Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
GITA DWI ANNESSA NIM : 1110044100075
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim.
Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah,Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Pandangan hakim pengadilan agama bekasi tentang hak waris anak non muslim dan ketaatan hakim dalam melaksanakan Yurisprudensi MA no 368 K/ AG/ 1995 terhadap hak waris anak non muslim.
Dari penelitian ini tujuannya untuk memberi gambaran bahwasanya anak non muslim merupakan penghalang dalam mewarisi. Supaya senantiasa sebagai muslim kita harus menjaga dan memelihara keimanan, mencengah terjadinya penyimpangan aqidah. Untuk meminimalisir kemurtadtan. Karna beda agama merupakan penghalang untuk saling mewarisi.
Penelitian ini menggunakan metode empiris, sumber data dari hasil wawancara hakim di pengadilan agama bekasi, Khi,Yurisprudensi MA no 368/ K/AG/1995, pengumpulan data wawancara dengan hakim di pengadilan agama bekasi,dan menganalisis data dengan menggunakan data deskriftif analisis.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan, bahwa hak waris anak non muslim menurut pandangan hakim pengadilan agama bekasi dimana para hakim di pengadilan agama memandang bahwa hak waris anak non muslim ini putusan yang adil ketika diputuskan oleh hakim MA , akan tetapi apabila ada perkara yang sama, para hakim di pengadilan agama bekasi akan menjadikan Yurisprudensi MA ini sebagai rujukan, sebagai acuan, dan bahan pertimbangan dalam memutus perkara yang sama, akan tetapi hakim di pengadilan agama bekasi juga akan melihat dan mempelajari beberapa faktor dan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memutus perkara yang sama supaya tidak keluar dari aturan agama Islam dan dapat memberikan putusan yang adil tanpa adanya perbedaan dimuka hukum.
Kata Kunci: Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tentang Hak Waris Anak Non Muslim.
Pembimbing: Dr. Djawahir Hejjazziey, SH., MA. Daftar Pustaka:Tahun 1967 - 2013
Segala rasa puji dan kesyukuran penulis panjatkan atas kehadiran Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-NYa sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa pula penulis
haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad serta kerabat dan para sabatnya.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Damayanti, SE, dan
kepada ayahanda H. Sukyan Nasution beserta kanda tersayang Ferdian Eka
Sukmana, S.Pd. yang selalu memberi dukungan, kasih sayang, doa tanpa kenal
lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa membalas kasih sayang tulus kapada
mereka serta diberi umur yang panjang, amin ya Allah.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan penulis
temukan. Syukur Alhamdulillah atas rahmat, inayah,dan izin Allah, serta
kesungguhan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dapat
diatasi dengan baik, sehingga pada akhirnya penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
Maka dari itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr.Asep Saepudin jahar, MA., Ph. D., selaku Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,SH.,MA, Selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
Khususnya kepada ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag yang senantiasa
memperlakukan mahasiswanya selanyaknya anak sendiri, sehingga tanpa
kenal lelah dan bosan selalu memberikan motivasi kepada penulis serta
memberikan saran ataupun kritikan yang membangun demi kebaikan penulis.
5. Ibu Hj Maskufa, MA., sebagai dosen penasehat akademi penulis haturkan
terima kasih yang sebesar-besarnya karna beliau sudah banyak membantu dan
memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skrifsi ini.
6. Terima kasih tak terduga penulis sampaikan kepada bapak wakil pengadilan
agama bekasi bapak Dr. Drs. H. Sirajuddin Saillellah.SH.,MHI, bapak Drs
Amri, SH, Ibu Firris Barlian,S.Ag,MH, dan segenap keluarga besar
pengadilan agama bekasi.
7. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
mengadakan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
Erliyanti Lubis, Desy Nur Fitria, Sahro Batubara, Futichatussami’ah, Abiyati
Adnan.
9. Semua teman-teman Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan
yang berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas ketulusan,
kebaikan dan kasih sayang yang mereka berikan kepada penulis dengan balasan
yang setimpal.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan mamfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membagun senantiasa penulis harapkan untuk memperbaiki skripsi ini.
Ciputat, 16 Maret 2015
Penulis
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan... 6
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ... 7
D. Review Study Penelitian ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penelitian ... 11
BAB II HUKUM KEWARISAN A. Pengertian Hukum Kewarisan. ... 15
B. Pembagian Waris Muslim 1. Menurut Fuqaha... 25
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 32
C. Pembagian Waris Non Muslim
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA BEKASI
A. Profil Pengadilan Agama ... 49
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama ... 53
C. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama. ... 66
BAB IV PANDANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA
A. Pandangan Hakim TerhadapYurisprudensi MA ... 67
B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam
Memutus Perkara Kewarisan Anak Non muslim. ... 68
C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam Memutus
Perkara Kewarisan Anak Non Muslim ... 70
D. Analisis Tentang Hak Waris Anak Non Muslim ... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran Hasil Wawancara. ... 98
2. Lampiran Surat keterangan Pembimbing
3. Lampiran Keterangan Penelitian
4. Lampiran Yurisprudensi MA No 368 K/AG/ 1995
Muhammad Abu Zuhrah,IlmuWarisJakarta, PT.LenteraBasritama 2001.
RahmanHabibiRekontruksiKewarisan Islam Di Indonesia,Jakarta,PT. Al-Bayan
2011.
Dapertemen Agama RI,KedudukanWasiatdalam system
pembagianhartapeninggalan,Jakarta, PT.Kementrian Agama, 2012.
A.KarimMunchit. ProplematikaHukumKewarisan di Indonesia, Jakarta,
PT.Puslitbangkehidupankehidupankeagamaan ,2012.
Muhibundan Wahid Abdul.HukumKewarisan Islam,
Jakarta,PT.PerpustakaanNasional, 2009.
SunggonoBambang. MetodelogiPenelitianHukum, Jakarta, PT.Raja
GrafindoPersada, 2003.
Ali Zainuddin. MetodePenelitianHukum, Jakarta, PT.SinarGrafika, 2009.
BadanPembinaanHukumNasionalDapertemenHukumdan Ham
RI.TelaahAkademikHukumTentangYurisprudensiPengadilan Agama di
bidangwaris, tahun 2003.
PurnadiPurbacarakadanSoerjonoSoekanto.
Perundang-undangandanYurisprudensi,Jakarta, PT.CitraAditya Bakti,1989.
Ahmad KamildanM.Fauzan.Kaidah-kaidahHukumYurisprudensi ,Jakarta,
PT.Prinada Media, 2004.
