• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Spasial Temporal Dinoflagellata Serta Pengelolaannya Di Pesisir Makassar Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Spasial Temporal Dinoflagellata Serta Pengelolaannya Di Pesisir Makassar Sulawesi Selatan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI SPASIAL TEMPORAL DINOFLAGELLATA

SERTA PENGELOLAANNYA DI PESISIR MAKASSAR,

SULAWESI SELATAN

ABDUL SADDAM MUJIB

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

*

*

(4)
(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi Spasial Temporal Dinoflagellata Serta Pengelolaannya di Pesisir Makassar Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Abdul Saddam Mujib

(6)

RINGKASAN

ABDUL SADDAM MUJIB. Distribusi Spasial Temporal Dinoflagellata Serta Pengelolaannya Di Pesisir Makassar Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan YUSLI WARDIATNO.

Dinoflagellata merupakan jenis mikroalga berbahaya (harmful species) yang dapat membahayakan perairan pesisir. Jenis dinoflagellata tersebut dapat merugikan ekonomi dari sektor perikanan tangkap dan pariwisata. Dinoflagellata dapat memproduksi racun yang bisa masuk ke rantai makanan di perairan laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dinoflagellata berbahaya, mengetahui konsentrasi unsur hara di perairan, mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi jenis dinoflagellata berbahaya, dan merekomendasikan suatu pengelolaan adaptif untuk mencegah terjadinya blooming dinoflagellata berbahaya. Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan pada bulan Oktober – Desember 2014 dengan tiga kali waktu pengambilan. Penelitian ini menggunakan planktonet dan botol niskin untuk pengambilan sampel plankton dan sampel air.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan di Makassar telah masuk kategori eutrofik. Konsentrasi amoniak khususnya di perairan Pantai Losari >3mg/L. Konsentrasi nitrat berkisar 0,26 – 1,27 mg/L dan konsentrasi ortofosfat berkisar 0,029 – 0,669 mg/L dengan rasio NP 53:1 (pengambilan pertama), 9:1 (pengambilan kedua), dan 227:1 (pengambilan ketiga). Kelimpahan Dinoflagellata berkisar antara 6 – 1407 sel/L. Tujuh jenis dinoflagellata ditemukan pada penelitian ini, yaitu; Ceratium spp., Gymnodinium sp., Dinophysis sp., Gonyaulax sp., Noctiluca sp., Protoperidinium spp., dan

Perdinium sp. Protoperidinium spp. dan Ceratium spp. merupakan spesies predominan yang kelimpahannya berkisar 9 – 659 sel/L dan 6 – 556 sel/L.

Berdasarkan hasil uji spearman rank correlation, kelimpahan total dinoflagellata dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti NO3, NO2, NH3, PO4, salinitas, dan DO. Selain dari itu, kondisi turbelensi dari perairan dapat mempengaruhi kelimpahan dinoflagellata. Berdasarkan hasil uji Anova, Kondisi parameter lingkungan perairan Makassar pada setiap waktu pengambilan tidak berbeda nyata (p value >0,05). Kondisi perairan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada setiap waktu pengambilan, sedangkan kondisi parameter unsur hara berbeda nyata pada setiap waktu pengambilan (p value <0,05)

Di Perairan Makassar didapatkan beberapa harmful species seperti

Dinophysis sp. (DSP), Gymnodinium spp. (NSP dan PSP), Noctiluca sp. (anaerob), dan Gonyaulax sp. (anaerob). Selain dari itu tingginya konsentrasi amoniak (>1mg/L) di dearah Pantai Losari mengindikasikan bahwa daerah tersebut sangat terkena dampak anthoropogenic di daerah pesisir Pantai Losari. Dinoflagellata jenis ini dapat mengancam perairan Makassar jika tidak dilakukan suatu pengelolaan di daerah watershed untuk meminimalisir pengakayaan nutrien di perairan pesisir Kota Makassar.

(7)

SUMMARY

ABD. SADDAM MUJIB. Temporal Spasial Distribution of Dinoflagellates and Management in Coastal of Makassar, South Sulawesi. Supervised by ARIO DAMAR and YUSLI WARDIATNO.

Dinoflagellates are harmful microalgae that they are threated coastal waters in worldwide. Species of dinoflagellates are impact an economic loss, fisheries, and tourism sector. Dinoflagellates produce toxic that can be transferred to food chains in aquatic system. This study aims to determine the harmful species of dinoflagellates, determine the concentration of nutriens in surface waters, knowing what factors affect the harmful species of dinoflagellates, and recommend an adaptive management to prevent harmful dinoflagellate bloom. This research on October to December 2014 with three times sampling. This research used planktonet and niskin bottle for plankton and water sampling.

The result showed that condition of waters has been at eutrophic level. Amoniac concentration, especially Losari Beach waters at >3mg/L. Nitrate concentration about 0,26 – 1,27 mg/L and Concentration of ortophospate about 0,029 – 0,669 mg/L with NP ratio at 53:1 (first sampling), 9:1 (second sampling), and 227:1 (third sampling). Abundance of dinoflagellates about 6 – 1407 sel/L. There are 7 species detected in this research, those are Ceratium spp., Gymnodinium sp., Dinophysis sp., Gonyaulax sp., Noctiluca sp., Protoperidinium

spp., and Perdinium sp. Protoperidinium spp. and Ceratium spp. were predominan species with abundance of cell about 9 – 659 sel/L and 6 – 556 sel/L.

Spearman rank correlation showed that total abundance of dinoflagellates are influence by NO3, NO2, NH3, PO4, salinity, and DO. Other than that, turbulence condition in waters influenced abundance of dinoflagellates. One Way Anova showed that environmental parameters condition between three times sampling not significantly different (p value >0,05), whereas nutriens parameter condition between three times sampling are significantly different (p value <0,05). In the waters of Makassar founded several harmful species those are

Dinophysis sp. (DSP), Gymnodinium spp. (NSP dan PSP), Noctiluca sp. (anaerob), and Gonyaulax sp. (anaerob). Other than that highly ammonia concentration (>1mg/L), Waters of Losari beach indicated that the waters is very impacted by anthropogenic in coastal area. These species could be threatening waters of Makassar if not carried out a management to watershed area for reduced of nutrien enrichment in coastal waters in Makassar.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(9)

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DISTRIBUSI SPASIAL TEMPORAL DINOFLAGELLATA

SERTA PENGELOLAANNYA DI PESISIR MAKASSAR

SULAWESI SELATAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema Penelitian ini yang telah dilaksanakan bulan Oktober sampai dengan Desember 2014 ini ialah

dinoflagellata, dengan judul Distribusi Spasial Temporal Dinoflagellata serta Pengelolaannya di Pesisir Makassar Sulawesi Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ario Damar, M.Si. dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Luky Adrianto, M.Sc. selaku ketua program studi sebelumnya dan Dr. Ir Achmad Fachruddin selaku ketua program studi yang telah banyak memberi motivasi kepada kami (SPL 2013).

Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua teman-teman yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian ini baik itu di lapangan maupun di laboratorium. Terima kasih pula kepada teman-teman Pondok Tana Doang; Ile, Ojim, Chandrika, Nurma, Haerul, Hendra, Krisye, Lalang, Riska, Wira, Mbak Tere, Leny, dan teman-teman yang tidak tertulis namanya. Terima kasih juga buat Alda yang memberi semangat selama penulis kuliah di Pascasarjana IPB dan membantu dalam pelaksanaan lapangan, Mbak Alim yang telah mengajarkan dalam menganalisis data PCA, dan Aluh Lidya Tania yang selalu memberi semangat dalam konsultasi dan menulis tesis ini.

Semoga tesis ini dapat menjadi acuan terhadap penelitian-penelitian selanjutnya dan berguna bagi ilmu pengetahuan kelak.

