• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Tanda Dalam Dayok Binatur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Tanda Dalam Dayok Binatur"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA TANDA DALAM DAYOK BINATUR

SKRIPSI

Oleh

JULIATI STEFANA SINAGA NIM 050701032

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

MAKNA TANDA DALAM DAYOK BINATUR

Oleh

JULIATI STEFANA SINAGA NIM 050701032

Proposal ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana sastra dan disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum Drs. Hariadi Susilo, M.Si NIP 19610721 198803 1 001 NIP 19580505 197803 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat hasil karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juni 2010

(4)

MAKNA TANDA DALAM DAYOK BINATUR

JULIATI S.S. Fakultas sastra USU

Abstrak

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sastra pada Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “Makna Tanda dalam Dayok Binatur”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A. Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Satra, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.

(6)

5. Bapak Drs. Hariadi Susilo, M. Si sebagai pembimbing II, yang telah memberikan perhatiannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum sebagai dosen wali, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan perkuliahan.

7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Sastra, khususnya staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis menjalankan perkuliahan.

8. Kedua orang tua tercinta, Bapak J. Sinaga dan Ibu. A. Purba yang telah memberikan dorongan, doa, materi, dan tenaga selama masa perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Penulis persembahkan skripsi ini untuk bapak dan ibu tercinta.

9. Kepada adik-adik saya Ramando, Rajaya, dan Rahot yang selama ini telah banyak memberikan dorongan, doa, dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat yang sangat membantu, Lasmaina, Stevani, David, Wira dan teman-teman stambuk 2005 yang selama ini telah banyak memberikan dorongan, doa, dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini..

(7)

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai makna tanda dalam Dayok Binatur.

Medan, Juni 2010

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.2 Pembatasan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitan ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat penelitian ... 10

1.3.2.1 Manfaat Teoritis ... 10

1.3.2.2 Manfaat Praktis... 10

(9)

2.1.2 Tanda ... 11

2.1.3 Semiotika ... 12

2.2 Landasan Teori ... 13

2.3 Tinjauan Pustaka ... 15

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian ... 18

3.2 Populasi Dan Sampel ... 18

3.2.1 Populasi ... 18

3.2.2 Sampel ... 18

3.3 Instrumen Penelitian ... 18

3.4 Metode dan Teknik Penumpulan Data... 19

3.5 Metode dan Tehnik Analisis Data……… 20

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Tampilan Sebagai Interpretasi Dayok Binatur ... 25

4.2 Tampilan Representasi dan Interpretasi Sosial Dayok Binatur .. 29

4.2 Makna Representasi dan Interpretasi Gori ... 34

4.2.1 Kepala ‘Ulu’ ... 34

(10)

4.2.3 Rempelo’Dekke Bagas’ ... 36

4.2.4 Tulang Dada ‘Tuppak’ ... 37

4.2.5 Pangkal Paha ‘Tulan Bolon’ ... 39

4.2.6 Paha ‘tulan parnamur’ ... 40

4.2.7 Ceker ‘Kais-Kais’ ... 41

4.2.8 Sayap ‘Habong’ ... 42

4.2.9 Sel Telur ‘Tuah ni’ ... 43

4.2.10 Buntut’ihur’ ... 44

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 45

5.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA

(11)

MAKNA TANDA DALAM DAYOK BINATUR

JULIATI S.S. Fakultas sastra USU

Abstrak

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah sistem arti dan ekspresi yang digunakan oleh penutur bahasa untuk memenuhi kebutuhannya sebagai anggota masyarakat. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa, maka manusia akan sulit untuk saling berkomunikasi. Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai referensial, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara tentang lingkungan manusia yang terdekat dan juga mengenai tanda itu sendiri (fungsi metalinguistik), (Gorys Keraf 1997:1).

Anderson (1972:1) bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa adalah sebuah sistem lambang. Dikatakan demikian karena lambang adalah tanda yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial berdasarkan perjanjian dan untuk memahaminya harus dipelajari. Bahasa juga dapat mewakili sesuatu yang bermakna artinya bahasa itu berkaitan dengan aspek kehidupan alam sekitar masyarakat yang memakainya.

(13)

untuk melahirkan perasaan dan pikiran (Wibowo, 2001:3). Sobur, (2002:275) bahasa dalam arti luas ditafsirkan sebagai suatu penukaran komunikasi tanda-tanda dan ini berlaku baik bagi bahasa menurut arti sempit yaitu kata, baik disampaikan secara lisan atau tulisan, maupun mengenai semua tanda.

Bahasa memiliki dua aspek, aspek bentuk dan aspek makna. Aspek bentuk merujuk pada wujud visual suatu bahasa, sedangkan aspek makna merujuk pada pengertian yang ditimbulkan oleh wujud visual bahasa itu. Hal ini berkaitan dengan kajian semiotika sebagaimana semiotika adalah salah satu cabang dari ilmu bahasa.

Linguistik dari sudut semiotika termasuk ke dalam linguistik terapan, yaitu penelitian atau kegiatan dalam bidang bahasa yang bertujuan untuk memecahkan masalah. Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Suatu tanda menurut Littlejohn (dalam Sobur, 2004:16), menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan maknanya (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dari suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan tanda, makna, dan bentuk-bentuk nonverbal.

(14)

Selanjutnya, semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara, fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Jadi, semiotika adalah sebuah teori yang berasal dari teori bahasa, namun memiliki keandalan sebagai metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan yang bersifat nonverbal menurut Pateda (dalam Sobur, 2004:122). Yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat nonverbal dapat berupa: (i) tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, misalnya “Mari!”; (ii) suara, misalnya bersiul, atau menyembunyikan “ssssst…” yang bermakna memanggil seseorang; (iii) tanda yang diciptakan manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet ; dan (iv) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir menandakan darah, bibit pohon kelapa menandakan bahwa kedua pengantin harus banyak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar. Benda-benda yang baru disebut ini merupakan tanda yang bermakana kultural dan ritual bagi masyarakat Gorontalo (Sobur, 2004:122).

Demikian juga, dalam masyarakat Simalungun mengunakan Dayok Binatur yaitu daging ayam yang dimasak secara khusus dijadikan sebagai

(15)

makanan itu. Misalnya, supaya menempati posisi dan melaksanakan tugasnya penuh sebagai bapak, ibu, anak, tondong, orang tua, boru, atau sebagai petani, pedagang, buruh, pegawai, dll (ibarat unsur-unsur dalam tubuh).

