• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus Dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus Dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI DAN KARAKTERISASI PARSIAL

PARAMYXOVIRUS

DARI KELELAWAR ASAL HUTAN

BAKAU OLIBUU, KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI,

KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

DESI SYAHRENI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Desi Syahreni

(4)

RINGKASAN

DESI SYAHRENI. Deteksi dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Penyakit zoonotik didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara alamiah antara hewan dan manusia. Dilaporkan bahwa 75% penyakit menular baru pada manusia merupakan penyakit zoonotik. Penyakit zoonotik baru yang muncul pada manusia kebanyakan ( sekitar 60,3%) akibat kontak dengan satwa liar. Pengendalian penyakit zoonotik saat ini belum dilaksanakan secara efektif dan efisien, hal ini disebabkan oleh banyak faktor dan kendala baik di dalam kebijakan pemerintah maupun masalah teknis di lapangan. Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik yang paling efektif dan efisien adalah tindakan yang dilakukan pada sumber penyakit, salah satunya kelelawar. Virus merupakan patogen yang dapat menginfeksi hewan, tumbuhan, dan manusia. Salah satu virus yang perlu diwaspadai adalah berasal dari famili Paramyxoviridae seperti measles, mumps, Respiratory Syncitial Virus (RSV), Hendara dan Nipah virus yang di perantarai oleh kelelawar buah sebagai resevoar alami.

One Health merupakan suatu konsep interaksi kerjasama berbagai disiplin ilmu dan sektor yang bekerja di tingkat lokal, nasional dan global untuk mencapai kesehatan yang optimal untuk manusia, hewan dan lingkungan. Adanya interaksi antara kelelawar dan manusia (human-animal interface), khususnya anggota masyarakat Gorontalo sebagai penangkap kelelawar dan mendistribusikan hasil tangkapannya ke Sulawesi Utara (suku Minahasa), mengindikasikan kemungkinan terdapatnya risiko penularan agen penyebab penyakit dari kelelawar kepada manusia. Di sisi lain, suku Minahasa dikenal sebagai konsumen satwa liar salah satunya kelelawar, hal ini mungkin dapat meningkatkan risiko tertularnya manusia terhadap penyakit zoonotik. Tujuan penelian ini untuk mendeteksi dan karakterisasi parsial materi genetik dari kelelawar di daerah Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo dan membandingkan tingkat kekerabatan genetik virus yang dideteksi dan diidentifikasi dari kelelawar yang berasal dari daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan 95 sampel dari specimen feses atau rectal swab dari spesies kelelawar pemakan buah (Pteropus alecto) dengan metoda Polymerase Chain

Reaction (PCR), dilanjutkan dengan sekuensing kemudian dianalisis

menggunakan program BioEdit menggunakan teknik Basic Local Alignment Search Tool (BLAST), NCBI dan program Molecular Evolutionary Genetics Analysis 6 (MEGA 6) untuk pembuatan pohon filogenetik.

(5)

yang dikonfirmasi memiliki runutan nukleotida sesuai dengan paramyxovirus dianalisis lebih lanjut menggunakan sistem bioinformatika, salah satunya untuk melihat kekerabatan dengan membuat pohon filogenetik menggunakan program Bioedit dan MEGA6. tiga sampel, yaitu: INDSWBT-105, INDSWBT-107 dan INDSWBT-190 merupakan sampel yang dikonfirmasi positif terhadap

paramyxovirus. Ketiga sampel positif paramyxovirus tersebut memiliki kekerabatan cukup dekat dengan beberapa paramyxovirus yang sudah dipublikasikan.

(6)

SUMMARY

DESI SYAHRENI. Detection and Partial Characterization of Paramyxovirus from Bats Originated From Mangroves Olibuu, Paguyaman Pantai Subdistrict, Boalemo Regency, Gorontalo Province. Supervised by JOKO PAMUNGKAS dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.

Zoonotic disease defined by the World Health Organization (WHO) as the diseases naturally transmitted between animals and humans. It was reported that 75% of new infectious diseases in humans are zoonotic diseases. Emerging zoonotic diseases in humans most (approximately 60.3%) due to contact with wildlife. Control of zoonotic diseases currently not implemented effectively and efficiently, it is caused by many factors and obstacles both within government policy and technical issues in the field. Prevention and control of zoonotic diseases are most effective and efficient are the actions performed on the source of the disease, one of them bats. The virus is a pathogen that can infect animals,

plants, and humans. One virus to watch is derived from the family Paramyxoviridae such as measles, mumps, syncitial Respiratory Virus (RSV), Hendara and Nipah virus mediated by fruit bats as the natural resevoar.

One Health is a concept of interaction and cooperation of various disciplines who work in the sector locally, nationally and globally to achieve optimal health for people, animals and the environment. The interaction between bats and humans (human-animal interface), especially members of the community as a catcher bat Gorontalo and distribute their catches to the North Sulawesi (Minahasans tribe), indicate the possible presence of disease-causing agents the risk of transmission from bats to humans. On the other hand, is known as a consumer Minahasans wildlife one bat, it may increase the risk of human transmission of the zoonotic diseases. The purpose of this study presented for the detection and partial characterization of the genetic material of bats in the area Mangrove Olibuu, District Paguyaman Beach, Boalemo district, Gorontalo and compared the genetic relationship viruses are detected and identified from the bats coming from the area. This study using 95 samples from specimen of stool or rectal swab of species of fruit bats (Pteropus Alecto) by the method of Polymerase Chain Reaction (PCR), followed by sequencing and analyzed using the program Bioedit using techniques Basic Local Alignment Search Tool (BLAST), NCBI and Molecular Evolutionary Genetics Analysis program 6 (MEGA 6) for the manufacture of phylogenetic trees.

(7)

confirmed positive sample against paramyxovirus. The paramyxovirus third positive samples have fairly close kinship with some of the paramyxovirus that has been published.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mikrobiologi Medik

DETEKSI DAN KARAKTERISASI PARSIAL

PARAMYXOVIRUS DARI KELELAWAR ASAL HUTAN

BAKAU OLIBUU, KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI,

KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Sub

hanahuWaTa’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Deteksi dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Penelitian ini di danai oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang bekerjasama dengan PREDICT USAID. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan untuk Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Rasa terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Drh. Joko Pamungkas, M.Sc dan Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, M.Sc., Sp.MP selaku pembimbing yang banyak memberikan arahan, masukan, bimbingan dan waktunya selama proses penelitian dan penulisan tesis ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Fachriyan H Pasaribu selaku ketua Prodi Mikrobiologi Medik, terima kasih kepada Drh. Surachmi Setiyaningsih, Ph.D selaku dosen penguji luar komisi pembimbing atas saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih kepada semua Ibu dan Bapak Dosen Program Studi Mikrobiologi Medik yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, terima kasih kepada seluruh staf dan laboran di Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi Mikrobiologi Medik 2014 yang turut membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan tesis ini, terima kasih juga kepada angkatan 2013, 2015 atas saran, masukan dan berbagi ilmunya serta semua pihak yang telah membantu selama studi dan pelaksanaan penelitian.

