• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TEBANG BUTUH TERHADAP KELESTARIAN

HASIL KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS

PROPINSI JAWA BARAT

(Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Faridh Almuhayat Uhib Hamdani

(4)

RINGKASAN

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI. Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican). Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan TATANG TIRYANA.

Hutan rakyat telah lama diusahakan oleh petani di Jawa dan terbukti telah berkontribusi terhadap suplai kayu nasional. Suplai tersebut ditunjukkan dengan semakin bergeliatnya usaha hutan rakyat (HR) sehingga mampu memberikan sumbangan pendapatan yang nyata bagi petani, serta dalam perbaikan kondisi lingkungan. Hasil kayu HR Kabupaten Ciamis dapat menyuplai kebutuhan kayu ke berbagai wilayah di Jawa khusunya ke wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Salah satu sumber produksi kayu HR yaitu dari kegiatan penebangan berdasarkan desakan kebutuhan (tebang butuh). Kekhawatiran kelestarian HR akan terganggu jika praktek tebang butuh (TB) terus dilakukan karena kebutuhan yang terus meningkat. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap dan menganalisis praktek TB di HR dengan pendekatan aspek produksi dan aspek-aspek lain yang mendukung terciptanya kelestarian kayu di HR.

Penelitian dilakukan pada bulan Juli–Desember 2014 di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat dengan responden sebanyak 90 orang. Penelitian dilakukan dengan mencermati kejadian TB selama 10 tahun (2004–2014) dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa HR merupakan pekerjaan sampingan (subsisten), sehingga pengelolaan yang dilakukan kurang intensif. Tegakan HR merupakan tabungan petani HR, oleh sebab itu pemanfaatan kayunya pada saat memiliki kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Kebutuhan tersebut yaitu membangun/merenovasi rumah, biaya sekolah, konsumsi, modal usaha (berdagang, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan peternakan), membeli tanah, hajatan (tahlilan, pernikahan, khitanan), membeli kendaraan, berobat, membayar hutang, serangan hama uter-uter (Xystrocera festiva), dan kebutuhan lain-lain

seperti adat, kegiatan desa, meubeler. Praktek TB di dua lokasi penelitian yaitu Panumbangan dan Pamarican tidak menggangu kelestarian hasil kayu HR karena intensitas dan jumlah penebangan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dan intensitas penanaman. Sedangkan di wilayah Cijeungjing TB mengganggu kelestarian karena jumlah dan intensitas penanaman lebih kecil dibandingkan dengan jumlah dan intensitas TB, selain itu adanya faktor tekanan terhadap kebutuhan lahan menjadi penyebab HR tidak lestari. Praktek TB yang lestari juga didukung adanya pengetahuan lokal masyarakat tentang kelestarian HR yang masih terjaga

(5)

SUMMARY

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI. Effect of “Tebang Butuh” to

Timber Sustainability in Community Forest Ciamis District, West Java Province (Case Study in Sub District Panumbangan, Cijeungjing, and Pamarican).

Supervised by DUDUNG DARUSMAN and TATANG TIRYANA.

Community forest (CF) had long been cultivated by farmers in Java and had significantly contributed to the national timber supply. Supply was indicated by the development of HR business so as to provide a real contribution income for the farmers, as well as in the improvement environmental conditions.

Community forests in Ciamis District, West Java, had contributed to supply timber various regions in Java (Banten, West Java, and DKI Jakarta). One source of CFs timber was from community logging called “Tebang Butuh (TB)”, meaning cutting for needs. Many parties had argued that TB practice would negatively affect the sustainability of community forest. The objective of this study was to investigate whether the commonly practiced TB could maintain the sustainability of CFs.

The study had been conducted from July to December 2014 in three sub-districts of Ciamis, by interviewing 90 respondents concerning their activities during the last 10 years in managing their CFs.

The results revealed that the communities perceived that CFs was a subsistence resource, so that the management of CFs was less intensive. The communities used CFs as a saving and investment, hence they conducted TB only for an urgent need (e.g. house renovation, school fee of children, celebration, medical needs, etc). This study of cutting for need at two location research (Pamarican and Panumbangan) TB practice would not disrupt the sustainability of CFs because the communities have local wisdom by implementing a selective logging system with lower intensity and then regenerate their stands with higher intensity. Location study at Cijeungjing TB practice would disrupt the sustainability of CFs because the cultivation was smaller than TB and the factor of pressure the land needs.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGARUH TEBANG BUTUH TERHADAP KELESTARIAN

HASIL KAYU HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CIAMIS

PROPINSI JAWA BARAT

(Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican)

FARIDH ALMUHAYAT UHIB HAMDANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican) Nama : Faridh Almuhayat Uhib Hamdani

NIM : E151120031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA

Ketua Dr Tatang Tiryana, SHut MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilm Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana, SHut Msi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Desember 2014 ini adalah Pengaruh Tebang Butuh Terhadap Kelestarian Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus di Kecamatan Panumbangan, Cijeungjing, dan Pamarican). Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Si selaku pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.Si selaku penguji luar yang telah banyak memberikan banyak masukan.

2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan (BP4K), Aparatur Desa Sindang Herang, Desa Pamalayan, Desa Marga Jaya, dan Kelompok Tani wilayah penelitian di Kabupaten Ciamis.

3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan bantuan beasiswa penelitian dan tesis.

4. Sahabat-sahabat IPH yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan dan penelitian berlangsung.

5. Istriku Luthfia Nuraini Rahman, S.Hut, M.Si dan putraku Muhammad Habib Jalaluddin Rumi Al Hamdani atas doa dan dukungan serta kesabaran dalam mengisi hari-hari penulis hingga meraih gelar M.Si.

6. Orang tuaku Bapak Abdul Hamid Sri Hartoyo S.Pd, M.Pd, Ibu Pariyah, Bapak Asep Kusrahman, S.Pd, M.Pd dan Ibu Mursilah, S.Pd, M.Pd atas doa dan dukungan selama penulis menyelesaikan studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan semangat cinta tanah air Indonesia.

Bogor, Mei 2015

(11)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Sejarah Hutan Rakyat 4

Pengertian Hutan Rakyat 5

Peran dan Manfaat Hutan Rakyat 6

Karakteristik Pengelolaan 6

Produksi Kayu dari HR 7

Tebang Butuh 7

Kelestarian Hasil Kayu 8

METODE PENELITIAN 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Jenis Data 10

Teknik Pengumpulan Data 11

Analisis Data 11

HASIL 12

Karakteristik Petani HR 12

Pengelolaan HR 15

Motivasi Penanaman Hutan Rakyat 18

Kelembagaan Kelompok Tani HR 19

Potensi HR 19

Praktek Tebang Butuh di Hutan Rakyat 20

Kelestarian Hasil Kayu di Hutan Rakyat 23

PEMBAHASAN 24

Pengelolaan Hutan Rakyat 24

Praktik Tebang Butuh 26

SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil penelitian mengenai produksi kayu rakyat 7

Tabel 2. Kelompok umur responden 12

Tabel 3. Tingkat pendidikan petani HR 13

Tabel 4. Jumlah anggota dan tanggungan keluarga 13

Tabel 5. Pendapatan dan pekerjaan responden 14

Tabel 6. Pola tanam yang dilakukan petani HR masing-masing wilayah 15 Tabel 7. Pengelolaan HR oleh Petani di Lokasi Penelitian 15 Tabel 8. Waktu penanaman yang dilakukan oleh petani HR 16

Tabel 9 Praktik Penanaman HR oleh Petani 16

Tabel 10. Sistem pemanenan yang diterapkan oleh petani HR. 17 Tabel 11. Persentase penjualan dan pemasaran kayu hasil pemanenan 17 Tabel 12. Persentase jumlah petani HR yang mengikuti kelompok tani 19

Tabel 13. Praktek tunda tebang oleh petani HR 23

Tabel 14. Hasil simulasi kelestarian hasil kayu 24

Tabel 14. Persamaan konsep tabungan antara bank dan tegakan pohon 29

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis 10

Gambar 3. Alur pemasaran kayu dari HR 18

Gambar 4. Motivasi masyarakat menanam tanaman HR 18 Gambar 5. (a) Potensi pohon tersedia per kecamatan hasil dari data primer, (b)

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan negara yang dikelola oleh pemerintah serta swasta pernah mengalami kejayaannya pada tahun 1960-an hingga 1970-an dengan mengelola areal seluas 1,3 juta hektar di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan melalui industri pengolahan kayu mampu menghasilkan sebesar 4.294 juta meter kubik per tahun ditambah 414.000 meter kubik kayu bakar. Pada tahun 1963 kapasitas produksi ditingkatkan menjadi 6.823 juta meter kubik per tahun, sehingga terjadi peningkatan devisa dari US$ 347 ribu pada tahun 1962 menjadi US$ 775 ribu pada tahun 1963 (Kemenhut 2007).

