• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI

DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

(Kasus : Petani Binaan

Nestle Cocoa Plan

di Kecamatan

Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

SITI NURJANAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

SITI NURJANAH. Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat). Dibimbing oleh BAYU KRISNAMURTHI

Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Akan tetapi, kualitas biji kakao Indonesia lebih rendah dibanding produsen kakao lain dikarenakan biji kakao Indonesia tidak difermentasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi atas dukungan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, menganalisis perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. Metode yang digunakan adalah analisis regresi logistik biner dan analisis pendapatan pascapanen. Pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar daripada tanpa fermentasi. Selisih pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 1 656 per kilogram. Faktor yang signifikan memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi adalah perbedaan harga, akses informasi teknik fermentasi, dan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa

Kata kunci : Kakao, fermentasi, regresi logistik biner, pendapatan pascapanen

ABSTRACT

SITI NURJANAH. Fermented Cocoa Beans Production dan The Affecting Factors (Case : Nestle Cocoa Plan Farmer’s at Kalukku Sub District, Mamuju District, West Sulawesi). Supervised by BAYU KRISNAMURTHI

Indonesia is one of the world's largest cocoa producer. However, Indonesian cocoa beans have lower quality than cocoa beans from other country because Indonesia they are not fermented. The objectives of this research were to describe how the production of fermented cocoa beans supported by Nestle Cocoa Plan Program at Kalukku Sub District, Mamuju District, West Sulawesi, to compare farmer’s income by doing postharvest of cocoa beans with and without fermentation, and to identify the determinants that influence farmers decision to produce fermented cocoa beans. This research used binary logistic regression and postharvest income analysis to answer research objectives. The income over total cost of postharvest cocoa bean with fermentation is greater than without fermentation. The difference of postharvest income with and without applied fermentation was Rp 1 656.38 per kilograms. The factors that significantly influence decision of farmers to produce fermented cocoa beans is price difference, information access to fermentation technique, and the distance of farmer with BT Cocoa purchasing unit.

(4)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

PRODUKSI BIJI KAKAO TERFERMENTASI

DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

(Kasus : Petani Binaan

Nestle Cocoa Plan

di Kecamatan Kalukku

Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(5)

Judul Skripsi :Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor – Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat)

Nama : Siti Nurjanah NIM : H34100068

Disetujui oleh

Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah bidang ekonomi pertanian dengan judul Produksi Biji Kakao Terfermentasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya (Kasus : Petani Binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, arahan, serta bantuan dalam penyelesaian dan penyempurnan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, Msi selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Yolynda A, SP. MM selaku dosen penguji akademik atas koreksi, saran dan diskusinya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kelompok kerja kakao PISAgro yang telah memberikan dukungan demi terlaksananya penelitian ini, Bapak Sindra Widjaya (Direktur Eksekutif PT BT Cocoa), Bapak Wisman Djaja (Direktur Sustainability PT Nestle Indonesia), Bapak Yohannes Ong Kang (Manajer BT Source), serta Bapak Haerul Nangngareng W (Manajer program regional Swisscontact). Terima kasih penulis hanturkan pula kepada keluarga besar unit pembelian kakao PT BT Cocoa Mamuju, penyuluh lapang swisscontact serta seluruh petani reponden di Kecamatan Kalukku atas respon positif dan bantuannya terhadap penelitian ini.

Terima kasih penulis hanturkan kepada Ayah Marsikin (Alm), Ibu Oneng Wiganingsih, kakak, dan kedua adik serta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa, dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman satu bimbingan Reza Primadita dan Hadiyansyah Anwar atas kebersamaan, semangat dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar kosan White House serta sahabat-sahabat agribisnis angkatan 47 yang telah memberikan doa, masukan, dukungan dan semangatnya dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao 7

Fermentasi Biji Kakao 9

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao

Terfermentasi 12

KERANGKA PEMIKIRAN 15

Kerangka Pemikiran Teoritis 15

Kerangka Pemikiran Operasional 22

METODE PENELITIAN 25

Tempat dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Pengambilan Sampel 26

Metode Analisis Data 26

Definisi Operasional 33

GAMBARAN UMUM 34

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 34

Gambaran Umum Kemitraan PISAgro 37

Gambaran umum Nestle Cocoa Plan 38

Karakteristik Petani Responden 39

Gambaran Umum Kegiatan Pascapanen Biji Kakao di Kecamatan Kalukku 42

HASIL DAN PEMBAHASAN 48

Produksi Biji Kakao Terfermentasi di Kecamatan Kalukku 48 Analisis Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi

Fermentasi 49

Penerimaan Usahatani Kakao dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 50 Biaya Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi 51 Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi

58 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi

Biji Kakao Terfermentasi 59

Interpretasi dan Pembahasan Koefisien Variabel 62

SIMPULAN DAN SARAN 69

Simpulan 69

Saran 69

(8)

LAMPIRAN 74

RIWAYAT HIDUP 92

DAFTAR TABEL

1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012

(000US$) 1

2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 7 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008 7

4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao 8

5 Luas areal, produksi dan produktivitas kakao di Kabupaten Mamuju menurut

kecamatan tahun 2012. 25

6 Karakteristik responden berdasarkan usia 39

7 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan 40 8 Karakteristik responden berdasarkan lamanya pengalaman berusahatani kakao

40

9 Karakteristik responden berdasarkan luas kebun 41 10 Karakteristik responden berdasarkan jumlah tanaman menghasilkan 41 11 Karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga 42 12 Sebaran responden berdasarkan perlakuan panen 43 13 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian pemeraman buah 44 14 Sebaran responden berdasarkan pengaplikasian sortasi biji kakao basah 45 15 Penerimaan petani dari kegiatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa

fermentasi perhektar perpanen 51

16 Biaya pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar

perpanen 52

17 Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi

fermentasi perhektar perpanen 53

18 Pengunaan tenaga kerja pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi per hektar per panen pada musim panen puncak Mei 2014 55 19 Pendapatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi

perhektar perpanen 58

20 Hasil output Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test 61

21 Hasil output Nagelkerke R Square 61

22 Hasil pendugaan parameter terhadap variabel dependen 61 23 Hasil pendugaan model regresi logistik biner faktor-faktor yang memengaruhi

keputusan petani memroduksi kakao fermentasi 62

24 Sebaran responden berdasarkan jumlah biji kakao yang dihasilkan 63 25 Sebaran responden berdasarkan jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa

64

(9)

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012 2 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012 2

3 Tampilan tekstur biji kakao 10

4 Keterkaitan subsistem dalam sistem agribisnis 17

5 Kurva respons 19

6 Kerangka pemikiran operasional penelitian 24

7 Buah kakao yang telah masak ditandai oleh perubahan warna buah 43

8 Kegiatan pengupasan buah 45

9 Kegiatan fermentasi biji kakao 46

10 Metode penjemuran biji kakao 47

11 Volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa periode April

2013- April 2014 48

12 Rekapitulasi volume pembelian biji kakao di unit pembelian PT BT Cocoa

periode April 2013 – April 2014 49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakteristik pribadi petani fermentasi 74

2 Karakteristik pribadi petani non fermentasi 75 3 Pendapatan dan biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan

tanpa aplikasi fermentasi 76

4 Perincian biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) 77 5 Perincian biaya pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi Kecamatan

Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Mei 2014 (Rp) 78 6 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao

terfermentasi 79

7 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao

terfermentasi 80

8 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao

terfermentasi 81

9 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak

terfermentasi 82

10 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak

terfermentasi 83

11 Perincian kebutuhan kerja dan biaya tenaga kerja pascapanen biji kakao tidak

terfermentasi 84

12 Data input untuk analisis regresi logistik 85

13 Output regresi logistik model dugaan 86

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Kakao memiliki peran strategis dalam ketersediaan lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Hal ini ditunjukan oleh luas areal perkebunan kakao Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2011 mencapai 1 732 641 ha. Sebesar 87,4% dari luas areal pekebunan kakao atau seluas 1 641 130 ha merupakan perkebunan rakyat. Sebanyak 1 701 958 kepala keluarga (KK) petani menggantungkan perekonomiannya dari komoditas kakao (Ditjenbun 2013). Kakao termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama perdagangan Indonesia selain tekstil, elektronik, karet dan produk karet, kelapa sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, dan kopi (Kementerian Perdagangan 2014). Tabel 1 menunjukan bahwa tahun 2012 kakao memberikan sumbangan devisa negara sebesar US$ 388 335.4 ribu, dengan volume ekspor sebesar 171 986.3 ton (BPS 2013).

