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah

jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan

pertama kali matang gonad.

(18)

6

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur

Sebaran frekuensi panjang ditentukan berdasarkan data panjang total ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Data panjang ikan cakalang dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga setiap kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi). Identifikasi kelompok umur dilakukan dengan menganalisis

frekuensi panjang melalui metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II, FAO-ICLARM Stock Assesment Tool). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang menyebar dengan nilai rata-rata panjang dan simpangan baku pada masing-masing kelompok umur (Gafanilo et al. 1994 in Fandri 2012). Apabila fi adalah frekuensi ikan dalam

kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ..., N), μj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j

dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j= 1, 2, ..., G), maka

fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {μj, σj, pj} adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

L=∑Ni=1filog∑Gj=1pjqij (5) objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing

terhadap μj, σj dan pj, sehingga diperoleh dugaan μj, σj, dan pj yang akan

digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot ikan cakalang dihitung menggunakan rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 2002).

W= ɑ Lb (7)

W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), ɑ adalah konstanta dan b adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila ditransformasikan ke dalam logaritme, akan diperoleh persamaan:

log W= log α+b log L (8)

Interpretasi dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu dengan hipotesis:

1. H0: b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama

dengan pola pertumbuhan bobot).

(19)

7 Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif (b>3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b<3) yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobotnya. Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai berikut:

t hitung = |

b-3

Sb| (9) Sb adalah simpangan baku dugaan b yang dihitung dengan:

Sb=

s2

∑ni=1x12-1n(∑ni=1xi)2

(10) Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang

kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya adalah jika thitung > ttabel maka tolak

hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel berarti terima hipotesis nol (Walpole 1995).

Parameter pertumbuhan

Pertumbuhan dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999).

Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)]) (11)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (�) dan L∞ dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy untuk t sama dengan t+1, sehingga persamaannya menjadi:

Lt+1 = L∞ [1- e-K] + Lt e-K (12)

Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y = b0 + b1x, jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y)

sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh dengan cara:

K=-ln(b1) (13)

dan

L∞=1a-b (14)

Pendugaan terhadap nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama

dengan nol) diperoleh melalui persamaan Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999):

(20)

8

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm), adalah panjang asimtotik

ikan (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), t adalah umur ikan, dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang ikan 0.

Mortalitas dan laju eksploitasi

Menurut Sparre dan Venema (1999) parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

lnC L +L∆t L ,L = h − Z t L +L2 (16)

Persamaan (16) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0+b1x, dengan y = lnC L + L∆t L ,L sebagai ordinat, y = L + L2 sebagai absis, dan Z =

-b1. Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linier dengan kemiringan (b) =

-Z. Laju mortalitas alami (M) dapat diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut.

Ln M= -0,152-0,279 Ln L+0,6543 Ln K+0,0463 Ln T (17) Pada ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol seperti ikan cakalang maka menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan dalam perhitungan, ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:

M=0,8 e-0,152-0,279 Ln L∞+0.6543 Ln K +0.463 Ln T (18) L∞ adalah panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan dari

persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (⁰ C). Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:

F=Z-M (19)

Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) Pauly (1984):

E= F+MF = ZF (20)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971):

(21)

9

Model produksi surplus

Pendugaan potensi ikan cakalang dapat diduga dengan model produksi surplus Schaefer dan Fox yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Model ini dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimun (� ��) dan tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diduga melalui persamaan:

Ct

ft =a-bft (22)

dan

lnCt

ft =a-bft (23)

masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox, sehingga diperoleh dugaan fmsy untuk Schaefer dan Fox adalah:

fmsy= 2ba (24)

dan

fmsy= b1 (25)

MSY masing-masing untuk Schaefer dan Fox:

MSY= 4ba2 (26)

dan

MSY= 1be(a-1) (27)

Keterangan:

a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope)

e : Bilangan natural (e = 2,71828) Ct : Jumlah tangkapan

ft : Upaya tangkap

Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi. Potensi lestari (PL) dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO1995), sehingga:

PL=90%×MSY (28)

selanjutnya dapat ditentukan Total Allowable Catch menurut Keputusan Menteri nomor 473A (1985):

(22)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi hasil tangkapan ikan

Sumberdaya ikan yang didaratkan di PPS Cilacap sangat beragam, antara lain ikan cakalang, tuna, hiu, paruh, udang, dan ikan lainnya. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa ikan cakalang memiliki persentase sebesar 13% dari total hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Cilacap. Jenis lain yang juga tinggi adalah kelompok tuna. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu ikan dominan yang tertangkap di PPS Cilacap. Harga jual ikan cakalang tergantung kualitas ikan tersebut dan harganya berkisar Rp 14000–17000 per kg.

