• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan NO.691/Pdt.G/2007/PA.Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan NO.691/Pdt.G/2007/PA.Medan"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG

DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN

NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN

TESIS

Oleh

AGUSTINA DARMAWATI 077011003/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

(2)

ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG

DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS

PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN

NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

AGUSTINA DARMAWATI 077011003/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Penelitian : ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NO.691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN

Nama Mahasiswa : Agustina Darmawati Nomor Pokok : 077011003

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum) Anggota

(Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn) Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 10 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN.

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum. 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn.

3. Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, Ph.D.

(5)

ABSTRAK

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan penghibahan harta bersama (gono gini) oleh orang tua kepada anak sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta bersama, dimana hibah itu diperhitungkan sebagai warisan. Harta hibah itu menjadi milik si anak, namun hibah oleh orang tua ini masih dapat ditarik kembali. Sehingga sering terjadi gugatan penarikan atau pembatalan hibah kepada anak di Pengadilan Agama. Selain itu hibah dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis di hadapan dua orang saksi tetapi dalam pelaksanaan hibah itu harus melalui penetapan pengadilan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak, penarikan kembali orang tua yang menghibahkan harta gono-gini, dan kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris.

Penelitian ini bersifat analisis deskriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan penarikan harta bersama yang dihibahkan kepada anak pada putusan Pengadilan Agama. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada responden dari Pengadilan Agama Medan dan Notaris di Kota Medan.

Hasil penelitian menunjukkan akibat hukum harta bersama (gono-gini) yang dihibahkan orang tua kepada anak menurut KHI adalah menjadi milik si anak selama pemberian hibah itu tidak lebih dari sepertiga dan diperhitungkan sebagai warisan, yang mana harta hibah ini masih dapat ditarik kembali. Penarikan/pembatalan hibah itu dari kasus putusan Pengadilan Agama Medan dapat dilaksanakan apabila harta yang dihibahkan kepada anak terbukti tanpa persetujuan dari pihak isteri/suami, atau melebihi sepertiga dari jumlah harta bersama (Pasal 210 KHI). Penarikan ini hanya dapat dilakukan apabila harta hibah tersebut masih ada dalam penguasaan si penerima hibah, karena apabila sudah beralih kepada pihak ketiga maka akan timbul derden verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan. Kekuatan hukum harta hibah yang dibuat dihadapan 2 (dua) orang saksi yang tidak diaktakan di hadapan Notaris menurut KHI adalah sah. Namun dari kasus putusan Pengadilan Agama Medan akta hibah yang tidak diaktakan di hadapan Notaris itu untuk dijadikan alat bukti di depan pengadilan harus terlebih dahulu mendapat penetapan pengadilan.

Diharapkan kepada orang tua yang menghibahkan harta bersama kepada anak tetap memperhatikan hak anak yang lain yang juga sebagai ahli waris, sehingga di kemudian hari tidak terjadi gugatan, dan sebaiknya dibuat secara akta Notaris karena akta notaris (akta otentik) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di depan pengadilan. Kepada pemerintah agar meninjau ketentuan KHI yang memberikan opsi hibah dapat secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi secara di bawah tangan, dimana dari kasus-kasus di Pengadilan Agama akta di bawah tangan itu untuk dijadikan alat bukti yang kuat harus dilakukan penetapan pengadilan (legalisasi) terlebih dahulu. Disamping itu, KHI dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden yang secara hirarki di bawah undang-undang, maka mengingat tujuan KHI diterbitkan untuk dapat mengakomodir hukum Islam dalam bentuk kompilasi di Indonesia sebaiknya dibuat dalam bentuk Undang-Undang.

(6)

ABSTRACT

Compilation of Islamic Law determines the bequest of common property bequeathed by the parents to their child as much as one-third of the total number of the common property and the bequest is regarded as legacy. This legacy becomes the property of the child, but the property bequeathed by the parents can be withdrawn that the claim resulted from the withdrawal or cancellation of the bequest which has been given to the child often occurs in the religious (Islamic) court. In addition, the bequest can be made in an oral or written form before two witnesses but in its implementation the bequest must be through court decision. The purpose of this descriptive analytical study with normative juridical approach is to analyze the legal consequence of the bequest of common property which has been bequeathed by the parents to their child, the withdrawal or cancellation of the bequest by the parents who have bequeathed their common property based on the decision of the religious (Islamic) court, and the legal power of the bequest if it is not certified before a notary.

The data for this study were obtained through library study supported by the result of interviewing the respondents from Medan Religious (Islamic) Court and the notary in Medan.

