PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
MATERIL DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Hayyu Citra Herdana NIM : 102044225086
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
MATERIL DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Hayyu Citra Herdana
NIM : 102044225086
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP. 150 220 554
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Sembah sujud dan syukur yang mendalam kepada sang Khaliq, Allah SWT,
atas rahmat, hidayah, kesempatan dan kesehatan yang telah Dia berikan, sehingga
kita bisa menjalani kehidupan ini dengan ridha dan kasih sayang-Nya.
Dengan kesadaran penuh akan kekuasaan-Mu ya Allah, penulih haturkan
terima kasih ke hadirat Ilahi Rabbi, karena dengan kehendak-Mu hamba kuasa
menuntaskan skripsi ini, subhanallah. Doa dan salam senantiasa terpatri kepada sang
penjuang sejati, baginda Muhammad saw., semoga kita termasuk hamba Allah SWT
yang berada di jalan yang lurus, amin.
Skripsi yang berjudul “Problema Nikah Fasakh dalam Perspektif Hukum
Materil dan Hukum Islam”. Disusun penulis dalam rangka memenuhi dan melengkapi
persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S 1) pada Program Studi Ahwal
Al-Syakhsiyyah konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini karena
dukungan, semangat dan motivasi dari berbagai pihak baik moril maupun materil,
baik individu atau kelompok, langsung atau tidak langsung telah ikut andil dalam
proses ini. Oleh karen aitu, terimalah salam takzim saya sebagai penulis, dari lubuk
hati yang paling dalam, terima kasih. Jaza kumullah khairan katsir.
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA., MM., Dekan
2. Bapak Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag,
M.Hum, ketua jurusan Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikiran, guna memberikan bimbingan dan arahannya
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah mengabdikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk
di bangku kuliah.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta Perpustakaan Umum Imman
Jama’ yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari
data-data pustaka.
6. Ayahanda terkasih Darman Asir Daud dan Ibunda terkasih Heryani Hikmah.
Limpahan kasih sayang dan perjuangan hidup Ayah dan Ibu membuat penulis
selalu bersyukur dan terus melapangkan hati untuk setiap permasalahan yang
dihadapi. Ketulusan hati Ayah dan Ibu menjadi cahaya dalam hati dan pikiran
penulis agar terus bersemangat dan berbuat baik dalam setiap langkah. Semua
ini tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Semoga kesabaran, rahmat, ridha
Allah SWT selalu mengiringi langkah kita, amin.
7. Kepada adik-adik penulis tersayang, Lutfi, Mutia, Yahya, yang baik hati dan
lucu-lucu, kalian adalah semangat hidup yang membuat penulis terus berusaha
kalian”. Semoga Allah memberikan rahmat, iman, dan Islam keapda kita
semua dan semoga kita sekeluarga bisa melewati keadaan ini dengan
bersyukur, amin.
8. Teman-teman jurusan AKI angkata 2002 yang selalu memberikan support dan
dukungan walau sudah terlebih dahulu selesai dan yang masih aktif, terutama
kepada Yanti Quesyah, Dewi Sapyuni, Ai Tita Kuswati, Hafis Eka, Jelani,
Muslim, Mulyadi, Iin Ernawati, Harsani, dan seluruh teman-teman yang tidak
bisa disebutkan satu per satu, semoga waktu tidak merusak hubungan kita.
Dan masih banyak lagi nama-nama yang ingin penulis sebutkan, namun tidak bisa
semuanya dituliskan dalam kata pengantar yang terbatas ini. Penulis berharap dan
berdoa semoga apa yang telah diberikan oleh yang bersangkutan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, mendapatkan balasan
yang berlipat dari Allah SWT, dan besar keinginan penulis agar skripsi ini dapat
membawa manfaat khususnya bagi penulis pribadi dan bagi pembaca pada umumnya,
amin. Jazakumullah khairan katsiran...
Ciputat, 14 Januari 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 5
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 5
E. Sistematika Pembahasan 6
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH,
CERAI & FASAKH 8
A. Pengertian Nikah 8
1. Tujuan dan Hikmah Nikah 10
2. Hukum Nikah 13
3. Rukun Pernikahan 14
B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh 15
BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL
DAN HUKUM ISLAM 23
1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar
Belakang terbentuknya KHI 23
2. Undang-Undang Perkawinan Th 1974 dan
Sejarah terbentuknya UU Perkawinan Th 1974 28
B. Pengertian Hukum Islam 29
BAB IV NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM 34
A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh 34
B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil 35
C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam 40
BABV PENUTUP 63
A. Kesimpulan 63
B. Saran 64
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sebagai khalifah,
manusia hidup dan berkembang biak melalui perkawinan. Sebab perkawinan adalah
salah satu sunnatullah yang lazim terjadi pada setiap makhluk Tuhan, baik terjadi
pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Melalui perkawinan manusia diharapkan
dapat membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Perkawinan dalam Islam
adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1Dan salah satu jalan untuk
mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan.2 Dalam Islam, perkawinan dua
insan manusia yang berlawanan jenis bermakna religius-spiritual, oleh sebab itulah
dalam perjalanan manusia beragama, perkawinan dianggap memiliki nilai sakralitas
paling tinggi.3
Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap
insan yang melakukannya. Ia adalah sebuah aktifitas kemanusiaan dengan makna luas
dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW… “nikah merupakan bahagian
aktifitasku”. Meski demikian, “aktifitas ibadah” tersebut tidak mutlak harus dilakukan
1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressidne, 2004), h.114.
2
Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h.1.
3
paksaan. Pernikahan yang memiliki kata dasar “nikah” berarti berkumpul atau
bersetubuh, berimplikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh bahkan
haram.4
Perkawinan dibolehkan dan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada
umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan
golongan wanita itu saling membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin
sebagai suami istri yang sah dalam hukum agama atau undang-undang negara yang
berlaku. Adapun salah satu hikmah perkawinan perspektif ajaran Islam adalah
memelihara manusia (pemuda) daripada pekerjaan yang maksiat yang
membahayakan diri, harta dan pikiran.5
Dalam tatanan kehidupan vertical horizontal pernikahan menjadi salah satu
upaya hubungan antar manusia karena dengan pernikahan manusia dapat membuat
satu keluarga yang akan berkembang biak menjadi kelompok masyarakat.
Dalam Islam pernikahan merupakan suatu sunnatullah dan anjuran agar hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya lebih berwarna dan lebih menyenangkan.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tanggadan keturunan, tetapi juga
dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum
4
Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.i.