Gambar 4 Hasil tangkapan per jenis ikan di PPS Cilacap Sumber: Data Statistik Perikanan PPS Cilacap Tahun 2014

Rasio kelamin

Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada di perairan. Dalam statistika, konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi (Walpole 1993). Rasio kelamin ikan cakalang pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengambilan contoh

Waktu n Jumlah Perbandingan (%)

Betina Jantan Betina Jantan

25 Desember 2014 11 6 5 54,6 45,4

27 Januari 2015 5 0 5 0,0 100,0

24 Februari 2015 7 3 4 42,9 57,1

24 Maret 2015 9 4 5 44,4 55,6

Total 32 13 19 40,6 59,4

13%

13%

7%

3% 11% 53%

Tuna/Tunas

Cakalang/Skipjack tuna

Hiu/Shark

Paruh Panjang/Bill fish

Udang/Shrimp

(23)

11 Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat pada setiap pengambilan contoh, jumlah ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina. Jumlah keseluruhan ikan cakalang yang diamati jenis kelaminnya adalah 32 individu yang terdiri dari 13 individu ikan betina dan 19 individu ikan jantan. Secara keseluruhan perbandingan antara ikan cakalang betina dan jantan yang diamati pada penelitian ini sebesar 1:1,5 atau 40,6%:59,4%. Rasio kelamin TKG III dan IV tidak ditemukan pada betina selama penelitian, sedangkan pada jantan ditemukan hanya pada bulan Februari sebanyak 2 ekor.

Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad ikan (Effendie 2002). Grafik tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh berdasarkan selang kelas panjang ikan (Lampiran 2 dan 3) disajikan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 5 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) betina

Gambar 6 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) jantan

Pada Gambar 5 dan Gambar 6 diperoleh bahwa baik ikan cakalang betina maupun jantan yang dominan tertangkap adalah TKG I dan TKG II. Berdasarkan perhitungan dengan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) panjang ikan

(24)

12

cakalang pertama kali matang gonad (Lm) untuk ikan jantan adalah 439,40 mm,

sedangkan untuk ikan cakalang betina tidak ditemukan TKG III dan TKG IV sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad.

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur

Jumlah ikan cakalang yang diukur pada setiap pengambilan contoh berkisar antara 124-353 ekor. Total ikan cakalang yang diukur selama penelitian mencapai 822 ekor. Pada Gambar 7 menggambarkan bahwa frekuensi panjang ikan cakalang menyebar dari selang kelas panjang 220 mm hingga 791 mm. Panjang minimum dan maksimum ikan cakalang yang diamati adalah 220 mm dan 790 mm. Berdasarkan hasil Lm diketahui bahwa jumlah ikan yang ukurannya

lebih kecil dari ukuran pertama kali matang gonad sebanyak 657 ekor atau 79,93%. Oleh karena persantase yang diperoleh lebih besar dari 50%, maka dapat diduga bahwa telah terjadi gejala recruitmentoverfishing.

Gambar 7 Sebaran frekuensi panjang total ikan cakalang (Katsuwnous pelamis) Analisis kelompok umur dilakukan setelah mengetahui sebaran distribusi frekuensi panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu pengambilan contoh. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini dikarenakan frekuensi panjang ikan tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal. Gambar 8 menyajikan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang.

0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0

Fre

k

u

en

si

(in

d

)

Selang Kelas (mm)

Lm= 439,40 mm

(25)

13

Gambar 8 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terjadi pergesaran modus ke arah kanan pada bulan Desember hingga Januari dan Februari hingga Maret. Pergeseran ke arah kanan menunjukkan pertumbuhan ikan cakalang. Metode yang digunakan untuk analisis kelompok umur adalah metode NORMSEP melalui program FISAT II. Hasil analisis kelompok umur ikan cakalang berupa panjang rata-rata dan indeks separasi. Tabel 3 menunjukkan nilai indeks separasi lebih dari 2, sehingga hasil pemisahan kelompok umur ikan cakalang dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya. Menurut Hasselblad (1996) in Spare dan Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Bedasarkan Tabel 3 diperoleh bahwa setiap waktu pengambilan contoh hanya ditemukan maksimum 2 hingga 3 kelompok umur saja.

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5

Fre

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5

Fre

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5

Fre

245,5 297,5 349,5 401,5 453,5 505,5 557,5 609,5 661,5 713,5 765,5

(26)

14

Tabel 3 Sebaran kelompok umur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Waktu Pengambilan Contoh Kelompok Umur Panjang Rata-Rata Indeks Separasi

Total (mm) Total

Analisis hubungan panjang bobot dimanfaatkan untuk mengetahui pola pertumbuhan suatu organisme. Gambar 9 menyajikan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan cakalang.

Gambar 9 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Persamaan hubungan panjang bobot ikan cakalang adalah W= 0,00001L3,0 dengan koefisien determinasi 85,4%. Berdasarkan persamaan pada Gambar 7 diperoleh nilai b sebesar 3,0. Berdasarkan nilai t sebesar 0,5, diperoleh pola pertumbuhan ikan cakalang adalah isometrik, yang berarti pertumbuhan bobot sama dengan pertumbuhan panjangnya.