MarzukiMahmud Peter. PenelitianHukum, Jakarta, PT.KencanaPrenada Media
Group, 2007.
Pressindo,2010.
S.SalmanOtjedanHaffas Mustafa, HukumWaris Islam, Jakarta, PT. RefikaAditama
2006.
SuparmanEman, HukumWaris Indonesia, Jakarta, PT. RevikaAditama 2007.
KomiteFakultasSyari’ahUniversitas AL- azharMesir, HukumWaris, Jakarta,
PT.SenayanAbadiPublising 2000.
Harahap yahya, Kedudukan Kewenangan dan acara Peradilan Agama,
Jakarta,PT.Sinar Grafika, 2009.
Bisri Hasan, Peradilan Agama di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada,2003.
Muhammad syeikh bin shaleh al- Utsaimin, Ilmu Waris, Ash-shaf media, Tegal
jateng.2007.
Parman ali, Kewarisan dalam Al-qur’an, Pt.RajaGrafindo Persada, Jakarta. 1995.
A. Latar Belakang
Hukum waris islam merupakan ekspresi penting dalam keluarga Islam, ia
merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris islam berarti
mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup
di tengah-tengah masyarakat muslim sejak awal Islam hingga abad pertengahan ,
zaman modern dan kontemporer serta dimasa yang akan datang.1
Sejak sejarah awalnya(origini) hingga pembentukan dan pemberharuannya
(change and development) dimasa kontemporer hukum waris Islam menunjukkan
dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh
pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah
banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam
hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non
islam. Bahkan juga mewarnai dalam relasinya dengan non muslim, termasuk
didalamnya hukum waris Islam2.
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer
dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di sini Al-qur’an tidak menjelaskan
tentang bagian ahli waris non muslim, namun di sisi lain tuntunan keadaan dan
kondisi menghendaki hal yang sebaliknya, dialektika antara hukum dan tuntunan
1
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 14.
2Fathur Rahman, Ilmu Waris, Bandung, PT Al-ma’arif 1975, H. 95.
perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum waris
Islam.3
Problematika kewarisan beda agama mencuat ketika relasi muslim dan
non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai kalangan,
Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal.4
Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata
dalam sejarah pemikiran hukum islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah
pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam
perumusan hukum waris Islam di Indonesia.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum islam
pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan
bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya hukum islam tetap
dilakukan setidaknya oleh dua golongan, yaitu:
1. Penegak Syari’at Islam (qadi), Polisi,Jaksa,Para pihak,Pengadilan.
2. Mufti.
Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan
hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penetapan
hukum, hakim tidak dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu
menafsirkan undang-undang secara actual sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat pencari
3 Habiburahman, “Rekonstruksi Hukum kewarisan Islam di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group, 2011 , h,170
4 Kementrian Agama R.I.,” Kedudukan Wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan”, Jakarta : kemenrian agama ,2012, h.44
keadialan dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum dan
nilai kemanfaatannya.5
Melalui putusan-putusannya hakim tidak hanya menerapkan hukum yang
ada dalam teks undang-undang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi
sesungguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika
dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum di atur
dalam undang-undang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan
dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan hukum baru/ jedge
made law).
Perbedaan agama (muslim dan non muslim) merupakan salah satu alasan
yang ada dapat menghalangi praktik saling mewarisi di antara kedua belah
pihak.Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Kesepakatan para ulama tentang
aturan ini dapat terekam pada sebuah redaksi dalam buku fikih fatwa ,”telah
sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk
mewarisi, yaitu: 1. Perbudakan, 2. Pembunuhan, 3. Dan perbedaan Agama.6
Namun, meskipun demikian kesepakatan para ulama ternyata hanya pada
kasus dimana si pewaris adalah muslim mewarisi non muslim, para ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa ahli waris muslim tidak dapat
mewarisi pewaris non muslim,atau pewaris non muslim tidak dapat memberikan
kewarisannya pada muslim. Pendapat jumhur ini didasarkan juga pada hadist yang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan beberapa ulama lain seperti Muazd ibn
Jabal, Muawiyah, maskuk(generasi sahabat) dan ibn Musayyah (generasi tabiin)
5
Basiq Djalil “Peradilan Agama Di Indonesia”Jakarta: Prenada Media Group 2006,h. 4.
6
Munchit A.Karim, Problematika Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,Jakarta, publitbang kehidupan keagamaan,2002 h.263.
serta kalangan syi’ah imamiyah, mengemukakan bahwa ahli waris muslim dapat
mewarisi pewaris non muslim.7
Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris
non muslim yaitu putusan Mahkamah Agung nomor : 368k/AG/1995 dan no : 51
K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non
muslim mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim berdasarkan
wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan no 51
K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim
dinyatakan sebagai ahli waris, dan mendapatkan bagian sama dengan ahli waris
muslim. Dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap
sebagai ahli waris.
Dari dua putusan diatas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui
Yurisprudensi Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris
Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian
harta bagi ahli waris non muslim.
Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris
bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli
waris muslim. Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam
pertimbangan hukumnya baik dalam perkara No 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli
1998 maupun nomor 51 K/ AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya
didasarkan pada wasiat wajibah.
7
H. Moh Muhibbin dan Abdul Wahid” Hukum Kewarisan Islam:, Jakarta: Sinar Grafika Offset. H. 78
Dengan munculnya dua putusan tersebut di atas jelas Mahkamah Agung
telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak
memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non
muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim8. Dalam kontek ini perlu
disinggung bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menyimpangi
ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap telah usang dan
ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu menciptakan keadilan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Dalam ilmu hukum cara ini disebut dengan istilah contra legem. Dalam
menggunakan contra legam hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya
secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan
hukum oleh hakim yang kemudian dijadikan sebagai dasar sebagaimana dasar
putusan yang memiliki kasus serupa disebut hukum yurisprudensi tujuannya
adalah untuk menghindari adanya disparatas putusan hakim dalam perkara yang
sama.
Berdasarkan paparan diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam
mengenai sejauh mana ketaatan hakim dalam menggunakan putusan Mahkamah
Agung dalam menyelesaikan warisan bagi anak non muslim,dengan judul”
Pandangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi Tentang Hak Waris Anak Non Muslim”
8
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h.159.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembatasan pada penelitian ini hanya pada pandangan hakim
pengadilan agama bekasi, terhadap kewarisan anak non muslim. Apakah
hakim di bekasi sudah menjalankan putusan Mahkamah Agung atau tidak
memberikan warisan kepada anak non muslim karna salah satu penghalang
saling mewarisi adalah non muslim.