Tabel 1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012 (000US$)

Negara Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Cina 35 612.6 17 034.3 42 886.1 25 093.9 13 999.0

Thailand 16 722.1 17 845.6 18 476.5 17 206.6 18 719.4

Singapura 102 534.1 139 342.6 151 485.7 98 497.8 92 884.3

Malaysia 470 203.2 451 885.0 551 439.1 411 374.1 228 653.2

Amerika Serikat 128 154.1 297 103.2 246 501.3 29 678.3 628.1

Kanada 27 140.4 12 787.9 10 070.0 15 912.2 0.0

India 1 341.3 4 541.8 10 752.2 14 032.0 17 036.9

Belanda 822.8 5 816.4 15 563.6 2 758.1 1 917.1

Jerman 1 498.3 20 717.2 35 197.3 1 084.1 1 136.2 Lainnya 719 965 121 152.4 109 095.1 1 453.5 13 360.8

Jumlah/total 856 025.4 1 088 136.4 1 191 466.9 617 090.6 388 335.4

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

(12)

Pengembangan komoditas kakao di Indonesia tidak lepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi dari subsistem hulu hingga hilir. Laporan evaluasi pelaksanaan gerakan nasional peningkatan produksi dan mutu kakao (GERNAS Kakao) periode 2009-2010 menjelaskan bahwa usahatani kakao di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan. Hal ini terindikasi dari fluktuasi dan stagnasi produksi serta ekspor kakao dari tahun ke tahun. Berikut grafik produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008-2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2013.

Gambar 1 Produksi dan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2008 – 2012 Permasalahan pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu produktivitas tanaman kakao Indonesia masih di bawah potensi normal dan cenderung mengalami penurunan. Potensi normal tanaman kakao dapat menghasilkan 2 ton/ha/tahun biji kakao. Namun produktivitas tanaman kakao Indonesia hanya sebesar 1.1 ton/ha/thn pada tahun 2003 dan pada tahun 2012 menurun menjadi 0.85 ton/ha/tahun akibat tanaman tua, rusak, serta terserang penyakit (Gambar 2)(Ditjenbun 2014).

Gambar 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012 Permasalahan pada subsistem hilir yang memengaruhi perdagangan kakao Indonesia yaitu rendahnya mutu kakao akibat penanganan pascapanen yang belum

0

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(13)

3

sesuai GHP (Good Handling Practices) (Bappenas 2011). Kurang lebih 90% biji kakao yang dijual petani tidak difermentasi. Selain itu biji kakao memiliki kandungan kadar air yang masih tinggi, ukuran biji tidak seragam, kadar kulit biji tinggi, keasaman tinggi, citarasa sangat beragam dan tidak konsisten. Terdapat biji kakao yang terserang serangga hama, terserang jamur dan tercampur dengan kotoran atau benda-benda asing lainnya (Kementerian Pertanian 2012).

Mutu biji kakao yang rendah menyebabkan biji kakao Indonesia di negara tujuan ekspor terutama Amerika Serikat diberlakukan penahanan otomatis (automatic detention) dan potongan harga (automatic discount) sehingga harga biji kakao yang diterima dan daya saing biji kakao Indonesia lebih rendah dari biji kakao yang dihasilkan negara lain. Secara domestik, industri kakao nasional kekurangan bahan baku biji kakao bermutu sehingga industri kakao nasional mengimpor biji kakao terfermentasi dari negara produsen lain.

Pemerintah berupaya mendorong subsistem hilir kakao Indonesia melalui peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 yang menetapkan pemberlakuan Bea Keluar (BK) kakao sebesar 5-15% dimulai 1 April 2010. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong industri pengolahan kakao dan mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Pemberlakuan BK kakao diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah sebanyak mungkin untuk pelaku agribisnis kakao dalam negeri (Kementerian Pertanian 2012). Kementerian Keuangan (2012) dalam kajian perkembangan perekonomian kakao nasional pasca pengenaan bea keluar biji kakao, menyatakan bahwa kebijakan pengenaan bea keluar ekspor biji kakao berhasil membangkitkan industri pengolahan kakao di Indonesia baik domestik maupun investasi baru perusahaan multinasional. Kapasitas produksi industri pengolahan domestik diperkirakan mengalami peningkatan. Namun, pada subsistem hulu terkendala oleh produktivitas dan kualitas biji kakao yang rendah.

Upaya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas kakao telah dilakukan oleh pemerintah pada subsistem hulu dan usahatani kakao yaitu melalui kebijakan GERNAS Kakao pada tahun 2009 sampai 2011 yang berlangsung di beberapa provinsi penghasil kakao di Indonesia. Sasaran GERNAS Kakao tahun 2009 sampai 2011 meliputi:

1. Perbaikan pertanaman kakao rakyat seluas 450 000 ha, terdiri dari peremajaan tanaman seluas 70 000 ha, rehabilitasi tanaman seluas 235 000 ha, dan intensifikasi tanaman seluas 145 000 ha.

2. Pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 000 petani.

3. Pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 000 ha. 4. Perbaikan mutu kakao sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia).

(14)

Plan di bawah forum kemitraan Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro 2014).

PISAgro (Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture) merupakan kemitraan publik swasta yang bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengatasi ketahanan pangan nasional dengan cara meningkatkan produksi komoditas pertanian strategis secara lestari dan meningkatkan penghidupan petani kecil (PISAgro 2014). PISAgro memiliki fokus kegiatan yang terdiri dari 10 kelompok kerja berdasarkan komoditas andalan Indonesia yaitu kakao, susu, kopi, kelapa sawit, padi, jagung, kedelai, hortikultura dan agrifinance. Kemitraan kelompok kerja kakao PISAgro telah berlangsung sejak tahun 2012 dengan mengusung program Nestle Cocoa Plan. PT Nestle berperan sebagai ketua kelompok kerja kakao PISAgro. PT Nestle bersama dengan PT Swisscontact, PT Bumitangerang Mesindotama (PT BT Cocoa), Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) Jember, IDH (Sustainable Trade Initiative) dan atas dukungan dari pemerintah provinsi Sulawesi Barat berupaya membentuk model rantai pasok pengembangan komoditas kakao berkelanjutan di Sulawesi Barat.

Program Neslte Cocoa Plan terdiri dari pembentukan kebun percontohan oleh Puslitkoka, Swisscontact dan PT Nestle Agriserv. Pembinaan petani dilakukan oleh Swisscontact dan pembentukan unit pembelian kakao dilakukan oleh PT BT Cocoa sebagai upaya mendekatkan petani pada akses pemasaran yang efisien dan memberikan insentif harga sesuai dengan kualitas biji kakao. Serangkaian program tersebut berlangsung di Kabupaten Mamuju dan Majene Sulawesi Barat dengan harapan dapat memberikan sumbangsih bagi upaya peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao.

Perumusan Masalah

Sulawesi Barat merupakan salah satu provinsi penghasil kakao di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2014), produksi kakao Sulawesi Barat mencapai 76 158 ton pada tahun 2012. Jumlah ini menempatkan Sulawesi Barat sebagai daerah penghasil kakao terbesar keempat setelah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat merupakan kecamatan penghasil kakao terbesar kedua dengan nilai produksi sebesar 3 094,37 ton pada tahun 2012 setelah Kecamatan Sampaga yang memiliki nilai produksi 3 576,29 ton (BPS 2013). Permasalahan yang dihadapi petani kakao Kecamatan Kalukku yaitu rendahnya produktivitas dan mutu kakao akibat cara budidaya dan pascapanen yang belum menerapkan standar Good Agricultural Practise (GAP) dan Good Handling Practise (GHP).