Parameter pertumbuhan

Parameter pertumbuhan diduga menggunakan metode Ford Walford (Lampiran 6) yang diturunkan dari model von Bertalanffy. Analisis parameter pertumbuhan terhadap ikan cakalang meliputi koefisien pertumbuhan (K), panjang

(27)

15

asimtotik atau panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan (L∞) dan umur teoritis

ikan pada saat panjang ikan nol (t0). Tabel 4 menyajikan parameter pertumbuhan

ikan cakalang berdasarkan model von Bertalanffy.

Tabel 4 Parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan model von Bertalanffy

Parameter Pertumbuhan Total

L∞ (mm) 992,6

K (tahun-1) 0,3

t0 (tahun) -0,2

Persamaan pertumbuhan model von Bertalanffy untuk ikan cakalang adalah Lt= 992,6(1-e -0,3(t+0,2)). Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang disajikan pada Gambar 10 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang total ikan (mm).

Gambar 10 Kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Mortalitas dan laju eksploitasi

(28)

16

Tabel 5 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Parameter Total

Mortalitas alami (M) 0,3

Mortalitas penangkapan (F) 3,1

Mortalitas total (Z) 3,3

Laju Eksploitasi (E) 0,93

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh bahwa nilai mortalitas penangkapan ikan cakalang lebih besar dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Hal ini menunjukkan bahwa ikan cakalang lebih banyak mati akibat adanya kegiatan penangkapan. Laju eksploitasi ikan cakalang sebesar 93%.

Model produksi surplus

Model produksi surplus digunakan untuk menentukan upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari. Data hasil tangkapan ikan cakalang dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (Lampiran 9) disajikan pada Tabel 6 (Data Statistik Perikanan PPS Cilacap 2014). Tabel 6 Produksi perikanan (ton) dan upaya penangkapan (trip)

Tahun Produksi perikanan (ton) Upaya (trip)

2008 2272,4 2906

2009 1835,8 2726

2010* 361,2 2789

2011 2519,2 2704

2012 2400,8 2513

2013 723,8 3071

2014* 675,4 1965

Note: *Data tidak dimasukkan ke dalam perhitungan model produksi surplus

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan cakalang mengalami fluktuasi. Produksi perikanan ikan cakalang tertinggi terdapat pada tahun 2011 dengan upaya penangkapan sebesar 2704 trip. Upaya penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2013, yaitu sebesar 3071 trip. Pada tahun 2010 dan 2014, data produksi perikanan dan upaya tidak dimasukkan dalam perhitungan karena merupakan data pencilan.

Analisis potensi sumberdaya ikan cakalang menggunakan model Schaefer dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 71,3%. Nilai upaya optimum (fmsy) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di peroleh masing-masing

(29)

17

Gambar 11 Grafik model produksi surplus dengan pendekatan model Schaefer

Pembahasan

Salah satu faktor penting untuk mengetahui struktur suatu populasi ikan maupun pemijahannya adalah dengan melakukan pengamatan rasio kelamin (sex ratio). Perbandingan rasio kelamin antara ikan cakalang betina dan jantan adalah 1:1,5. Hal ini menunjukkan bahwa ikan yang banyak tertangkap di perairan Samudera Hindia adalah ikan cakalang jantan dibandingkan ikan cakalang betina. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumadhiharga dan Hukom (1987) di Laut Banda yang menghasilkan perbandingan rasio kelamin antara ikan cakalang betina dan jantan adalah 0,82:1. Variasi rasio kelamin biasanya terjadi akibat adanya 3 faktor, yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan (Bal dan Rao 1984 in Saha et al. 2009). Perbandingan ikan betina dan jantan dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan 1:1 atau sedapat-dapatnya ikan betina lebih banyak, agar bertujuan untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001). Menurut Wilson (1982) in Sumadhiharga dan Hukom (1987) menyatakan hal yang menyebabkan perbedaan rasio kelamin adalah kurangnya ikan betina pada suatu perairan karena akan melakukan pemijahan.

Penentuan tahap kematangan gonad bertujuan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak melakukan reproduksi (Sulistiono et al. 2007). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba. Selain itu bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Berdasarkan hasil pengamatan gonad secara anatomis yang mengacu pada Orange (1961) terlihat bahwa selama penelitian ikan cakalang betina mempunyai TKG I dan TKG II, sedangkan pada ikan cakalang jantan didapatkan TKG I, TKG II, TKG III dan TKG IV. Pada penelitian ini diambil 32 contoh gonad (13 ekor di antaranya ikan cakalang betina dan 19 ekor ikan cakalang jantan) yang diamati, hanya ditemukan 1 ekor ikan cakalang jantan yang mencapai TKG III dan IV, dan pada ikan cakalang betina tidak

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

(30)

18

ditemukannya TKG III dan TKG IV. Menurut Koya et al. (2012) puncak musim pemijahan ikan cakalang di perairan Samudera Hindia mulai dari bulan Desember hingga Maret, pada saat memijah ikan cakalang akan bermigrasi jauh ke laut dalam, sehingga peluang untuk tertangkapnya ikan cakalang betina TKG III dan TKG IV sangat kecil.

Ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu aspek biologi yang perlu diketahui dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, karena dapat dijadikan sebagai salah satu dasar pengelolaan perikanan (Waileruny 2014). Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Sperman Karber (Udupa 1986), dugaan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang jantan berada pada

ukuran 430-471 mm, yaitu sebesar 439,40 mm, sedangkan untuk ikan cakalang betina tidak ditemukannya TKG III dan TKG IV sehingga tidak didapatkan hasil ukuran pertama kali matang gonad (Lampiran 4).

Pada penelitian Grande et al. (2014) menyebutkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad (Lm) ikan cakalang betina di perairan Samudera Hindia Barat

diperkirakan sebesar 399 mm. Menurut Brock (1954), ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang betina di perairan sekitar kepulauan Hawai sebesar 400 mm. Penelitian Sumadhiharga dan Hukom (1987) diperoleh nilai Lm di Laut

Banda sebesar 418 mm pada ikan cakalang betina dan 420 mm pada ikan cakalang jantan. Manik (2007) mendapatkan hasil ukuran ikan cakalang terkecil yang sudah matang gonad (TKG III) di perarian sekitar pulau Seram Selatan dan pulau Nusa laut berukuran 436 mm pada jantan dan 428 mm pada betina. Hasil pengamatan secara histologi yang dilakukan Mallawa et al. (2014) di perairan Laut Flores didapatkan bahwa ikan cakalang mencapai fase siap memijah pada ukuran 555 mm dan diduga memijah pada ukuran 560 mm pada betina dan 600 mm pada jantan.

Nikolsky (1963) menyatakan, bahwa perbedaan ukuran pertama kali matang gonad ikan cakalang dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur, serta kecepatan pertumbuhan. Perbedaan tempat pemijahan dapat menimbulkan perbedaan musim pemijahan. Menurut Widiawati (2000), puncak pemijahan ikan cakalang untuk Selatan Jawa antara bulan Mei hingga Oktober, untuk Barat Sumatera pada bulan September hingga Desember, dan untuk perairan Laut Banda pada bulan Desember. Musim penangkapan ikan cakalang di PPS Cilacap berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober dan puncaknya pada bulan Agustus-September (Merta 2004).

Frekuensi panjang ikan cakalang menyebar mulai selang kelas panjang 220-791 mm. Apabila dibandingkan dengan penelitian Fadhilah (2010), panjang ikan cakalang total yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 246-535 mm. Panjang ikan cakalang total yang tertangkap pada perairan Samudera Hindia Barat menurut penelitian Mayangsoka (2010) bekisar antara 250-568 mm. Frekuensi tertinggi ikan cakalang terdapat pada selang kelas 324-375 mm. Hal ini menunjukkan bahwa banyak ikan cakalang berukuran kecil yang tertangkap, sehingga dapat diduga bahwa perairan tersebut merupakan daerah pengasuhan (nursery area). Banyaknya ikan-ikan muda yang tertangkap akan beresiko terhadap keberadaan stok ikan. Ikan cakalang merupakan spesies yang memiliki resiko terhadap stok besar

(31)

19 perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan ukuran pertama kali matang gonad, perbedaan masa hidup, dan adanya pemasukan jenis ikan atau spesies baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Spesies ikan yang sama dan hidup di lokasi perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda karena adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Faktor dalam tersebut adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, umur, serta penyakit, sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan adalah suhu dan makanan (Effendie 2002).

Analisis kelompok umur dilakukan untuk melihat adanya perubahan rata-rata panjang ikan setiap pengambilan contoh. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada pengambilan contoh ke-1 hingga ke-2 dan pengambilan contoh ke-3 hingga 4 terdapat pergeseran kurva ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan pada ikan cakalang. Pada pengambilan contoh ke-3, yaitu akhir Februari terjadi proses recruitment yang ditandai dengan adanya pergeseran ke arah kiri. Hal ini diduga terjadi karena adanya individu baru yang masuk ke dalam stok ikan cakalang, sehingga membentuk kelas panjang baru. Selain itu dapat diduga ikan yang ditangkap pada akhir Februari memiliki ukuran panjang yang kecil atau ikan cakalang yang berusia muda tertangkap oleh nelayan. Penangkapan ikan berusia muda sangat mempengaruhi keberadaan stok sumberdaya ikan cakalang. Faktor utama yang menyebabkan hal demikian, yaitu ukuran mata jaring yang terlalu kecil sehingga penangkapan tidak selektif.

Analisis hubungan panjang bobot pada ikan cakalang menghasilkan nilai b sebesar 3,0 dengan t sebesar 0,5. Berdasarkan uji t (α = 0,05) terhadap nilai b didapatkan pola pertumbuhan ikan cakalang, yaitu isometrik yang berarti pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan bobot. Perbedaan pola pertumbuhan dari beberapa penelitian sebelumnya disebabkan adanya perbedaan nilai b (Tabel 7).

