DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2015
STEVEN SOLIKIN
NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (
BACKSCATTERING
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Kekuatan Hambur Balik (Backscattering Strength Value) Substrat Berpasir adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
STEVEN SOLIKIN. Nilai Kekuatan Hambur Balik Substrat Berpasir. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI
Klasifikasi tipe dasar perairan, seperti dasar perairan berbatu, berpasir, dan berlumpur dapat menggunakan metode hidroakustik. Metode hidroakustik menggunakan prinsip gelombang suara dalam proses pengoperasiannya. Gelombang suara yang mengenai dasar perairan menghasilkan suatu nilai, yaitu nilai hambur balik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung nilai hambur balik dari dasar perairan dan mengetahui hubungan dari nilai hambur balik tersebut dengan ukuran butir dan fraksi dari substrat berpasir di perairan gugus Pulau Pari. Pengambilan data oleh Syahrul Purnawan dilakukan pada sepuluh stasiun, dimana sembilan stasiun memiliki tipe substrat berpasir dan satu stasiun memiliki tipe substrat pasir berlumpur. Komposisi fraksi pada setiap stasiun terdiri dari tiga fraksi, yaitu fraksi pasir, kerikil, dan lumpur. Substrat berpasir memiliki nilai hambur balik yang lebih tinggi dibandingkan substrat pasir berlumpur karena tingkat kekasaran dan kekerasan substrat berpasir lebih besar dibandingkan substrat pasir belumpur. Dari hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa hubungan antara komposisi fraksi sedimen, diameter fraksi, dan nilai hambur balik memiliki keragaman mencapai 80.10%.
Kata kunci: hidroakustik, hambur balik, substrat berpasir, Pulau Pari, PCA
ABSTRACT
STEVEN SOLIKIN. Backscattering Strength Value of Sandy Substrate. Supervised by SRI PUJIYATI.
The types of seafloor, such as rocky, sandy, and muddy seafloor can be classified using hydroacoustic method. Hydroacoustic method uses sound wave principle in its operation. The sound wave which hits the seafloor produces some values, which are called backscattering strength values. The aim of this research is to calculate the value of seafloor backscattering strength and to tell the correlation between the backscattering strength value with the grain size and fraction of sandy substrate in Pari Island. Sampling by Syahrul Purnawan is conducted in ten stations, where nine of them have sandy substrate and one has muddy sand substrate. The fraction composition in each station consists of three fractions, which are sand, pebble, and mud fractions. Sandy substrate has higher backscattering strength value than the muddy sand one. The result of PCA analysis shows that the correlation between sediment fraction, fraction diameter, and backscattering strength value has variability up to 80.10%
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
STEVEN SOLIKIN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2015
NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (
BACKSCATTERING
Judul Skripsi : Nilai Kekuatan Hambur Balik (Backscattering Strength Value) Substrat Berpasir
Nama : Steven Solikin NIM : C54110052
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si. Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan berkat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2014 ini ialah akustik dasar perairan, dengan judul Nilai Kekuatan Hambur Balik (Backscattering Strength Value) Substrat Berpasir.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua beserta keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doa, kemudian juga kepada Syahrul Purnawan, S.Pi, M.Si yang telah mengijinkan penulis untuk menggunakan data penelitiannya dan semua pihak yang telah mendukung baik moril maupun materil demi terselesaikannya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
METODE 2
Waktu dan Lokasi Penelitian 2
Alat dan Bahan 3
Prosedur Analisis Data 4
Analisis Ukuran Butiran 6
Visualisasi Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Sedimen Dasar Perairan 7
Volume Backscattering Strength (Sv) Dasar Perairan 8 Hubungan antara Nilai E1, E2, Fraksi, dan Diameter Fraksi 11
SIMPULAN DAN SARAN 14
DAFTAR PUSTAKA 14
DAFTAR TABEL
1 Alat yang digunakan 3
2 Bahan yang digunakan 3
3 Spesifikasi SIMRAD EY60 scientific echosounder system 4
4 Komposisi fraksi pada setiap stasiun 8
5 Nilai hambur balik dasar perairan 10
DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi pengambilan data 3
2 Diagram alir pengolahan data 5
3 Persentase sedimen di lokasi penelitian 7
4 Contoh tampilan echogram substrat berpasir 9 5 Contoh tampilan echogram substrat pasir berlumpur 9 6 PCA untuk komposisi fraksi sedimen, diameter fraksi, dan
nilai hidroakustik pada sumbu F1 dan F2 12
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Substrat dasar perairan merupakan suatu kajian yang menarik untuk dipelajari, karena dasar perairan merupakan habitat bagi hewan bentik, ikan demersal, dan banyak mikrofauna lainnya (Pujiyati 2008). Selain itu, informasi mengenai dasar perairan sendiri sangat berguna dalam aplikasi bidang kelautan, seperti studi habitat ikan, pembangunan pelabuhan, studi geologi, eksplorasi laut, dan pertambangan (Manik 2011).