Santosa (2003: 9) mengatakan kebudayaan merupakan sumber makna yang sekaligus merupakan sumber semiotika. Sehingga kebudayaan sekaligus merupakan suatu jaringan sistem semiotika. Suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui kontak-kontak sosiokultural dengan masyarakat lainnya. Kehadiran nilai-nilai dan norma-norma dari masyarakat lain ini baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai dan norma-norma kultural ini mempunyai kecenderungan untuk mengubah secara imanen (terus-menerus), karena dunia saat ini dan yang akan datang akan semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah wilayah dan negara menjadi tidak tampak.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi dan adat istiadat yang berbeda dan beraneka ragam. Hal inilah yang menjadikan kekayaan tradisi bangsa salah satunya suku Simalugun. Adat Simalungun adalah suatu tata krama yang dibudidayakan dalam kehidupan manusia yang mengandung nilai-nilai luhur yang diwarisi dan dikembangkan dari generasi ke generasi, Japiten (2001:1).

(16)

acara adat baik itu acara suka maupun duka. Makanan adat ini memiliki makna tersendiri bagi orang Simalungun. Penyajian makanan ini masih ditetapkan di urutan yang paling atas dan tidak pernah dilupakan.

Sortaman menyebutkan dalam bukunya Orang Simalungun menyatakan bahwa satu hal yang sangat penting dicermati dalam tantanan adat Simalungun salah satunya menggunakan ayam sebagai makanan adat. Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Zaman dahulu, keluarga raja pada umumnya memakai sapi atau kerbau sebagai makanan adat, karena dalam acara pesta banyak pekerjaan dan masyarakat yang menghadirinya.

Alasan memilih ayam sebagai makanan ternak karena ada beberapa sifat dan prinsip ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia, yakni mengerami telurnya artinya rela menahan diri dan berpuasa demi mendapatkan tujuannya. Melidungi anaknya artinya selalu menjaga anaknya di dalam lindungan sayapnya (menghargai anak). Disiplin artinya setiap subuh pada waktu yang sama selalu berkokok tanpa mengenal hari dan musim.

Salah satu makanan adat yang sering digunakan orang Simalungun khususnya bagi masyarakat Simalungun yang ada di daerah Raya yaitu dikenal dengan sebutan Dayok Binatur. Sebutan lain untuk jenis makanan ini yaitu Dayok Nabinatur, Dayok Atur Manggoluh, Dayok Pinarmanggoluh, Gulei Dayok

Atur Manggoluh, Dayok Nani Batur. Walaupun berbeda beda sebutan untuk

(17)

Dayok Binatur ini dijadikan sebagai simbol dan lambang makanan adat

supaya umat manusia dapat mengetahui, memahami, dan melaksanakan dalam hidupnya pesan Tuhan melalui ayam ciptaannya. Artinya Dayok Binatur itu memberikan makna dalam hidup orang Simalungun dan diakui secara konvensional, yaitu yang dapat kita lihat dari cara hidup ayam. Dayok Binatur atau disebut juga dayok atur manggoluh ini suatu filosofis berupa petuah yang sangat berharga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar dapat bertumbuh subur, tangguh, dan ulet. Contohnya kita harus bisa menempati posisi dan melaksanakan penuh tugas kita sebagai bapak, ibu, anak, orang tua atau dalam adat Simalungun ada disebut dengan tondong suhut boru. Baik itu juga posisi kita dalam pekerjaan sebagai petani, buruh, pegawai, atasan, anggota, dan sebagainya.

Oleh karena itu, Dayok Binatur merupakan penanda bahwa orang Simalungun dengan Dayok Binatur tanda yang ada pada Dayok Binatur menandakan bahwa orang Simalungun mempunyai adat yang tinggi. Makna-makna yang terdapat di dalamnya adalah berupa pesan atau petuah yang harus dilakukan dalam hidupnya yang berguna untuk mengatur hidupnya khususnya dalam hidup bermasyarakat. Jadi, penanda dan petanda yang dipakai untuk menjembatani adat Simalungun adalah sumpah atau janji untuk menjalankan pesan atau petuah yang disampaikan melalui perantaraan penanda Dayok Binatur, sehingga memiliki makna bagi masyarakat Simalungun.

Dayok Binatur ini dilambangkan ayam sejenis unggas yang biasa

(18)

Dayok Binatur terbuat dari daging ayam yang dimasak menurut aturan

adat-istiadatnya. Dayok Binatur terdiri dari sepuluh gori, namun tidak disemua kampung di Simalungun mengikutsertakan gori tuppak (tulang dada), kecuali pada acara adat kematian matei sayur matua. Namun, secara khusus di Raya gori tuppak tetap dipakai tapi letaknya berbeda.

Daging ayam yang telah dimasak disusun pada sebuah piring atau pada sapah sesuai dengan aturan adatnya, yaitu ulu (kepala) dibagian depan, urutan

berikutnya adalah borgok (leher), tuppak (tulang dada), kemudian toktok gulei (potongan-potongan daging kecil tapi tidak termasuk dalam gori) yang diserap pada piring, seterusnya tulan bolon (pangkal paha) yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri, kemudian urutan berikutnya tulan parnamur (paha setelah pangkal paha) yang kiri dan yang kanan, kemudian tulan habong (sayap) kanan dan kir disebelah tulan parnamur (paha tengah), setelah itu tulan hais-hais (ceker). Selanjutnya di bagian tengah gori tuah (bagian dalam dari tubuh ayam yang menghasilkan sel telur) kemudian urutan berikutnya dekke bagas (rempelo), diatur pada makanan itu dan terahir ihur (ekor). Setelah selesai penataan gori, nampaklah makanan adat-istiadat itu seperti menggambarkan ayam hidup. Hal inilah yang mendasari susunan dari ayam binatur tersebut. Selain itu dapat kita lihat dari sebutan lain Dayok Binatur yaitu dayok atur manggoluh ‘ayam yang diatur hidup’.

Dayok Binatur (gulei dayok atur manggoluh) adalah makanan adat yang

(19)

dilambangkan sebagai perwujudan dari kultural yaitu makna syukuran, memberangkatkan anak bersekolah, selesai ujian, menjelang ujian, menjelang testing, memberangkatkan anak ke perantauan, bebas atau terlepas dari mara bahaya, karena keberuntungan dan sukses dalam suatu pekerjaan ataupun sukses dalam usaha ekonomi, karena banyak rezeki yang diterima.

Oleh karena itu, pengwujudan dari nilai-nilai dan norma-norma kultural ini mempunyai kecenderungan untuk mengubah secara imanen (terus-menerus), karena dunia saat ini dan yang akan datang akan semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah wilayah dan negara menjadi tidak tampak. Demikian halnya nilai-nilai luhur adat budaya Simalungun sudah mulai terlupakan dan kalau di biarkan pasti sirna terutama bagi generasi penerus. Jadi, perlu diangkat ke permukaan simbol dan lambang bahasa sebagai nilai luhur adat budaya Simalungun yang sudah tumbuh sejak dahulu.

(20)

1.1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan masalah yang dibahas sebagai berikut.

a) Bagaimanakah tampilan Dayok Binatur sebagai tanda makanan adat Simalungun?

b) Bagaimanakah makna tanda dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat Simalungun?

