• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN ASKHABUL KAHFI SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN ASKHABUL KAHFI SEMARANG"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN ASKHABUL KAHFI SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Menyelesaikan Program Studi Strata I

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Oleh

Rizky Dwi Kusumawati 3301411107

JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

“Jika Anda tidak bisa berjalan cepat, maka berjalanlah perlahan, lihatlah sekeliling dan nikmati perjalanan Anda”

Persembahan

Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Dengan ketulusan hati serta rasa terima kasih kupersembahkan sebuah karya sederhana ini untuk:

۞ Kedua orangtua saya, Bapak Tujarna dan Ibu Sukarni yang senantiasa mendoakan dan mendukung saya setiap waktu.

۞ Kakak dan adik saya tercinta, Piza Anjarnawati, S.Pd. dan Apriansyah Nursyam Albirra.

۞ Keluarga besar BEM FIS UNNES periode 2013/2014 dan periode 2014/2015.

(6)

vi SARI

Kusumawati, Rizky Dwi. 2015. Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang. Skripsi. Jurusan Politik dan Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Drs. At. Sugeng Priyanto, M.Si dan Drs. Sumarno, M.A. 100 halaman.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pondok Pesantren.

Penelitian ini dilatarbelakangi karena semakin banyaknya perilaku negatif masyarakat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama dikalangan anak usia sekolah seperti penggunaan obat terlarang, pelecehan seksual, sikap agresif, tawuran, bullying, kemerosotan toleransi umat beragama dan lain-lain. Perilaku-perilaku negatif tersebut menjadi tanda bahwa Indonesia sedang menuju jurang kehancuran. Dibutuhkannya sebuah pendidikan yang dapat mengubah perilaku buruk tersebut menjadi lebih baik. Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental peserta didik sehingga memiliki karakter yang baik dan menjadi generasi penerus bangsa yang cemerlang dengan menanamkan nilai-nilai religius dan karakter keagamaan,

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu (1) apa saja kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan nilai-nilai karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (2) bagaimana metode pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (3) bagaimana peran Kyai dalam pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (4) apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) mengetahui kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan nilai-nilai karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (2) mengetahui metode pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (3) mengetahui peran Kyai dalam pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, (4) mengetahui kendala yang dihadapi dalam penerapan pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang yang terletak di Jalan Cangkiran-Gunungpati km. 3 Polaman, Mijen, Kota Semarang. Fokus penelitian ini adalah (1) penanaman nilai-nilai karakter, (2) peran kyai dalam pendidikan karakter, (3) kendala pendidikan karakter. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan metode interaktif dengan langkah meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

(7)

vii

bermasyarakat. Nilai-nilai karakter yang ditanamkan oleh pondok pesantren pun beragam, diantaranya yaitu nilai religius, nilai kemandirian, serta nilai tanggung jawab. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan karakter, maka setiap kegiatan dan peraturan yang ada di pondok pesantren diwajibkan bagi seluruh santri. Bagi santri yang melanggar akan dikenakan sanksi, (2) pelaksanaan pendidikan karakter dapat berjalan dengan efektif dengan menggunakan metode dialog dalam beberapa kegiatan seperti mengaji dan madrasah, metode praktik dalam kegiatan belajar dan bermasyarakat, serta metode keteladanan dalam kegiatan hafalan atau tahfidz Al-Qur‟an, (3) peran kyai dalam pendidikan karakter tidak hanya sebagai ulama, akan tetapi juga sebagai pemilik, pembina, pembimbing serta dianggap sebagai tokoh sentral di pondok pesantren. Keterlibatan kyai dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan santri juga bertujuan agar santri dapat menjadi generasi penerus bangsa yang cemerlang, (4) kendala yang dihadapi dalam penerapan pendidikan karakter di pondok pesantren, meliputi: sering kali santri kelelahan dan mengantuk dalam mengikuti kegiatan pondok pesantren sehingga tidak sedikit santri yang pernah menerima hukuman, serta karakter dan kebiasaan santri yang baru memasuki semester awal di pondok pesantren masih sulit untuk diatasi.

(8)

viii PRAKATA

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pendidikan Karakter Di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang”. Selama penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk menyelesaikan studi di Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Moh. Solehatul Mustofa, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kemudahan administrasi dalam penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Slamet Sumarto, M.Pd., Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

4. Drs. At. Sugeng Priyanto, M.Si., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix

6. Bapak K.H. Masruchan Bisri, Tenaga Pendidik, Pengurus, dan Santri Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang yang telah memberikan informasi serta membantu penulis selama melakukan penelitian.

7. Kedua orang tua saya yang tak pernah putus mendoakan dan mendukung saya. 8. Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini (Nanda, Wildan, Helen, Nurhidayat, Fitri, Rani, Ibnu, Ratih, Novi, Indi, Aryanti, Fatma).

9. Fungsionaris Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FIS UNNES 2013 serta rekan-rekan Kost Esthibrata Cempakasari yang selalu memberikan semangat dan motivasi.

10.Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Semoga segala kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap agar penelitian ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Semarang, 28 September 2015

(10)

x

5. Penilaian Pendidikan Karakter ... 23

B.Pendidikan di Pondok Pesantren ... 25

1. Pengertian Pondok Pesantren ... 25

2. Metode Pendidikan di Pondok Pesantren ... 29

(11)

xi

C.Peran Kyai dalam Pendidikan di Pondok Pesantren ... 32

1. Pengertian Kyai ... 32

2. Visi dan Misi Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 50

3. Data Sarana dan Prasarana ... 52

4. Daftar Ekstrakurikuler ... 53

B.Hasil Penelitian ... 54

1. Kegiatan yang Dilaksanakan dalam Penerapan Nilai-Nilai Karakter Di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 54

2. Metode Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 67

3. Peran Kyai dalam Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 71

4. Kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 74

C.Pembahasan ... 77

(12)

xii

2. Metode Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul

Kahfi Semarang ... 86

3. Peran Kyai dalam Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 91

4. Kendala yang Dihadapi dalam Penerapan Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang ... 93

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Simpulan ... 96

B. Saran ... 97

(13)

xiii

DAFTAR BAGAN

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Gedung Pondok Pesantren ... 51

Gambar 4.2 Pengajian Putri ... 56

Gambar 4.3 Pengajian Putra ... 57

Gambar 4.4 Pengajian Putra-Putri ... 57

Gambar 4.5 Sholat Tarawih Berjamaah ... 58

Gambar 4.6 Kegiatan Olahraga Santri ... 60

Gambar 4.7 Pembelajaran Sekolah ... 62

Gambar 4.8 Ekstrakurikuler Rebana Modern ... 64

Gambar 4.9 Ekstrakurikuler Bela Diri/Silat ... 65

Gambar 4.10 Ekstrakurikuler Kepramukaan ... 65

Gambar 4.11 Penyiaran Radio ... 66

Gambar 4.12 Pertemuan Tahunan Wali Santri ... 70

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Penetapan Dosen Pembimbing Skripsi Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 3 Instrumen Penelitian Lampiran 4 Pedoman Observasi Lampiran 5 Pedoman Wawancara Lampiran 6 Hasil Observasi Lampiran 7 Hasil Wawancara