2. Rumusan Masalah
Menurut Hukum Islam dan KHI Anak Non Muslim tidak mendapat
warisan, akan tetapi Yurisprudensi MA memberikan kewarisan terhadap
anak non muslim. Dari batasan masalah tersebut, maka permasalahannya
dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah hakim pengadilan agama bekasi sudah melaksanakan
Yurisprudensi MA terhadap hak waris anak non muslim?
b. Bagaimana Pandangan hakim Pengadilan terhadap kewarisan anak non
muslim?
c. Bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim menurut
fuqaha dan perundang-undangan?
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan beberapa
a. Untuk mengetahui sikap hakim dalam menjalankan Yurisprudensi
MA terhadap hak waris anak non muslim.
b. Untuk mengetahui pandangan para hakim terhadap kewarisan anak
non muslim.
c. Untuk mengetahui tentang kewarisan anak non muslim menurut
fuqaha dan perundang-undangan.
2. Manfaat Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan
mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi
pelaksana hukum baik secara teoritis dan praktis, maka sekiranya
penelitian ini bermamfaat diantaranya:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dengan adanya penulisan ini mengharapkan dapat bermamfaat
menambah wawasan dan pengetahuan khususnya dalam bidang hukum
keluarga Islam.
b. Bagi Instansi Pengadilan
Informasi bagi Masyarakat mengenai kewarisan bagi anak non
muslim dalam kejelasan dan ketetapan hukum yang seadil-adilnya.
D. Review studi Terdahulu
Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan
diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh
review kepustakaan terlebih dahulu.Adapun review kepustakaan yang telah
dilakukan oleh penulis antara lain:
1. Warisan beda agama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Oleh: Abdurahman, Konsentrasi Peradilan Agama, skripsi ini membahas
analisis penetapan perkara no.158/Pdt.p/2009/pajs. Penelitian lebih fokus
tentang hak waris beda agama berdasarkan dua penetapan majlis hakim
pengadilan agama jakarta selatan yang telah mengabulkan dan menetapkan
non muslim menjadi ahli waris yang mustahik dan sah secara Islam.
2. Wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim (study analisa penetapan
perkara no.176/pdt.p/P.A.JP).
Oleh Muhammad Syafrudin Bahri, skripsi ini membahas mengenai
penelitian wasiat wajibah kepada ahli waris yang beda agama, penetapan
perkara no.01/76/pdt.P/2012/P.A.JP
Dari dua study review terdahulu, Peneliti berbeda dengan Peneltian
Sebelumnya, dimana peneliti lebih menekankan kepada beberapa rumusan
masalah yaitu: Bagaimana pandangan hakim pengadilan tentang hak waris anak
non muslim, bagaimana kajian yuridis tentang kewarisan anak non muslim
menurut fuqaha dan perundang-undangan, apakah hakim pengadilan agama sudah
melaksanakan Yurisprudensi MA, apa dasar pertimbangan hakim dalam memutus
perkara hak waris anak non muslim, fator-faktor hakim dalam memutus perkara
E. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung
suatu kebenaran yang objektif, penulisan menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum Empiris atau sering disebut
penelitian hukum non doktrinal merupakan penelitian yang bertitik tolak
pada data primer yakni data yang diperoleh langsung dari objek
penelitian.9 Penelitian hukum Empiris umumnya mencari jawaban
terhadap kesenjangan (gap) natara hukum yang seharusnya (das sollen)
dengan hukum senyatanya (das sein) didalam masyarakat.Dengan kata lain
penelitian ini menekankan kepada pencarian jawaban terhadap fenomena
sosial yang terjadi terhadap pemberlakuan hukum, sehingga akan
menjawab pernyataan signifikansi sosial-hukum dan/atau efektifitas
hukum. Dengan jenis penelitian kualitatif, yang difokuskan kepada
pemahaman hakim pengadilan agama bekasi terhadap Yurisprudensi MA
tentang kewarisan anak non muslim.
2. Sumber Data
a. Data Primer: yakni data-data yang diperoleh dari hasil wawancara
kepada hakim di Pengadilan Agama Bekasi, KHI (Kompilasi Hukum
Islam),Yurisprudensi MA. NO perkara: 368 K/AG/1995, dan NO
perkara: 51 K/AG/1999.
9 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, :Uin Press,2010,h.32
b. Data Sekunder: Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, berupa buku-buku yang terkait dengan bahasan,
artikel yang terkait dengan tema penelitian.
3. Pengumpulan data
a. Wawancara Yaitu dialog10 yang dilakukan dengan semua hakim di
Pengadilan Agama Bekasi tentang kewarisan anak non muslim.
b. Dukumentasi yaitu: Data-data yang terkait dengan penelitian dalam
bentuk Perundang-undangan, Laporan, Putusan Hakim, Yurisprudensi
MA, Khi.
4. Analisis Data
Dalam penganalisisan data, menggunakan data deskriptif analisis11
yaitu teknik analisa untuk menjabarkan data yang diperoleh dari hasil
wawancara di lapangan, kemudian menganalisa dengan berpedoman pada
sumber data tertulis yang di dapat dari kepustakaan.
Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip
yang diatur dalam buku pedoman karya Ilmiah skripsi, Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Agar Penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan
skrifsi ini disusun dalam lima bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:
10 Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h.45
11Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, : Sinar Grafika, 2009, h.175.
BAB I Pendahuluan,Yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Hukum Kewarisan
A. Pengertian hukum tentang kewarisan
B. Pembagian Waris Muslim
C. Pembagian Waris Non Muslim
BAB III Profil Pengadilan Agama Bekasi
A. Profil Pengadilan Agama
B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama
C. Tugas dan Kewenamgan Pengadilan Agama
BAB IV Pandangan Hakim Pengadilan Agama
A. Pandangan Hakim Terhadap Yurisprudensi MA
B. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam
Memutus Perkara Kewarisan Anak Non Muslim
C. Faktor-faktor Hakim Pengadilan Agama Bekasi Dalam
Memutus Perkara Kewarisan Anak non muslim
D. Analisis Penulis
BAB V Penutup
A. Kesimpulan
A. Pengertian Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang
telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini
disebut dengan berbagai nama12. Dalam literatur hukum islam ditemui istilah
untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam: Faraid, Fikih Mawaris dan Hukum
al- waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah
yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang lazim dipakai adalah
faraid. Kata ini digunakan oleh an-nawawi dalam kitab fikih Minhaj al- Thalibin.