(15)

5

produksi dunia. Kakao Indonesia yang mampu bersaing pada pasar WFCB hanya sekitar 2% dari total ekspor. Penyebab utamanya adalah karena sekitar 80% dari total produksi biji kakao Indonesia masih belum melakukan penanganan pascapanen dengan baik, terutama belum dilaksanakannya proses fermentasi biji kakao.

Permasalahan produksi biji kakao Indonesia yang belum dilakukan fermentasi disebabkan oleh keengganan petani melakukan fermentasi. Hal ini dikarenakan secara teknis petani merasa tidak mudah melakukan fermentasi pada biji kakao karena prosesnya yang cukup lama yaitu selama lima hari. Hal ini mengakibatkan penundaan penerimaan petani. Selain itu, Penerapan teknologi fermentasi dalam pengolahan biji kakao menambah curahan tenaga kerja. Proses fermentasi diduga mengakibatkan kehilangan hasil yang diperoleh pada biji kakao kering fermentasi lebih besar dibanding kakao non fermentasi. Terlebih, belum ada insentif harga untuk kakao berkualitas.

Program Nestle Cocoa Plan berupaya meningkatkan produktivitas dan mutu kakao melalui pembentukan kebun percontohan, sekolah lapang dan pembentukan unit pembelian biji kakao yang memberikan insentif atas kualitas biji kakao. Petani di Kecamatan Kalukku didorong untuk meningkatkan mutu dengan melakukan fermentasi biji kakao. Petani diberikan pengetahuan mengenai teknik fermentasi biji kakao melalui kegiatan sekolah lapang, diberikan bantuan kotak fermentasi dan layanan unit pembelian kakao yang memberikan perbedaan harga pada kakao fermentasi dan non fermentasi.

Berkaitan dengan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa Plan ?

2. Bagaimana perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi ?

3. Bagaimana faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan produksi biji kakao terfermentasi di Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat atas dukungan program Nestle Cocoa Plan.

2. Menganalisis perbandingan pendapatan petani biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi.

3. Mengidentifikasi faktor – faktor yang memengaruhi keputusan petani binaan Nestle Cocoa Plan memproduksi biji kakao terfermentasi.

Manfaat Penelitian

(16)

1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai produksi biji kakao terfermentasi dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya (kasus : petani binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat).

2. Memberikan manfaat bagi pembaca dan peneliti, baik sebagai tambahan pengetahuan maupun sebagai informasi untuk melaksanakan studi lanjutan di masa mendatang.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Mutu dan Penanganan Pascapanen Biji Kakao

Mutu merupakan suatu standarisasi yang sudah menjadi kebutuhan manusia karena mutu berkaitan dengan kepuasan (Wahyudi et al.2009). Mutu biji kakao mempunyai beberapa pengertian, yakni dalam pengertian sempit yaitu cita rasa (flavour) dan upaya mempertahankannya. Sementara dalam pengertian lebih luas meliputi aspek atau kriteria yang menentukan penerimaan (acceptability) dari komoditas kakao yang ditawarkan (Wahyudi et al. 2009).

Klasifikasi atau penggolongan mutu biji kakao kering menurut SNI 2323-2008 terbagi menjadi tiga, yaitu menurut jenis tanaman, jenis mutu dan ukuran berat biji per 100 gram. Menurut jenis tanaman kakao, biji kakao digolongkan menjadi dua, yaitu biji mulia (biji kakao yang berasal dari tanaman kakao jenis Criolo atau Trinitario serta hasil persilangannya dan biji kakao lindak (biji kakao yang berasal dari tanaman kakao jenis Forastero) (BSN, 2008). Menurut ukuran biji kakao kering per 100 gram, mutu biji kakao digolongkan menjadi lima kelas, yaitu ; AA (maksimal 85 biji per 100 gram), A (86-100 biji per 100 gram), B (101-110 biji per 100 gram), C (110-120 biji per 100 gram), dan S (lebih dari 120 biji per gram). Jenis tanaman dan ukuran biji tersebut dipengaruhi oleh perlakuan pada subsistem hulu agribinis kakao yaitu penggunaan bibit kakao yang unggul serta subsistem usahatani kakao, yaitu penerapan teknik budidaya yang sesuai dengan GAP (Good Agricultural Practise).

Tabel 2 Persyaratan umum biji kakao menurut SNI 01-2323-2008

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Serangga hidup - Tidak ada

2 Kadar air % fraksi massa Maks 7.5

3 Biji berbau asap dan atau hammy dan atau berbau asing

- Tidak ada

4 Kadar benda asing - Tidak ada

Tabel 2 menunjukan persyaratan umum mutu biji kakao yang akan di ekspor. Bila ditinjau lebih jauh lagi, fermentasi tidak termasuk dalam persyaratan umum mutu biji kakao yang harus dipenuhi. Hal ini menunjukan bahwa ekspor biji kakao Indonesia belum berorientasi pada pasar biji kakao yang telah terfermentasi. Persyaratan khusus biji kakao merupakan pesyaratan yang harus dipenuhi untuk mengklasifikasi jenis mutu. Menurut persyaratan jenis mutunya, biji kakao terbagi menjadi tiga kelas yaitu mutu I, II, dan III dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan umum biji kakao (Tabel 3).

Tabel 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008

(18)

Terpenuhinya persyaratan mutu tersebut sangat dipengaruhi oleh perlakuan pada penangan pascapanen biji kakao. Oleh sebab itu penanganan pascapanen biji kakao menentukan mutu akhir biji kakao. Penanganan pascapanen biji kakao memiliki tahapan sebagai berikut :

Tabel 4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao

No. Tahapan Tujuan dan Aktivitas Terkait Mutu

Komponen mutu yang dipengaruhi

1 Pemanenan

buah

Panen dapat dilakukan sepanjang tahun. Selama setahun, terdapat satu atau dua puncak panen. Puncak panen pertama terjadi sekitar bulan

Mei - Juni dan panen tambahan pada bulan Oktober – November.

Pemetikan buah harus dilakukan pada saat buah tepat masak. Tingkat kemasakan buah dapat dilihat dari warna buah, yaitu dari hijau menjadi kekuningan, dari merah menjadi jingga.

Ukuran biji, kadar lemak

dalam biji,

kadar biji

berkecambah

2 Sortasi buah Sortasi buah bertujuan untuk menseleksi atau memisahkan buah kakao

menjadi dua kelompok besar yaitu buah yang sehat dan masak optimal dengan yang tidak atau kurang sehat dan belum masak optimal, seperti : terserang hama dan penyakit, salah petik, dimakan tupai, dan

Pemeraman atau penyimpanan buah kakao, dilakukan untuk mengurangi kandungan pulpa (sampai batas tertentu) yang melapisi biji kakao basah serta untuk memperoleh jumlah biji yang sesuai

Pemecahan buah bertujuan untuk mengeluarkan dan memisahkan biji kakao dari kulit buah dan plasentanya. Sortasi biji kakao basah bertujuan untuk memisahkan biji kakao superior (sehat) dengan biji kakao inferior (terserang hama penyakit, tergores benda tajam) dan kotoran (kulit biji, plasenta). Pencampuran biji sehat dan biji tidak sehat akan menyebabkan terkontaminasinya biji sehat oleh bakteri biji tidak sehat pada saat proses fermentasi. Selain itu, pencampuran biji

kakao yang terserang penyakit busuk buah (phitophora) akan

menimbulkan peningkatan kadar asam lemak bebas pada biji kakao.