Lampiran 8 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 9 Daftar Informan

Lampiran 10 Jadwal Kegiatan Harian Santri Tahun 2014/2015 Lampiran 11 Jadwal Madrasah MISHM 3 Putra Tahun 2014/2015 Lampiran 12 Jadwal Madrasah MISHM 3 Putri Tahun 2014/2015 Lampiran 13 Jadwal Piket Harian ISPA Putri Tahun 2014/2015 Lampiran 14 Jadwal Binadhor Aula Putri Tahun 2014/2015 Lampiran 15 Jadwal Binadhor Mushola Utara Tahun 2014/2015 Lampiran 16 Jadwal Binadhor Mushola Selatan Tahun 2014/2015

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil yang berjumlah sekitar 17.500 pulau. Penduduk Indonesia berdasarkan pada sensus penduduk tahun 2010 berjumlah lebih dari 237 juta jiwa. Setiap penduduk memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas (2011) mengungkapkan fenomena keseharian menunjukkan perilaku masyarakat belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah Pancasila (religius, humanis, nasionalis, demokratis, keadilan dan kesejahteraan rakyat). Berbagai perilaku menyimpang masyarakat terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan obat terlarang, pelecehan seksual, sikap agresif, tawuran, bullying, kemerosotan toleransi umat beragama dan lain-lain. Selain itu, pemberitaan di televisipun menyuguhkan tayangan tentang tindakan amoral di kalangan pelajar, seperti pemerkosaan yang korban dan pelakunya siswa sekolah, pencurian, perampokan, serta geng motor yang berakhir dengan perkelahian dengan senjata tajam.

(17)

(7) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, & seks bebas; (8) rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu & sebagai warga negara; (9) menurunnya etos kerja & adanya rasa saling curiga; (10) kurangnya kepedulian di antara sesama. Oleh karena itu, Indonesia gencar menggelorakan pembangunan karakter dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembangunan karakter dilatarbelakangi dari cita-cita luhur pendiri bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk menanamkan karakter pada diri masyarakat. Salah satu strateginya adalah melalui pendidikan. Sasarannya yakni mulai dari anak usia dini hingga orang dewasa. Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar mengenai etika agama di atas etika-etika yang lain (Dhofier, 2011:45).

(18)

kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Dalam mewujudkan pengembangan karakter tersebut pemerintah mulai meningkatkan mutu dan kualitas diri masyarakat itu sendiri melalui pendidikan karakter.

(19)

menjadi jembatan penghubung pendidikan karakter di satuan pendidikan dengan keluarga dan masyarakat melalui kontekstualisasi nilai kehidupan sehari-hari siswa dalam pembelajaran, serta pemberdayaan lembaga komite sekolah sebagai wahana partisipasi orangtua dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan karakter. Di satu sisi, untuk membentuk kepribadian yang baik pada diri siswa, sekolah formal saja tidaklah cukup. Sekolah tidak dapat mengontrol kehidupan pergaulan mereka baik dengan teman sebaya ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat solusi alternatif untuk membentuk kepribadian siswa secara lebih maksimal yaitu melalui pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6). Pada umumnya pondok pesantren memiliki asrama sebagai tempat tinggal siswa sehingga siswa dapat lebih mengembangkan kepribadiannya terutama dalam meningkatkan pengetahuan tentang moral dengan kontrol dan pengawasan dari guru dan kyai.

(20)

tersebut. Pondok Pesantren Askhabul Kahfi merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental. Dalam pembelajaran akademik santri diajarkan untuk disiplin dan patuh pada aturan, sedangkan dalam kegiatan non-akademik santri dibentuk kepribadiannya dalam berbagai kegiatan seperti kegiatan ekstrakurikuler, memasak dan mengaji. Setiap kegiatan santri dengan bimbingan dewan guru dijadikan sebagai sarana menumbuhkan jiwa mandiri, disiplin, toleransi, bertanggungjawab, dan sebagainya. Dengan demikian, setiap kegiatan santri menjadi sarana strategis kondusif untuk menanamkan nilai filsafat dan hidup yang terpancang dalam jiwa meliputi keikhlasan, kesederhanaan, berdikari ukhuwah islamiyah dan jiwa kebebasan yang mengacu pada nilai kehidupan islami dengan disiplin dan tanggungjawab sebagai alatnya.

Berdasarkan uraian diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul: ”PENDIDIKAN KARAKTER DI PONDOK PESANTREN ASKHABUL KAHFI SEMARANG”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan nilai-nilai karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang?

(21)

3. Bagaimana peran kyai dalam pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang?

4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam penerapan pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan nilai-nilai karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

2. Untuk mengetahui metode pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

3. Untuk mengetahui peran kyai dalam pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

4. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam penerapan pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

D. MANFAAT PENELITIAN

(22)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian yang selanjutnya secara lebih luas dan lebih mendalam tentang pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wawasan dan masukan bagi santri dalam meningkatkan pendidikan karakter yang diterapkan Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang.

b. Manfaat penelitian ini bagi pondok pesantren adalah menambah dan memperbaiki kualitas yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan karakter di dalam pondok pesantren.

F. BATASAN ISTILAH

Untuk menghindari agar tidak terjadi salah pengertian dalam mengartikan dan menafsirkan skripsi ini, maka penulis merasa perlu membuat batasan yang mempelajari dan mempertegas istilah yang digunakan tersebut, yaitu:

1. Pendidikan Karakter

(23)

2. Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah suatu Lembaga Pendidikan Agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership

seorang atau beberapa orang Kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal (Arifin, 2003:229).

3. Kyai

(24)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerjasama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara, dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan (Khan, 2010:1). Sedangkan menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter merupakan suatu ikhtiar yang secara sengaja untuk membuat seseorang memahami, peduli dan akan bertindak atas dasar nilai-nilai yang etis. Pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) (Lickona, 2012:82). Lickona menyatakan bahwa karakter berkaitan dengan pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Dengan kata lain, komponen-komponen moral tersebut akan membentuk karakter yang baik, tangguh serta unggul.

