• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT KUKANG

JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)

DI CISURUPAN KABUPATEN GARUT

ACHMAD ROBYANTORO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

(4)

iv

ABSTRAK

ACHMAD ROBYANTORO. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)di Cisurupan Kabupaten Garut. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan DONES RINALDI.

Kukang jawa merupakan primata nocturnal endemik pulau Jawa. Habitat kukang jawa adalah hutan primer, hutan sekunder, perkebunan dan bambu. Kukang jawa satwa terancam punah karena perdagangan satwa secara ilegal dan penyempitan habitat. Pemodelan spasial merupakan salah satu upaya pelestarian kukang jawa secara insitu terutama di Cisurupan Garut. Faktor kesesuaian habitat kukang jawa yang digunakan adalah ketinggian, kelerengan, NDVI, jarak pohon tidur, suhu permukaan, dan kepadatan pakan. Model kesesuaian habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) berdasarkan analisis PCA Y = (1.952*Ketinggian) + (1.952*Kelerengan) + (1.028*NDVI) + (1.952*Suhu permukaan) +(1.347*Pohon tidur) +(1.952*Kepadatan pakan) dengan nilai validasi sebesar 100%. Habitat Nycticebus javanicus memiliki luas total 7843,02 ha. Sebesar 534,55 ha untuk kesesuaian rendah, untuk kesesuaian sedang sebesar 2968,11 ha, dan 3971,87 ha untuk kesesuaian tinggi.

Kata kunci : Cisurupan, kesesuaian habitat, kukang jawa.

ABSTRACT

ACHMAD ROBYANTORO. Habitat Suitability Mapping Of Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) In Cisurupan Garut West Java. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and DONES RINALDI.

Javan Lorises (Nycticebus javanicus) are nocturnal primates endemic to Java island. Their habitats are primary and secondary forest vegetation, plantation area, and bamboos vegetation. They were categorized as endangered species because of the illegal trading and their habitat degradation. Spatial modelling was one of many kinds of Javan loris insitu conservation efforts of the especially in Cisurupan Garut. The habitat suitability factors of Javan lorises were altitude, slope, NDVI, surface temperature,distance of sleep trees and feed density. The Javan lorises habitat suitability based on PCA was Y = (1.952*altitude) + (1.952*slope) + (1.028*NDVI) + (1.952* surface tempe- rature) + (1.347* distance of sleep trees) + (1.952*feed density), with validation value of 100%. Total area habitats Javan lori is 7843,02 ha. As many as 534.55 ha of their habitat were categorized into low suitability,2968.11 ha categorized into medium suitability, and 3971.87 ha of its were categorized into high suitability.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT KUKANG

JAWA (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)

DI CISURUPAN KABUPATEN GARUT

ACHMAD ROBYANTORO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)di Cisurupan Kabupaten Garut

Nama : Achmad Robyantoro

NIM : E34090072

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Pembimbing I

Ir Dones Rinaldi, MScF Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2013 ini ialah satwa langka, dengan judul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Ir Dones Rinaldi, MScF. selaku pembimbing.

Penghargaan penulis sampaikan kepada Prof Anna Nekaris, Vincent Nijman, Johana Rode, Jullia Hill, Kang Dendi, Kang Adin, dan Acong dari Pihak Little Fireface Project yang telah membantu proses pengumpulan data. Terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga besar mahasiswa DKSHE, Himakova, dan “Anggrek Hitam 46” Ilham, Iga, Lala dan yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang telah memberikan motivasi dan bantuan. Penulis ucapkan terima kasih kepada “uni adiak uda” Mya Amelia yang sudah memotivasi dan mendukung proses penyelesaian skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua Slamet Riyadi, SH dan Mutrikhanah, kakak Dwi Amelia Nurhidaya dan Adiantoro, adik Sabrina Arifah Ramadhani, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Bahan dan Alat 2

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Nycticebus javanicus 8 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) 19