Proses

5 Fermentasi Fermentasi biji kakao dimaksudkan untuk menimbulkan aroma khas

coklat. Fermentasi dilakukan di dalam suatu wadah/kotak kayu. Fermentasi yang sempurna dilakukan dalam waktu 5 hari, dimana pada hari kedua dan keempat harus dilakukan pembalikan.

Cita rasa, dilakukan atas dasar permintaan pasar (Industri atau eksportir tertentu). Perendaman dan pencucian biji kakao bertujuan untuk menghentikan proses fermentasi, mempercepat proses pengeringan, memperbaiki penampakan biji, dan mengurangi kadar kulit biji.

Proses pengeringan.

7 Pengeringan Tujuan pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air biji dari 60 %

sampai kadar airnya mencapai 7 atau 7.5 % diperlukan waktu 3 – 4

Sortasi biji kering kakao bertujuan untuk mengelompokan biji kakao berdasarkan ukuran dan memisahkan dari kotoran atau benda asing lainnya seperti batu, kulit dan daun-daunan

Kadar

mengunakan karung goni dan tidak dianjurkan menggunakan karung plastik. Biji kakao tidak boleh disimpan dalam satu tempat dengan produk pertanian lainya yang berbau keras.

Kadar air,

aroma kakao.

(19)

9

Fermentasi Biji Kakao

Fermentasi merupakan suatu kegiatan untuk membentuk citarasa cokelat pada biji kakao dengan memanfaatkan bantuan mikroba alami (Kementan 2012). Menurut Wahyudi et al. (2009) pada awal sejarahnya fermentasi hanya digunakan untuk membebaskan biji kakao dari lapisan lendir (pulp), mencegah pertumbuhan biji dan memperbaiki kenampakan. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fermentasi menjadi proses yang mutlak harus dikerjakan. Hal tersebut dikarenakan fermentasi biji kakao bertujuan untuk membentuk citarasa khas cokelat, warna cokelat dan rongga pada keping biji serta mengurangi rasa pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao sehingga menghasilkan biji dengan mutu dan aroma yang baik (Kementerian Pertanian 2012).

Petani kakao Indonesia umumnya melakukan proses fermentasi dengan sarana dan metode yang beragam. Sebagian petani di Indonesia melakukan fermentasi selama 5 hari dengan menggunakan kotak fermentasi dan pembalikan dilakukan pada hari kedua dan keempat fermentasi. Sebagian petani lain melakukan fermentasi selama 1-3 hari didalam karung plastik dan pembalikan dilakukan setiap hari dengan cara menggulingkan karung (Amin 2005 dalam Rinaldi J 2013). Biji kakao yang dihasilkan dari proses fermentasi singkat (3 hari) dan menggunakan karung plastik dikenal sebagai biji kakao semi fermentasi. Biji kakao semi fermentasi tidak dapat diketegorikan sebagai biji kakao terfermentasi karena biji kakao yang dihasilkan memiliki kadar slaty (biji tidak terfermentasi) yang tinggi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51 Tahun 2012 mengenai pedoman penanganan pascapanen kakao, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses fermentasi, yaitu :

1. Sarana fermentasi biji yang ideal yaitu dengan menggunakan kotak dari kayu yang diberi lubang-lubang. Untuk skala kecil (40 kg biji kakao) diperlukan kotak dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 40 cm dan tinggi 50 cm. Untuk skala besar 700 kg biji kakao basah diperlukan kotak dengan ukuran lebar 100 – 120 cm, panjang 150 – 165 cm dan tinggi 50 cm. Jika peti fermentasi sulit diperoleh, dapat digantikan dengan keranjang bambu.

2. Tinggi tumpukan biji kakao minimal 40 cm agar dapat tercapai suhu fermentasi 45 – 480C.

3. Berat biji yang difermentasi minimal 40 kg. Hal ini terkait dengan kemampuan untuk menghasilkan panas yang cukup sehingga proses fermentasi biji dapat berjalan dengan baik.

(20)

(2003) Perubahan biji yang terjadi selama fermentasi meliputi peragian gula menjadi alkohol, fermentasi asam cuka dan meningkatnya suhu. Disamping itu, aroma pun meningkat selama proses fermentasi dan pH biji mengalami perubahan.

Ukuran keberhasilan proses fermentasi biji kakao.

Citarasa dan aroma khas cokelat akan diperoleh pada biji kakao yang telah mengalami proses fermentasi secara sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan proses fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao. Dengan uji belah dapat diketahui bahwa warna dominan keping biji tidak terfermentasi adalah ungu atau sering disebut biji slaty. Warna ungu disebabkan oleh kandungan senyawa polifenol yang masih tinggi. Senyawa ini menyebabkan rasa sepat dan pahit. Selama proses fermentasi, 60% sampai 70% senyawa ini terurai secara enzimatis disertai dengan perubahan warna biji menjadi coklat sejalan dengan waktu fermentasi (Mulato S 2011). Derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat, yaitu,

• Fermentasi kurang menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa fermentasi), warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari), warna ungu dan coklat sebagian (fermentasi 2 - 3 hari), warna cokelat dengan sedikit ungu (fermentasi 4 hari).

• Terfermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan (5 hari)

• Fermentasi berlebihan (> 6 hari) menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan berbau tidak enak (Wahyudi et al. 2009).

Slaty Ungu Penuh Ungu

Sebagian

Coklat (fermentasi

penuh)

Berjamur

Gambar 3 Tampilan tekstur biji kakao

Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap mutu produk olahan kakao

Rendemen hasil (yield) merupakan perbandingan antara berat hasil olahan (pasta, lemak dan bubuk kakao) dengan berat bahan baku (biji kakao). Industri cokelat sangat menginginkan rendemen hasil yang tinggi. Nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air, ukuran biji, cara pengolahan dan kandungan kontaminan (kotoran) yang tercampur ke dalam biji. Kadar air, selain penyebab kerusakan biji karena serangan jamur, juga berpengaruh terhadap rendemen hasil. Air dianggap sebagai bahan ikutan yang akan hilang pada saat pemrosesan (penyangraian) (Mulato S 2011)

(21)

11

diperoleh dari bahan tanam unggul yang dirawat dengan baik dan dihasilkan dari buah kakao yang sudah masak (ripe). Biji yang besar menghasilkan rendemen lemak yang tinggi pula. Lemak merupakan komponen yang paling mahal dari biji kakao. Proses fermentasi dapat menurunkan kadar bahan bukan lemak, sehingga secara relatif kadar lemak akan meningkat (Yusianto et al., 1995). Tingkat fermentasi yang rendah akan menurunkan rendemen lemak karena komponen non-lemak masih tertinggal di dalam biji.

Kemudahan proses pengolahan merupakan indikator bahwa bahan baku dapat diproses dengan cepat dan dengan biaya rendah. Waktu proses biji kakao dengan kadar air di atas standar (> 7.5 %) akan lebih lama sehingga kapasitas produksi turun. Energi penguapan air juga lebih besar, yang berakibat pada peningkatan biaya. Karena kandungan bahan non-lemaknya (selulosa) masih tinggi, biji yang tidak difermentasi diketahui lebih sulit diproses dan membutuhkan energi makanik lebih besar. Kontaminasi benda keras (batu atau besi) yang tercampur biji kakao selain akan menyebabkan komponen mesin cepat aus, juga menyebabkan pengaruh negatif terhadap kualitas cokelat (kehalusan cokelat).