1.2 Pembatasan masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas peneliti tidak membahas Dayok Binatur berdasarkan jenis cara memasaknya dan fungsinya. Namun,

makanan Dayok Binatur hanya dibahas secara garis besarnya saja yaitu bagaimana tampilan dan makna yang terdapat pada Dayok Binatur . Selanjutnya penelitian ini, tidak membahas makna tanda dalam Dayok Binatur di daerah Simalungun secara menyeluruh. Namun, peneliti hanya menkaji makna tanda dalam Dayok Binatur yang terdapat di daerah Kecamatan Raya.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

(21)

b) Mengetahui makna tanda yang terdapat dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat Simalungun

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat hasil penelitian analisis semiotika terhadap makna tanda dalam Dayok Binatur adalah:

a) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis serta masyarakat mengenai makna tanda dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat Simalungun.

b) Menjadikan sumber pengetahuan bagi penulis tentang makna lambang makanan adat Simalungun yaitu dalam Dayok Binatur.

c) Menjadikan sumber masukan bagi penelitian lain yang ingin membicarakan tentang makna tanda dalam makanan adat.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian makna tanda dalam Dayok Binatur sebagai lambang makanan adat Simalungun secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk bahan pertimbangan penentu langkah-langkah kebijakan pelestarian hasil budaya sebagai lambang. Manfaat praktis ini diperoleh karena Dayok Binatur merupakan lambang makanan adat Simalungun yang maknanya

(22)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut KBBI (2003:588) konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Oleh karena itu, konsep penelitian ini adalah menyangkut Dayok Binatur tanda dan semiotika.

2.1.1 Dayok Binatur

Dayok Binatur adalah makanan adat Simalungun yang dijadikan sebagai

lambang makanan adat Simalungun. Dayok Binatur ini terbuat dari daging ayam yang dimasak sedemikian rupa dan diatur di atas piring atau sapah sesuai dengan adat Simalungun. Menurut adat-istiadat warga suku etnik Simalungun, setiap acara yang berkaitan dengan acara adat, baik dalam acara suka maupun duka nilai penyajian makanan adat masih tetap diurutkan yang paling atas tidak pernah dilupakan. Penyampaian makanan adat kepada suatu tutur keluarga adalah merupakan suatu pernyataan tulus iklas, suci hatinya, dan didasari keimanan.

2.1.2 Tanda

(23)

suatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa dan bentuk-bentuk tanda lain. Sebagai contoh konkret yaitu adanya petir selalu ditandai oleh adanya kilat yang mendahului adanya petir tersebut. Wujud tanda-tanda alamiah ini merupakan satu bagian dari hubungan secara alamiah pula, yang menunjuk pada bagian yang lain, yakni adanya petir dikarenakan adanya kilat. Jadi, tanda adalah arti yang statis, umum, lugas, dan objektif.

2.1.3 Semiotika

Sobur (2004:15) semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (tosinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

(24)

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori semiotika (tanda). Adapun salah satu ahli yang mengkaji bidang semiotika adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 39-55). Keduanya memiliki persamaan yaitu mencari konsep representasi yang mewakili realitas. Saussure menggunakan sistem diadik sedangkan Pierce menggunakan sistem triadik. Namun tidak semua konsep kedua ahli tersebut akan di aplikasikan dalam penelitian ini, melainkan hanya beberapa konsep yang peneliti anggap relevan untuk penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Teori Ferdinand de Saussure

Saussure (dalam Sobur, 2004:46) mengembangkan dasar-dasar kerja linguistik umum. Ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda yang masing-masing terdiri atas dua sisi yaitu signifiant (penanda atau sesuatu yang dapat dipersepsikan sebagai tanda) dan Signifie (penerima, penafsir, atau pangguna tanda itu). Maka, tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu:

1) Tanda yang diartikan yang disebut signifier yaitu bidang penanda atau bentuk. Dan

2) Tanda yang mengartikan yang disebut signified yaitu bidang petanda berupa konsep atau makna.

(25)

Adapun perbadaan penanda dan petanda yaitu penanda itu sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu yang lain dalam suatu segi pandangan. Penanda itu dapat bertindak menggantikan sesuatu bagi seseorang, yakni penafsir. Penanda ialah yang menandai dan sesuatu yang terserap dan teramati. Penanda ini kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari suatu segi pandangan;segi pandangan ini merupakan dasarnya. Sedangkan petanda sendiri adalah suatu yang tersimpulkan, tertafsirkan atau terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun non bahasa.

2. Teori Charles Sanders Pierce

Peirce (Sobur, 2004:41) dalam teori Ground Triadik mengemukakan tiga hubungan tanda dan tiga klasifikasi tanda. Adapun tiga hubungan tanda yang dimaksudkan adalah ground (dasar), representamen (menghadirkan sesuatu atau mewakili sesuatu), dan interpretant (penerima, penafsir, atau pengguna tanda).

Makanan adat Dayok Binatur dapat dikaji dengan tiga hubungan tanda menurut teori Ground Triadik Pierce yaitu :

1) Tanda dasar (ground) yaitu Dayok Binatur itu sendiri..

2) Representasi Dayok Binatur yaitu makna yang terkandung dalam makanan adat Dayok Binatur.

(26)

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki, atau mempelajari (KBBI, 2003:1198). Pustaka adalah kitab;buku;buku primbon (KBBI, 2003:912).

Tinjauan pustaka adalah hal-hal atau pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian itu sebagai bahan refrensi yang mendukung penelitian tersebut, atau menjelaskan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti agar semakin jelas permasalahan penelitian yang akan dipecahkan. Berdasarkan tinjauan pustaka yang ada, maka ada sejumlah sumber yang relevan untuk menjadi bahan refrensi dalam penelitian ini adapun sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:

Japiten (2001) dalam bukunya yang berjudul Refleksi Habonaron do Bona dalam Adat Budaya Simalungun, dalam salah satu sub buku ini dipaparkan

tentang nilai lambang makanan adat, alasan mengapa Dayok Binatur dijadikan sebagai lambang makanan adat Simalungun yaitu supaya umat manusia dapat mengetahui memahami dan melaksanakan dalam hidupnya pesan Tuhan Allah melalui ayam ciptaanNya. Melalui makanan adat Dayok Binatur yang dijadikan sebagai lambang makanan adat memiliki nilai yaitu berupa pesan atau petuah bagi masyarakat Simalungun, sehingga memiliki makna bagi masyarakat Simalungun.

(27)

pada acara adat Simalungun. Misalnya acara adat perkawinan, acara adat kematian, memasuki rumah baru dan lain-lain. Tulisan atau draft ini juga membahas bagaimana membuat atau bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Dayok Binatur.

Sriyana (2007) dalam penelitian yang berjudul ”Simbol Ulos sebagai Representasi Indentitas Batak Toba”. Skripsi ini membahas tentang ulos sebagai simbol indentitas Batak Toba. Aspek yang dikaji adalah fungsi dan makna simbol ulos sebagai representase indentitas Batak Toba. Hasil dari penelitian dapat

menunjukkan bahwa simbol ulos itu berfungsi sebagai peneguh integrasi sosial, peneguh status sosial, sarana edukatif, dan sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi. Simbol ulos itu juga dapat mengungkapkan makna yang sangat penting yaitu sebagai representasi eksistensi diri, representasi interaksi sosial. Representasi estetis, dan representasi ekspresi ideologi kultural.