Oleh al- Mahalliy dalam komentarnya atas matan Minhaj, disebutkan alasan
penggunaan kata tersebut:
“Lafazh Faraid merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafazh
faridhah yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan
muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di
dalam ketentuan kewarisan Islam terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid”.13
Dengan demikian penyebutan Faraid didasarkan pada bagian yang
diterima oleh ahli waris.
Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi
objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup.
12
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam “ Jakarta: Raja Grafindo Persada 2013, h. 12.
13
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:, Prenada 2004 h.5.
Sebab, kata mawaris merupakan bentuk plural dari kata miwrats yang berarti
mauruts, harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata yang diperlukan
dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu,
karena kata warist artinya adalah orang pewaris.14
Dalam literature hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama
yang keseluruhannya mengambil dari bahasa arab, yaitu: waris, warisan, pusaka
dan hukum kewarisan,Yang menggunakan nama hukum “waris”, memandang
kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek
dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan memandang kepada
harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Untuk maksud terakhir ini ada
yang member nama dengan “Pusaka” yaitu nama lain dari harta yang dijadikan
objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan , dengan
mengambil kata asal “waris” dengan tambahan awal “ke” dan akhiran “an”. Kata
waris itu sendiri dapat berarti oleh pewaris sebagai subjek dan dapat berarti pula
proses. Dalam arti pertama mengandung makna “hal ihwal peralihan harta dari
yang mati kepada yang masih hidup”. Arti yang terakhir ini yang digunakan
dalam istilah hukum.15
Penggunaan kata”hukum” diawalnya mengandung arti seperangkat aturan
yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung arti” dasar
yang menjadi rujukan”. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum
Kewarisan Islam itu dapat di artikan dengan: “Seperangkat peraturan tertulis
14
Amir Syarifuddin” Hukum Kewarisan Islam” h. 8
15
Hasby ash- Shiddieqy” Fiqhul Mawaris” Jakarta: Bulan Bintang 1967. H. 43
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau
berujud harta dari yang mati kepada yang hidup, yang diakui dan diyakini berlaku
dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.16
1. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum
agama ( Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-qur’an dan
sunnah Nabi.17 Ayat-ayat al- qur’an dan sunnah Nabi yang secara
langsung mengatur kewarisan itu adalah sebagai berikut:
a. Ayat-ayat Al-qur’an:
QS.An-nisa (4) : 7
)
ﺎﺴﻨﻟا
/ء
٤
/
٧
(
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,baik sedikit atau banyak menurut bagian yang ditetapkan.”( QS.An-nisa(4) : 7)
QS.An-nisa (4) : 8
ا
ﺎﺴﻨﻟا)
/ء
٤
/
٨
(
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada perkataan yang baik.”( QS.An-nisa(4): 8)
16
KH Asyhari Abta dan Drs Djunaidi Abd Syakur” Ilmu Waris Al-faraid: Jakarta, Pustaka Hikmah Perdana 2005 h.7
17
Sayuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 69
QS.An-nisa (4) : 9
)
ا
ﺎﺴﻨﻟ
/ء
٤
/
٩
(
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”( QS.An-nisa(4) : 9)
B. Pembagian Waris Muslim
1. Menurut Fuqaha
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli
warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan
dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang
ditinggalkan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam
arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta
warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak
diterima oleh ahli warisnya.18
Kalau diperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum
kewarisan, terlihat bahwa untuk harta warisan Allah SWT. Menggunakan
kata” apa-apa yang ditinggalkan” oleh si meninggal. Kata-kata seperti ini
didapat 11 kali disebutkan dalam hubungan kewarisan, yaitu dua kali
dalam surah al-Nisa” ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam
ayat 12, satu kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176.
Setiap kata-kata “ ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut di atas
didahului oleh kata “ apa-apa”. Dalam Bahasa Arab kata “maa” itu
disebut al-mawshul yang hubungannya dengan maknanya mengandung
pengertian ini kata “ apa-apa yang ditinggalkan” itu adalah umum.
Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir ayat 7 surah al-Nisa”
yang terjemahannya ialah”….. baik apa yang ditinggalkan itu sedikit atau
banyak….”.19
Bahwa tidak keseluruhan dari “ apa-apa yang ditinggalkan”
pewaris itu menjadi hak ahli waris dapat dipahami dari kaitannya
pelaksanaan pembagian warisan itu kepada beberapa tindakan yang
mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal yaitu
membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan
segala utang yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan
Allah dalam ayat 11 sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga
kali.20
Bila diperhatikan bahwa utang si pewaris adalah hak penuh dari
orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi
yang diberi wasiat, sedangkan keduanya itu merupakan persyaratan untuk
dilaksanakannya pembagian warisan, maka tindakan pertama terhadap
harta peninggalan pewaris itu memurnikan untuk membebaskannya dari
keterkaitannya kepada hak orang lain didalamnya.21
19
Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang 1996, h. 12.
20
Moh Muhibbun dan Abdul Wahid” Hukum Waris Islam” jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 23.
21
Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an”Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995, h. 30.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah
apa yang ditinggalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak
orang lain didalamnya. Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti
ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafi.
Ulama Fikih lainnya mengemukakan rumusan yang berbeda
dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala
apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk
harta atau hak-hak.22
Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain
Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut
mereka tidak berbeda antara harta warisan dengan harta peninggalan.23
Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaannya selanjutnya,
bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus
dikeluarkan dulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah dalam
ayat 11 dan 12 surah al-Nisa”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa
kedua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan,
sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja.24
Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang
menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain. Di antara
usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan utang
pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu
22
Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang, h. 14.
23
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-azhar “ Hukum Waris “ Jakarta: Senayan Abadi Publising 2004, h. 30.
24
Sajuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008,h. 92.
dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di dalamnya
terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta
peninggalan orang yang meninggal, diantaranya ongkos penyelenggaraan
jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang
membawa kepada kematian.25
Pewaris adalah suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak
milik dari pewaris kepada ahli waris. Peralihan hak milik hanya dapat
berlaku menurut harta itu dimiliki bendanya dan miliknya pula jasa atau
mamfaatnya.26
Bila seseorang hanya memiliki mamfaat dari harta yang ada
ditangannya dan tidak memiliki benda atau zat harta itu maka harus itu
tidak dinamakan hak milik pribadinya. Dalam hal ini barang yang
disewa, barang yang dipinjam,barang titipan dan lain-lain yang bendanya
masih merupakan hak milik asal, bukan milik penuh dari yang menyewa,
atau yang meminjam atau yang menerima titipan. Termasuk ke dalam hal
ini harta pusaka yang terdapat di lingkungan adat Minangkabau.Harta
pusaka dalam pengertian adat Minangkabau adalah harta kaum yang
digarap oleh anggota kaum sebagai hak pakai dan bukan hak milik.