Ungkapan terima kasih dan hormat juga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Syahrial dan Ibunda tercinta Elizarni, kakak- kakak (Novi Eljeri S, SE, Dede Saputra S, Nofiana Latifa, Sri Maira, S. Pt, Bendri Yanuf, S. Pt), adik- adik (Hari Aksa Mulya dan Husnil Fajri), serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Penulis juga mengucapakan terimasih kepada Abang Rabbul Zukri atas semangat, motivasi dan kesabarannya dalam menunggu sampai penulis menyelesaikan pendidikan Magister. Penulis juga berkesempatan mengucapan terima kasih kepada anggota Karona Cantik dan GaGaCa Minang atas dukungan moril selama menempuh studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Paramyxovirus 3

Kelelawar 9

3 METODE PENELITIAN 14

Waktu dan Tempat Penelitian 14

Sampel Penelitian 14

Alat dan Bahan 14

Analisis Laboratorium 14

Analisis Hasil Sekuensing 16

Analisis Data 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 18

5 KESIMPULAN DAN SARAN 22

Kesimpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1. Kode, Lokasi dan Fungsi Protein Viral 6

2. Runutan nukleotida primer Paramyxovirus 16

3. Daftar sampel positif dan persentase tingkat kemiripan Paramyxovirus

hasil analisis menggunakan BLAST 18

4. Daftar wabah ( Outbreaks) Nipah virus: Malaysia, Singapura,

Bangladesh dan India 20

DAFTAR GAMBAR

1. Struktur Virus berdasarkan komposisi kelengkapan proteinnya. 5

2. Strand Negatif Genom linear RNA, berukuran sekitar 17 kb dapat

menyimpan 9 Protein (Hulo, et al., 2011) 7

3. Proses replikasi virus Paramyxoviridae (Madigan et al., 2012) 8

4. Black flying-fox (Pteropus alecto). 12

5. Visualisasi hasil Nested PCR dari 3 sampel usap rectum kelelawar asal hutan bakau Olibuu, Sulawesi Utara dengan primer PAR-F2 dan PAR R. M: marker Vc 100 bp, lane 1-3: Hasil positif nested PCR 18

6. Pohon filogenetik menggunakan metode Neighbor joining berdasarkan fragmen gen L. Tiga sampel positif dibandingkan dengan runutan nukleotida yang memiliki kemiripan dengan runutan nukleotida

paramyxovirus yang terdapat di GenBank. 19

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Visualisasi Elektroforesis menggunakan GelDog (BioRad) 29

2. Pensejajaran sekuens Bat paramyxovirus INDSWBT regio gen L isolat

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sekitar 75% penyakit infeksius yang baru muncul (emerging infectious diseases/ EID) pada manusia merupakan penyakit zoonotik (Wolfe et al. 2005; Naipospos 2010). Penyakit zoonotik atau zoonosis didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara alamiah antara hewan dan manusia (Shakespeare 2009). Penyakit zoonotik baru pada manusia kebanyakan (sekitar 60.3%) terjadi sebagai akibat kontak dengan satwa liar (Wolfe et al. 2005). Pengendalian penyakit zoonotik saat ini belum dilaksanakan secara efektif dan efisien, hal ini disebabkan oleh banyak faktor dan kendala baik di dalam kebijakan pemerintah maupun masalah teknis di lapangan. Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik yang paling efektif dan efisien adalah tindakan yang dilakukan pada sumber penyakit, salah satunya kelelawar (Shakespeare 2009).

Virus merupakan patogen yang dapat menginfeksi hewan, tumbuhan, dan manusia. Salah satu virus yang perlu diwaspadai adalah berasal dari famili

Paramyxoviridae merupakan penyebab penyakit mayor pada anak-anak seperti

measles dan mumps. Anggota lain dari famili ini, yaitu Respiratory Syncitial Virus

(RSV) merupakan penyebab infeksi pernafasan ringan pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia dan penyakit saluran pernafasan akut pada orang tua. Parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 3 menyebabkan penyakit pernafasan akut pada orang dewasa dan anak-anak (Engleberg et al. 2006). Anggota baru dari famili virus ini yaitu virus Hendra dan virus Nipah diketahui bersifat zoonotik yang mengakibatkan infeksi yang fatal pada manusia (Van Boheemen et al. 2012). Berdasarkan penelitian lebih lanjut ternyata virus tersebut memiliki inang perantara utama yaitu kelelawar buah (Dodet & Vicari 2001). Kelelawar termasuk dalam ordo

Chiroptera dengandua subordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera.

Kelompok kelelawar di Indonesia mencapai 32% dari keanekaragaman mamalia yang ada (Baillie et al. 2014). Kelimpahan, distribusi dan tingkat mobilitasnya memberi risiko tinggi untuk transmisi zoonosis dari hewan lain (Calisher et al. 2006). Kelelawar mampu terbang 15- 1800 kilometer (Wong et al.

2007 & Calisher et al. 2006) sehingga mampu mentransmisikan virus lebih mudah. Semakin dekat interaksi antara kelelawar dengan manusia semakin tinggi kemungkinan penularannya. Interaksi satwa liar dengan manusia tersebut diperantarai oleh beberapa pemicu (drivers): pembukaan hutan, industri penambangan, ekowisata, transportasi, perburuan dan perdagangan satwa liar. Masyarakat Sulawesi (suku Minahasa) dikenal sebagai konsumen berbagai hewan domestik maupun hewan liar. Kelelawar adalah salah satu daging yang paling disukai, bahkan menjadi extreme culinary (Whitten et al. 1987).

(16)

2

salah satunya kelelawar, pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) termasuk di dalamnya implementasi konsep Satu Kesehatan atau One Health diperlukan dalam pencegahan penularan agen penyakit dari satwa liar kepada manusia. Kegiatan surveilans yang sistematik dan pengembangan kapasitas diagnostik terhadap ancaman penyakit zoonotik yang berbahaya bagi manusia perlu ditegakkan. Hal ini dapat memberi gambaran keterdapatan patogen tertentu dan sebarannya pada satwa liar agar membantu tindakan antisipasi pencegahan dan penanggulangannya pada manusia.

Adanya interaksi antara kelelawar dan manusia (human-animal interface), khususnya anggota masyarakat Gorontalo sebagai penangkap kelelawar dan mendistribusikan hasil tangkapannya ke Sulawesi Utara (suku Minahasa), mengindikasikan kemungkinan terdapatnya risiko penularan agen penyebab penyakit dari kelelawar kepada manusia. Di sisi lain, suku Minahasa dikenal sebagai konsumen satwa liar salah satunya kelelawar, hal ini mungkin dapat meningkatkan risiko tertularnya manusia terhadap penyakit zoonotik.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan karakterisasi parsial materi genetik dari kelelawar di daerah Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo dan membandingkan tingkat kekerabatan genetik virus yang dideteksi dan diidentifikasi dari kelelawar yang berasal dari daerah tersebut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai virus yang dideteksi dan diidentifikasi pada kelelawar serta tingkat kekerabatan genetiknya sehingga dapat membantu pihak yang berwenang untuk membuat suatu kebijakan.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Paramyxovirus

Klasifikasi

Paramyxovirus adalah virus kelompok lima dari klasifikasi Baltimore yang merupakan virus dengan genom non segmented, negative single stranded (-) sense

RNA yang memiliki ukuran sebesar 15-19 kilo-basepairs, kapsid heliks, memiliki amplop dan diselimuti duri-duri. Paramyxoviridae dibagi dalam dua sub family yakni Paramyxovirinae dan Pneumovirinae yang awalnya terdiri dari tiga genus yakni Respirovirus, Rubulavirus dan Morbilivirus, namun selanjutnya ditemukan genus Pneumovirus dan Metapneumovirus. Pengelompokkan ini berdasarkan kriteria morfologi, organisasi gen, kegiatan biologis protein dan hubungan sekuen encode protein. Sedangkan hubungan evolusi dari family paramyxoviridae berdasarkan nukleokapsid dan sekuen asam amino phospoprotein (Fridell et al., 2004).

Menurut (Lamb et al., 2005; Nylund et al., 2008) bahwa pada subfamili Paramyxovirinae, ditemmukan adanya genera baru berikutnya yakni Henipavirus dan Avulavirus. Meskipun telah ditemukan adanya genera baru berikutnya yang dapat meningkatkan diversitas dari subfamili Paramyxovirinae, namun beberapa virus belum diketahui (unclassified) pada subfamili tersebut. Pada family Paramyxoviridae terdapat dua subfamily yang didalamnya terdiri dari tiga genus dan yang lain terdiri dari dua genus, adapun spesies dari virus yang terdapat dari masing-masing genus tersebut yakni:

1. Subfamili Paramyxovirinae

Genus Respirovirus contoh spesies yakni: a. Bovine parainfluenza virus 3 (BPIV-3) b. Human parainfluenza virus 1 (HPIV-1) c. Human parainfluenza virus 3 (HPIV-3) d. Sendai virus (murine parainfluenzavirus1) e. Simain parainfluenza virus 10 (SPIV-10) Genus Morbillivirus

a. Canine distemper virus (CDV) b. dolphin distemper virus (DMV) c. measles virus (MeV)

(18)

4

e. Avian paramyxovirus 6 (APMV-6) f. Avian paramyxovirus 7 (APMV-7) g. Avian paramyxovirus 8 (APMV-8) h. Avian paramyxovirus 9 (APMV-9) i. Human parainfluenza virus 2 (HPIV-2) j. Human parainfluenza virus 4a (HPIV-4a) k. Human parainfluenza virus 4b (HPIV-4b) l. Mumps virus

m. Newcastle disease virus (avian paramyxovirus 1 (NDV; APMV-1) n. Porcine rubulavirus

o. Simian parainfluenza virus 5 (SV-5) p. Simian parainfluenza virus 41 (SV-41) 2. Subfamili Pneumovirinae

Genus: Pnuemovirus

a. Bovine respiratory syncytial virus (BRSV) b. Human respiratory syncytial virus (HRSV) c. Pneumonia virus of mice (PVM)

Genus: Metepneumovirus

a. Turkey rhinotracheitis virus (TRTV) b. Fer-de-Lance virus of reptiles (FDLV) c. Mapuera virus (MPRV)

d. Nariva virus (NARV)

Dari klasifikasi/pengelompokkan virus berdasarkan subfamili dan genusnya, seluruhnya hanya ditemukan pada hewan-hewan darat seperti reptile, aves dan mamalia termasuk manusia.