Kakao termasuk dalam kelompok tanaman penyegar, sehingga aspek citarasa dan aroma biji kakao merupakan nilai yang akan diambil manfaatnya untuk dikonsumsi oleh konsumen. Produk olahan kakao yang dikonsumsi dalam bentuk makanan dan minuman adalah bubuk kakao (cocoa powder) dan cairan kakao (cocoa liquor). Parameter umum mutu bubuk kakao dan cairan kakao terdiri dari kadar keasaman (pH), fat content (kadar lemak), fineness (kehalusan), kadar air, dan mikrobiologi. Berdasarkan pH, bubuk dan cairan kakao terbagi atas 2 jenis, yaitu natural dan alkalis. Bubuk cokelat natural memiliki standar pH maksimum 6, sedangkan pH diatas 6 tergolong produk alkalis. Produk natural diproses tanpa penambahan garam alkali dan biasanya terasa sedikit asam. Produk natural umumnya berwarna coklat muda atau cokelat, sedangkan produk alkalis diproses dengan penambahan garam alkali (Wahyudi et al. 2009). Secara umum, tingkat keasaman menggambarkan derajat fermentasi biji kakao, keasaman yang rendah cenderung berasal dari biji kakao tanpa fermentasi, kekurangan fermentasi, atau kelebihan fermentasi, sedangkan keasaman yang tinggi umumnya disebabkan oleh fermentasi anaerobik yang berlebihan (Wahyudi et al. 2009). Biji kakao yang tidak difermentasi menyebabkan penggunaan garam alkali pada proses conching dalam pengolahan biji kakao menjadi lebih banyak. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan produk cocoa powder dan cocoa liquor alkalis memiliki kadar keasaman rendah dan memiliki cita rasa khas coklat. Produk olahan natural yang berasal dari biji kakao non fermentasi akan memiliki tingkat keasaman tinggi, cita-rasa cokelat yang kurang, warna coklat yang cerah.

Pengaruh fermentasi biji kakao terhadap nilai tambah dan pendapatan petani

(22)

baku yang digunakan adalah biji kakao basah yang diperoleh dari petani sekitar. UUP Tunjung Sari melakukan usaha pascapanen yang terdiri dari sortasi biji kakao basah, fermentasi, penjemuran, dan pengepakan. UUP Tunjung Sari pada tahun 2011 memroduksi biji kakao terfermentasi menggunakan sebanyak 162.638 kg bahan baku (biji kakao basah) per tahun dengan jumlah pembelian sebesar Rp 1 207 205 000, jumlah penjualan sebanyak 57 102 kg per tahun atau sebesar Rp 2 062 775 000. Nilai tambah yang diperoleh dalam 1 kg kakao terfermentasi sebesar Rp 2 628.3 dan tingkat keuntungan sebesar 28.79%. Namun, dalam kegiatan usahanya, Unit usaha produktif mengalami kendala yaitu ketersediaan bahan baku, lamanya proses pengolahan, kualitas mutu yang kurang baik dan keterlambatan pengiriman kakao.

Nilai tambah atas kegiatan pengolahan kakao fermentasi juga dapat diperoleh petani dengan cara melakukan kegiatan pascapanen kakao fermentasi. Nilai tambah tersebut nantinya akan memengaruhi pendapatan petani. Hasil penelitian Rinaldi J (2013) menjelaskan bahwa hasil analisis pendapatan usahatani kakao per hektar per tahun pada petani yang menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao diperoleh tingkat pendapatan yang lebih besar dibandingkan tingkat pendapatan petani per hektar per tahun yang tidak menerapkan teknologi fermentasi pada biji kakao. Rinaldi J (2013) menyatakan bahwa penerapan teknologi fermentasi pada proses pengolahan biji kakao dapat meningkatkan pendapatan petani.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Memroduksi Biji Kakao Terfermentasi

Selisih harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi merupakan nilai tambah dari biji kakao terfermentasi yang dapat menjadi faktor pendorong bagi petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Insentif atau faktor pendorong tersebut belum dirasakan oleh petani karena perbedaan harga biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi tidak signifikan. Perbedaan harga yang tidak signifikan antara harga biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi tersebut menyebabkan petani enggan untuk memroduksi biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008; Iek A 2009; Napitupulu S 2009, Hasbi et al. 2010; Nuryanti N 2010; Wally F 2001; Mulato S 2010). Rinaldi J (2013) dalam penelitiannya yang berjudul efisiensi produksi kakao pada perkebunan rakyat di Bali, menyatakan bahwa selisih perbedaan harga biji kakao fermentasi lebih besar Rp 2000 – Rp 3000 per kilogram. Selisih harga tersebut dianggap petani hanya mampu mengganti kehilangan hasil yang diperoleh dari proses fermentasi dan mengganti curahan tenaga kerja yang bertambah.

(23)

13

biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan tambahan penerimaan yang didapat. Hasbi et al. (2010) menjelaskan bahwa proses fermentasi kakao pada tingkat petani sulit dilakukan salah satunya karena jumlah satuan panen yang relatif kecil. Fermentasi akan menguntungkan apabila volume biji kakao memenuhi tingkat economic of scale tertentu (Syadullah M 2012). Namun, permasalahannya umumnya petani kakao Indonesia memiliki lahan yang tidak luas sekitar 1-2 ha bahkan banyak yang hanya memiliki kurang dari 1 ha. Terlebih rata-rata produktivitas tanaman kakao yang dimiliki petani dibawah potensi normal bahkan termasuk rendah yang disebabkan tanaman tua, terserang hama dan penyakit, serta budidaya yang belum menerapkan GAP (Good Agricultural Practise). Selain itu, secara teknis, jumlah produksi biji kakao yang sedikit menjadi kendala petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi. Fermentasi dalam kotak memiliki kapasitas minimum biji kakao yang difermentasi yaitu sebanyak 40 kg. Hal tersebut terkait, pada proses fermentasi dibutuhkan hasil panas atau peningkatan suhu mendekati 500C massa biji. Pada proses fermentasi skala kecil (tidak memenuhi kapasitas minimum) panas yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga biji kakao yang dihasilkan kurang memuaskan(kurang terfermentasi) (Wahyudi et al. 2009). Dengan demikian jumlah produksi biji kakao diduga memengaruhi petani memroduksi biji kakao terfermentasi.

Produksi biji kakao terfermentasi belum banyak dilakukan petani. Namun, pedagang membutuhkan biji kakao terfermentasi dalam jumlah yang cukup (memenuhi economic of scale) agar mampu memberikan keuntungan yang memadai bagi pedagang. Implikasinya biji kakao terfermentasi akan lebih lama tersimpan di gudang pedagang jika pedagang menginginkan menjual khusus biji kakao terfermentasi. Namun, semakin lama biji kakao fermentasi tersimpan di gudang pedagang, para pedagang tentunya akan mengalami tekanan finansial karena mereka harus mencapai omzet penjualan. Jika hal tersebut terjadi, pedagang tidak ragu-ragu mencampur biji terfermentasi dan tidak terfermentasi agar segera bisa dijual dan uang hasil penjualan bisa di investasikan untuk pembelian biji kakao kembali. Implikasi dari strategi ini adalah penurunan harga biji kakao di pasaran karena biji kakao campuran memiliki mutu yang tetap rendah (Syadullah M 2012). Penurunan harga dan keterbatasan produksi biji kakao terfermentasi tersebut, menyebabkan bagi pedagang membeli dan menjual biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah dibanding biji kakao terfermentasi. Begitu pula bagi petani menjual biji kakao tidak terfermentasi lebih mudah dibandingkan biji kakao terfermentasi (Sedana G 2008). Hal tersebut mendorong petani untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi.

(24)

kakao, terutama pada saat panen kakao bersamaan dengan musim panen komoditas lain. Kegiatan fermentasi tidak dilakukan karena petani harus mengejar waktu panen komoditas lain tersebut.

Petani membutuhkan pengetahuan mengenai teknik fermentasi biji kakao yang sesuai dengan GHP (Good Handling Practise). Hal ini dikarenakan untuk memeroleh biji kakao terfermentasi sempurna terdapat syarat dan perlakuan tertentu yang perlu dikatahui petani. Hasan et al. (2010) dalam Hasan N dan Roswita R (2013) menyatakan bahwa penyebab petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi karena petani belum tahu inovasi teknologi fermentasi. Sedana G (2008) dan Mulato S (2010) menjelaskan bahwa petani tidak tertarik untuk melakukan penanganan pascapanen yang sesuai dengan GHP (Good Handling Practise) terutama fermentasi biji kakao karena keterbatasan pengetahuan petani dan sarana fermentasi. Umumnya petani tidak mampu membeli kotak fermentasi. Kotak fermentasi yang dimiliki oleh petani merupakan bantuan dari pemerintah maupun pihak swasta (Hasan N dan Roswita R 2013).