Pendapat lain dikemukakan oleh Anne Lockwood (dalam Nucci dan Narvaez, 2014:131) yang mengembangkan definisi „sementara‟ tentang

(25)

kegiatan berbasis sekolah yang bertujuan untuk secara sistematis membentuk perilaku siswa sebagaimana ia mengatakan: “Pendidikan karakter didefinisikan

sebagai setiap program lembaga sekolah, dirancang dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga masyakarat lainnya, untuk membentuk secara langsung dan secara sistematis perilaku kaum muda dengan mempengaruhi secara jelas nilai-nilai non-relativistik yang diyakini secara langsung menghasilkan perilaku tersebut”. Ia merinci tiga proposisi utama: pertama, tujuan pendidikan moral dapat

dikejar, bukan hanya diserahkan kepada kurikulum tersembunyi yang tidak terkendali dan bahwa tujuan tersebut harus memiliki dukungan dan konsensus publik pada tingkat yang wajar; kedua, tujuan perilaku adalah bagian dari pendidikan karakter; ketiga, perilaku antisosial pada pihak anak adalah akibat dari tidak adanya nilai-nilai yang mana di sini terdapat anggapan hubungan nilai dengan perilaku.

Larry P. Nucci menambahkan proposisi keempat, bahwa banyak pendidik karakter tidak hanya berusaha untuk mengubah perilaku, tetapi benar-benar berusaha untuk menghasilkan jenis karakter tertentu, untuk membantu membentuknya dalam berbagai cara. Penggunaan istilah „bentuk‟ dan „pembentukan‟ di sini tidak dipahami secara pasif, melainkan sebagai partisipasi

(26)

Meskipun karakter yang baik dan perilaku yang baik adalah sama (Nucci dan Narvaez, 2014:131-132).

Karakter merupakan hal yang penting untuk membangun sumber daya manusia (SDM) yang kuat, maka perlunya pendidikan karakter harus dilakukan dengan tepat dan dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan kepedulian dari berbagai pihak baik oleh pemerintah, sekolah, masyarakat, maupun keluarga (Hidayatullah, 2010:2-3). Russel Williams (dalam Q-Anees dan Hambali, 2008:99) menggambarkan bahwa karakter adalah ibarat “otot”, dimana “otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan kokoh apabila sering dipakai. Sama halnya dengan seorang binaragawan yang terus-menerus berlatih membentuk ototnya, “otot-otot” karakter akan terbentuk dengan praktik latihan yang akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan.

Pendidikan karakter memiliki sifat dua arah, dimana arahannya adalah setiap manusia mampu memiliki ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat (Koesoema, 2007:112). Kilpatrick dan Lickona sebagai pencetus utama pendidikan karakter percaya adanya keberadaan moral absolut yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar paham betul mana yang baik dan benar. Kilpatrick dan Lickona menyadari bahwa sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”, seperti berkata jujur,

(27)

2. Nilai Pendidikan Karakter

Dirjen Dikdasmen Kemendiknas (dalam Mahbubi, 2012:44-48) mengungkapkan bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, hukum, etika akademik dan prinsip-prinsip HAM telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, antara lain;

a) Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan 1) Religius

Pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai Ketuhanan.

b) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri 1) Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan. 2) Bertanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk merealisasikan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri dan masyarakat.

3) Bergaya hidup sehat

(28)

4) Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Percaya diri

Sikap yakin akan potensi diri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.

7) Berjiwa wirausaha

Sikap dan perilaku mandiri dan pandai mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. 8) Berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif

Berpikir dan melakukan sesuatu secara logis untuk menghasilkan cara baru dari apa yang telah dimiliki.

9) Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

10) Ingin tahu

(29)

11) Cinta ilmu

Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.

c) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama 1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta merealisasikan apa yang menjadi milik atau hak diri sendiri dan orang lain serta tugas dan kewajiban diri sendiri serta orang lain.

2) Patuh pada norma sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan yang berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

3) Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.

4) Santun

Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.

5) Demokratis

(30)

d) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan 1) Peduli sosial dan lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya, dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

e) Nilai kebangsaan 1) Nasionalis

Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, kultur, ekonomi dan politik bangsanya.

2) Menghargai keberagaman

Sikap memberikan rasa hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, kultur, suku dan agama.

Pendapat lain diungkapkan oleh Indonesia Heritage Foundation (dalam Megawangi, 2004:95) yang menyatakan bahwa terdapat sembilan nilai-nilai karakter yang penting ditanamkan pada anak, antara lain:

a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty). b. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence,

self reliance, discipline, orderliness).

(31)

e. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation).

f. Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcarefulness, courage, determination and

enthusiasm).

g. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership). h. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty).

i. Toleransi, cinta damai, dan persatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).

3. Metode Pendidikan Karaker

Metode berasal dari bahasa Latin “meta” yang berarti melalui, dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Sedangkan dalam bahasa Arab metode

(32)

Metode yang digunakan untuk pendidikan anak harus dapat mengoptimalkan kemampuan anak. Proses pendidikan anak juga harus disesuaikan dengan tingkat usia anak, dari mulai perkembangan awal anak sampai dewasa. Dalam proses pendidikan, kesalahan pendidikan anak usia awal akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak di masa yang akan datang. Untuk memperoleh kualifikasi metode yang tepat guna, pemilihan metode harus didasarkan pada karakteristik anak yang sesuai dengan periodesasi anak itu. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan karakter khususnya pendidikan yang mengutamakan karakter pribadi muslim maka diperlukan metode yang mampu membentuk pribadi anak menjadi manusia yang cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional dan sosial, cerdas secara intelektual, cerdas secara kinestetik, baik dan bermoral, menjadi warga negara dan masyarakat yang baik serta bertanggungjawab (Adisusilo, 2012:132).

Pada dasarnya, pendidikan karakter berkaitan dengan pendidikan moral. Terdapat pertimbangan model bagi pendidikan moral dalam arti mengembangkan pemahaman moral pada siswa. Model yang didasarkan pada etika kepedulian terdiri dari empat komponen, yaitu:

a. Keteladanan

(33)

b. Dialog

Dialog adalah unsur yang paling mendasar dari pendidikan moral dari perspektif kepedulian. Semua bentuk pendidikan moral menggunakan jenis pembicaraan seperti ini biasanya pernyataan pengetahuan, perintah, kekesalan, pujian, peringatan, nasehat. Tetapi dialog melibatkan pencarian pemahaman secara bersama-sama.

c. Praktik

Kita belajar untuk peduli, pertama dengan menjadi orang yang diperhatikan. Kita mengamati ketika kepedulian dicontohkan, dan kita menjelajahi kehidupan moral melalui dialog. Kemudian kita membutuhkan kesempatan untuk memperaktikkan kepedulian.

d. Konfirmasi

Konfirmasi mengacu pada tindakan sadar pemberi perhatian berupa menyetujui atau meyakinkan hal-hal yang secara moral paling baik pada orang lain. Dalam tindakan konfirmasi, kita membangun motivasi terbaik yang mungkin pada orang yang diperhatikan yang sesuai dengan kenyataan (Nucci dan Narvaez, 2014:246-252).