Sebagai bukti bukan hak milik dari anggota kaum yang menggarap ialah
si penggarap tidak dapat menjual harta yang ada ditangannya itu. Si
penggarap hanya berhak memamfaatkan hasil dari tanah pusaka yang
25
Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basriutama 2001, h. 42.
26
Sayuti Thalib, “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008, h. 92.
digarapnya tetapi tidak berwenang untuk mengalihkan kepada orang lain,
termasuk diwariskan kepada anaknya.27
Begitu pula sebaliknya, bila seseorang hanya memiliki zat atau
bendanya saja dan tidak memiliki mamfaatnya seperti harta yang masih
dalam konrak sewa atau menjadi jaminan suatu utang. Harta itu baru
dapat menjadi harta miliknya secara penuh untuk dapat diwariskan bila
telah berakhir kontrak atas mamfaat harta tersebut.Bila harta tersebut
bukan hak milik secara penuh bagi seseorang, maka harta itu tidak
memenuhi syarat untuk menjadi harta warisan.28
Harta yang tercampur di dalamnya hak orang lain, baik sedikit
atau banyak, menjadikan harta itu tidak sepenuhnya menjadi milik
seseorang.Harta itu belum semuanya dapat dikatakan harta warisan
sebelum dibesihkan dari campuran hak orang lain itu. Dalam hal ini
hukum Islam menentukan milik pribadi supaya jangan sampai seseorang
muslim memakan hak orang lain secara tidak sah, sesuai dengan firman
Allah dalam Q.S.al-Baqarah (2): 188 yang artinya:”Janganlah kamu
memakan harta diantaramu secara tidak sah”.
Ahli waris terdiri dari 5 (lima) pihak, yaitu janda, ibu, bapak,
anak laki-laki, dan ana perempuan. Keberdaan salah satu pihak tidak
menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima waris.Dengan kata lain,
27
Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 24.
28
Otje Salaman dan Mustafa haffas, Hukum Waris Islam, Jakarta,: Refika Aditama 2006 ,h.50.
mereka secara bersama akan menerima waris dengan bagian yang telah
ditentukan.29
Janda. ibu, dan anak perempuan menerima waris dengan bagian
yang pasti, anak laki-laki menerima waris waris dengan bagian yang
tidak pasti (sisa) dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti
dan atau tidak pasti (sisa).Oleh sebab itu, jika ada anak laki-laki dan
bapak maka dapat dipastikan bahwa tirkah akan habis dibagi di antara
para ahli-waris utama dan para ahli-waris pengganti tidak akan menerima
bagian sedikit pun (melalui cara waris).
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang jumlah ahli waris yang
termasuk dalam dzawil al-arham. Di antara para ulama fikih, ada yang
berpendapat bahwa jumlah mereka ada empat. Sementara itu, ada juga
yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada sepuluh atau sebelas orang.
Namun, secara umum mereka termasuk dalam dhawi al- arham.30
Para Ulama berbeda pendapat tentang warisan dhawi al- arham,
karena tidak ada nash qath’i, yang memberikan kepastian, apakah mereka
dapat mewarisi atau tidak.Secara umum, ada dua mazhab atau pendapat
mengenai hal tersebut. Berikut ini kedua mazhab yang dimaksud.
Menurut mazhab ini, dhawi al-arham tidak dapat memperoleh
warisan sedikitpun.Ada pun ulama termasuk dalam mazhab ini, yang
mengungkapkan hal yang sama, adalah Zaid bin Tsabit,Ibnu Abbas, Said
29
Eman Suparman” Hukum Waris Indonesia” Jakarta: Refika Aditama 2005, h. 20.
30
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta, .Senayan Abadi Publising 2000.h. 342.
bin Musayyab, dan Said bin Jubair. Pendapat ini juga dipegang oleh
ulama Malikiyyah, Syafiiyyah31.Mereka mendasarkan pendapatnya pada
dalil dan argumentasi sebagai berikut ini.
a. ‘Atha’ bin Yasir meriwayatkan bahwa pada suatu hari,Rasulullah
saw. Menunggang kuda ke Quba. Beliau memohon petunjuk kepada
Allah tentang paman dan bibi dari pihak bapak dan ibu. Lalu
menurunkan wahyu yang menyatakan bagi mereka berdua tidak bisa
mendapatkan warisan.
b. Persoalan waris-waris tidak boleh ditetapkan oleh seseoran, kecuali
ada nash atau ijma’ulama mengenai warisan dhawi al-arham.Allah
swt. Telah menjelaskan dalam ayat-ayat waris tentang siapa saja
yang termasuk dalam ash-hubul firudh dan ashabah. Apabila dhawil
al –arham mendapatkan bagian, tentu nash yang menerangkan hal
tersebut.
c. Persoalan ini dapat juga dilihat dengan qiyas al-jaly, yakni anak
perempuan saudara kandung, yang ada bersama anak laki-laki
saudara kandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak
laki-laki dari saudara kandung yang mendapatkan warisan. Apabila
anak perempuan dari saudara kandung itu tidak bisa
mewarisi-walaupun anak laki-laki yang sederajat dan sama kuat
dengannya-bibi dari pihak bapak, yang ada bersama paman dari pihak bapak,
31
Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an” Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995,h.92.
juga tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya
seorang diri,tidak bersama paman.
Mazhab kedua, menurut mazhab ini, dhawil al-arham dapat
mewarisi jika tidak ada ash- habul fufudh dan ashabah.32
Adapun para ulama yang termasuk dalam mazhab ini adalah
Umar ibnul Khattab r.a, Abdullah ibnu Abbas r.a, Mu’adz bin Jabal
generasi sesudah sahabat, juga mengatakan hal yang sama. Mereka dari
kalangan tabiin itu antara lain: Syuraih, Ibnu Sirin,” Atha, Mujahid,
Alqamah,an- Naksa”i dan Hasan.33
Mazhab kedua ini juga didukung oleh kalangan Hanafiyah,
Hanabilah, Zaidiyah,Ibnu Abi Laila, dan Ishaq bin Rahawaih.Pendapat
ini juga di pegang oleh al-Mazani dan Ibnu Suraij berikutnya juga
mengatakan hal ini pada permulaan abad ke-3 H, dan ulama Fikih
Syafi’iyyah pun mengatakannya pada akhir abad ke-4 H, ketika
kerusakan sudah mengakar di baitulmal
Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam
mazhab ini adalah sebagai berikut.
a. Firman Allah swt,,” dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab
Allah…”(Al-ahzab(33) : 6). Ayat ini menjadi dalil bahwa Allah swt,
memberikan keutamaan untuk mewarisi bagi dhawil al-arham.