The result of this study shows that, according to the Compilation of Islamic Law, the legal consequence of the bequest of common property bequeathed by the parents to their child is that the property bequeathed is owned by the child as long as the property is not more than one-third of the total number of the common property and regarded as legacy, yet the common property bequeathed can still be withdrawn. The withdrawal/ cancellation of the bequest, based on the case of the decision of Medan Religious (Islamic) Court, can be done if there is an evidence that the common property bequeathed to their child is without the agreement of husband/wife, or the property is more than one-third of the total number of the common property (Article 210 of the Compilation of Islamic Law). This withdrawal can only be done f the common property bequeathed is still in the hands of the child who receives the bequest, if the property bequeathed has moved to the third party, there will be a derdenverzet (disagreement/opposition), and if there is an application for confiscation, there will be niet bevinding or the object of the case is found in the field. The legal power of the bequest made before 2 (two) withesses which is not certified before a notary, according to the Compilation of Islamic Law, is legal. But, based on the case of the decision of Medan Religious (Islamic) Court, the bequest certificate which is not certified before a notary must be first decided or legalized by the court before it can be used as an evidence in the court of law.

It is expected that the parents bequeathing their common property to their child/children should pay attention to the right of the other child/children because they are also the heirs. To be free from being claimed in the future, the bequest must be made before a notary because the notarial document (authentic act/certificate) has a perfect legal power as an evidence before the court of law. The government is sugested to review the stipulation in the Compilation of Islamic Law which provides an option that a bequest can he made underhanded in oral or written form before two witnesses, and based on the cases found in the Religious (Islamic) Court, to be used as a strong evidence, the underhanded certificate must be first legalized by the court. In addition, the Compilation of Islamic Law was issued in the form of Presidential instruction whose hierarchy is under the law, therefore, since the purpose of the issuance of the Compilation of Islamic Law is to accommodate Islamic Law in the form of compilation in Indonesia, it would be better if it is made in the form of Law.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama dengan segala puji syukur terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya yang diberikan kepada penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS ATAS HARTA GONO-GINI YANG

DIHIBAHKAN AYAH KEPADA ANAK: STUDI KASUS PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA MEDAN NO. 691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN”, sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi

Azwar, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn selaku dosen

pembimbing, juga kepada dosen penguji Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA. Ph.D, dan Notaris Hj. Chairani Bustami, SH, Sp.N, M.Kn, atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

(8)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang memberikan kesempatan, fasilitas dan ijin penelitian sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, kakanda Analis Wida Delima. P, Agustining, Gusfaner M Limbong, Vina Verawaty.P, Sondang Anna, Fransiska.S, Asido.S Herli.S, Sabrina, Wira.M, Susianna.S, Sofyan.P, Serli, Natalria.S dan Masda.N, yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan doa dan gairah semangat bagi penulis, baik pada saat penulis mengadakan riset, bimbingan ketempat dosen hujan-hujanan, berpanas-panasan, suka dan duka. Wish you all the best.

(9)

Suarni Zebua, Susianna.S, Vina Verawaty.P, dan Zulfikar, terima kasih atas kekompakannya selama ini dan yang selalu memotivasi. All the best my friend. 8. Kepada seluruh adik-adik di kost, Kitty Irenne.N, Lenny. H, Friska.H, Ardha.H,

Siska. S dan Novel. H, terima kasih atas kebaikan kalian selama di kost-an baik suka maupun duka. I miss you .

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda tercinta almarhum Ludin Panjaitan yang telah mendahului kami yang dikasihinya pada tanggal 22 Oktober 2007 dan Ibunda tercinta Sonty. S, yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, dengan doamu, aku melangkah, dengan restumu, aku berjuang, dengan kasih sayang dan airmatamu, aku tegar. Demikian juga kepada Kakanda Ir. Marulitua. P, Sahat Saut. P dan adik-adik penulis tercinta Artinis Nurhazizah.ST, Nurhayati.S.Pd, Yenny Sarliza.Amd.Keb, Fitri Lina.Amd dan Ridarto. P, atas motivasi, doa dan bantuan moril, materil kalian telah dapat diselesaikan tesis ini. Wish you all the best. I love you forever, with love in Christ.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.

Medan, Agustus 2009 Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Agustina Darmawati, SH

Tempat/ Tgl. Lahir : Pekanbaru, 02 Agustus 1973

Alamat : Pekanbaru

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Swasta

II. Orang Tua

Nama Ayah : Ludin Panjaitan (Alm)

Ibu : Sonty S.

III. Pendidikan

1. SD Negeri 027 Pekanbaru Tahun 1979 – 1986 2. SMP Negeri 02 Pekanbaru Tahun 1986 – 1989 3. SMU Negeri 05 Pekanbaru Tahun 1989 – 1992 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Batam Tahun 2003 – 2007 5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Tahun 2007 – 2009.