(34)

a. Mengajarkan

Untuk dapat melakukan yang baik, adil dan bernilai harus mengetahui dengan jernih apa yang dinamakan kebaikan, keadilan dan nilai. Pendidikan yang mengandalkan pendidikan karakter akan dapat mengantarkan pada nilai-nilai perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.

b. Keteladanan

Keteladanan menjadi hal klasik bagi berhasilnya tujuan pendidikan karakter, anak akan belajar dari apa yang dilihat. Kata-kata yang disampaikan kepada anak akan mampu menggerakkan, tetapi keteladanan menjadi metode dalam pendidikan karater yang menarik hati.

c. Menentukan prioritas

Pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar akan karakter yang ingin diterapkan, demikian pula dalam penggunaan metode sebagai sarana efektif tercapainya tujuan. Dengan adanya pemilihan dan prioritas yang jelas, akan didapat proses evaluasi atas keberhasilan pendidikan karakter. Hal ini ditandai dengan terlihatnya kemajuan dan kemunduran dalam perilaku anak. d. Praksis prioritas

(35)

e. Refleksi

Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi melalui kemampuan ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik. Jadi, setelah tindakan dan praksis pendidikan karakter terjadi, perlu diadakan semacam pendalaman, refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter (Koesoema, 2007:212-217).

Megawangi (dalam Wiyani, 2013:44) mengatakan perlu adanya metode 4M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai, menginginkan dan mengerjakan kebaikan (knowing the good, loving the good, desiring the good, and acting the good) secara stimulan dan berkesinambungan. Metode pendidikan karakter ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh, yaitu sesuatu yang diketahui secara sadar, mencintainya dan diinginkannya.

(36)

4. Bentuk Pendidikan Karakter

Karakter adalah istilah inklusif bagi individu sebagai totalitas, sehingga bagi banyak pendidik pendidikan karakter memiliki lebih banyak hubungan dengan pembentukan dan perubahan seseorang yang meliputi pendidikan di sekolah, keluarga, dan melalui partisipasi seseorang dalam jaringan sosial masyarakat (Nucci dan Narvaez, 2014:132). Perlu ditekankan bahwa hanya sebagian kecil orang di Amerika atau Inggris menganggap sekolah tempat paling penting untuk pendidikan karakter, sekalipun ia tetap lembaga publik utama untuk pendidikan moral formal anak-anak. Media massa, komunitas agama, budaya pemuda, kelompok sebaya, organisasi sukarela, dan terutama orangtua dan saudara memberi pengaruh signifikan pada pendidikan karakter (Nucci dan Narvaez, 2014:130-131).

Mansur Munir berpendapat bahwa terdapat 3 bentuk desain dalam pemrograman pendidikan karakter yang efektif dan utuh, antara lain:

a. Berbasis sekolah

Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan murid sebagai pembelajar. Yang dimaksud dengan relasi guru pembelajar ialah bukan menolong, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan murid yang saling berinteraksi dengan media materi. b. Berbasis kultur sekolah

(37)

memberikan pesan moral, namun ditambah dengan peraturan tegas serta sanksi bagi pelaku ketidakjujuran.

c. Berbasis komunitas

Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Keluarga, masyarakat dan negara juga memiliki tanggungjawab moral untuk mengintegrasikan pendidikan karakter di luar sekolah (Mahbubi, 2012:49).

Pendapat lain diungkapkan oleh Yahya Khan tentang bentuk pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dapat dilaksanakan dalam proses pendidikan terbagi atas empat bentuk, antara lain:

a. Pendidikan karakter berbasis nilai religius yaitu pendidikan karakter yang berlandaskan kebenaran wahyu (konversi moral).

b. Pendidikan karakter berbasis nilai kultur yang berupa budi pekerti pancasila, apresiasi, sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa. c. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konversi lingkungan).

d. Pendidikan karakter berbasis potensi diri yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konversi humanis). Proses aktivitas ini dilakukan dengan segala upaya secara sadar dan terencana, untuk mengarahkan murid agar mereka mampu mengatasi diri melalui kebebasan dan penalaran serta mampu mengembangkan segala potensi diri (Mahbubi, 2012:48).

(38)

potensi diri (konversi humanis), dimana para peserta didik atau santri tidak hanya diajarkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan karakter dalam Islam tetapi juga meningkatkan kualitas pendidikan karakter secara lebih luas.

5. Penilaian Pendidikan Karakter

Penilaian pendidikan karakter pada hakikatnya adalah evaluasi atas proses pembelajaran secara terus menerus dari individu untuk menghayati peran dan kebebasannya bersama dengan orang lain dalam sebuah lingkungan sekolah demi pertumbuhan integritas moralnya sebagai manusia. Penilaian pendidikan karakter berkaitan erat dengan adanya unsur pemahaman, motivasi, kehendak, dan praksis dari individu (Koesoema, 2010:281).

Penilaian terhadap pendidikan karakter juga dapat dilakukan terhadap kinerja pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik. Kinerja pendidik atau tenaga kependidikan dapat dilihat dari berbagai hal terkait dengan berbagai aturan yang melekat pada diri pegawai, antara lain;

a. Hasil kerja; kualitas kerja, kuantitas kerja, ketepatan waktu penyelesaian kerja, kesesuaian dengan prosedur.

b. Komitmen kerja; inisiatif, kualitas kehadiran, kontribusi terhadap keberhasilan kerja, kesediaan melaksanakan tugas dari pimpinan.

(39)

Selain penilaian untuk pendidik dan tenaga kependidikan, penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter juga dapat ditujukan kepada murid yang didasarkan pada beberapa indikator (Mahbubi, 2012:128). Koesoema menuturkan beberapa bahan penilaian pendidikan karakter apakah pendidikan karakter yang diterapkan di dalam lingkungan sekolah itu telah berhasil atau tidak, antara lain;

a. Kuantitas kehadiran individu di dalam lembaga pendidikan, bisa menjadi salah satu kriteria objektif untuk menentukan apakah sekolah itu telah membantu mengembangkan individu di dalam lingkungan sekolah sebagai pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tugas-tugasnya, dan terhadap orang lain

b. Penilaian pendidikan karakter bisa juga dilihat dari jumlah siswa yang secara tepat waktu menyerahkan tugas yang diembankan kepadanya.

c. Jika pendidikan karakter itu diterapkan di dalam lingkungan sekolah, di mana sekolah mencoba menanamkan nilai kerja sama, rasa saling menghormati satu sama lain, menghargai perbedaan, fenomena tawuran pelajar, kekerasan dan tindak kejahatan bisa menjadi salah satu indikasi keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.