Bogor, Agustus 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1.PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat ... 2

Kerangka Pendekatan Masalah ... 3

2.TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Blooming Dinoflagellata ... 4

Penyebab terjadinya Blooming Dinoflagellata ... 4

Suhu 5 Salinitas 6 Nitrat (NO3) 6 Fosfat (PO4) 6 Dampak Blooming Dinoflagellata ... 6

3.METODE PENELITIAN ... 9

Tempat dan Waktu Penelitian ... 9

Alat dan Bahan ... 10

Prosedur Penelitian ... 10

Metode dan Rancangan Penelitian 10 Pelaksanaan Penelitian 10 Analisis Data ... 11

Alur Penelitian ... 12

4.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 13

Hasil ... 13

Komposisi Jenis Dinoflagellata 13 Kelimpahan Total Dinoflagellata 14 Spesies Berbahaya (harmfulspecies) 17 Pembahasan ... 21

Tindakan Pencegahan Blooms (preventionaction) ... 27

(14)

Pengelolaan Daerah Watershed menuju Pesisir (management from

watershed area to coast) 28

Mengatasi Jika Terjadi Blooming ... 29

Membentuk Sistem Tanggap Darurat 29 Sistem Infromasi 29 5.KESIMPULAN ... 30

6.SARAN ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 30

DAFTAR TABEL

1. Tipe masalah yang ditimbulkan dinoflagellatta pada saat blooming ... 7

2. Matriks korelasi dinoflagellata terhadap parameter lingkungan ... 15

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pendekatan masalah ... 3

2. Diagram skematik hubungan nutrien terhadap dinoflagellata ... 5

3. Lokasi penelitian... 9

4. Bagan alur penelitian ... 12

5. Kelimpahan total dinoflagellata (sel/L) pengambilan 1, 2, dan 3 ... 14

6. Korelasi rasio NP dan kelimpahan dinoflagellata pada salinitas ... 15

7. Kelimpahan Jenis Dinoflagellata (rata-rata sel/L) ... 16

8. Komposisi jenis Dinoflagellata (%) antar waktu pengambilan ... 16

9. Kondisi Lingkungan Perairan Makassar... 17

10. Konsentrasi Nutrien Perairan Makassar ... 17

11. Jenis Dinoflagellata di Setiap stasiun ... 18

12. Grafik keterkaitan antar variabel pengambilan pertama ... 19

13. Grafik keterkaitan antar variabel pengambilan kedua ... 20

14. Grafik keterkaitan antar variabel pengambilan ketiga ... 21

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji one way anova parameter lingkungan ... 34

2. Hasil uji one way anova unsur hara ... 35

3. Korelasi jenis dinoflagellata pengambilan pertama ... 37

4. Korelasi jenis dinoflagellata pengambilan kedua... 38

5. Korelasi Jenis dinoflagellata Pengambilan ketiga ... 39

(16)
(17)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu sumber daya dapat pulih (renewable resource), sumber daya tidak dapat pulih (non-reneweble resource), dan jasa-jasa lingkungan

(environmental services). Terkadang, manusia tidak sadar akan bahaya yang dilakukannya di daerah pesisir sehingga dapat mengancam daerah pesisir tersebut (Burkholder 1998).

Fenomena yang membahayakan wilayah pesisir adalah redtide. Kejadian pasang merah (redtide) atau secara umum dikenal sebagai HAB (Harmful Algal Bloom) telah menjadi suatu fenomena di lingkungan global (McGillicuddy Jr et al. 2014). Peristiwa ini melanda hampir seluruh kawasan yang memiliki pesisir dan laut, baik itu daerah tropis maupun subtropis. Saat ini negara yang paling parah menghadapi pencemaran alga berbahaya ini adalah Cina, Taiwan, dan Jepang serta beberapa negara di Eropa. Menurut Damar et al. (2012) dan Wardiatno et al. (2013) di Indonesia juga telah terjadi peristiwa HAB seperti di Teluk Lampung dan Teluk Jakarta. Hal ini dikarenakan tingginya unsur hara di daerah tersebut ditambah lagi kondisi perairan yang relatif tenang sehingga mendukung pertumbuhan dinoflagellata. Beberapa dari negara tersebut bergabung dan membentuk suatu komisi yang khusus menangani masalah ini (Glibert et al.

2005).

Kejadian HAB memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan manusia (Gambar 1). Hal ini karena dampak dari terjadinya HAB dapat membuat prekonomian menjadi terpuruk terutama pada sektor perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun budidaya. Selain itu, HAB juga memberikan dampak yang sangat buruk bagi tingkat kesehatan masyarakat, terutama yang mengonsumsi ikan sebagai sumber protein. Hal ini karena berbagai jenis racun yang ditimbulkan oleh HAB dapat menyebabkan berbagai macam gangguan syaraf hingga dapat menyebabkan kematian (Burkholder 1998).

Dinoflagellata merupakan salah satu kelas dari fitoplankton berbahaya (harmful) dan memliki siklus hidup di perairan (Bogus et al. 2014). Salah satu siklus dari dinoflagellata adalah pembentukan kista di dasar perairan yang terakumulasi dengan sedimen (Morquecho dan Lechuga-Devéze 2004). Kista tersebut dapat kembali hidup ketika dipicu oleh kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhannya. Tingginya kelimpahan jenis dinoflagellata di kolom air dapat membahayakan ekosistem perairan (Zonneveld et al. 2012).

(18)

2

kelimpahan jenis dinofagellata di kolom perairan tersebut. Ketika kualitas lingkungan mendukung pertumbuhan jenis berbahaya dinoflagellata (harmful species) akan berpotensi terjadi blooming dinoflagellata. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi terjadinya blooming dan direkomendasikan dilakukan suatu pengelolaan wilayah pesisir yang adaptif sehingga dapat meminimalisir kejadian blooming tersebut.

Perumusan Masalah

Kegiatan manusia di pesisir sangat mempengaruhi kondisi perairan pesisir. Kegiatan manusia seperti pertanian, peternakan, dan penggunaan zat-zat kimia dapat meningkatkan unsur hara di perairan pesisir. Meningkatnya unsur hara dapat mempengaruhi kelimpahan dinoflagellata di perairan karena merupakan indikator pertumbuhan dinoflagellata. Unsur hara merupakan faktor utama dalam pertumbuhan dinoflagellata. Jika tidak ada suatu monitoring yang dilakukan maka dapat membahayakan perairan pesisir dan mengancam pengelolaan di wilayah pesisir.

Tujuan dan Manfaat

(19)

3

Spesies berbahaya

Kesehatan manusia Sumberdaya alami dan budidaya

Aktivitas rekreasi dan wisata

Berdampak pada ekosistem laut Unsur Hara

Anthropogenic

Dinoflagellata

PSP, DSP, NSP, ASP, AZP, CFP

Produktivitas Primer

Kekurangan oksigen, merubah tingkah laku

makan biota laut

Produksi busa, lendir, perubahan warna, bau

tak sedap, dsb.

Bersifat racun terhadap hewan liar

di laut Pesisir

Kelimpahan

Kerangka Pendekatan Masalah

(20)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Blooming Dinoflagellata

Dinoflagellata merupakan salah satu kelas penting dari fitoplankton yang telah diteliti di lingkungan pesisir dan laut (Matsuoka dan Shin 2010). Dinoflagellata dapat berbahaya jika kelimpahannya melebihi ambang batas di perairan yang biasa disebut blooming. Blooming dinoflagellata merupakan salah satu penyebab kematian ikan secara massal karena dapat menurunkan oksigen di perairan. Beberapa spesies dinoflagellata mengandung racun dan masuk ke rantai makanan sehingga mengkontaminasi makanan laut (seafood) sehingga dapat mengubah ekosistem pesisir. Secara umum, istilah yang digunakan untuk peristiwa blooming dinoflagellte disebut sebagai HAB (Harmful Algal Blooms) (Anderson et al. 2010)

Kejadian HAB telah banyak terjadi hampir di semua daerah yang memiliki pesisir di dunia. Hal ini telah menjadi masalah dan penyebab yang sangat besar terhadap kerugian ekonomi dan dampak serius terhadap kesehatan manusia. HAB dilaporkan telah terjadi di berbagai daerah di dunia seperti Florida, British Columbia, Perairan Norwegian, Atlantik utara dan di daerah-daerah upwelling

seperti Afrika Selatan. Hal ini membahayakan ekosistem, mematikan ikan, kerang yang dibudidaya (dengan menurunkan oksigen terlarut), dan juga memiliki racun yang dapat berdampak kepada manusia (Wang et al. 2007).

Selain daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, Asia juga sering terjadi HABs khususnya di Korea. HABs ini terjadi hampir disepanjang pesisir Korea. Seperti dalam penelitian Park et al. (2013a) menjelaskan bahwa total kejadian HABs di Korea 86% terjadi di pesisir bagian selatan, 12% di pesisir bagian timur, dan 2% di pesisir bagian barat, semuanya masuk dalam jenis dinoflagellata.

Spesies-spesies mikroalga yang berpotensi berbahaya terdiri atas 80 spesies beracun dan 200 spesies di luar yang mengandung racun dan hampir semuanya masuk ke dalam kelas dinoflagellata (Smayda 2002). Penyebab terjadinya blooming dinoflagellata telah banyak diteliti sehingga dapat diketahui beberapa indikator yang sangat mempengaruhi perkembangan dinoflagellata.

Penyebab terjadinya Blooming Dinoflagellata

Menurut Anderson et al. (2012a) blooming dinoflagellata disebabkan oleh dua faktor utama yaitu proses alam seperti upwelling, arus sungai, dan

anthropogenic yang mengakibatkan eutrofikasi. Penyebab terjadinya blooming ini harus selalu dilakukan uapaya-upaya pengamatan pada daerah pesisir di dunia.