Medan, Agustus 2009 Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 27

(12)

BAB II. AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA GONO-GINI

YANG TELAH DIHIBAHKAN KEPADA ANAK... 32

A. Harta Bersama Dalam Hukum Islam ... 32

B. Harta Bersama (Gono-Gini) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 37

C. Hibah Menurut Hukum Islam ... 38

D. Akibat Hukum Terhadap Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Kepada Anak ... 52

BAB III. PENARIKAN KEMBALI HARTA GONO-GINI YANG TELAH DIHIBAHKAN ORANG TUA KEPADA ANAK... 59

A. Fungsi Hibah Dalam Melindungi Kepentingan Anak Menurut Hukum Islam ... 59

B. Membedakan Jumlah Hibah Antara Anak ... 68

C. Penarikan Hibah Menurut Hukum Islam ... 73

D. Penarikan Kembali Harta Gono-Gini Yang Telah Dihibahkan Orang Tua Kepada Anak di Pengadilan Agama Medan ... 74

E. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan tentang Penarikan Hibah (Pembatalan Hibah) Atas Harta Bersama Yang Dihibahkan Kepada Anak... 82

BAB IV. KEKUATAN HUKUM HARTA HIBAH YANG TIDAK DIAKTAKAN DI HADAPAN NOTARIS ... 86

A. Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan ... 86

1. Akta Otentik ... 86

2. Akta Di Bawah Tangan ... 91

(13)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Data Penerimaan Perkara Hibah Pada Pengadilan Agama Medan

Tahun 2007 s/d 2008... 75 2. Jenis Penyelesaian Perkara Hibah Pada Pengadilan Agama Medan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Putusan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Mdn ... 117

2. Putusan Nomor 27/Pdt.G/2008/PTA-Mdn... 135

3. Surat Penyerahan/Hibbah Sebidang Tanah... 141

4. Surat Izin Penelitian dari Pengadilan Tinggi Agama Medan... 142

(16)

DAFTAR ISTILAH

Ariyah : Pinjaman

Umra : Pernyataan hibah yang dilarang (misal:

kuberikan benda ini kepadamu selama kau masih hidup; kalau kau mati sebelum saya, benda kembali kepada saya); jadi hibah untuk selama hidup pihak yang diberi.

Urf : adat istiadat

A command of the lawgiver : Perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa.

Al Mauhub Lahu : Penerima Hibah al Wahib : Pemberi hibah

Al’Adatu Muhakkamah : Adat dapat dikukuhkan menjadi hukum.

Alghele gemeenschap van goederen

: Percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri

Closed logical system : Bersifat tertutup

Derden verzet : Perlawanan dalam gugatan

Dubius : Perbedaan pengertian atau penafsiran mendua Ijab : Pernyataan tentang pemberian tersebut dari

pihak yang memberikan Ijab-qabul : Serah terima

Ijma’ : Pendapat para pakar hukum Islam (fuqaha)

Illat : Sebab yang berpengaruh pada hukum

Minhah : Pemberian

(17)

Niet bevinding : Tidak diketemukan benda objek perkaranya di lapangan.

Qabdlah : Penerimaan atau penguasaan harta yang diserahkan

Qabul : Pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu.

Qiyas : Kemiripan (syabbah)

Risalat A1-Qadha : Pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan Ru’bu Jinayah : Di sini dibicarakan khusus mengenai hukum

Pidana.

Rubu’ lbadah : Di dalamnya dibicarakan khusus mengenai

ibadah, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Rubu’ Muamalah : Di dalamnya dibicarakan berbagai masalah

yang berkaitan dengan hukum kebendaan, hukum perikatan dan hukum dagang.

Rubu’ Munakahat : Di sini khusus dibicarakan mengenai masalah

perkawinan, perceraian dan yang berhubungan dengan itu.

Ruqba : Pernyataan hibah yang dilarang (misal: kuberikan benda ini kepadamu dengan syarat kalau kau mati sebelum saya, benda ini tetap milikku; kalau mati lebih dulu menjadilah milikku).

Syirkah atau syarikah : Pengkongsian

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah rumah/keluarga, tetapi juga perkawinan selalu membawa konsekuensi hukum baik bagi suami isteri maupun terhadap anak. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), berbagai konsekuensi hukum tersebut sebenarnya sudah diatur, antara lain: menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung baik tanggung jawab mereka terhadap anak-anak, serta konsekuensinya terhadap harta kekayaan bersama (gono-gini)

Di antara hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai hukum positif adalah hukum tentang harta bersama. Harta bersama dalam masyarakat Indonesia diatur dalam KUH Perdata, UU No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan hukum adat.

Muhammad Isna Wahyudi, mengemukakan:

Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat disebut somah atau serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah.1

1 Muhammad Isna Wahyudi, Harta Bersama: Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan,

(19)

Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:2

a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.

b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.

c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama.

d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.