Virologi

Rata-rata virus paramyxovirus memiliki ukuran 150-350 nm dengan struktur yang terdiri dari spike, amplop, dan nukleokapsid. Tidak seperti virus influenza yang memiliki 8 segmen, virus pramyxoviridae tidak memiliki segmen, dan pada influenza terdapat dua glikoprotein (spike) yakni hemaglutinin dan neuraminidase, namun pada paramyxoviridae juga memiliki dua spike tapi HA dan NA berada di satu spike dan spike yang lain mengandung fusion F protein yang digunakan untuk fusion/penetrasi. Virus ini berbentuk bulat (spherical) atau plemorpik. Nukleokapsidnya berbentuk heliks dikelilingi oleh amplop, pada bahan genetiknya terdapat untai tunggal genetik dengan RNA sense negative 15- 17 kb yang mengandung nucleoprotein, phospoprotein, dan protein L (large). Pada nukleoproteinnya dilengkapi dengan enzim kompleks polymerase. Jenis-jenis protein ini sangat penting untuk digunakan dalam mengidentifiksi Jenis-jenis-Jenis-jenis virus pada famili paramyxoviridae. Pada struktur genomiknya memiliki 9 elemen transkripsional (spesies mRNA). ORF utama merupakan untai templet karena

dimulai dari 3’ ke 5’ (Hulo et al., 2011).

(19)

5 tiga nucleocapsid mengandung protein yang tersusun atas sebuah RNA binding protein, sebuah phospoprotein dan Large protein. Matriks potein berada diantara inti dan amplop virus. Amplop tersebut ditutupi dengan spike yang tersusun atas satu glikoprotein yang berfungsi pada pelekatan sel, dan glikoprotein lain yang terlibat dalam fusi virus pada membrane sel (Kvellestad et al., 2003).

Gambar 1 Struktur Virus berdasarkan komposisi kelengkapan proteinnya. Tidak seperti virus strand positif, virus strand negatif seperti Paramyxoviridae tidak dapat lansung diterjemahkan dalam proses translasi, namun terlebih dahulu harus melalui tahapan transkripsi menggunakan enzim yang dibawa. Proses ini terjadi di sitoplasma sehingga menghasilkan dua bentuk RNA, pertama adalah mRNA yang mengkode setiap protein virus dan yang kedua berfungsi sebagai template untuk sintesis salinan RNA genomic.

(20)

6

Tabel 1 Kode, Lokasi dan Fungsi Protein Viral

Produk Gen Lokasi Fungsi Ukuran

Nukleoprotein

Nukleukapsid tersusun atas sense negative, single strand RNA yang terasosiasi dengan Nucleoprotein (NP), Plomerase Phospoprotein (P), dan Large Protein (L). L protein merupakan RNA polymerase, P protein memiliki fungsi dalam memfasilitasi pembentukan RNA dan NP protein membantu dalam maintain struktur genom. Nukleukapsid juga berasosisasi dengan Matriks protein (M) yang terdapat dalam amplop virus, sedangkan amplop virus juga tersusun atas fusion protein (F) yang berfungsi sebagai promoter fusi dari virus ke sel inang dan terdapat juga sebuah protein untuk pelekatan yakni Hemagglutinin neuraminidase (HN), Hemaglutinin (H) atau G protein. Protein F harus diaktivasi dari pembelahan proteolitik dengan memproduksi F1 dan F2 glikopeptida yang dilaksanakan oleh obligasi disulfide untuk aktifitas fusi membrane. Sehingga

(21)

7

Gambar 2 Strand Negatif Genom linear RNA, berukuran sekitar 17 kb dapat menyimpan 9 Protein (Hulo, et al., 2011)

Replikasi Virus

Menurut Hulo et al. (2011) replikasi virus ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Attachment, atau pelekatan pada reseptor di permukaan sel inang melalui HN glikoprotein. Virus akan menemukan reseptor yang sesuai untuk berikatan dengan protein virus.

2. Fusion, atau penetrasi melalui membrane plasma, spike yang menempel pada membrane sel dilepaskan sehingga ribonukleokapsid masuk dalam sel dan kemudian melepaskan kapsid sitoplasma, sehingga bahan genetic saja yang masuk ke dalam inti sel.

3. Transkripsi sequential yakni transkripsi yang terjadi secara menerus dengan tujuan membentuk mRNA. Terlebih dahulu dibentuk RNA rantai positif, kemudian rantai positif tersebut akan ditranskripsi menjadi mRNA untuk ditranslasi di sitoplasma menjadi protein baru sebagai bahan perakitan (Assembling).

4. Replikasi akan dimulai ketika nukleoprotein cukup untuk pembentukan encapsidate antigenomes neo-sintesis dan genom untuk perakitan. Replikasi ini dilakukan pada double strand RNA yang kemudian rantai negative RNA akan dijadikan bahan genetic untuk virus baru.

(22)

8

Adapun proses infeksi virus dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3 Proses replikasi virus Paramyxoviridae (Madigan et al., 2012) Patogenesis

Beberapa jenis virus dari famili Paramyxoviridae yang menyerang manusia antara lain, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Mumps Virus (Muv), dan

Parainfluenza Virus (PIV), sedangkan pada hewan antara lain Newcastle Disease Virus (NDV) dan Rinderpest Virus (RPV). Paramyxovirus dikenal sebagai patogen yang banyak ditemukan dan memiliki berbagai macam inang, antara lain burung (termasuk ayam dan kalkun), hewan perairan (salmon, paus, anjing laut, lumba-lumba), rodensia (tikus dan mencit), anjing, kucing, domba, reptil (ular dan kadal), kuda, babi, kelelawar, simian, dan manusia (Tong et al. 2008). Spektrum inang yang luas disebabkan persamaan reseptor inang dari Paramyxovirus yang dapat dikenali oleh anti reseptor pada virus. Virus ini dapat ditransmisikan melalui udara (airborne) dan melalui cairan tubuh dari inang yang terinfeksi virus ini. Pada manusia, paramyxovirus dikaitkan dengan penyakit pada saluran pernapasan seperti bronchiolitis, pneumonia, enchepalitis, meningitis, parotitis,

orchitis, penyakit ruam, infeksi persisten, measles (campak) (Krauss et al. 2003). Famili dari Paramyxoviridae merupakan penyebab penyakit utama pada anak-anak seperti measles dan mumps. Anggota lain dari famili ini, yaitu

(23)

9 Anggota baru dari famili virus ini yaitu Hendra dan Nipah Virus diketahui bersifat

zoonosis yang mengakibatkan infeksi yang fatal pada manusia (van Boheemen et al. 2012). Berdasarkan penelitian lebih lanjut ternyata kedua virus tersebut memiliki inang perantara utama yaitu kelelawar buah (Dodet dan Vicari 2001). Hal ini menyebabkan kelelawar menjadi sumber potensi signifikan dari penyakit menular infeksius. Jumlah dan keragaman virus yang diidentifikasi pada kelelawar semakin hari kian meningkat (Wynne dan Wang 2013).

