• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problema nikah Fasakh dalam perspektif hukum materil dan hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Problema nikah Fasakh dalam perspektif hukum materil dan hukum Islam"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

MATERIL DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Hayyu Citra Herdana NIM : 102044225086

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

MATERIL DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Hayyu Citra Herdana

NIM : 102044225086

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing

Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA

NIP. 150 220 554

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

KATA PENGANTAR

Sembah sujud dan syukur yang mendalam kepada sang Khaliq, Allah SWT,

atas rahmat, hidayah, kesempatan dan kesehatan yang telah Dia berikan, sehingga

kita bisa menjalani kehidupan ini dengan ridha dan kasih sayang-Nya.

Dengan kesadaran penuh akan kekuasaan-Mu ya Allah, penulih haturkan

terima kasih ke hadirat Ilahi Rabbi, karena dengan kehendak-Mu hamba kuasa

menuntaskan skripsi ini, subhanallah. Doa dan salam senantiasa terpatri kepada sang

penjuang sejati, baginda Muhammad saw., semoga kita termasuk hamba Allah SWT

yang berada di jalan yang lurus, amin.

Skripsi yang berjudul “Problema Nikah Fasakh dalam Perspektif Hukum

Materil dan Hukum Islam”. Disusun penulis dalam rangka memenuhi dan melengkapi

persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S 1) pada Program Studi Ahwal

Al-Syakhsiyyah konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini karena

dukungan, semangat dan motivasi dari berbagai pihak baik moril maupun materil,

baik individu atau kelompok, langsung atau tidak langsung telah ikut andil dalam

proses ini. Oleh karen aitu, terimalah salam takzim saya sebagai penulis, dari lubuk

hati yang paling dalam, terima kasih. Jaza kumullah khairan katsir.

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA., MM., Dekan

(4)

2. Bapak Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag,

M.Hum, ketua jurusan Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., dosen pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dan pikiran, guna memberikan bimbingan dan arahannya

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum

yang telah mengabdikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk

di bangku kuliah.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta Perpustakaan Umum Imman

Jama’ yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari

data-data pustaka.

6. Ayahanda terkasih Darman Asir Daud dan Ibunda terkasih Heryani Hikmah.

Limpahan kasih sayang dan perjuangan hidup Ayah dan Ibu membuat penulis

selalu bersyukur dan terus melapangkan hati untuk setiap permasalahan yang

dihadapi. Ketulusan hati Ayah dan Ibu menjadi cahaya dalam hati dan pikiran

penulis agar terus bersemangat dan berbuat baik dalam setiap langkah. Semua

ini tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Semoga kesabaran, rahmat, ridha

Allah SWT selalu mengiringi langkah kita, amin.

7. Kepada adik-adik penulis tersayang, Lutfi, Mutia, Yahya, yang baik hati dan

lucu-lucu, kalian adalah semangat hidup yang membuat penulis terus berusaha

(5)

kalian”. Semoga Allah memberikan rahmat, iman, dan Islam keapda kita

semua dan semoga kita sekeluarga bisa melewati keadaan ini dengan

bersyukur, amin.

8. Teman-teman jurusan AKI angkata 2002 yang selalu memberikan support dan

dukungan walau sudah terlebih dahulu selesai dan yang masih aktif, terutama

kepada Yanti Quesyah, Dewi Sapyuni, Ai Tita Kuswati, Hafis Eka, Jelani,

Muslim, Mulyadi, Iin Ernawati, Harsani, dan seluruh teman-teman yang tidak

bisa disebutkan satu per satu, semoga waktu tidak merusak hubungan kita.

Dan masih banyak lagi nama-nama yang ingin penulis sebutkan, namun tidak bisa

semuanya dituliskan dalam kata pengantar yang terbatas ini. Penulis berharap dan

berdoa semoga apa yang telah diberikan oleh yang bersangkutan kepada penulis

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar, mendapatkan balasan

yang berlipat dari Allah SWT, dan besar keinginan penulis agar skripsi ini dapat

membawa manfaat khususnya bagi penulis pribadi dan bagi pembaca pada umumnya,

amin. Jazakumullah khairan katsiran...

Ciputat, 14 Januari 2009

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 5

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 5

E. Sistematika Pembahasan 6

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH,

CERAI & FASAKH 8

A. Pengertian Nikah 8

1. Tujuan dan Hikmah Nikah 10

2. Hukum Nikah 13

3. Rukun Pernikahan 14

B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh 15

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL

DAN HUKUM ISLAM 23

(7)

1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar

Belakang terbentuknya KHI 23

2. Undang-Undang Perkawinan Th 1974 dan

Sejarah terbentuknya UU Perkawinan Th 1974 28

B. Pengertian Hukum Islam 29

BAB IV NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM 34

A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh 34

B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil 35

C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam 40

BABV PENUTUP 63

A. Kesimpulan 63

B. Saran 64

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sebagai khalifah,

manusia hidup dan berkembang biak melalui perkawinan. Sebab perkawinan adalah

salah satu sunnatullah yang lazim terjadi pada setiap makhluk Tuhan, baik terjadi

pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Melalui perkawinan manusia diharapkan

dapat membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Perkawinan dalam Islam

adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galizan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1Dan salah satu jalan untuk

mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan.2 Dalam Islam, perkawinan dua

insan manusia yang berlawanan jenis bermakna religius-spiritual, oleh sebab itulah

dalam perjalanan manusia beragama, perkawinan dianggap memiliki nilai sakralitas

paling tinggi.3

Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan babak baru bagi setiap

insan yang melakukannya. Ia adalah sebuah aktifitas kemanusiaan dengan makna luas

dan berdimensi ibadah seperti ungkapan Nabi SAW… “nikah merupakan bahagian

aktifitasku”. Meski demikian, “aktifitas ibadah” tersebut tidak mutlak harus dilakukan

1

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressidne, 2004), h.114.

2

Firdaweri, Hukum Islam tentang Fasakh Perkawinan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h.1.

3

(9)

paksaan. Pernikahan yang memiliki kata dasar “nikah” berarti berkumpul atau

bersetubuh, berimplikasi kepada hukum mubah, sunnah, wajib, makruh bahkan

haram.4

Perkawinan dibolehkan dan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada

umat manusia sesuai dengan tabiat alam yang mana antara golongan pria dan

golongan wanita itu saling membutuhkan untuk mengadakan ikatan lahir batin

sebagai suami istri yang sah dalam hukum agama atau undang-undang negara yang

berlaku. Adapun salah satu hikmah perkawinan perspektif ajaran Islam adalah

memelihara manusia (pemuda) daripada pekerjaan yang maksiat yang

membahayakan diri, harta dan pikiran.5

Dalam tatanan kehidupan vertical horizontal pernikahan menjadi salah satu

upaya hubungan antar manusia karena dengan pernikahan manusia dapat membuat

satu keluarga yang akan berkembang biak menjadi kelompok masyarakat.

Dalam Islam pernikahan merupakan suatu sunnatullah dan anjuran agar hidup

manusia dan makhluk hidup lainnya lebih berwarna dan lebih menyenangkan.

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan

atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan

yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tanggadan keturunan, tetapi juga

dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum

4

Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.i.