Hubungan nutrien anthropogenic dengan kejadian HABs sudah pasti, tetapi penyebab kejadian HABs tersebut tidak berlaku secara universal. Kejadian HABs dikarenakan nutrien anthropogenic berlaku dalam skala lokal. Walaupun demikian peningkatan nutrien anthropogenic dapat mendukung pertumbuhan dinoflagellata sehingga dapat terjadi blooming dinoflagellata. Meskipun secara lokal, tetapi, tetap saja dapat membahayakan ekosistem sekitar sehingga akan berdampak luas dari prekonomian dan bahkan kesehatan manusia (Davidson et al.

2014).

(21)

5

menaikkanya ke permukaan. Hal ini dapat menguntungkan mikroalga termasuk dinoflagellata karena menurut Matsuoka dan Shin (2010), meningkatnya nutrien dapat meningkatkan sebagian besar reproduksi dari fitoplankton termasuk diantaranya adalah dinoflagellata. Naiknya nutrien ke permukaan mengundang fitoplankton (diatom) autotroph sebagai produsen primer untuk memanfaatkan nutrien tersebut dalam proses fotosintesis, kemudian dinoflagellata (heterotroph) berperan sebagai predator sehingga dapat meningkatkan kelimpahan dari dinoflagellata (Gambar 2).

Gambar 2. Diagram skematik hubungan nutrien terhadap dinoflagellata (Matsuoka dan Shin 2010).

Adapun faktor lain yang diduga mempengaruhi blooming dinoflagellata yaitu; suhu, kecerahan, arus, salinitas, pH, nitrat, dan fosfat.

Suhu

(22)

6

untuk dinoflagellata berkisar antara 12oC sampai 30oC (Park et al. 2013a) sehingga diindikasikan bahwa dinoflagellata memiliki kisaran suhu yang cukup luas (Marret dan Zonneveld 2003).

Salinitas

Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Jenis alga potensial berbahaya telah diketahui memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu 10– 30psu. Nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35psu (Park et al. 2013a)

Nitrat (NO3)

Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan

merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses untuk tumbuh optimal mulai dari kisaran 0,09 mg/Liter – 0,23 mg/Liter (Damar et al. 2012).

Fosfat (PO4)

Fosfat merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah yang berlebih fosfat dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Fosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh sumber utama fosfat berasal dari pelapukan batuan (weathering), limbah organik seperti deterjen dan hasil degradasi bahan organik (Heisler et al. 2008).

Dampak Blooming Dinoflagellata

Dinoflagellata merupakan kelas fitoplankton yang sangat dominan pada kejadian HABs. HABs sering dihubungkan dengan meningkatnya masukan nutrien ke ekosistem pesisir sebagai konsekuensi aktivitas manusia. HABs ini banyak terjadi di area-area dimana aktivitas manusia atau populasi manusia tidak diperhatikan peningkatannya dan merupakan faktor-faktor yang berkontribusi dalam kejadian tersebut (Glibert et al. 2005).

Klasifikasi HABs secara umum dibedakan menjadi dua causative organism; organisme yang mengahasilkan racun, dimana dapat mengkontaminasi

seafood atau membunuh ikan, dan organisme yang tidak menghasilkan racun tapi menyebabkan menurunnya oksigen dikarenakan blooming sehingga dapat menurunkan kualitas habitat ikan dan kerang-kerangan (Anderson et al. 2010)

(23)

7

dari Universitas Kitasato Jepang menyimpulkan bahwa lebih besar dibanding segala jenis racun baik itu yang alami maupun buatan yang ada di darat. Racun tersebut ditransfer melalui kerang-kerangan atau ikan (herbivorous species) (Wang et al. 2007).

Tabel 1. Tipe masalah yang ditimbulkan dinoflagellatta pada saat blooming

(Hallegraeff 1993) tertentu di daerah teluk semi tertutup,

blooming yang sangat padat dapat menyebabkan kematian ikan dan

Memproduksi racun Saxitoxin yang dapat mengakibatkan rasa terbakar pada lidah, bibir, mulut hingga leher, lengan, dan kaki yaitu Paralytic Shellfish Poisoning (PSP)

3

(24)

8

Beberapa dekade terakhir, terjadi kerugian ekonomi karena blooming

dinoflagellata di industri perikanan budidaya di dunia. Di Korea kerugian dalam bidang budidaya perikanan mencapai 121 juta dollar AS. Pada daerah budidaya perikanan ditemukan spesies dinoflagellata yang memproduksi racun PSP

(25)

3.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan pada bulan Oktober – Desember 2014 (Gambar 3). Penetapan lokasi penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut mendapat suplai unsur hara yang besar dari dua sungai dan telah berada pada level eutrofik.

Gambar 3. Lokasi penelitian

(26)

10

plankton menggunakan planktonet ukuran net 20µm dan dilakukan secara vertikal pada kedalaman maksimal 20 meter.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan beberapa alat dan bahan berdasarkan parameter atau objek yang di-sampling. Ada dua kriteria dalam pelaksanaan penelitian, yaitu sampling di lapangan dan analisis di laboratorium. Di lapangan diukur parameter fisika kimia seperti suhu, salinitas, pH, dan DO menggunakan

Water Quality Cheker (WQC) sedangkan kecerahan diukur menggunakan secchi disk dalam persentase jarak tembus cahaya terhadap kedalaman. Pengambilan sampel air untuk unsur hara seperti amoniak, nitrit, nitrat, dan ortofosfat menggunakan botol van dorn. Pengambilan sampel air untuk dinoflagellata menggunakan planktonet dilengkapai flowmeter di mulut jaring dan mengawetkan sampel dinoflagellata menggunakan lugol. Analisis unsur hara dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan pencacahan dinoflagellata dilakukan di Puslitbang. LP3K (Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut, Presisir, Pulau-pulau Kecil), Universitas Hasanuddin.

Prosedur Penelitian Metode dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggambarkan kelimpahan dinoflagellata di Perairan Makassar dan dideskripsikan berdasarkan hasil pencacahan kelimpahan dinoflagellata di kolom perairan menggunakan kontur kelimpahan (Gambar4)

Pelaksanaan Penelitian

Penentuan titik sampling dilakukan berdasarkan hasil Stervasi awal dengan mempertimbangkan daerah-daerah aktivitas manusia dan karakteristik Perairan Makassar. Parameter yang diukur meliputi; pH, suhu, arus, salinitas, nitrat, nitrit, amoniak, dan ortofosfat. Parameter bersifat toksik yang diukur meliputi kelimpahan dinoflagellata di kolom perairan.

a) Pengukuran Kimia-fisika

Pengukuran parameter fisika-kimia dilakukan secara in situ (suhu, pH, salinitas, dan DO) dan parameter kimia lain (nitrat, nitrit, amoniak, dan ortofosfat) di analisis di laboratorium dengan menggunakan alat spoktrofotometer dengan metode brucine (nitrat), sulfanilamide (nitrit), indophenol (amoniak), dan askorbik (ortofosfat).

b) Kelimpahan Dinoflagellata di Kolom Perairan

Menghitung dinoflagellata pada SR

Alur dari S-R merupakan susunan volume air sampel dengan panjang 50 mm, tinggi 1 mm dan lebar 20 mm. Jumlah dari alur yang dihitung adalah ketelitian dari nilai perhitungan organisme per alur. Metode yang digunakan metode sapuan dengan 10 kali ulangan dan pembesaran 200 kali. Adapun perhitungan dinoflagellata pada S-R sebagai berikut (APHA 1994):

(27)

11

Keterangan:

N : Kelimpahan total plankton (sel/L) n : Jumlah sel plankton yang teramati (sel) Vt : Volume sampel yang tersaring (ml)

Vcg : Volume SRC(ml)

Vd : Volume sampel yang disaring (L)

Analisis Data

Pendekatan analisis data dilakukan menggunakan Spearman Rank Correlation dan One Way ANOVA. Analisis ini untuk mengetahui hubungan jenis dinoflagellata terhadap parameter dan uji beda nyata kondisi perairan antar waktu pengambilan. Kelimpahan dinoflagellata akan dideskripsikan secara umum berdasarkan spasial temporal dalam kontur kelimpahan menggunakan surfer-8

atau image prosessing mengacu pada Feki-Sahnoun et al. (2014). Kecendrungan kelimpahan dideskripsikan menggunakan diagram histogram dari program

(28)

12

Gambar 4. Bagan alur penelitian Alur Penelitian

Alur Penelitian

Dinoflagellata

a. Distribusi spasial temporal

b. Kelimpahan

Unsur Hara a. Nitrat b. Nitrit c. Amoniak d. ortofosfat

Alami

Anthropogenic Aktvitas Manusia wilayah pesisir Makassar

Deskriptif

Potensi terjadi

blooming

Ya Tidak

Rekomendasi Pengelolaan adaptif Spasial dan

temporal

Eva

(29)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Komposisi Jenis Dinoflagellata

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan komposisi dari dinoflagellata sebanyak 7 jenis (Gambar 8). Protoperdinium spp. dan Ceratium spp. merupakan jenis yang mendominasi Perairan Makassar. Kelimpahan jenis Protoperidinium

spp. pengambilan pertama 37,23% dengan kelimpahan 5000 sel/L, pengambilan kedua 42,82% dengan 3500 sel/L, dan pengambilan ketiga 40,80% dengan kelimpahan 1800 sel/L sedangkan, kelimpahan jenis Ceratium spp. pengambilan pertama 39,95% dengan kelimpahan 4000 sel/L, pengambilan kedua 27,98% dengan kelimpahan 2000 sel/L, dan pengambilan ketiga 21% dengan kelimpahan 900 sel/L. Berdasarkan (Tabel 2 dan Gambar 6), Pada pengambilan pertama, kelimpahan dinoflagellata berkorelasi negatif terhadap NH3 dan rasio NP.