Di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap harta bersama tersebut, sebagaimana dikemukakan Muhammad Isna Wahyudi berikut ini:

Misal di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materiil, yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman, bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri. Di Kudus-Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan para pedagang, maka suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan.3 Dengan demikian menurut hukum adat, sumber harta bersama ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai bersama dan harta masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan isteri.

2 Ter Haar dalam Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 2.Penyebutan harta bersama

suami-isteri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan harta suarang, di Kalimantan disebut barang perpantangan, di Bugis disebut dengan cakkara, di Bali disebut dengan druwe gabro, di Jawa disebut dengan barang gini atau gono-gini, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung”

3 Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal.4. Lihat juga, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

(20)

Selanjutnya dalam KUH Perdata masalah harta bersama dalam perkawinan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 119 KUH Perdata, bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 KUH Perdata.

Menurut KUH Perdata tidak ada pemisahan harta setelah terjadinya perkawinan, harta suami maupun isteri adalah menjadi harta bersama, kecuali sebelum perkawinan dilakukan perjanjian pemisahan harta.

Dalam Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sipenerima sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Harta selama masa perkawinan akan menjadi harta benda bersama, namun demikian harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan pernikahan,4

4 Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal

(21)

kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami isteri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. “Suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak dalam hal harta bersama, sedangkan harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.5

Selanjutnya pengaturan harta gono-gini (harta bersama) menurut hukum Islam sebagai nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Al-Hadist tidak dibicarakan tentang harta bersama, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqih ada pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan tentang harta bersama, yaitu yang disebut syirkah atau syarikah.6

Perkataan syarikat dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, karena dalam bahasa Arab juga perkataan itu dalam bentuk jamak diucapkan syarikat. Jadi, oleh karena masalah harta bersama suami isteri ini adalah termasuk perkongsian atau

5

Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

6 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju,

(22)

syarikah.7 Menurut bahasa, syarikah itu berarti pencampuran suatu harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari yang lain. Menurut hukum Islam ialah adanya dua hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.8

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia terjadi beberapa perkembangan ditandai dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai hukum material di lingkungan Peradilan Agama, mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang diformulasikan ke dalam bentuk hukum materil bagi Pengadilan Agama,9 demikian juga halnya pengaturan tentang kewarisan dari harta bersama, sebagaimana dikemukakan Imran AM berikut ini: 10

Keberadaan KHI membawa perubahan yang cukup penting tentang sistem kewarisan yang selama ini dianut masyarakat Islam Indonesia yang bersumber dari Mazhab Sunni yang pada umumnya bersifat patrinial, sedangkan sistem kewarisan yang bersifat bilateral merupakan himpunan yang digali dari kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia yang telah tumbuh lama dan dijalankan secara sukarela.

Dalam Pasal 85 KHI dijelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

7 Ibid., hal. 39.

8

Ibid., hal. 39-40.

9 Peraturan yang mengatur tentang keberadaan Badan Peradilan Agama di Indonesia adalah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) yang hanya mengatur tentang hukum formil, sedangkan hukum material diatur di dalam KHI yang diberlakukan dengan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanggal 10 Juni 1991 Jo Keputusan Menteri Agama RI No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991,

10 Imran AM,

Hukum Kewarisan dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar

(23)

Pasal 86 KHI menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.11

Pasal 87 ayat (1) KHI mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan Pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.

Hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut. Namun demikian, tidak begitu saja adat kebiasaan diterima sebagai aturan hukum, akan tetapi diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:12

a. Adat kebiasaan tersebut dapat diterima oleh akal dan dapat diakui oleh pendapat umum.

b. Adat tersebut harus terjadi berulang kali dan tersebar luas serta sudah menjadi umum

c. Adat kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan dan tidak boleh adat itu adat yang akan berlaku.

11 Menurut Pasal 119 KUH Perdata, sejak saat dilangsukan perkawinan, maka menurut

hukum terjadi harta-bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri

12 Satria Effendi M. Zein, Yurisprudensi Peradilan Agama, Dibinbapera dan Yayasan

(24)

d. Adat kebiasaan itu tidak dapat diterima jika antara kedua belah pihak terdapat syarat yang berlainan.

e. Tidak bertentangan dengan nash, sebab ketentuan nash lebih kuat dari hukum adat.

Jadi, konstruksi hukum (KHI) mempergunakan adat perlu diperhatikan beberapa kriteria seperti di atas, untuk menentukan apakah suatu adat dapat diterima sebagai hukum adat atau tidak dari aturan dalam hukum Islam, demikian juga halnya ketentuan mengenai harta bersama (gono-gini). Demikian juga halnya dalam melakukan penghibahan harta bersama tersebut kepada anak.