5

(10)

dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan

pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Dan sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

hidup dan kehidupan manusia, sehingga pasangan itu menjadi satu dalam segala

urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah

segala kejahatan. Dan dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan

hawa nafsunya.

Sebagai sebuah kehidupan, pernikahan akan diisi dengan pernak-pernik

persoalan yang niscaya hadir dan ia adalah proses menuju kepada nilai pemahaman

bagi pasangan yang telah terikat tali pernikahan. Bahkan, sebelum pasangan

(suami-istri) menjalin ikatan keluarga, keduanya berusaha mengenal satu kepada yang

lainnya dengan harapan bahwa rumah tangga yang hendak dibina dapat langgeng,

dalam bingkai “sakinah, mawaddah, warrohmah” dengan ridha Allah.

Dengan adanya perkawinan adalah untuk melangsungkan perkembangan

manusia dan adanya keturunan sebagai tujuan dasar setiap pembentukan rumah

tangga untuk hidup tentram. Maka diharapkan suatu perkawinan dapat berlangsung

langgeng dan bahagia dalam perjalanannya. Roda kehidupan terus berputar dan

terkadang tanpa disadari bahwa perkawinan yang baru atau sedang dijalani cacat

hukum, artinya perkawinan batal karena ada beberapa sebab yang membatalkannya.6

6

(11)

Meski demikian, upaya seperti isyarat agama adalah lazim yang mesti

dilakukan dan pernik persoalan pun keniscayaan yang mungkin maka tidaklah

mengherankan jika perjalanan sebuah “bahtera” mengarungi lautan juga tidak luput

ancaman badai.7Perceraian misalnya, banyak faktor eksternal maupun internal yang

menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam Islam perceraian pada perinsipnya

dilarang, hal ini dapat dipahami dari Hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa talak

itu adalah perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT. Karena itu talak atau

perceraian merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang boleh

ditempuh manakala bahtera rumah tangga tudak dapat dipertahankan lagi

keutuhannya. Namun bagaimana jika para pasangan yang telah melangsungkan

pernikahan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat penting yang tertera didalam

Undang-Undang Perkawinan ataupun dilarang dalam agama Islam? Kemudian

bagaimana hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia menyelesaikan

permasalahan ini?

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis merasa tertarik untuk mengkaji

lebih teliti bagaimana sebenarnya penyelesaian dan problematika fasakh nikah yang

diuraikan dalam bentuk judul: PROBLEMA NIKAH FASAKH DALAM

PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM.

7

(12)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Karena pembahasan ini cukup luas maka kiranya perlu pembatasan masalah

agar tidak meluas dan tidak terkontrol. Pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu

ada beberapa hal dalam pernikahan yang tercantum dalam kitab-kitab fiqh yang

dinyatakan rusak sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No 1

tentang Pernikahan Tahun 1974 tidak dinyatakan rusak.

Rumusan tersebut dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan di bawah ini:

a. Apa perbedaan nikah fasakh, perceraian dan fasakh?

b. Problema apa sajakah yang terkait nikah fasakh?

c. Bagaimana nikah fasakh diatur dalam hukum materil dan hukum

Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang sangat penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui hal yang mendasar tentang problema nikah yang dianggap

nikah fasakh.

2. Untuk mendapat keterangan jelas tentang problema nikah fasakh yang diatur

dalam hukum materil dan hukum Islam.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

metode penelitian kepustakaan (Library Research).

Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu dengan membaca dan

(13)

primer, sekunder dan tertier 8 Adapun bahan buku primer tersebut yaitu bahan-bahan

hukum yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, Fiqh Islam

Wafadilatuha. Bahan buku sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku Hukum Islam di Indonesia (Ahmad

Rofiq), Hukum Perdata Islam di Indonesia (Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal

Tarigan) dan lain-lain. Bahan buku tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder, seperti ensiklopedi Islam,

ensiklopedi hukum Islam, kamus besar bahasa Indonesia, dan lain-lain.

Metode pembahasan yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan

menggunakan metode deskriptif tinjauan pustaka dengan menggambarkan masalah,

kemudian penulis meneliti tulisan-tulisan dan kepustakaan yang berkaitan dengan

pembahasan tersebut, untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun teknik penulisan

skripsi ini berpedoman pada buku “ Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas

Syari’ah & Hukum” dan sumber data yang berasal dari Al Qur’an tidak menggunakan

catatan kaki (footnote) dan meletakkan Al Qur’an Al Karim pada urutan pertama

dalam daftar pustaka.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini dibagi ke dalam lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa

sub bab, yaitu :

8

(14)

Bab pertama mengenai pendahuluan, yang terdiri dari; latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua mengenai tinjauan hukum tentang pernikahan dan perceraian,

fasakh dan nikah fasakh serta perbedaan antara perceraian dan fasakh. Bab ini

membahas pengertian pernikahan dari mulai tujuan, hikmah, hukum, syarat dan rukun

pernikahan. Pengertian perceraian dan perbedaan dengan fasakh, pengertian nikah

fasakh.

Bab tiga mengenai pengertian umum tentang hukum materil dan hukum

Islam. Bab ini membahas tentang pengenalan hukum materil yaitu KHI dan

Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan sejarah terbentuknya, serta pengertian hukum

Islam.

Bab empat mengenai nikah fasakh perspektif hukum materil dan hukum

Islam, yang membahas tentang pengertian umum tentang nikah fasakh, problema

nikah fasakh perspektif hukum materil, problema nikah fasakh perspektif hokum

Islam.

(15)

BAB II

TINJAUAN HUKUM TENTANG NIKAH, CERAI, FASAKH DAN NIKAH FASAKH

A. Pengertian Nikah

Kata “nikah atau “zawaj” yang berasal dari bahasa Arab yang secara makna

etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih atau makna lainnya”. “Akad dan

bersetubuh yang secara syara” berarti akad pernikahan.9 Secara terminologi (istilah)

‘nikah’ atau ‘zawaj’ialah suatu ikatan atau akad yang menghalalkan pergaulan dan

membatas hak dan kewajiban serta bertolong-tolong di antara seorang lelaki dengan

seorang perempuan yang bukan mahram.10

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah adalah perjanjian antara

laki-laki & perempuan untuk bersuami atau beristri (dengan resmi).11 Sedangkan menurut

Ahmad Sudirman Abbas dalam bukunya Pengantar Pernikahan, pernikahan adalah:

- Akad yang mengandung kebolehan akan memperoleh kenikmatan biologis

dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

- Akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang lelaki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara

keduanya.12

9

Ahmad Suddirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1.

10

Sulaiman Rasjid, Fiah Islam (Hukum Figh Lengkap) (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.374.

11

(16)

Menurut Mahmud Yunus menyatakan : Perkawinan atau pernikahan ialah akad

antara calon lelaki dan istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur

oleh Syari’at.13

Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum yang berlaku pada

semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Allah SWT berfirman :

!

ی# ﻝ$

%

/

&'

(

)*

+

Artinya: “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, agar kamu sekalian

mau berfikir” (Q.S. 51 (Az-Zariyat): 49).

,$

$ﻥ

.

/

$

$

0

$

$

1

2

.