Pada tahun-tahun tersebut sektor kehutanan terutama kayu mampu menjadi sumber devisa negara terbesar setelah sektor minyak bumi. Hal tersebut menjadi catatan penting bagi Indonesia bahwa sektor kehutanan memiliki peranan penting dalam menggerakkan perekonomian bangsa Indonesia. Akan tetapi dari tahun ketahun sampai saat ini sektor kehutanan semakin lesu dengan turunnya produksi kayu dari hutan negara sehingga industri kehutanan kurang bergeliat. Kemenhut (2012) menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 832.126,9 ha/tahun akibat dari kegiatan kegiatan illegal seperti illegal logging, perambahan, penjarahan. Jika kerusakan tersebut terus dibiarkan dan tidak diikuti dengan usaha yang seimbang untuk merehabilitasinya maka kerusakan hutan terus bertambah sedangkan kemampuan negara untuk merehabilitasi dan menghutankan kembali jauh dari yang diharapkan (Darusman 2012). Hal tersebut menyisakan keprihatinan karena upaya pelestarian hutan berjalan dengan lambat sedangkan kerusakan hutan Indonesia terus terjadi dan menjadi sorotan dunia internasional (Dephut 2007; FAO 2010; Darusman 2012).

Permintaan industri perkayuan yang sangat tinggi menyebabkan kemampuan produksi kayu dari hutan negara tidak mencukupi permintaan tersebut, sehingga suplai kayu di industri sebagian didapatkan dari hutan rakyat (HR). Sebenarnya telah lama terjadi bahwa kebutuhan kayu untuk pertukangan, kayu bakar, bahkan industri di pulau Jawa banyak disuplai dari HR (Suprapto 2005; Darusman dan Hardjanto 2006). Hal ini menunjukkan bahwa semakin berkurangnya kemampuan produksi kayu dari hutan negara untuk menyuplai kebutuhan kayu sehingga peran HR sangat tepat untuk mengisi kekurangan suplai tersebut sehingga produksi kayu dari HR terus mengalami peningkatan (Winarno 2007).

(16)

dapat terlihat dari kontribusi terhadap perekonomian petani HR dan terhadap pemenuhan bahan baku industri perkayuan (Hardjanto 2001). Adanya berbagai peran tersebut menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk terus mendorong pengembangan HR dengan melibatkan berbagai pihak agar HR terus berkembang (Sukrianto dan Subarudi 2007; Winarno 2007).

Menurut Mulyana (2000), Suharjito (2000), Nugroho (2010), bahwa beberapa faktor yang mendukung pengembangan HR antara lain permintaan panel cukup tinggi, tersedianya bahan baku, adanya modal sosial, kebutuhan ekonomi dan budaya masyarakat, adanya dorongan dari pemerintah seperti halnya pengembangan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman rakyat (HTR) yaitu pinjaman dana bergulir.

Data Kemenhut (2011) menyebutkan bahwa wilayah Provinsi Jawa Barat memiliki luas HR mencapai 419.041,93 ha yang tersebar di 21 kabupaten/kota, salah satunya yaitu Kabupaten Ciamis dengan luas HR 43.043,64 ha. Potensi HR di Kabupaten Ciamis dengan jenis tanaman HR di Kabupaten Ciamis didominasi oleh kayu sengon, mahoni, jati, mindi, dan karet dengan pola tanam sistem agroforestri (Sudiana et al. 2009). Produksi kayu dari HR Kabupaten Ciamis

cenderung mengalami peningkatan, sebagai contoh tahun 2004 mencapai 214.070 m3, tahun 2005 mencapai 326.000 m3, dan tahun 2006 mencapai 447.000 m3

(Sukrianto 2009). Menurut Hakim et al. (2009) bahwa kayu HR dari Kabupaten

Ciamis dapat menyuplai ke berbagai industri perkayuan di wilayah Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Akan tetapi produksi kayu dari HR tidak seperti layaknya produksi kayu dari hutan produksi yang memiliki perencanaan matang untuk memenuhi permintaan pasar. Sementara permasalahan dalam kelestarian hasil kayu di HR belum dapat dijawab dan diterapkan.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan kelestarian HR karena berbagai permasalahan yang ada, terutama tentang produksi kayu HR yang berasal dari tebang butuh (TB) dan belum diterapkannya prinsip-prinsip kelestarian hutan. Namun disisi lain harapan terhadap HR sangat besar terutama dalam membantu mencukupi kebutuhan kayu di industri dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Maka sangat menarik jika dilakukan penelitian mengenai praktik TB di HR untuk menjawab kekhawatiran tersebut.

Perumusan Masalah

Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mengalami perkembangan yang cukup pesat baik luas maupun produksi kayunya dengan ciri-ciri pengusahaannya yaitu dibudidayakan dalam luasan lahan yang kecil, sebagai pekerjaan sampingan, pola tanam dengan campuran, serta pemanenan dilakukaan berdasarkan kebutuhan (Achmad 2010, Diniyati et al. 2005, Fauziah dan Diniyati 2010, Hardjanto 2000).

(17)

melakukan pengusahaan HR. Akan tetapi permasalahan HR di Kabupaten Ciamis menjadi bagian dari permasalahan HR yang dihadapi di berbagai wilayah terutama di Jawa Barat. Peran-peran HR yang telah lama dirasakan oleh masyarakat maupun industri perkayuan dalam perjalanannya menjadi perhatian oleh berbagai kalangan baik peneliti, pengusaha, pemerintah, lembaga swadaya masyrakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya terutama dalam hal kelestarian HR di Kabupaten Ciamis dimasa yang akan datang. Kekhawatiran tersebut berdasarkan pada temuan-temuan permasalahan yang sering ditemui didalam praktik pengusahaan HR yang selama ini dilakukan oleh petani HR.

Hardjanto (2003), Mile (2010), Mustari (2000), Nugroho (2010), Pramesti dan Haryanto (2010), Siswoyo (2007), Sudiana et al. (2009) mengungkapkan

bahwa permasalahan yang sering ditemui yaitu kayu yang belum mencapai daur optimal dan kayu berdiameter kecil ditebang oleh petani, tidak dilakukan penghitungan riap pohon, kelas umur tidak menyebar secara merata dan tidak lengkap, bibit yang berkualitas kurang tersedia, rendahnya tingkat penguasaan teknologi, pengelolaan belum mempunyai manajemen formal dan bersifat individual, penanaman dan pemanenan dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan tujuan masing-masing, dan kecenderungan penebangan karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Menurut BPKH (2009) masalah di HR yaitu kelestarian hasil kayu belum berdasarkan pada kontinuitas hasil yang diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.

Kelestarian di HR belum dapat terjawab karena pengelolaan dan pengusuhaannya sangat bersifat individu, dimana unit manajemen tekecil pengelolaan HR yaitu tegakan pohon yang dimiliki oleh petani. Maka praktik pemanenan yang sering dilakukan petani yaitu TB merupakan ciri khas dari pemanenan di HR. Kondisi tersebut berbeda dengan kelestarian hutan produksi yang pengaturan hasilnya telah ditetapkan dengan perhitungan daur dan etat penebangan sesuai dengan potensi hutan serta memperhatikan aspek kontinyuitas yaitu adanya kesatuan tempat untuk diberlakukannya pengaturan hasil agar tegakan hutan dapat terus lestari (Suhendang 1995, Tasman 1995).