(40)

e. Jika sekolah mengalami persoalan dalam keterlibatan anak-anak didik dalam jebakan narkoba, pendidikan karakter yang berhasil akan menurunkan jumlah mereka yang terlibat dalam narkoba.

f. Prestasi akademis siswa bisa dilihat dari keberhasilan mereka dalam menguasai materi dari mata pelajaran yang mesti mereka kuasai. Penilaian pendidikan karakter bisa dilihat berapa jumlah mereka yang tinggal kelas dan yang naik kelas.

g. Tidak dihargainya nilai kerja keras dan kejujuran tampil dalam fenomena mencontek yang telah membudaya. Untuk ini, kriteria sejauh mana para siswa itu telah mempraktikkan nilai-nilai kejujuran dapat dilihat melalui data-data tentang jumlah anak yang ketahuan mencontek (Koesoema, 2010:285-288).

B. Pendidikan di Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren

(41)

suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari asal-usul kata santri pula banyak sarjana berpendapat bahwa lembaga pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa menganut agama Hindu Buddha yang bernama “mandala” yang diislamkan oleh

para kyai (Dhofier, 2011:41).

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu dalam Hasbullah, 1999:40). Sedangkan menurut Arifin (2003:229), pondok pesantren adalah suatu Lembaga Pendidikan Agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal. Pengertian pesantren yang populer pada saat ini yaitu bahwa pesantren atau pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fi addin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.

(42)

penyelenggaraan pendidikan. Mastuhu (dalam Tafsir, 1992:201-202) menuturkan terdapat 8 prinsip yang berlaku pada pendidikan di pondok pesantren, antara lain sebagai berikut:

a. Memiliki kebijaksanaan menurut ajaran islam

Yaitu peserta didik dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggungjawabnya dalam kehidupan di masyarakat.

b. Memiliki kebebasan yang terpimpin

Yaitu setiap manusia memiliki kebebasan dalam menetapkan aturan hidup tetapi dalam berbagai hal manusia menerima saja aturan yang datang dari Tuhan.

c. Berkemampuan mengatur diri sendiri

Yaitu di pesantren, santri mengatur sendiri kehidupannya menurut batasan yang diajarkan agama. Ada unsur kebebasan dan kemandirian disini. Masing-masing pesantren memiliki otonomi. Setiap pesantren mengatur kurikulumnya sendiri, mengatur kegiatan santrinya, tidak harus sama antara satu pesantren dengan pesantren yang lainnya.

d. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi

(43)

e. Menghormati orangtua dan guru

Yaitu tujuan ini dicapai antara lain melalui penegakan berbagai pranata di pesantren seperti mencium tangan guru, tidak membantah guru dan bertutur kata yang sopan.

f. Cinta kepada ilmu

Yaitu banyaknya hadist yang mengajarkan pentingnya menuntut ilmu dan menjaganya.

g. Mandiri

Yaitu sejak awal santri dilatih untuk mandiri. Mereka kebanyakan memasak, mengatur uang, mencuci pakaian sendiri dan lain-lain.

h. Kesederhanaan

Yaitu sikap memandang sesuatu, terutama materi secara wajar, proporsional dan fungsional.

(44)

2. Metode Pendidikan di Pondok Pesantren

Pengajian dasar di rumah, langgar dan masjid diberikan secara individual. Seorang murid mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Qur‟an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah masing-masing di seluruh wilayah Indonesia. Pada gilirannya, murid mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata persis seperti yang dilakukan oleh gurunya. Sistem individual dalam sistem pendidikan pesantren ini disebut sistem

sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qur‟an (Dhofier, 2011:53-54).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem

bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan bahkan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Tentu ulasan dalam bahasa Arab buku-buku tingkat tinggi diberikan kepada kelompok mahasiswa senior yang diketahui oleh seorang guru besar dapat dipahami oleh para mahasiswa. Kelompok mahasiswa khusus ini disebut “kelas musyawarah” (kelompok seminar).

(45)

sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan pesantren, sebab sistem sorogan menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing dan murid (Dhofier 2011:54).

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar biasanya menyelenggarakan bermacam-macam halaqah (kelas bandongan), yang mengajarkan mulai dari kitab-kitab elementer sampai tingkatan tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat), dari pagi-pagi buta setelah sembahyang subuh sampai larut malam. Selain itu ada pula sistem pengajaran kelas musyawarah. Dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan. Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk dan dirujuk. Kyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya-jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab klasik (Dhofier, 2011:56-57).

(46)

3. Bentuk Pendidikan di Pondok Pesantren

Abuddin Nata (2001:120-121) menyatakan pendapatnya tentang pondok pesantren di mana bila dilihat dari segi komponen pranata membentuk suatu pondok pesantren, maka pondok pesantren ada lima jenis, yakni:

a. Pola pertama, ialah pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih bersifat sederhana di mana kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar.

b. Pola kedua, ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Dalam pola ini pesantren telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah lain.

c. Pola ketiga, ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah. Pesantren ini telah memakai sistem klasikal di mana santri mendapat pendidikan di madrasah.

d. Pola keempat, ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pesantren pola ini di samping ada madrasah juga terdapat tempat-tempat untuk latihan keterampilan.

e. Pola kelima, ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok pesantren, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga dan sekolah umum.

(47)

hendak dicapai di pondok pesantren terpusat pada pendalaman ilmu-ilmu agama lewat pengajian kitab-kitab klasik dan sikap hidup beragama. Bentuk-bentuk pendidikan di pondok pesantren kini sangat bervariasi. Sedikitnya bentuk-bentuk pendidikan di pondok pesantren dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe, yakni a. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan

kurikulum nasional.

b. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional.

c. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk maddin. d. Pesantren yang hanya sekadar menjadi tempat pengajian (majelis ta‟lim). e. Pesantren untuk asrama pelajar sekolah umum dan mahasiswa.

C. Peran Kyai dalam Pendidikan di Pondok Pesantren 1. Pengertian Kyai

Istilah kyai yang lekat dengan masalah agama Islam pada dasarnya bukan berasal dari bahasa Arab melainkan berasal dari bahasa Jawa. Zamakhsyari Dhofier (2011:93) berpendapat bahwa istilah kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:

a. Kyai dipakai sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan ”kereta emas” yang

(48)

b. Kyai dipakai sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

c. Kyai sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya.

Berdasarkan ketiga pemakaian istilah tersebut, yang paling banyak dipakai oleh masyarakat adalah yang terakhir yaitu seseorang yang menjadi pimpinan pesantren. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Dr. Manfred Ziemek (1986:131), yang mengatakan bahwa pengertian kyai yang paling luas dalam Indonesia modern adalah pendiri dan pimpinan sebuah pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya demi Allah serta menyebarkan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan. Kedudukan seorang kyai sebagai pimpinan sentral yang berkuasa penuh di dalam pesantren memiliki otoritas, wewenang yang menentukan semua aspek kegiatan pendidikan dan kehidupan agama atas tanggungjawabnya sendiri (Ziemek, 1986:138).