3

04

#

5

$ﻝ

6

7

%

! 888

ﻝ$

9

/

':

(

;<

+

Artinya: “Allah telah menjadikan pasangan bagi kamu dari diri kamu sendiri. Dan

dari istri-istri kamu Dia jadikan anak dan cucu bagi kamu serta memberikan

kepada kamu rizki dari yang baik-baik...” (Q.S. 16 (An-Nahl): 72).

Perkawinan merupakan jalan aman yang dipilih Allah untuk menyalurkan

kebutuhan biologis yang lahir alami di tiap-tiap tubuh manusia dewasa. Perkawinan

adalah sarana bagi manusia untuk berkembang biak dan mempunyai generasi penerus

yang diharapkan akan membawa nama baik bangsa dan tanah air.

12

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (t.tp: PT. Prima Herza Lestari, 2006), h.1.

13

(17)

Terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk kawin, karena sangat takut

memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam

memperingatkan bahwa melalui ikatan perkawinan, Allah SWT akan memberikan

kepadanya penghidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya

dan diberikan kepadanya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.

1. Tujuan dan Hikmah Nikah

Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam tingkat masyarakat. Untuk

dapat membangun keluarga sakinah yang menjadi impian semua orang, maka

para anggota yang terdapat di dalam institusi tersebut harus memiliki kesadaran

tinggi terhadap hak dan kewajibannya masing-masing. Keluarga sakinah dapat

terbina dengan perkawinan yang dianugrahi pasangan yang saling menghormati,

menghargai dan saling menyayangi. 14

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang juga merupakan penjelasan dari

undang-undang perkawinan telah dirumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling

membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

Hikmah menikah (pernikahan) agar manusia hidup berpasang-pasangan,

membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan

ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan, ialah

ikatan akad nikah atau ijab qabul perkawinan, dan bila akad nikah telah

14

(18)

dilangsungkan maka mereka telah berjanji dan bersetia, akan membangunkan satu

rumah tangga yang damai dan teratur, dan mereka akan menjadi satu keluarga.15

Sedangkan menurut Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya “Keluarga

Sakinah” : Perkawinan itu adalah salah satu cara yang telah banyak ditetapkan

oleh Allah SWT untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan serta

melangsungkan kehidupan manusia. Dan suami istri ditugaskan untuk mengatur,

dan mengenai ini Allah SWT berfirman :

=ی$ ی

>

ﻝ$

?

$@ﻥ

A

$ﻥ

B

C

D

01

57

E

ﻝF

#

G

D

$

!888

$ H9ﻝ$

%

/

)*

(

'I

+

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersekutu-sekutu supaya kamu mengenal” (Q.S. 49 (Al Hujurat): 13).

Adapun masalah hikmah perkawinan. Abdullah Nasheh Ulwan

menyatakan antara lain adalah untuk memelihara jenis manusia, untuk

memelihara keturunan, menyelamatkan masyarakat dari kerusakan akhlak,

menyelamatkan masyarakat dari berragam penyakit dalam perkawinan, untuk

menentramkan jiwa setiap pribadi, untuk menjalin kerja sama suami istri dalam

membina keluarga dan mendidik anak-anak, menyuburkan rasa kasih sayang ibu

dan bapak.16

15

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, h.42.

16

(19)

Sedangkan menurut Al Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul

Qadir Jaelani, hikmah pernikahan itu adalah:

a. Untuk mendapatkan keturunan.

Empat keutamaan yang dapat diperoleh dari keturunan yang didasarkan pada pernikahan adalah :

1) Cinta kepada Allah, karena memperoleh anak berarti melestarikan jenis manusia di alam ini untuk kepentingan beribadah kepadanya. 2) Sebagai tanda cinta kasih kepada Rasulullah SAW, dengan

memperoleh anak, berarti umat Muhammad SAW bertambah banyak dan ini merupakan kebanggaan Rasulullah di akhir nanti.

3) Mencari keberkahan dari do’a anak yang saleh, apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

4) Mencari syafaat dari kematian anak yang masih kecil, yang mendahului orang tuanya.

b. Membentengi diri dari godaan setan dalam mengendalikan nafsu seks c. Untuk menimbulkan ketenangan jiwa

Menurut pendapat Sayyi Sabiq, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul

Qadir Jaelani, beliau menulis sebagai berikut :

a. Persaudaraan yang langgeng (teman sehidup semati) diantara pria dan wanita8

b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memelihara dan berkorban guna kepentingan anak-anak dan memperbanyak keturunan dalam melanjutkan kehidupan dengan memelihara garis keturunan.

c. Dengan perkawinan watak kebapak dan keibuan akan bertambah subur dan sempurna, apabila mereka mampu memelihara dan melindungi anak-anak.

d. Perkawinan adalah untuk mengetahui hakikat pertanggungjawaban dalam memelihara dan mendidik anak-anak.

e. Dan perkawinan mengadakan pembagian tugas pekerjaan secara teratur mengenai kehidupan rumah tangga.

Menurut pendapat Abu Bakar Jabir Al Jazair :

a. Untuk melestarikan jenis kehidupan manusia dengan keturunan yang dihasilkan.

b. Untuk memenuhi kebutuhan biologis antara suami dan istri.

(20)

d. Untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita dalam masalah-masalah hak dan kewajiban yang asasi.17

Dari hikmah-hikmah pernikahan yang tercantum di atas, dapat

disimpulkan bahwa pernikahan dilakukan untuk memberikan kemaslahatan bagi

kehidupan manusia, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang

beragama.

2. Hukum Nikah

Meskipun nikah adalah dianjurkan oleh Rasulullah saw, namun

hukumnya bisa berubah, tergantung kepada kondisi seorang muslim. Di antara

hukum-hukum nikah adalah:

a. Wajib: Bagi yang mampu kawin, hawa nafsunya telah mendesak dan

takut terjerumus dalam perzinahan.

b. Sunnah: Bagi yang mampu kawin, nafsunya telah mendesak tapi masih

dapat menahan hawa nafsunya.

c. Haram: Bagi yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya

kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak dan diyakini tidak dapat

melaksanakan tanggung jawabnya terhadap istri.

d. Makruh: Bagi yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi istrinya.

e. Mubah: Bagi yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan

segera kawin atau alasan-alasan untuk yang mengharamkan untuk

kawin.18

17Ibid,

(21)

3. Syarat dan Rukun Nikah

Syarat-syarat nikah merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Pada garis

besarnya, syarat-syarat sahnya pernikahan itu ada dua:

a. Calom mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang

ingin menjadikannya istri.

b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Sedangkan rukun-rukun nikah itu terdiri dari:

a. Pihak Laki-Laki

b. Pihak Perempuan

c. Wali atau Wali Hakim

d. Dua Orang Saksi

e. Ijab Dan Qabul19

B. Pengertian Cerai, Perbedaan Antara Cerai dan Fasakh

Cerai berarti “pisah”, “putus hubungan” sebagai suami istri , talak.20 Cerai

atau lebih dikenal dalam Islam talak, dari kata “ithlaq” artinya “melepaskan atau

meninggalkan” dalam istilah agama “talak artinya melepaskan ikatan perkawinan

atau putusnya hubungan perkawinan.21

18Ibid

, h. 62

19

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h.46-49.

20

Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.163.