Tabel 7 Perbandingan pola pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Sumber Lokasi Persamaan

pertumbuhan

Pola pertumbuhan

Uktolseja (1987) Perairan Timur Indonesia

(Sorong) W= 0,00001L

Fadhilah (2010) Palabuhanratu dan sekitarnya W= 0, 000004L3,2 Allometrik positif

Jamal et al.

(2011) Kawasan Teluk Bone W= 0,0004L

2,8

Isometrik

Penelitian ini

(2015) Perairan Samudera Hindia W= 0,00001L

3,0

Isometrik

(32)

20

pola pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulos dan Stergiou 2002 in Kharat et al. 2008). Selanjutnya Matsumoto et al. (1984) in Jamal et al. (2011), menyatakan bahwa nilai b ikan cakalang berbeda-beda pada setiap lokasi penangkapan. Nilai terbesar b = 3,67 diperoleh dari lokasi Bonin Island, West Pacific dan terkecil b = 1,70 yang berasal dari Filipina.

Parameter pertumbuhan dengan metode von Bertalanffy (parameter L∞

dan K) dapat diduga dengan menggunakan metode plot Ford Walford yang merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga suatu parameter pertumbuhan dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama. Kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dipisahkan dengan menggunakan metode NORMSEP dalam program FISAT II. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin rendah koefisien pertumbuhan semakin lama waktu yang dibutuhkan spesies tersebut untuk mendekati panjang asimtotik, dan sebaliknya semakin tinggi koefisien pertumbuhan semakin cepat waktu yang dibutuhkan mendekati panjang asimtotik. Hasil analisis beberapa penelitian mengenai ikan cakalang disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Gaertner D et al. (2008) Perairan Atlantik

bagian Timur 893,8 0,4 -0,1705

Mayangsoka (2010) Samudera Hindia Barat

(Barat Sumatera) 591,2 0,4 -1,0749

Penelitian ini (2015) Perairan Samudera

Hindia 992,6 0,3 -0,2195

Secara umum pertumbuhan ikan cakalang lambat, hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien yang rendah. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut (L∞ dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan dan kematangan gonad (Merta 1992 in Jamal et al. 2011). Oleh karena itu, perbedaan nilai parameter pertumbuhan yang didapatkan dari lokasi-lokasi tersebut diduga dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda. Waktu penelitian juga dapat mempengaruhi perbedaan nilai parameter pertumbuhan yang didapat. Selanjutnya Widodo dan Suadi (2008), menyatakan bahwa kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan sampel yang dianalisis mengenai cara atau metode yang digunakan.

(33)

21 karena ikan tidak mendapatkan waktu pulih untuk melakukan pertumbuhan. Perbedaan koefisien laju pertumbuhan menurut Gaertner (2008), menunjukkan bahwa ikan cakalang tumbuh lebih cepat di wilayah utara timur Samudera Atlantik daripada di daerah khatulistiwa

Penentuan tingkat eksploitasi dapat diperkirakan melalui parameter pertumbuhan dan mortalitas dari beberapa spesies ikan. Pauly dan Palomares (1986) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 (Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5). Laju eksploitasi ikan

cakalang sudah melebihi nilai optimum, yaitu sebesar 0,93 (Tabel 6). Nilai ini mengindikasikan adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overexploited) terhadap ikan cakalang, dengan tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil. Semakin besar aktivitas penangkapan maka akan mengakibatkan sumberdaya ikan terancam. Hal ini serupa dengan beberapa penelitian sebelumnya oleh Mayangsoka (2010) yang memiliki nilai eksploitasi untuk ikan cakalang di perairan Samudera Hindia Barat sebesar 0,95 dan Fadhilah (2010) dengan nilai laju eksplotasi ikan cakalang di perairan Palabuhanratu dan sekitarnya, yaitu sebesar 0,94. Tingginya tingkat eksploitasi mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang sangat tinggi terhadap stok ikan cakalang di perairan Samudera Hindia tepatnya di perairan selatan Jawa. Penangkapan ini akan berpengaruh terhadap perubahan populasi ikan di suatu perairan (Oktaviyani 2013).

Pengelolaan sumberdaya perikanan pada awalnya didasarkan pada faktor biologi, yaitu dengan pendekatan Maximum Sustainable Yield (Waileruny 2014). Masing-masing model biologi pengelolaan perikanan secara eksplisit atau implisit mengandung informasi mengenai overfishing yang merupakan suatu masalah umum dari para pengelola perikanan. Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum) dan tangkapan maksimum lestari. Rumus-rumus model produksi surplus (MPS) hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan upaya penangkapan akan menyebabkan penurunan CPUE (Utami et al. 2012).