Pada umumnya informasi mengenai tipe dasar perairan didapatkan menggunakan grab dan coring. Namun perolehan informasi dengan teknik tersebut memiliki beberapa kekurangan, diantaranya adalah perolehan data dengan waktu yang lama dan wilayah yang terbatas. Oleh karena itu dikembangkanlah metode hidroakustik untuk menutup kekurangan tersebut.
Menurut Urick (1983), dasar laut memiliki karakteristik untuk memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara. Metode hidroakustik, yang pada prinsipnya adalah menggunakan gelombang suara tersebut, dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar perairan.
Metode hidroakustik sudah dapat mengklasifikasi tipe dasar perairan, seperti batu, pasir, dan lumpur (Stanton 1994). Perbedaan tipe dasar laut dapat digambarkan melalui kekasaran dasar (roughness) dan kekerasan dasar (hardness) dari batu, pasir, lumpur, atau campurannya (Siwabessy et al. 1999). Nantinya informasi yang diperoleh dari metode hidroakustik akan dikombinasikan dengan informasi yang didapat menggunakan grab atau coring untuk mendapatkan hasil yang lebih valid.
Perairan di Kepulauan Seribu tergolong perairan dangkal (rata-rata 30 m) dengan ekosistem yang sangat beragam, diantaranya adalah ekosistem terumbu karang dan lamun. Tipe dasar perairan di perairan Kepulauan Seribu sendiri sangat beragam, mulai dari terumbu yang merupakan dasar perairan yang keras hingga lumpur yang merupakan dasar perairan yang halus (Pujiyati et al. 2010).
2
Manik et al. (2006) yang mengintegrasi echo dasar perairan melalui pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan Quantitative Echo Sounder di perairan Selatan Jawa; Pujiyati (2008) mengukur nilai backscattering volume (E1 dan E2) dari dasar perairan yang berlokasi di perairan Pulau Pari (Kepulauan Seribu), Belitung, Kalimantan Timur, dan Laut Jawa; Allo (2011) yang mengkuantifikasi dan mengkarakterisasi hambur balik dasar perairan di Kepulauan Seribu.
Penelitian ini akan memberikan informasi kuantitatif mengenai nilai hambur balik dari tipe dasar perairan yang berpasir, yaitu nilai backscattering volume (E1 dan E2). Pemilihan Pulau Pari sebagai lokasi penelitian karena Pulau Pari dianggap dapat menjadi model bagi pulau-pulau lainnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai hambur balik dari dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder, serta mengetahui hubungan dari nilai hambur balik tersebut dengan ukuran butir dan fraksi dari substrat berpasir di gugus Pulau Pari.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
3
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan data di perairan gugus Pulau Pari (Purnawan 2009)
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengolahan data Purnawan (2009) ini dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Alat yang digunakan
Alat Kegunaan
Echosounder SIMRAD EY60, 120 kHz Perekaman data akustik Software Echoview 4.0 Mengintegrasi raw data Software Ms. Excel Mengolah dan merapikan data Software Minitab 14 Melakukan analisis PCA
Bahan yang digunakan dalam pengolahan data Purnawan (2009) ini dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Bahan yang digunakan
Bahan Kegunaan
Data rekaman akustik (Syahrul Purnawan tahun 2008)
Menentukan hubungan antara ukuran partikel dan nilai hambur balik Data hasil analisis lab sedimen
(Laboratorium Geologi P2O LIPI)
4
Spesifikasi transducer dalam sistem echosounder SIMRAD EY60 adalah seperti disajikan pada Tabel 3 di bawah ini
Tabel 3. Spesifikasi SIMRAD EY60 scientific echosounder system Spesifikasi SIMRAD EY60 Operation setting Operating frequency 120 kHz
Operating models Active
Transmission power adjustable in steps 50 watt
Ping rate adjustable 60 m Maximum ping rate 20 pings/sec
Data collection range 0 to 1500 m
Receiver filtering matched digital filters Receiver noise figure 4 dB
Split-beam complex digital demodulation Synchronization internal and external
Bottom detection settings Adjustable Transmit power maximum 4 kW Receiver instantenous dynamic range 150 dB
Sumber: Simrad (2012)
Prosedur Analisis Data
Proses pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Echoview v.4 untuk mengekstraksi nilai mentah dari data akustik yang masih dalam format raw data, seperti nilai rata-rata volume backscattering strength (SV mean), nilai maksimum volume backscattering strength (SV max), nilai minimum volume backscattering strength (SV min), dan nilai NASC (Nautical Area Scattering Coefficient).