(25)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep dan Manfaat Mutu

Juran (1995) dalam Ramlawati (2008) menyatakan mutu adalah keistimewaan produk yang menjawab kebutuhan konsumen. Terpenuhinya kebutuhan konsumen akan membentuk kepuasan konsumen dan pelanggan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nasution (2005) bahwa kepuasan konsumen dan pelanggan adalah suatu keadaan dimana kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen dan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk yang dikonsumsi. Kepuasan konsumen pada umumnya diwujudkan dalam suatu standarisasi karakteristik atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh produk. Dengan demikian mutu didefinisikan sebagai suatu standarisasi yang sudah menjadi kebutuhan manusia karena berkaitan erat dengan kepuasan.

Mutu atau kualitas biasanya selalu dikaitkan dengan profitabilitas dan produktivitas. Meskipun demikian, ketiga konsep ini memiliki penekanan yang berbeda-beda. Enderson et al. (1994) menjelaskan bahwa produktivitas menekankan pemanfaatan (utilisasi) sumber daya, yang sering diikuti dengan penekanan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus utama produktivitas terletak pada produksi atau operasi. Kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan. Fokus utama dari kualitas adalah customer utility. Sedangkan, profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasilan (income), biaya dan modal yang digunakan.

Tjiptoni G dan Chandra G (2007) menjelaskan bahwa perspektif tradisional bisnis atau usaha sering hanya berfokus pada pencapaian produktivitas dan profitabilitas dengan mengabaikan aspek kualitas. Hal tersebut dapat mengancam keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Dalam konteks kompetisi global di era pasar bebas, peningkatan persaingan menuntut pelaku usaha untuk selalu memerhatikan dinamika kebutuhan, keinginan dan preferensi pelanggan serta berusaha memenuhinya dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dibanding para pesaingnya. Kedua ahli tersebut juga menyatakan bahwa peningkatan pangsa pasar melalui mutu bersifat customer-driven (berorientasi kosumen). Peningkatan mutu akan memberikan keunggulan harga dan customer value. Customer-value merupakan kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan tertentu (Bounds et al. 1994 dalam Tjiptoni G dan Chandra G 2007). Kualitas dan profitabilitas berkaitan erat. Bila kualitas yang dihasilkan superior dan pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Usaha yang menawarkan produk yang berkualitas superior (tinggi) akan mampu mengalahkan pesaing yang kualitasnya lebih inferior (rendah).

(26)

Dalam sistem agribisnis, mutu tidak hanya berada di ujung sistem (hilir) namun harus diperhatikan sejak di on farm (tingkat usahatani) bahkan dalam pemilihan dan penggunaan input harus telah memerhatikan mutu (Wiyanto 2010). Mutu menjadi nilai tambah bagi komoditas. Wahyudi et al. (2009) menyatakan bahwa keuntungan agribisnis kakao dapat ditempuh melalui dua jalur utama, yaitu peningkatan produktivitas tanaman dan peningkatan nilai tambah dari biji kakao yang dihasilkan. Peningkatan nilai tambah tersebut mencakup evaluasi mutu dan perbaikan mutu kakao.

Produksi produk pertanian

Produksi didefinisikan sebagai penciptaan nilai ekonomi yang dihubungkan dengan pembuatan barang secara fisik (Swastha B 1999). Menurut Beattie dan Taylor (1985) dalam Rinaldi J (2013) menjelaskan bahwa produksi merupakan kombinasi dan koordinasi beberapa material dan beberapa kekuatan (berupa input, faktor, sumber daya atau jasa produksi) untuk menciptakan suatu barang atau jasa (output atau produk). Sedangkan produksi pertanian merupakan suatu proses aktivitas merubah input pertanian menjadi output (produk) pertanian yang dibutuhkan oleh konsumen akhir atau konsumen antara (perusahaan-perusahaan atau lembaga pemasaran) (Asmarantaka R W 2012).

Menurut Asmarantaka R W (2012) karakteristik produksi di pertanian primer (subsistem usahatani agribisnis) umumnya memerlukan jarak waktu yang lebar antara proses penanaman sampai panen dibandingkan dengan produksi non pertanian (gestation period). Selain itu produksi pertanian umumnya bervariasi dan bersifat musiman. Oleh sebab itu, untuk mengurangi risiko ketidakpastian dan fluktuasinya penawaran biasanya dilakukan penjualan dengan sistem kontrak antara lembaga pemasaran dengan petani produsen primer. Selajutnya, karakteristik produk pertanian adalah sebagai bahan baku (raw material). Hal ini berarti jarak atau lokasi merupakan penentu antara petani sebagai produsen primer, penyedia bahan baku yang akan diolah oleh pabrik sehingga menjadi produk akhir yang akan dikonsumsi konsumen. Dalam hal ini jarak diartikan sebagai (geografis), waktu, dan juga perbedaan ekonomi atau pendapatan diantara konsumen.

Produsen dalam memroduksi barang atau jasa akan memaksimumkan keuntungan dengan kendala input atau biaya yang terbatas (Asmarantaka R W 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, diketahui bahwa produsen produk pertanian mengelola usahataninya memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi dan keuntungan. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usaha yang dijalankan. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Penanganan pascapanen

(27)

17

besar dalam upaya peningkatan nilai tambah (Tharir R 2005). Selain berperan dalam upaya peningkatan nilai tambah, penanganan pascapanen hasil pertanian memiliki tujuan untuk menekan tingkat kerusakan hasil panen, meningkatkan mutu, meningkatkan daya simpan serta daya guna komoditas pertanian agar dapat menunjang usaha penyediaan bahan baku industri dalam negeri, meningkatkan pendapatan, serta meningkatkan devisa negara dan perluasan kesempatan kerja.

Gambar 4 Keterkaitan subsistem dalam sistem agribisnis Biaya usahatani

Biaya merupakan nilai korbanan yang dikeluarkan untuk memeroleh hasil. M enurut Soekartawi (2002) Biaya atau pengeluaran total usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Biaya usahatani dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayarkan dengan uang seperti pembelian sarana produksi dan biaya upah tenaga kerja. Biaya tunai pada kegiatan pascapanen usahatani kakao yaitu biaya upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK), dan biaya tali rafia. Selanjutnya biaya diperhitungkan atau biaya tidak tunai adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayarkan dengan benda (Soekartawi 1986). Biaya diperhitungkan didefinisikan sebagai pengeluaran secara tidak tunai oleh petani berupa faktor produksi yang digunakan oleh petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dalam kegiatan pascapanen usahatani kakao, daun pisang untuk penutup kotak yang diperoleh dari kebun petani dan penggunaan karung bekas pupuk untuk pengangkutan hasil panen.

Biaya usahatani juga dibedakan menjadi biaya atau pengeluaran tetap (fixed cost) dan pengeluaran tidak tetap (variable cost atau direct cost) (Soekartawi 1986). Biaya tidak tetap didefinisikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak tertentu yang jumlahnya berubah kira-kira sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut. Biaya tidak tetap untuk kegiatan pascapanen usahatani kakao diantaranya biaya karung, biaya upah tenaga kerja dan biaya tali rafia. Biaya tetap adalah pengeluaran usahatani yang tidak bergantung kepada besarnya produksi. Biaya tetap untuk kegiatan pascapanen usahatani kakao yaitu biaya penyusutan peralatan.

Penerimaan usahatani

Menurut Soekartawi et al. (1986) penerimaan total didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Menurut Tjakrawilaksana (1983) dalam Suroso (2006) penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Penerimaan usahatani terbagi menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai.