Model Schaefer menduga upaya optimum (fmsy) sebesar 1700 trip per

tahun dan Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 3354,6 ton per tahun. Pada tahun 2010 produksi perikanan ikan cakalang sebesar 361,2 ton per tahun. Nilai ini mengalami penurunan yang sangat signifikan dari tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi Reuters pada artikel medan bisnis (2011), produksi perikanan tangkap di Cilacap, Jawa Tengah selama tahun 2010 menurun di akibatkan pengaruh cuaca buruk yang sering terjadi sehingga nelayan mengalami musim panceklik yang berkepanjangan di wilayah perairan selatan.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ikan cakalang yang didaratkan di PPS Cilacap telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari upaya rata-rata yang lebih besar dari nilai upaya optimumnya. Pada tahun 2014 jumlah produksi perikanan ikan cakalang sebesar 675,4 ton dengan upaya 1965 trip, nilai tersebut dapat diduga bahwa produksi perikanan menurun akibat upaya melaut melebihi upaya optimum. Selain itu ditunjukkan pula dari tingginya laju eksploitasi yang sudah melebihi laju eksploitasi optimum dan tingginya laju mortalitas penangkapan.

(34)

22

perikanan tetap dapat lestari dan berkelanjutan. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan tersebut dapat dihindari dengan melakukan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Keberlanjutan perikanan tangkap sebaiknya didukung oleh peraturan yang menetapkan ukuran ikan yang layak tangkap. Hal ini dapat berguna baik untuk faktor keamanan (population safety) maupun untuk keberlanjutan populasi (population sustainability) (Mallawa et al. 2014). Salah satu kriteria ikan layak ditangkap adalah memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at first maturity, Lm). Berdasarkan ukuran ikan layak

tangkap tersebut, spesifikasi alat untuk menangkap cakalang dapat ditentukan dalam mendukung keberlanjutan perikanan tangkap. Pengaturan spesifikasi alat tangkap ini merupakan jenis pengendalian input perikanan (Jamal et al. 2011).

Pada hasil Lm diperoleh jumlah ikan yang ukurannya lebih kecil dari

ukuran pertama kali matang gonad sebanyak 657 ekor atau 79,93%. Oleh karena nilai persantase yang didapatkan telah melebihi 50%, maka dapat diduga bahwa telah terjadi gejala recruitment overfishing pada ikan cakalang. Recruitment overfishing adalah penangkapan ikan dewasa secara berlebihan akibat meningkatnya usaha penangkapan sehingga produksi telur, larva, dan ikan muda berkurang, penambahan jumlah anggota baru ke dalam stok juga berkurang, sehingga tidak cukup untuk mempertahankan populasi (McManus et al. 1997). Recruitment overfishing terjadi karena selama pengambilan contoh empat bulan frekuensi tertinggi ikan yang tertangkap berada pada selang kelas 324-375 mm, dimana ukuran ini lebih kecil dari ukuran pertama kali ikan cakalang matang gonad, yaitu sebesar 439,4 mm.

Pencegahan terhadap recruitment overfishing adalah dengan melakukan proteksi terhadap sejumlah stok induk (parental stock) yang memadai (Widodo dan Suadi 2008). Namun, pada kenyataannya untuk mengatur dan merubah pengelolaan perikanan dalam kondisi saat ini sangat sulit, sehingga upaya yang mungkin dapat dilakukan, yaitu berupa pengendalian penangkapan untuk mengurangi resiko tertangkapnya ikan cakalang yang belum matang gonad, pengendalian upaya menjadi lebih menentukan hasil yang baik bagi nelayan, serta perlu adanya pusat data yang memfasilitasi tersedianya data yang respresentatif sehingga diharapkan data tersebut dapat memberikan informasi yang tepat.

(35)

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pola pertumbuhan ikan cakalang di perairan Samudera Hindia Barat adalah isometrik. Ikan cakalang di perairan Samudera Hindia diduga telah mengalami kondisi recruitment overfishing. Laju eksploitasi ikan cakalang sebesar 0,93 yang menunjukkan telah terjadi tangkap lebih (overexploited). Hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Suistainable Yield (MSY) sebesar 3354,3 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) sebesar 2683,4 ton per tahun.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai wilayah daerah pengasuhan (nursery area) di wilayah perairan Samudera Hindia agar didapatkannya data yang semakin lengkap, sehingga dapat memberikan pengelolaan perikanan yang lebih tepat. Perlu adanya pusat data yang memfasilitasi tersedianya data yang respresentatif sehingga diharapkan data tersebut dapat memberikan informasi yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Andrade HA, Campos RO. 2002. Allometry coefficient variations of the length– weight relationship of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) caught in the southwest South Atlantic. Journal Fisheries Research 55: 307-312.

Brock VE. 1954. Some aspect of the biology of the Aku (Katsuwonus pelamis) in the Hawaiian Islands. Journal Pasific Science 8: 94-104.

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID). Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal.

Fadhilah LN. 2010. Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) Yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fandri D. 2012. Pertumbuhan dan reproduksi ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) di Selat Sunda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Food And Agriculture Organization (FAO)of The United Nations. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome. 41p.

