• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. TKLK 271 646 56.93 TKLK 189 556 36.74 2 Tali rafia 596 0.12 2 Tali rafia 813 0

Total Biaya Tunai 272 242 57.05 Total Biaya Tunai 190 368 36.89 Biaya diperhitungkan Biaya diperhitungkan 1. TKDK 178 756 37.46 1. TKDK 299 195 57.99 2. Penyusutan Peralatan 8 922 1.87 2. Penyusutan Peralatan 4 676 0.91 3. Karung 50 kg 15 383 3.22 3. Karung 50 kg 20 111 3.90 4. Karung 62.5 kg 667 0.14 4. Karung 62.5 kg 1 633 0.32 5. Biaya daun pisang 1 207 0.25

Total Biaya

diperhitungkan 204 934 42.95

Total Biaya

diperhitungkan 325 615 63.11 Total Biaya 477 175 100.00 Total Biaya 515 984 100.00 Biaya Tenaga Kerja

Komponen biaya terbesar dalam kegiatan pascapanen biji kakao petani binaan Nestle Cocoa Plan di Kecamatan Kalukku adalah biaya tenaga kerja. Hal itu berlaku baik untuk pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi maupun tanpa aplikasi fermentasi. Berdasarkan Tabel 16, Biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar daripada biaya TKLK untuk pascapanen biji kakao tanpa fermentasi. Biaya TKLK untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 271 646 atau 56.93% dari total biaya pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Sementara biaya TKLK untuk pascapanen biji kakao tanpa fermentasi adalah sebesar Rp 189 556. Besaran tersebut mempunyai proporsi 36.74% dari total biaya pascapenen biji kakao tanpa fermentasi.

Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, kegiatan pascapanen biji kakao yang dilakukan oleh petani binaan Nestle Cocoa Plan Kecamatan Kalukku Kabupaten Mamuju juga melibatkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga petani. Biaya tenaga kerja dalam keluarga adalah upah yang seharusnya dibayarkan petani kepada petani itu sendiri dan anggota keluarganya yang telah menyelesaikan suatu pekerjaan dalam usahatani (dalam penelitian ini kegiatan pascapanen). Pada kenyataannya upah TKDK tidak dibayarkan petani kepada TKDK. Jika dibandingkan dengan biaya untuk TKLK, biaya TKDK untuk kegiatan pascapanen biji kakao fermentasi lebih rendah dibanding biaya TKLK yaitu sebesar Rp 178 756 atau 37.46% dari total biaya pascapanen biji kakao terfermentasi. Sebaliknya pada kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi, biaya TKDK lebih besar dibandingkan TKLK. Biaya TKDK kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi sebesar Rp 299 194.67. Besaran tersebut mempunyai proporsi 59.99% dari total biaya pascapanen biji kakao tidak terfermentasi.

53

Tabel 17 Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi perhektar perpanen

Jenis Pekerjaan Kerja TKDK TKLK Total

(HOK) Upah (Rp) Kerja (HOK) Upah (Rp) Kerja (HOK) Upah (Rp) 1. Panen 1.23 65 258 2.84 149 917 4.07 215 175 2. Pengupasan buah 0.89 46 508 1.69 90 500 2.58 137 008 3. Sortasi biji basah 0.34 18 033 0.58 30 708 0.92 48 742 4. Pemasukan ke kotak 0.09 4 461 0.01 521 0.10 4 982 5. Pembalikan 0.17 8 687 0.00 0 0.17 8 687 6. Pengeringan 0.47 25 279 0.00 0 0.47 25 279 7. Sortasi biji kering 0.13 6 928 0.00 0 0.13 6 928 8. Pengemasan 0.07 3 601 0.00 0 0.07 3 601 Jumlah 3.39 178 756 5.11 271 646 8.50 450 402 Tabel 17 memperlihatkan perincian dari biaya penggunaan TKLK dan TKDK berdasarkan jenis pekerjaan dalam pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Biaya pemanenan yang dikeluarkan petani fermentasi mencapai Rp 215 175. Total kerja yang dibutuhkan dalam pemanenan sebesar 4.07 HOK. Dalam kegiatan pemanenan petani mengunakan tenaga kerja luar keluarga rata- rata sebesar 2.84 HOK. Kebutuhan TKLK untuk membantu proses menjolok atau memetik buah kakao dan mengumpulkan buah kakao ke suatu tempat untuk dilakukan pemeraman atau dilakukan pemecahan buah. Proses pemanenan rata- rata dilakukan petani responden selama satu sampai dua hari. Hari pertama dan kedua digunakan untuk memetik dan mengumpulkan buah. Biaya tenaga kerja luar keluarga yang dikeluarkan petani fermentasi adalah sebesar Rp 149 916.67. Upah yang diberikan berupa uang tunai senilai Rp 50 000. Terdapat beberapa petani memberi tambahan konsumsi berupa makan siang, rokok, dan kopi senilai Rp 20 000.