5
dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan
pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dan sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, sehingga pasangan itu menjadi satu dalam segala
urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah
segala kejahatan. Dan dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan
hawa nafsunya.
Sebagai sebuah kehidupan, pernikahan akan diisi dengan pernak-pernik
persoalan yang niscaya hadir dan ia adalah proses menuju kepada nilai pemahaman
bagi pasangan yang telah terikat tali pernikahan. Bahkan, sebelum pasangan
(suami-istri) menjalin ikatan keluarga, keduanya berusaha mengenal satu kepada yang
lainnya dengan harapan bahwa rumah tangga yang hendak dibina dapat langgeng,
dalam bingkai “sakinah, mawaddah, warrohmah” dengan ridha Allah.
Dengan adanya perkawinan adalah untuk melangsungkan perkembangan
manusia dan adanya keturunan sebagai tujuan dasar setiap pembentukan rumah
tangga untuk hidup tentram. Maka diharapkan suatu perkawinan dapat berlangsung
langgeng dan bahagia dalam perjalanannya. Roda kehidupan terus berputar dan
terkadang tanpa disadari bahwa perkawinan yang baru atau sedang dijalani cacat
hukum, artinya perkawinan batal karena ada beberapa sebab yang membatalkannya.6
6
Meski demikian, upaya seperti isyarat agama adalah lazim yang mesti
dilakukan dan pernik persoalan pun keniscayaan yang mungkin maka tidaklah
mengherankan jika perjalanan sebuah “bahtera” mengarungi lautan juga tidak luput
ancaman badai.7Perceraian misalnya, banyak faktor eksternal maupun internal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam Islam perceraian pada perinsipnya
dilarang, hal ini dapat dipahami dari Hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa talak
itu adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT. Karena itu talak atau
perceraian merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh
ditempuh manakala bahtera rumah tangga tudak dapat dipertahankan lagi
keutuhannya. Namun bagaimana jika para pasangan yang telah melangsungkan
pernikahan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat penting yang tertera didalam
Undang-Undang Perkawinan ataupun dilarang dalam agama Islam? Kemudian
bagaimana hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia menyelesaikan
permasalahan ini?
Berdasarkan permasalahan tersebut penulis merasa tertarik untuk mengkaji
lebih teliti bagaimana sebenarnya penyelesaian dan problematika fasakh nikah yang
diuraikan dalam bentuk judul: PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM
PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Karena pembahasan ini cukup luas maka kiranya perlu pembatasan masalah
agar tidak meluas dan tidak terkontrol. Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu
ada beberapa hal dalam pernikahan yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh yang
dinyatakan rusak sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No 1
tentang Pernikahan Tahun 1974 tidak dinyatakan rusak.
Rumusan tersebut dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan di bawah ini:
a. Apa perbedaan nikah fasakh, perceraian dan fasakh?
b. Problema apa sajakah yang terkait nikah fasakh?
c. Bagaimana nikah fasakh diatur dalam hukum materil dan hukum
Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang sangat penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui hal yang mendasar tentang problema nikah yang dianggap
nikah fasakh.
2. Untuk mendapat keterangan jelas tentang problema nikah fasakh yang diatur
dalam hukum materil dan hukum Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
metode penelitian kepustakaan (Library Research).
Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan membaca dan
primer, sekunder dan tertier 8 Adapun bahan buku primer tersebut yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Fiqh Islam
Wafadilatuha. Bahan buku sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti buku Hukum Islam di Indonesia (Ahmad
Rofiq), Hukum Perdata Islam di Indonesia (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan) dan lain-lain. Bahan buku tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti ensiklopedi Islam,
ensiklopedi hukum Islam, kamus besar bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode deskriptif tinjauan pustaka dengan menggambarkan masalah,
kemudian penulis meneliti tulisan-tulisan dan kepustakaan yang berkaitan dengan
pembahasan tersebut, untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun teknik penulisan
skripsi ini berpedoman pada buku “ Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syari’ah & Hukum” dan sumber data yang berasal dari Al Qur’an tidak menggunakan
catatan kaki (footnote) dan meletakkan Al Qur’an Al Karim pada urutan pertama
dalam daftar pustaka.
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa
sub bab, yaitu :
8
Bab pertama mengenai pendahuluan, yang terdiri dari; latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua mengenai tinjauan hukum tentang pernikahan dan perceraian,
fasakh dan nikah fasakh serta perbedaan antara perceraian dan fasakh. Bab ini
membahas pengertian pernikahan dari mulai tujuan, hikmah, hukum, syarat dan rukun
pernikahan. Pengertian perceraian dan perbedaan dengan fasakh, pengertian nikah
fasakh.
Bab tiga mengenai pengertian umum tentang hukum materil dan hukum
Islam. Bab ini membahas tentang pengenalan hukum materil yaitu KHI dan
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan sejarah terbentuknya, serta pengertian hukum
Islam.
Bab empat mengenai nikah fasakh perspektif hukum materil dan hukum
Islam, yang membahas tentang pengertian umum tentang nikah fasakh, problema
nikah fasakh perspektif hukum materil, problema nikah fasakh perspektif hokum
Islam.
BAB II
TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH, CERAI, FASAKH DAN NIKAH FASAKH
A. Pengertian Nikah
Kata “nikah atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab yang secara makna
etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih atau makna lainnya”. “Akad dan
bersetubuh yang secara syara” berarti akad pernikahan.9 Secara terminologi (istilah)
‘nikah’ atau ‘zawaj’ialah suatu ikatan atau akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatas hak dan kewajiban serta bertolong-tolong di antara seorang lelaki dengan
seorang perempuan yang bukan mahram.10
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah adalah perjanjian antara
laki-laki & perempuan untuk bersuami atau beristri (dengan resmi).11 Sedangkan menurut
Ahmad Sudirman Abbas dalam bukunya Pengantar Pernikahan, pernikahan adalah:
- Akad yang mengandung kebolehan akan memperoleh kenikmatan biologis
dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.
- Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara
keduanya.12
9
Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1.
10
Sulaiman Rasjid, Fiah Islam (Hukum Figh Lengkap) (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.374.
11
Menurut Mahmud Yunus menyatakan : Perkawinan atau pernikahan ialah akad
antara calon lelaki dan istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur
oleh Syari’at.13
Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum yang berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Allah SWT berfirman :
ﻝ
!
ی# ﻝ$
%
/
&'
(
)*
+
Artinya: “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, agar kamu sekalian
mau berfikir” (Q.S. 51 (Az-Zariyat): 49).
,$
ﻝ
$ﻥ
.
/
$
$
0
ﻝ
$
$
1
2
.