Kelelawar

Kalsifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Diperkirakan keanekaragaman jenis kelelawar lebih dari 50% dari keanekaragaman seluruh mamalia. Hampir seperempat dari seluruh jenis mamalia di dunia merupakan anggota ordo Chiroptera (Zimmer 1998). Jenis kelelawar yang sudah diketahui di Indonesia berkisar 205 jenis yang terbagi menjadi 9 famili dan 52 genus. Kesembilan family tersebut antara lain Pteropididae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Mollosidae (Suyanto 2001).

Morfologi kelelwar

Kelelawar termasuk ordo Chiroptera. Chiroptera berasal dari bahasa Yunani

“Cheir” yang berarti tangan, dan “pteros” yang berarti selaput, atau dapat diartikan sebagai “sayap tangan”, karena kaki depannya termodifikasi menjadi

sayap. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Pada kelelawar betina, patagium

berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengn kepala di bawah. Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya ketika cuaca dingin dan mengipaskan sayapnya jika cuaca panas, kelelawar aktif pada malam hari karena pada siang hari dapat mengakibatkan radiasi yang merugikan sayap yang disebabkan karena terkena cahaya matahari sehingga lebih banyak panas yang diserap daripada yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan sayap kelelawar hanya berupa selaput kulit yang tipis yang sangat rentan terkena sinar matahari (Cobert dan Hill 1992).

Kelelawar memiliki dua sub-ordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera umumnya herbivore dan memiliki cirri- cirri mata besar, penciuman yang baik, memiliki struktur telinga yang sederhana, tidak memiliki tragus/ antitragus, ekor biasanya pendek bahkan tidak ada, jari sayap kedua umumnya bercakar, kecuali Eonycteris, Dobsonia, dan Neopteryx.

(24)

10

berbobot 10 gram, dan yang paling besar Kalong kapuk ( Pteropus vampyrus) bisa mencapai berat 1500 gram, bentangan sayapnya mencapai 1700 mm, dari lengan bawah sayapnya 36-228 mm, sedangkan Microchiroptera merupakan insektivora, dan sebagian kecil merupakan omnivore, karnivora, piscivora, frugivora dan nectarivora. Microchiroptera umumnya berukuran kecil, memiliki struktur telinga yang kompleks, memiliki tragus/ antitragus. Tragus adalah bagian menonjol dari dalam daun telinga seperto tongkat, sedangkan antitragus adalah bagian menonjol dari luar daun telinga yang berbentuk bundar atau tumpul (Suyanto 2001).

Microchiroptera paling kecil berbobot 2 gram dan paling besar 196 gram, dan lengan bawah sayapnya 22-115 mm. jenis kelelawar tertentu, terutama family

Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki bagian khusus pada wajah, terutama bagian lubang hidung, yang disebut daun hidung. Bagian ini merupakan tonjolan kulit. Pada jenis- jenis kelelawar lain, daun hidungnya sangat sederhana, berupa lipatan kulit yang kecil tunggal dan tumbuh di ujung hidung saja. Jari sayap kedua tidak bercakar, tetapi pada genus Miniopterus memiliki panjang ruas akhir (kedua) jari sayap nomor tiga hampir tiga kali panjang ruas jari pertama (Suyanto 2001).

Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar

Kelompok kelelawar saja mencapai 32% dari keanekaragaman mamalia yang ada di Indonesia (Baillie et al. 2014). Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti gua, hutan alami, hutan buatan dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak alternative dalam memilih tempat bertengger. Jenis kelelawar seperti Kalong kapuk (Pteropus vampyrus), Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus) dan banyak jenis sub ordo Megachiroptera lainnya memilih tempat bertengger untuk tidur pada pohon- pohon yang tergolong besar, sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang termasuk sub ordo Microchiroptera lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubang- lubang batang pohon, celah bambu maupun gua. Beberapa jenis hidup secara berkoloni, berkelompok kecil, berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Cobert dan Hill 1992).

(25)

11 Prilaku Makan Kelelawar

Kebiasaan makan kelelawar bervariasi seperti kebanyakan mamalia pada umumnya. Keanekaragaman makanan disesuaikan dengan morfologi dan fisiologi pada kelelawar. Jenis pakan dari beberapa kelelawar adalah arthropoda, serangga, mamalia kecil, burung, reptile, amfibi, ikan, bangkai, buah, bunga, nectar, polen dan daun (Altringham 1996). Sub ordo Megachiroptera memiliki komposisi pakan sebagian besar terdiri atas buah, bunga, daun, polen dan nectar. Lebih dari 250 jenis kelelawar memakan satu atau beberapa jenis tumbuhan, dengan memakan buah ataupun nectar bunga, sedangkan sub ordo Microchiroptera sebagian besar adalah pemakan serangga, selain itu beberapa terdapat jenis sub ordo Microchiroptera penghisap darah misalnya Desmodus rotundus dan pemakan madu misalnya Leptonecteris curasoae (Altringham 1996). Meskipun serangga merupakan komponen utama dari kebanyakan pakan kelelawar tetapi laba- laba, kalajengking, udang- udangan dan arthropoda lainnya juga dimakan, sekitar 70% dari semua spesies kelelawar pemakan serangga.

Kelelawar pemakan buah dapat menyebarkan biji sekitar 47 spesies tanaman berbeda pada setiap jenis kelelawar (Lopez dan Chistoper 2007). Menurut Suyanto (2001). Bahwa penyebaran biji ini dapat meningkatkan kualitas hidup tumbuhan itu sendiri. Kelelawar pemakan buah atau madu ini mempunyai peranan sangat penting di dalam regenerasi hutan dan penyerbuk tanaman yang memilki nilai komersial tinggi. Kelompok kelelawar ini sering memakan buah tidak di lokasi tanaman yang sedang berbuah, akan tetapi membawa dan membuang sepah dan biji buah jauh dari tempat lokasi tanaman tersebut (Sinaga 2006). Kelelawar pemakan nectar dan polen memiliki prilaku makan yang unik, yaitu terbang mengelilingi pohon sebelum mendarat pada kelopak bunga, melayang- laying di atas kelopak bunga kemudian secara perlahan mendekati bunga dan mulai menghisap nektar. Kelelawar menghisap nektar dari 2 sampai 3 bunga sebelum pergi (Elangovan 2000).

(26)

12

Gambar 4 Black flying-fox (Pteropus alecto).

Sumber : Nick Edards (www.enigmatech.com.au)

Kelelawar dari family Pteropodidae berukuran kecil hingga besar ini (lengan bawah 40-220 mm) memiliki warna rambut mulai dari coklat, abu-abu hingga hitam. Wajahnya yang menyerupai anjing menjadi ciri khas famili ini. Mata yang relatif besar, telinga yang kecil, mocong yang kuat dan hidung yang sederhana melengkapi penampakan famili Pteropodidae. Semua jenis dari famili ini memiliki cakar kecuali Marga Dobsonia, Eonycteris, Neopteryx, Melonycteris,

Notopteris. Ekordan selaput ekor berukuran relatif kecil atau tidak terdapat sama sekali (Corbet dan Hill 1992).

Kelelawar dari famili Pteropodidae beraktivitas pada malam hari (nocturnal) ([UCMP] 2009). Makanan utama famili ini adalah buah,bunga, nektar dan serbuk sari. Sebagian besar kelelawar ini menggelantung di cabang pohon atau dedaunan, sendiri atau membentuk kelompok hingga ratusan individu. Kelelawar dari famili Pteropodidae tidak dapat melakukan ekolokasi namun terdapat satu jenis dari Marga Rousettus yang melakukan ekolokasi dengan menggunakan suara decak yang dihasilkan oleh lidah, dan jenis ini dapat ditemukan di gua (Corbet dan Hill 1999; Altringham 1996).Secara ekologi jenis-jenis kelelawar dari famili Pteropodidae memiliki peran sebagai penyerbuk, penyebar biji tumbuhan ataupun tanaman komersial. Sehingga keberadaan mereka merupakan salah satu kunci keberhasilan regenereasi hutan maupun dan produksi buah-buahan. Famili Pteropodidae terdiri dari 42 Marga dan 169 jenis di dunia (Nowak 1999).