32
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar” Hukum Waris” Jakarta: Senayan Abadi Publishing 2004,h. 50.
33
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy: Fiqh Mawaris,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Mereka adalah kerabat secara umum. Sedangkan orang yang paling
dekat hubungannya adalah ash-habul furudh dan “ashabah, dimana
bagian untuk mereka masing-masing telah dijelaskan dan ditetapkan
oleh nash.Jika salah satu dari kerabat terdeka itu tidak ada, kerabat
yang diutamakan adalah kerabat yang masih mempunyai hubungan
rahim, sekali pun nasabnya. Sebab, berdasarkan ayat di atas, mereka
masih dipandang sebagai kerabat yang berhak mendapatkan warisan,
jika tidak ada ahli waris lain.
b. Firman Allah swt…..”bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”
(an-Nisa:7)
c. .Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah kerabat yang berhak
mendapatkan warisan berdasarkan lafal umum ayat di atas, sekalipun
mereka bukan ash-habul furudh dan ashabah.
d. Para ulama dalam mazhab ini juga berargumentasi dengan hadist
Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Miqdam bin Ma’dikarib.
Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan harta,
maka hartanya itu untuk ahli warisnya. Aku bisa mengikat dan
mewarisi. Paman dari pihak ibu adalah ahli waris orang yang tidak
mempunyai ahli waris. Dia bisa mengikat dan mewarisi.
Abu Umamah Ibnu Sahl meriwayatkan bahwa ada seorang
tidak mempunyai ahli waris ataupun paman dari pihak ibu. Oleh
karna itu, Abu Ubaidillah bin Jarrah menulis surat kepada Umar r.a.
Dalam surat yag tidak balasan itu Umer menuliskan bahwa Nabi saw
,”pernah bersabda,”Allah dan Rasul-Nya adalah ahli waris bagi
mereka yang tidak mempunyai ahli waris,”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
saw.menjanjikan warisan anak al-mula’anah (anak durhaka) untuk
ahli waris ibunya.Mereka itulah yang termasuk dhawil al-arham.
Rasulullah saw, juga pernah memberikan warisan tsabit bin Dahdah
untuk anak saudara perempuan nya yang bernama Abu Lubabah bin
Mundhir. Diriwayatkan bahwa ketika Tsabit bin Dahdah wafat, Nabi
saw.bersabda,”Apakah kalian mengetahui bahwa dia mempunyai
hubungan nasab atau kerabat?” Qais bin “Ashim bin “ Ady
berkata,”Dia adalah orang asing dan kami tidak mengenal
kerabatnya yang lain, kecuali anak saudara perempuannya yang
bernama Abu Lubadah bin Munzhir.”Rasulullah saw, lalu
memanggil Abu Labadah bin Munzhir dan membetikan kepadanya
harta warisan dan betermasuk kerabat”.bersabda,”Anak saudara
perempuan termasuk kerabat”.
e. Para ulama yang termasuk dalam mazhab kedua ini berdalih dengan
logika: Apabila dhawil al-arham tidak mewarisi dar kerabat mereka
yang tidak mempunyai ahli waris ash-habul furudh dan ashabah,
muslimin Dalam persoalan ini, kita mendapati keduanya - baitulmal
dan kerabat dekat- mempunyai ikatan yang sama, yaitu yang ikatan
agama.Sementara itu, selain ikatan agama, dhawi al-arham juga
mempunyai ikatan lain, yakni hubungan kekerabatan yang harus
didahulukan. Oleh karna itu, harta waris diberikan kepada dhawil
al–arham, jika tidak ada ahli waris yang lebih utama dari mereka.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Faraid dan Kompilasi Hukum
Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak
diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di
peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai
pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian Kompilasi
Hukum Islam bidang kewarisan telah menjadi buku hukum lembaga
peradilan agama34. Kalau dulu hukum kewarisan itu berada dalam
kitab-kitab fiqih yang tersusun dalam bentuk buku ajaran, maka saat ini,
kompilasi tersebut telah tertuang dalam format
perundangan-undangan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan
Agama dalam merujuknya.35
Apakah dengan demikian hukum kewarisan dari fikih mawaris
atau faraid telah digantikan oleh Kompilasi Hukum Islam? Suatu hal
34
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada2013, h. 102.
35
Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.
yang dapat dipastikan ialah bahwa hukum kewarisan islam selama ini
yang bernama fikih mawaris atau faraid itu dijadikan salah satu bahkan
sumber utama dari Kompilasi. Sumber lainnya adalah hukum
perundang-undangan tentang kewarisan yang terdapat pada BW yang sampai waktu
itu masih berlaku, dan kenyataan yang berlaku di tengah masyarakat
yang tertuang dalam Yurisprudensi Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23
pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan
antara fikih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam
tersebut dapat dilihat dalam gambaran berikut:
Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a). menjelaskan
tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab
fikih dengan rumusan yang berbeda. Anak Pasal b). membicarakan
tentang pewaris dengan syarat beragama Islam dan anak pasal c).
membicarakan tentang ahli waris yang di samping mensyaratkan adanya
hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam36.
Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Anak pasal d dan e. Juga tidak berbeda dengan
fikih.Anak angkat dan baitul mall telah disinggung sebelum ini. Dengan
demikian keseluruhan pasal ini sejalan dengan fikih.
36 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, : Akademik Pressindo 2010, h.155.
Pasal 172 yang membicarakan identitas ke-Islam-an seseorang
hanya hal yang bersifat administratif, walaupun tidak disinggung dalam
fikih, dengan rumusan:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap37, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 ( lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dinyatakannya pembunuhan sebagai penghalang kewarisan
dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fikih. Namun dijadikannya
percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai
halangan, jelas tidak sejalan dengan fikih mazhab mana pun. Dalam fikih
hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan
penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang
tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada
perbedaan pendapat dikalangan ulama.38 Fikih beranggapan bahwa
kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-qur’an dan
tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti Hadist Nabi.
dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau
penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan
37
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010.h. 156.