21

(22)

Sebuah hubungan perkawinan sejatinya menjadi utuh, langgeng bagi

kedua pasangan dari itulah tujuan dari perkawinan. Dan keduanya diharapkan dapat

mewujudkan rumah tangga yang menjadi fungsi keluarga itu sendiri yaitu :

a. Fungsi Biologis

b. Fungsi pendidikan sosial bagi anak c. Fungsi afeksi

d. Fungsi edukatif e. Fungsi religius f. Fungsi protektif g. Fungsi kreatif h. Fungsi ekonomis

i. Fungsi penentuan status22

Dan dikatakan bahwa ikatan antara keduanya merupakan ikatan yang paling

suci dan kokoh dan Allah menamakan ikatan suci antara suami istri tersebut dengan

kalimat “perjanjian yang kokoh” 23 sebagaimana disebutkan Allah SWT dalam

firmannya :

0J K 05 B

> ﻥ L

! 8

/ ﻝ$

/

)

(

'&)

+

Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah memberi dari kamu perjanjian yang kuat”.

(Q.S. 4 (Al-Nisa’): 154)

Walaupun sebenarnya pekerjaan halal yang sangat dibenci adalah bercerai,

dan memang tidak dianjurkan untuk bercerai. Sebagaimana sabda Rasulullah saw

dalam sebuah hadis yang berbunyi:

22

H.A. Sutarmadi dan Mesrani, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2006), h.11-12.

23

(23)

M N ,$ C O 7 ﻝ$ N PN 1$ N

Q 5 ﺱ

:

L1

S

T

ﻝ$

9

Q

Uﻝ

,$ C

N

V

$

6ﻝ

W

! 8

M99O X X$X D1L Y$ #

+

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW berkata “Perbuatan halal yang

sangat dibenci Allah ialah talak (Hr. Abu Daud Hakim dan disahkan

olehnya)24

Tetapi jika terdapat darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami

meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau sudah tidak mencintainya. Tetapi

jika tidak terdapat alasan apapun, maka bercerai yang demikian berarti kufur terhadap

nikmat Allah SWT.

Talak juga mempunyai hukum yaitu : wajib, haram, dan sunnah. Talak wajib

yaitu talak yang dijatuhkan oleh pihak pengadilan sebagai penengah, karena

perpecahan antara suami istri yang sudah berat dan tidak ada jalan lain selain

perpisahan.

Talak haram yaitu thalak tanpa alasan, diharamkan karena merugikan bagi

kedua belah pihak, tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talak.

Talak sunnah yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah SWT,

seperti salat dan sebagainya.

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hukum talak ada lima, yang

menjadi wajib jika terjadi perseteruan yang tak kunjung ada pemecahannya, dan

kedua belah pihak tidak dapat lagi bersatu, dua wakil dari kedua belah pihak tidak

dapat mendamaikan kedua belah pihak dengan tujuan menyelamatkan rumah tangga

24

(24)

mereka, pihak hakim berpendapat bahwa talak adalah lebih baik, tidak terjadi

perceraian maka berdosalah sang suami. Menjadi haram jika menceraikan istri ketika

haid atau nifas, ketika keadaan suci yang telah disetubuhi, menceraikan istrinya

dengan talak tiga sekaligus atau thalak satu tetapi disebut berulang kali sehingga

cukup tiga kali atau lebih. Sunnat ketika suami tidak mampu menanggung nafkah

istrinya dan istrinya tidak menjaga kehormatan dirinya. Makruh ketika suami

menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik dan berakhlak mulia dan mempunyai

pengetahuan agama. Menjadi Mubah ketika suami yang lemah keinginan nafsunya

atau istrinya belum datang haid atau telah putus haidnya.25

Dalam kitabnya As-Syifa, Ibnu Sina mengatakan bahwa seharusnya jalan

untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali, karena dikhawatirkan dapat

berakibat bahaya yang lebih besar dari pada disatukan, dan jika terus-terusan dipaksa

justru tidak baik, pecah, dan kehidupan mereka akan menjadi kacau-balau.26 Allah

SWT berfirman :

888

ZZZZﻝ

ZZZZ

[

D

\

ZZZZF

\

7

D

ZZZZ1 $

7

T

ZZZZ

$

F

P

D

\

$

ZZZZﻝ

$

ZZZZی

]

1.

ZZZZ2

^

_

1

_

!888

/ ﻝ$

/

)

(

)*

8+

Artinya: “Dan janganlah kamu (suami) menghalangi mereka (istri-istri) karena kamu

ingin mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka,

kecuali kalau mereka berbuat keji dengan terang-terangan.” (Q.S. 4

(Al-Nisa’): 49)

25

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6864

(25)

C. Perbedaan Antara Cerai Dan Fasakh

Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara cerai talak dan cerai

fasakh karena keduanya adalah bagian dari cerai atau perpisahan, tetapi tetap ada

yang membedakan antara keduanya yaitu perceraian talak ada dua macam yaitu talak

raj’i dan talak bain. Talak bain tidak menghentikan ikatan perkawinan seketika dan

talak bain menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkan. Sedangkan fasakh dengan

sebab yang datang setelah berlakunya akad atau karena adanya kekeliruan sewaktu

akad dapat memutuskan hubungan perkawinan seketika. Di samping itu cerai dengan

jalan talak akan mengurangi bilangan talak. Seorang suami yang men-talak istrinya

dengan talak raj’i kemudian merujuknya di dalam iddah atau dikawin lagi dengan

akad baru setelah lewat iddah, maka talak itu dihitung satu dan laki-laki masih

memiliki dua talak lagi. Adapun cerai fasakh tidak mengurangi bilangan talak.

Seandainya suatu akad dirusak dengan khiyar bulugh kemudian laki-laki dan wanita

ternyata memutuskan menikah maka perkawinan itu masih mempunyai 3 talak.

Fukaha dari kalangan Hanafiyah tidak membedakan antara cerai talak & cerai

fasakh, dimana dikatakan bahwa semua perceraian yang datang dari pihak suami &

tidak ada tanda-tanda dari perempuan maka perceraian dinamakan talak, dan semua

perceraian yang asalnya dari fihak istri dinamakan fasakh.27

27

(26)

Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu pernikahan dapat dirusak/

difasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berlaku lagi, dan

penyebabnya yaitu :

1. apabila salah satu dari pasangan suami isri telah menipu pasangannya.

2. apabila seorang perempuan dinikahi seorang laki-laki yang mengaku

orang baik-baik kemudian ternyata fasik, maka si perempuan berhak

mengajukan fasakh.

3. seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang mengaku

perawan ternyata janda, maka laki-laki itu berhak memfasakh dan

meminta ganti rugi mahar sebanyak sekitar mahar seorang gadis.

4. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tenyata tidak dapat

dicampuri maka laki-laki dapat memfasakh, misal: si istri selalu

istihadhoh.

5. seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetap di tubuh si

perempuan ada penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat digauli.

6. seorang laki-laki yang menikahi perempuan tetapi si perempuan ternyata

mengidap penyakit/cacat.