Produksi input, alat dan mesin

Produk primer

olahan petani Penanganan dan pengolahan (nilai tambah)

(28)

Penerimaan tunai merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan pokok usahatani. Sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan nilai hasil produk yang tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri, disimpan sebagai persediaan atau aset petani sehingga tidak memberikan hasil dalam bentuk uang. Penerimaan tunai tidak mencakup pinjaman uang yang diperlukan untuk keperluan usahatani dan tidak mencakup yang berbentuk benda. Oleh karena itu, nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai. Sumber penerimaan usahatani diperoleh dari pendapatan hasil, nilai hasil yang dikonsumsi keluarga, menyewakan, dan penjualan unsur-unsur produksi, subsidi pemerintah dan penambahan nilai inventasrisasi (Hermanto 1996).

Pendapatan usahatani

Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dan biaya yang dikeluarkan untuk usahatani. Oleh sebab itu untuk menganalisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani (Tjakrawilaksana 1983 dalam Suroso 2006).

Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja,modal keluarga yang dipakai dan pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi yang sama, yaitu memenuhi kegiatannya. Pendapatan tersebut akan digunakan untuk mencapai keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajiban. Dengan demikian pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat hidup petani.

Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi

Tingkat keberhasilan petani di dalam suatu proses produksi usahatani yang dikelolanya tidak terlepas dari kondisi yang dimiliki dari petani sendiri, antara lain seperti: umur petani, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, lahan milik dan luas garapannya (faktor internal). Hal – hal itu adalah pencerminan dari karakteristik yang dimiliki petani dan sebagai tolok ukur terhadap sikap penerimaan dari berbagai masukan teknologi usahatani. Namun disamping faktor internal tersebut diatas juga akan dipengaruhi oleh adanya dukungan faktor luar (faktor eksternal) seperti: ketersediaan paket teknologi dengan sarana produksinya secara lokalitas di tingkat usahatani, kredit produksi, harga input produksi dan hasil produksi yang memadai, lembaga pemasaran serta lembaga penyuluhan di wilayah kerjanya.

(29)

19

informasi teknik fermentasi dan akses berhutang ke pedagang. Keempat faktor eksternal tersebut merupakan pencerminan faktor-faktor pendorong petani untuk memilih lembaga pemasaran yang akan digunakan. Hal ini dikarenaka mutu komoditas bersifat costumer driven (berfokus pada kepuasan konsumen). Petani berusaha memenuhi kepuasan dari lembaga pemasaran yang merupakan pembeli dari biji kakao kering. Keputusan petani untuk memilih pembeli akan memengaruhi petani untuk memenuhi kepuasan pembeli tersebut. Keputusan petani untuk memilih pembeli dipengaruhi oleh faktor – faktor pendorong (insentif) yang diberikan oleh pembeli. Dengan demikian pada penelitian ini keputusan petani untuk menjual biji kakao ke unit pembelian PT BT Cocoa merupakan cerminan keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi dan keputusan petani untuk menjual biji kakao ke pedagang merupakan cerminan keputusan petani untuk tidak memroduksi biji kakao terfermentasi. Hal ini dikarenakan pada umumnya pedagang tidak memberikan menyarankan petani untuk mermroduksi biji kakao terfermentasi. Sebaliknya unit pembelian PT BT Cocoa menyarankan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi dan melakukan kegiatan pascapanen sesuai dengan GHP (Good Handling Practise). 1. Konsep Harga dan Perbedaan Harga

Perubahan harga berpengaruh terhadap keputusan produsen dalam penggunaan input atau teknologi. Kurva respons merupakan kurva yang menunjukan reaksi produsen yaitu petani dan manajer terhadap perubahan harga dimana apabila harga meningkat maka petani pada periode yang akan datang akan meningkatkan penggunaan input (teknologi), sehingga kurva penawaran akan bergeser ke kanan. Tetapi apabila harga produk menurun, petani tidak akan mengganti penggunaan inputnya (teknologi) dengan demikian kurva penawarannya tetap sama sebelum ada penurunan harga. Kurva respons menunjukkan bahwa apabila terdapat perubahan harga, kondisi peubah lain tidak tetap (cateris paribus) tetapi juga ikut berubah. Misalnya teknologi atau penggunaan input lain akan ditingkatkan, penambahan penggunaan pupuk, benih dan lain-lain. Dengan demikian perubahan harga terhadap jumlah yang ditawarkan akan berdampak secara simultan terhadap perubahan penggunaan input pada proses produksi berikutnya. Pada Gambar 7, garis a b adalah kurva respon petani atau perusahaan, apabila harga mengalami kenaikan, sedangkan garis b c adalah kurva respons perusahaan apabila harga produk mengalami penurunan. Dengan demikian kurva respons karena perubahan harga adalah garis abc

Gambar 5 Kurva respons

a C

B

S1

S2 Harga

Quantity P1

(30)

Kurva respons menunjukan perubahan perilaku produsen (reaksi produsen) karena ada perubahan harga barang yang diproduksi dan memegang asumsi peubah lain tidak tetap (konstan). Respons atau reaksinya berbeda apabila harga naik atau harga turun (Hammond dan Dahl 1977; Purcell, 1979 dalam Asmarantaka 2012). Apabila harga produk meningkat, pada periode berikutnya kurva supply bergeser ke kanan karena produsen akan meningkatkan penggunaan input atau menggunakan teknologi baru. Apabila harga barang turun, maka responya tetap pada kurva yang sama yaitu hanya menurunkan jumlah yang ditawarkan (bergerak disepanjang kurva supply yang sama). Kurva respons menunjukan bahwa perubahan harga akan secara simultan kontinyu mempengaruhi jumlah yang ditawarkan produsen (dalam periode produksi jangka pendek dan panjang). Artinya, perubahan harga akan direspons petani produsen dalam periode produksi jangka pendek maupun jangka panjang.

Asmarantaka R W (2012) menyatakan bahwa salah satu karakteristik dari produk pertanian adalah kualitas atau mutu komoditas pertanian yang bervariasi. Untuk mengatasinya, petani dan lembaga pemasaran melakukan standarisasi dan grading pada produk pertanian serta memberikan perbedaan harga berdasarkan perbedaan kualitas produk. Diferensiasi harga berdasarkan mutu terkadang dibedakan dengan harga premi (lebih tinggi) atau diskon (lebih rendah) (Tomek dan Robinson 1972 dalam Wiyanto 2010). Perbedaan harga tersebut merupakan nilai tambah dari upaya peningkatan mutu komoditas pertanian yang diharapkan akan meningkatkan penerimaan petani yang lebih besar daripada kenaikan biaya produksinya.

2. Jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa

Menurut Wally Frits (2001) persoalan mutu dan harga merupakan bagian dari masalah tataniaga kakao rakyat yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai dampak langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perdagangan kakao. Kelancaran pemasaran sangat bergantung pada kualitas produk yang dihasilkan oleh petani. Begitu pula pada mutu produk, mutu produk sangat bergantung pada pengendalian mutu di tiap rantai lembaga pemasaran yang ada. Oleh sebab itu Andriyanty (2008) menyatakan bahwa perbaikan mutu merupakan tanggung jawab semua lembaga pemasaran yang terlibat didalamnya.

Kelembagaan pemasaran yang senantiasa memperhatikan mutu produk akan menjamin arus informasi harga dan pengendalian mutu pada tiap rantai pemasaran. Selanjutnya, arus informasi mutu dan harga tersebut akan menjadi kriteria yang harus dipenuhi pihak-pihak yang melakukan transaksi. Sebaliknya kelembagaan pemasaran tradisional kurang memperhatikan mutu produk sehingga informasi dan harga atas mutu tidak diperhatikan

(31)

21

siasat/ketiadakjujuran pedagang dalam penimbangan dan penilaian mutu biji kakao.