Dahniar (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Bahasa Tubuh Wanita dalam Iklan Sabun Lux pada Majalah Femina dan Kartini” penelitian ini membahas tentang bagaimana tampilan dan makna bahasa tubuh wanita dalam iklan sabun Lux. Bahasa tubuh wanita cantik dan ideal yang ditampilkan dalam media cetak iklan sabun Lux sebagai daya tarik konsumen agar mau mengkonsumsi produk sabun lux. Tubuh wanita yang ideal tidak lain berupa modal yang di dalamnya memiliki nilai tanda atau simbol. Nilai tanda atau simbol yang melekat pada tubuh wanita sebagai syarat untuk dinilai memiliki cita rasa kecantikan yang dapat dijual.

(28)
(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:680). Yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah daerah Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Penulis memilih daerah ini karena penulis ingin membatasi masalah yang dibuat.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian (KBBI, 2003:889). Yang menjadi populasi penelitian ini adalah Dayok Binatur sebagai penanda dan petanda adat Simalungun.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sifat suatu kelompok yang lebih besar; percontoh. Penentuan sampel dilakukan dengan cara memilih makanan adat Dayok Binatur yang dipakai di Daerah Raya.

(30)

Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri dengan menggunakan pedoman observasi dan metode wawancara dibantu degan teknik libat cakap dan metode simak dibantu dengan teknik membaca, penyimakan, dan penafsiran didukung dengan alat bantu yang telah disediakan.

3.4 Metode Dan Tehnik Pengumpulan Data

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam hal ini, Bogdan dan Taylor (dalam Maleong, 1998:3) mengatakan bahwa prosedur kualitatif menghasilkan penelitian yang mengungkapkan data kualitatif dengan penelitian yang diarahkan pada latar dan individu secara holistic ’utuh’ atau memandangnya sebagai suatu kesatuan. Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lokasi penelitian melalui cara-cara berikut di bawah ini.

a. Observasi

Observasi yaitu pengumpulan data dengan melakukan pengamatan

langsung ke objek penelitian. Bersamaan dengan observasi diadakan pencatatan dan pemotretan.

b. Wawancara

(31)

diperdalam sesuai data yang dibutuhkan. Informasi yang diperoleh selanjutnya dicatat dan direkam secara bersamaan. Kemudian, ketika terjadi komunikasi antara narasumber dengan peneliti sendiri. Dalam proses pemerolehan informasi tersebut peneliti juga sekaligus menyimak apa yang disampaikan informasi. Metode simak adalah pengumpulan data yang digunakan dengan teknik penyimakan. Sebagai suatu penanda Dayok Binatur dibahas dengan teknik penyimakan dengan diwujudkan peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian penyadapan yaitu: penyadapan survai, wawancara, libat cakap, dan memeriksa, serta mengkaji suatu sistem tanda. Yang dapat menentukan makna serta pengungkapan petanda pada Dayok Binatur.

Selanjutnya data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui sumber-sumber tertulis sperti: buku cetak, artikel, makalah, dan bentuk karya tulis lainya untuk mengambil informasi tambahan yang terkait dengan topik penelitian ini. Selanjutnya pengumpulan data dengan memeriksa, membaca, kemudian mencatat dokumen-dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.

3.5 Metode dan Tehnik Analisis Data

(32)

dan dilanjutkan dengan prediksi dan kontrol serta pemahaman yang berlangsung terus-menerus dari awal sampai akhir penelitian, kemudian data yang telah dianalisis disajikan berupa uraian kata secara sistematis dalam bentuk laporan ilmiah berupa skripsi dengan menggunakan bahasa dan teks gambar yang mudah dipahami yang berupa narasi.

Dayok Binatur adalah gambaran hidup sebagaimana ayam hidup. Sesuai

degan alasan mengapa ayam dijadikan makanan adat karena memiliki sifat atau ciri yang baik dalam kehidupan yang dapat ditiru salah satunya ayam berkokok pada pagi hari. Menurut Saussure bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara ayam yang berkokok dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan menyatakan menyampaikan ide-ide pengertian-pengertian tertentu. Bunyi suara ayam yang berkokok memiliki makna bagi masyarakat Simalungun. Apabila kita kaji maknanya berdasarkan signifire (penanda) dapat kita ketahui bunyi suara ayam jantan yang berkokok disebut sebagai signifire (penanda) artinya suara kokokan ayam memberikan suatu makna yaitu menyatakan hari telah pagi yang kita sebut sebagai signified (petanda). Suara tersebut merupakan bagian dari sistem konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah sistem tanda.

(33)

Maka ketika pemberian Dayok Binatur disebutkan pernyataan ”songon paraturni dayok on ma paratur ta hunjon huatas an” yang artinya ”seperti

(34)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Tampilan sebagai Interpretasi Dayok Binatur

Dayok Binatur adalah tanda dasar (ground) berupa sajian masakan, yaitu terbuat dari daging ayam yang biasanya disajikan pada acara adat masyarakat Simalungun. Dayok Binatur disamping berfungsi sebagai lauk makanan tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Simalungun khususnya. Yaitu makanan adat yang harus didahulukan pada acara adat untuk menyampaikan pesan, nasehat, atau berupa petuah dari pihak keluarga tertentu ke pihak keluarga yang akan diberi Dayok Binatur.

Dayok Binatur adalah suatu sajian masakan yang dijadikan sebagai

(35)

testing, memberangkatkan anak ke perantauan, bebas atau jauh dari marabahaya, karena keberuntungan atau sukses dalam suatu pekerjaan ataupun sukses dalam usaha ekonomi, dan karena banyak rejeki yang diterima.

Tampilan Dayok Binatur yaitu daging ayam yang terbagi menjadi sepuluh potongan ’gori’. Makanan adat Dayok Binatur dapat pula dilengkapi dengan makanan spesifik yang terdiri dari daging ayam dan diolah menjadi tujuh jenis masakan yaitu: panggang, naniloppah, hinasumba, naipahpahkon, nailomang (tinombu), selenggam, dan namatah. Hanya saja ketujuh jenis masakan ini hanya digunakan sebagai pelengkap Dayok Binatur dan dibuat apabila dibutuhkan dalam acara adat tertentu atau tergantung selera yang membuatnya.

Dayok Binatur yang terdiri dari potongan-potongan daging ayam yang

disusun teratur di atas piring inilah sebagai tanda dasar (ground). Potongan-potongan daging bagi orang Simalungun disebut gori. Menurut adatnya gori terdiri dari sepuluh yaitu: kepala’ulu’, leher’borgok’, tulang dada’tuppak’, rempelo’bilalang’, sel telur ayam’tuahni’, sayap’habong’, pangkal paha’tulan bona’, paha ayam’tulan parnamur’, ceker’kais-kais’, buntut’ihur’.