3
04
#
5
$ﻝ
6
7
%
! 888
ﻝ$
9
/
':
(
;<
+
Artinya: “Allah telah menjadikan pasangan bagi kamu dari diri kamu sendiri. Dan
dari istri-istri kamu Dia jadikan anak dan cucu bagi kamu serta memberikan
kepada kamu rizki dari yang baik-baik...” (Q.S. 16 (An-Nahl): 72).
Perkawinan merupakan jalan aman yang dipilih Allah untuk menyalurkan
kebutuhan biologis yang lahir alami di tiap-tiap tubuh manusia dewasa. Perkawinan
adalah sarana bagi manusia untuk berkembang biak dan mempunyai generasi penerus
yang diharapkan akan membawa nama baik bangsa dan tanah air.
12
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1.
13
Terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk kawin, karena sangat takut
memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam
memperingatkan bahwa melalui ikatan perkawinan, Allah SWT akan memberikan
kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya
dan diberikan kepadanya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.
1. Tujuan dan Hikmah Nikah
Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam tingkat masyarakat. Untuk
dapat membangun keluarga sakinah yang menjadi impian semua orang, maka
para anggota yang terdapat di dalam institusi tersebut harus memiliki kesadaran
tinggi terhadap hak dan kewajibannya masing-masing. Keluarga sakinah dapat
terbina dengan perkawinan yang dianugrahi pasangan yang saling menghormati,
menghargai dan saling menyayangi. 14
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang juga merupakan penjelasan dari
undang-undang perkawinan telah dirumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Hikmah menikah (pernikahan) agar manusia hidup berpasang-pasangan,
membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan
ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah
ikatan akad nikah atau ijab qabul perkawinan, dan bila akad nikah telah
14
dilangsungkan maka mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangunkan satu
rumah tangga yang damai dan teratur, dan mereka akan menjadi satu keluarga.15
Sedangkan menurut Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya “Keluarga
Sakinah” : Perkawinan itu adalah salah satu cara yang telah banyak ditetapkan
oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan serta
melangsungkan kehidupan manusia. Dan suami istri ditugaskan untuk mengatur,
dan mengenai ini Allah SWT berfirman :
=ی$ ی
>
ﻝ$
?
$@ﻥ
A
$ﻥ
B
C
D
01
57
E
ﻝF
#
G
D
$
!888
$ H9ﻝ$
%
/
)*
(
'I
+
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersekutu-sekutu supaya kamu mengenal” (Q.S. 49 (Al Hujurat): 13).
Adapun masalah hikmah perkawinan. Abdullah Nasheh Ulwan
menyatakan antara lain adalah untuk memelihara jenis manusia, untuk
memelihara keturunan, menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak,
menyelamatkan masyarakat dari berragam penyakit dalam perkawinan, untuk
menentramkan jiwa setiap pribadi, untuk menjalin kerja sama suami istri dalam
membina keluarga dan mendidik anak-anak, menyuburkan rasa kasih sayang ibu
dan bapak.16
15
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, h.42.
16
Sedangkan menurut Al Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Qadir Jaelani, hikmah pernikahan itu adalah:
a. Untuk mendapatkan keturunan.
Empat keutamaan yang dapat diperoleh dari keturunan yang didasarkan pada pernikahan adalah :
1) Cinta kepada Allah, karena memperoleh anak berarti melestarikan jenis manusia di alam ini untuk kepentingan beribadah kepadanya. 2) Sebagai tanda cinta kasih kepada Rasulullah SAW, dengan
memperoleh anak, berarti umat Muhammad SAW bertambah banyak dan ini merupakan kebanggaan Rasulullah di akhir nanti.
3) Mencari keberkahan dari do’a anak yang saleh, apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
4) Mencari syafaat dari kematian anak yang masih kecil, yang mendahului orang tuanya.
b. Membentengi diri dari godaan setan dalam mengendalikan nafsu seks c. Untuk menimbulkan ketenangan jiwa
Menurut pendapat Sayyi Sabiq, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul
Qadir Jaelani, beliau menulis sebagai berikut :
a. Persaudaraan yang langgeng (teman sehidup semati) diantara pria dan wanita8
b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memelihara dan berkorban guna kepentingan anak-anak dan memperbanyak keturunan dalam melanjutkan kehidupan dengan memelihara garis keturunan.
c. Dengan perkawinan watak kebapak dan keibuan akan bertambah subur dan sempurna, apabila mereka mampu memelihara dan melindungi anak-anak.
d. Perkawinan adalah untuk mengetahui hakikat pertanggungjawaban dalam memelihara dan mendidik anak-anak.
e. Dan perkawinan mengadakan pembagian tugas pekerjaan secara teratur mengenai kehidupan rumah tangga.
Menurut pendapat Abu Bakar Jabir Al Jazair :
a. Untuk melestarikan jenis kehidupan manusia dengan keturunan yang dihasilkan.
b. Untuk memenuhi kebutuhan biologis antara suami dan istri.
d. Untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita dalam masalah-masalah hak dan kewajiban yang asasi.17
Dari hikmah-hikmah pernikahan yang tercantum di atas, dapat
disimpulkan bahwa pernikahan dilakukan untuk memberikan kemaslahatan bagi
kehidupan manusia, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang
beragama.
2. Hukum Nikah
Meskipun nikah adalah dianjurkan oleh Rasulullah saw, namun
hukumnya bisa berubah, tergantung kepada kondisi seorang muslim. Di antara
hukum-hukum nikah adalah:
a. Wajib: Bagi yang mampu kawin, hawa nafsunya telah mendesak dan
takut terjerumus dalam perzinahan.
b. Sunnah: Bagi yang mampu kawin, nafsunya telah mendesak tapi masih
dapat menahan hawa nafsunya.
c. Haram: Bagi yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya
kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak dan diyakini tidak dapat
melaksanakan tanggung jawabnya terhadap istri.
d. Makruh: Bagi yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi istrinya.
e. Mubah: Bagi yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan
segera kawin atau alasan-alasan untuk yang mengharamkan untuk
kawin.18
17Ibid,
3. Syarat dan Rukun Nikah
Syarat-syarat nikah merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Pada garis
besarnya, syarat-syarat sahnya pernikahan itu ada dua:
a. Calom mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang
ingin menjadikannya istri.