Pemrosesan data dilakukan dengan memasukkan faktor koreksi terhadap data yang diperoleh dari calibration setting, seperti kecepatan suara dan koefisien absorpsi. Setelah dikalkulasi, akan didapatkan nilai kecepatan suara 1543.32 m/s dan koefisien absorpsi 0.042873 dB/m pada suhu 30 °C dan salinitas 33 ppt.
5
dB dan nilai maksimum 0 dB. Integrasi pada SV hambur balik kedua yang menggambarkan kekerasan (E2) dengan kedalaman dan ping yang sama namun dengan threshold yang berbeda, yaitu dengan nilai minimum -60 dB dan nilai maksimum 0 dB dengan ketebalan 15 cm. Selanjutnya lapisan yang sudah terintegrasi tersebut diekstrak nilai akustiknya kemudian dicatat untuk dianalisis lebih lanjut. Diagram alir tahapan pengolahan data penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir pengolahan data Dasar Perairan
Survei akustik
SIMRAD EY60
Scientific echosounder
Sedimen Sampling
Integrasi echo
RAW Data
Ukuran butiran dan fraksi sedimen
Ekstraksi nilai SV per 100 ping tiap stasiun
Sv = 10( ) ; = ∑ ( )
Principal Component Analysis
Rata-rata nilai SV tiap stasiun
= 10 log ( )
Echo 1 (E1) untuk kekasaran permukaan
Echo 2 (E2) untuk kekerasan permukaan
α, koef. absorpsi
c, kecepatan suara t, suhu
6
Analisis Ukuran Butiran
Dalam menghitung nilai rata-rata ukuran butiran dipergunakan rumus sebagai berikut:
∑ ( ) (! )
"# $ (! ) ... (1)
Visualisasi Data
Penyajian data ditampilkan dengan menggunakan Microsoft Excel dan Principal Component Analysis (PCA). Penyajian data dengan Microsoft Excel ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel. PCA digunakan untuk menerangkan struktur ragam per ragam melalui kombinasi linear variabel konsep utama mereduksi data dana menginpretasikannya.
Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama bertujuan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi sehingga variabel yang jumlahnya cukup banyak akan diganti dengan variabel yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya objektivitas analisis (Andi 2002). Dalam penelitian ini, analisis PCA digunakan untuk melihat hubungan antara komposisi fraksi sedimen dan diameter fraksi dengan nilai akustik. Analisis ini dilakukan untuk melihat seberapa besar keterikatan antara satu komponen dengan komponen yang lain. Komposisi fraksi sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi fraksi pasir, fraksi lumpur, dan fraksi kerikil, sedangkan untuk parameter akustik meliputi nilai E1 dan E2.