Pengupasan dan sortasi biji basah memerlukan tenaga kerja sebesar 2.58 HOK dan 0.92 HOK. Sortasi biji basah bertujuan untuk memisahkan biji-biji yang baik atau superior, pecahan kulit, plasenta, ranting dan biji kakao yang terserang hama penyakit. Keberhasilan pemisahan biji superior dari biji inferior serta kotoran-kotoran yang melekat di biji akan sangat memengaruhi mutu biji kering. Oleh sebab itu pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi kegiatan pemecahan dan sortasi biji basah sangat membutuhkan perhatian khusus dan memerlukan curahan tenaga kerja tertentu. Upah yang dikeluarkan petani untuk kegiatan pemecahan buah dan sortasi biji basah masing-masing senilai Rp 137 008 dan Rp 48 741. Secara tunai, petani mengeluarkan upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK) untuk kegiatan pemecahan buah dan sortasi biji basah masing- masing sebesar Rp 90 500 dan Rp 30 708.

Kegiatan pascapanen yang dilakukan setelah sortasi biji basah yaitu kegiatan fermentasi biji kakao. Biji kakao dimasukan ke dalam kotak fermentasi kemudian ditutup dengan 3 helai daun pisang dan karung goni. Rata-rata proses ini tidak membutuhkan waktu yang lama yaitu hanya sebesar 0.10 HOK atau 48 menit untuk hasil panen 300 kg biji basah dilakukan oleh satu orang. Kegiatan pemasukan biji kakao sebanyak 53% dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga.

Hanya 13% petani yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk melakukan proses pemasukan biji kakao ke kotak fermentasi. Petani responden menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk melakukan proses pemasukan biji kakao ke kotak fermentasi, apabila ada sisa waktu dalam 1 hari kerja untuk melakukan proses fermentasi sekaligus.

Proses fermentasi tidak memerlukan kekuatan yang lebih atau keterampilan khusus, sehingga baik tenaga kerja wanita maupun tenaga kerja pria mampu melakukan proses fermentasi dengan tingkat keberhasilan yang sama. Namun demikian, penggunaan tenaga kerja pria dalam kegiatan pascapanen dianggap dapat menghasilkan waktu kerja yang lebih cepat dibandingkan tenaga kerja wanita. Oleh sebab itu dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pascapanen baik dengan biji kakao terfermentasi maupun tidak terfermentasi digunakan faktor konversi sebagai ukuran kesetaraan jam pria atau hari pria pada perhitungan hari kerja wanita.

Setelah petani melakukan pemasukan biji kakao ke dalam kotak fermentasi, Biji kakao didiamkan selama 2 hari, setelah 2 hari dilakukan pembalikan kemudian didiamkan selama 2 hari kembali. Pada hari keempat dilakukan pembalikan biji kakao kemudian didiamkan sehari selanjutnya pada hari ke-6 biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi untuk dilakukan penjemuran. Dalam proses pembalikan biji kakao, dilakukan pula proses pengadukan biji kakao dan pengecekan suhu mengunakan thermometer. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan pembalikan yaitu sebesar 0.17 HOK atau 81.6 menit (jika dilakukan satu orang tenaga kerja) untuk 2 kali pembalikan.