Kelelawar sebagai reservoir agen penyakit

(27)

13 sembilan famili dari jenis tersebut termasuk ke dalam 52 genus. Megachiroptera

memiliki satu famili yaitu Pteropodidae yang memiliki 42 genus dan 166 spesies. Microchiroptera memiliki 16 famili yang memiliki 135 genus dan 179 spesies (Calisher et al. 2006). Salah satu spesies kelelawar yang memiliki ukuran tubuh lebih besar, yang hidup tersebar di beberapa habitat hutan hujan tropis di Gorontalo adalah rubah hitam terbang (Black flying fox) Pteropus alecto.

Kelelawar merupakan reservoir pembawa berbagai jenis virus. Rabies merupakan penyakit yang paling banyak diketahui dibawa oleh kelelawar. Salah satu penyakit yang perlu diwaspadai adalah Famili dari Paramyxoviridae

merupakan penyebab penyakit utama pada anak-anak seperti measles dan mumps. Anggota lain dari famili ini, yaitu Respiratory Syncitial Virus (RSV) merupakan penyebab infeksi pernafasan ringan pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia dan penyakit saluran pernafasan akut pada orang tua. Parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 3 menyebabkan penyakit pernafasan akut pada orang dewasa dan anak-anak (Engleberg et al. 2006). Anggota baru dari famili virus ini yaitu Hendra dan Nipah Virus diketahui bersifat zoonosis yang mengakibatkan infeksi yang fatal pada manusia (van Boheemen et al. 2012).

Densitas populasi kelelawar yang padat dan perilaku bersarang dengan populasi besar meningkatkan transmisi virus intra dan antar spesies. Kelelawar dapat bertahan terhadap infeksi virus dan menjaga perkembangan virus dalam tubuhnya. Hal ini didukung oleh kemampuannya untuk berhibernasi. Suhu tubuh kelelawar saat hibernasi adalah 8°C sampai dengan 24°C. Suhu dingin dapat mengendalikan viremia yang terjadi dalam tubuh kelelawar sehingga kelelawar tetap bertahan hidup. Akibatnya, kelelawar dapat menularkan virus melalui sekretnya dan individu yang rentan terhadap virus terinfeksi (Calisher et al. 2006). Indonesia merupakan jalur migrasi kelelawar antara Australia dan Papua Nugini (Calisher et al., 2006; Breed et al., 2010). Jarak terbang kelelawar yang jauh dan peranannya sebagai reservoir berbagai virus memungkinkan penyebarannya dan penularan virus antar wilayah. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya wabah penyakit, termasuk penyakit baru (emerging disease).

(28)

14

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016 di Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor ( PSSP LPPM- IPB).

Sampel Penelitian

Sebanyak 95 sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesimen feses atau usapan rectum dari spesies kelelawar pemakan buah (Pteropus alecto)

yang berasal dari hutan bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sampel yang diperiksa merupakan koleksi sampel Laboratorium Bioteknologi PSSP LPPM-IPB yang diperoleh sebagai bagian dari kegiatan Prediction (PREDICT) Indonesia yang merupakan salah satu komponen program dari Emerging Pandemic Threats dari USAID.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah Biosafety cabinet 2A (NUAIR), laminar air flow cabinet (ESCO), tabung mikrosentrifugasi (vial), mesin sentrifugasi, pipet mikro dan tips, mesin PCR (GeneAmp® PCR System 9700, Applied Biosystem

dan Veriti 96 Well Thermal Cycler, Applied Biosystem), perangkat elektroforesis (Bio- Rad), dan GelDoc (Bio-Rad).

Bahan yang digunakan adalah sampel rectal swab dari Kelelawar asal Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara milik PREDICT Indonesia PSSP- IPB,

QIAamp® RNA Viral Mini Kit (QIAGEN), SuperScriptIII First-Strand Synthesis System fir RT-PCR (Invitrogen), KAPA Taq ReadyMix PCR Kit, primer Paramyxovirus yaitu PAR-F1, P A R - F 2 , dan PAR-R. Selain itu, untuk elektroforesis dibutuhkan gel agarosa, etidium bromida (EtBr), buffer TAE 1x (Tris Acetic Acid), dan DNA 100 bp sebagai marker.

Analisis Laboratorium

Ekstraksi Sample RNA

(29)

15 disiapkan sesuai dengan jumlah sampel yang ada. Proses ekstraksi Ribonucleic Acid (RNA) terdiri atas beberapa tahapan besar, yaitu penghancuran (lisis), ekstraksi (pemisahan RNA), dan pemurnian RNA. Pada kit ini digunakan membran gel silika dan teknologi sentrifugasi untuk ektraksi RNA. Buffer AVL yang mengandung carrier RNA sebanyak 560 µ L dimasukkan ke dalam vial. Sampel usap rectum diambil sebanyak 140 µ L dan dimasukkan ke dalam vial, lalu divorteks selama 15 detik. Setelah itu, campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit. Hal ini dilakukan bertujuan untuk melisis sel. Ethanol absolute

sebanyak 560 µL ditambahkan ke dalam sampel, lalu divorteks kembali selama 15 detik. Campuran dimasukkan ke dalam kolom spin sebanyak 630 µ L, kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit.

Tabung koleksi diganti baru, kemudian semua sisa sampel dimasukkan ke dalam kolom spin dan disentrifugasi 8000 g selama 1 menit. Hal ini dilakukan untuk pengikatan virus RNA pada membran di dalam kolom spin. Tabung koleksi diganti baru lagi, kemudian buffer (AW1) dimasukkan sebanyak 500 µ L dan disentrifugasi 8000 g selama 1 menit. Kolom spin dipindahkan ke dalam tabung koleksi baru, kemudian buffer AW2 dimasukkan sebanyak 500 µ L dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.300 g selama 3 menit.

Buffer AW1 dan AW2 digunakan untuk mencuci RNA dari berbagai pengotor seperti protein, nuklease, dan berbagai kontaminan lainnya serta inhibitor. Kolom spin dipindahkan ke dalam 1.5 mL vial, lalu ditambahkan 60 µL buffer

AVE. Campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Setelah itu, disentrifugasi 8000 g selama 1 menit untuk proses elusi RNA. RNA yang diekstraksi akan masuk ke dalam vial yang baru.

Transkripsi Balik

Ribonucleic Acid (RNA) yang telah berhasil diekstraksi akan ditranskripsi balik (reverse transcription) untuk menghasilkan cDNA. Metode transkripsi balik ini dilakukan dengan SuperScriptIII First-Strand Synthesis System for RT-PCR (Life technology, California, USA). Master mix disiapkan terlebih dahulu. Master mix pertama berisi random hexamer, dNTP 10 mM, air steril, dan RNA. Random hexamer berfungsi sebagai primer non-spesifik yang akan mensintesis utas pertama cDNA dan deoxyribonucleotide triphosphate (dNTP) digunakan sebagai sumber nukleotida untuk mensintesis cDNA. Semua campuran

master mix yang pertama dibuat dengan volume 1 µ L, kecuali RNA dengan volume 10 µL. Setelah itu, campuran diinkubasi 65oC selama 5 menit dan 4oC selama 2 menit. Tahap pertama ini bertujuan untuk menempelkan primer.

Setelah diinkubasi master mix kedua disiapkan terlebih dahulu. Master mix

kedua berisi 10x RT buffer 2 µL, 2.5 mM MgCl2 4 µL , Dithiothreitol (DTT) 0.1M 2 µ L, RNAse OUT 1 µ L, dan SuperScript III RT 1 µL. 10x RT buffer, berfungsi untuk menghasilkan produk dengan jumlah yang tinggi. Pemberian MgCl2 berfungsi sebagai kofaktor yang akan menstimulasi aktivitas DNA polymerase dan meningkatkan interaksi primer dengan templat. Dithiothreitol

(30)

16

menit, 85oC selama 5 menit, dan 4oC selama 2 menit. Tahap ini bertujuan untuk memperpanjang primer sehingga terbentuk cDNA.

Amplifikasi Paramyxovirus.