Sedang fasakh dengan keputusan hakim, jika sebab-sebab fasakh yang sudah

jelas tidak memerlukan keputusan hakim lagi, misal apabila terbukati bahwa si suami

istri masih saudara sesusuan, saat itu pula wajib atas mereka berdua untuk

memfaskhkan perkawinannya dengan kemauan mereka sendiri. Kadang-kadang ada

(27)

pelaksanaanya tergantung kepada keputusan hakim, misal fasakh karena istri musyrik

dan enggan masuk Islam, suami sudah masuk Islam lebih dahulu tetapi istri keberatan

untuk masuk Islam maka akadnya rusak.28

Sedangkan Wahbah Zuhaili dalm bukunya Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu

membedakan antara fasakh dan talak dengan tiga faktor.

Pertama faktor hakikatnya atau pengertiannya. Fasakh adalah rusaknya

sebuah akad pernikahan dari asalnya dan menghilangkan kehalalan atas sesuatu yang

dibolehkan dalam ikatan perkawinan. Sedangkan talak adalah selesainya atau

terhentinya sebuah akad pernikahan akan tetapi tidak menghilangkan kehalalan untuk

melakukan sesuatu yang dibolehkan dalam perkawinan kecuali apa bila telah jatuh

talak tiga.

Faktor yang kedua yaitu faktor akibat yang menyebabkan terjadinya fasakh

atau talak.

Fasakh terjadi adakalanya disebabkan oleh suatu keadaan yang dapat

membatalkan (merusak) akad yang melarang terjadinya pernikahan. Contohnya

adalah apabila seorang istri atau calon istri murtad atau ia enggan memeluk agama

Islam. Contoh yang kedua yaitu apabila suami mempunyai hubungan pernikahan

dengan ibu istrinya atau anak perempuan istrinya. Adakalanya disebabkan oleh

keadaan dimana keadaan tersebut tidak lazim diadakan pernikahan. Contohnya adalah

tidak pantasnya atau kurang matangnya salah satu antara suami atau istri untuk

melakukan pernikahan. Atau belum memenuhi syarat seorang wali dari pihak istri

28

(28)

atau karena jumlah maskawin yang terlalu sedikit (menurut Imam Hanafi). Dari

semua keadaan tersebut tidak lazim dilakukan sebuah akad pernikahan.29

Adapun talak terjadi setelah melalui akad pernikahan yang sah dan lazim,

talak merupakan hak suami. Jadi tidak ada dalam sebab-sebab terjadinya talak suatu

keadan yang mengharamkan atau yang tidak lazim terjadinya akad pernikahan

Faktor yang ketiga yaitu pengaruh yang diakibatkan dari fasakh dan talak.

Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. sedangkan talak dapat mempengaruhi

(membatalkan) bilangan talak.30

Sebuah sebab perpisahan yang mengakibatkan fasakh tidak akan terjadi pada

talak. Kecuali dengan sebab murtad atau menolak untuk masuk Islam. Menurut imam

Hanafi terjadi fasakh dan thalak secara mutlak dan hukum. Adapun pengaruh talak

maka akan terjadi talak yang lain (talak satu, talak dua, talak tiga) dan secara otomatis

akan berlaku hukum-hukum yang ada dalam hukum perkawinan.

Apabila fasakh terjadi sebelum suami istri melakukan hubungan badan maka

seorang istri tidak wajib mendapatkan maskawin sedikitpun sedangkan dalam talak

istri berhak mendapatkan setengah dari maskawin. Jika tidak ada maskawin maka

dinamai pembagian harta gono-gini.31

Abu Hanifah dan Muhammad sepakat bahwa perbedaan antara fasakh dan

talak hanya terletak pada siapa yang menyebabkan perpisahan terjadi, jika dari pihak

suami termasuk talak sedangkan jika dari pihak istri termasuk fasakh.

29

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu, h. 6864

30Ibid

, h. 6865

31Ibid,

(29)

Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Muhammad pada perpisahan yang

disebabkan murtadnya seorang suami yang menurut Muhammad termasuk Fasakh,

karena menurutnya murtad sama dengan kasus meninggal karena jika sorang suami

meninggal maka tidak mungkin bisa seorang istri menjatuhkan talak. 32

32Ibid,

(30)

BAB III

PENGERTIAN UMUM TENTANG HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hukum Materil

1. Kompilasi Hukum Islam dan Latar Belakang terbentuknya KHI

Kompilasi hukum Islam pada dasarnya adalah berbicara salah satu

aspek dari hukum Islam di Indonesia, bahwa berlakunya suatu hukum Islam di

Indonesia sangat tergantung pada masyarakat atau umat Islam itu sendiri yang

menjadi sarat utama bagi penunjang kelangsungan hukum Islam. Dan

walaupun tidak sedikit yang telah melaksanakan hukum Islam namun hukum

Islam Indonesia masih belum memperlihatkan bentuknya yang utuh sesuai

dengan konsep dasarnya menurut Al Qur’an dan Sunnah. Dan ini adalah

realita yang merupakan refleksi berlangsungnya proses Islamisasi yang

berlanjut terus dalam kehidupan umat Islam yang belum mencapai target.

Sikap tidak setia menjadi salah satu faktor terbesar adanya ‘Islam KTP’ yaitu

Islam yang tidak mengindahkan hukum Islam bahkan masih awam. Dan inilah

yang belum selaras dalam dunia Islam. Adapun kendala yang juga terlihat

sangat jelas adalah daya lentur hukum Islam (adability), hukum Islam dapat

beradaptasi sesuai dengan kemajuan zaman, tetapi usaha untuk selalu

mengaktualkan hukum Islam untuk menjawab perkembangan dan kemajuan

(31)

hanyut dalam pertentangan yang tak kunjung selesai sehingga untuk beberapa

abad kita masih belum menunjukan karya nyata mengenai hal ini.33

Istilah kompilasi diambil dari bahasa latin “compilare” yang

mempunyai arti mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan

dimana-mana. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi “compilation”

dalam bahasa inggris atau “compilatie” dalam bahasa belanda. Istilah ini

kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi “kompilasi” yang

berarti terjemahan langsung dari dua perkataan yang tersebut terakhir.

Dalam kamus lengkap Inggris Indonesia – Indonesia Inggris yang

disususn oleh S. Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata

“compilation” dengan terjemahan “karangan tersusun dan kutipan buku-buku

lain. Sedangkan dalam kamus umum Belanda Indonesia yang disusun oleh S.

Wojowasito kata “compilatie” diterjemahkan menjadi “kompilasi” dengan

keterangan tambahan “kumpulan dari lain-lain karangan”.34

Berdasarkan beberapa keterangn di atas bahwa dari sudut bahas

kompilasi adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang

diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu.

Dalam Black’s law Dictionary yang telah memberikan rumusan

pengertian kompilasi sebagai “a bringing together of preexisting status in the

33

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h.1-2.

34

(32)

form which they appear in the books, with the removal of sections which have

been repealed and subtitution of amandments in an arrangement designed to

facilitate their use. A literary production compused of the works or manner.35

Maka kompilasi dalam kompilasi hukum Islam adalah merupakan

rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang dapat diambil dari berbagai

kitab yang ditulis oleh para ulama fiqih yang biasa dipergunakan sebagai

referensi pada pengadilan agama untuk diolah dan dikembangkan serta

dihimpun ke dalam suatu himpunan.