(36)

sel telur (tuahni), kemudian rempelo (atei-atei atau dekke bagas). Jadi, setiap potongan daging ayam yang bisa kita lihat pada gambar 4.1 yaitu tersusun dan diatur menurut adatnya yang kemudian membentuk satu kesatuan yang menggambarkan sebagaimana ayam hidup sekaligus sebagai tanda dasar (ground) Dayok Binatur.

Gambar 4.1

Tanda dasar (ground) Dayok Binatur

Interpretasi dari tanda dasar (ground) Dayok Binatur pada gambar 4.1 telah menempatkan nilai-nilai kehidupan dari ayam (penanda) yaitu sebagai hal yang dapat ditiru apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia. Sajian makanan adat Dayok Binatur yang ditampilkan disusun teratur menurut adatnya yang menggambarkan seperti ayam hidup (petanda). Representasi yang dibentuk pada Dayok Binatur telah menggambarkan kehidupan ayam.

(37)

pemahaman atau kosep yang terdapat dalam tanda itu. Pertama, Dayok Binatur atau dayok atur maggoluh adalah lambang makanan adat Siamalungun. Dayok Binatur dapat memberikan makna, yaitu pemahaman yang dinyatakan sebagai

suatu petuah atau nasehat yang sangat berharga apabila di aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar bertumbuh subur tangguh dan ulet (sebagai interpretasi).

Dayok Binatur terdiri dari potongan-potongan daging ayam yang disusun

seperti ayam hidup. Misalnya ada bagian kepala yang bisa menentukan arah jalan ayam, yaitu dengan menggunakan mata yang terdapat pada kepala, ada bagian cakar yang fungsinya untuk berjalan atau alat untuk mencari makanan, sayap berfungsi untuk melindungi anaknya dan bagian-bagian lainnya (sebagai representasinya). Apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia yaitu, manusia itu berbeda-beda dan beraneka ragam. Misalnya hal yang membedakannya di bidang pekerjaan, jabatan sebagai kepala atau atasan atau bawahan, kedudukannya sebagai anggota atau ketua, status, atau sebagai posisi apapun. Kemudian hal ini diintepresentasikan masyarakat Simalungun yang menyatakan ’Hotma bani hundulan mu janah pongkut horjahon nolihmu’ yang artinya tempati posisimu dan

(38)

harus bisa menjadi pemimpin yang mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya dan dapat mengarahkan anggota-anggotanya.

Hal ini juga tergambar pada tradisi Simalungun, yaitu yang dikenal dengan istilah adatnya ’tolu sahundulan lima saodoran’ artinya ’tolu sahundulan’ ialah tiga kelompok dalam satu kedudukan yang utuh dan menyeluruh dan ’lima saodoran’ artinya ialah lima tapi satu rombongan perjalanan hidup. ’tolu

sahundulan’ terdiri dari : hasuhuton, tondong, dan boru. ’Lima saodoran’ adalah

pengembangan dari ’tolu sahundulan’ yaitu, tondong ni tondong dan boru ni boru. Jadi ’lima sodoran’ meliputi: hasuhuton, tondong, tondong ni tondong,

boru, dan boru ni boru. Hasuhuton terdiri dari sanina sapangahonon, pariban

sapanganonkon, dan pariban. Maka dalam masyarakat Simalungun ada istilah

mengatakan ”sanina pangalopan riah, tondong pangalopan podah, boru pangalopan gogoh” yang artinya, sanina yang bisa diajak kerjasama, tondong

sebagai pemberi nasehat, dan boru sebagai pelaksana tehnik dalam pekerjaan adat. Maksudnya, setiap posisi ini memiliki fungsi dan tugas masing-masing sebagaimana telah disepakati bersama oleh masyarakat Simalungun.

(39)

bedak/lipstik adalah skecantikan seluruh tubuh. Artinya, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan saling melengkapi satu dengan yang lain

Dayok Binatur tersebut dapat diinterpretasikan sebagai petuah atau pesan

supaya menghindari adanya saling menghujat, propokator negatif, saling fitnah, saling curiga-mencurigai, menang sendiri, menghalalkan segala cara dll. Karena di hadapan Tuhan tidak ada yang tersembunyi dan janganlah berpura-pura.

Selain itu juga diingatkan bahwa hidup dunia adalah sementara dan dimanfaatkan itu untuk mendapat tempat yang kekal selama-lamanya di akhirat. Transferlah ajaran itu dalam hidup kita, sebarluaskan perbuatan yang baik, saling menasehati dalam kelemahan. Kenapa sering terjadi dan selalu terjadi perpecahan/perang seperti dalam keluarga, masyrakat, SARA, bangsa dan Negara. Maka diharapkan supaya belajar pada dayok atur manggoluh, yang didapati dalam adat budaya Simalungun. Maka semua harapan, nasehat, maupun petuah itu disatukan dalam lambang makanan adat yaitu Dayok Binatur.

Interpretasi dari Dayok Binatur yang ditampilkan, yaitu dari susunannya yang teratur mengandung makna bagi masyarakat Simalungun. Hal ini disampaikan ketika pemberian Dayok Binatur dengan menyatakan ”songon paraturni dayok on ma paratur ta hunjon huatas an” yang artinya ”seperti

teraturnya Dayok Binatur inilah teraturnya kehidupan kita dari sekarang sampai kemudian hari”. Kehidupan ayam yang teratur digambarkan memelalui Dayok Binatur yang disusun teratur. Sebagai interpretasinya adalah yaitu suatu

(40)

4.2 Tampilan Representasi dan Interpretasi sosial Dayok Binatur

Sajian Dayok Binatur adalah tanda dasar (ground) berupa potongan-potongan daging dari setiap bagian tubuh ayam yang disusun sedemikian rupa. Dayok Binatur bagi Simalungun direpresentasikan sebagai makanan adat dan

digunakan sebagai tanda untuk menjembatani pesan-pesan ataupun petuah yang kemudian Dayok Binatur itu dapat diinterpretasikan sebagai adat Simalungun. Makanan Dayok Binatur telah disepakati bersama yaitu banyak mengandung nilai-nilai luhur adat Simalungun yang akhirnya dapat berfungsi untuk mengartur kehidupan Orang Simalugun. Dayok Binatur merupakan suatu representasi, representasi menurut Yusuf (2005: 9) merupakan ”yang menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang” istilah representasi memiliki dua pengertian.

Pertama, representasi sebagai sebuah proses sosial dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Hal ini Dayok Binatur dimasukkan kepada istilah representasi yaitu pegertian yang kedua.