Menurut Soemartini (2008), keuntungan menggunakan analisis PCA dibandingkan analisis yang lain adalah:
1. Menghilangkan korelasi secara bersih (korelasi = 0) 2. Dapat digunakan untuk segala kondisi data/penelitian 3. Dapat digunakan untuk mengurangi jumlah variabel asal
7
Dalam analisis PCA, suatu korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya 0.50 – 1.00. Parameter yang dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0.50 sampai dengan -1.00 dan jika nilainya berada di antara --0.50 hingga -0.50 dianggap tidak mempunyai pengaruh yang nyata baik secara positif maupun negatif (Legendre dan Legendre 1983 dalam Allo et al. 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sedimen Dasar Perairan
Tipe sedimen di lokasi penelitian dari hasil analisis laboratorium memiliki dua tipe, yaitu pasir dan pasir berlumpur. Klasifikasi tersebut ditentukan berdasarkan komposisi fraksi pada contoh sedimen. Tipe pasir berlumpur ditemukan pada Stasiun 10 karena lokasi tersebut berdekatan dengan padang lamun. Sedimen yang ditemukan mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang
merupakan campuran dari pecahan karang dan cangkang kerang (Purnawan 2009). Fraksi pasir memiliki persentase rata-rata sebesar 81.8000%, fraksi lumpur memiliki persentase rata-rata sebesar 15.4000%, dan fraksi kerikil memiliki persentase rata-rata sebesar 2.8000%. Wibisono (2005) menyatakan bahwa perairan Kepulauan Seribu merupakan perairan yang memiliki sedimen tersortir dengan baik. Wilayah pantai, karang, pasir, dan lumpur tertata rapi secara alami.
Gambar 3. Persentase sedimen di lokasi penelitian (Sumber: Hasil analisis laboratorium sedimen LIPI)
STA 1STA 2STA 3STA 4STA 5STA 6STA 7STA 8STA 9 STA 10
Selatan Utara
Tepian Pulau Tikus Tepian Gugus Pari
8
Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 3 sebesar 93.5599% yang berada pada posisi 106°36'58.56'' BT dan 5°52'13.08'' LS pada kedalaman 1.73 meter dan terendah pada Stasiun 10 sebesar 66.6111% pada posisi 106°35'56.40'' BT dan 5°51'40.68'' LS yang berada pada kedalaman 1.29 meter. Persentase komposisi fraksi lumpur terbesar terdapat pada Stasiun 10 sebesar 30.8009% dan terendah pada Stasiun 3 sebesar 6.0649% yang berada pada posisi 106°36'58.56'' BT dan 5°52'13.08'' LS dengan kedalaman 1.78 meter, sedangkan untuk fraksi kerikil terbesar terdapat pada Stasiun 9 sebesar 7.6839% yang berada pada posisi 106°35'57.84'' BT dan 5°51'42.12'' LS dengan kedalaman 1.67 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 0.1159% yang berada pada posisi 106°36'59.28'' BT dan 5°52'10.92'' LS dengan kedalaman 1.44 meter (Tabel 4). Tabel 4. Komposisi fraksi pada setiap stasiun
Stasiun
Posisi Persentase Fraksi (%) Diameter Fraksi
(cm) SubstratTipe Bujur (BT) Lintang (LS) Pasir Kerikil Lumpur
STA 1 106°35'51.72'' 5°51'29.52'' 91.755 0.2888 7.9561 0.5358 Pasir STA 2 106°36'59.28'' 5°52'10.92'' 90.444 0.1159 9.4401 0.6906 Pasir STA 3 106°36'58.56'' 5°52'13.08'' 93.5599 0.3752 6.0649 0.6484 Pasir STA 4 106°36'57.84'' 5°52'12.36'' 76.9381 1.5308 21.9545 0.3065 Pasir STA 5 106°36'2.88'' 5°51'50.76'' 78.6889 3.5707 17.7404 0.4806 Pasir STA 6 106°36'0.18'' 5°51'44.57'' 84.8258 4.8681 10.3061 0.5822 Pasir STA 7 106°35'59.28'' 5°51'44.64'' 78.2694 1.3991 20.3315 0.2753 Pasir STA 8 106°35'58.56'' 5°51'43.20'' 78.0042 5.9533 16.0424 0.5382 Pasir STA 9 106°35'57.84'' 5°51'42.12'' 78.8784 7.6839 13.4377 0.8431 Pasir
STA
10 106°35'56.40'' 5°51'40.68'' 66.6111 2.5881 30.8009 0.3591 BerlumpurPasir
Volume Backscattering Strength (Sv) Dasar Perairan
9
Gambar 5 merupakan salah satu contoh echogram dari tipe substrat berpasir dan pasir berlumpur.