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:
a. Pihak Laki-Laki
b. Pihak Perempuan
c. Wali atau Wali Hakim
d. Dua Orang Saksi
e. Ijab Dan Qabul19
B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai dan Fasakh
Cerai berarti “pisah”, “putus hubungan” sebagai suami istri , talak.20 Cerai
atau lebih dikenal dalam Islam talak, dari kata “ithlaq” artinya “melepaskan atau
meninggalkan” dalam istilah agama “talak artinya melepaskan ikatan perkawinan
atau putusnya hubungan perkawinan.21
18Ibid
, h. 62
19
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h.46-49.
20
Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.163.
21
Sebuah hubungan perkawinan sejatinya menjadi utuh, langgeng bagi
kedua pasangan dari itulah tujuan dari perkawinan. Dan keduanya diharapkan dapat
mewujudkan rumah tangga yang menjadi fungsi keluarga itu sendiri yaitu :
a. Fungsi Biologis
b. Fungsi pendidikan sosial bagi anak c. Fungsi afeksi
d. Fungsi edukatif e. Fungsi religius f. Fungsi protektif g. Fungsi kreatif h. Fungsi ekonomis
i. Fungsi penentuan status22
Dan dikatakan bahwa ikatan antara keduanya merupakan ikatan yang paling
suci dan kokoh dan Allah menamakan ikatan suci antara suami istri tersebut dengan
kalimat “perjanjian yang kokoh” 23 sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam
firmannya :
0J K 05 B
> ﻥ L
! 8
/ ﻝ$
/
)
(
'&)
+
Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah memberi dari kamu perjanjian yang kuat”.
(Q.S. 4 (Al-Nisa’): 154)
Walaupun sebenarnya pekerjaan halal yang sangat dibenci adalah bercerai,
dan memang tidak dianjurkan untuk bercerai. Sebagaimana sabda Rasulullah saw
dalam sebuah hadis yang berbunyi:
22
H.A. Sutarmadi dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2006), h.11-12.
23
M N ,$ C O 7 ﻝ$ N PN 1$ N
Q 5 ﺱ
:
L1
S
T
ﻝ$
9
Q
Uﻝ
,$ C
N
V
$
6ﻝ
W
! 8
M99O X X$X D1L Y$ #
+
Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW berkata “Perbuatan halal yang
sangat dibenci Allah ialah talak (Hr. Abu Daud Hakim dan disahkan
olehnya)24
Tetapi jika terdapat darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami
meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau sudah tidak mencintainya. Tetapi
jika tidak terdapat alasan apapun, maka bercerai yang demikian berarti kufur terhadap
nikmat Allah SWT.
Talak juga mempunyai hukum yaitu : wajib, haram, dan sunnah. Talak wajib
yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak pengadilan sebagai penengah, karena
perpecahan antara suami istri yang sudah berat dan tidak ada jalan lain selain
perpisahan.
Talak haram yaitu thalak tanpa alasan, diharamkan karena merugikan bagi
kedua belah pihak, tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talak.
Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah SWT,
seperti salat dan sebagainya.
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum talak ada lima, yang
menjadi wajib jika terjadi perseteruan yang tak kunjung ada pemecahannya, dan
kedua belah pihak tidak dapat lagi bersatu, dua wakil dari kedua belah pihak tidak
dapat mendamaikan kedua belah pihak dengan tujuan menyelamatkan rumah tangga
24
mereka, pihak hakim berpendapat bahwa talak adalah lebih baik, tidak terjadi
perceraian maka berdosalah sang suami. Menjadi haram jika menceraikan istri ketika
haid atau nifas, ketika keadaan suci yang telah disetubuhi, menceraikan istrinya
dengan talak tiga sekaligus atau thalak satu tetapi disebut berulang kali sehingga
cukup tiga kali atau lebih. Sunnat ketika suami tidak mampu menanggung nafkah
istrinya dan istrinya tidak menjaga kehormatan dirinya. Makruh ketika suami
menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik dan berakhlak mulia dan mempunyai
pengetahuan agama. Menjadi Mubah ketika suami yang lemah keinginan nafsunya
atau istrinya belum datang haid atau telah putus haidnya.25
Dalam kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan
untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena dikhawatirkan dapat
berakibat bahaya yang lebih besar dari pada disatukan, dan jika terus-terusan dipaksa
justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau-balau.26 Allah
SWT berfirman :
888
ZZZZﻝ
ZZZZ
[
D
\
ﻝ
ZZZZF
\
7
D
ZZZZ1 $
7
T
ZZZZ
$
F
P
D
\
$
ZZZZﻝ
$
ZZZZی
]
1.
ZZZZ2
^
_
1
_
!888
/ ﻝ$
/
)
(
)*
8+
Artinya: “Dan janganlah kamu (suami) menghalangi mereka (istri-istri) karena kamu
ingin mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau mereka berbuat keji dengan terang-terangan.” (Q.S. 4
(Al-Nisa’): 49)
25
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6864
C. Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara cerai talak dan cerai
fasakh karena keduanya adalah bagian dari cerai atau perpisahan, tetapi tetap ada
yang membedakan antara keduanya yaitu perceraian talak ada dua macam yaitu talak
raj’i dan talak bain. Talak bain tidak menghentikan ikatan perkawinan seketika dan
talak bain menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkan. Sedangkan fasakh dengan
sebab yang datang setelah berlakunya akad atau karena adanya kekeliruan sewaktu
akad dapat memutuskan hubungan perkawinan seketika. Di samping itu cerai dengan
jalan talak akan mengurangi bilangan talak. Seorang suami yang men-talak istrinya
dengan talak raj’i kemudian merujuknya di dalam iddah atau dikawin lagi dengan
akad baru setelah lewat iddah, maka talak itu dihitung satu dan laki-laki masih
memiliki dua talak lagi. Adapun cerai fasakh tidak mengurangi bilangan talak.
Seandainya suatu akad dirusak dengan khiyar bulugh kemudian laki-laki dan wanita
ternyata memutuskan menikah maka perkawinan itu masih mempunyai 3 talak.
Fukaha dari kalangan Hanafiyah tidak membedakan antara cerai talak & cerai
fasakh, dimana dikatakan bahwa semua perceraian yang datang dari pihak suami &
tidak ada tanda-tanda dari perempuan maka perceraian dinamakan talak, dan semua
perceraian yang asalnya dari fihak istri dinamakan fasakh.27
27
Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu pernikahan dapat dirusak/
difasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berlaku lagi, dan
penyebabnya yaitu :
1. apabila salah satu dari pasangan suami isri telah menipu pasangannya.
2. apabila seorang perempuan dinikahi seorang laki-laki yang mengaku
orang baik-baik kemudian ternyata fasik, maka si perempuan berhak
mengajukan fasakh.
3. seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang mengaku
perawan ternyata janda, maka laki-laki itu berhak memfasakh dan
meminta ganti rugi mahar sebanyak sekitar mahar seorang gadis.
4. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tenyata tidak dapat
dicampuri maka laki-laki dapat memfasakh, misal: si istri selalu
istihadhoh.
5. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetap di tubuh si
perempuan ada penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat digauli.
6. seorang laki-laki yang menikahi perempuan tetapi si perempuan ternyata
mengidap penyakit/cacat.
Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah
jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, misal apabila terbukati bahwa si suami
istri masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk
memfaskhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Kadang-kadang ada
pelaksanaanya tergantung kepada keputusan hakim, misal fasakh karena istri musyrik
dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam lebih dahulu tetapi istri keberatan
untuk masuk Islam maka akadnya rusak.28
Sedangkan Wahbah Zuhaili dalm bukunya Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu
membedakan antara fasakh dan talak dengan tiga faktor.
Pertama faktor hakikatnya atau pengertiannya. Fasakh adalah rusaknya
sebuah akad pernikahan dari asalnya dan menghilangkan kehalalan atas sesuatu yang
dibolehkan dalam ikatan perkawinan. Sedangkan talak adalah selesainya atau
terhentinya sebuah akad pernikahan akan tetapi tidak menghilangkan kehalalan untuk
melakukan sesuatu yang dibolehkan dalam perkawinan kecuali apa bila telah jatuh
talak tiga.
Faktor yang kedua yaitu faktor akibat yang menyebabkan terjadinya fasakh
atau talak.
Fasakh terjadi adakalanya disebabkan oleh suatu keadaan yang dapat
membatalkan (merusak) akad yang melarang terjadinya pernikahan. Contohnya
adalah apabila seorang istri atau calon istri murtad atau ia enggan memeluk agama
Islam. Contoh yang kedua yaitu apabila suami mempunyai hubungan pernikahan
dengan ibu istrinya atau anak perempuan istrinya. Adakalanya disebabkan oleh
keadaan dimana keadaan tersebut tidak lazim diadakan pernikahan. Contohnya adalah
tidak pantasnya atau kurang matangnya salah satu antara suami atau istri untuk
melakukan pernikahan. Atau belum memenuhi syarat seorang wali dari pihak istri
28
atau karena jumlah maskawin yang terlalu sedikit (menurut Imam Hanafi). Dari
semua keadaan tersebut tidak lazim dilakukan sebuah akad pernikahan.29
Adapun talak terjadi setelah melalui akad pernikahan yang sah dan lazim,
talak merupakan hak suami. Jadi tidak ada dalam sebab-sebab terjadinya talak suatu
keadan yang mengharamkan atau yang tidak lazim terjadinya akad pernikahan
Faktor yang ketiga yaitu pengaruh yang diakibatkan dari fasakh dan talak.
Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. sedangkan talak dapat mempengaruhi
(membatalkan) bilangan talak.30
Sebuah sebab perpisahan yang mengakibatkan fasakh tidak akan terjadi pada
talak. Kecuali dengan sebab murtad atau menolak untuk masuk Islam. Menurut imam
Hanafi terjadi fasakh dan thalak secara mutlak dan hukum. Adapun pengaruh talak
maka akan terjadi talak yang lain (talak satu, talak dua, talak tiga) dan secara otomatis
akan berlaku hukum-hukum yang ada dalam hukum perkawinan.
Apabila fasakh terjadi sebelum suami istri melakukan hubungan badan maka
seorang istri tidak wajib mendapatkan maskawin sedikitpun sedangkan dalam talak
istri berhak mendapatkan setengah dari maskawin. Jika tidak ada maskawin maka
dinamai pembagian harta gono-gini.31
Abu Hanifah dan Muhammad sepakat bahwa perbedaan antara fasakh dan
talak hanya terletak pada siapa yang menyebabkan perpisahan terjadi, jika dari pihak
suami termasuk talak sedangkan jika dari pihak istri termasuk fasakh.
29
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu, h. 6864
30Ibid
, h. 6865
31Ibid,
Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Muhammad pada perpisahan yang
disebabkan murtadnya seorang suami yang menurut Muhammad termasuk Fasakh,
karena menurutnya murtad sama dengan kasus meninggal karena jika sorang suami
meninggal maka tidak mungkin bisa seorang istri menjatuhkan talak. 32
32Ibid,
BAB III
PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hukum Materil
1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar Belakang terbentuknya KHI
Kompilasi hukum Islam pada dasarnya adalah berbicara salah satu
aspek dari hukum Islam di Indonesia, bahwa berlakunya suatu hukum Islam di
Indonesia sangat tergantung pada masyarakat atau umat Islam itu sendiri yang
menjadi sarat utama bagi penunjang kelangsungan hukum Islam. Dan
walaupun tidak sedikit yang telah melaksanakan hukum Islam namun hukum
Islam Indonesia masih belum memperlihatkan bentuknya yang utuh sesuai
dengan konsep dasarnya menurut Al Qur’an dan Sunnah. Dan ini adalah
realita yang merupakan refleksi berlangsungnya proses Islamisasi yang
berlanjut terus dalam kehidupan umat Islam yang belum mencapai target.
Sikap tidak setia menjadi salah satu faktor terbesar adanya ‘Islam KTP’ yaitu
Islam yang tidak mengindahkan hukum Islam bahkan masih awam. Dan inilah
yang belum selaras dalam dunia Islam. Adapun kendala yang juga terlihat
sangat jelas adalah daya lentur hukum Islam (adability), hukum Islam dapat
beradaptasi sesuai dengan kemajuan zaman, tetapi usaha untuk selalu
mengaktualkan hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan
hanyut dalam pertentangan yang tak kunjung selesai sehingga untuk beberapa
abad kita masih belum menunjukan karya nyata mengenai hal ini.33
Istilah kompilasi diambil dari bahasa latin “compilare” yang
mempunyai arti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan
dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation”
dalam bahasa inggris atau “compilatie” dalam bahasa belanda. Istilah ini
kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi” yang
berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut terakhir.
Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris yang
disususn oleh S. Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata
“compilation” dengan terjemahan “karangan tersusun dan kutipan buku-buku
lain. Sedangkan dalam kamus umum Belanda Indonesia yang disusun oleh S.
Wojowasito kata “compilatie” diterjemahkan menjadi “kompilasi” dengan
keterangan tambahan “kumpulan dari lain-lain karangan”.34
Berdasarkan beberapa keterangn di atas bahwa dari sudut bahas
kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang
diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu.