Proses fermentasi dilanjutkan dengan kegiatan pengeringan biji kakao untuk mengurangi kadar air. Proses pengeringan yang dilakukan oleh petani fermentasi memerlukan waktu 4 hari. Pengeringan biji kakao dilakukan dengan menjemur biji kakao pada jaring-jaring, terpal dan atau para-para pada pagi hari. Pada sore hari petani mengumpulkan biji kakao yang dijemur kedalam karung. Kegiatan tersebut dilakukan petani sampai dengan 4 hari untuk mendapatkan biji kakao dengan kadar air rendah. Proses pengeringan biji kakao ini membutuhkan 0.47 HOK. Pada saat proses penjemuran dan pengumpulan biji kakao setelah dijemur, beberapa petani melakukan sortasi biji kering dari sampah, kerikil, dan biji kakao yang terkena hama PBK penyakit. Setelah hari keempat penjemuran biji kakao, petani melakukan sortasi biji kakao kering. Kegiatan sortasi biji kakao kering membutuhkan kerja sebesar 0.13 HOK. Proses sortasi biji kakao kering tidak terlalu lama karena sebelumnya petani telah melakukan kegiatan sortasi biji basah, dan sortasi biji kering saat penjemuran biji kakao. Selanjutnya petani melakukan pengemasan, biji kakao kering yang telah disortasi, dimasukan kedalam karung plastik dan diikat dengan tali rafia. Kegiatan pengemasan biji kakao kering membutuhkan kerja sebesar 0.07 HOK.

Tabel 18 menampilkan perincian biaya upah untuk kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi berdasarkan jenis pekerjaan. Sepertihalnya pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi, biaya pemanenan merupakan biaya terbesar dalam biaya tenaga kerja kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi. Biaya pemanenan pascapanen kakao non fermentasi mencapai Rp 293 222. Total kerja yang dibutuhkan dalam pemanenan adalah sebesar 4.94 HOK.

55

Jika dibandingkan antara pemanenan untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi, maka akan terlihat bahwa total kerja pemanenan pada pascapenen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi, yaitu sebesar 4.94 HOK untuk kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi dan 4.07 HOK untuk kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Hal tersebut dikarenakan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, petani non fermentasi menggunakan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yang lebih banyak dari petani fermentasi. Biaya dan kerja TKLK pemenenan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 133 111 untuk 2.56 HOK.

Tabel 18 Pengunaan tenaga kerja kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi per hektar per panen pada musim panen puncak Mei 2014 Jenis Pekerjaan TKDK TKLK Total Kerja (HOK) Biaya (Rp) Kerja (HOK) Biaya (Rp) Kerja (HOK) Biaya (Rp) 1. Panen 2.39 160 111 2.56 133 111 4.94 293 222 2. Pengupasan buah 1.38 70 333 1.02 56 444 2.40 126 778 3. Sortasi biji basah 0.09 4 667 0.00 0 0.09 4 667 4. Pengeringan 0.65 33 189 0.00 0 0.65 33 189 5. Sortasi biji kering 0.50 25 167 0.00 0 0.50 25 167 6. Pengemasan 0.11 5 728 0.00 0 0.11 5 728 Jumlah 5.12 299 195 3.58 189 556 8.70 488 750 Kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan pengupasan buah pada pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, sebesar 2.40 HOK. Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengupasan sebesar Rp 126 777. Jika dibandingkan dengan kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi, jumlah kerja dan besaran biaya upah untuk kegiatan pengupasan lebih kecil. Hal itu disebabkan sebagian besar petani non fermentasi tidak melakukan sortasi buah kakao sebelum melakukan pengupasan buah, dan pada saat pengeluaran biji kakao dari buah kakao, petani tidak melakukan sortasi biji kakao basah. Dengan demikian, kerja yang dilakukan petani non fermentasi lebih cepat dibanding petani fermentasi. Setelah melakukan pengupasan buah kakao, kegiatan selanjutnya pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi adalah sortasi biji kakao basah. Hanya 13.33% petani non fermentasi melakukan sortasi biji kakao basah. Jumlah kerja yang diperlukan untuk sortasi biji basah sebesar 0.09 HOK. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kerja sebanyak itu sebesar Rp 4 667.