(49)

agama”. Kendati demikian, peran keduanya dapat dibedakan; ulama sebagai kepemimpinan “administratif”, sedangkan kyai sebagai kepemimpinan “simbolik”. Eksistensi kyai dalam pesantren merupakan “lambang kewahyuan”

yang selalu disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas, jauh dari hipokrit. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan para kyai/ulama untuk memperoleh “berkah” dari mereka. Tegasnya, kyai adalah

tempat bertanya, sumber referensi, dan tempat meminta nasihat dan fatwa (Nata, 2001:143).

2. Peranan Kyai

Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang kyai sebagai kelompok elit dalam struktur sosial, politik, ekonomi dan lebih-lebih di kalangan kelompok agama Islam mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu:

a. Sebagai ulama

(50)

b. Sebagai pengendali sosial

Para kyai khususnya di daerah Jawa merupakan kepemimpinan Islam yang dianggap paling dominan dan selama berabad-abad telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses perkembangan sosial, kultur, dan politik. Berkat pengaruhnya yang besar di masyarakat, seorang kyai mampu membawa masyarakat ke mana ia kehendaki. Dengan demikian, seorang kyai mampu mengendalikan keadaan sosial masyarakat yang penuh dengan perkembangan dan perubahan zaman. Kyai mengendalikan masyarakat akibat dari perubahan yang terjadi dengan cara memberikan solusi yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.

c. Sebagai penggerak perjuangan

Kyai sebagai pimpinan tradisional di masyarakat sudah tidak diragukan lagi fungsinya sebagai penggerak perjuangan masyarakat setempat untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakatnya. Sejak zaman kolonial Belanda, para kyai sudah banyak yang memimpin rakyat untuk mengusir penjajah. Islam pada zaman penjajahan Belanda merupakan faktor nomor satu bagi kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal berpencar-pencar diberbagai kepulauan itu semua tidak lepas dari gerakan perjuangan para kyai (Dhofier, 2011:94-97).

(51)

masyarakat. Meskipun demikian, kyai lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendidik santri daripada hal-hal lainnya (Masdar, 1999:62-64).

Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan perannya yang otoriter, disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, penanggungjawab, dan bahkan sebagai pemilik tunggal. Banyak pesantren yang mengalami kemunduran karena meninggalnya sang kyai, sementara ia tidak memiliki keturunan atau penerus untuk melanjutkan kepemimpinannya. Selain peranan-peranan tersebut, kyai juga memiliki peran penting dalam menjadikan pondok pesantren yang sesuai dengan fungsi pesantren itu sendiri, yakni sebagai transfer ilmu dan nilai agama seperti yang diterapkan oleh kebanyakan pondok pesantren pada umumnya.

D. KERANGKA BERPIKIR

(52)

Pelaksanaan pendidikan karakter di pondok pesantren terdiri dari beberapa komponen, yaitu media pendidikan karakter, materi pendidikan karakter, metode atau model pendidikan karakter dan evaluasi pendidikan karakter. Media pendidikan karakter pada pondok pesantren yakni sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan santri berbagai materi pendidikan karakter. Materi pendidikan karakter yang diteliti antara lain materi yang terkait dengan cinta kepada Tuhan, kemandirian dan tanggung jawab. Selain materi pendidikan, metode pendidikan yang digunakanpun bermacam-macam, yakni metode keteladanan, dialog, praktik dan konfirmasi. Sebagai bagian dalam metode konfirmasi, evaluasi juga harus dilaksanakan dalam pendidikan karakter guna mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Keempat komponen tersebut berkaitan erat dalam meningkatkan keberhasilan pendidikan karakter di pondok pesantren. Pelaksanaan pendidikan karakter di pondok pesantren juga tidak terlepas dari peran kyai di dalam pondok pesantren, yakni sebagai tenaga pendidik, pengasuh dan sebagai ulama.

(53)

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Santri

Tujuannya membentuk kepribadian santri yang mandiri, bertanggungjawab, dan taat pada ajaran Islam

(54)

39 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian memerlukan suatu cara pendekatan yang tepat untuk memperoleh data-data yang akurat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu metodologi penelitian yang harus ada relevansi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi (Moleong, 2009:6). Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2009:4) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahnya. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, artinya data yang dianalisis bersifat deskriptif fenomena, tidak berupa angka-angka. Data kualitatif ialah data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar.

(55)

Alasan menggunakan metode ini adalah peneliti melihat kenyataan yang ada di lapangan, dengan melihat perilaku-perilaku yang diamati. Penelitian ini mencoba menjelaskan, menyelidiki, dan memahami pelaksanaan pendidikan karakter di pondok pesantren, metode pendidikan karakter di pondok pesantren, peran kyai dalam pendidikan karakter di pondok pesantren dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan karakter di pondok pesantren.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang yang berlokasi di Jalan Cangkiran-Gunungpati km. 3 Polaman, Mijen, Kota Semarang dengan alasan pondok pesantren tersebut merupakan pondok pesantren salafiyah modern dan terpadu dengan pendidikan sekolah. Alasan menggunakan Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang karena merupakan salah satu lembaga pendidikan agama Islam yang mengajarkan pendidikan karakter kepada santri dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan di pondok pesantren tersebut mengutamakan pembentukan kepribadian dan sikap mental yang menjadi penunjang dalam pendidikan karakter santri.

C. Fokus Penelitian

(56)

untuk membuang dan menyimpan informasi yang diperolehnya. Berdasarkan konsep diatas, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:

a. Penanaman nilai-nilai karakter a. Nilai pendidikan karakter

1) Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya 2) Kemandirian

3) Tanggung jawab

b. Metode pendidikan karakter 1) Keteladanan

2) Dialog 3) Praktik 4) Konfirmasi

c. Penilaian pendidikan karakter

1) Kuantitas kehadiran individu di dalam lembaga pendidikan

2) Jumlah siswa yang secara tepat waktu menyerahkan tugas yang diembankan kepadanya

3) Sekolah mencoba penanamkan nilai kerja sama, rasa saling menghormati satu sama lain, menghargai perbedaan, fenomena tawuran pelajar, kekerasan dan tindak kejahatan

4) Prestasi akademis siswa bisa dilihat dari keberhasilan mereka dalam menguasai materi dari mata pelajaran yang mesti mereka kuasai

(57)

b. Peran kyai dalam pendidikan karakter 1) Sebagai ulama

2) Sebagai pembimbing 3) Sebagai tenaga pendidik

c. Kendala pendidikan karakter di dalam kelembagaan, proses pembelajaran, santri dan kyai.

D. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Sumber data yang utama dalam penelitian adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperan serta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong, 2009:157).

(58)

b. Sumber data sekunder

Sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber selain sumber data primer. Sumber data, bahan tambahan yang berasal tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi (Moleong, 2009:159).

Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku literatur mengenai pendidikan karakter di pondok pesantren, arsip atau dokumen dari Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang, dan dokumentasi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di pondok pesantren yang menunjang data penelitian.