Alasan dasar mengapa hewan ayam dijadikan sebagai makanan adat yaitu melalui kehidupan ayam dapat dilihat nilai-nilai yang baik untuk ditiru dan disamping itu ada hal-hal yang perlu dihindari juga. Nilai nilai kehidupan dari ayam sekaligus dijadikan sebagai pesan atau petuah bagi orang Simalungun. Oleh karena itu, dari nilai-nilai kehidupan ayam yang baik untuk ditiru sebagai representasi yang disampaikan melalui Dayok Binatur inilah sebagai dasar alasan orang Simalungun memilih ayam sebagai makanan adat, yaitu dapat diuraikan sebagai berikut :

(41)

menjauhkan dari gangguan-gangguan yang dapat merusak telornya . Hal itu juga dilakukannya sampai anak ayam dengan menahan panas, dingin, lapar dan serangan semut kecil (tungou) demi keberhasilan generasinya (sebagai representasi). Hal ini dapat diinterpretasikan juga oleh orang Simalungun dengan melihat sifat ayam tersebut supaya di dalam kehidupannya bisa meniru sifat ayam yang dengan penuh ketekunan dan memiliki disiplin dalam menjaga anak-anaknya. Begitu juga orang Simalungun terhadap anak-anaknya dapat memeliharanya dengan baik.

2) Saat ayam mengasuh anaknya yang masih bayi/kecil (maranak poso), induk ayam tidak henti-hentinya mengais ’marhaer’ untuk mencari makanan anaknya kemudian cacing yang didapatnya dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Selain itu juga saat hujan dan malam hari, sayapnya dikembangkan untuk tempat anaknya berlindung. Kalau musuh datang mengganggu terus diserangnya sampai titik darah penghabisan demi keselamatan anaknya. Hal ini dapat direpresentasikan suatu pengorbanan yang besar kepada anak-anaknya, kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya (kebutuhan jasmani) sebagai generasinya, dan melindungi anak-anaknya dari bahaya. Demikian halnya kita manusia jika diinterpretasikan dalam kehidupan supaya sebagai orang tua haruslah memperhatikan atau bertanggungjawab penuh kepada anak-anaknya. Misalnya, orang tua melindungi anak-anaknya dari pergaulan bebas dan bahaya-bahaya lainnya.

(42)

mandiri atau dipaksanya untuk mandiri. Contohnya, anak ayam sudah bisa mencari makanannya sendiri tanpa mengikut induknya lagi. Kemudian orang Simalugun melihat cara hidup ayam itu baik untuk ditiru. Oleh karena itu, dapat diinterpretasikan agar dalam mendidik anak demikian halnya kita lakukan. Mengajari anaknya supaya hidup mandiri dan dewasa dalam segala segi kehidupan dengan tidak bergantung kepada orang tua terus.

4) Ayam waktu minum, yaitu kepalanya selalu ditundukkan ke bawah kemudian menaikkan kepalanya ke atas dengan cara menghadap ke langit (penanda). Hal ini sebagai petanda atau suatu representasi supaya jangan lupa kepada Tuhan yang menciptakannya. Sebagai interpretasinya mengingatkan kita supaya tetap bersyukur kepada Tuhan yang menyediakan segala sesuatunya.

5) Ayam jantan pada dini hari selalu berseru ’martahuak’ (penanda). Hal ini adalah suatu petanda bahwa hari sudah pagi. Seruan ayam merepresentasikan kehidupan sudah dimulai dan saatnya beranjak utuk memulai pekerjaan artinya, manusia kembali kepada ke kehidupannya yang baru. Jadi, orang Simalungun menginterpretasikan itu sebagai suatu pesan supaya menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Contohnya, sikap hidup yang malas itu dijauhkan dari kehidupan kita.

(43)

untuk mepersiapkan hari esok atau masa depan kita (sebagai representament) sehingga hari depan kita lebih cerah atau lebih baik (sebagai interpretant).

7) Dayok Binatur adalah makanan yang terbuat dari daging ayam (penanda).

Ayam adalah makanan umat beragama oleh karena itu setiap orang dapat memakannya (sebagai representament). Sehingga dinterpretasikan dapat menjalin hubungan yang baik antar umat beragama karena ada rasa saling menghormati dan saling menghargai agama yang satu dengan yang lain (petanda).

Di samping nilai-nilai positif yang dilihat dari ayam itu ada juga hal yang perlu dihindari ayam itu:

a) Sifat ayam jantan yang suka berkelahi (penanda). Hal ini dapat kita lihat ketika ayam jantan asal jumpa dengan ayam jantan lainnya selalu beradu. Ayam jantan yang suka beradu menggambarkan orang yang emosinya yang tidak bisa dikendalaikan (tidak dapat menguasai dirinya), dan menganggap dirinya yang selalu super tidak kenal mengalah, dll (sebagai representament). Apabila ditarik dalam kehidupan ke dalam kehidupan manusia sifat yang suka berkelahi adalah suatu hal yang harus dihindari atau bersifat larangan bagi masyarakat Simalungun karena dapat mengakibatkan kehidupan yang kacau karena tidak adanya damai atau saling mengasihi antar sesama manusia. Artinya, ialah hindari permusuhan antar sesama manusia (sebagai interpresentament).

(44)

kehidupan manusia maknanya dapat ditandai dengan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak kenal berterimakasih terutama pada Tuhan dan orang tua, dll. Kemudian sifat dari ayam yang lupa akan induknya diinterpretasikan sebagai penanda larangan supaya tidak lupa pada nasehat dan perintah orang tua dan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

(45)

4.3 Makna Representasi dan Interpretasi Gori

Gori atau potongan-potongan ayam dari bagian tubuh ayam itu memiliki

makna representasi dan interpretasi bagi orang Simalungun itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

4.2.1 Kepala ’Ulu’

Gmbar 4.1 Kepala’ulu’

(46)

bisa memimpin, mengarahkan, lebih bijaksana, dan memberikan yang terbaik dengan bertanggung jawap dengan tugasnya dan memakai akal pikiran yang sehat. Sebagai pemimpin itu harus memiliki wibawa, misalnya dalam hal berbica. Artinya memiliki nilai lebih dibanding dengan bawahannya atau anggotanya.

4.2.2 Leher’Borgok’

Gambar 4.2 Leher’borgok’

(47)

4.2.3 Rempelo’Dekke Bagas’

Gambar 4.3 Rempelo’dekke bagas’

(48)

4.2.4 Tulang Dada’Tuppak’

Gambar 4.4 Tulang dada’tuppak’

Istilah lain tulang punggung dalam bahasa Simalungun sesuai dengan fungsinya disebut tukkot yang artinya penyangga. Tulang dada ini berfungsi sebagai penyangga dan yang dapat menahani kepala agar berdiri tegak (sebagai interpretasi). Tulang ini diambil dari salah satu ruas tulang dada yang dekat dengan leher. Tulang dada dapat diinterpretasikan pada sifat manusia yang merasa bisa menatang semua masalahnya dengan sendiri akibatnya dia merana seperti halnya orang yang berputus asa atau orang yang larut dalam kesedihannya. Oleh karena itu, ada petuah mengatakan supaya kita jangan berpangku dagu’martukkol osang’. Perbuatan seperti ini sangat jelek dipandang mata. Di Daerah Simalungun,

(49)

Cara meletakkan Tulang dada’tuppak’ sangat besar pengaruhnya dalam dalam acara adat Simalungun yaitu letaknya dalam mengatur susunan Dayok Binatur harus diperhatikan. Bentuk tulang dada ini memiliki dua ruas tulang.