Jenis pekerjaan pascapanen yang dilakukan setelah sortasi biji kakao basah adalah pengeringan, sortasi biji kering dan pengemasan biji kakao. Kegiatan pengeringan, sortasi biji kering dan pengemasan biji kakao dilakukan oleh tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) tanpa melibatkan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Hal tersebut dikarenakan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga telah mencukupi untuk melakukan kegiatan tersebut. Pengeringan biji kakao pada pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi membutuhkan kerja sebanyak 0.65 HOK. Kerja sebanyak itu, biaya yang diperhitungkan oleh petani adalah sebesar Rp 33 189. Jumlah kerja dan biaya untuk sortasi biji kering adalah 0.50 HOK dan Rp 25 167. Jika dibandingkan dengan kegiatan pascapanen biji kakao

dengan aplikasi fermentasi, Jumlah kerja dan biaya yang dibutuhkan lebih besar 3 kali lipat. Hal tersebut disebabkan pada kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi, petani responden tidak melakukan sortasi biji basah hal ini menyebabkan petani memerlukan alokasi waktu lebih untuk sortasi biji kakao kering. Kegiatan sortasi biji kakao dilakukan dengan menapis biji kakao dan pemilahan biji kakao dengan komponen sampah. Selanjutnya, setelah sortasi biji kakao kering, kegiatan pascapanen yang dilakukan adalah pengemasan biji kakao. Jumlah kerja dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengemasan sebanyak 0.11 HOK dan Rp 5 728.

Biaya Karung

Setelah membahas biaya tenaga kerja yang merupakan biaya terbesar pertama, pembahasan berlanjut kepada biaya terbesar kedua dalam kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi yaitu biaya karung. Karung plastik dalam kegiatan pascapanen kakao digunakan untuk berbagai kebutuhan diantaranya pengemasan buah kakao yang telah dipanen, pengemasan biji kakao basah, wadah sortasi biji kakao basah, wadah pemeraman biji kakao basah, penutup kotak fermentasi, wadah sortasi biji kakao kering, serta pengemasan biji kakao kering. Karung plastik berukuran 50 kg digunakan petani untuk pengangkutan buah kakao pada kegiatan pengumpulan buah kakao, buah kakao dikumpulkan pada suatu tempat dan dilakukan pemeraman selama semalam di kebun petani. Pada hari selanjutnya petani melakukan pemecahan buah kakao. Biji kakao basah dikeluarkan dari buah kakao, selanjutnya biji kakao basah dimasukan kedalam karung. Petani fermentasi sekaligus melakukan sortasi biji kakao basah pada saat pengupasan buah. Saat kegiatan sortasi biji kakao basah, petani menggunakan karung yang berbeda untuk memisahkan biji kakao yang terkena hama penyakit dan tidak terkena hama penyakit. Jumlah karung yang digunakan sesuai dengan jumlah hasil panen. Selanjutnya biji kakao basah dimasukan dalam kotak fermentasi dan ditutup oleh daun pisang, karung goni atau karung plasik. Karung goni atau karung plastik yang digunakan petani untuk menutup kotak fermentasi dapat digunakan selama satu tahun dan jumlah karung yang digunakan tidak memengaruhi oleh jumlah biji kakao yang dihasilkan sehingga dikategorikan sebagai komponen biaya penyusutan peralatan. Setelah dilakukan fermentasi, biji kakao dijemur kemudian dilakukan pengemasan biji kakao kering. Bobot biji kakao kering yang dihasilkan 33 % dari bobot biji kakao basah, dengan demikian jumlah karung yang digunakan lebih sedikit dibandingkan karung yang digunakan untuk pengemasan biji kakao basah.

Karung plastik 50 kg yang digunakan petani merupakan karung bekas pupuk. Petani mencuci karung bekas pupuk tersebut sebelum digunakan untuk pengemasan biji kakao. Secara keseluruhan rata-rata jumlah karung plastik 50 kg yang digunakan petani kakao fermentasi sebanyak 7.53 buah dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 15 383. Rata-rata jumlah karung plastik 62.5 kg yang digunakan sebanyak 0.13 buah dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 667 per panen. Berbeda dengan kegiatan pascapanen biji kakao tanpa apliksi fermentasi, rata-rata jumlah karung plastik 50 kg yang digunakan petani sebanyak 7.33 buah dengan biaya sebesar Rp 20 111. Jumlah karung 62.5 kg yang digunakan petani

57

non fermentasi sebanyak 0.47 buah. Biaya karung yang dikeluarkan sebesar Rp 1 633 per panen.