Amplifikasi materi genetik paramyxovirus dilakukan dengan metode Nested Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan dua set primer berbeda. Proses amplifikasi dibagi menjadi dua protokol. Protokol pertama menggunakan primer PAR-F1 dan PAR-R yang dilanjutkan dengan protokol kedua menggunakan primer PAR-F2 dan PAR-R (Tong et al. 2008).

Untuk memulai proses amplifikasi, terlebih dahulu dibuat campuran dengan komposisi 1 µl primer PAR-F1, 1 µl primer PAR-R, 12.5 µl Kappa HotStart ready mix (Wilmington, USA), 8.5 µl nuclease-free water, dan 1 µl cDNA. Setelah campuran dibuat, reaksi PCR diawali dengan pre-denaturation

pada suhu 94 oC selama 5 menit, denaturation 94 oC selama 1 menit, annealing

48 oC selama 1 menit, elongation 72 oC selama 1 menit, dan post-elongation 72 o

C selama 10 menit, serta hold pada suhu 4 oC. Pada tahap denaturation sampai

elongation dilakukan 40 siklus PCR. Setelah diamplifikasi, proses dilanjutkan dengan running PCR yang kedua. Campuran PCR yang digunakan sama dengan proses PCR pertama hanya berbeda pada pre-denaturation pada suhu 94 oC selama 2 menit, denaturation 94 oC selama 15 detik, annealing 48 oC selama 30 detik, elongation 72 oC selama 30 detik, dan post-elongation 72 oC selama 7 menit, serta hold pada suhu 4 oC dan primernya yaitu PAR-F2 dan PAR-R, dan jumlah cDNA yang dimasukkan dari PCR pertama sebanyak 1 µl.

Tabel 2 Runutan nukleotida primer Paramyxovirus Nama Primer Urutan Basa Besar

Amplikon bromida dengan konsentrasi 10 mg/ml sebanyak 10 µl. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 Volt selama 75 menit. Setelah proses elektroforesis selesai, hasil yang didapat divisualisasi dengan GelDoc (Bio-Rad)

Analisis Hasil Sekuensing

Hasil sekuensing yang didapat dianalisis lebih lanjut dengan teknik

(31)

17 Analisis Data

(32)

18

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 95 sampel yang merupakan spesimen feses atau usap rektum kelelawar besar pemakan buah (Pteropus alecto) yang diuji, 10 sampel dinyatakan presumptive positive paramyxovirus yang diindikasikan dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), ditandai dengan munculnya pita sebesar 561 bp pada elektroforesis DNA (Gambar 1) menggunakan set primer F2 dan

PAR-R, Forward 5’-GTTGCTTCAATGGTTCARGGNGAYAA-3’ dan Reverse 5’-

GCTGAAGTTACIGGITCICCDATRTTNC-3’; selanjutnya setelah dilakukan sekuensing terhadap 10 hasil PCR tersebut, tiga sampel dikonfirmasi memiliki runutan yang sesuai dengan paramyxovirus.

Gambar 5 Visualisasi hasil Nested PCR dari 3 sampel usap rectum kelelawar asal hutan bakau Olibuu, Sulawesi Utara dengan primer PAR-F2 dan PAR R. M: marker Vc 100 bp, lane 1-3: Hasil positif nested PCR.

Tiga sampel yang dikonfirmasi memiliki runutan nukleotida sesuai dengan paramyxovirus dianalisis lebih lanjut menggunakan sistem bioinformatika, salah satunya untuk melihat kekerabatan dengan membuat pohon filogenetik menggunakan program Bioedit dan MEGA6 (Tamura et al. 2013). Kontruksi pohon filogenetik dibuat menggunakan metode neighbor joining dengan model Jukes-Cantor. Metode neighbor joining sangat cocok digunakan untuk menyusun pohon filogenetik dalam penelitian ini untuk melihat kekerabatan sampel yang memiliki kesesuaian runutan nukleotida dengan berbagai paramyxovirus yang sudah dipublikasikan dan ada di GenBank (Dharmayanti 2011).

Tabel 3 Daftar sampel positif dan persentase tingkat kemiripan Paramyxovirus hasil analisis menggunakan BLAST

No Nomor ID Persentase tingkat kemiripan virus 1 INDSWBT-105 87% Human parainfluenza virus 2 asal Amerika

serikat

(33)

19

Gambar 6 Pohon filogenetik menggunakan metode Neighbor joining berdasarkan fragmen gen L. Tiga sampel positif dibandingkan dengan runutan nukleotida yang memiliki kemiripan dengan runutan nukleotida paramyxovirus yang terdapat di GenBank.

Dari pohon filogenetik yang dibangun ditunjukkan bahwa sampel positif paramyxovirus INDSWBT-107 memiliki tingkat kekerabatan yang cukup dekat paramyxovirus IFBPV32/2012 yang berasal dari Indonesia (Sasaki et al. 2012); Paramyxovirus INDSWBT-105 terlihat memiliki tingkat kekerabatan yang cukup dekat dengan isolate Human Parainfluenza virus 2 dan Human Parainfluenza virus 2 strain V94 isolat asal Maryland Amerika Serikat (Skiadopoulos et al. 2003); sedangkan sample INDSWBT-190 memiliki kekerabatan yang cukup dekat dengan paramyxovirus IFBPV01/2010 asal Indonesia, namun berasal dari jenis

(34)

20

kelelawar yang berbeda yaitu Pteropus vampyrus (Sasaki et al. 2012). INDSWBT-190 juga memiliki tingkat kekerabatan cukup dekat dengan paramyxovirus PgPMV-10, isolate yang berasal dari Bangladesh jenis Pteropus giganteus. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwasa Paramyxovirus dapat ditemukan pada lebih dari satu jenis kelelawar.

Kontruksi pohon filogenitik menunjukkan bahwa tiga sampel positif paramyxovirus terbagi ke dalam dua genus yang berbeda yaitu Rubulavirus dan Henipavirus. Rubulavirus dan Henipavirus merupakan genus virus yang bersifat patogenik dan mampu mengakibatkan zoonosis terhadap manusia dan hewan; Rubulavirus dan Henipavirus memiliki angka mortality yang cukup tinggi 40%- 75% (Wang et al. 2007 ; Halpin dan Mungall 2007). Paramyxovirus sendiri memiliki kemampuan untuk menginfeksi manusia dan hewan, yang mengganggu saluran pernapasan. Selain itu juga dapat menyebabkan pneumonia dan encephalitis (Halpin dan Mungall 2007). Data pada (Tabel 3) menunjukkan wabah kejadian infeksi paramyxovirus yang sudah pernah terjadi dibeberapa negara di Asia (WHO 2008). Hal ini perlu diwaspadai mengingat Indonesia merupakan daerah yang cukup dekat dengan Malaysia dan Singapura sebagai daerah yang pernah terinfeksi virus ini.

Tabel 4 Daftar wabah ( Outbreaks) Nipah virus: Malaysia, Singapura, Bangladesh dan India

5 Januari- April 2004 Goalando, Bangladesh

Faridpur, Bangladesh

7 Maret- April 2007 Kushtia, Bangladesh

Nadia, Bengal India

Implementasi konsep Satu Kesehatan atau One Health diperlukan dalam rangka pencegahan penularan agen penyakit dari satwa liar kepada manusia. Konsep One Health juga akan mendorong pencegahan dan pengendalian penyakit antar spesies yang dapat menimbulkan suatu kejadian pandemik khususnya di Indonesia. Salah satu daerah yang memiliki human-animal interface

(35)

21 masyarakat Sulawesi (suku Minahasa) yang dikenal sebagai konsumen barbagai hewan domestik maupun hewan liar. Perburuan dan penangkapan satwa liar seperti kelelawar oleh manusia dapat membawa risiko perpindahan patogen antar spesies dan antar hewan ke manusia (Wolfe et al. 2005). Dalam hal ini penangkap akan memiliki risiko yang paling tinggi jika terjadi infeksi virus yang dibawa oleh kelelawar, kemudian beberapa pihak lain seperti distributor yang membawa hasil tangkapan serta keluarga dari pihak yang terlibat dalam perburuan dan penangkapan kelelawar yang diketahui sebagai inang alami pembawa berbagai jenis virus.