Analisis Spasial 21

Validasi Kesesuaian Habitat Nycticebus javanicus 23

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 24

(10)

x

DAFTAR TABEL

1 Penentuan nilai kelas kesesuaian habitat kukang jawa 8 2 Penyebaran kukang jawa berdasarkan ketinggian 10 3 Penyebaran kukang jawa berdasarkan kelerengan 10

4 Penyebaran kukang jawa berdasarkan NDVI 11

5 Penyebaran kukang jawa berdasarkan jarak pohon tidur 14 6 Penyebaran kukang jawa berdasarkan suhu permukaan 14 7 Penyebaran kukang jawa berdasarkan kepadatan pakan 17

8 Nilai initial eigenvalues (akar ciri) 19

9 Vektor ciri PCA 20

10 Nilai pemodelan PCA pada masing-masing variabel 20

11 Pembobotan variabel 21

12 Kelas kesesuaian habitat kukang jawa 23

13 Validasi model kesesuaian habitat kukang jawa 23

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian Cisurupan Garut 2

2 Bagan alir penelitian 4

3 Kerangka pembuatan peta ketinggian dan kelerengan 5

4 Kerangka pembuatan peta NDVI 5

5 Kerangka pembuatan peta jarak pohon tidur 6

6 Kerangka pembuatan peta penyebaran suhu permukaan 6

7 Kerangka pembuatan peta kepadatan pakan 7

8 Peta ketinggian 9

9 Peta kelerengan 12

10 Peta NDVI 13

11 Peta jaringan pohon tidur 15

12 Peta sebaran suhu permukaan 16

13 Peta kepadatan pakan kukang jawa 18

14 Pohon Jenjeng (Acacia deccurens) (a) getah pohon Jenjeng, (b) lubang

bekas gigitan kukang jawa 19

15 Peta kesesuaian habitat kukang jawa 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil principal component analysis (PCA) 27

2 Foto kukang jawa 29

(11)
(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata endemik Pulau Jawa yang termasuk dalam famili Lorisidae (Nekaris dan Bearder 2007). memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier dan Napier 1967 diacu dalam Wirdateti et al. 2005).

Terancam punahnya kukang jawa disebabkan oleh perdagangan satwa secara ilegal, penyempitan habitat, gangguan aktifitas manusia dan jalan, serta faktor intrinsik (siklus reproduksi) (Mittermeier et. al. 2012). Satwa ini merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 66/KPTS/UM-II/1973, diperkuat oleh SK Menteri Kehutanan No. 301/KPTS/ 11/1991, selanjutnya oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999 (Departemen Kehutanan 1999). Pada tahun 2000 IUCN melakukan perubahan terhadap kategori kukang jawa dari kurang terancam menjadi kekurangan data, dan pada tahun 2008 berubah menjadi hampir punah (Nekaris et al. 2008). CITES (2007), memperkuat hal ini karena telah mengubah status kukang jawa dari Apendiks II menjadi Apendiks I.

Pemodelan spasial perlu dilakukan pada kukang jawa karena dapat memberikan informasi yang penting dan akurat mengenai prediksi distribusi spesies dan habitatnya untuk mempermudah pengontrolan populasi dan pengelolaan habitat sehingga mempermudah dalam manajemen pengelolaan agar kukang jawa dapat lestari. Perencanaan dan pengelolaan SDAH yang baik mutlak diperlukan untuk itu diperlukan informasi yang memadai agar dapat dipakai oleh pengambil keputusan termasuk menggunakan sistem informasi geografis (SIG). SIG merupakan sistem pengelolaan informasi yang menyediakan berbagai fasilitas analisa data, salah satunya analisis spasial. Penggunaan sistem ini, pemodelan tingkat kesesuaian habitat dan pemetaan distribusi kukang dapat dilakukan sebagai salah satu upaya konservasi insitu kukang jawa.