Biaya Penyusutan Peralatan

Biaya penyusutan alat menyatakan pengurangan nilai dari alat yang dimiliki petani karena peralatan tersebut digunakan dalam usahatani. Nilai ekonomis alat yang dimiliki petani, dari waktu ke waktu mengalami kecenderungan untuk turun. Oleh karena itu, walaupun tidak dikeluarkan secara nyata, biaya penyusutan peralatan perlu dimasukan sebagai salah satu komponen biaya. Biaya penyusutan peralatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi adalah sebesar Rp 8 921. Sedangkan biaya penyusutan peralatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi adalah sebesar Rp 4 676. Biaya penyusutan yang ditanggung petani fermentasi yang lebih tinggi daripada petani non fermentasi tersebut mengindikasikan bahwa petani fermentasi mempunyai peralatan usahatani yang lebih banyak. Peralatan untuk kegiatan pascapanen kakao terdiri dari terpal, jaring-jaring, para-para, ember, piring, dan lori-lori. Petani fermentasi memiliki tambahan peralatan yaitu kotak fermentasi, karung goni, karung plastik, dan termometer. Kotak fermentasi yang dimiliki petani sebagian besar merupakan pemberian dari program Nestle Cocoa Plan yang diberikan kepada kelompok tani untuk melakukan proses fermentasi bersama. Penggunaan kotak fermentasi bersama pada beberapa kelompok tani berjalan dengan baik. Walaupun dalam satu kelompok tani yang terdiri dari 25 anggota, hanya 1 sampai 4 orang yang ikut melakukan fermentasi bersama dengan cara menggunakan kotak fermentasi secara bergantian. Hal ini dikarenakan belum banyak petani yang berminat untuk melakukan fermentasi biji kakao. Selain itu beberapa petani merasa kesulitan untuk melakukan fermentasi pada kotak fermentasi bersama karena kapasitas kotak fermentasi yang terbatas dan waktu penggunaan yang bersamaan yaitu pascapanen setiap 2 minggu sekali. Padahal, apabila kegiatan fermentasi bersama dapat dilakukan akan mengurangi beban penyusutan peralatan yang harus ditanggung oleh petani.

Biaya Tali rafia

Biaya tali rafia merupakan salah satu komponen biaya tunai yang digunakan petani untuk proses pengemasan biji kakao. Biaya tali rafia kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 598. Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya tali rafia pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 813. Hal ini dikarenakan penggunaan tali rafia pada pascapanen biji kakao tanpa apliksi fermentasi lebih banyak dibanding dengan aplikasi fermentasi. Tambahan penggunaan tali rafia pada kegiatan pascapanen biji kakao tidak terfermentasi digunakan untuk biji kakao basah yang dihasilkan saat panen dikemas dalam karung, kemudian diikat dengan tali rafia. Setelah biji kakao basah dikemas, biji kakao basah tersebut diperam selama 3 hari dalam karung untuk mengurangi kadar pulp pada biji kakao basah.

Biaya Daun Pisang

Biaya daun pisang merupakan biaya diperhitungkan dalam kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi. Daun pisang digunakan petani

untuk menutup biji kakao basah yang dimasukan dalam kotak fermentasi. Hal ini dilakukan untuk membentuk suhu yang optimal pada proses fermentasi. Daun pisang yang digunakan petani merupakan daun pisang yang diambil dari kebun petani sehingga biaya ini dikategorikan biaya diperhitungkan. Biaya daun pisang untuk kegiatan pascapanen biji kakao terfermentasi mencapai Rp 1 207 dengan penggunaan sebesar 1.33 lembar tiap panen.