Semakin tinggi konsentrasi NH3 dan rasio NP, maka semakin rendah kelimpahan

dinoflagellata. Pada pengambilan kedua, kelimpahan dinoflagellata berkorelasi negatif terhadap pH dan kecerahan. Semakin tinggi pH dan kecerahan maka semakin rendah kelimpahan dinoflagellata. Pada pengambilan ketiga, tidak terlihat korelasi yang signifikan parameter terhadap kelimpahan dinoflagellata.

Dalam penelitian ini, Ceratium spp. merupakan jenis dinoflagellata terbanyak kedua yang ditemukan di Perairan Makassar setelah Protoperidinium

spp. Secara keseluruhan, kelimpahan Ceratium spp. berkisar 6 – 590 sel/L (Gambar 7). Kelimpahan tertinggi berada di Pengambilan pertama berkisar 35 – 531 sel/L dan terendah pada Pengambilan ketiga berkisar 6 – 97 sel/L. Meskipun secara menyeluruh Pengambilan pertama kelimpahan Ceratium spp. tinggi namun stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu stasiun 18 di Pengambilan kedua. Kelimpahan Dinophysis sp. berkisar 6 – 221 sel/L. Kelimpahan tertinggi berada di pengambilan ketiga berkisar 6 – 221 sel/L dan kelimpahan terendah berada di pengambilan kedua berkisar 18 – 35 sel/L. Stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu stasiun 8 (221 sel/L). Kelimpahan Gymnodinium sp. secara keseluruhan, berkisar 9 – 336 sel/L. Berdasarkan waktu terlihat kelimpahan tertinggi Gymnodinium sp. berada di pengambilan kedua berkisar 15 – 336 sel/L dan terendah berada di pengambilan ketiga berkisar 9 – 159 sel/L. Stasiun tertinggi berada di stasiun 24 dimana stasiun tersebut dekat dengan pelabuhan. Kelimpahan Gonyaulax sp. secara keseluruhan didapatkan berkisar 12 – 280 sel/L. Kelimpahan tertinggi berada pada pengambilan pertama berkisar 21 – 280 sel/L, sedangkan kelimpahan terendah berada pada Pengambilan kedua berkisar 21 – 44 sel/L. Stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi pada Pengambilan pertama yaitu stasiun 20 (280 sel/L). Stasiun tersebut berada di Muara Sungai Tallo.

(30)

14

124 sel/L. Hanya ada satu stasiun yang memiliki kelimpahan >100 sel/L yaitu stasiun 17 sedangkan stasiun yang lain memiliki kelimpahan <100 sel/L.

Protoperidinium spp. merupakan jenis yang paling tinggi kelimpahannya di lokasi penelitian berkisar 9 – 708 sel/L. Kelimpahan tertinggi berada pada pengambilan pertama berkisar 35 – 708 sel/L. Kelimpahan terendah berada pada pengambilan ketiga berkisar 9 – 269 sel/L. Berdasarkan waktu, kelimpahan

Protoperidinium spp. makin turun dari pengambilan pertama sampai dengan pengambilan ketiga. Dari tujuh jenis yang ditemukan, Peridinium sp. merupakan jenis dari dinoflagellata yang paling sedikit ditemukan di Perairan Makassar.

Peridinium sp. ditemukan berkisar 35 – 103 sel/L. Jenis tersebut hanya ditemukan di Pengambilan pertama.

Kelimpahan Total Dinoflagellata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan total dinoflagellata berkisar antara 6 – 1407 sel/L. Pada pengambilan pertama sampai dengan pengambilan ketiga, kelimpahan dinoflagellata mengalami penurunan (Gambar 5). Kelimpahan tertinggi berada pada pengambilan pertama (145 – 1407 sel/L) tetrtinggi kedua di pengambilan kedua (54 – 1080 sel/L) dan terendah pada pengambilan ketiga (6 – 584 sel/L). Ada tujuh jenis dinoflagellata ditemukan pada penelitian ini, yaitu; Ceratium spp., Gymnodinium sp., Dinophysis sp., Gonyaulax

sp., Noctiluca sp., Protoperidinium spp., dan Perdinium sp. Protoperidinium spp. dan Ceratium spp. merupakan spesies predominan yang kelimpahannya berkisar 9

– 659 sel/L dan 6 – 556 sel/L. Spesies yang sering ditemukan di stasiun dengan kelimpahan tinggi pada setiap pengambilan adalah Ceratium spp., Gymnodinium

sp., Noctiluca sp., dan Protoperidinium spp. Pada peneltian ini, ditemukan beberapa harmful species yaitu; Dinophysis sp. (DSP), Gymnodinium spp. (NSP dan PSP), Noctiluca sp. (anaerob), dan Gonyaulax sp. (anaerob).

(31)

15

Gambar 6. Korelasi rasio NP dan kelimpahan dinoflagellata pada gradien salinitas Tabel 2. Matriks korelasi dinoflagellata terhadap parameter lingkungan

(32)

16

Gambar 7. Kelimpahan Jenis Dinoflagellata (rata-rata sel/L)

Gambar 8. Komposisi jenis Dinoflagellata (%) antar waktu pengambilan 1, 2,dan 3

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00

1 2 3

%

Waktu Pengambilan

Ceratium spp.

Dinophysis sp.

Gymnodinium sp.

Gonyaulax sp.

Noctiluca sp.

Peridinium sp.

Protoperidinium spp.

spp. sp. sp. sp.

(33)

17

Gambar 9. Kondisi Lingkungan Perairan Makassar

Gambar 10. Konsentrasi Nutrien Perairan Makassar

Spesies Berbahaya (harmfulspecies)

Dari tujuh spesies yang ditemukan di Perairan Makassar, dua diantaranya merupakan spesies berbahaya, yaitu Gymnodinium sp. dan Dinophysis sp.

Dinophysis sp. merupakan jenis dinoflagellata yang mengakibatkan tipe masalah DSP (Diarrhetic Shellfish Poisoning) ke penderita. Dinophysis sp. dapat memproduksi racun okadaic yang dapat mengakibatkan diare, mual/muntah, sakit perut, kram, dan kedinginan (Hallegraeff 1993) sedangkan Gymnodinium sp. merupakan jenis yang mengakibatkan tipe masalah PSP (Paralytic Shellfish Poisoning) yang memproduksi racun saxitoxin yang dapat mengakibatkan rasa terbakar pada lidah, bibir, mulut hingga leher, lengan, dan kaki. Selain dari itu, ada jenis dari Gymnodinium sp. yang juga mengakibatkan tipe masalah NSP (Neurotoxic Shellfish Poisoning) yang memproduksi racun brevitoxin yang mengakibatkan gatal pada muka, panas dingin, dan perasaan mabuk (Hallegraeff

et al. 2012). Racun Gymnodinium sp. dapat dicerna oleh copepod sehingga dapat masuk ke rantai makanan dan membahayakan rantai makanan di perairan (Costa

et al. 2012).

Dua jenis dinoflagellata berbahaya ini telah mengindikasikan bahwa Perairan Makassar bisa saja terjadi blooming, tetapi kelimpahan tersebut masih dikatakan rendah. Meskipun kelimpahannya masih rendah, namun jenis ini dapat mengancam Perairan Makassar. Seperti yang telah terjadi di Teluk Lampung pada tahun 1991, blooming jenis ini telah menghancurkan potensi perikanan di daerah tersebut dan mengalami kerugian sampai 3,5 miliyar rupiah akibat kematian massal udang siap panen (Praseno 1995).

Menurut Wiadnyana et al. (1996), selain di Teluk Lampung, Teluk Cendrawasih juga didapatkan jenis Gymnodinium sp., tetapi belum terjadi

(34)

18

pemantauan atau hasil penelitian bahwa jenis ini ditemukan pada periode Agusutus 1994 dan Februari 1995. Informasi tersebut dapat mengindikasikan bahwa sewaktu-waktu bisa saja terjadi ledakan populasi Gymnodinium sp.