E. Metode Pengumpulan Data 1. Metode observasi

(59)

dilakukan perubahan atas penilaian tersebut bagi pelaksana observasi untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan (Margono, 2007:159).

Dalam penelitian ini, observasi dilaksanakan secara langsung saat proses pelaksanaan pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang. Cara yang digunakan adalah dengan peneliti terjun langsung ke tempat lokasi penelitian untuk melakukan pengamatan langsung terhadap objek kajian penelitian guna memperoleh informasi mengenai nilai-nilai karakter yang terkandung dalam pendidikan karakter, metode pendidikan karakter yang digunakan, peran kyai di pondok pesantren, serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan karakter.

2. Metode wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, dimana dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 2009:186). Ada beberapa kelebihan pengumpulan data melalui wawancara, diantaranya pewawancara dapat melakukan kontak langsung dengan terwawancara, data diperoleh secara mendalam, terwawancara dapat mengungkapkan isi hatinya secara lebih luas, dan pertanyaan yang tidak jelas dapat diulang dan diarahkan yang lebih bermakna (Sudijono, 1996:82).

(60)

wawancara yang dilakukan. Hal ini agar sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Subjek wawancara dalam penelitian ini adalah ustadz (pengajar) dan para santri yang menetap di pondok pesantren. Wawancara dilakukan untuk menggali dan memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti, antara lain mengenai pelaksanaan pendidikan karakter, metode pendidikan karakter yang digunakan, peran kyai di pondok pesantren, serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan karakter.

3. Metode dokumentasi

Metode dokumentasi ialah metode pengumpulan data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan permasalahan riset. Metode dokumentasi dapat digunakan sebagai bahan acuan dan data awal dalam melakukan wawancara dengan mengadakan penelusuran lebih jauh tentang fenomena yang terjadi dalam data yang ada melalui observasi dan wawancara sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dari informasi yang diperoleh dari observasi dan wawancara (Arikunto dalam Mahbubi, 2012:12).

(61)

F. Keabsahan Data

Penelitian kualitatif harus menggunakan kebenaran yang objektif. Oleh karena itu, keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat penting. Melalui keabsahan data, kredibilitas penelitian kualitatif dapat tercapai. Keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemerikaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2009:330).

Dalam memenuhi keabsahan data penelitian ini menggunakan metode triangulasi sumber data. Sebagaimana dikemukakan Yin (dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:187), triangulasi sumber data dimaksudkan agar dalam pengumpulan data peneliti menggunakan multi sumber data, yakni dapat dilakukan dengan menggunakan sumber data seperti melalui informan, fenomena-fenomena yang terjadi, dan dokumen bila ada. Hal tersebut disesuaikan dengan metode penelitian yang menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengecek kebenaran data. Selain itu, peneliti juga menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.

G. Teknik Analisis Data

(62)

Moleong, 2009:103), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori. Dan uraian dasar. Definisi tersebut memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kedudukan analisis data dilihat dari segi tujuan penelitian.

Dalam menganalisis data yang terkumpul baik dari hasil wawancara maupun dokumentasi penulis mencoba menginterpretasikan dengan menggunakan metode kualitatif. Dalam metode kualitatif analisis data dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya pengumpulan data. Tahap-tahap analisis data yaitu: 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, maupun dokumentasi untuk memperoleh data yang lengkap (Rachman, 2011: 174). Peneliti mencatat data yang diperoleh dari kegiatan observasi atau pengamatan keadaan santri, ustadz/ustadzah (pengajar) dan kyai di dalam pondok pesantren dan wawancara dengan ustadz/ustadzah (pengajar) serta para santri yang menetap di pondok pesantren.

2. Reduksi Data

(63)

hasil-hasil wawancara dengan ustadz/ustadzah (pengajar) dan para santri yang menjadi sumber informan, dan dokumentasi yang berasal dari pihak pondok pesantren dengan cakupan yang masih sangat luas, kemudian menggolongkan atau membuang yang tidak perlu dan tidak sesuai dengan fokus penelitian.

3. Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, bagan alur, dan sejenisnya. Miles dan Huberman (dalam Rachman, 2011: 177) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Penyajian data di sini berupa paparan hasil teks dalam paragraf-paragraf dan penggabungan foto hasil dokumentasi sebagai penunjang dan memperkuat hasil penyajian data yang berasal dari hasil pengamatan dan pengumpulan data penelitian yang diperoleh peneliti selama bulan Maret hingga Agustus 2015 dengan menggabungkan informasi-informasi penting dan berguna mengenai pendidikan karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang. 4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

(64)

Dari empat tahap analisis data di atas, dapat digambarkan dengan skema berikut ini:

Sumber: Miles, Huberman (dalam Rachman, 2011: 175) Bagan 3.1 Bagan Analisis Data Kualitatif

Berdasarkan keterangan di atas maka setiap tahap dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi dokmen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi.

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduksi Data

(65)

50 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Profil Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang

Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang yang beralamat di Jalan Cangkiran-Gunungpati km.3, Kelurahan Polaman, Mijen, Kota Semarang, No. Telp (024)7668058 merupakan lembaga yang mendidik kader-kader umat dalam sebuah miniatur dunia yang dibangun atas dasar nilai iman, islam dan ikhsan. Kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang dimulai dari pukul 04.00 WIB sampai dengan pukul 23.00 WIB. Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang pertama kali didirikan pada tahun 2008. Sampai saat ini jumlah santri yang menetap di pondok pesantren berjumlah kurang lebih 900 orang secara keseluruhan baik putra maupun putri yang berasal dari berbagai daerah/kota baik dari Semarang itu sendiri maupun dari luar Pulau Jawa. Meskipun dalam satu pesantren, namun antara asrama putra dan asrama putri di letakkan pada lokal atau gedung yang terpisah.

2. Visi dan Misi Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang a. Visi

(66)

b. Misi

1) Melakukan proses pendidikan pembelajaran ajaran agama sesuai dengan Al-Qur‟an dan As-sunah.

2) Melaksanakan pembelajaran dan pembimbingan secara efektif dan inovatif sehingga membawa santri berkembang secara optimal dan terarah sesuai dengan potensi yang dimiliki.

3) Melakukan bimbingan pengembangan diri di segala bidang khususnya akhlaq budi pekerti secara maksimal dan menyeluruh.

4) Mencetak lulusan yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas dan ketrampilan hidup apabila langsung terjun di masyarakat maupun sebagai bekal untuk melanjutkan studi kejenjang selanjutnya.

