• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN. A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN. A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat (pasal 22-28 UU No. 1 tahun 1974), ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.

Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin : “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai Undang-Undang”. “Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.11 Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan: “Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut

11

Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Surakarta, Buana Cipta, 1986,hal.2.

(2)

hukum munakahad atau peraturan perundangundangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.l Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.

Menurut Riduan Shahrani, sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau isteri

(3)

murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam”.12 Perkawinan yang putus demi hukum maksudnya karena perkawinan tersebut putus dengan sendirinya tetapi bukan dengan sendirinya seperti karena kematian yang sifatnya alamiah.

Di dalam pasal 22 UU No.1/1974 dinyatakan dengan tegas: “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Di dalam penjelasannya, kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masingmasing tidak menentukan lain. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig

verklaard, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak.13

Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relative nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini

12

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978, Hal.42.

13

Amir Nuruddin dan A.A. Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan, Jakarta, Prenada Kencana, 2004, hal.54.

(4)

terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut. Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan yang

kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi

salah sangka mengenai calon suami atau istri.

A.2. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’I bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain.14 Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Karena berdasarkan pengamatan kami terhadap literatur fiqih, tidak kami temukan istilah pembatalan perkawinan. Hukum islam hanya mengatur poligami terbatas, tidak mengatur atau mengenal pembatalan atas perkawinan. Kalau ternyata di dalam

14

(5)

kehidupan suami istri tidak dapat dipertahankan lagi hubungan yang dibina, maka perceraianlah yang dilakukan.15

Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’I bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain.16 Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Karena berdasarkan pengamatan kami terhadap literatur fiqih, tidak kami temukan istilah pembatalan perkawinan. Hukum islam hanya mengatur poligami terbatas, tidak mengatur atau mengenal pembatalan atas perkawinan. Kalau ternyata di dalam kehidupan suami istri tidak dapat dipertahankan lagi hubungan yang dibina, maka perceraianlah yang dilakukan.17

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.18 Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyak

15

Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal.41. 16

Rahmat Hakim, Ibid. 17

Hilman Hadikusuma, Ibid. 18

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974), Yogyakarta, Liberty, 2004, hal. 113.

(6)

dilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.19

Adapun talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam talak ba’in. sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilangnya hak talak itu, yakni menjadi talak raj’i.20 Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya suami istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’I, lalu rujuk lagi semasa iddahnya, atau akad lagi sehabis iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi. Adapun pisahnya suami istri karena fasakh, maka hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua orang suami istri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga kali talak.21

Fasakh dalam arti bahasa adalah batal sedangkan dalam arti istilah adalah membatal dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian dan menyebabkan akad

19

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang Bintang, 1974, hal. 194.

20

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003, hal.86. 21

(7)

perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.22 Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), sebagai berikut : “Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”. Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh itu, yaitu, Pertama: kata “pembatalan” mengadung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Kedua: kata “ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan perkawinan dan tidak terhadap yang lainnya. Ketiga: kata “Pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga Peradilan yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama, bukan ditempat lain. Keempat: kata “berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”.23 Ungkapan ini merupakan alasan terjadinya fasakh, yaitu pengaduan pihak istri atau suami yang dapat dibenarkan dan atau pernikahan yang telah berlangsung ketahuan kemudian hari tidak memenuhi ketentuan hukum pernikahan.

Fasid nikah merupakan suatu Putusan Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum. Hal itu dibuktikan seperti tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun perkawinan atau disebabkan dilanggarnya ketentuan yang mengharamkan

22

Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003, hal. 217. 23

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, 2007, hal. 242.

(8)

perkawinan tersebut. Contoh: Pertama, karena persyaratan, missal keduanya dinikahkan tanpa wali atau wali tidak berhak menjadi wali. Kedua, karena ketentuan nikah tidak boleh dilaksanakan, misal menikahi wanita yang masuk dalam kelompok yang diharamkam untuk dinikahi. Kalau diketahui sebelum akad, hal itu berakibat terhalangnya perkawinan tersebut. Akan tetapi, kalau halangan tersebut baru diketahui setelah akad dilangsungkan, nikah tersebut difasid- kan. Sebagaimana firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 23:

“ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak

perempuan,saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudarasaudaraperempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu,ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan yang sesusuan, ibu-ibu istrimu(mertua) anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istriyang telah kamu tiduri. Tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudahkamu ceraikan) maka tidak dosa kamu mengawininya dan (diharamkan bagimu)istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dikawini bersama) duaorang perempuan bersaudara kecuali pernah terjadi di masa lalu, sesungguhnyaallah maha

pengampung lagi maha penyayang”.24

Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat

24

(9)

disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitupula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.

B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan mempunyai dasar hukum yang tegas dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Suatu perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.25 Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 4.26

Hal tersebut menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selain dari Undang-undang-Undang-undang pembatalan perkawinan di dasari juga dengan hukum islam yang termuat di dalam kompilasi hukum islam.

Kompilasi hukum islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengcover permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.

25

Pasal 22 UU No.1 Tahun 1974. 26

(10)

Batalnya suatu perkawinan dapat terjadi baik ketika akad perkawinan dilakukan ataupun setelah terjadinya perkawinan yang kemudian para pihak mengajukan pembatalan terhadapnya. Sebagaimana yang telah di atur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 70 mengenai perkawinan batal apabila :

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.

2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya.

3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

4. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. Dan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, seperti yang dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam Pasal 74 ditentukan sebagai berikut :

1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan.

(11)

2. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

C. Prosedur/ Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama di wilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan

Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, sepanjang dapat diterapkan dalam pembatalan perkawinan.

Prosedur yang harus dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:

a. Pengajuan Gugatan.

Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi:

1) Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.

2) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal keduasuami isteri.

(12)

3) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami. 4) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.

Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran yang terdiri dari:

1) Fotocopy tanda penduduk.

2) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon benar-benar penduduk setempat.

3) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon.

4) Kutipan akta nikah. b. Penerimaan Perkara.

Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh panitera, SKUM atau Surat Kuasa untuk Membayar yang di dalamnya telah ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara setelah itu pemohon menerima kuitansi asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu panggilan sidang.

c. Pemanggilan.

Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan

(13)

melalui Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya sudah diterima oleh pemohon 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus dilampiri salinan surat permohonan.

d. Persidangan.

Hakim harus sudah memeriksa permohonan pembatalan perkawinan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutuskan unruk mengadakan sidang jika terdapat alasanalasan seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. Setelah dilakukan sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya pembatalan perkawinan yang ditujukan kepada Pegawai Pencatat untuk mengadakan pencatatan pembatalan perkawinan.

D. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yangmempunyai rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:

(14)

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isterimurtad. b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan bertindak sebagai wali nikah merupakan abang kandung dari calon mempelai wanita.

E. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan

(15)

perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga dapat di sebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum islam maupun hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami-isteri. Terdapat beberapa alasan-alasan yang dibenarkan menurut hukum untuk melaksanakan suatu pembatalan perkawinan.termuat di dalam UU No.1 Tahun 1974 dalam pasal 26-27 adalah:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatatan Perkawinan yang tidak berwenang.

2. Wali Nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. 4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau isteri.

Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan. Menurut Kompilasi hukum islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud

(16)

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan Seorang.

Dalam hal pengajuan pembatalan perkawinan terdapat pula hal-hal yang membatalkannya/ gugur. Maksud gugurnya pembatalan ialah menghindari hak penuntutan kedua kalinya karena satu perbuatan juga.27 Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan :

a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dibuat oleh pegawai pencatat pihak yan berwenang yang telah diperbaharui.

b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah sangka diantara suami isteri telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 (enam) bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai suami isteri.

F. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan

Perspektif Fikih, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara’ terdiri dari dua halangan, yaitu halangan abadi dan halangan

27

Mr Martiman Prodjohamidjojo, Mr Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta, Indonesia Legal Center Publishing, 2001, hal. 39.

(17)

sementara yang mana di dalam hukum islam dan juga perundang-undangan perkawinan telah diatur di dalamnya, diantaranya sebagai berikut:

a. Pelanggaran larangan nikah mut’ah.28 b. Pelanggaran larangan nikah syighar.29 c. Pelanggaran larangan nikah muhrim.30

d. Nikah wanita yang sedang iddah, nikah seperti itu jika sempat berhubungan intim setelah masing-masing mengetahui bahwa nikahnya batal, maka perbuatannya dianggap zina.

e. Nikah wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, wanita muslimah tidak halal menikah dengan laki-laki non-muslim.

f. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita.

g. Seorang suami yang telah beristeri empat nikah dengan istri kelima. h. Seorang isteri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.

i. Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal sejak semula atau perkawinan fasid. Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari

28

Nikah Mut’ah ialah nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan. Adanya penegasan bahwa nikah itu sampai waktu tertentu, membuat akad nikah itu tidak sah karena bertentangan dengan tujuan syariat nikah.

29

Nikah syighar ialah nikah dimana seseorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar.

30

Nikah Muhrim ialah perkawinan yang dilaksanakan dimana kedua calon suami isteri atau salah satunya sedang keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji, maupun melaksanakan umroh.

(18)

permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan.

G. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan

Dalam suatu proses pembatalan perkawinan yang dilaksanakan antara suami/isteri di atur oleh syarat-syarat yang secara tegas termuat di dalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam baik yang menyangkut pihak-pihak, kelengkapan administrasi, maupun prosedur pelaksanaannya.

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam. Persyaratan yang berkaitan dengan orang atau pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

1. Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau dari isteri.

2. Suami atau isteri itu sendiri.

3. Pejabat yang berwenang, tetapi hanya selama perkawinan belum putus. 4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

(19)

5. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua calon mempelai, tanpa mengurangi Hak Pengadilan untuk dapat memberi izin seorang suami beristeri lebih dari seorang dan tanpa mengurangi hak suami yang akan beristeri lebih dari seorang mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk kawin lagi (pasal 24 UU no.1 Tahun 1974)

Memiliki syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan tersebut akan diangap sah apabila pembatalan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi di hadapan hukum untuk mengajukannya, yakni :

1 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.

2 Suami atau isteri.

3 Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

4 Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian lain yang dilakukan Pusparini pada tahun 2004 menemukan bahwa kadar hematokrit yang meningkat merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi akibat

Pihak-pihak kepada Perjanjian ini dengan ini bersetuju bahawa penyampaian apa-apa notis dan/atau saman dan penyata tuntutan yang berpunca daripada atau berkaitan dengan

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN OUTDOOR STUDY DI KAMPUNG NAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP PADA SISWA KELAS VIII MTsN

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran Pendidikan

Data tersebut, menunjukkan bahwa pendekatan individual juga ada dalam pengambilan keputusan yang dilalcsanakan atau ditempuh oleh pimpinan melalui pertimbangan-pertimbangan

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Penurunan COD pada reaktor aliran mengalir di atas permukaan media tanaman terjadi melalui proses masuknya air dan mineral (unsur anorganik yang berasal dari

Salah satunya adalah penyediaan jasa transportasi bagi masyarakat luas agar tercapainya kemudahan dan kepuasan masyarakat luas sebagai konsumen dalam menggunakan jasa