(36)

22

5

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sampel usap rektum dari kelelawar Pteropus alecto yang berjumlah 95 sampel, tiga sampel: ID INDSWBT-105, INDSWBT-107 dan INDSWBT-190 merupakan sampel positif terhadap paramyxovirus yang berasal dari daerah Hutan bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sampel positif paramyxovirus memiliki kekerabatan cukup dekat dengan isolat asal Indonesia, Amerika serikat dan Bangladesh.

Saran

1. Perlu dilakukan kegiatan surveillance yang berkelanjutan untuk mendukung konsep satu kesehatan atau One Health agar mengurangi resiko munculnya penyakit zoonosis pada hewan dan manusia.

(37)

23 Editors. Jekel’s Epidemiology, Biostatistic. Preventive Medicine, and Public Health (4th ed.). Philadelphia: Elsevier/ Saunders; 2013.pp. 364-377 and online supplement pp. 407(e1)-416(e10).

Breed AC, Meng Y, Barr JA, Crameri G, Thalmann CM, Wang LF. 2010. Prevalence of henipavirus and rubulavirus antibodies in pteropid bats, Papua New Guinea. Emerg Infect Dis.;16:1997–9.doi: 10.3201/eid1612.100879 Calisher CH, Childs JE, Field HE, Holmes KV, Schountz T. 2006. Bats:

important reservoir host of emerging viruses. Clin. Microbiol. Rev.

19(3):531-545.

Corbet GB, Hill JE. 1992. The mammals of the Indomalayan Region : A systematic review. Natural history museum publication & Oxford University Press.

Dharmayanti NLPI. 2011. Filogenetika molekuler: metode taksonomi organisme berdasarkan sejarah evolusi. WARTAZOA 21(1):1-10.

Dodet B, Vicari M. 2001. Emergence and Control of Zoonotic Ortho- and Paramyxovirus Diseases. Paris: John Libbey Eurotext.

Dudek RW. 2007. High-Yield Cell and Molecular Biology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Engleberg NC, DiRita V, Dermody T. 2006. Schaechter’s Mechanisms of

Microbial Disease. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Fridel F, Devold M, Nylund A. 2004. Phylogenetic position of a paramyxovirus from Atlantic salmon FridelSalmo salar. Disease of Aquatic Organism. University of Bergen, Norwey. 59: 11-15.

Halpin K, Mungall BA. 2007. Recent progress in henipavirus research. Comp Immunol Microbiol Infect Dis 30(5): 287-307.

Hulo C, Castro E, Masson P, Bougueleret L, Bairoch A, Xenarios I, Le Mercier P. 2011. A Knowledge Resource to Understand Virus Diversity. Nucleic Acid Res

(Data Base of Virus). Viral Zone.Expasy.Org.

Krauss H, Weber A, Appel M, Enders B, Isenberg HD, Schiefer HG, Slenczka W, Graevenitz AV, Zahner H. 2003. Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible from Animal to Human Third Edition. Washinngton: ASM Press.

Kurth A, Kohl C, Brinkmann A, Ebinger A, Harper JA, Wang Lin-Fa, Muhldorfer K, Wibbelt G. 2012. Novel Paramyxoviruses in free- ranging European Bats. PLoS ONE 7(6): e38688.

Kunz TH, ED Pierson. 1991. Bats of The World : An Introduction. The John Hopkins University Press. London.

(38)

24

(Salmo salar L.). National Veterinary Institute. Norwey. Jour of General Virol

84: 2179-2189.

Lopez JE, C Voughan. 2007. Food Niche Overlap Among Neotropical Frogivorous Bats in Costa Rica. Biological Tropical 55(1): 301-313.

Madigan MT, Martinko JM, Bender KS, Buckley DH, Stahl DA. 2012. Brock Biology of Microorganisms, Fourteenth Edition. Book Pearson.

Naipospos TSP. 2010. Perdagangan satwa liar dan risiko penyakit zoonosis. [internet]. [diunduh 2015 Maret 12]. Tersedia pada: http://tatavetblog.blogspot.com/2014/10/perdagangan-satwa-liar-dan risiko 31.html.

Nowak RM. 1999. Walker’s bats of the word. The Johns Hopkins UniversityPress. Australia. Ed.5( 2): 1629.

Nylund S, Karslen M, Nylund A. 2008. The Complete Genom Sequence of Atlantic Salmon Paramyxovirus (ASPV). Virology. University of Bergen, Norway. Virol

373: 137-148.

Sasaki M, Satiyono A, Handharyani E, Rahmadani I, Taha S, Andiani S, Subangkit M, Sawa H, Nakamura I, Kimura T. 2012. Molecular Detection of Novel Paramyxovirus in Fruit Bats from Indonesia. Virol Jour 9(1): 240. Shakespeare M. 2009. Zoonoses. London: Pharmaceutical Pr.

Sinaga M, AS Ahmadi, I Maryanto. 2006. Peran Kelelawar Gua Dalam Keseimbangan Ekosistem. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah dan Pemecahannya. (Editor: Ibnu Maryanto, Mas Noerdjito dan R. Ubaidillah). Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor.

Skiadopoulos HM, Vogel L, Riggs MJ, Surman RS, Collins LP, Murphy RB. 2003. The Genome Length of Human Parainfluenza Virus Type 2 Follows the Rule of Six, and Recombinant Viruses Recovered from Non- Polyhexameric- Length Antigenomic cDNAs Contain a Biased Distribution of Correcting Mutations. Jour Virol 77(1): 270- 279.

Springer and Verlag. 1988. Laboratory diagnosis of Infectiois Disease: Prociple and Practice. Newyork.

Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Seri Panduan Lapangan. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI.

Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, Kumar S. 2013. MEGA6: Molecular evolutionary genetics analysis versions 6.0. Mol Biol Evol

30(12):2725-2729.doi: 10.1093/molbev/mst197.

Tong, S, Chern SWW, Li Y, Pallansch MA, Anderson LJ. 2008. Sensitive and Broadly Reactive Reverse Transcription-PCR Assay To Detect Novel Pramyxoviruses. J Clin Microbiol, 46(8): 2652-2658

[UCMP] University of California Museum of Paleontology. 2009. Chiroptera: life history & ecology [internet terhubung berkala]. [diunduh 2015 Maret 12]. Tersedia pada: http://www.ucmp.berkeley.edu/mammal/eutheria/chirolh.html. Van Boheemen S, Bestebroer TM, Verhagen JH, Osterhaus ADME, Pas SD,

Herfst S, Fouchier RAM. 2012. A family-wide RT-PCR assay for detection of Paramyxoviruses and application to a large-scale surveillance study. PLoS ONE 7(4): e34961.

(39)

25 Whitten AJ, GS Henderson, M Mustafa. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS . 2005. Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonotic disease emergence. Emerg Infect Dis

11 (12):1822-1827.

Wong S, Lau S, Woo P, Yuen KY. 2007. Bats as a continuing source of emerging infections in humans. Wiley Interscience 17(2): 67-91. Doi: 10.1002/rmv.520. World Health Organization. 2008. Nipah virus Infection. Surveillance and

Outbreak Alert, Pathogenesis and Disease Fact Sheet, World Health Organization Regional office for South- East Asia Programmes and Projects, New Delhi, India.[internet]. [diunduh 2016 Agustus 23]. Tersedia pada: http://www.searo.who.int/entity/emerging_disease/links/CDS_Nipah_virus.pd f?ua=1.