Penelitian Hardjanto (2003) menunjukkan bahwa jika dilihat dari struktur tegakan HR maka tegakan HR dapat menunjukkan struktur tegakan normal yang mengarah pada kelestarian, namun karena petani menjual pohon dengan diameter yang bervariasi sehingga dapat mengancam kelestarian tegakan kayu rakyat dan akan berdampak pada kelestarian usahanya. Lastini (2012) juga menunjukkan bahwa HR di Kabupaten Ciamis pengelolaan belum lestari karena prinsip kelestarian belum terpenuhi, seperti belum adanya pengaturan hasil dan kesatuan kawasan HR yang relatif kecil yaitu berupa blok di suatu dusun yang berbentuk satu hamparan yang relatif luas.

Kondisi HR tidak memungkinkan untuk dilakukannya perhitungan-perhitungan yang rumit seperti di hutan produksi, karena pada dasarnya produksi kayu yang dapat mencukupi kebutuhan petani HR merupakan motivasi utama petani dalam mengusahakan HR. Disisi lain permasalahan HR terutama dalam produksi kayu yang bersumber dari TB perlu segera dijawab agar harapan masyarakat terhadap HR semakin besar. Suryaningsih et al. (2012), Nugroho dan

(18)

TB dianggap kurang memperhatikan prinsip kelestarian karena tidak menggunakan pengaturan hasil selayaknya di hutan produksi dikhawatirkan akan menggeser daur panen dan kelestarian hasil kayu. Akan tetapi disisi lain beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya HR mampu menunjukkan struktur tegakan normal dan mampu mencukupi kebutuhan kayu industri dalam beberapa dekade terakhir

Berkaitan dengan rumusan masalah diatas maka :

1. Apakah penebangan di HR karena kebutuhan dengan tidak memperhitungkan selayaknya di hutan produksi skala besar tersebut akan mengganggu kelestarian HR.

2. Bagaimana keteraturan dari praktek TB dan sifat kebutuhan petani dalam mengelola tegakan HR .

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis pengelolaan HR yang dilakukan petani HR 2. Menganalisis praktek TB dan kelestarian hasil kayu HR

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan data dan informasi tentang pengelolaan HR yang dilakukan masyarakat yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam proses penentuan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan HR.

2. Mendapatkan informasi mengenai TB yang diharapakan dapat digunakan untuk pertimbangan manajemen HR yang lestari

Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu :

1. Wilayah populasi penelitian ini adalah HR Kabupaten Ciamis bagian utara, tengah dan selatan.

2. Substansi penelitian adalah manajemen hutan yang dikelola oleh rakyat di lahan miliknya.

3. Hasil produksi yang akan diteliti berupa hasil kayu milik petani HR

4. Petani hutan yang dijadikan sampel adalah petani yang telah mengusahakan HR dan pernah melakukan TB di areal pengelolaannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Hutan Rakyat

(19)

walaupun hanya dengan dukungan program dan pendanaan yang relative terbatas menunjukkan hasil yang luar biasa (Suprapto 2010).

Hutan rakyat di Indonesia sangat berhubungan erat dengan sejarah panjang bangsa Indonesia. Kemenhut (2011), LP IPB (1990) mengungkapkan bahwa sejak era kolonial Belanda pada tahun 1930-an HR dikembangkan untuk mendukung pembangunan kehutanan, kemudian setelah era kemerdekaan tahun 1952 di Jawa terlahir Gerakan Karang Tiri yaitu gerakan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Rakyat yang bertujuan untuk melindungi tanah dari bahaya erosi dengan menanami pohon di tanah-tanah kosong oleh rakyat atau pemilik tanah dan pada tahun 1987 HR dibangun dengan program Inpres Penghijauan yang bertujuan untuk menekan meluasnya lahan kritis.

Penyelenggaraan kehutanan berbasis masyarakat menjadi landasan pembangunan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 70 bahwa pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan. Kemenhut (2011) menekankan tentang peran masyarakat dimaksud yaitu HR yang secara tidak langsung didorong dengan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti Peraturan Menteri Kehutanan No. 26/Menhut-II/2005 tentang pemanfaatan hutan hak yang telah lama berkembang di kalangan masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa.

Keberadaan HR sampai saat ini telah diakui secara formal oleh pemerintah sehingga HR saat ini menjadi perhatian berbagai pihak karena perannya yang strategis baik secara ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Tujuan pengembangan HR adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkungan dan membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan perabotan rumah tangga dan sumber kayu bakar.

Pengertian Hutan Rakyat

Definisi HR menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Bab I Pasal 1 Ayat 5 mendefinisikan HR jika dilihat dari kepemilikan lahan, maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak. Hutan hak yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Definisi lain HR menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 menyebutkan lebih rinci bahwa HR adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan luas minimum 0,25 ha serta penutupan tajuk tanaman kayu lebih dari 50% atau jumlah pohon minimum 500 batang/ha.

Para akademisi mendefinisikan HR merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya HR disebut hutan milik (Hardjanto 2000). Awang et al. (2002) mendefinisikan HR adalah hutan

yang tumbuh di atas lahan milik, baik petani perorangan maupun bersama-sama. Suharjito et al. (1998) mengartikan HR sebagai hutan yang dibangun di atas tanah

milik yang kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan kata “rakyat” ditujukan kepada pengelolanya yaitu rakyat kebanyakan bukan pada status pemilikan lahannya.

(20)

kepentingan dan tujuan masing-masing pemilik. Lahan milik meliputi pekarangan, kebun, talun, tegalan, ladang, huma, lahan tidak diusahakan, dan hutan rakyat (LP IPB 1990).

Peran dan Manfaat Hutan Rakyat

Peran dan manfaat HR menurut Mindawati et al. (2006) antara lain

memperbaiki kondisi lingkungan hidup, meningkatkan kesejahteraan, keamanan dan keutuhan hutan. Menurut Djajapertjunda (2003) HR sama halnya seperti hutan-hutan lainnya yang tanamannya terdiri atas pohon sebagai jenis utamanya, maka peranannya pun tidak banyak berbeda, yaitu:

1. Ekonomi, untuk memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat.

2. Sosial, untuk membuka lapangan pekerjaan.

3. Ekologi, sebagai penyangga kehidupan masyarakat dalam mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi, dan sebagai prasarana untuk memelihara kualitas lingkungan hidup (penyerap Karbon dioksida dan produsen oksigen). 4. Estetika, berupa keindahan alam.

5. Sumber, merupakan sumberdaya alam untuk pengetahuan, antara lain ilmu biologi, ilmu lingkungan dan lain-lain.

6. Sitem pengelolaan. Pengelolaan bersifat individu dengan luasan yang kecil. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Mustari (2000) faktor-faktor yang mendukung dalam budidaya HR di Jawa yaitu faktor ekonomi, ekologis, dan budaya. Budidaya HR bukan pilihan utama bagi masyarakat pedesaaan Jawa, pada umumnya yaitu tanaman yang cepat menghasilkan dan menguntungkan. Menurut Awang (2007) karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah :

1. Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil.

2. Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan.

3. Pengelolaan HR berbasis keluarga, yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.

4. Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.

5. Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan HR.

6. Belum ada perencanaan pengelolaan HR, sehingga tidak ada petani HR yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri 7. Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani HR sebagai

(21)

Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan HR sebagai berikut : 1. Usaha HR dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih

memiliki posisi tawar yang lebih rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha HR menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk HR sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari HR bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.

Menurut Nugroho (2010) karakteristik pengelolaan HR yaitu dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Lahan pekarangan dan kebun dimanfaatkan dengan sistem agrohutani berbasis pengelolaan pohon per pohon. Keputusan pemanfaatan hasil atau pemanen kayunya didasarkan pada kebutuhan keluarga atau secara umum disebut TB.