Maka dalam peletakannya, tulang dada yang terbalik dengan tulang yang ruasnya dihadapkan ke atas diinterpretasikan sebagai kondisi yang suasananya bersedih atau sedang berduka cita. Letak tulang dada dengan posisi terbalik pada Dayok Binatur seperti ini biasanya digunakan pada acara adat kematian. Apabila letak

tulang dada dengan posisi telungkup yaitu kedua ruas tulang menghadap kebawah menginterpretasikan bahwa kondisi atau suasananya dalam suka-cita. Misalnya, bentuk susunan ayam seperti ini digunakan pada acara adat perkawinan atau acara adat syukuran. Hal ini sering dilakukan masyarakat Simalungun yang berada di daerah Pematang raya. Perbedaan letak tulang dada’tuppak’ dapat kita lihat pada gambar 4.5 dan gambar 4.6 di bawah ini.

Gambar 4.5 Gambar 4.6

Dayok Binatur memakai tupak Dayok Binatur tidak memakai tuppak

(50)

4.2.5 Pangkal Paha’Tulan Bolon’

Gambar 4.7

Pangkal paha’tulan bolon’

(51)

4.2.6 Paha ’Tulan Parnamur’

Gambar 4.8

Paha ayam’tulan parnamur’

(52)

4.2.7 Ceker’Kais-Kais’

Gambar 4.9 Ceker’kais-kais’

(53)

4.2.8 Sayap’habong’

Gambar 4.10 Sayap’habong’

(54)

si anak itu mememberikan Dayok Binatur kepada anaknya tersebut. Harapannya supaya di perantauan anaknya bisa sehat-sehat, selamat dan sukses di perantauan.

4.2.9 Sel Telur’Tuahni’

Gambar 4.11 Sel telur’tuahni’

Sel telur’Tuahni’ adalah salah satu potongan daging ayam dari kesepluh gori. Bagian gori yang satu ini di letakkan di bagian tengah setelah urutan

(55)

sangat disedihkan. Karena tidak bisa mengasilkan keturunan yang dapat meneruskan marganya.

4.2.10 Buntut’ihur’

Gambar 4.12 Buntut’ihur’

Buntut’ihur’ adalah salah satu bagian dari sepuluh potongan daging ayam atau yang disebut dengan ’gori’. Buntut’ihur’ adalah bagian belakang dari ayam. Pada buntut’ihur’ didapati daging ayam yang mengandung banyak lemak yang bisa menghasilkan minyak. Minyak ini digunakan ayam untuk meminyaki bulu-bulunya supaya mengkilap dan bersih. Cara ayam meminyaki bulunya yaitu terlebih dahulu mematuk-matuk ekornya kemudian mengelus-eluskan paruhnya dengan bulunya. Sebagi representasinya bahwa sifat yang baik untuk diperhatikan adlah sifat ayam yang pembersih. Sebagai interpretasinya bagi yang menerima Dayok Binatur harapannya supaya memiliki sifat yang bisa membersihkan diri

(56)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dayok Binatur adalah makanan adat orang Simalungun yang terbuat dari

ayam yang dagingnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian kemudian disusun teratur di atas piring’pinggan’. Untuk menyampaikan maksud berupa nasehat maupun harapan dalam acara adat salah satu pihak keluarga tertentu memberikan Dayok Binatur sebagai pengantaranya kepada pihak keluarga si penerima. Di samping itu juga Dayok Binatur itu mengandung suatu petuah yang sangat berharga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi yang lebih baik.

Representasi tampilan Dayok Binatur akan terlihat potongan-potongan daging ayam yang disusun terarur sesuai urutannya yang membentuk sebagaimana ayam hidup. Daging ayam itu terbagi menjadi sepuluh bagian yang menurut adat Simalungun ada sepuluh yaitu : kepala’ulu’, leher’borgok’, tulang dada’tuppak’, sayap kiri dan kanan’habong’, pangkal paha’tulan bolon’, paha ayam’tulan parnamur’, ceker’kais-kais’, organ tubuh ayam penghasil sel telur’tuahni’,

rempelo’bilalang’, dan buntut’ihur’. Daging ayam yang tersusun teratur sesuai dengan adat Simalungun dan terlihat seperti ayam hidup

(57)

sebagaimana ayam hidup. Tampilan Dayok Binatur memberikan iterpretasi yang dapat mengingatkan kita supaya jangan terlalu mencampuri intern orang lain, menghilangkan sifat propokator, mengerjakan tugas kita dengan penuh tanggung jawab, menempati posisi kita dengan sewajarnya, mengembangkan kebersamaan karena kita sebagai menusia menurut kuadratnya tidak dapat hidup tanpa orang lain, membina persatuan, menghindari permusuhan dan saling fitnah sperti pepatah mengatakan ”bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Tampilan representasi dan interpretasi sosial Dayok Binatur apabila dikaji dari kehidupan ayam. Sifat-sifat dari ayam ada yang baik dan ada juga tidak baik untuk ditiru. Nilai-nilai kehidupan ayam yang baik ditiru sekaligus alasan ayam dijadikan makanan adat Simalungun, yaitu:

1) Induk ayam ketika mengerami telornya selama dua puluh satu hari maknanya apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai orang tua bertanggung jawap melindungi merawat anaknya untuk mempertahankan generasinaya.

2) Ayam mencari makanan untuk anaknya dengan mengais-ngais cakarnya artinya apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia, yaitu orang tua bertanggung jawap untuk memenuhi kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani anak-anaknya.

3) Induk ayam mematuk-matuk anaknya yang mau beranjak dewasa apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia, yaitu orang tua mengajari anaknya supa ya mandiri.

(58)

dikaitkan dalam kehidupan manusia supaya selalu bersyukur buat Tuhan yang memberikan didup.

5) Ayam jantan berkokok pada dini hari, apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia adalah untuk mengingatkan supaya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

6) Ayam yang selalu mengangkat kepalanya ke atas ketika berseru apabila dikaitkan dalam kehidupan manusia adalah mengingatkan supaya memikirkan masa depan dengan berusaha memperlengkapi SDM dan SDI. 7) Ayam sebagai makanan umum umat beragama artinya apabila dikaitkan

dalam kehidupan manusia, makanan yang terbuat dari ayam tidak banyak mengharamkannya sehingga dapat menjalin hubungan baik antar umat beragama.

Disamping sifat-sifatnya yang baik ada juga sifat-sifat ayam yang harus dihindari, yaitu:

1) Sesama ayam jantan yang suka berkelahi mengingatkan supaya dapat menjauhkan pertengkaran atau permusuhan.