(40)
(41)

27

(42)
(43)

29 Lampiran 1 Hasil Visualisasi Elektroforesis menggunakan GelDog (BioRad)

(44)

30

Lanjutan Lampiran 1

NO ID ANIMAL HASIL PRESUMPTIF POSITIF SAMPEL

(45)

31

Lanjutan Lampiran 1

NO ID ANIMAL HASIL PRESUMPTIF POSITIF SAMPEL

FECAL/ RECTAL SWAB

80 INDSWBT 150 NEGATIF

81 INDSWBT 151 NEGATIF

82 INDSWBT 152 NEGATIF

83 INDSWBT 153 NEGATIF

84 INDSWBT 154 NEGATIF

85 INDSWBT 155 NEGATIF

86 INDSWBT 156 NEGATIF

87 INDSWBT 157 NEGATIF

88 INDSWBT 169 NEGATIF

89 INDSWBT 170 NEGATIF

90 INDSWBT 171 NEGATIF

91 INDSWBT 172 NEGATIF

92 INDSWBT 173 NEGATIF

93 INDSWBT 174 NEGATIF

94 INDSWBT 175 NEGATIF

(46)

32

Lampiran 2 Pensejajaran sekuens Bat paramyxovirus INDSWBT regio gen L isolat hasil studi menggunakan BioEdit

Alignment: INDSWBT-105

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

10 20 30 40 50

2227080_105_ CAAAGCATTG CAGTGACACT ATGGTGCAGA TCTCTGCCAC ATGCAGAAAG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

60 70 80 90 100

2227080_105_ AAGAGGCTTG CATACAATGC CAGTAAGCTA TTTTTCGATC GTCTCCGGTA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

110 120 130 140 150

2227080_105_ CAATAATTTC GGATTGGGTC ACCAATTGAA GGATCAGGAG ACCATCATCA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

160 170 180 190 200

2227080_105_ GTTCACAGTT TTTCATATAT AGTAAGAGAG TATTCTACCA AGGAAGAATA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

210 220 230 240 250

2227080_105_ TTGACTCAAG CGCTCAAAAA TGTGAGTAAG TTGTGTCTCA CGGCCGATGT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

260 270 280 290 300

2227080_105_ CCTAGGTGAA TGTACCCAAT CATCCTGCTC AAATGCTGCT ACGACAGTCA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

310 320 330 340 350

2227080_105_ TGAGGTTGAC TGAAAATGGA ATAGAAAAAG ATCTATGCTA CAATCTAAAT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

360 370 380 390 400

2227080_105_ GTCTATCAGA CAATCAGACA ATTAACTTAT GATCTAATTT ATCCACAGTA

....|....| ....|....| ....|....|....|....|....|....|

410 420 430 440 450

2227080_105_ CTGGATCGAT GGGGAACAAA TTAGTACTAT GTATCTAGAT CATCCGATTC

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

460 470 480 490 500

2227080_105_ TAATCAGTAG GATAGCATTA CTGCCATCAC AACTTGGGGG ATTGAATTAT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|...|

510 520 530 540 550

2227080_105_ CTATCTTGTA GTAGACTCTT TAACAGCAAC ATCGGCGACC CCGAAACTTC

....|....| ...560

(47)

33 Alignment: INDSWBT-107

....|....| ....|....| ....|....| ....|....|....|....|

10 20 30 40 50

2227081_107_CCAGCATGGC ATTACACATT AGTCCCGCAG TGCTCCTCAT TCTGCCAAAA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ...|....|

60 70 80 90 100

2227081_107_AACAGATAGC ATATGATCAC AGTAAACTCT TTATTAAGAG ATTGCGCTTG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

110 120 130 140 150

2227081_107_AATAATTTTG GGATGGGACA TCACTTGAAA GAGCAGGAAA CTATTGTCAG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

160 170 180 190 200

2227081_107_CTCAGAATTC TTTGTCTACA GCAAAAGAAT TATATACAAT GGAAGAATTC

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

210 220 230 240 250

2227081_107_TCAACCAATC CTTAAAAAAT ACTAGTAAGT TATGCCTAAT TGCTGATGTT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

260 270 280 290 300

2227081_107_CTTGGGGAAT GCACTCAGAC GTCTTGCTCT AATCTTGCAA CCACTGTGAT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

310 320 330 340 350

2227081_107_GAGGCTGACA GAAAATGGAA TAGAGAAAGA CATTTGTTAT TACTTAAATA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

360 370 380 390 400

2227081_107_TTTACCTTAC ATTAAAACAG CTTACATTTG ACCTCCTTTT CCCATTAACT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

410 420 430 440 450

2227081_107_CATCAATTCG AAGATGCTAC AACATCAGCA TACCTGAATC ATCCTATCTT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

460 470 480 490 500

2227081_107_GCTTGCACGG ATATCACTCT TACCATCGCA ATTAGGCGGT CTCAATTTTT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

510 520 530 540 550

2227081_107_ACTCTCTAGC TAGACTCTTT AATAGCAACA TCGGCGACCC CGAAACTTCA

....|....| ... 560

(48)

34

Alignment: INDSWBT-190

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

10 20 30 40 50

2227085_190_CCCCCTTGGT TTGTTCAAAG CAGGTGCATC CAAATCTCAG TTATGTGAGC

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

60 70 80 90 100

2227085_190_AAGAAAAATA TTGCAGCATA TCACGGAAAA AGGTATTTTG AGAGGTTAAG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

110 120 130 140 150

2227085_190_AGATAATCTG CGTGCATTAG GTCATGATCT CAAGGCCAAT GAAACAGTTA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

160 170 180 190 200

2227085_190_TGAGTACACA TTTTTTTATT TATTCCAAAA GGATATACAT GGACGGATTG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

210 220 230 240 250

2227085_190_GTCTTATCTC AAGGTCTCAA GTCAATCTCT AGATGCTGCT TTTGGTCTGA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

260 270 280 290 300

2227085_190_AACATTAGTT GATGAAACCC GCTCTGCTTG TAGTAACATA TCTACAACAG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

310 320 330 340 350

2227085_190_TAGCAAAAGC AATTGAGAAC GGCCTATCCA GGCGGATAGG TTATTCCCTG

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

360 370 380 390 400

2227085_190_AATATATTAA AGATAATACA ACAGCTACAT ATATCCCTTA AATTTACCAT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

410 420 430 440 450

2227085_190_AAATGACACA TTAACACAGG ATGTAGTTGA TCCCCTTTAC AACAATATGA

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

460 470 480 490 500

2227085_190_ATTGGATCCT ATCAGCTGCT GTGACCCCTT CACCTGTTGG TGGATTTAAT

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

510 520 530 540 550

2227085_190_TATCTTAACT TATCCAGATT GTACGTTCGT AATATAGGCG ACCCCGTAAC

....|....| .... 560

(49)

35

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Desi Syahreni, dilahirkan di Pekan Kamis pada tanggal 28 Desember 1989 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari bapak Syahrial dan ibu Elizarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 06 Pincuran, Munggu Gadang, sekarang menjadi SDN 04 Koto tangah Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 2003. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan di MTs Asy- Syarif Koto Laweh, Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 2006, sedangkan pendidikan tingkat atas diselesaikan di Sekolah Madrasah Aliyah (MA) Asy- Syarif Koto Laweh, Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tahun 2009 .

Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa undangan melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada Program Studi Biologi Universitas Negeri Padang (UNP) dan lulus Sebagai Sarjana Sains (S.Si) tahun 2013.

Gambar

Gambar 1 Struktur Virus berdasarkan komposisi kelengkapan proteinnya.
Tabel 1 Kode, Lokasi dan Fungsi Protein Viral
Gambar 3 Proses replikasi virus Paramyxoviridae (Madigan et al., 2012)
Gambar 4 Black flying-fox (Pteropus alecto).
+5

Referensi

Dokumen terkait

〔商法五二〇〕公開会社でない株式会社においては、募集事項を決定する株主総会特別決議の欠

Maka kedua populasi berbeda dalam hal penurunan stres akademik atau dengan kata lain, data stres akademik kelompok siswa yang diberi perlakuan menggunakan teknik restrukturisasi

Mencegah terjadinnya penindasan yang berlanjut atas hak asasi manusia Ketetapan dan ketegasan yang terdapat di Statuta Roma 1998 Menyebutkan bahwa Mahkamah Pidana

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada klien dengan soft tissue tumor yaitu adanya keluhan nyeri yang menunjukkan tanda ekspansi tumor yang cepat dan penekanan ke

Penerapan rencana dan strategi program IKM gula kelapa dengan pendekatan klaster dan OVOP (Keputusan Bupati No. 518.9/978 Tahun 2011 tentang Penetapan Program Satu Desa Satu

Sistem telemetri pengamatan profil cuaca dan kualitas udara di Gunung tangkuban perahu yang sudah diimplementasikan alat pengukurannya ini sudah memiliki

Tanpa miring, bidang gambar, pesawat lensa, dan bidang fokus adalah paralel, dan tegak lurus terhadap sumbu lensa; objek dalam fokus yang tajam semua pada jarak yang sama