Gambar 4.1 Dokumentasi Gedung Pondok Pesantren

(67)

3. Data Sarana dan Prasarana

Berikut adalah sarana dan prasarana yang tersedia di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang:

a. Lembaga Formal

1) Madrasah Tsanawiyah Takhasus (MTs Takhassus) 2) Madrasah Aliyah Takhassus (MA Takhassus) 3) Sekolah Menengah Pertama (SMP Terpadu) 4) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK Terpadu) b. Lembaga Non Formal

1) Madrasah Diniyah Salafiyah 2) Tahfizdul Qur‟an

3) Majelis Tafsir Al Qur‟an

4) Majelis Mujahadah dan Selapanan 5) Lembaga Penyiaran Radio (Askafm) c. Fasilitas

1) Masjid

2) Pondok/asrama

3) Ruang madrasah/sekolah 4) Ruang perpustakaan

5) Ruang laboratorium komputer 6) Ruang laboratorium otomotif 7) Sarana olahraga

(68)

4. Daftar Ekstrakurikuler

Selain adanya sarana dan prasarana untuk menunjang pelaksanaan pendidikan, Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang juga menerapkan berbagai pilihan ekstrakurikuler pilihan untuk santri, antara lain:

1) Program peningkatan bahasa, diantaranya;

a) Pembelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris setiap hari. b) Khitobah bahasa Inggris dan bahasa Arab satu kali sepekan c) Pidato, tilawah dan cerdas cermat dalam bahasa Arab dan Inggris. 2) Kesenian dan keterampilan meliputi:

a) Rebana modern b) Seni kaligrafi c) Teknik komputer d) Teknik otomotif e) Radio ASKA 3) Kajian ilmiah

a) Membaca kitab kuning b) Pemaparan

4) Olahraga a) Sepak bola b) Bola volly

c) Seni beladiri/silat

(69)

B. Hasil Penelitian

1. Kegiatan yang Dilaksanakan dalam Penerapan Nilai-Nilai Karakter di Pondok Pesantren Askhabul Kahfi Semarang

Karakter tidak didapatkan sejak lahir, melainkan muncul dari kebiasaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karakter yang diajarkan dan dipraktikkan dalam pendidikan disebut pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter terdapat berbagai macam karakter yang dapat dikembangkan. Di pondok pesantren itu sendiri meskipun tidak semua macam karakter dapat dipelajari akan tetapi terdapat beberapa macam nilai-nilai karakter yang di unggulkan dalam pendidikan di pondok pesantren diantaranya nilai religius, nilai kemandirian dan nilai tanggung jawab.

Nilai-nilai karakter tersebut dipilih untuk diterapkan di pondok pesantren karena dinilai tepat untuk diajarkan pada santri dalam kehidupan sehari-hari dan dapat dijadikan sebagai dasar dari nilai-nilai karakter yang lainnya. Meskipun begitu, penanaman nilai-nilai karakter yang lain tidaklah dikesampingkan oleh pondok pesantren hanya saja penerapannya tidak sebanyak ketiga nilai karakter tersebut.

(70)

religius di pondok pesantren berfokus pada peningkatan keimanan santri atau kepercayaan santri kepada sang pencipta Tuhan Yang Maha Esa.

Berikut ini hasil wawancara dengan Hidayah (23 Tahun) yang mengatakan bahwa:

“Yang pasti yang utama itu kan agama mbak. Ya disini sih yang jelas pertama diajarkan kan tentang ibadah kepada Tuhan dahulu. Apapun kegiatannya karena disini basicnya adalah pondok pesantren jadi semua kegiatannya dipusatkan untuk ibadah kepada Tuhan. Semisal ketika mengaji tidak hanya mengaji kitab saja tetapi juga difokuskan ini tujuannya seperti apa, jadi muncul pertanyaan-pertanyaan kenapa sih kita harus ibadah, sehingga nanti kita dapat memahami, oh iya ya kita harus rajin beribadah, jadi seperti itu mbak” (wawancara tanggal 20 Agustus 2015).

Nilai religius dianggap tepat untuk diajarkan pada santri sebagaimana fungsi pondok pesantren itu sendiri yaitu sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan pembelajaran agama Islam yang lebih mendalam pada diri santri. Nilai religius yang diterapkan di pondok pesantren juga berkaitan dengan peningkatan kesadaran akan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Nilai religius dianggap sebagai nilai yang mudah diserap dan dipahami oleh setiap santri.

(71)

beradaptasi dengan lingkungan pondok pesantren dan telah memahami bagaimana peranannya sebagai seorang santri yang pada dasarnya belajar di pondok pesantren ialah untuk menuntut ilmu agama Islam. Oleh karena itu, santri yang telah menerapkan nilai religius dalam kehidupan sehari-hari perubahannya akan terlihat secara lebih signifikan karena telah terbiasa dan menyadari akan kewajibannya tersebut.

Sebagai contoh adalah Evi Nur Karomah (21 tahun) yang mengungkapkan:

“Memang awalnya masuk pondok pesantren karena disuruh oleh orang tua mbak, tetapi lama-kelamaan belajar disini atas keinginan saya sendiri. Dulu waktu pertama mondok itu saya sekolah sekaligus belajar ilmu agama mbak” (wawancara tanggal 15 Agustus 2015).

Gambar 4.2 Dokumentasi Pengajian Putri

Gambar

Gambar 4.1 Dokumentasi Gedung Pondok Pesantren (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Agustus 2015)
Gambar 4.2 Dokumentasi Pengajian Putri (Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Askhabul Kahfi)
Gambar 4.3 Dokumentasi Pengajian Putra (Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Askhabul Kahfi)
Gambar 4.5 Dokumentasi Sholat Tarawih Berjamaah (Sumber: Dokumentasi Pondok Pesantren Askhabul Kahfi)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Syukur al h amdulill ā h , skripsi yang berjudul “ Perbandingan Model Pendidikan Karakter Pondok Pesantren Darusy Syahadah Berbasis Multikultural dan Pondok Pesantren

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui penerapan manajemen pendidikan pada Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin di Krapyak Wetan Yogyakarta; (2) Untuk mengetahui

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan dalam menanamkan Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Muhammadiyah

Tujuan dari Penanaman nilai-nilai toleransi terhadap santri di pondok pesantren Darussalam Banyuwangi adalah sebagai upaya pendiri pada saat pertama kali mendirikan pondok

Nilai-nilai mental dalam membentuk karakter religius santri di Pondok.. Pesantren Nurul Ulum Kota Blitar dan Pondok Pesantren

Peran Pondok Pesantren dalam Mengembangkan Karakter Disiplin (Studi Kasus di Pondok Pesantren Darunnajah Kepil Wonosobo) Data responden Nama : Alamat : Jabatan

salah satu pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren Al-Hikmah Pedurungan Semarang. Pondok Pesantren Al-Hikmah Pedurungan Semarang merupakan salah satu pondok

Internalisasi Panca Jiwa Pondok Pesantren Dalam Membentuk Karakter Semangat Kebangsaan Santri Di Pondok Pesantren Al- Barokah An-Nur Khumairoh Ajung Jember Karakter semangat