Di dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693. Menurut Pasal 1666 KUH Perdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Demikian juga dalam Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang disebut ”intervivos”.13 Pemberian semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan “hibah”. Di dalam Hukum Islam jumlah harta seseorang yang

dapat dihibahkan itu tidak terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.14

13

Asaf A.A. Fayzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, Tintamas, Jakarta, 1961, hal. 1.

14 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Rafika

(25)

Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut, Asaf A.A. Fayzee memberikan rumusan “hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian

balasan”.15

Syariat Islam mengajarkan manusia untuk berbuat baik dan saling tolong menolong kepada sesama umat manusia seperti memberi makan orang miskin, berinfaq, bersedekah, hibah dan lain sebagainya. Seperti disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 177, yang artinya: “Dan memberikan harta orang yang dicintainya

kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta”.16

Ayat ini memberikan pengertian bahwa kebaikan itu antara lain memberikan harta kepada orang yang memerlukan, apakah kepada kaum kerabat ataupun yang lainnya, seperti anak yatim, orang miskin, orang musafir, peminta-minta dan sebagainya. Jadi dengan jalan hibah juga termasuk salah satu perbuatan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut.

Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan hibah menurut Hukum Islam, yaitu:17

a. Ijab, yaitu pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak yang memberikan.

b. Qabul, yaitu pernyataan dari pihak yang menerima pemberian hibah itu;

c. Qabdlah, yaitu penerimaan atau penguasaan harta yang diserahkan. Ijab-qabul (serah terima) di kalangan ulama mazhab Syafi’i merupakan syarat sahnya suatu hibah. Selain itu, mereka menetapkan beberapa syarat yang berkaitan

15 Asaf A.A. Fayzee, op. cit., hal. 2.

16 Departemen Agama RI, Al-Qur’

an dan terjemahannya, hal. 43. 17

(26)

dengan ijab-qabul, yaitu: sesuai antara qabul dengan ijab-nya, qabul mengikat ijab, dan aqad hibah tidak dikaitkan dengan sesuatu (aqad tidak tergantung) seperti perkataan: “aku hibahkan barang ini padamu, bila si anu datang dari Mekah". Selain

itu, hibah pada dasarnya adalah pemberian yang tidak ada kaitan dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiat yang tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan.18

Kemudian juga dalam pemberian hibah itu juga ada batasan jumlahnya atau harus adil, apalagi dalam melakukan penghibahan kepada anak. Karena tidak adil bagi seorangpun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya dari anak-anaknya yang lain dalam pemberian hibah, karena hal yang demikian itu akan menimbulkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahmi di antara anak-anak tersebut. Sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq, berikut ini:19

Mazhab Iman Ahmad mengharamkan pelebihan di antara anak-anak, bila tidak ada yang mendorong ke arah itu. Apabila ada yang mendorong atau menghendaki pelebihan di antara anak-anak, maka tidak ada halangan untuk itu. Dikatakan di dalam Al-Mughni: “Apabila sebagian dari anak-anak dikhususkan karena pengkhususan itu dikehendaki, misalnya karena anak itu amat membutuhkan kerana cacat, buta, banyak keluarga, sibuk dengan ilmu, atau kelebihan-kelebihan yang lain yang berupa itu bukan karena menjauhkan anak dari pemberian, karena kefasikan, bid’ah, menggunakan pemberian

untuk maksiat, maka telah diriwayatkan dari Ahmad apa yang menunjukkan diperbolehkannya pelebihan itu. Pendapatnya dalam pengkhususan sebagian anak dengan wakaf, tidak ada halangan bila hal itu dilakukan karena kebutuhan dan terpaksa untuk melebihkan dan memberikan dalam pengertian yang seperti ini.

18 H. Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hal. 76-77.

19 Sayyid Sabiq dalam Lila Triana, Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum

(27)

Sedangkan Ibnu Hazam berpendapat bahwa jika orang tua memberikan hibah kepada salah satu anaknya, maka orang tua tersebut wajib melakukan hal yang sama kepada anak-anaknya yang lain dan tidak boleh melebihkan salah satu dari yang lain. Pendapat ini dinyatakan Ibnu Hazam dalam Al-Mushalla, yang artinya: “tidak boleh seseorang untuk berhibah atau bersedekah kepada masing-masing anaknya seperti yang diberikannya itu.”20 Namun demikian, menurut Sulaiman Rasyid, apabila hajat antara beberapa anak itu sama, maka dapat diberikan hibah yang besarnya sama di antara mereka akan tetapi apabila hajat mereka berbeda, maka tidak ada halangan mengadakan pembagian yang berlebih berkurang.21 Dengan demikian orang tua dalam penghibahan kepada anak itu harus adil menurut porsinya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur jumlah harta yang dapat dihibahkan orang tua kepada anak-anaknya, sebagaimana ketentuan Pasal 210 KHI, yakni:

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. KHI menentukan bahwa hibah hanya dapat diberikan oleh orang yang telah dewasa dan harta yang dihibahkan merupakan hak dari penghibah yaitu dibatasi sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta benda si penghibah. Kemudian dalam Pasal 211 KHI dinyatakan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan

20 Ibid., hal. 36-37.

21

(28)

sebagai warisan. Kemudian, dalam Pasal 212 KHI ditentukan hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya masih dapat ditarik kembali orang tua sebagai pemberi hibah tersebut.

Dalam melakukan penarikan hibah ini harus dilakukan si pemberi hibah, tidak dapat digantikan oleh orang lain, karena hibah merupakan hak proregatif seseorang terhadap hak miliknya. Hal ini terlihat pada Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Nomor 90/Pdt.G/2007/PTA.JK.

(29)

Jadi walaupun dalam KHI secara tegas dinyatakan bahwa hibah orang tua terhadap anak dapat dicabut kembali. Akan tetapi penarikan itu juga harus dilakukan oleh si pemberi hibah itu.

Kemudian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 211 KHI, hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Oleh karena itu hibah yang dilakukan orang tua kepada salah seorang anaknya, masih dapat dibatalkan oleh anak-anaknya yang lain sebagai ahli waris dari harta yang dihibahkan itu, jika terhadap harta yang dihibahkan tersebut termasuk bagian waris dari anak yang lain. Hal ini terlihat dari Putusan Pengadilan Agama Medan, Nomor 691/Pdt.G/2007/PA-Mdn.

Dalam Putusan Pengadilan Agama Medan, Nomor 691/Pdt.G/2007/PA-Mdn, tersebut terjadi gugatan pembatalan hibah oleh anak kandung yang lain (Penggugat I dan Penggugat II) atas harta bersama yang dihibahkan orang tua (Tergugat) kepada salah satu anak kandung setelah isterinya meninggal dunia. Maka pertimbangan hukum untuk membatalkan hibah tersebut karena:

1. Isteri Tergugat telah meninggal dunia, maka ½ (setengah) bagian dari harta

tersebut yang merupakan hak almarhumah adalah menjadi boudel warisan almarhumah yang harus dibagikan kepada ahli warisnya (Penggugat I dan Penggugat II).

(30)

Oleh karena itu Pengadilan Agama Medan mengabulkan gugatan Penggugat sebagai ahli waris atas harta yang dihibahkan Tergugat, dan membatalkan hibah yang dilaksanakan tersebut.

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka akan dilakukan penelitian tesis atas putusan Pengadilan Agama dengan judul ”Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan.”

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah:

1. Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak?

2. Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut?

3. Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan

(31)

2. Untuk mengetahui ketentuan hukum bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut.

3. Untuk mengatahui kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum perkawinan khususnya ketentuan hukum atas harta gono-gini atau harta bersama yang dihibahkan.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam melakukan penghibahan harta gono-gini kepada anak dan akibat hukum penghibahan tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 691/Pdt.G/2007/PA.Medan” belum

(32)

1. Lila Triana, Nomor Induk: 027011035, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2004 dengan judul “Hibah Kepada Anak

Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota Medan)”, dengan permasalahan yang dibahas:

a. Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang dapat diakui oleh Islam?

b. Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan Agama Medan?

c. Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut hukum Islam dan hukum adat?

2. Yusriana, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2006 dengan judul “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama

(Penelitian Di Pengadilan Agama Lubuk Pakam)” dengan permasalahan yang

dibahas:

a. Bagaimana pelaksanaan dalam penyelesaian sengketa terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Lubuk Pakam?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama?

c. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan para pihak terhadap Putusan Pengadilan Agama mengenai harta bersama?

(33)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,22 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.23 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis24

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

23 Ibid, hal. 16.

24

M. Solly Lubis, op. cit, hal. 80.

25 Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,

(34)

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem yang dikemukakan Mariam Darus Badrulzaman, bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.26 Hal yang sama juga dikemukakan Sunaryati Hartono, bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.27 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.

Dengan demikian, pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.28 Oleh sebab itu, pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak dalam suatu perkawinan. Dengan teori sistem hukum tersebut maka analisa masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni hukum perkawinan, dalam hal ini ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) atas harta gono-goni yang dihibahkan kepada anak tersebut.