Ga

mbar

11. J

enis Di

nofla

ge

ll

ata di S

eti

ap st

(35)

19

Gambar 12. Grafik keterkaitan antar variabel dan keterkaitan antar stasiun pengambilan pertama

Variables (axes F1 and F2: 62.57 %)

St1

(36)

20

Gambar 13. Grafik keterkaitan antar variabel dan keterkaitan antar stasiun pengambilan kedua

Variables (axes F1 and F2: 76.30 %)

St1

(37)

21

Gambar 14. Grafik keterkaitan antar variabel dan keterkaitan antar stasiun pengambilan ketiga

Pembahasan

Ceratium spp., Gymnodinium sp., Noctiluca sp., dan Protoperidinium spp. merupakan jenis dinoflagellata yang sering ditemukan di stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi antar waktu pengambilan contoh (Gambar 11). Keempat spesies ini bisa dianggap memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan variasi nutrien sehingga mampu berkompetisi dengan spesies lain. Dari keempat spesies tersebut, Gymnodinium sp. merupakan harmful species yang dapat

Ceratium spp.

Variables (axes F1 and F2: 62.49 %)

St1

(38)

22

membahayakan perairan jika terjadi ledakan populasi/blooming. Kelimpahan dari jenis tersebut belum masuk kategori blooming karena menurut Thoha dan Rachman (2013), blooming fitoplankton khususnya dinoflagellata bila kelimpahannya >5000 sel/L, tetapi hal ini tetap saja berbahaya dikarenakan mengandung racun yang dapat masuk ke rantai makanan.

Berdasarkan (Tabel 2) di Perairan Makassar, jenis dinoflagellata dipengaruhi oleh beberapa parameter yang dapat mendukung pertumbuhan dinoflagellata khususnya harmfulspecies. Selain dari itu, fluktuasi parameter dari waktu ke waktu juga menjadi faktor utama dalam distribusi temporal dari keempat jenis dinoflagellata tersebut.

Ceratium spp. dan Protoperidinium spp. merupakan dua jenis dinoflagellata yang predominan pada setiap pengambilan di Perairan Makassar walaupun kondisi nutrien berbeda nyata antar waktu pengambilan contoh (α <0,05). Dari tujuh jenis yang ditemukan, kedua jenis tersebut memiliki persentase kehadiran 21-40% (Gambar 8). Hal ini menandakan bahwa kelimpahan dari dua jenis tersebut tidak terlalu dipengaruhi oleh fluktuasi nutrien di perairan. Dua jenis tersebut selalu mendominasi perairan tropis dikarenakan memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi nutrien. Selain daripada itu, menurut Jeong et al. (2010), hal tersebut juga menandakan bahwa kedua jenis tersebut dapat mengabsorbsi bahan organik (heterotrofik) sehingga kelimpahannya predominan dan dapat ditemukan pada setiap musim. Seperti yang dinyatakan oleh Thoha (2004) bahwa

Protoperidinium spp. dan Ceratium spp. selalu predominan di perairan tropis yang memiliki fluktuasi nutrien seperti Indonesia.

Hasil penelitian Gul dan Nawaz (2014) telah membuktikan bahwa

Protoperidinium spp. sangat toleran terhadap perairan tropis sehingga selalu memiliki kelimpahan yang predominan di perairan. Berdasarkan hasil peneltian ini, Kelimpahan Protoperidinium spp. melimpah di semua pengambilan walaupun kelimpahannya semakin menurun. Pada pengambilan pertama, kelimpahan

Protoperidinium spp. berkorelasi positif terhadap kandungan DO di perairan. Semakin tinggi kandungan DO di perairan, semakin tinggi pula kelimpahan

Protoperidinium spp. Selain dari itu, rasio NP juga berkorelasi positif terhadap kelimpahan Protoperidinium spp. Pada pengambilan kedua, kelimpahan menurun dan dipengaruhi oleh beberapa parameter yang berkorelasi positif seperti PO4,

NH3, rasio NP, dan pH. Berbeda dengan salinitas, kelimpahan Protoperidinium

spp. berkorelasi negatif terhadap salinitas. Pada pengambilan ketiga, kelimpahan

Protoperidinium spp. berkorelasi rendah terhadap semua parameter yang diukur. Hal ini dikarenakan kelimpahan Protoperidinium spp. lebih dipengaruhi oleh turbelensi perairan. Pada pengambilan pertama dan kedua, jenis Protoperidinum

spp. dan Noctiluca sp. selalu ditemukan berdampingan di setiap stasiun. Hal ini dikarenakan parameter yang mempengaruhi sama di setiap pengambilan dimana pada pengambilan pertama kelimpahan Noctiluca sp. dan Protoperidinium spp. dipengaruhi oleh DO dan pada pengambilan kedua dipengaruhi oleh nutrien.

(39)

23

Parameter yang menjadi faktor pembatas Ceratium spp. pada pengambilan pertama, Ceratium spp. berkorelasi negatif terhadap NH3. Semakin tinggi NH3 di

perairan maka semakin rendah kelimpahan Ceratium spp. Hal ini dikarenakan

Ceratium spp. lebih menyukai perairan yang tinggi oksigen dan nitrat, jika NH3

tinggi, maka kandungan DO dan konsentrasi NO3 berkurang (Gambar 9 dan

Gambar 10). Pada pengambilan kedua dan ketiga, tidak terlihat parameter yang mempengaruhi Ceratium spp. Jika dilihat secara spasial, kelimpahan Ceratium

spp. pada semakin jauh dari pantai semakin meningkat (Gambar 7). Kelimpahan

Ceratium spp. ini didukung oleh konsentrasi nutrien hampir seragam secara spasial (Gambar 10). Selain daripada itu, hal ini juga didukung oleh rasio NP yang memiliki korelasi positif terhadap kelimpahan Ceratium spp.

Dinophysis sp. selalu ditemukan di dekat pantai atau muara sungai. Hal ini sesuai hasil penelitian Batifoulier et al. (2013) bahwa Dinophysis sp. selalu ditemukan dengan kelimpahan tinggi di sekitar muara sungai dan dekat pantai. Pada penelitian ini salinitas rendah berada pada muara sungai (Gambar 9). Salinitas rendah merupakan indikator keberadaan jenis tersebut. Menurut Díaz et al. (2011), Dinophysis sp. sangat menyukai suhu rendah dan salinitas rendah. Pada pengambilan pertama dan kedua, kelimpahan Dinophysis sp. tidak memiliki korelasi kuat terhadap parameter lingkungan dan unsur hara. Hal ini dikarenakan kelimpahan Dinophysis sp. yang didapatkan sangatlah rendah <100 sel/L. Berbeda pada pengambilan ketiga, kelimpahan dinoflagellata mulai meningkat di dekat pantai dan muara sungai dan berkorelasi positif terhadap salinitas. Faktor kimia seperti NH3, NO2, NO3, dan PO4 berkorelasi rendah terhadap kelimpahan Dinophysis sp. Hal ini diasumsikan karena kondisi perairan turbulen. Selain daripada itu, menurut Jacobson dan Andersen (1994), Dinophysis sp. merupakan jenis dinoflagellat yang autotrof serta heterotrof. Jenis ini dapat memangsa plankton lain yang lebih kecil. Ketika kondisi perairan tidak memungkinkan, jenis tersebut dapat menggunakan sifat heterotrofnya untuk mengabsorpsi bahan organik dan bahkan menghisap jenis plankton yang lebih kecil dari ukurannya. Hal ini dapat diindikasikan bahwa daerah muara sungai dengan kecerahan yang rendah bukanlah pembatas dalam tumbuh kembangnya dikarenakan tidak terlalu memerlukan intensitas matahari yang kuat karena dapat memproduksi makanannya sendiri.

Sebaran Gymnodinium sp. bersifat global. Hampir di semua daerah yang memiliki perairan pesisir di dunia ditemukan jenis tersebut. Kelimpahan

Gymnodinium sp. tidak memiliki korelasi yang kuat terhadap parameter lingkungan tetapi, kelimpahan Gymnodinium sp. ditemukan tinggi pada pengambilan pertama dan kedua. Berbeda pada pengambilan ketiga, kelimpahan

Gymnodinium sp. ditemukan rendah. Hal ini mungkin dikarenakan kelimpahan

Gymnodinium sp. lebih dipengaruhi oleh kondisi perairan yang tidak tenang pada saat pengambilan ketiga, berbeda dengan kondisi perairan pada saat pegambilan pertama dan kedua dimana kondisi perairan masih cukup tenang atau tidak turbulen. Walaupun kelimpahannya rendah pada pengambilan ketiga, namun kelimpahan Gymnodinium sp. berkorelasi positif terhadap kelimpahan

(40)

24

kuat pada jenis dinoflagellata. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Abid et al.

(2008) yang mendapatkan dua jenis tersebut selalu berdampingan.