Hutan sekunder, perkebunan dan bambu merupakan habitat bagi kukang (Yasuma dan Alikodra 1990; Nowak 1999; Ario 2010). Sebagian kawasan Cisurupan bukan merupakan kawasan konservasi melainkan milik masyarakat yang dimanfaatkan sebagai perkebunan. Cisurupan tidak hanya memiliki perkebunan melainkan hutan yang memiliki topografi berbukit-bukit dan suhu yang sesuai dengan habitat kukang jawa.

Tujuan Penelitian

(14)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Balai Konservasi Sumberdaya Alam terutama di Cagar Alam Papandayan dalam pelestarian satwa liar khususnya kukang jawa di Cisurupan Kabupaten Garut. Informasi mengenai sebaran spasial habitat jenis ini dapat digunakan untuk menduga potensi ancaman dari hutan yang menjadi wilayah penyebaran alaminya dan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan kawasan.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Cisurupan, Kabupaten Garut (Gambar 1) selama dua bulan, sejak bulan Juni hingga Agustus 2013. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Alat

Objek utama dalam penelitian ini adalah kukang jawa. Peralatan yang digunakan di lapangan adalah GPS (Global Positioning System), kamera, headlamp, dan alat tulis. Alat yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data antara lain: satu paket SIG termasuk komputer (PC Dekstop), Microsoft Office, software ArcGis 10.1 dan ERDAS Imagine 9.1, pengolah data statistika SPSS.

(15)

3 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah data Citra Landsat TM tanggal akuisi 16 Maret 2009 dan ASTER GDEM path 121 row 65, Peta Penunjukan kawasan hutan dan perairan, Peta Batas administrasi Kabupaten Garut, Peta Batas Provinsi Jawa Barat.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil observasi lapang, sedangkan data sekunder adalah dari Landsat, ASTER GDEM, dan penelusuran literatur (Gambar 2). Observasi Lapang

Observasi dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dan spesifik mengenai sebaran geografis kukang jawa. Observasi dilakukan dengan menggunakan metode langsung dan tidak langsung. Jenis keberadaan kukang jawa yang dicatat adalah penemuan secara langsung. Metode tidak langsung yang dicatat adalah bekas gigitan pada pohon pakan serta wawancara terhadap pemandu lapang.

Pengolahan citra terdiri dari pemulihan citra (image restoration), dan pemotongan citra (subset image). Pemulihan citra bertujuan untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi, kearah gambaran yang lebih sesuai dengan tampilan aslinya. Langkahnya meliputi koreksi geometri dan radiometrik. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sedangkan koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun kesalahan sensor. Tahap awal dalam koreksi geometrik yaitu penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan. Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat geografik dan proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Pemotongan citra (subset image) bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian dengan memotong batas wilayah menggunakan peta batas administrasi Cisurupan yang ada.

Pembuatan Peta Ketinggian dan Peta Kelerengan

(16)

4

Summarize Zones (Arcgis)

Analisis Komponen Utama

Pembobotan Validasi

Akurasi Model

Model Kesesuaian Habitat Diterima

Citra Landsat

Peta Kawasan Cisurupan

Peta RBI

Observasi Lapang

Data Spasial

Peta Ketinggian

Peta Kelerengan

Peta NDVI Peta Pohon

Tidur

Peta Kepadatan Pakan

Koordinat Kukang Peta Suhu

Overlay

Peta Kesesuaian Habitat Kukang

Ya Tidak

(17)

5

Gambar 3 Kerangka pembuatan peta ketinggian dan kelerengan

Pembuatan Peta NDVI

Pembuatan peta NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) diperoleh dari citra landsat yang telah dikoreksi geometris (Gambar 4). Nilai NDVI merupakan nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah dan inframerah terdekat. Perhitungan NDVI dengan Erdas Imagine 9.1 menggunakan rumus: NDVI