Produksi Kayu dari Hutan Rakyat

Produksi kayu dari HR sangat bervariasi, jika dilihat dari jenis tanaman yang diusahakan maka HR dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu HR murni dan campuran. Jenis yang dominan di HR murni yaitu sengon (Paraserianthes falcataria) dan jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.), sedangkan jenis

tanaman di HR campuran yaitu mahoni (Swetenia mahagoni), sengon, jengkol

(Archidendronpauciflorum (Benth.) Nielsen), petai (Parkiaspeciosa Hassk), aren

(Arenga pinnata Merr). Menurut Sudiana et al. (2009) jenis tanaman HR di

Kabupaten Ciamis didominasi oleh jenis sengon, mahoni, jati (Tectona grandis),

mindi (Melia sp.), dan karet (Havea brasiliensis) dengan pola tanam sistem

agroforestri. Beberapa penelitian mengenai produksi kayu dari HR (Tabel 1). Produksi kayu di Kabupaten Ciamis mengalami peningkatan dari tahun-ketahun, terutama jenis kayu sengon dikarenakan sengon memiliki banyak peminat baik industri maupun petani (Mulayana 2010).

Tabel 1. Hasil penelitian mengenai produksi kayu rakyat di Kabupaten Ciamis

Penelitian Tahun Hasil

Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan di Kabupaten Ciamis

Oleh: Eming Sudiana et al.

2009 Produksi kayu 2,08 m3/tahun

Kajian Peredaran Kayu Rakyat di Wilayah Jawa Bagian Barat

Oleh: Ismatul Hakim et al.

2009 Produksi kayu tahun 2005 mengalami peningkatan 119,64% terutama jenis kayu sengon.

Tebang Butuh

(22)

yang baru menikah (Hardjanto 2003; Siswoyo 2007; Awang 2007; Hakim et al.

2009; Nugroho 2010; Purwanto et al. 2009; Suryaningsih 2012).

Istilah pertama kali tebang butuh diberikan kepada para petani berdasarkan hasil penelitian LP IPB tahun 1989–1990 dengan istilah “daur butuh”. Daur butuh mucul karena petani HR sering melakukan pemanenan pohon sebelum daur tanaman belum mencapai umur dikarenakan kebutuhan petani. Kemudian diikuti oleh penelitian-penelitian HR baik yang dilakukan oleh pemerintah, akademisi, LSM hingga sekarang istilah “tebang butuh” diberikan kepada petani yang menebang pohon pada saat kebutuhan mendesak dengan mengesampingkan umur pohon telah mencapai ataupun belum mencapai daur tanaman. Beberapa penelitian seperti Hardjanto (2003), Awang (2007) Hakim et al. (2009), Nugroho

(2010), Suryaningsih (2012), Nugroho dan Tiryana (2013), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan dilakukannya TB antara lain desakan kebutuhan ekonomi, permintaan kayu meningkat, tidak memiliki akses pinjaman bergulir, kurang hadirnya pemerintah dan tidak ada lembaga pinjaman keuangan mikro, hambatan birokrasi dalam pengurusan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan Surat Ijin Tebang (SIT), bahkan menjadi budaya panen petani

Penebangan merupakan benteng terakhir untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apabila masih ada sumber-sumber pendapatan lain yang masih dapat diusahakan dibandingkan dengan pendapatan menjual kayu. Purwanto et al.

(2009) mengemukakan bahwa tegakan HR merupakan konsep tabungan skala rumah tangga petani, karena tabungan tersebut digunakan untuk persiapan hari tua atau berjaga-jaga apabila diperlukan biaya yang mendesak untuk keluarga. Penanaman pohon oleh petani pada awalnya sebagai tabungan dan kegiatan sampingan, namun seiring permintaan kayu meningkat maka masyarakat semakin banyak yang menanam pohon sebagai usaha yang dikomersialkan (Hardjanto 2003).

Kelestarian Hasil Kayu Hutan Rakyat

Pengaturan Hasil Kayu

Di hutan produksi kelestarian hasil kayu dapat dicapai jika dilakukan pengaturan hasil sehingga hasil kayunya dapat kontinyu. Hal tersebut diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun agar jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Metode pengaturan hasil di hutan produksi dilakukan mengingat luasan lahan yang dikelola sangat luas sehingga pengaturan hasil dilakukan untuk mendapat hasil yang kontinyu. Kontinyuitas hasil kayu di hutan produksi menunjukkan adanya kelestarian hasil kayu dari areal tersebut. Davis dan Jhonson (1987) mengemukakan bahwa hasil tegakan yaitu banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah komulatif sampai waktu tertentu.

(23)

beberapa sifat tegakan. Sedangkan di hutan tidak seumur pengaturan hasilnya dilakukan berdasarkan pada perhitungan riap.

Pengaturan hasil yang dilakukan di hutan produksi berbeda dengan pengaturan hasil di HR. LP IPB (1990), Hardjanto (2003) menyatakan bahwa pengaturan hasil di HR lebih sulit daripada pengaturan hasil di hutan negara (hutan produksi), karena di HR memiliki keragaman yang sangat besar baik dalam struktur tanaman, perilaku pemilik, dan luas lahan yang relatif kecil. Suatu kawasan HR terdiri dari banyak pemilik dan setiap pemilik mempunyai perilaku yang berbeda sehingga perilaku pemilik pada hutan rakyat sangat beragam, dengan beragamnya perilaku menyebabkan keputusan dalam penebangan pohonpun berbeda-beda (LP IPB 1990). Mustari (1998) memberikan contoh dari daur optimal HR di Sukabumi bahwa secara finansial di setiap kecamatan contoh yaitu 7 tahun, maka dipastikan 48 responden dari 66 responden yang menebang pohon pada umur dibawah daur. Hal tersebut dikarenakan keputusan menebang berdasarkan kebutuhan ekonomi pemilik. Maka secara umum bahwa belum ada metode pengaturan hasil di HR, karena pengaturan hasil di HR dilakukan oleh petani berdasarkan pada pengaturan tegakan yang diatur berdasarkan jumlah dan besar kebutuhan.

Kelestarian Hasil Kayu

Menurut ITTO (1992) pengelolaan hutan secara lestari yaitu proses pengelolaan lahan hutan permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan-tujuan pengelolaan secara terinci yang meliputi produksi berkesinambungan dari hasil-hasil hutan dan jasa-jasa hutan, tanpa banyak menyebabkan penurunan nilai dan produktivitas serta tanpa banyak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Sedangkan menurut LEI (2006) menyatakan ukuran kelestarian untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu status penguasaan lahan, status tataguna lahan di dalam tataruang, komoditas yang diusahakannya, dan orientasi pengusahaan produk-produk tesebut. Namun dari perbandingan tersebut memberikan gambaran bahwa pada hasilnya kelestarian hutan dengan kriteri dan indikator tersebut dapat terwujud di hutan produksi, sedangkan di HR sulit diterapkan karena HR berada lahan milik (private) petani sehingga perilaku dalam pengelola tergantung pada

pemiliknya.

Kelestarian hutan tidak dapat dicapai tanpa mengetahui tujuan dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Tujuan pengelolaan HR yaitu untuk meningkatkan pendapatan pemilik secara berkesinambungan. LP IPB (1990) mengungkapkan bahwa kelestarian pendapatan diperoleh dalam periode waktu 1 tahun agar HR dapat memberikan hasil yang kontinyu. Namun Mustari (2000) mengemukakan bahwa HR belum memberikan hasil yang lestari karena periode pengambilan hasil masih bervariasi, struktur tegakan yang dimiliki responden belum normal, kelas diameter pohon belum menyebar secara merata dan tidak lengkap.

(24)

Sehingga kelestarian HR belum dapat diukur berdasarkan pada ukuran-ukuran hutan skala besar.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juli–Desember 2014 di tiga wilayah Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Pertama, wilayah utara di Desa Sindang Herang, Kecamatan Panumbangan yang

mewakili dengan topografi pegunungan. Kedua, wilayah tengah di Desa

Pamalayan Kecamatan Cijeungjing dengan topografi landai dan sedikit berbukit.