Dalam Black’s law Dictionary yang telah memberikan rumusan
pengertian kompilasi sebagai “a bringing together of preexisting status in the
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h.1-2.
34
form which they appear in the books, with the removal of sections which have
been repealed and subtitution of amandments in an arrangement designed to
facilitate their use. A literary production compused of the works or manner.35
Maka kompilasi dalam kompilasi hukum Islam adalah merupakan
rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang dapat diambil dari berbagai
kitab yang ditulis oleh para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai
referensi pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta
dihimpun ke dalam suatu himpunan.
Tahun 1958 kementrian agama memberikan acuan untuk keseragaman
hukum pengadilan agama dengan mengeluarkan 12 buku untuk digunakan
sebagai acuan dalam menangani berbagai kasus. Kini sudah waktunya untuk
memperluas buku-buku tersebut, sehingga keputusan pengadilan agama dapat
berjalan sesuai dengan persepsi hukum orang-orang yang mencari keadilan.
Juga sudah saatnya untuk mensistematisasikan hukum Islam, agar masyarakat
Islam yang kebanyakan tidak tahu hukum serta bahasa Arab (bahasa yang
dipergunakan dalam buku), mengenal hak serta kewajibannya menurut
pengadilan Islam.36
Latar belakang Kompilasi Hukum Islam (KHI) berawal dari
konsideran keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan menteri agama
tanggal penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui
35
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 12
36Ibid,
yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek kompilasi hukum Islam,
dan dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan,
yaitu:37
a. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di
Indonesia, khususnya di lingkungan peradilan agama, perlu
mengadakan kompilasi hukum Islam yang selama ini menjadikan
hukum positif di pengadilan agama;
b. bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu
membentuk suatu tim proyek yang sususnannya tediri dari para pejabat
Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.
Pembentukan kompilasi hukum Islam ini mempunyai kaitan yang
sangat erat dengan kondisi yang ada di negara kita Indonesia selama ini. Dan
hal ini penting untuk ditegaskan menurut Muchtar Zarkasyi, sebagaimana
yang dikutip oleh Abdurrahman, karena hingga kini belum ada satu pengertian
yang disepakati tentang hukum Islam di Indonesia. Ada beberapa anggapan
tentang hukum Islam yang masing-masing melihat dari sudut yang berbeda.38
Menurut Muhammad Daud Ali, sebagaimana yang dikutip oleh
37Ibid,
h. 15
38Ibid,
Abdurrahman, dalam membicarakan hukum Islam di Indonesia, pusat
perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum
Indonesia. Dan menurut Ichtianto, sebagaimana yang dikutip oleh
Abdurrahman, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi dan
ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang
telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan
Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya.39
Secara umum Satria Effendi M. Zein, sebagaimana yang dikutip oleh
Abdurrahman, berpendapat bahwa suatu hal yang tidak dapat dibantah adalah
bahwa hukum Islam baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya,
sampai hari ini adalah hukum fiqh hasil penafsiran pada abad ke dua dan
beberapa abad selanjutnya, kitab-kitab fiqh klasik masih tetap berfungsi dalam
memberikan informasi hukum. Dan hal ini membuat Islam terlihat begitu
kaku berhadapan dengan masalah-masalah sekarang, yang amat banyak
melibatkan masalah ekonomi.40
Banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada masa
Rasulullah dan pada masa para Mujtahid di masa madzhab-madzhab
terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan.
Satu pihak hendak berpegang pada tradisi dan penafsiran-penafsiran oleh
ulama Mujtahid tedahulu, sedang pihak lain menawarkan, bahwa berpegang
erat saja kepada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi
perubahan sosial di abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah
diperbaharui sesuai dengan kondisi dan situasi masa kini. Untuk itu ijtihad
perlu digalakkan kembali.
Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan kompilasi hukum
Islam sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada masa orde baru
ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan
mempunyai pedoman fiqih seragam dan telah menjadi hukum positif yang
wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan
ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam
lembaga-lembaga peradilan agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan
oleh masalah fiqih akan dapat diakhiri. Dari penegasan ini tampak bahwa latar
belakang pertama dari diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena
adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang
masalah-masalah hukum Islam.41
2. Undang-undang Perkawinan No. 1 Th 1974 dan Latar Belakang UU
Perkawinan No.1 Th 1974
Pasal 2 UU No. 1/1974 (UU Perkawinan), menetapkan bahwa
perkawinan yang sah adalah jika perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan agama pengantin.
41Ibid
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang disahkan Presiden pada tanggal 2
Januari 1974 dan instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991
yang didalamnya menjelaskan tentang mutlak adanya undang-undang
perkawinan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, asas-asas perkawinan dan jaminan kepastian
hukum.42
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan
dan peraturan pemerintah No. 9 Th. 1975 tentang peraturan pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 tentang perkawinan, antara lain mengatur tentang
rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam
urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada
umumnya. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia kekal dan abadi.”
B. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan menjadi
bagian dari agama Islam.43 Al Quran sebagai sumber hukum yang paling utama yang
42
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h.222.
43
dapat diambil oleh umat Islam dalam menerapkan hukum yang akan dipakai di
kehidupannya sehari-hari, sebagai sumber rujukan yang paling utama Al Quran yang
telah diturunkan Sang Khaliq berabad-abad lamanya bersaing dengan waktu yang
terus berjalan dan berjalannya waktu banyak hal-hal baru yang dapat merubah
kebijakan-kebijakan para ulama dalam menyelesaikan kendala-kendala baru dalam
kehidupan umat muslim. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia.44
Bila hukum ini dihubungkan kepada Islam atau syara maka hukum Islam akan
berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua uamt yang beragama Islam”. Al Quran dan As-Sunnah melengkapi sebagian
besar dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabi’in
menambahkan atas hukum-hukum itu, aneka hukum yang diperluakan untuk
menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul dalam masyarakat. Karenanya
dapatlah kita katakan bahwa syariat (hukum) Islam, adalah : “hukum-hukum yang
bersifat umum lagi “kulli” yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam
menurut kondisi dan situasi masyarakat”.45
Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan
Al-Fiqh Al Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al Syarî’ah Al Islâmî. Istilah ini
dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law, dalam Qur’an dan
44Ibid.,
h.44.
45
Sunnah, digunakan kata syarî’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah
fiqh.
Sesuai kajian ushul fiqh bahwa hukum Islam terbagi dua, pertama, kategori
syarî’ah; kedua kategori fiqh. Syari’ah adalah hukum Islam yang ditegaskan secara
langsung oleh nash Qur’an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran dan
penakwilan. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam yang tidak atau belum ditegaskan
secara langsung oleh para mujtahid.46
Syarî’ah statusnya qat’i, artinya kebenarannya bersifat mutlak, absolut, benar.