26 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,

(35)

Hakikat hukum perkawinan menurut KUH Perdata tidak ditemukan pengertian perkawinan, namun menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.29

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dinyatakan “Perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah”.30

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.31

Selain rumusan pada peraturan tersebut, beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang perkawinan, di antaranya Subekti menyatakan, “perkawinan

adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.32

Sedangkan menurut Paul Scholten, “perkawinan adalah habungan hukum

antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang

29 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandingkan dengan Pasal 2 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) yang menyatakan perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

30 Pasal 2 KHI.

31 Pasal 3 dan Pasal 4 KHI.

32

(36)

diakui oleh Negara”.33 Pendapat lain dikemukakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa “perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan”.34 Dalam bahasa yang lain K. Wantjik Saleh mengatakan, “perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”.35

Jadi, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Perkawinan diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan, syarat-syarat sahnya perkawinan, cara/prosedur melangsungkan perkawinan, dan akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, termasuk di dalamnya mengenai harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan tersebut.

Penyebutan harta bersama suami-isteri dalam perkawinan, berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan ”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang

gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang

sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung”.36

33 Paul Scholten dalam R. Soetono Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan

Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1985, hal. 35.

34 Wirjono Prodjodikoro, dalam Libertus Jehani, op. cit., hal. 2.

35

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, CEtakan ke-6, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 20.

36

(37)

Secara bahasa, harta bersama perkawinan adalah dua kata yang terdiri dan kata harta dan bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti

barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.”37

Sayuti Thalib mengatakan “Harta bersama adalah harta kekayaan yang

diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan”.38

Pengertian di atas, sejalan dengan Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Abdul Kadir Muhammad, menyatakan “Konsep harta bersama yang

merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”39

37

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, Cet.ke VII, hal. 342.

38

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Pres, Jakarta, Cet.V, 1986, hal. 89. 39 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

(38)

Abdul Manan menyatakan, bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh

selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.”40

Harta gono-gini adalah harta bersama yang diperoleh suami isteri selama masa perkawinan mereka. Bagaimana batasan harta yang dimiliki isteri? Harta yang telah dimiliki isteri sebelum masa perkawinan tetap menjadi miliknya. Harta-harta berupa warisan, hadiah, hibah, pemberian orang tua atau mahar yang diberikan suami, tetapi menjadi milik isteri. Harta-harta yang merupakan harta bawaan dan harta perolehan itu tidak dianggap sebagai harta gono-gini.41

Batasan harta yang didapat dalam perkawinan antara suami istri selama berumah tangga yang merupakan harta bersama, dapat diperhatikan dari asal usul harta yang didapat suami istri dalam empat sumber yaitu:42

1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri.

2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah.

3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan. 4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk

salah seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan.

Menurut Ismail Muhammad Syah, “keempat macam sumber harta ini dapat

digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai

40 Abdul Manan,

Beberapa Masalah tentang Harta Bersama”, Mimbar Hukum, No. 33,

Tahun VIII, 1997, hal. 59.

41 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Pentingnya

Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 56.

42

(39)

bersama dan harta masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan istri”.43

Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan sebagaimana dikemukakan sebelumnya dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.

Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.44 Harta istri tetap menjadi milik istri dan sebaliknya. Namun, sejak terjadi perkawinan antara perempuan dan laki-laki, maka sejak saat itu tidak menutup kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen). Percampuran ini terjadi jika tidak diadakan perjanjian pemisahan harta bawaan masing-masing. Keadaan ini berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. Kecuali ada kesepakatan baru antara suami istri. Percampuran kekayaan ini lebih dikenal dengan harta bersama atau harta gono gini.

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan dijumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni: harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan.

43 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Istri Di Aceh Ditinjau Dari Sudut

Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 Dan Hukum Islam, Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1984, hal. 148.

44

(40)

Menurut Pasal 35 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 KHI yang dimaksud harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Maksudnya yakni, seluruh harta yang diperoleh sesudah suami istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak.45 Jadi, sekalipun harta bersama ini diperoleh dari kerja suami saja, bukan berarti istri tidak memiliki hak atas harta bersama. Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang sama. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama,46 termasuk dalam hal ini adalah penghibahan harta bersama tersebut kepada anak-anaknya.

Kondisi di atas dapat berbeda jika sebelumnya di antara calon suami dan isteri telah melakukan perjanjian pra nikah mengenai pemisahan harta sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Dalam KUH Perdata diatur pada buku I Bab ke VII tentang Perjanjian Perkawinan pada Pasal 139 dan Pasal 140 yang berbunyi:47

Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang

45 Pasal 36 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat, Lembar Info Seri 45,

‘’Pemisahan Harta dalam Perkawinan’’, LBH APIK Jakarta.

46 Pasal 92 KHI.

47 Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII

(41)

baik atau tata tertib hukum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini. Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan Undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami istri.