Kelimpahan Gonyaulax sp. berfluktuasi berdasarkan tiap pengambilan. Tetapi, pada pengambilan pertama sampai dengan pengambilan kedua, kelimpahan Gonyaulax sp. berkolerasi rendah terhadap semua parameter. Hal ini mengindikasikan bahwa parameter yang mempengaruhi kelimpahan Gonyaulax

sp. tidak ditemukan. Berbeda pada pengambilan ketiga, kelimpahan Gonyaulax

sp. dipengaruhi oleh kecerahan perairan. Kecerahan perairan dan kelimpahan

Gonyaulax sp. berkorelasi positif (0,638). Gonyaulax sp. bukanlah jenis dinoflagellata yang dapat memproduksi racun, tetapi Gonyaulax sp. biasanya berasosiasi dengan Dinophysis sp. yang menghasilkan racun sehingga dapat juga membahayakan perairan. Gonyaulax sp. dapat merubah warna perairan jika terjadi

blooming. Jika blooming terjadi, maka dapat menyebabkan kematian massal ikan dan invertebrata lain akibat kekurangan oksigen (Baek et al. 2011).

Menurut Harrison et al. (2011), distribusi Noctiluca sp. dipengaruhi oleh salinitas tinggi dan suhu tropis 20o-30oC. Jika terjadi sedikit perubahan dari salinitas dan suhu maka dapat juga mempengaruhi kelimpahan Noctiluca sp. Pada

penelitian ini, salinitas berbeda nyata pada tiap pengambilan (α < 0.05). Hal ini

menandakan bahwa salinitas mengalami fluktuasi (Gambar 9). Noctiluca sp. tidak dipengaruhi atau berkorelasi rendah terhadap salinitas. Pada pengambilan pertama, kelimpahan Noctiluca sp. dipengaruhi oleh parameter seperti PO4, NH3,

rasio NP, dan DO. Kelimpahan Noctiluca sp. berkorelasi positif terhadap PO4,

rasio NP, dan kandungan DO, berarti semakin tinggi konsentrasi PO4, rasio NP

dan kandungan DO di perairan semakin tinggi pula kelimpahan Noctiluca sp. Berbeda dengan NH3, kelimpahan Noctiluca berkorelasi negatif terhadap

konsentrasi NH3. Hal ini mengindikasikan bahwa Noctiluca sp. sangat

membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. Jika konsentrasi NH3 tinggi maka

kandungan DO berkurang sehingga menghambat pertumbuhan dari Noctiluca sp. Pada pengambilan kedua, Kelimpahan Noctiluca sp. secara spasial berkurang, tetapi secara waktu meningkat. Kelimpahan tersebut dipengaruhi oleh NO2, PO4, NH3, rasio NP, dan pH. Kelima parameter tersebut berkorelasi positif

terhadap kelimpahan Noctiluca sp. Berarti pada stasiun 17 yang memiliki kelimpahan tertinggi dari Noctiluca sp. dipengaruhi oleh kelima parameter tersebut. Pada pengambilan ketiga, kelimpahan Noctiluca sp. menurun. Kelimpahan Noctiluca sp. berkorelasi negatif terhadap NH3. Hal ini dikarenakan

konsentrasi NH3 yang meningkat tanpa diseimbangkan dengan parameter yang

lain sehingga mengakibatkan turunnya kelimpahan Noctiluca sp. Selain dari itu kondisi perairan yang tidak tenang pada saat itu mempengaruhi kelimpahan jenis tersebut.

Noctiluca sp. merupakan jenis dari dinoflagellata yang tidak memproduksi racun. Genus ini hanya memberikan warna pada perairan tertentu seperti teluk semi tertutup. Warna yang dihasilkan yaitu hijau dan merah (Harrison et al.

(41)

25

kondisi perairan seperti itu, Peridinium sp. yang merupakan jenis dinoflagellata yang sensitif terhadap perubahan kondisi perairan dapat tumbuh dan berkembang. Meskipun demikian, tetap saja kelimpahan Peridinium sp. sangat sedikit dan hanya dijumpai di perairan dekat pantai (Gambar 7). Jenis ini dipengaruhi oleh pH dengan nilai korelasi -0,535. Pada mengambilan kedua dan ketiga, Peridinium sp. tidak ditemukan. Selain dari itu, nutrien yang berfluktuasi menjadikan Peridinium

sp. tidak mampu berkembang. Menurut Grigorszky et al. (2006) Peridinium sp. merupakan jenis dinoflagellata yang sangat sensitif terhadap penambahan dan pengurangan unsur hara di perairan. Fluktuasi nutrien seperti nitrat dan ortofosfat di perairan bisa saja mengakibatkan terjadinya encystment terhadap Peridinium

sp. Selain daripada itu, jenis tersebut juga dikalah kompetisi oleh jenis dinoflagellata yang lain dikarenakan ukuran dari Peridinium sp. ini lebih kecil daripada keenam jenis yang lain.

Pada penelitian ini, kelimpahan total dinoflagellata dipengaruhi oleh beberapa parameter lingkungan. Pada pengambilan pertama, kelimpahan dinoflagellata dipengaruhi oleh NH3 dan rasio NP. Semakin tinggi konsentrasi

NH3 maka semakin rendah kelimpahan dinoflagellata. Konsentrasi NH3 yang

tinggi, seperti di perairan Pantai Losari, dapat mempengaruhi kandungan oksigen diperairan. Seperti halnya pada stasiun 1, kandungan NH3 mencapai 1 mg/L

dimana kandungan tersebut mempengaruhi DO perairan dimana DO yang didapatkan tergolong rendah (Gambar 9 dan Gambar 10). Jika kandungan DO rendah maka dapat menghambat proses nitrifikasi di perairan dimana proses nitritifikasi sangat membutuhkan oksigen (Harrison 2000). Dalam penelitian ini, kelimpahan total dinoflagellata berkorelasi negatif terhadap rasio NP. Semakin rendah rasio NP, maka kelimpahan total dinoflagellata makin tinggi. Berdasarkan Gambar 6), sebaran dinoflagellata banyak pada salinitas 25 – 35psu dengan rasio NP rendah. Hal tersebut mendukung pernyataan Anderson et al. (2002), dinofllagellata menyukai rasio NP yang >16:1, < 16:1 dengan salinitas yang tinggi. Kelimpahan dinoflagellata tinggi pada rasio tinggi dikarenakan dinoflagellata memanfaatkan DO dan nitrat untuk berkembang. Salinitas tinggi di lokasi penelitian tersebut merupakan daerah agak jauh dari pantai dimana kecerahan perairan sangat baik. Menurut Alonso-Rodrıguez dan Páez-Osuna (2003), nutrien yang tinggi, secara tidak langsung, akan mengubah komposisi jenis dari fitoplankton, termasuk merubah spesies dominan seperti diatom menjadi dinoflagellata. Hal ini yang mengindikasikan sehingga kelimpahan dinoflagellata tinggi pada rasio >16:1.

(42)

26

pengambilan ketiga ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan yang turbulen sehingga kelimpahan dinoflagellata ditemukan sangatlah rendah. Selain dari turbulensi perairan, dinoflagellata juga sangat dipengaruhi oleh rasio dari nutrien (Hauss et al. 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Hinder et al. (2012) bahwa perubahan musim sangat mempengaruhi kelimpahan dinoflagellata dan kandungan nutrien dimana pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember kelimpahan dinoflagellata semakin berkurang dikarenakan perubahan musim dari musim kemarau ke musim hujan. Kondisi perairan pada saat itu mengalami turbulensi dan terjadi dilusi di muara sungai. Hasil penelitian dari Harrison (2000) menunjukkan bahwa ledakan populasi dari fitoplankton (dinoflagellata) terjadi ketika laju dilusi berkurang dan penetrasi cahaya dan salinitas meningkat. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini dimana kelimpahan tertinggi dari total dinoflagellata selalu berada pada salinitas tinggi dengan dengan penetrasi cahaya yang kuat.

Berdasarkan hasil grafik PCA, terlihat pengelompokan beberapa jenis dinoflagellata terhadap parameter lingkungan (Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14). Pada pengambilan pertama, jenis Ceratium spp., Noctiluca sp.,

Protoperidinium spp., dan Gymnodinium sp. dipengaruhi oleh beberapa parameter yang sama seperti salinitas, DO, pH, PO4, dan kecerahan. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian Bagheri et al. (2012) bahwa keempat spesies tersebut selalu ditemukan berdampingan dengan parameter yang mempengaruhinya selalu sama. Selain daripada itu, keempat jenis ini merupakan dinoflagellata yang bersifat heterotrofik sehingga sehingga selalu memenangkan kompetisi dalam perebutan makanan. Keempat jenis ini selalu ditemukan di daerah dekat pantai dengan salinitias rendah. Peridinium sp. cenderung dipengaruhi oleh NO3, rasio NP, dan

NH3, tetapi jenis ini tidak memiliki korelasi kuat terhadap ketiga parameter tersebut. Hal ini diindikasikan bahwa jenis tersebut Peridinium sp. merupakan jenis dinoflagellata yang memiliki toleransi luas terhadap parameter lingkungan kecuali turbulensi perairan (Laabir et al. 2011). Kelompok ketiga, Gonyaulax sp. dan Dinophysis sp. cenderung dipengaruhi oleh NO2. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Harrison (2000) bahwa kedua jenis ini selalu dipengaruhi oleh NO2

ketika kondisi parameter yang lain tidak memungkinkan untuk pertumbuhannya. Pada pengambilan kedua, terdapat empat kelompok. Ceratium spp.,

Gymnodinium sp., Protoperidinium spp., dan Noctiluca sp. dipengaruhi oleh NH3

dan PO4. Hal ini sama dengan pada pengambilan pertama dimana jenis tersebut

selalu dipengaruhi oleh PO4. Hal ini mengindikasikan bahwa parameter yang

menjadi faktor pembatas terhadap jenis-jenis tersebut terkhusus oleh Ceratium

spp., Gymnodinium sp., dan Noctiluca sp. yaitu PO4. Selain dari itu, Noctiluca sp.

dan Protoperidinium spp. juga dipengaruhi oleh NO2. Dinophysis sp. dipengaruhi

oleh salinitas, kecerahan, pH, dan rasio NP. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Farrell et al. (2012) bahwa Dinophysis sp. merupakan jenis dinoflagellata yang sangat menyukai perairan salinitas tinggi dengan kecerahan baik. Berbeda dengan

Gonyaulax sp., jenis ini hanya dipengaruhi oleh DO dimana Gonyaulax sp. sangat menyukai perairan yang aerob (Jephson et al. 2012).