Gambar 4. Contoh tampilan echogram substrat berpasir
Gambar 5. Contoh tampilan echogram substrat pasir berlumpur
Echogram memberikan informasi dengan tepat lokasi dasar perairan pada proses integrasi untuk mendapatkan nilai Sv. Gambar 4 merupakan representasi dari stasiun dengan tipe substrat berpasir (Stasiun 1), sedangkan Gambar 5 merupakan representasi dari stasiun dengan tipe substrat pasir berlumpur (Stasiun 10). Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat perbedaan pada kedua echogram tersebut. Gambar 4 menunjukkan bentuk dasar perairan yang kasar, sedangkan Gambar 5 menunjukkan bentuk dasar perairan yang lebih halus. Hal ini disebabkan oleh perbedaan material yang dikandung oleh masing-masing stasiun. Menurut Burczynski (2002) dalam Allo (2011), bagian dasar perairan yang keras akan menghasilkan echo yang tajam dengan amplitudo yang tinggi sementara bagian dasar perairan lunak akan menghasilkan echo yang panjang dengan amplitudo yang rendah.
Hasil kuantifikasi nilai hambur balik dasar perairan menunjukkan bahwa tipe dasar perairan yang ditemukan di lokasi penelitian, substrat pasir memiliki
Echo 2 dasar perairan Echo 1 dasar perairan
10
nilai E1 yang berkisar antara -21.5854 dB hingga -8.7073 dB dengan nilai rata-rata sebesar -13.9843 dB, sedangkan substrat pasir berlumpur yang hanya ditemukan pada satu stasiun memiliki nilai E1 sebesar -20.5613 dB. Nilai E1 tertinggi untuk substrat berpasir terdapat pada Stasiun 1 sebesar -8.7073 dB dan terendah pada Stasiun 4 sebesar -21.5854 dB. Nilai ini diperoleh dengan mengintegrasikan dasar perairan dengan ketebalan lapisan 15 cm dengan nilai minimum threshold yang digunakan sebesar -40 dB dan maksimum 0 dB untuk E1, sedangkan untuk E2 nilai minimum threshold yang digunakan sebesar -60 dB dan maksimum 0 dB.
Nilai hambur balik dari pantulan kedua (E2) untuk substrat berpasir berkisar antara 63.4268 dB hingga 39.9477 dB dengan nilai ratarata sebesar -44.7129 dB. Sama halnya dengan nilai hambur balik dari pantulan pertama (E1), nilai tertinggi dan terendah untuk E2 ditemukan pada Stasiun 1 dan Stasiun 4. Nilai E2 untuk substrat pasir berlumpur yang ditemukan di lokasi penelitian adalah sebesar -61.8364 dB (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai hambur balik dasar perairan
Stasiun Sv E1 E2
E1 E2 Min Max Min Max
STA 1 -8.7073 -39.9477 -17.23 -5.85 -55.03 -34.24 STA 2 -19.9725 -56.2131 -30.86 -14.76 -72.29 -48.42 STA 3 -14.8162 -51.1158 -24.49 -10.60 -62.66 -41.52 STA 4 -21.5854 -63.4268 -28.28 -15.50 -82.95 -56.19 STA 5 -13.4429 -39.4105 -23.77 -7.38 -81.09 -24.91 STA 6 -14.1001 -43.2813 -26.87 -6.57 -61.38 -35.30 STA 7 -15.1510 -52.2561 -22.72 -8.29 -61.28 -44.63 STA 8 -15.7375 -49.5916 -22.16 -12.75 -53.84 -45.69 STA 9 -14.7441 -48.5961 -20.92 -10.90 -54.38 -44.21 STA 10 -20.5613 -61.8364 -32.50 -17.43 -87.42 -54.77
11
berlumpur. Semakin besar komposisi fraksi pasir yang dikandung pada substrat berpasir, maka nilai E1 dan E2 juga akan semakin besar. Hal berlawanan didapatkan pada Stasiun 1 yang merupakan stasiun dengan nilai E1 tertinggi (-8.7073 dB), namun stasiun dengan komposisi fraksi pasir yang tertinggi justru dimiliki oleh Stasiun 3. Hal ini dapat disebebakan karena Stasiun 1 yang lokasinya sudah cukup jauh dari daratan dibandingkan Stasiun 3, sehingga endapan lumpur yang merupakan proses sedimentasi dari daratan juga sudah berkurang. Jadi, walaupun komposisi fraksi pasir Stasiun 1 lebih rendah dibandingkan Stasiun 3, nilai E1 yang dimiliki Stasiun 1 tetap lebih tinggi dibandingkan Stasiun 3. Hal serupa juga ditemukan pada Stasiun 4 dan Stasiun 10, dimana Stasiun 4 merupakan stasiun dengan nilai E1 terendah (-21.5854 dB), namun Stasiun 10 merupakan stasiun dengan komposisi fraksi pasir yang terendah. Sama dengan kasus sebelumnya, Stasiun 4 yang lokasinya dekat dengan daratan menyebabkan adanya proses sedimentasi berupa endapan lumpur yang menyebabkan nilai hambur baliknya menjadi lebih rendah dibandingkan Stasiun 10 yang berada jauh dari daratan.