Pendapatan Pascapanen Biji Kakao Dengan dan Tanpa Aplikasi Fermentasi Pendapatan pascapanen merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dengan biaya pascapanen yang dikeluarkan. Hasil perhitungan pendapatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi dan tanpa aplikasi fermentasi dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa pendapatan atas biaya total dan tunai perhektar perpanen pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan tanpa aplikasi fermentasi. Pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 891 430. Sedangkan, pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 630 194. Selisih antara pendapatan atas biaya total pascapanen biji kakao terfermentasi dan tidak terfermentasi sebesar Rp 261 236. Hal tersebut berarti kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi memberikan pendapatan yang lebih besar daripada tanpa aplikasi fermentasi.

Tabel 19 Pendapatan pascapanen biji kakao dengan dan tanpa aplikasi fermentasi perhektar perpanen

Keterangan Nilai Selisih

Fermentasi Tidak Fermentasi

Penerimaan (Rp) 3 368 606 3 146 178 222 428

Biaya Total (Rp) 477 175 515 984 -38 808

Biaya Tunai (Rp) 272 242 190 368 81 873

Pendapatan atas Biaya Tunai (Rp) 3 096 364 2 955 809 140 555

Pendapatan atas Biaya Total (Rp) 2 891 430 2 630 194 261 236

Biaya Tunai /kg 2 658 1 924 735

Biaya Total / kg 4 659 5 214 -554

Pendapatan tunai/ kg 30 234 29 867 367

Pendapatan total/kg 28 233 26 577 1 656

Pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 3 096 364 sedangkan pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 2 955 809. Hal ini disebabkan rata-rata penerimaan perhektar yang dihasilkan pada pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Selain itu, besarnnya biaya total perhektar pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Biaya total kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi mencapai Rp 477 175, sedangkan biaya total kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi mencapai Rp 515 984. Hal ini menunjukan bahwa kegiatan

59

pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi secara total tidak menambah biaya justru mengurangi biaya. Namun, biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 272 242. Sedangkan biaya tunai kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi sebesar Rp 190 368. Walaupun demikian pendapatan atas biaya tunai pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi.

Jika dilihat berdasarkan total biaya perkilogram biji kakao yang dihasilkan, rata-rata biaya total perkilogram yang dikeluarkan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi sebesar Rp 4 659 yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 5 214. Hal ini disebabkan biaya diperhitungkan perkilogram biji kakao yang dihasilkan pada kegiatan pascapanen biji kakao dengan aplikasi fermentasi lebih kecil dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi. Hal tersebut terlihat dari biaya TKDK kegiatan pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yang lebih besar dibandingkan aplikasi fermentasi. Disisi lain, pada biaya tunai perkilogram biji kakao terfermentasi, rata-rata biaya tunai perkilogram yang dikeluarkan sebesar Rp 2 658. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan rata-rata biaya tunai perkilogram pascapanen biji kakao tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 1 924. Hal ini menunjukan bahwa pada tiap kilogramnya selisih biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani fermentasi sebesar Rp 735. Dengan demikian, secara tunai biaya per kilogram biji kakao terfermentasi lebih besar dibandingkan dengan tidak terfermentasi, hal ini menjadi salah satu alasan petani tidak memroduksi biji kakao terfermentasi.

Jika dilihat lebih jauh pendapatan atas biaya total per kilogram biji kakao terfermentasi mencapai Rp 28 233 yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi fermentasi yaitu sebesar Rp 26 577. Hal ini menunjukan bahwa tiap kilogramnya petani yang memroduksi biji kakao terfermentasi memperoleh tambahan pendapatan secara total sebesar Rp 1 656, dibandingkan dengan petani non fermentasi. Hal ini disebabkan karena harga per kg biji kakao yang diterima petani fermentasi lebih besar dibandingkan dengan harga yang diterima petani non fermentasi. Selanjutnya, jika dilihat dari pendapatan atas biaya tunai per kilogram biji kakao terfermentasi sebesar Rp 30 233 yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai per kilogram biji kakao tidak terfermentasi yaitu sebesar Rp 29 867. Perbedaan pendapatan atas biaya tunai perkilogram antara petani fermentasi dan non fermentasi sebesar Rp 367. Hal ini menunjukan bahwa secara tunai perbedaan pendapatan per kilogram biji kakao terfermentasi dengan tidak terfermentasi sangat rendah.

Dokumen terkait