38
Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basritama 2001, h. 90.
namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris
sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini
masih perlu diperkatakan.39
Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau
perkawinan, telah sejalan dengan fikih faraid sebagaimana diuraikan
dalam Bab IV.40
Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum
dibagikan harta tersebut kepada ahli waris terhadap harta tersebut kepada
ahli waris telah sejalan dengan fikih mawaris, sebagaimana diuraikan
dalam Bab IV.
Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam
keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan
rumusannya dalam fikih faraid.
Pasal 177 tentang bagian ayah dirumuskan sebagai berikut:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ia meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan
tetapi tidak mengubah secara substansial. Bahwa ayah menerima
seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah
sesuai dengan dengan al- Qur’an, maupun rumusannya dalam fikih. tetapi
menetapkan ayah menerima bagian (baca furudh) sepertiga dalam
keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam al- Qur’an, tidak tersebut
39
Habiburrahman” Rekonruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI, h. 85.
40
Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” h.151.
dalam kitab fikih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat
sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu dalam kasus tertentu seperti
bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga
harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlu
Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan
dalam kompilasi. Kalau al-Qur’an dan fikih yang dijadikan ukuran, pasal
ini jelas salah secara substansial.
Pasal 178 tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan
pasal 179-180 tentang tentang bagian duda dan janda dalam dua
kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusannya dalam
fikih, sebagaimana dijelaskan sebelum ini.41
Pasal 181 tentang bagian seibu dan pasal 182 tentang bagian
saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan
dengan al- Qur’an dan rumusannya dalam fikih sebagaimana diuraikan di
atas.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilkan
pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan
bersama, memang dalam dalam kitab-kitab fikih pada umumnya tidak
dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal
menyalahi ketentuan fikih, namun dapat diterima dengan menggunakan
pendekatan takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.
41
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta Akademika Persindo 2010, h.158
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum
dewasa untuk mengurus hak warisannya. Meskipun tidak dinyatakan
dalam kitab-kitab fikih faraid, namun karena telah sejalan dengan
kehendak al-Qur’an surah al-Nisa ayat’5, pasal ini dapat diterima:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut pada pasal 173.
b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal ini memerlukan perhatian:
Anak pasal 1) secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang
merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di
Timur Tengah- pun belum ada Negara yang mengakukan hal seperti itu,
sehingga mereka perlu merampungkannya dalam lembaga wasiat
wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini
menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif.
Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan
menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun
dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan
adanya ahli waris pengganti. (penjelasan tentang ini telah diuraikan
sebelumnya pada IV-C).42
42
Anak pasal secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui
anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal
lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan
mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan sifat
diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlu Sunnah.
Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan
menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan Adat
Minangkabau yang justru menggunakan nama” cucu"untuk anak dari
anak perempuan tersebut.
Anak pasal 2) menghilangkan kejanggalan penerima adanya ahl
waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system Barat
yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak
perempuan.
Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah
sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fikih yang menempatkan hanya
menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu,
sebagaimana diuraikan sebelumnya (IV-C)Pasal 187 tentang pelaksana
pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan
untuk pembagian harta warisan dan pasal 189 berkenaan dengan pewaris
tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fikih, namun karena hal-hal
ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai dengan prinsip
Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono-gini secara tidak
menyangkut hak kewarisan dan kewarisan dan dalam kedudukan
sebagian yang menjadi pewaris, tidak menyalahi ketentuan fikih dan
diuraikan terdahulu.(IV-d).
Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris
atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fikih faraid.
Tentang ahli waris yang tidak memiliki keturunan telah diuraikan
sebelumnya pada masalah sisa harta (III-d), sedangkan ahli waris yang
tidak diketahui keberadaannya dijelaskan fikih pada kewarisan mafqud
yang telah disebutkan sebelum ini.(IV-d).
Pasal 192 tentang penyelesaian secara” aul dan pasal 193 tentang
penyelesaian secara radd secara panjang lebar dibicarakan dalam fikih
dan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini. (III-d dan IV-d).
Dari uraian pasal demi pasal yang berkenaan dengan ketentuan
kewarisan dapat dikatakan bahwa pada umumnya pasal-pasal kewarisan
dari Kompilasi Hukum Islam, kecuali beberapa hal krusial seperti
dijelaskan di atas, meskipun mungkin di sana-sini ada perbedaan dengan
kitab fikih, dapat ditempatkan sebagai Hukum Kewarisan Islam dalam
bentuknya yang baru. Sedangkan beberapa poin krusial tetap
dikembangkan dalam wacana.
Adapun pasal-pasal berikutnya yaitu 194 sampai dengan pasal
209 tentang wasiat dan pasal-pasal 210 sampai dengan 214 tentang hibah,
dianggap menumpang dalam buku II tentang kewarisan, karena adanya
titik kesamaan yaitu peralihan hak milik dari seseorang kepada orang
lain.
C. Pembagian Waris Non Muslim
1. Menurut Fuqaha
Para ahli fiqih telah sepakat bahwasanya, berlainan agama antara
orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang mewarisi.
Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi
antara satu agama dengan syari’at yang berbeda.43
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk
mewarisi dalam hukum waris. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa
mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi
harta orang kafir,44 sebagaimaa sabda Nabi saw, berrbunyi.
ا ﻲﺿ ر ل ﺎﻗ ﮫﻨﻋ ہ ا ﻲﺿ ر ﺪٮز ﻦﺑ ﮫﻣ ﺎﺳ ا ﻦﻋ
ثﺮﯾ ﻻ و ﮫﯿﻠﻋ ہ ا ﻲﻠﺻ ہ
ﻢﻠﺴﻤﻟ ا
ﺮﻓﺎﻛا
ﻢﻠﺴﻤﻟا ﺮﻓﺎﻛ ا ﻻ و
Artinya: “ Dari Usamah Ibnu Zaid ra, ia berkata,Rasulullah Saw bersabda”Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan
orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” ( HR
Jamaah, kecuali An-Nasai”).
Hukum ini merupakan ketetapan kebanyakan ahli fiqih sebagai
pengamalan dari keutamaan hadist di atas. Bila seseorang meninggalkan
anak laki-laki yang kafir dan paman yang muslim, niscaya harta
43
Habiburrahman” Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia:
Jakarta:Kemenrian Agama RI 2011,H. 190.
44
[image:45.595.114.515.144.627.2]Moh Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam”Jakarta: Sinar Grafika 2011,h. 78.
peninggalan si mayit semuanya diberikan untuk paman, sehingga anak
laki-laki yang kafir tidak mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya.