Ketiga, wilayah selatan di Desa Margajaya Kecamatan Pamarican dengan

topografi sebagian besar datar dan sedikit berbukit.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis Jenis Data

Data Primer meliputi :

1) Data karakteristik petani dan pengelolaan HR

(25)

2) Data Tebang Butuh

Data kejadian TB yang dilakukan petani HR selama 10 tahun terakhir (2004-2014) meliputi waktu TB, jumlah kayu yang ditebang, jenis kebutuhan, dan total uang yang diperoleh

3) Data produksi kayu

Data produksi kayu selama 10 tahun terakhir (2004–2014) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis.

Data sekunder meliputi kondisi umum lokasi penelitian seperti keadaan geografis, iklim, data monografi, dll. Selain itu hasil-hasil penelitian tentang HR yang diperoleh dari instansi dan lembaga terkait.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara bertahap. Pertama, memilih tiga lokasi

penelitian berdasarkan keterwakilan wilayah dengan kondisi topografi Kabupaten Ciamis yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Kedua, setiap wilayah dipilih satu

kecamatan dan dipilih satu desa contoh yang memiliki luas HR paling besar di masing-masing wilayah. Pertimbangan lain pemilihan lokasi adalah kemudahan menuju lokasi, kemudahan teknis pelaksanaan, pertimbangan dari pihak terkait yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis dan penyuluh kehutanan di wilayah penelitian. Ketiga, setiap desa diambil responden sebanyak

30 responden yang mengusahakan HR dan pernah melakukan penebangan yang dipilih secara purpossive sampling. Singarimbun dan Sufian (1995) menyatakan

bahwa dalam penelitian survei standar minimal, responden yang diambil sebanyak 30 orang masing-masing wilayah penelitian.

Analisis Data

Data karakteristik petani, pengelolaan HR, dan kegiatan TB selama 10 tahun (2004–2014) dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tabel, grafik, dan diagram. Potensi HR yaitu jumlah keseluruhan tegakan kayu yang dimiliki petani HR tanpa membedakan jenis pohon yang dimiliki. Kelestarian hasil kayu HR dianalisis melalui simulasi sederhana jumlah tegakan yang dimiliki petani selama 50 tahun (2024–2064) menggunakan rumus:

ℎ ℎ = ℎ ℎ −1 + − �

dengan:

=� � × ℎ �

� =� � � × ℎ � �

Asumsi:

pohon ditanam =

pohon ditebang

(26)

� � � = � � ≥ ℎ � �

� � � � = � � < ℎ � �

Batasan kelestarian hasil dalam penelitian ini yaitu jumlah tegakan kayu yang tersedia (standing stock) lebih besar atau sama dengan jumlah kayu yang

ditebang (USDA Forest Service 2002; Wisconsin DNR 2009). Hipotesis yang dibangun yaitu: 1) Semakin tinggi kebutuhan petani maka semakin tinggi produksi kayu melalui TB, 2) Hasil kayu HR lestari walaupun dilakukan TB.

HASIL

Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Umur Petani

Umur penduduk dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok umur muda yaitu dibawah 15 tahun, (b) kelompok umur produktif yaitu usia 15– 64 tahun, dan (c) kelompok umur tua yaitu usia 65 tahun ke atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani HR lebih banyak pada kelompok umur produktif dibandingkan dengan umur yang tidak produktif. (Tabel 2).

Tabel 2. Kelompok umur responden

Karakteristik Jumlah Responden/Kecamatan Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

30-39 10 3 10 8

40-49 27 13 27 22

50-59 30 17 40 29

60-69 17 53 17 29

70-79 13 13 7 11

80- up 3 0 0 1

Total 100 100 100 100

Pendidikan Petani

(27)

Tabel 3. Tingkat pendidikan petani HR

Karakteristik Kecamatan Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

SD 77 80 83 80

SMP 13 7 10 10

SMA 10 7 7 8

D3 0 7 0 2

Total 100 100 100 100

Jumlah Anggota dan Tanggungan Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anggota keluarga petani yang tinggal dalam satu rumah paling banyak yaitu 3–4 orang (68%), sedangkan jumlah tanggungan keluarga sebanyak 2–3 orang (46%) (Tabel 4).

Tabel 4. Jumlah anggota dan tanggungan keluarga

Karakteristik Kecamatan Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Jumlah Anggota Keluarga (orang)

1-2 20 33 23 26

3-4 77 60 67 68

5-up 3 7 10 7

Total 100 100 100 100

Tanggungan (orang)

0-1 17 60 57 44

2-3 63 37 37 46

4-up 20 3 7 10

Total 100 100 100 100

Jenis Pekerjaan dan Pendapatan

Perkerjaan utama masyarakat yang dominan yaitu petani sawah (70%), sedangkan pekerjaan sampingan yang dominan yaitu sebagai pedagang (17%). Sebagian besar kegiatan sampingan berdagang dilakukan di luar wilayah Ciamis seperti di Sukabumi, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yaitu dengan menjual barang-barang yang dikreditkan (tukang kredit). Pekerjaan sampingan beternak (8%) dilakukan di sekitar tempat tinggal dengan beternak ayam. Petani yang beternak sebagian besar telah bekerjasama dengan perusahaan peternakan yang bersedia menampung hasil ternak baik telur maupun daging.

(28)

0.0

ngan Cijeung -jing Pamari -can

Lua

ngan Cijeung -jing Pamari -can

Lua Tabel 5. Pendapatan dan pekerjaan responden

Karakteristik Kecamatan Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Tingkat Pendapatan (Rp)

Kepemilikan Lahan dan Pola Tanam

Kepemilikan Lahan

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata luas lahan HR yang dimiliki masyarakat Panumbangan dan Pamarican seluas 0,6 ha dan masyarakat Pamarican 1,2 ha (Gambar 2). Lahan HR yang dimiliki petani dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu: 1) Tipe menyebar yang terbagi-bagi dalam beberapa lokasi, 2) Tipe mengelompok dalam satu hamparan daratan.

(29)

Pola Tanam

Pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat yaitu policulture dan monoculture (Tabel 6)

Tabel 6. Pola tanam yang dilakukan petani HR masing-masing wilayah

Sistem Pengelolaan

Kecamatan

Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Policulture 90 87 93 90

Monoculture 10 13 7 10

Total 100 100 100 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam yang terapkan oleh masyarakat yaitu: 1) Sistem campuran (Polyculture) sebesar 90% dengan jenis

tanaman kehutanan terdiri dari sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen), jati

(Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), jati putih (Gmelina arborea),

afrika (Maesopsis eminii Engl.), manglit (Michelia velutina), Pulai (Alstonia sp).

2) Sistem HR murni (monoculture) dilakukan masyarakat sebesar 10% dengan

jenis tanaman yaitu sengon, jati, mahoni, gaharu (Aquilaria moluccensis) (Gambar

5). Masyarakat juga melakukan pemanfaatan lahan dengan sistem Agroforestri yaitu dengan menanam tanaman buah-buahan seperti durian, petai, duku, rambutan, serta tanaman semusim seperti jahe, ubi, singkong, pisang, kunyit, cabe, terong, di pinggir lahan atau sela-sela tanaman kayu.

Pengelolaan Hutan Rakyat

Kegiatan pengelolaan HR (Pengelola, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan) di lokasi penelitian secara umum dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengelolaan HR oleh Petani di Lokasi Penelitian

Kecamatan Kegiatan Pengelolaan HR

Pengelola Pembibitan Penanaman Perawatan Pemanenan

Panumbangan Sendiri (70%) stump (80%) Sendiri dan Tidak setelah panen (53%) Dirawat (93%) perencanaan Tidak ada (83%)

Cijeungjing Sendiri (97%) stump (90%) Sendiri dan Tidak setelah panen (60%) Dirawat (87%) perencanaan Tidak ada (87%)

Pamarican Sendiri (73%) stump (75%) Sendiri dan Tidak setelah panen (83%) Dirawat (100%) perencanaan Tidak ada (80%)

(30)

bekas tebangan, membeli bibit di tempat pembibitan tanaman yang berada di wilayah dusun, desa, atau kecamatan, atau dengan membibitkan sendiri (benih dan

stump). Mayoritas petani memilih membibitkan sendiri dan stump karena

dianggap lebih mudah didapatkan dan murah. Benih pohon diperoleh dari sekitar tanaman pada saat musim berbuah, kemudian benih dikeringkan, disimpan, dan disemai pada saat menjelang musim penghujan. Jenis bibit yang umum di semai oleh masyarakat antara lain sengon, mahoni, dan afrika.