Ia harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, berlaku sepanjang
zaman untuk seluruh umat manusia, dalam segala kondisi dan situasi. Baginya tidak
berlaku ijtihâd. Sedang fiqh statusnya zanni karena dia hasil ijtihad. Zanni artinya
kebenarannya tidak bersifat absolut atau mutlak benar, tapi mengandung
kemungkinan salah, hanya saja menurut mujtahidnya yang dominan adalah porsi
kebenarannya. Untuk fiqh penerapannya mengikuti kondisi dan situasi sejalan dengan
tuntutan zaman dan kemaslahatan. Disinilah ijtihad memainkan peranannya.47
Dalam hal ini baik syarî’ah maupun fiqih dimaksudkan untuk kemaslahatan
umat manusia, yang masing-masing berlandaskan prinsip kemudahan dan
kelapangan. Lantaran itulah setiap pensyariatan hukum di dalam Islam tidak satupun
yang terlepas dari prinsip kemudahan dan kelapangan. Selanjutnya perlu diketahui
46
Basiq Djalil, “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, makalah, disampaikan pada seminar sehari hukum keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN 2004, h.3.
47
bahwa nash Qur’an dilalahnya ada yang qat’i ada yang zanni. Pada dasarnya nash
yang status dilalahnya qat’i tidak boleh di-ijtihad-i, berbeda dengan nash yang status
dilalahnya zanni, dimana ijtihad memainkan peranannya. Dan pada nas yang qat’i
al-dalâlah ada diantaranya mengandung dimensi ta’aqqulî dan zanni. Dengan demikian
dimungkinkan untuk di-ijtihad-i atau difiqihkan. Dalam pembaharuan hukum Islam
hal tersebut dapat dilakukan sebagai contoh sahnya talak dari istri bila talak itu
memang telah dilimpahkan oleh suami pada istri. Sedang berdasarkan nash qat’i hak
talak ada pada suami. Contoh lain zakat bagian muallaf tidak lagi dibeikan dalam
kondisi umat Islam telah kuat.48
Untuk Memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam,
terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syarî’ah dan fiqh.
Secara harfiah syarî’ah artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang
dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas
yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama usul al-fiqh, syarî’ah adalah
titah (khitâb) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim,
balig, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat,
atau penghalang).49 Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis
(amâli’yah).
Dalam bukunya yang berjudul Muslim Family Law A Source Book Keith
Hodkinson berpendapat the shari’a is the path of the believer the way which Allah
48
Basiq Djalil, Hukum Keluarga, h.4.
49
wishes man to pass and the word is use of the collection of Allah’s command releaved
in the holy Qur’an and in the sunna or conduct of the holy propet Muhammad. Fiqih
is the understanding, explanation and interpretation of the shari’a as expounded in
the qur’an and sunna and the jurists who unddertake this task are known as fuqaha.50
50
BAB IV
NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh
Fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. secara etimologi pembatalan
berarti proses, perbuatan, cara membatalkan, dan menyatakan batal. 51 Fasakh adalah
putus ikatan pernikahan oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri
atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan
yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. 52
Sedangkan menurut Al-Hamdani pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu
sifat yang dibenarkan oleh syara’ misalnya perkawinan yang difasakhkan oleh Hakim
disebabkan oleh suami tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Fasakh tidak
dapat mengurangi bilangan talak. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.53
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan adakalanya kerusakan dalam
nikah fasakh, atau terjadinya cacat dalam pernikahan tersebut ada pada akad itu
sendiri adan adakalanya juga disebabkan oleh hal-hal yang datang kemudian setelah
51
Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.240.
52Ibid
, h.240.
53
terjadinya pernikahan dan dapat menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat
dilanjutkan.54
Nikah fasakh merupakan nikah yang terdapat kerusakan di dalam pernikahan
yang diperbolehkan untuk dirusak atau diputus pernikahan melalui pengadilan. Pada
hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad
berlangsung, seperta terjadinya penipuan dalam pernikahan, misal sang istri sebelum
menikah menyatakan bahwa dia masih perawan, tetapi ternyata setelah terjadi
pernikahan baru disadari oleh suami bahwa sang istri bukan perawan, atau ada contoh
lain suatu penyakit yang diderita oleh salah satu pihak tapi ditutup-tutupi oleh yang
bersangkutan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung, dan pihak yang lain
merasa tertipu akibat kebohongan tersebut.
Bahwa nikah fasakh adalah suatu pernikahan yang telah berlangsung tetapi
terdapat kerusakan atau kesalahan dalam pernikahan tersebut baik dari akad maupun
pelaksanaannya (rumah tangga), yang menyebabkan jatuhnya fasakh. Dan apa
sajakah nikah fasakh itu?
B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil
Sebagai negara yang bermacam–macam suku bangsa, bahkan agama,
Indonesia termasuk salah satu negara yang majemuk dan itu sangat mempengaruhi
hukum-hukum sebagai tiang dari negara ini, dan hal ini sangat mempengaruhi umat
Islam dalam mengenal hukum agamanya sendiri, maka dibuatlah KHI dan UU No.1
54
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kegunaannya agar umat muslim Indonesia
tidak kehilangan pegangan hidup. Begitu juga dalam hal persoalan nikah fasakh ini,
maka penulis meneliti problema nikah fasakh ini dalam KHI dan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
KHI dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
menyebutkan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembatalan
nikah dan juga tidak ada penjelasan tentang apa saja yang termasuk dalam nikah
fasakh. Namun kedua peraturan tersebut hanya menguraikan mengenai definisi dari
suatu pembatalan pernikahan serta hal-hal yang berhubungan dengan pebatalan
pernikahan tersebut. Tetapi dari kedua peraturan tersebut penulis dapat membagi
kedua peraturan itu menjadi dua macam yaitu perkawinan batal karena hukum
(pernikahan yang melanggar larangan pernikahan, sehingga pernikahna tersebut
mutlak dibatalkan) dan pernikahan yang dapat dibatalkan (pernikahan yang
melanggar larangan pernikahan yang bersifat relatif. Pelanggaran larangan
pernikahan tanpa sengaja, kurang rukun dan syarat, sehingga pernikahan tersebut
dapat dibatalkan dan bisa pula tidak dapat dibatalkan).
1. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Adapun problema nikah fasakh ditinjau dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam). Mengenai pernikahan yang dapat dibatalkan menurut KHI adalah Apabila
seorang suami yang telah dan masih mempunyai istri melakukan poligami tanpa
izin dari pengadilan agama. Apabila wanita yang dinikahi ternyata kemudian
sah menjadi suaminya. Apabila wanita yang dinikahinya ternyata masih dalam
iddah dari suaminya yang terdahulu. Apabila terjadi suatu pernikahan yang
melanggar batas umur minimal pernikahan. Sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU
No.1 th 1974 tentang Perkawinan mengenai dispensasi nikah. Apabila terjadi
suatu pernikahan tanpa adanya wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
mempunyai hak untuk menikahkan. Pernikahan seperti ini banyak disebut nikah
sirri. Apabila pernikahan itu terjadi dengan adanya paksaan. Hal tersebut tertera
dalam KHI pasal 71:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan pasal 7 UU no.1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.55
Penyebab batalnya suatu suatu pernikahan dalam pasal 70 UU No.1 th
1974 tentang Perkawinan bahwa pernikahan batal demi hukum adalah Apabila
suatu perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
Apabila dalam akad/waktu terjadinya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah
pahaman mengenai diri suami atau istri. Apabila suami melakukan pernikahan
sedang ia telah memiliki 4 orang istri, walaupun salah satu dari keempat istrinya
dalam iddah talak raj’î. Apabila seseorang menikahi bekas istri yang telah di
li’ân-nya. Apabila seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak
55
bâ’in, kecuali bekas istrinya pernah menikah dengan orang lain kamudian
bercerai lagi ba’da dukhûl dari pria tersebut, dan telah habis masa iddah-nya.
Apabila keduanya mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan yang
menghalangi pernikahan menurut pasal 8 UU no.1 th 1974 UU No.1 th 1974
tentang Perkawinan. Apabila keduanya ternyata saudara kandung. Dan pasal 70
tersebut berbunyi :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu (atau beberapa) dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas istri yng dili’annya;
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang uang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974,
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tirinya;
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya56
Sedangkan pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah
sangka mengenai diri suami atau istri, hal tersebut ditegaskan dalam pasal 72
yang menerangkan permohonan batalnya pernikahan terjadi apabila pernikahan
56ibid
terjadi di bawah ancaman yang melanggar hukum, apabila pada waktu
berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah pahaman atau salah
persangkaan mengenai diri suami atau istri, dalam buku KHI dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu
menikah tetapi kemudian ternyata diketahui sudah beristri sehingga poligami
tanpa izin pengadilan, demikian pula penipuan terhadap identitas diri:
a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pernikahan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.57
Tetapi apabila ancaman telah dihentikan, atau yang bersalah sangka itu
menyadari akan keadaanya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah hal itu
berlangsung dan masih tetap hidup sebagai suami istri kemudian salah satu pihak
tidak menggunakan haknya unutuk mengajukan permohonan pembatalan maka
haknya gugur (pasal 72 ayat 3 KHI).58
2. Undang-Undang no.1/ th 1974
Jika nikah fasakh menurut KHI seperti yang tersebut diatas maka adapun
problema nikah fasakh ditinjau dalam UU no. 1 th 1974 bahwa suatu pernikahan
yang telah terjadi dapat menjadi fasakh menurut hukum materil UU no. 1 th 1974:
57Ibid,
h.40.
58Ibid
a. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan
b. Apabila salah satu pihak masih terikat dengan pernikahan dan atas dasar adanya pernikahan sebelumnya, maka pernikahan yang baru dapat dibatalkan, dengan tidak mengurangi pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini tentang pologami dan izinnya.
c. Apabila pernikahan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan pernikahan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.
d. Hak untuk membatalkan oleh suami dan istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte pernikahan yang dibuat pegawai pencatatan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
e. Sama seperti dalam KHI, apabila pernikahan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
f. Sama seperti dalam KHI, apabila dalam waktu berlangsungnya pernikahan terjadi kesalah pahaman mengenai diri suami dan istri tersebut.59
C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam
Problema nikah fasakh menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam
Wafadîlatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau nikah yang fasakh sifatnya
dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan terjadinya perpisahan
dikatagorikan fasakh:
1. Menurut Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh ada enam
a. Apabila istri kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah
suaminya mengIslamkannya. Menurut iman Abi Hanifah dan Muhammad
59
apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak sedangkan
menurut Abi Yusuf jatuhnya Fasakh.60
Terjadinya suatu pernikahan antara dua orang pasangan suami
istri yang mana terlebih dahulu si istri yang awalnya bukan beragama
Islam mengucapkan dua kalimat Syahadat untuk masuk kedalam agama
Islam agar kedua pernikahan mereka sah, tetapi jika si istri kembali
menjadi kafir setelah menikah, maka rusaklah pernikahan mereka itulah
yang dimaksudkan oleh Imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Abi
Hanifah dan Muhammad jika diantara kedua pasangan suami istri yang
ternyata sang suamilah yang kembali ke agama sebelumnya maka hukum
pernikahan yang akan jatuh pada perihal kasus ini adalah talak, sedangkan
menurut Abi Yusuf kasus ini adalah fasakh.
b. Murtadnya suami atau istri
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa jika salah satu dari
pasangan suami istri tersebut ada yang berpindah agama maka terputuslah
akad pernikahan mereka, begitu juga jika salah satu dari pasangan tersebut
berpindah keyakinan, misal: Menyekutukan Allah, Membandingkan Allah
dengan makhluk ciptaan-Nya, dll.61
c. Orang yang punya dua status kewarganegaraan secara hakikat dan hukum,
contohnya adalah apabila salah satu dari suami istri pergi ke negara Islam
60
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6866
61Ibid,
dan ia muslim sedangkan pasangan yang lainnya ditinggalkan di negara
yang sedang perang/negara orang kafir dan keadaannya kafir. Sedangkan
menurut golongan selain Imam Hanafi tidak terjadi perpisahan.62
Dalam masalah kewarganegaraan ini menurut Imam Hanafi bagi
pasangan suami istri yang mempunyai kewarganegaraan dari dua negara yang
berbeda secara hakikat dan hukum, dan salah satunya pergi ke negara muslim
dan dalam kondisi telah menjadi seorang muslim, sementara pasangan yang
ditinggalkan di negara yang sedang mengalami peperangan atau negara kafir
dan dia ditinggal dalam keadaan kafir maka terputuslah akad tersebut secara
fasakh atau rusak. Sedangkan menurut pendapat Imam yang lain bahwa tidak
terjadi terputusnya akad karena semua situasi yang tidak dapat diprediksi.
d. Belum balighny