Dalam Pasal 119 KUH Perdata dikemukakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Jika bermaksud mengadakan penyimpangan dari ketentuan itu, suami isteri harus menempuh jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139-154 KUH Perdata.

Selanjutnya, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana diatur dalam Pasal 45, bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, termasuk di dalamnya perjanjian dalam hal harta bersama, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 KHI, bahwa:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

(42)

pernikahan baru dibuat, jadi batal demi hukum dan harus dicatatkan di tempat pencatatan perkawinan.

Perjanjian perkawinan yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan. Perjanjian perkawinan dapat menjadi sebuah solusi jika terjadi sengketa terhadap harta bersama. Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta otentik.

Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya yaitu PP No. 9 Tahun 1975 khususnya Pasal 29 jo Pasal 66 UU No.1 1974 tentang Perkawinan; Pasal 12 huruf (h) dan Pasal 47 PP No. 9 Tahun 1975, maka ketentuan yang telah diatur dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi sepanjang materi ketentuan-ketentuan itu telah diatur dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Dengan lain perkataan tidak semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam KUH Perdata tidak berlaku lagi, akan tetapi ketentuan-ketentuan itu hanya sebagai pelengkap bagi mereka yang dahulu tunduk pada hukum perkawinan KUH Perdata. Demikian juga halnya ketentuan penghibahan atas harta gono-gini kepada anak.

(43)

Pasal 1667 KUH Perdata, menyebutkan penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. Selanjutnya Pasal 1668, menyatakan penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu; penghibahan demikian, sekedar mengenai barang itu, dipandang sebagai tidak sah. Namun demikian menurut Pasal 1669, penghibah boleh memperjanjikan, bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain; dalam hal demikian, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua kitab undang-undang ini.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah diatur dalam Bab VI Pasal 210 sampai dengan Pasal 214.

Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan:

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.48 Selain itu bagi warga negara Indonesia yang berada di negara asing juga dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam KHI

48

(44)

tersebut.49 Dalam hal hibah yang akan dibuat di luar negeri ternyata negara tersebut tidak ada hubungan diplomatik dengan negara Indonesia, maka si penghibah harus ke negara tetangga tempat domisili yang ada konsulat jenderal atau kedutaan Indonesia.50

KHI menentukan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan,51 dan juga hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya.52 Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya saja, barang tersebut sedang dijadikan jaminan hutang, maka harus segera dilunasi oleh penerima hibah sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.53 Kemudian juga dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan ahliwaris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli waris.54

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.55 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

(45)

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.56 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut:

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.57

b. Harta gono-gini atau harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dari harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian pra nikah.58

c. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki, dan tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya.59

d. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.60

56 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35 57 Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

58 Pasal 35 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

59 Pasal 171 huruf g dan Pasal 212 KHI.

60

(46)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,61 dalam hal ini harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Perkawinan dan Pewarisan atas kasus putusan Pengadilan Agama tentang kedudukan hibah orang tua kepada anak-anaknya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan

atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.62

2. Sumber Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.63 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:

61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63.

62

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13

63 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(47)

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak.

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan masalah harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak, dengan melakukan wawancara kepada:

1) Hakim Pengadilan Agama Medan

2) Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan 3) Notaris di Kota Medan.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

(48)

harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada nara sumber yang telah ditetapkan tentang harta gono-gini yang dihibahkan kepada anak.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Gambar

Tabel 1. Data Penerimaan Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008
Tabel 2. Jenis Penyelesaian Perkara Hibah pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2007 s/d 2008

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

Peningkatan sudut kemiringan dinding perangkap pada kenyataannya semakin menambah jumlah keong macan berukuran layak tangkap yang terperangkap.. Puspito (2009)

Penelitian sebelumnya yang menggunakan ZPT Rootone F diantaranya Darliana (2006) menunjukkan bahwa pemberiaan Rootone F dengan konsentrasi 100 mg/l air dapat

Tahap pelaksanaan pendampingan perlu melakukan identifikasi permasalahan UKM yang berkaitan dengan: 1) Pemahaman pengemasan, secara umum UKM belum memahami fungsi

dalam penerapan kehidupan islami di sekolah. Dari keseluruhan responden menjawab bahwa telah tersedia fasilitas tempat wudhuk di sekolah. Berdasarkan

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di kabupaten Padang Lawas Utara sebanyak 37.540 dikelola oleh

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti unsur struktural dan konflik sosial yang terdapat pada video wayang orang Balai Sigala-gala serta mencari tahu apakah relevan

Polusi asap rokok merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada balita dibuktikan juga dengan hasil penelitian Heriyana dan kawan-kawan bahwa bayi yang tinggal di dalam rumah