Tabel 8 menunjukkan bahwa petani HR di tiga lokasi melakukan penanaman tidak setelah panen dengan alasan bahwa petani mengandalkan adanya trubusan dari bekas tebangan, serta mengandalkan anakan yang tumbuh liar di lahan. Selain itu lahan akan digunakan untuk penanaman tanaman pertanian atau tanaman semusim dalam jangka waktu tertentu kemudian penanaman dilakukan setelah panen tanaman semusim.

Tabel 8. Waktu penanaman yang dilakukan oleh petani HR

Waktu Tanam

Kecamatan

Rata-rata (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Setelah panen 33 13 17 21

Tidak setelah panen 53 60 83 66

Belum menanam 13 27 0 13

Jumlah 100 100 100 100

Praktik penanaman yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 9. Bibit tanaman yang dominan ditanam yaitu sengon, mahoni, jati, sedangkan tanaman lain merupakan pengayaan yang dilakukan masyarakat baik dengan ditanam atau membiarkan tumbuh liar. Jarak tanam yang digunakan bervariasi dari beraturan hingga tidak beraturan yang disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan serta kebutuhan masyarakat.

Tabel 9 Praktik penanaman HR oleh petani

Penanaman Kecamatan

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Jenis yang

Jarak tanam 1x1, 1x2, 1x3,2x2, 2x3, 3x3, tidak beraturan

(31)

Sebagian besar petani HR tidak memiliki rencana dalam penamanen. Pemanenan kayu dilakukan petani berdasarkan pada kebutuhan mendesak (tebang butuh) sehingga sulit untuk memprediksi waktu dilakukannya pemanenan. Walaupun berdasarkan kebutuhan, secara teknis terdapat dua ciri pemanenan yang dilakukan masyarakat yaitu tebang habis dan tebang pilih (Tabel 10). Kedua ciri tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan penggunaan lahan.

Tabel 10. Sistem pemanenan yang diterapkan oleh petani HR.

Sistem Penebangan

Rata-rata/Kecamatan

Persentase (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Tebang pilih 97 100 83 93

Tebang habis 3 0 17 7

Total 100 100 100 100

Kegiatan selanjutnya yang dilakukan petani setelah dilakukan pemanenan adalah penjualan hasil kayu. Secara umum praktik penjualan kayu yang dilakukan petani terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Persentase penjualan dan pemasaran kayu hasil pemanenan

Penjualan dan Pemasaran Kayu

Persentase (%)

Rata-rata (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

(32)

Sebagian besar petani menjual kayu ke pedagang pengumpul dalam bentuk pohon berdiri dan harga ditentukan secara borongan. Biasanya pohon yang akan dijual telah ditentukan jumlahnya oleh petani. Penjualan ke industri dan toko bangunan memiliki persentase yang rendah karena harga dan spesifikasi kayu telah ditentukan oleh pihak industri dan toko bangunan sehingga secara tidak langsung petani harus mengikuti dan menerima standar yang dibuat oleh industri dan toko. Petani yang menjual ke industri dan toko bangunan tersebut biasanya adalah petani yang telah mengetahui spesifikasi dan harga yang dibutuhkan di industri dan toko bangunan. Alur distribusi kayu dapat digambarkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Alur pemasaran kayu dari HR Motivasi Mengusahakan Hutan Rakyat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi petani mengusahakan HR dengan menanam dan mengembangkan berbagai jenis tanaman yaitu sebagai usaha sampingan, sebagai tabungan, sebagai warisan untuk anak dan cucu, dapat mencukupi kebutuhan mendesak, sebagai upaya konservasi tanah dan air (mencegah erosi, dan tanah longsor), membangun dan memperbaiki rumah, mengurangi lahan kritis, dan dilakukan dengan modal murah (Gambar 4).

Gambar 4. Diagram motivasi masyarakat mengembangkan usaha HR 0

(33)

Sebagian besar petani di tiga lokasi penelitian motivasi mengembakan HR yaitu sebagai tabungan. Motivasi lain dengan kecenderungan yang juga tinggi yaitu motivasi untuk konservasi tanah dan air terutama di wilayah Panumbangan karena wilayah tersebut memiliki karakteristik topografi pegunungan.

Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani HR tidak tergabung dalam kelompok tani HR (Tabel 12). Kelembagaan kelompok tani HR di wilayah penelitian masih tergabung dalam kelompok tani bidang pertanian. Hal ini dikarenakan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani menganggap bahwa kelompok-kelompok tani pada dasarnya memiliki tujuan yang sama sedangkan cakupan wilayah yang berbeda yaitu dalam bidang kehutanan. Disisi lain anggota kelompok tani sawah juga banyak yang memiliki HR.

Tabel 12. Persentase jumlah petani HR yang mengikuti kelompok tani

Keanggotaan Kelompok Tani

Kecamatan Rata-rata

(%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Tergabung 30 33 57 40

Tidak Tergabung 70 67 43 60

Jumlah 100 100 100 100

Hasil wawancara menunjukkan manfaat tersebut yaitu dapat menjalin silaturahmi dengan para penyuluh, mendapatkan pelatihan dan pengalaman dari sesama anggota, mendapatkan informasi tentang usaha pertanian dan kehutanan, dan mendapatkan prioritas bantuan-bantuan dari pemerintah.

Masyarakat mengetahui bahwa organisasi kelompok tani memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), memiliki pengurus, memiliki program kerja, melakukan rapat anggota, dan aturan dalam kelompok seperti saling percaya antar anggota, gotong royong, musyawarah mufakat, memiliki rasa tanggung jawab, dan ada hak dan kewajiban anggota.

Penyuluhan oleh Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) dilakukan antara 1–3 kali dalam 1 tahun. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa lembaga kelompok tani belum berjalan sesuai dengan peran dan fungsi dalam pembentukannya serta pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah belum berjalan optimal.

Potensi Hutan Rakyat

Total potensi kayu milik petani HR di tiga wilayah penelitian sebesar 39.663 batang (Gambar 6 (a)). Wilayah Pamarican memiliki potensi lebih tinggi dibanding wilayah lain. Jenis pohon yang mendominasi dapat dilihat pada Gambar 5. Ketiga wilayah penelitian didominasi jenis sengon karena memiliki daur pendek dan kayu yang mudah diterima di pasaran.

(34)

0

ngan Cijeung -jing Pamari -can

Jum

ngan Cijeung -jing Pamari -can

Jum

dilakukan pemanenan, namun jarang dilakukan pencatatan karena dianggap kayu yang tidak komersil sehingga dimasukkan kedalam kategori kayu rimba.

(a) (b)

Gambar 5. (a) Potensi pohon tersedia per kecamatan (Sumber: Pengolahan data primer, (b) Data potensi pohon di tiga wilayah penelitian (Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis)

Gambar 6. Potensi tegakan pohon per jenis di wilayah penelitian

Praktek Tebang Butuh di Hutan Rakyat

Intensitas TB di wilayah penelitian cenderung meningkat. Hal tersebut dikarenakan dalam 10 tahun petani melakukan penebangan yang intensitasnya semakin banyak (Gambar 7).