Tahun 1958 kementrian agama memberikan acuan untuk keseragaman

hukum pengadilan agama dengan mengeluarkan 12 buku untuk digunakan

sebagai acuan dalam menangani berbagai kasus. Kini sudah waktunya untuk

memperluas buku-buku tersebut, sehingga keputusan pengadilan agama dapat

berjalan sesuai dengan persepsi hukum orang-orang yang mencari keadilan.

Juga sudah saatnya untuk mensistematisasikan hukum Islam, agar masyarakat

Islam yang kebanyakan tidak tahu hukum serta bahasa Arab (bahasa yang

dipergunakan dalam buku), mengenal hak serta kewajibannya menurut

pengadilan Islam.36

Latar belakang Kompilasi Hukum Islam (KHI) berawal dari

konsideran keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan menteri agama

tanggal penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui

35

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 12

36Ibid,

(33)

yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek kompilasi hukum Islam,

dan dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan,

yaitu:37

a. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di

Indonesia, khususnya di lingkungan peradilan agama, perlu

mengadakan kompilasi hukum Islam yang selama ini menjadikan

hukum positif di pengadilan agama;

b. bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran

pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek

pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu

membentuk suatu tim proyek yang sususnannya tediri dari para pejabat

Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.

Pembentukan kompilasi hukum Islam ini mempunyai kaitan yang

sangat erat dengan kondisi yang ada di negara kita Indonesia selama ini. Dan

hal ini penting untuk ditegaskan menurut Muchtar Zarkasyi, sebagaimana

yang dikutip oleh Abdurrahman, karena hingga kini belum ada satu pengertian

yang disepakati tentang hukum Islam di Indonesia. Ada beberapa anggapan

tentang hukum Islam yang masing-masing melihat dari sudut yang berbeda.38

Menurut Muhammad Daud Ali, sebagaimana yang dikutip oleh

37Ibid,

h. 15

38Ibid,

(34)

Abdurrahman, dalam membicarakan hukum Islam di Indonesia, pusat

perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum

Indonesia. Dan menurut Ichtianto, sebagaimana yang dikutip oleh

Abdurrahman, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi dan

ditaati oleh mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang

telah hidup dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan

Islam dan ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam

pembinaan dan pengembangannya.39

Secara umum Satria Effendi M. Zein, sebagaimana yang dikutip oleh

Abdurrahman, berpendapat bahwa suatu hal yang tidak dapat dibantah adalah

bahwa hukum Islam baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya,

sampai hari ini adalah hukum fiqh hasil penafsiran pada abad ke dua dan

beberapa abad selanjutnya, kitab-kitab fiqh klasik masih tetap berfungsi dalam

memberikan informasi hukum. Dan hal ini membuat Islam terlihat begitu

kaku berhadapan dengan masalah-masalah sekarang, yang amat banyak

melibatkan masalah ekonomi.40

Banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada masa

Rasulullah dan pada masa para Mujtahid di masa madzhab-madzhab

terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan.

Satu pihak hendak berpegang pada tradisi dan penafsiran-penafsiran oleh

(35)

ulama Mujtahid tedahulu, sedang pihak lain menawarkan, bahwa berpegang

erat saja kepada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi

perubahan sosial di abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran hendaklah

diperbaharui sesuai dengan kondisi dan situasi masa kini. Untuk itu ijtihad

perlu digalakkan kembali.

Hasan Basry (Ketua Umum MUI) menyebutkan kompilasi hukum

Islam sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada masa orde baru

ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan

mempunyai pedoman fiqih seragam dan telah menjadi hukum positif yang

wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan

ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam

lembaga-lembaga peradilan agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan

oleh masalah fiqih akan dapat diakhiri. Dari penegasan ini tampak bahwa latar

belakang pertama dari diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena

adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang

masalah-masalah hukum Islam.41

2. Undang-undang Perkawinan No. 1 Th 1974 dan Latar Belakang UU

Perkawinan No.1 Th 1974

Pasal 2 UU No. 1/1974 (UU Perkawinan), menetapkan bahwa

perkawinan yang sah adalah jika perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai

dengan agama pengantin.

41Ibid

(36)

Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan yang disahkan Presiden pada tanggal 2

Januari 1974 dan instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991

yang didalamnya menjelaskan tentang mutlak adanya undang-undang

perkawinan mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, asas-asas perkawinan dan jaminan kepastian

hukum.42

Dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan

dan peraturan pemerintah No. 9 Th. 1975 tentang peraturan pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 tentang perkawinan, antara lain mengatur tentang

rukun dan syarat-syarat perkawinan, maka terciptalah kepastian hukum dalam

urusan perkawinan pada khususnya, dan pada masalah keluarga pada

umumnya. Sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk rumah tangga yang bahagia kekal dan abadi.”

B. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan menjadi

bagian dari agama Islam.43 Al Quran sebagai sumber hukum yang paling utama yang

42

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h.222.

43

(37)

dapat diambil oleh umat Islam dalam menerapkan hukum yang akan dipakai di

kehidupannya sehari-hari, sebagai sumber rujukan yang paling utama Al Quran yang

telah diturunkan Sang Khaliq berabad-abad lamanya bersaing dengan waktu yang

terus berjalan dan berjalannya waktu banyak hal-hal baru yang dapat merubah

kebijakan-kebijakan para ulama dalam menyelesaikan kendala-kendala baru dalam

kehidupan umat muslim. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum yang

dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia.44

Bila hukum ini dihubungkan kepada Islam atau syara maka hukum Islam akan

berarti: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang

tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk

semua uamt yang beragama Islam”. Al Quran dan As-Sunnah melengkapi sebagian

besar dari hukum-hukum Islam dalam bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabi’in

menambahkan atas hukum-hukum itu, aneka hukum yang diperluakan untuk

menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang timbul dalam masyarakat. Karenanya

dapatlah kita katakan bahwa syariat (hukum) Islam, adalah : “hukum-hukum yang

bersifat umum lagi “kulli” yang dapat diterapkan dalam perkembangan hukum Islam

menurut kondisi dan situasi masyarakat”.45

Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan

Al-Fiqh Al Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al Syarî’ah Al Islâmî. Istilah ini

dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law, dalam Qur’an dan

44Ibid.,

h.44.

45

(38)

Sunnah, digunakan kata syarî’ah yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah

fiqh.

Sesuai kajian ushul fiqh bahwa hukum Islam terbagi dua, pertama, kategori

syarî’ah; kedua kategori fiqh. Syari’ah adalah hukum Islam yang ditegaskan secara

langsung oleh nash Qur’an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran dan

penakwilan. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam yang tidak atau belum ditegaskan

secara langsung oleh para mujtahid.46

Syarî’ah statusnya qat’i, artinya kebenarannya bersifat mutlak, absolut, benar.

Ia harus diterima apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, berlaku sepanjang

zaman untuk seluruh umat manusia, dalam segala kondisi dan situasi. Baginya tidak

berlaku ijtihâd. Sedang fiqh statusnya zanni karena dia hasil ijtihad. Zanni artinya

kebenarannya tidak bersifat absolut atau mutlak benar, tapi mengandung

kemungkinan salah, hanya saja menurut mujtahidnya yang dominan adalah porsi

kebenarannya. Untuk fiqh penerapannya mengikuti kondisi dan situasi sejalan dengan

tuntutan zaman dan kemaslahatan. Disinilah ijtihad memainkan peranannya.47

Dalam hal ini baik syarî’ah maupun fiqih dimaksudkan untuk kemaslahatan

umat manusia, yang masing-masing berlandaskan prinsip kemudahan dan

kelapangan. Lantaran itulah setiap pensyariatan hukum di dalam Islam tidak satupun

yang terlepas dari prinsip kemudahan dan kelapangan. Selanjutnya perlu diketahui

46

Basiq Djalil, “Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, makalah, disampaikan pada seminar sehari hukum keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN 2004, h.3.