Dari hasil penelitian Purnawan (2009), dengan menggunakan data yang sama namun menggunakan metode pengolahan yang berbeda, didapatkan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Nilai hambur balik yang didapat dari penelitian Purnawan (2009) berkisar antara -16.35 dB hingga -9.74 dB. Rentang nilai yang didapatkan Purnawan masih berada dalam rentang nilai yang didapat penelitian ini. Perbedaan yang muncul disebabkan karena pengolahan data dalam penelitian Purnawan menggunakan syntax Matlab, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan Echoview versi demo.
Hubungan antara Nilai E1, E2, Fraksi, dan Diameter Fraksi
12
Gambar 6. PCA untuk komposisi fraksi sedimen, diameter fraksi, dan nilai hidroakustik pada sumbu F1 dan F2
Faktor 1 dan Faktor 2 merupakan hasil reduksi/penyusutan parameter yang diamati, namun tidak mengurangi objektivitas dari parameter-parameter yang lain. Berdasarkan Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa faktor 1 memiliki nilai keragaman sebesar 55.5000% dan faktor 2 memiliki nilai keragaman sebesar 24.6000%. Hasil analisis PCA yang dilakukan terhadap data pengamatan di perairan Pulau Pari dapat menjelaskan keragaman data sampai 80.1000%, sehingga interpretasi analisis komponen dianggap mewakili keadaan yang terjadi tanpa mengurangi informasi yang banyak dari data.
13
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti Gambar 7, dapat diperoleh adanya empat kelompok:
1. Kelompok 1 yang meliputi Stasiun 5, 6, 8, dan 9 adalah stasiun yang memiliki komposisi fraksi pasir yang lebih kecil dibandingkan Stasiun 1, 2, dan 3 dengan nilai E1 dan E2 yang lebih kecil dibandingkan Stasiun 1, 2, dan 3 pula. 2. Kelompok 2 yang meliputi Stasiun 1, 2, dan 3 adalah stasiun yang memiliki
komposisi fraksi pasir yang lebih besar dibandingkan stasiun lainnya yang ditandai dengan nilai E1 dan E2 yang lebih besar.
3. Kelompok 3 yang meliputi Stasiun 4 dan 7 adalah stasiun yang memiliki diameter fraksi yang lebih kecil dibandingkan stasiun lainnya.
4. Kelompok 4 yang meliputi stasiun 10 adalah stasiun dengan tipe substrat pasir berlumpur.
Hasil yang didapatkan pada Gambar 7 tidak menunjukkan penyebaran stasiun berdasarkan kedekatan lokasi stasiun, melainkan berdasarkan karakteristik sedimen yang dimiliki oleh setiap stasiun. Hal ini disebabkan karena sedimen dasar perairan Pulau Seribu memiliki keunikan tersendiri, yaitu mudah bersifat tidak kompak (unconsolidated) yang selalu dalam keadaan siap terurai dengan kekuatan arus yang lemah sekalipun (Wibisono 2005 dalam Pujiyati 2008).
Gambar 7. Penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu F1 dan F2 F1 (55,5%)
Variables (axes F1 and F2: 80,1%)
Kelompok 1
Kelompok 2
14
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai hambur balik (E1) substrat berpasir di sekitar perairan gugus Pulau Pari berkisar antara -21.5854 dB hingga -8.7073 dB dengan nilai rata-rata sebesar -13.9843 dB, sedangkan nilai E2 berkisar antara -63.4268 dB hingga -39.9477 dB dengan nilai rata-rata sebesar -44.7129 dB. Substrat pasir berlumpur yang ditemukan memiliki nilai E1 sebesar -20.5613 dB dan nilai E2 sebesar -61.8364 dB.
Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) menunjukkan bahwa hubungan antara komposisi fraksi sedimen, diameter fraksi dengan nilai hambur balik substrat (E1 dan E2) memiliki keragaman mencapai 80.10%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap sedimen dengan tipe yang lebih beragam sehingga dapat diketahui nilai hidroakustik dari berbagai jenis sedimen. Selain itu, perlakuan integrasi dengan ketebalan lapisan yang berbeda juga perlu dilakukan agar dapat diketahui perbedaan nilai E1 dan E2. Memperbanyak jumlah stasiun juga akan semakin baik agar hasil yang didapat lebih heterogen.
DAFTAR PUSTAKA
Allo OAT, Pujiyati S, dan Jaya I. 2009. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Sumur, Pandeglang, Banten. Jurnal Kelautan Nasional. 2(Edisi Khusus Januari): 129-139.
Allo OAT. 2011. Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu-Jakarta. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Andi. 2002. 10 Model Penelitian dan Pengolahannya dengan SPSS 14. Edisi IV. Andi Offseet. Yogyakarta. Wahana Komputer. Semarang.
Falco GD, Tonielli R, Martino GD, Innangi S, Simeone S, dan Parnum IM. 2010. Relationships between multibeam backscatter, sediment grain size and Posidonia oceanica seagrass distribution. Continental Shelf Research. 30(18): 1941–1950.
15
coastal zone using acoustic techniques. Proc. International Conference “Underwater Acoustic Measurement: Technology&Results”, 28 Juni-1 Juli 2005, Heraklion, Crete, Greece.
Hamilton, LJ. 2001. Acoustic seabed classification systems. DSTO-TN-0401. DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory. Australia.
Kenny, AJ. 2003. An overview of seabed-mapping technologies in the context of marine habitat classification. ICES Journal of Marine Science. 60(2):411-418. Manik, HM, Furusawa M, and Amakasu K. 2006. Quantifying Sea Bottom
Surface Backscattering Strength and Identifying Bottom Fish by Quantitative Echosounder. Japanese Journal of Applied Physics 45(5B):4.865-4.867. Manik, HM. 2011. Underwater acoustic detection and signal processing near the
seabed. Di dalam: Nikolai Kolev, editor. Sonar Systems; ISBN: 978-953-307-345-3, InTech.
Penrose JD, Siwabessy PJW, Gavrilov A, Parnum I, Hamilton LJ, Bickers A, Brooke B, Ryan DA, Kennedv P. 2005. “Acoustic Techniques for Seabed Classification.” Report prepared for the CRC for Coastal Zone Estuary and Waterway Management.
Pujiyati, S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pujiyati S, Hartati S, dan Priyono, W. 2010. Efek Butiran, Kekasaran, dan Kekerasan Dasar Perairan terhadap Nilai Hambur Balik Hasil Deteksi Hidroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1):59-67. Purnawan, S. 2009. Analisis Model Jackson pada Sedimen Berpasir
Menggunakan Metode Hidroakustik di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soemartini. 2008. Principal Component Analysis (PCA) sebagai Salah Satu Metode untuk Mengatasi Masalah Multikolinearitas. Jurusan Statistika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung
Simrad. 2012. Simrad EY 60 Portable scientific echosounder. Horten.
Siwabessy PJW, Penrose JD, Kloser RJ, Fox DR. 1999. “Seabed habitat classification.” Proc. International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Waters DSTO, 18-20 October 1999, Sydney, Australia.
Siwabessy PJW. 2001. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and benthopelagic biota using acoustic techniques. [thesis]. Australia: Curtin University of Technology.
Stanton, TK. 1994. Sound scattering by marine objects. Lecture Notes. Meeting of Marine Acoustic Society of Japan. 21(4).
Urick, RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3rded. Mc-Graw-Hill. New
York.
Walpole RE, Myers RH, Myers SL, Ye KE. 2011. Probability & Statistics for Engineers & Scientist, 9th ed. Pearson Education. New Jersey.
16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Februari 1994 dari Ayah Robert Solikin dan Ibu Marjam Tanizar. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Regina Pacis Bogor. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Selama berkuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) periode 2013/2014 hingga periode 2014/2015. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Dasar-dasar Akustik Kelautan (2013), Akustik Kelautan (2014), dan Oseanografi Fisik (2014) di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB, serta berbagai kepanitiaan seperti Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (OMBAK) (2013) dan menjadi ketua Ekspedisi HIMITEKA (2014).