(36)

24

Grande M, Murua H, Zudaire I, Goni N, Bodin N. 2014. Reproductive timing and reproductive capacity of the Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in the western Indian Ocean. Journal Fisheries Research 156: 14-22.

Jamal M, Sondita MFA, Haluan J, Wiryawan B. 2011. Pemanfaatan Data Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dalam Rangka Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab di Perairan Teluk Bone. Jurnal Natur Indonesia 14(1): 107-113.

Kharat SS, Khillare YK, Dahanukar N. 2008. Allometric scaling in growth and reproduction of a freshwater loach Nemacheilus mooreh (Sykes, 1839). Electronic Journal of Ichtyology. 1:8-17.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473A. 1985. Penetapan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Direktorat Jendral Pertanian. Jakarta.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45. 2011. Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Replublik Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta.

King M. 1995. Fishery Biology, Asessment, and Management. Fishing News Books. London, USA. 341p.

Koya KPS, Joshi KK, Abdussamad EM, Rohit P, Sivadas M, Kuriakose S, Ghosh S, Koya M, Dhokia HK, Prakasan D, Koya VAK, Sebastine M. 2012. Fishery, biology and stock structure of skipjack tuna, Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758) exploited from Indian waters. Indian Journal Fish 59(2): 39-47.

Mallawa A, Amir F, Zainuddin M. 2014. Keragaan Biologi Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Tertangkap dengan Purse Seine Pada Musim Timur di Perairan Laut Flores. Jurnal IPTEKS PSP 1(2): 129-145. Manik N. 2007. Beberapa Aspek Biologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

di Perairan Sekitar Pulau Seram Selatan dan Pulau Nusalaut. Jurnal Oseanologi dan Limnologi 33: 17-25.

Mayangsoka, ZA. 2010. Aspek Biologi dan Analisis Ketidakpastian Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Didaratkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Merta IGS. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. 116p.

McManus JW, Reyes RB, Nanola CL. 1997. Effects of some destructive fishing methods on coral cover and potential rates of recovery. Environmental Banten. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Orange CJ. 1961. Spawning of Yellowfin Tuna and Skipjack in the Eastern Tropical Pacific, As Inferred From Studied of Gonad Development. Bulletin Inter-American Tropical Tuna Commission 5(6): 459-496.

(37)

25 Pauly D, Palomares ML. 1986. Growth, Mortality and Recruitment og Commercially Improtant Fishes and Penaeid Shrimps in Indonesia Waters. ICLARM. Filipina.

Reuters. Cuaca Buruk, Produksi Perikanan Tangkap Menurun. http://www.medanbisnisdaily.com/. Di akses pada 25 Juni 2015.

Saha SN, Vijayanand P, Rajagopal S. 2009. Length-weight Relationship and Relative Condition Factor in Thenus Or ientalis (Lund, 1793) along East Coast of India. Journal of Biological Sciences 1(2): 11-14.

Spare P, Venema S C. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku i-manual (edisi terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID). 438 hal.

Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedure of Statistic : a Biological Approach. New York (NY) : Mic Grow Hill Bool Company, Inc.

Sulistiono, Jannah MR, Ernawati Y. 2001. Reproduksi Ikan Belanak (Mugil dussumieri) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnla Iktiologi Indonesia 1(2): 31-37.

Sulistiono, Firmansyah A, Sofiah S, Brojo M, Affandi R, Mamengke J. 2007. Aspek biologi ikan butini (Glossogobius Matanensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 14(1): 13-22.

Sumadhiharga K dan Hukom FD. 1987. Hubungan panjang berat, makanan dan reproduksi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di laut Banda. Makalah pada Kongres Biologi Nasional VIII. Purwokerto.

Suwarni. 2009. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi ikan butana Acanthurus mata (Cuvier, 1829) yang tertangkap di sekitar Perairan Pantai Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 19 (3) : 160-165.

Udupa KS. 1896. Statistical method of estimating the size at first maturity of fishes. Fishbyte. 4(2): 8-10.

Uktolseja JBC. 1987. Estimates growth parameters and migrations of skpijack tuna (Katsuwonus pelamis), in the Eastern Indonesian waters through tagging experiments. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 43: 15-44.

Utami DP, Gumilar I, Sriati. 2012. Analisis bioekonomi penangkapan ikan layur (Trichirus sp.) di Perairan Parigi Kabupaten Ciamis. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(3):137-144.

Walpole RS. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta (ID). PT Gramedia Pustaka Umum. 515 hal.