Contoh lain adalah bila seorang istri kitabiyah (ahli kitab) dan seorang
anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk
anak laki-laki, semua harta yang ditinggalkan si mayit diberikan untuk
anak laki-lakiyang muslim dan paman yang kafir, dan anak laki-laki si
mayit tidak mendapatkan apa-apa dari harta peninggalan ayahnya karena
berlainan agama, antara anak dan orang tua.45
Namun, sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa orang Islam dapat
mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan tidak sebaliknya.
Berdasarkan pertimbangan itu, jika seorang istri kitabiyah mati
meninggalkan suami muslim, niscaya suami tersebut dapat mewarisi
harta peninggalan istrinya, tapi suami tersebut dapat mewarisi harta
peninggalan istrinya, tapi tidak sebaliknya46. Beberapa alasan yang
dijadikan argumen dalam masalah ini adalah hal-hal berikut.
a. Berdasarkan hadist Nabi saw, ” Islam itu terus bertambah dan tidak
berkurang.”
b. Dalam melihat hadist ini, mereka seolah-olah berpendapat bahwa
hak mewarisi seorang muslim dari orang kafir merupakan suatu
tambahan, sedangkan tidak adanya hak mewarisi bagi muslim
terhadap harta orang kafir merupakan suatu kekurangan. Mereka
45 Komite Fakultas Syari’ah Unuversitas Al- Azhar, mesir, Jakarta, : Senayan Abadi Publishing, h. 47.
46
Chuzaimah T.Yanggo dan H.A. Hafiz Anshary AZ.MA” Problem Hukum Islam Kontemporer” Jakarta: Pustaka Firdaus 2008,h. 39.
juga berargumen dengan hadits “Islam itu tinggi, dan ketinggiannya
tidak dapat diungguli.” Dengan hadits ini, mereka berpendapat
bahwa termasuk dari makna ketinggian adalah seorang muslim dapat
mewarisi harta peninggalan orang kafir, tapi orang kafir tidak dapat
mewarisi harta seorang muslim.
c. Mereka juga berdalih dengan menganalogikan nikah dan
memperoleh harta harta rampasan perang, yakni ini sebagian orang
muslim dapat mewarisi harta orang kafir, sebagai mana kita bisa
menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa menikahi
wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan dari
perang yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah pendapat
kebanyakan ulama dibantah dan dijawab ulama mengatakan bahwa
seorang muslim dan kafir secara mutlak tidak dapat saling mewarisi,
karena kuat dan kelugasan dalil yang disampaikan oleh mereka.
Dalil-dalil yang menyimpang dari pendapat kebanyakan ulama
dibantah dan dijawab Islam bertambah dengan penaklukan beberapa
negeri dan ia tidak berkurang dengan kemurtadan orang-orang muslim,
sebenarnya orang yang murtat hanyalah minoritas, sedangkan yang
masuk kedalam agama Islam merupakan mayoritas.
Pada hadist kedua, maksud dari ketinggian Islam, sesuai dengan
hujjah atau sesuai dengan penaklukan, yakni pada akhiran kemenangan
Sedangkan dalil analogi (qiyas) yang dikemukakan oleh mereka
yang menentang pendapat kebanyakan ulama harus ditolak, karena
seorang hamba dapat menikah seorang hurrah “perempuan yang
merdeka” dan hamba tidak dapat mewarisi harta peninggalan hurrah.
Demikian pula seorang muslim dapat memperoleh harta rampasan
perang orang kafir harbiy.
Dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan kafir
harby. Sebab, nikah dilakukan berdasarkan keinginan untuk terus
meneruskan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis, sedangkan
waris-mewarisi berdasarkan atas muwalah(memperkuat ikatan perwalian)
dan munashara ( saling tolong-menolong). Keduanya ( antara nikah dan
waris-mewarisi ) berbeda illat-nya , sehingga analoginya tentu menjadi
tidak tepat.47
Orang-orang kafir yang berlainan Agama atau kepercayaan
Para ahli fiqih bersepakat bahwasanya orang-orang kafir dapat
saling mewarisi satu sama lain ketika mereka berada pada satu
kepercayaan, misalnya mereka sama-sama beragama Nasrani, Hal ini
berdasarkan sabda Nabi saw., Secara implisit, hadist ini memiliki arti
bahwa orang-orang kafir dapat saling mewarisi atau satu sama lain.
Demikian pula hadist Nabi yang artinya.
ہ ا ﻲﻠﺻ ہ ل ﻮﺳ ر ل ﺎﻗ ﮫﻨﻋ ہ ا ﻲﺿ ر وﺮﺴﻋ ﻦﺑ ہ ا ﺪﺒﻋ ﻦﻋ
ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ
ﻲﺘﺳ ﻦﯿﺘﻠﻣ ﻞھ ا ث ر ا ﻮﺘﯾ ﻻ
18
“ Dari Abdullah bin Amr ra, dia berkata, Rasulullah Saw, bersabda:Tidlak dapat
saling mewarisi dua orang pengikut agama yang berbeda-beda.”( HR
Ahmad,Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hadist tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa pemeluk satu
kepercayaan dapat mewarisi satu sama lainnya. Para ulama berselisih
pendapat dalam hal waris-mewarisi antar sesama nonmuslim manakala
terjadi ketidaksamaan agama (Kepercayaan) mereka, seperti Yahudi
dengan Nasrani atau Majusi. Perselisihan ini bermuara pada perbedaan
mereka dalam memandang. Apakah agama-agama atau
kepercayaan-kepercayaan tersebut dianggap sebagai satu agama atau beberapa agama
yang terdiri masing-masing.Dalam masalah ini timbul tiga pendapat,
yakni sebagai berikut.48
Pertama, pendapat kebanyakan ulama ( jumhur ulama’) seluruh
agama atau kepercayaan selain Islam itu dianggap satu. Dengan
pendapat ini, maka orang-orang kafir satu sama lain dapat saling
mewarisi, baik satu agama maupun tidak karena seluruh agama selain
Islam pada dasarnya dalam kesesatan, dan agama-agama tersebut
bagaikan satu agama. Allah swt berfirman,
)
/ﺲﻧﻮﯾ ۱۰ / ۳۲ (“…. Tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan…(Yunus
(10): 32)
48
M. Ali Hasan” Hukum Waris Dalam Islam”, Jakarta,PT Bulan Bintang 1996 h.31
Hal ini dikarenakan soal warisan ant