Pada pengambilan ketiga, Dinophysis sp. dan Gonyaulax sp. dipengaruhi oleh salinitas, pH, dan kecerahan sedangkan Ceratium spp., Protoperidinium spp.,

(43)

27

Menurut Díaz et al. (2011),Dinophysis sp. merupakan jenis dinoflagellata yang sangat menyukai salinitas dan kecerahan tinggi. Dinophysis sp. juga merupakan selalu hidup berdampingan dengan Gonyaulax sp., berarti boleh dikatakan bahwa

Dinophysis sp. merupakan spesies indikator keberadaan Gonyaulax sp. di sutau perairan. Sama halnya dengan Ceratium spp., Protoperidinium spp.,

Gymnodinium sp., dan Noctiluca sp. juga selalu ditemukan hidup berdampingan di perairan.

Karakteristik stasiun terkelompokkan berdasarkan jenis dinoflagellata dan kondisi lingkungan. Stasiun yang memiliki karakteristik yang sama cenderung berdekatan dan dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang sama. Seperti halnya stasiun 13, 15, dan 17 dimana stasiun tersebut sangat berdekatan dan dipengaruhi oleh aktivitas pelabuhan. Berbeda dengan stasiun 1 dan 20, stasiun tersebut sangat beda karakateristiknya dengan stasiun yang lain dikarenakan kedua stasiun tersebut berada pada sumber antropogenik yang sangat berbeda. Stasiun 1 berada di Pantai Losari sedangkan stasiun 20 berada di muara Sungai Tallo. Pantai Losari diketahui kandungan amoniak yang sangat tinggi, mencapai 2 mg/L. Sumber amoniak tersebut kemungkinan berasal dari limbah rumah sakit dan hotel yang ada di sepanjang pantai losari. Stasiun 20, sumber nutrien berasal dari limbah industri karena di bantalan Sungai Tallo terdapat kawasan indusri Kota Makassar.

Berdasarkan hasil yang telah dibahas di atas, kandungan unsur hara di Perairan Makassar telah masuk kategori eutrofikasi. Tingginya kandunga unsur hara tersebut dapat mengancam seluruh aktivitas di perairan Makassar seperti; wisata, budidaya, dan penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan telah ditemukannya

harmful species dari dinoflagellata seperti Gymnodinium sp. dan Dinophysis sp. Meskipun belum dalam kondisi blooming, namun hal tersebut dapat saja mengancam dikarenakan dapat memproduksi racun yang dapat membahayakan eksosistem dan kesehatan manusia. Tingginya kandungan nutrien dapat merangsang pertumbuhan harmful species sehingga sewaktu-waktu, tidak menuntut kemungkinan, dapat saja terjadi blooming kedua spesies tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa perlu dilakukan suatu program monitoring oleh pemerintah setempat terhadap aktivitas manusia di Pesisir Makassar serta monitoring kandungan nutrien dan kelimpahan dinoflagellata di Perairan Makassar.

Tindakan Pencegahan Blooms (preventionaction)

Kota Makassar merupakan kota yang dikenal dengan makanan lautnya yang segar (seafood). Kegiatan perikanan laut sangat mempengaruhi pendapatan ekonomi masyarakat Makassar. Hampir di sepanjang Pesisir Makassar ditemukan aktivitas perikanan. Selain dari aktivitas perikanan, aktivitas rekreasi berenang di pantai juga menjadi primadona di kota tersebut. Jika terjadi blooming

(44)

28

belum masuk dalam kategori blooming, namun telah ditemukan harmful species

yaitu Gymnodinium sp. dan Dinophysis sp. Maka dari itu tindakan pencegahan perlu dilakukan sehingga dapat meminimalisir dampak dari kejadian yang bisa ditimbulkan oleh kedua jenis tersebut.

Monitoring Sel Dinoflagellata

Monitoring sel dinoflagellata merupakan suatu aksi yang dapat dilakukan dalam mengontrol spesies dinoflagellata. Aksi ini dapat memberikan gambaran dinamika dari kelimpahan dinoflagellata sepanjang tahun sehingga dapat diketahui kecenderungan dari kelimpahan. Menurut Anderson et al. (2012b) kecenderungan kelimpahan dinoflagellata ini akan menjadi acuan dalam memprediksi kejadian blooming. Hal tersebut dapat dilakukan dalam jangka panjang (long-term) agar terlihat kecenderungan di mana puncak dari kelimpahan dinoflagellata tersebut khususnya harmful species. Puncak kelimpahan tersebut akan menjadi dasar atau acuan dalam meminimalisir kejadian yang dapat ditimbulkan. Seperti halnya aktivitas penangkapan ikan atau pengumpulan kerang-kerang oleh masyarakat pesisir Makassar yang biasanya dilakukan di perairan dekat Pantai Losari, dapat diberikan suatu peringatan tentang bahaya yang dapat mengancam pada waktu tersebut (kelimpahan dinoflagellata tertinggi). Kebijakan yang bisa saja dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menutup/melarang adanya aktivitas penangkapan pada waktu tertentu sesuai hasil monitoring kelimpahan tertinggi dinoflagellata

Pengelolaan Daerah Watershed menuju Pesisir (management from watershed

area to coast)

Kebijakan pemerintah Makassar sangat dibutuhkan dalam pengelolaan wilayah pesisir Makassar. Perlunya dibuat suatu komite koordinasi untuk dilakukaanya suatu pengelolaan karena dapat melibatkan berbagai stakeholder. Seperti halnya yang dilakukan oleh Chen dan Hong (2012) pada Teluk Xiamen, Cina, bahwa kegiatan manusia di pesisir sangat mempengaruhi load nutrein dari daratan. Kegiatan manusia seperti pertanian, peternakan, dan sebagainya ditambah lagi perubahan iklim seperti kemarau ke musim hujan dapat merubah variasi nutrien sehingga berdampak pada respon eksosistem di pesisir terkhusus blooming

dinoflagellata.

Pada perairan Makassar, load nutrien berasal dari dunia sungai besar yaitu Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang. Kedua sungai tersebut memiliki antropogenik yang berbeda. Pada bantalan sungai Tallo, terdapat banyak aktivitas industri sedangkan pada bantalan Sungai Jeneberang terdapat aktivitas pertanian dan peternakan. Kedua aktivitas ini, berdasarkan hasil penelitian ini, memang memiliki respon berbeda terhadap kelimpahan dinoflagellata. Pada daerah muara Sungai Jeneberang, didapatkan kelimpahan tertinggi ada pada jenis Dinophysis sp. sedangkan pada muara Sungai Tallo didominasi oleh Ceratium spp. dan

(45)

29

daerah Pantai Losari berarti, dapat diindikasikan bahwa harmful species sangat menyukai daerah yang memilki tingkat pencemaran yang tinggi.

Walaupun kelimpahan dinoflagellata belum masuk kategori blooming, tetapi dapat saja mengancam Perairan Makasar. Kebijakan pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari. Kedua program yang telah dijelaskan di atas bisa membantu jika dilakukan lebih dini. Aksi, evaluasi, dan monitoring yang dilakukan secara berkelanjutan merupakan kunci dalam prinsip adaptif yang dapat dilakukan oleh para stakeholder dalam mengelola wilayah pesisir Perairan Makassar sehingga dapat mencegah kejadian HAB serta kerugian-kerugian baik itu secara ekonomi dan sosial di perairan tersebut.