Jati Mahoni Sengon Afrika Manglit Mences /

Jati Putih Pulai CampuranRimba

(35)

Gambar 7. Intensitas penebangan di wilayah penelitian

Intensitas TB oleh petani HR selama 10 tahun antara 1–8 kali. Rata-rata di Kecamatan Panumbangan 1 kali, Kecamatan Cijeungjing 2 kali, dan Kecamatan Pamarican 2 kali. Sedangkan intensitas TB per wilayah rata-rata berkisar 4–5 kali dalam 1 tahun. Tegakan petani HR agar tetap lestari maka dilakukan penanaman. Penanaman yang dilakukan petani HR intensitasnya dalam 10 tahun antara 1–3 kali. Rata-rata intensitas per individu petani HR di Kecamatan Panumbangan 1 kali, Kecamatan Cijeungjing 1 kali, dan Kecamatan Pamarican 2 kali dan ada pula yang tidak teratur penanamannya. Sedangkan intensitas penanaman per wilayah rata-rata berkisar 3–4 kali dalam 1 tahun (Gambar 8).

Gambar 8. Intensitas penanaman HR di lokasi penelitian

Praktek TB merupakan sumber produksi kayu dari HR. Produksi kayu dari TB di wilayah penelitian mengalami fluktuasi, akan tetapi lebih cenderung mengalami peningkatan (Gambar 9, 10).

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Jum

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(36)

Gambar 9. Jenis kayu yang sering ditebang saat TB di wilayah penelitian

Gambar 10. Jumlah kayu TB selama 10 tahun di wilayah penelitian

Gambar 9 dan 10 memperlihatkan bahwa setiap tahun tidak terdapat keteraturan produksi kayu yang berasal dari praktik TB. Peningkatan terjadi karena jumlah keseluruhan dari jumlah kayu yang ditebang di tiga wilayah penelitian semakin banyak. Produksi rata-rata pada tahun 2004–2009 sebesar 403 batang/tahun, dan tahun 2009–2014 sebesar 1.163 batang/tahun, sehingga dalam kurun waktu 10 tahun (2004–2014) rata-rata produksi kayu sebanyak 803 batang/tahun.

Kebutuhan petani yang tinggi akan menghasilkan produksi kayu yang tinggi dan sebaliknya. Penelitian ini tidak menemukan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemanenan kayu HR oleh petani seperti keberadaan pasar, industri pengolahan kayu, dan pedangan pengumpul, walaupun di wilayah penelitian faktor pendukung tersebut ada. Pemanenan kayu HR murni dilakukan karena faktor kebutuhan yang harus segera tercukupi terlihat dalam Gambar 11.

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Ju

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(37)

Gambar 11. Diagram persentase motivasi petani melakukan tebang butuh Motivasi utama petani melakukan TB adalah membangun/merenovasi rumah, biaya konsumsi dan biaya sekolah. Motivasi tersebut dapat berbeda di setiap kecamatan seperti di Kecamatan Panumbangan banyak petani melakukan TB untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Di Kecamatan Cijeungjing banyak petani melakukan TB untuk memenuhi kebutuhan pembangunan atau renovasi rumah, sedangkan petani di Kecamatan Pamarican melakukan TB untuk biaya sekolah anak/cucu mereka.

Walaupun motivasi utama petani HR melakukan TB karena desakan kebutuhan, tetapi beberapa petani di wilayah penelitian melakukan tunda tebang harga kayu di pasaran belum cocok, petani masih dapat mencukupi kebutuhan dari pinjaman, menjual hasil pertanian, menjual hasil kerajinan tangan (Tabel 13).

Tabel 13. Praktek tunda tebang oleh petani HR

Tunda Tebang Kecamatan

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Pernah 43 3 13

Tidak Pernah 57 97 87

Jumlah Total 100 100 100

Kelestarian Hasil Kayu di Hutan Rakyat

(38)

Tabel 14. Hasil simulasi kelestarian hasil kayu

Kategori Kelestarian Kecamatan (%) Rata-rata (%)

Panumbangan Cijeungjing Pamarican

Lestari 67 30 70 56

Tidak Lestari 33 70 30 44

Jumlah 100 100 100 100

Hasil wawancara dengan petani HR menunjukkan adanya pengetahuan lokal masyarakat yang masih dijaga tentang HR yang lestari. Menurut petani, HR lestari yaitu terjaganya tegakan pohon secara terus menerus untuk fungsi ekonomi, ekologi serta adanya kegiatan penanaman, perawatan, dan penebangan untuk memenuhi kebutuhan pemilik. Selain itu, menurut petani HR praktik TB tidak merusak kelestarian HR karena: a) Penebangan dilakukan sebanyak yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan saat itu, b) Dilakukannya penanaman pasca penebangan, c) Dilakukan penanaman setelah lahan digunakan untuk menanam tanaman pertanian/semusim, d) Adanya trubusan dari tunggak tanaman yang ditebang. Bagi petani HR pengetahuan tersebut menjadi salah satu kekuatan sekaligus pertahanan untuk melestarikan HR.

PEMBAHASAN

Pengelolaan Hutan Rakyat

Karakteristik Petani HR

Pengelolaan HR di Kabupaten Ciamis didominasi oleh petani usia produktif dengan tingkat pendidikan yang rendah (tamat SD). Pendidikan petani yang sebagian besar SD berdampak pada cara pengelolaan HR yang masih konvensional, namun sistem agroforestri yang diterapkan adalah sebuah pengetahuan yang mampu menjadi modal untuk memanfaatkan lahan agar lebih produktif. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin banyak pengetahuan dan informasi yang diperoleh sehingga petani lebih kreatif dan produktif dalam memanfaatkan peluang untuk membangun dan mengembangkan HR walaupun luas hutan yang dimiliki rata-rata relatif kecil. Achmad et al. (2012) menyatakan

bahwa semakin dominan usia produktif di suatu daerah maka semakin maju daerah tersebut karena penduduknya akan terus berkarya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan HR di Kabupaten Ciamis masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan.

Sebagian besar petani HR memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, sedangkan pekerjaan sampingan petani HR yaitu sebagai pedagang sehingga HR hanya dikelola sebagai usaha sampingan (subsisten). Beberapa dasar pengelolaan

HR tidak menjadi pekerjaan utama bagi petani karena masa tunggu tebang pohon lama, hasil dari HR tidak kontinyu, sebagai tabungan jangka panjang, pengelolaan bersifat konvensional. Awang et. al. (2007) menyatakan bahwa HR dibangun

karena lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil.

(39)

petani HR di wilayah penelitian adalah Rp. 1.000.000,-/bulan maka 10% dari pendapatan yaitu Rp. 100.000,-/bulan. Hasil uang dari hasil TB tiga wilayah penelitian rata-rata RP. 109.657,-/bulan, sehingga hasil dari kayu HR masih dalam kategori kecil tergantung.

Karakteristik Pengelolaan HR

Sebagian besar petani HR dalam pengelolaannya menerapkan sistem

polyculture menunjukkan bahwa petani ingin mendapatkan manfaat dari berbagai

jenis pohon yang di lahannya yang dibuktikan dari tanaman penyusun yang berada di lahan petani HR. Selain itu sistem campuran memberikan dampak interaksi antar tanaman sehingga dapat mencegah hama tanaman HR dan membentuk suatu kondisi lingkungan seperti semakin lembabnya tanah sehingga kesuburan tanah akan terjaga. Menurut Diniyati et al. (2005) ada beberapa jenis tanaman penyusun

berdasarkan pengetahuan masyarakat di Kabupaten Ciamis antara lain: 1) Tanaman kehutanan dan tanaman buah-buahan; 2) Tanaman kehutanan, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman semusim; 3) Tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman semusim, tanaman obat-obatan.

Petani cenderung memilih pola tanam campuran karena dianggap dapat memberikan hasil yang sesuai dengan keinginannya dan adanya kombinasi berbagai jenis tanaman dapat mencegah hama penyakit tanaman menyerang tanaman di lahan HR. Adanya penambahan berbagai tanaman pengisi seperti duku, rambutan, petai, jengkol, durian serta tanaman semusim seperti jahe, kunyit, talas, jagung dapat menambah penghasilan diluar dari tegakan kayu yang dimiliki. Pola monokultur pada luasan tertentu menurut petani HR akan menyebabkan dampak terhadap nutrisi tanah yang diambil secara terus menerus, sehingga akan terjadi kekurangan nutrisi dan menyebabkan penurunan kualitas tanah dan tegakan walaupun pola monokultur sebenarnya telah mengarah pada pengelolaan HR yang lebih produktif dan sebagai usaha yang tekuni oleh petani HR. Beberapa permasalahan lain dari pola monolkultur yaitu lahan yang terbuka menyebabkan gulma cepat tumbuh sehingga menimbulkan persaingan dalam mendapat nutrisi, erosi tanah ketika musim hujan, dan timbulnya hama yang menyerang tanaman saat dalam proses pertumbuhan.