47

(39)

bahwa nash Qur’an dilalahnya ada yang qat’i ada yang zanni. Pada dasarnya nash

yang status dilalahnya qat’i tidak boleh di-ijtihad-i, berbeda dengan nash yang status

dilalahnya zanni, dimana ijtihad memainkan peranannya. Dan pada nas yang qat’i

al-dalâlah ada diantaranya mengandung dimensi ta’aqqulî dan zanni. Dengan demikian

dimungkinkan untuk di-ijtihad-i atau difiqihkan. Dalam pembaharuan hukum Islam

hal tersebut dapat dilakukan sebagai contoh sahnya talak dari istri bila talak itu

memang telah dilimpahkan oleh suami pada istri. Sedang berdasarkan nash qat’i hak

talak ada pada suami. Contoh lain zakat bagian muallaf tidak lagi dibeikan dalam

kondisi umat Islam telah kuat.48

Untuk Memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam,

terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syarî’ah dan fiqh.

Secara harfiah syarî’ah artinya jalan ke tempat mata air, atau tempat yang

dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas

yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama usul al-fiqh, syarî’ah adalah

titah (khitâb) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim,

balig, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat,

atau penghalang).49 Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis

(amâli’yah).

Dalam bukunya yang berjudul Muslim Family Law A Source Book Keith

Hodkinson berpendapat the shari’a is the path of the believer the way which Allah

48

Basiq Djalil, Hukum Keluarga, h.4.

49

(40)

wishes man to pass and the word is use of the collection of Allah’s command releaved

in the holy Qur’an and in the sunna or conduct of the holy propet Muhammad. Fiqih

is the understanding, explanation and interpretation of the shari’a as expounded in

the qur’an and sunna and the jurists who unddertake this task are known as fuqaha.50

50

(41)

BAB IV

NIKAH FASAKH DALAM PERSPEKTIF HUKUM MATERIL DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Umum Tentang Nikah Fasakh

Fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. secara etimologi pembatalan

berarti proses, perbuatan, cara membatalkan, dan menyatakan batal. 51 Fasakh adalah

putus ikatan pernikahan oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri

atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan

yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. 52

Sedangkan menurut Al-Hamdani pembatalan nikah disebabkan oleh sesuatu

sifat yang dibenarkan oleh syara’ misalnya perkawinan yang difasakhkan oleh Hakim

disebabkan oleh suami tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Fasakh tidak

dapat mengurangi bilangan talak. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya

syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang

kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.53

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan adakalanya kerusakan dalam

nikah fasakh, atau terjadinya cacat dalam pernikahan tersebut ada pada akad itu

sendiri adan adakalanya juga disebabkan oleh hal-hal yang datang kemudian setelah

51

Departeman Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.240.

52Ibid

, h.240.

53

(42)

terjadinya pernikahan dan dapat menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat

dilanjutkan.54

Nikah fasakh merupakan nikah yang terdapat kerusakan di dalam pernikahan

yang diperbolehkan untuk dirusak atau diputus pernikahan melalui pengadilan. Pada

hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad

berlangsung, seperta terjadinya penipuan dalam pernikahan, misal sang istri sebelum

menikah menyatakan bahwa dia masih perawan, tetapi ternyata setelah terjadi

pernikahan baru disadari oleh suami bahwa sang istri bukan perawan, atau ada contoh

lain suatu penyakit yang diderita oleh salah satu pihak tapi ditutup-tutupi oleh yang

bersangkutan dan baru diketahui setelah pernikahan berlangsung, dan pihak yang lain

merasa tertipu akibat kebohongan tersebut.

Bahwa nikah fasakh adalah suatu pernikahan yang telah berlangsung tetapi

terdapat kerusakan atau kesalahan dalam pernikahan tersebut baik dari akad maupun

pelaksanaannya (rumah tangga), yang menyebabkan jatuhnya fasakh. Dan apa

sajakah nikah fasakh itu?

B. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Materil

Sebagai negara yang bermacam–macam suku bangsa, bahkan agama,

Indonesia termasuk salah satu negara yang majemuk dan itu sangat mempengaruhi

hukum-hukum sebagai tiang dari negara ini, dan hal ini sangat mempengaruhi umat

Islam dalam mengenal hukum agamanya sendiri, maka dibuatlah KHI dan UU No.1

54

(43)

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kegunaannya agar umat muslim Indonesia

tidak kehilangan pegangan hidup. Begitu juga dalam hal persoalan nikah fasakh ini,

maka penulis meneliti problema nikah fasakh ini dalam KHI dan Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

KHI dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

menyebutkan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembatalan

nikah dan juga tidak ada penjelasan tentang apa saja yang termasuk dalam nikah

fasakh. Namun kedua peraturan tersebut hanya menguraikan mengenai definisi dari

suatu pembatalan pernikahan serta hal-hal yang berhubungan dengan pebatalan

pernikahan tersebut. Tetapi dari kedua peraturan tersebut penulis dapat membagi

kedua peraturan itu menjadi dua macam yaitu perkawinan batal karena hukum

(pernikahan yang melanggar larangan pernikahan, sehingga pernikahna tersebut

mutlak dibatalkan) dan pernikahan yang dapat dibatalkan (pernikahan yang

melanggar larangan pernikahan yang bersifat relatif. Pelanggaran larangan

pernikahan tanpa sengaja, kurang rukun dan syarat, sehingga pernikahan tersebut

dapat dibatalkan dan bisa pula tidak dapat dibatalkan).

1. KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Adapun problema nikah fasakh ditinjau dalam KHI (Kompilasi Hukum

Islam). Mengenai pernikahan yang dapat dibatalkan menurut KHI adalah Apabila

seorang suami yang telah dan masih mempunyai istri melakukan poligami tanpa

izin dari pengadilan agama. Apabila wanita yang dinikahi ternyata kemudian

(44)

sah menjadi suaminya. Apabila wanita yang dinikahinya ternyata masih dalam

iddah dari suaminya yang terdahulu. Apabila terjadi suatu pernikahan yang

melanggar batas umur minimal pernikahan. Sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU

No.1 th 1974 tentang Perkawinan mengenai dispensasi nikah. Apabila terjadi

suatu pernikahan tanpa adanya wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak

mempunyai hak untuk menikahkan. Pernikahan seperti ini banyak disebut nikah

sirri. Apabila pernikahan itu terjadi dengan adanya paksaan. Hal tersebut tertera

dalam KHI pasal 71:

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan pasal 7 UU no.1 Tahun 1974;

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.55

Penyebab batalnya suatu suatu pernikahan dalam pasal 70 UU No.1 th

1974 tentang Perkawinan bahwa pernikahan batal demi hukum adalah Apabila

suatu perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

Apabila dalam akad/waktu terjadinya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah

pahaman mengenai diri suami atau istri. Apabila suami melakukan pernikahan

sedang ia telah memiliki 4 orang istri, walaupun salah satu dari keempat istrinya

dalam iddah talak raj’î. Apabila seseorang menikahi bekas istri yang telah di

li’ân-nya. Apabila seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak

55

(45)

bâ’in, kecuali bekas istrinya pernah menikah dengan orang lain kamudian

bercerai lagi ba’da dukhûl dari pria tersebut, dan telah habis masa iddah-nya.