Waileruny W. 2014. Pemanfaatan Berkelanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Laut Banda dan Sekitarnya Provinsi Maluku. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Widiawati E. 2000. Analisis Pola Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Cilauteureun, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widodo J dan Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

World Wildlife Fund. Blowing up the bad guys: Will Indonesia’s new fisheries

(38)

26

LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Chi-square terhadap proporsi kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

(39)

27 Lampiran 3 Tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

(40)

28

m =[�� + �2 ]- � ∑pi m = 2,6428

antilog = 10^2,6428 = 439,3977 mm Keterangan :

log m : Logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama x : Logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang

k : Jumlah kelas panjang

xk : Logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad qi : 1-pi

pi : ri/ni

ri : Jumlah ikan matang pada kelompok ke-i ni : Jumlah ikan pada kelompok panjang ke-i

Lampiran 5 Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

SKb Ska SK BKb Bka BK Xi Fi

220 271 220-271 219,5 271,5 219,5-271,5 245,5 8

272 323 272-323 271,5 323,5 271,5-323,5 297,5 138

324 375 324-375 323,5 375,5 323,5-375,5 349,5 249

376 427 376-427 375,5 427,5 375,5-427,5 401,5 230

428 479 428-479 427,5 479,5 427,5-479,5 453,5 100

480 531 480-531 479,5 531,5 479,5-531,5 505,5 71

532 583 532-583 531,5 583,5 531,5-583,5 557,5 3

584 635 584-635 583,5 635,5 583,5-635,5 609,5 9

636 687 636-687 635,5 687,5 635,5-687,5 661,5 6

688 739 688-739 687,5 739,5 687,5-739,5 713,5 4

740 791 740-791 739,5 791,5 739,5-791,5 765,5 4

Lampiran 6 Pendugaan parameter pertumbuhan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Lt L t+1

323,5 496,4

496,4 609,6

609,6 713*

713*

Note: *Didekati dari rata-rata panjang yang diukur

Perpotongan (a) 249,7

Kemiringan (b) 0,7

L infinity 992,6

K 0,3

(41)

29 Lampiran 7 Hubungan panjang bobot ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

dB JK KT Fhit

Regresi 1 44,6282 44,6282 4799,5873

Sisa 820 7,6246 0,0093

Total 821 52,2529

Coefficients

Standard Error

Perpotongan -4,8424 0,1127

Kemiringan 3,0204 0,0436

thit 0,4673

ttab 1,9629

thit < ttab maka gagal tolak H0, sehingga pola pertumbuhannya adalah isometrik

(b=3)

Lampiran 8 Pendugaan mortalitas ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

SKb Ska Xi C (L1,L2) t (L1) ∆t t(L1/L2)/2 Ln((C(L1,L2)/∆t)

(x) (y)

220 271 245,5 8 0,5833 0,2099 0,6860 3,6405

272 323 297,5 138 0,7975 0,2307 0,9101 6,3941

324 375 349,5 249 1,0329 0,2560 1,1575 6,8802

376 427 401,5 230 1,2942 0,2875 1,4336 6,6846

428 479 453,5 100 1,5877 0,3279 1,7460 5,7201

480 531 505,5 71 1,9226 0,3816 2,1057 5,2260

532 583 557,5 3 2,3123 0,4564 2,5296 1,8830

584 635 609,5 9 2,7786 0,5678 3,0457 2,7632

636 687 661,5 6 3,3591 0,7518 3,7054 2,0771

688 739 713,5 4 4,1283 1,1153 4,6212 1,2772

740 791 765,5 4 5,2716 2,2089 6,1286 0,5938

Lampiran 9 Standarisasi alat tangkap

Tahun Payang Drift Gill net Rawai Tuna

C F C F C F

2008 170,0807 2480 1524,1885 1382 578,0809 1709

2009 39,4150 739 1423,5396 1723 372,8054 1527

2011 714,9804 1382 1274,3665 1463 529,8171 1679

2012 355,2868 1868 1403,8145 1611 641,7047 830

(42)

30

Alat Tangkap C F CPUE FPI

Payang 1423,8708 8361,0000 0,1703 0,2430

Drift Gillnet 6063,4790 8653,0000 0,7007 1,0000

Rawai Tuna 2264,4865 5998,0000 0,3775 0,5388

Lampiran 10 Model produksi surplus

a. Tabel produksi dan upaya penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Tahun C F CPUE Ln CPUE

2008 2272,3500 2905,4786 0,7821 -0,2458

2009 1835,7600 2725,3088 0,6736 -0,3951

2011 2519,1640 2703,4700 0,9318 -0,0706

2012 2400,8060 2512,1612 0,9557 -0,0453

2013 723,7563 3070,1202 0,2357 -1,4450

b. Tabel nilai MSY dan fmsy menggunakan model Schaefer dan FOX

Nilai Model Schaefer Model FOX

a 3,9461 5,7855

B -0,0012 -0,0022

R2 71,31% 67,28%

Upaya Optimum (fmsy) (unit) 1700,0186 447,0578

Maximum Sustainable Yield (MSY) (ton/tahun) 3354,2535 53538,0514

Potensi Lestari (PL) (ton/tahun) 3018,8282 48184,2463

(43)

31

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Gambar 3 Penentuan panjang total (A-B) ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Tabel 2 Rasio kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap
+7

Referensi

Dokumen terkait