Masing-masing pola tanam memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing karena bagi petani HR pemilihan pola tanam sebenarnya berdasarkan kebutuhan dan keinginan petani. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa petani HR memiliki cara yang rasional dari pola tanam yang diterapkan dengan menyesuaikan berbagai kebutuhan yang diinginkan. Keputusan dalam pola tanam dalam pemanfaatan diperoleh dari pengetahuan orang tua, maupun rekan sesama petani.

(40)

Kegiatan pengadaan dan pemilihan jenis bibit dilakukan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan petani karena petani memiliki motivasi dan tujuan masing-masing dalam mengelola lahannya sehingga hasilnya memberikan manfaat. Penelitian Herawati (2001) menyatakan bahwa petani HR di Kabupaten Ciamis bibit memilih jenis bibit tanaman mempertimbangkan berbagai aspek (teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan) yang secara berurutan jenis bitit yang disukai oleh petani HR yaitu mahoni, sengon, jati. Hal tersebut menjadi bukti bahwa petani memiliki cara untuk mendapatkan bibit yang menurut mereka memiliki kualitas baik dan menguntungkan, sehingga pohon akan tumbuh dengan kualitas yang baik dan petani memiliki tanggungjawab terhadap tanaman yang dipilihnya.

Praktik pemeliharaan dilakukan sebagai bentuk kontrol atau pengawasan terhadap kondisi lahan dan tegakan yang dimiliki. Proses pemeliharan akan menjadi bahan evaluasi bagi petani sejauh mana perkembangan dari tanaman yang dimiliki. Kemudian petani akan melakukan tindakan yang perlu dilakukan seperti mengganti tanaman yang mati, penjarangan, pemupukan sehingga kondisi tanaman sesuai yang diharapkan.

Sebagian besar petani melakukan penebangan berdasarkan kebutuhan, namun terdapat sebagian kecil petani yang melakukan perencanaan dalam pemanenan kayu pada lahan HR miliknya. Rencana tersebut merupakan rencana kebutuhan dalam jangka waktu tertentu, atau perencanaan singkat dalam pemilihan jenis-jenis pohon untuk kebutuhan yang akan datang. Perencanaan tersebut cukup sederhana yaitu dengan merencanakan untuk kebutuhan saat ini atau beberapa bulan bahkan beberapa tahun yang akan datang. Contoh rencana kebutuhan seperti anak sekolah yang waktunya telah rutin, dan hajatan yang biasanya waktu pelaksanaan telah ditetapkan. Akan tetapi faktanya perencanaan tersebut dapat berubah karena petani memiliki kebutuhan-kebutuhan lebih mendesak seperti biaya berobat, membayar hutang, sehingga perencanaan tersebut tidak seperti yang diinginkan.

Menurut Pramesthi dan Haryanto (2010) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi petani HR melakukan pemanenan yaitu:

1. Faktor Teknis

Jenis kayu yang ditebang dan musim yang tepat untuk pemanenan. Pemanenan kayu pada musim penghujan dapat diperoleh volume yang optimal dibandingkan pada musim kemarau. Selain itu kayu yang ditebang pada saat musim penghujan lebih baik baik kualitasnya karena tidak mudah terserang hama bubuk.

2. Faktor Ekonomi

Kebutuhan rumah tangga mendorong petani untuk melakukan pemanenan, sehingga kebutuhannya tercukupi.

3. Faktor Sosial

Keputusan untuk memanen karena adanya interaksi antar petani dengan pedagang kayu yang ada diwilayahnya, sehingga mempermudah petani mendapatkan aliran pemasaran kayu.

(41)

di HR digunakan untuk kepentingan sendiri dan dijual kepada pasar/industri perkayuan.

Kayu hasil pemanenan HR dijual dalam bentuk pohon berdiri dengan sistem borongan oleh petani pemilik. Keuntungan menjual dengan dalam bentuk pohon berdiri dan sistem borongan yaitu lebih praktis, tidak mengeluarkan banyak tenaga, dan cepat mendapatkan uang untuk segera mencukupi kebutuhan. Kerugian dari cara tersebut antara lain menyebabkan petani tidak mengetahui harga sebenarnya sehingga harga yang diberikan kepada petani sangat rendah dan ukuran diameter per pohon tidak diketahui oleh petan. Penerapan sistem silvikultur yang jarang dilakukan, penaksiran dan perhitungan volume pohon, teknik pemotongan log juga menjadi pendorong rendahnya harga jual kayu (Awang et al. 2001; Hardjanto 2003).

Peran pemerintah dalam menentukan harga kayu tidak ditemukan, sehingga harga dibentuk oleh pasar berdasarkan waktu dan jenis kayu yang akan ditebang. Nugroho (2010) mengungkapkan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki peran untuk saling menjaga keseimbangan pelaku HR, seperti pernah dilakukan pinjaman kredit dalam upaya pembangunan HR dari kementerian kehutanan sejak 1988–2001 namun hasilnya banyak tunggakan yang belum terbayar karena adanya beberapa kelemahan dalam pemanfaatan kredit, seperti unit pengelola program pinjaman yang tidak ada, tidak adanya pendampingan dalam pemberian kredit berkelompok (mekanisme tanggung renteng), dan kemitraan industri pengolahan kayu bersama petani HR.

Lembaga kelompok tani yang ada di tiga wilayah penelitian belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga masyarakat enggan untuk membentuk kelompok tani HR. Pada dasarnya anggota kelompok tani merasakan manfaat dari mengikuti kelompok tani yang dibuktikan dengan pengetahuan anggota tentang organisasi kelompok tani. Hal tersebut dapat menjadi modal bagi petani HR untuk memajukan organisasi. Kondisi kelompok tani yang ada saat ini belum dikatakan sebagai kelompok tani yang aktif, sebab kegiatan kelompok tani masih mengandalkan bantuan-bantuan dari pemerintah. Kelompok tani ini akan aktif pada saat mendapatkan bantuan seperti pupuk pertanian, bibit tanaman kehutanan dan kegiatan-kegiatan yang biasanya dikoordinir pihak kelurahan.

Motivasi Mengusahakan Hutan Rakyat

Status kepemilikan HR oleh petani 100% adalah lahan milik pribadi (private), sehingga hak kelola merupakan wewenang pemilik tanah termasuk

motivasi dalam mengusahakan yang meliputi pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran merupakan keputusan masing-masing individu petani. Nugroho dan Tiryana (2013) menyatakan bahwa dalam mengelola HR petani memiliki otonomi dalam mengambil keputusan baik segi pemilihan jenis hingga pemanenan kayu sesuai dengan kebutuhan.

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis
Tabel 2. Kelompok umur responden
Tabel 4. Jumlah anggota dan tanggungan keluarga
Gambar 2 (a) Luas rata kepemilikan HR (Sumber: Pengolahan data primer),
+7

Referensi

Dokumen terkait

70/M- DAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, bahwa pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

Model Hipotetik Peningkatan Implementasi Knowledge Management pada Perguruan Tinggi……… 239 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI………...

Perancangan sistem dalam penelitian terdiri dari perancangan arsitektur jaringan aplikasi berbasis client server, perancangan input Rencana Kerja Anggaran (RKA)

1. Menyetujui melakukan kapitalisasi agio saham dimana jumlah agio sampai dengan tahun buku 2012 sebesar Rp.. sembilan puluh tiga Rupiah) yang akan dikonversi menjadi Saham

Hürriyet inkılâbının getirdiği neticelerden birisi de, parlamenterizmdir. Parlamenterizm hürriyet inkılâbının getirdiği toplanma ve cemiyet kur­ mada serbestlik

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,