Apabila keduanya mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan yang

menghalangi pernikahan menurut pasal 8 UU no.1 th 1974 UU No.1 th 1974

tentang Perkawinan. Apabila keduanya ternyata saudara kandung. Dan pasal 70

tersebut berbunyi :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu (atau beberapa) dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.

b. Seseorang menikahi bekas istri yng dili’annya;

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang uang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974,

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tirinya;

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan;

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya56

Sedangkan pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah

sangka mengenai diri suami atau istri, hal tersebut ditegaskan dalam pasal 72

yang menerangkan permohonan batalnya pernikahan terjadi apabila pernikahan

56ibid

(46)

terjadi di bawah ancaman yang melanggar hukum, apabila pada waktu

berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau kesalah pahaman atau salah

persangkaan mengenai diri suami atau istri, dalam buku KHI dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu

menikah tetapi kemudian ternyata diketahui sudah beristri sehingga poligami

tanpa izin pengadilan, demikian pula penipuan terhadap identitas diri:

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pernikahan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;

b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan nikah apabila pada waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.57

Tetapi apabila ancaman telah dihentikan, atau yang bersalah sangka itu

menyadari akan keadaanya, dan dalam jangka waktu enam bulan setelah hal itu

berlangsung dan masih tetap hidup sebagai suami istri kemudian salah satu pihak

tidak menggunakan haknya unutuk mengajukan permohonan pembatalan maka

haknya gugur (pasal 72 ayat 3 KHI).58

2. Undang-Undang no.1/ th 1974

Jika nikah fasakh menurut KHI seperti yang tersebut diatas maka adapun

problema nikah fasakh ditinjau dalam UU no. 1 th 1974 bahwa suatu pernikahan

yang telah terjadi dapat menjadi fasakh menurut hukum materil UU no. 1 th 1974:

57Ibid,

h.40.

58Ibid

(47)

a. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan

b. Apabila salah satu pihak masih terikat dengan pernikahan dan atas dasar adanya pernikahan sebelumnya, maka pernikahan yang baru dapat dibatalkan, dengan tidak mengurangi pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini tentang pologami dan izinnya.

c. Apabila pernikahan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatatan pernikahan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

d. Hak untuk membatalkan oleh suami dan istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte pernikahan yang dibuat pegawai pencatatan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

e. Sama seperti dalam KHI, apabila pernikahan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

f. Sama seperti dalam KHI, apabila dalam waktu berlangsungnya pernikahan terjadi kesalah pahaman mengenai diri suami dan istri tersebut.59

C. Problema Nikah Fasakh Perspektif Hukum Islam

Problema nikah fasakh menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam

Wafadîlatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau nikah yang fasakh sifatnya

dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan terjadinya perpisahan

dikatagorikan fasakh:

1. Menurut Imam Hanafi

Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh ada enam

a. Apabila istri kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah

suaminya mengIslamkannya. Menurut iman Abi Hanifah dan Muhammad

59

(48)

apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak sedangkan

menurut Abi Yusuf jatuhnya Fasakh.60

Terjadinya suatu pernikahan antara dua orang pasangan suami

istri yang mana terlebih dahulu si istri yang awalnya bukan beragama

Islam mengucapkan dua kalimat Syahadat untuk masuk kedalam agama

Islam agar kedua pernikahan mereka sah, tetapi jika si istri kembali

menjadi kafir setelah menikah, maka rusaklah pernikahan mereka itulah

yang dimaksudkan oleh Imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Abi

Hanifah dan Muhammad jika diantara kedua pasangan suami istri yang

ternyata sang suamilah yang kembali ke agama sebelumnya maka hukum

pernikahan yang akan jatuh pada perihal kasus ini adalah talak, sedangkan

menurut Abi Yusuf kasus ini adalah fasakh.

b. Murtadnya suami atau istri

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa jika salah satu dari

pasangan suami istri tersebut ada yang berpindah agama maka terputuslah

akad pernikahan mereka, begitu juga jika salah satu dari pasangan tersebut

berpindah keyakinan, misal: Menyekutukan Allah, Membandingkan Allah

dengan makhluk ciptaan-Nya, dll.61

c. Orang yang punya dua status kewarganegaraan secara hakikat dan hukum,

contohnya adalah apabila salah satu dari suami istri pergi ke negara Islam

60

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâmî Wa Adillatuhu (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 6866

61Ibid,

(49)

dan ia muslim sedangkan pasangan yang lainnya ditinggalkan di negara

yang sedang perang/negara orang kafir dan keadaannya kafir. Sedangkan

menurut golongan selain Imam Hanafi tidak terjadi perpisahan.62

Dalam masalah kewarganegaraan ini menurut Imam Hanafi bagi

pasangan suami istri yang mempunyai kewarganegaraan dari dua negara yang

berbeda secara hakikat dan hukum, dan salah satunya pergi ke negara muslim

dan dalam kondisi telah menjadi seorang muslim, sementara pasangan yang

ditinggalkan di negara yang sedang mengalami peperangan atau negara kafir

dan dia ditinggal dalam keadaan kafir maka terputuslah akad tersebut secara

fasakh atau rusak. Sedangkan menurut pendapat Imam yang lain bahwa tidak

terjadi terputusnya akad karena semua situasi yang tidak dapat diprediksi.

d. Belum balighny

Gambar

Grafika, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) untuk mengetahui apa itu hukuman kebiri, 2) untuk mengetahui alasan diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku

Di antara kegiatan ekstra kulikuler tersebut adalah gerakan pramuka sebagai suatu wadah pendidikan bagi anak-anak dan pemuda yang dilaksanakan di luar lingkungan

Pada supervisi akademik tahap I dilakukan di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta yang dengan kegiatan dibuka dengan prakata dari pengawas sekolah yang dilanjutkan dengan

Berdasarkan hasil pengamatan selama 7 kali pemetikan, produksi pucuk menunjukkan hasil signifikan terhadap perlakuan pupuk mikro Zn dan Cu (melalui daun) dengan pupuk

Dengan komunikasi word of mouth seseorang akan mudah percaya dengan suatu produk yang dapat membentuk suatu minat beli dan nantinya diharapkan akan berdampak pada

Kelemahan energi terbarukan adalah bahwa sulit untuk menghasilkan listrik dalam jumlah yang besar seperti yang dihasilkan oleh pembangkit bahan bakar fosil, nuklir dan tenaga

Aroef (2006:102), mengemukakan bahwa indikator- indikator yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dari kinerja individu seorang tenaga kerja (pegawai), yakni : Hasil

Penelitian ini membahas tentang perkuatan lentur balok beton bertulang menggunakan GFRP (glass fiber reinforced polymer) dan Wiremesh. Balok yang digunakan mempunyai dimensi