Berdasarkan hasil temuan di lapang, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa diduga memengaruhi petani melakukan fermentasi biji kakao. Hal tersebut dikarenakan, jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa menunjukan kemudahan petani mengakses kelembagaan pemasaran yang menjamin perbedaan harga pada mutu biji kakao yang ditransaksikan. Semakin dekat jarak petani semakin besar peluang petani menjual biji kakao berkualitas sehingga semakin besar peluang petani melakukan fermentasi biji kakao.

Pemilihan lembaga pemasaran dipengaruhi oleh pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan produsen. Swastha B (1999) menjelaskan bahwa apabila penggunaan perantara (lembaga pemasaran) dapat memperingan biaya penyaluran, maka hal ini dapat dilaksanakan terus menerus. Berkaitan dengan hal tersebut diduga jarak petani ke unit pembelian PT BT Cocoa berpengaruh pada keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi.

3. Akses berhutang

Modal adalah setiap hasil atau produk atau kekayaan yang digunakan untuk memproduksi hasil selanjutnya (Daniel, 2004). Modal dapat berasal dari diri petani atau diperoleh dari pinjaman melalui lembaga perkreditan (bank atau koperasi). Umumnya sumber modal petani untuk membiayai usahatani adalah modal sendiri. Jarang sekali petani yang menggunakan lembaga keuangan. Jika membutuhkan modal atau ada keperluan yang sangat mendesak, biasanya petani berhutang ke padagang pengumpul atau pedagang besar. Pinjaman yang diberikan pedagang pengumpul dan pedagang besar menbentuk ikatan principal-agent informal antara petani dan pedagang besar. Principal – agent relationship merupakan hubungan dimana satu orang atau lebih sebagai pemberi kepecayaan disebut principal(s) memengaruhi orang lain sebagai mitra yang menerima kepercayaan disebut agen(s) untuk melaksanakan beberapa tugas principal(s) melalui pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada mitra yang dimaksud atau agen(s) (Jensen & Meckling 1976, Nugroho 2006, Suradisastra K et al. 2010). Ikatan tersebut mengharuskan petani (agent)untuk menjual biji kakao yang diproduksi kepada pedagang pengumpul atau pedagang besar (principal). Pedagang besar tidak menyaratkan petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Berkaitan dengan hal tersebut diduga bahwa semakin mudah petani berhutang ke pedagang pengumpul dan pedagang besar maka semakin kecil peluang keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi.

4. Akses informasi teknik fermentasi

Informasi dapat diartikan sebagai apapun yang dikirimkan dari seseorang ke orang lain dengan tujuan agar orang lain tersebut mempunyai persepsi/arti yang sama dengan si pengirim. Informasi sebagai kata benda dapat berupa pengetahuan yang diperoleh dari studi atau investigasi, data keadaan, sinyal atau karakter tentang data, sesuatu yang menggambarkan fisik atau mental, pengalaman atau konsep lain (Wijayanti, 2003).

(32)

berorientasi pada pasar akan selalu berusaha dapat bertani dengan lebih baik dan selalu mengikuti perkembangan kebutuhan pasar. Berusahatani yang baik akan selalu memerlukan adanya informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya (Wijayanti, 2003). Berdasarkan pernyataan di atas, diduga terdapat kecenderungan bahwa akses informasi teknik fermentasi yang mudah akan mempengaruhi keputusan petani memroduksi biji kakao terfermentasi. 5. Status Usahatani

Menurut Nurmalina et al. (2012) keputusan petani terhadap usahataninya diduga dipengaruhi oleh sumber mata pencaharian petani. Petani yang sumber pendapatan utamannya berasal dari usahatani, memiliki perbedaan dengan petani dimana usahataninya memberikan porsi kecil dalam struktur pendapatan petani. Status usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu usahatani kakao sebagai pekerjaan utama dan sebagai pekerjaan sampingan. Klasifikasi tersebut berdasarkan curahan waktu yang dilakukan petani dalam melakukan usahatani, dengan asumsi bahwa curahan tenaga kerja terhadap suatu kegiatan, mencerminkan tingkat pendapatan dari kegiatan tersebut. Petani yang status usahataninya sebagai usaha utama memberikan curahan tenaga kerja dan waktu yang optimal pada usahatani tersebut. Disisi lain petani yang status usahataninya sebagai usaha sampingan, curahan tenaga kerja dan waktu yang diberikan kurang optimal. Demikian pula pada pengambilan keputusan usahatani, petani dimana usahatani merupakan sumber pendapatan utama akan memprioritaskan pengambilan keputusan atas usahataninya. Pertimbangan dalam pengambilan keputusan petani adalah keputusan usahatani yang diterapkan dapat memberikan keuntungan bagi petani. 6. Jumlah produksi biji kakao

Menurut Wahyudi et al. (2009) panas yang timbul selama fermentasi ditahan menggunakan isolasi, tetapi hal ini menjadi sulit dilakukan, terutama untuk jumlah biji kakao yang sedikit dan luas permukaan massa bijinya sangat luas jika dibanding dengan volume massa biji. Oleh sebab itu, untuk hasil yang baik, terdapat jumlah minimum biji kakao yang akan difermentasi. Beberapa pendapat telah mengemukakan mengenai jumlah minimum untuk fermentasi. Wahyudi et al. (2009) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil fermentasi yang baik, biji yang difermentasi didalam kotak tradisional atau tumpukan tidak boleh kurang dari 90 kg. Wahyudi (2003) dan Ditjen PPHP (2006) menjelaskan bahwa jumlah biji minimum yang difermentasi yaitu sebanyak 40 kg biji kakao basah. Sama halnya dengan Wahyudi (2003), Hatmi (2012) menjelaskan bahwa kuantitas minimal biji kakao yang difermentasi adalah sebanyak 40 kg, kurangnya kuantitas biji kakao yang difermentasi menyebabkan suhu fermentasi tidak tercapai sehingga tidak menghasilkan biji terfermentasi namun memicu munculnya biji yang berjamur. Berdasarkan pernyataan tersebut maka jumlah biji kakao yang dihasilkan petani menentukan keberhasilan proses fermentasi. Dengan demikian, pada penelitian ini diduga jumlah biji kakao yang dihasilkan petani memengaruhi keputusan petani untuk memroduksi biji kakao terfermentasi.

Kerangka Pemikiran Operasional

Gambar

Tabel 1 Nilai ekspor biji kakao menurut negara tujuan utama tahun 2008 -2012 (000US$)
Gambar 2 Grafik produktivitas biji kakao Indonesia tahun 1990-2012
Tabel 3 Persyaratan khusus biji kakao menurut SNI 01-2323-2008
Tabel 4 Tahapan penanganan pascapanen biji kakao
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena inkonsistensi data, dalam penelitian ini, data jumlah kesempatan kerja perempuan pada jenis pekerjaan pada Agustus 2009 tidak digunakan untuk analisis perubahan dan

While preventive maintenance relies on the straightforward concept of “mean time between failure” to create practical maintenance schedules, predictive maintenance is based on a

Pada Tabel 1 dapat dibaca bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi ektoparasit caplak pada deteksi infestasi ektoparasit caplak Boophilus sp di peternakan

Kegiatan pengolahan sekam menggunakan metode praktik langsung proses pembuatan sekam menjadi arang sekam (Gambar 1) Arang sekam merupakan materi penting yang sering dipakai

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui (1) kehidupan akademik para raja panggung jalanan di Universitas Muhammadiyah Makassar, (2) untuk mengetahui

Skor rata-rata N-Gain soft skills siswa yang memperoleh pembelajaran generatif pada seluruh level sekolah (tinggi, sedang, dan ren- dah) lebih besar bila

Pada tahap analisis dan perancangan sistem, kamus data dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara analisis sistem dengan pemakai sistem untuk dilakukannya proses

Pendekatan ilmiah ( scientific ) dalam pembelajaran sangat diperlukan oleh pada kurikulum 2013 karena dapat karena Pendekatannya sangat terancang dengan poin-poin yang