Mengatasi Jika Terjadi Blooming

` Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kelimpahan dinoflagellata di Perairan Makassar belum masuk dalam kategori blooming, tetapi di perairan tersebut telah ditemukan harmful species sehingga dapat saja menjadi sebuah ancaman. Unsur hara di Perairan Makassar telah masuk kategori eutofikasi sehingga bukan blooming dinoflagellata saja yang dapat mengancam tetapi juga

blooming mikroalga lainnya. Hal ini dapat saja menjadi acuan terhadap pemerintah dan stakeholder untuk dapat melakukan suatu aksi jika terjadi

blooming di Perairan Makassar.

Membentuk Sistem Tanggap Darurat

Kebijakan pemerintah merupakan suatu hal yang penting dalam mengatasi jika terjadi blooming di Perairan Makassar. Koordinasi antar stakeholder di setiap lokasi ditemukannya kelimpahan dinoflagellata ataupun mikroalga secara umum harus diperkuat dengan sistem infromasi. Sosialisasi tentang ciri-ciri terjadinya

blooming juga harus dilakukan dan disebarkan pada tiap stakeholder di lokasi-lokasi seperti lokasi-lokasi aktivitas perikanan, pelabuhan, dan tempat rekreasi. Dalam managemen HAB oleh Anderson et al. (2012b), dipasang suatu sensor yang dapat mendeteksi blooming mikroalga di lokasi-lokasi dimana lokasi tersebut terdapat aktivitas perikanan dan rekreasi. Selain dari itu, komunikasi antar jaringan meteorologi di setiap lokasi harus diperkuat.

Sistem Infromasi

Penggunaan teknologi merupakan suatu cara yang disarankan dan dapat dilakukan oleh pemerintah Kota Makassar. Penginderaan jauh dapat menjadi suatu solusi dalam menghindari dampak blooming dinoflagellata. Menurut Glibert

(46)

30

tinggi lalu dilakukan suatu koordinasi dengan stakeholder di tiap lokasi yang dianggap rawan sehingga dengan cepat dapat dilakukan sesuatu hal misalnya di daerah budidaya; dapat memanen secara dini, di lokasi rekareasi; dapat menutup tempat tersebut secara sementara, dan di lokasi penangkapan ikan; dapat melarang aktivitas penangkapan sehingga dapat menghindari dampak yang ditimbulkan.

5.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa, Perairan Makassar memiliki jenis dinoflagellata (harmful species) yaitu Dinophysis sp.,

Gymnodinium sp. Unsur hara di lokasi penelitian telah masuk kategori eutrofik ditambah lagi, nitrat, nitrit, ortofosfat, dan amoniak merupakan parameter yang sangat berperan dalam kehadiran dinoflagellata jenis berbahaya (harmful species) dan beberapa parameter lain seperti; DO, pH dan salinitas. Kualitas perairan pesisir Makassar telah dipengaruhi oleh antropogenic di daerah pesisir sehingga dapat membahayakan perairan tersebut.

6.

SARAN

Di Perairan Makassar, dapat direkomendasikan suatu program Nutrien Reduction Strategy lebih dini untuk mengantisipasi terjadinya ledakan (blooming) dinoflafellata berbahaya.

DAFTAR PUSTAKA

Abid O, Sellami-Kammoun A, Ayadi H, Drira Z, Bouain A, Aleya L. 2008. Biochemical adaptation of phytoplankton to salinity and nutrient gradients in a coastal solar saltern, Tunisia. Estuarine, coastal and shelf science.

80(3):391-400

Alonso-Rodrıguez R, Páez-Osuna F. 2003. Nutrients, phytoplankton and harmful algal blooms in shrimp ponds: a review with special reference to the situation in the Gulf of California. Aquaculture. 219(1):317-336

Anderson DM, Cembella AD, Hallegraeff GM. 2012a. Progress in understanding harmful algal blooms: paradigm shifts and new technologies for research, monitoring, and management. Ann Rev Mar Sci. 4:143-176.doi:10.1146/annurev-marine-120308-081121.

Anderson DM, Cembella AD, Hallegraeff GM. 2012b. Progress in understanding harmful algal blooms: paradigm shifts and new technologies for research, monitoring, and management. Annual review of marine science. 4:143-176 Anderson DM, Glibert PM, Burkholder JM. 2002. Harmful algal blooms and eutrophication: nutrient sources, composition, and consequences.

(47)

31

Anderson DM, Reguera B, Pitcher GC, Enevoldsen HO. 2010. The IOC International Harmful Bloom Program: history and science impacts.

Oceanography. 23(3):73-85

APHA. 1994. Water Environment Federation (1998) Standard methods for the examination of water and wastewater. Washington, DC.

Baek SH, Shin HH, Choi H-W, Shimode S, Hwang OM, Shin K, Kim Y-O. 2011. Ecological behavior of the dinoflagellate Ceratium furca in Jangmok harbor of Jinhae Bay, Korea. Journal of plankton research. 33(12):1842-1846

Bagheri S, Mansor M, Turkoglu M, Makaremi M, Omar WMW, Negarestan H. 2012. Phytoplankton species composition and abundance in the Southwestern Caspian Sea. Ekoloji. 21(83):32-43

Batifoulier F, Lazure P, Velo-Suarez L, Maurer D, Bonneton P, Charria G, Dupuy C, Gentien P. 2013. Distribution of Dinophysis species in the Bay of Biscay and possible transport pathways to Arcachon Bay. Journal of Marine Systems. 109:S273-S283

Bogus K, Mertens KN, Lauwaert J, Harding IC, Vrielinck H, Zonneveld KA, Versteegh GJ. 2014. Differences in the chemical composition of organic‐ walled dinoflagellate resting cysts from phototrophic and heterotrophic dinoflagellates. Journal of Phycology. 50(2):254-266

Burkholder JM. 1998. Implications of harmful microalgae and heterotrophic dinoflagellates in management of sustainable marine fisheries. Ecological applications. 8(sp1):S37-S62

Chen N, Hong H. 2012. Integrated management of nutrients from the watershed to coast in the subtropical region. Current Opinion in Environmental Sustainability. 4(2):233-242

Costa RMd, Pereira LCC, Ferrnández F. 2012. Deterrent effect of Gymnodinium catenatum Graham PSP-toxins on grazing performance of marine copepods. Harmful Algae. 17:75-82.doi:10.1016/j.hal.2012.03.002.

Damar A, Colijn F, Hesse K-J, Wardiatno Y. 2012. The eutrophication states of Jakarta, Lampung and Semangka Bays: Nutrient and phytoplankton dynamics in Indonesian tropical waters. Journal of Tropical Biologi and Conservation. 9(1):61-81

Davidson K, Gowen RJ, Harrison PJ, Fleming LE, Hoagland P, Moschonas G. 2014. Anthropogenic nutrients and harmful algae in coastal waters.

Journal of environmental management. 146:206-216

Díaz P, Molinet C, Caceres MA, Valle-Levinson A. 2011. Seasonal and intratidal distribution of Dinophysis spp. in a Chilean fjord. Harmful Algae.

10(2):155-164

Evangelista V. 2008. Algal toxins: Nature, occurrence, effect and detection. Springer Science & Business Media.

Faizal A, Nessa N, Jompa J. 2012. Dinamika spasio-temporal tingkat kesuburan perairan di kepulauan spermonde, sulawesi selatan.

Farrell H, Gentien P, Fernand L, Lunven M, Reguera B, González-Gil S, Raine R. 2012. Scales characterising a high density thin layer of Dinophysis acuta Ehrenberg and its transport within a coastal jet. Harmful Algae. 15:36-46 Feki-Sahnoun W, Hamza A, Mahfoudi M, Rebai A, Hassen MB. 2014. Long-term

Gambar

Gambar 1. Kerangka pendekatan masalah
Gambar 2. Diagram skematik hubungan nutrien terhadap dinoflagellata
Tabel 1. Tipe masalah yang ditimbulkan dinoflagellatta pada saat blooming
Gambar 3. Lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kereta Api Indonesia (PERSERO) Daerah Operasional IV Semarang. Teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Metode analisis data yang

tepung limbah penetasan dalam ransum berpengaruh nyata (P&gt;0,05) meningkatkan konsumsi pakan serta massa telur, namun tidak terdapat pengaruh yang nyata

Semakin baik kinerja dari sistem yang diterapkan.Penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis pengaruh keterlibatan pemakai dalam pengembangan sistem informasi, dukungan

Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah yang sedang bermain ga me online di warung internet penyedia game online Jatinangor dengan jumlah yaitu

Polio tidak hanya melanda negara-negara maju saja, tetapi juga melanda negara-negara berkembang, polio sebenarnya dapat di berantas dengan menghambat penyebarannya

kewarganegaraan serta program moderasi agama yang baik Mahasiswa diharapkan memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai kebangsaan, keberagaman, keadaban, toleransi dan

Hasil perhitungan dengan menggunakan model regresi penuh ( Full Model Regression ) diperoleh dengan nilai koefisien regresi beberapa karakteristik perilaku

Dalam menghadapi permasalahannya tersebut, siswa sebenarnya sudah mendapatkan dukungan dari wali kelas sebagai significant other yang ada di sekolah yang dapat