2) Anak ayam setelah mandiri lupa pada induknya mengingatkan supaya sebagai anak tidak lupa kepada orangtuanya yang telah membesarkannya. 3) Ayam yang meninggalkan tempat dia bertelur mengingatkan supaya tidak

lupa kepada asal-usul kita.

Makna Representasi dan interpretasi gori dalam Dayok Binatur yaitu:

1) Kepala, melambangkan seorang pemimpin yang berada selalu di atas yang dapat menjadi contoh.

(59)

3) Tulang dada, melambangkan orang yang larut dalam kesedihannya 4) Sayap, melambangkan orang yang dapat melindungi anak-anaknya

5) Pangkal paha, melambangkan orang yang mau bertanggung jawap kepada pekerjaan yang di embankan kepadanya.

6) Paha, sama halnya dengan pangkal paha yang bertanggung jawap kepada pekerjaanya.

7) Ceker, artinya sama juga, orang yang bertanggung jawap dalam pekerjaanya yang menjadi bagiannya.

8) Sel telur, melambangkan suatu harapan supaya mendapatkan keturunan.

9) Rempelo, melambangkan orang yang memiliki hati yang baik, bersih atau suci.

10) Buntut, melambangkan orang bersih secara jasmani.

4.2 Saran

Dayok Binatur merupakan makanan adat Simalungun yang memiliki nilai-nilai luhur. Nilai-nilai-nilai kehidupan sekaligus sebagai makna yang yang terdapat pada Dayok Binatur yang dapat dicerminkan dalam kehidupan dan dapat mengatur tata kehidupan manusia ke arah yang lebih baik, baik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka Brown, Gillian dan George Yull. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Chaer,Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Dahniar. 2008. Bahasa Tubuh Wanita dalam Iklan Sabun Lux pada Majalah Femina dan Kartini. (Skripsi). Fakultas Sastra Universitas Sumatera

Utara.

Halliday M.Ak. dan Ruquiya Hasan.1992. Bahasa Teks dan Konteks.

Hasan.1992. Bahasa Teks dan Konteks. Yogyakarta, gajah Mada University Press Lingga, Andreas, S. 1996. Makanan Spesifik Simalungun. Pematang siantar Keraf, Gorys. 1984. Tata bahasa Indonesia. Jakarta : Nusa Indah

Parera, Jos Daniel. 1990. Teoeri Semantik. Jakarta: Erlangga

Pateda, Mansoer 1990. Linguistik, sebuah pengantar. Bandung: Angkasa Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:

ANGKASA

Saragih, Sortaman. 2008. Orang Simalungun. Jakarta : CV Citama VIGORA Sudary anto. 1993. Metode dan Aneka Tehnik Anlisis Bahasa. Yogyakarta: duta

Wancana

Sudjiman, dkk.1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : PT Gramedia

(61)

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sryana. 2007. ”Simbol Ulos Sebagai Representase Indentitas Batak Toba.

(Skripsi). Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta.Gajah Mada University

(62)

LAMPIRAN

1. Nama : St. Drs. Japiten Sumbayak

Umur : 65 tahun

Alamat : Jln. Kampung Jawa

Pekerjaan : Pegawai Negri

2. Nama : Juppa Sinaga

Umur :50 tahun

Alamat : Jln. Jalan Kartini Pematang Raya

Pekerjaan : Bertani

3. Nama : Japorman Purba

Umur :47 tahun

Alamat : Jln. Jasamen Pematang Raya

Pekerjaan : Pegawai Negri

4. Nama : S. Andreas Lingga

Umur : 63 tahun

Alamat : Jln. Jarab Pematang Raya

Pekerjaan : Pegawai Negri

(63)

Umur : 49 tahun

Alamat : Jln. Kartini Pematang Raya

Pekerjaan : Pegawai Negri

6. Nama : Richard Saragih

Umur : 45 tahun

Alamat : Jln. Jarab Pematang Raya

Pekerjaan : Petani

7. Nama : Jalinson Saragih

Umur : 41 tahun

Alamat : Jln. Jombit Pematang Raya

Pekerjaan : Petani

8. Nama : Jan Rudianto Girsang

Umur : 40 tahun

Alamat : Jln. Nagur Pematang Raya

Pekerjaan : Petani

9. Nama : Rajorman Sinaga

(64)

Alamat : Jln.Sutomo Pematang Raya

Pekerjaan : Kepala Desa

10. Nama : Japaten Sinaga

Umur : 39 tahun

Alamat : Jln. Nagur Pematang Raya

Pekerjaan : Pegawai Negri (PNS)

11. Nama : Horas Purba

Umur : 37 tahun

Alamat : Jln. Sutomo pematang Raya

Pekerjaan : Wiraswasta

12. Nama : Apohman Siahan

Umur : 35 tahun

Alamat : Jln. Jarab Pematang Raya

Pekerjaan : Wiraswasta

13. Nama : Jasudi Girsang

Umur : 35 tahun

(65)

Pekerjaan : Wiraswasta

14. Nama : Passa Saragih

Umur : 31 tahun

Alamat : Jln. Jasamen Pematang Raya

Pekerjaan : Wiraswasta

15. Nama : Lience Lyda Ranum Sinaga

Umur : 30 tahun

Alamat : Jln. Sutomo Pematang Raya

Gambar

Gambar 4.2
Gambar 4.4
gambar 4.5 dan gambar 4.6 di bawah ini.
Gambar 4.8
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang berjudul “Visualisasi Fungsi dan Makna Tanda Verbal dalam Video Klip Gloria dan Fight” bertujuan untuk meneliti mengenai fungsi dan makna

Tujuan yang paling mendasar adalah dihara- pkan dapat membantu dalam menafsirkan makna pantun itu sendiri dibalik penggunaan kata, tanda, simbol atau lambang kebahasaannya secara

Simbolik yaitu perlambangan: menjadi lambang; misalnya lukisan- lukisan (Poerwadarminta, 1976:946).. Yunani yaitu syimbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan

Kehidupan MADAT Balim hingga dewasa ini tindakan dan perilaku kehidupan sesaat, kita akan melihat mereka mengakui hidup di atas dasar nilai-nilai adat yang lain dan

Didalam upaya menguak makna tanda berupa tulisan Jawa maka dapat disimpulkan bahwa terjadi proses kreatifitas terhadap budaya tulis yang berasal dari India dengan menciptakan

Seperti pada pakaian adat pernikahan Palembang yang merupakan daya cipta seni yang berwujud konkret atau kebendaan, pakaian adat pernikahan ini mempunyai nilai keindahan di setiap

Sama seperti ekstrapolasi, materi yang tersajikan dilihat tidak laebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh.di balik yang tersaji bagi

Semua tanda ditafsirkan melalui kajian semiotika dan menghasilkan tafsir bahwa lukisan Kamajaya dan Kamaratih menjadi lambang harapan agar anak yang dilahirkan menjadi pribadi yang