Gambar 4 Kerangka pembuatan peta NDVI Data Vektor Kontur

Surface (Erdas Imagine 9.1)

Digital Elevation Model (DEM)

Classify

Reclassify

Peta kelerengan Classify

Reclassify

Peta ketinggian

Slope

Citra Landsat (raster)

Model Maker (Erdas 9.1)

Classify

Reclassify

(18)

6

Pembuatan Peta Jarak Pohon Tidur

Peta jarak pohon tidur (buffer) dibuat dari data peta jaringan pohon tidur hasil observasi (vektor) yang dianalisis dengan menggunakan software ArcGis 10.1. Pohon tidur yang dianalisis adalah bambu. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kerangka pembuatan peta jarak pohon tidur

Pembuatan Peta Suhu Permukaan

Pembuatan peta temperatur dibuat dari citra landsat yang telah dikoreksi geometris. Proses pembuatan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kerangka pembuatan peta penyebaran suhu permukaan

Pembuatan Kepadatan Pakan

Peta kepadatan pakan dibuat dari hasil penemuan tidak langsung yaitu dengan penemuan jejak gigitan pada pohon pakan, dalam hal ini pohon pakan yang dimaksud adalah Jenjeng (Acacia decurrens) (Gambar 7).

Peta Jaringan Vegetasi (vector)

Spatial Analyst – Distance (ArcGis 10.1)

Classify

Reclassify

Peta jarak dari pohon tidur

Citra Landsat TM

Band 6

Model Maker (Erdas 9.1)

Classify

Reclassify

(19)

7

Gambar 7 Kerangka pembuatan peta kepadatan pakan

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis)

Proses menganalisis kesesuaian habitat kukang jawa digunakan analisis komponen utama (AKU). Parameter habitat yang akan dianalisis untuk mengetahui kesesuaian habitat kukang jawa adalah ketinggian, kelerengan, NDVI, jarak pohon tidur, suhu permukaan dan kepadatan pakan.

Hasil dari AKU digunakan untuk menentukan bobot masing-masing faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:

Y = aFk1+bFk2+cFk3+dFk4+ eFk5+ eFk6 Keterangan:

Y : Model habitat kukang jawa a-d : Nilai bobot setiap variabel Fk1 : Faktor ketinggian

Fk2 : Faktor kelerengan Fk3 : Faktor NDVI

Fk4 : Faktor jarak pohon tidur Fk5 : Faktor suhu permukaan Fk6 : Faktor kepadatan pakan Analisis Spasial

Titik sebaran kukang jawa dianalisis dengan faktor-faktor spasialnya yang meliputi ketinggian, kelerengan, NDVI, jarak pohon tidur, suhu permukaan dan kepadatan pakan untuk mendapatkan bobot. Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting), dan pengharkatan (skoring).

Pemberian bobot didasari oleh nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat kukang jawa. Nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh (kelas 3), nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh (kelas 2), dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh (kelas 1). Nilai skor klasifikasi untuk kesesuaian habitat didapat melalui rumus :

Titik Perjumpaan Pakan Kukang jawa (vector)

Spatial Analyst – Kernel Density (ArcGis 10.1)

Classify

Reclassify

(20)

8

SKOR =

Wi * Fki

Keterangan:

Wi : Bobot untuk setiap parameter Fki : Faktor kelas dalam parameter

SKOR : Nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat Kelas Kesesuaian Habitat Kukang Jawa

Peta kesesuaian habitat kukang jawa selanjutnya dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan dari analisis spasial. Menurut Indrawati (2010), Penentuan nilai kesesuaian habitat kukang jawa ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan nilai kelas kesesuaian habitat kukang jawa

Kelas Kesesuaian Rumus

Rendah Nilai minimal s/d (Nilai rata-rata – ½ Std) Sedang (Nilai rata-rata – ½ Std) s/d (Nilai rata-rata + ½ Std)

Tinggi (Rata-rata +½ Std) s/d Nilai maksimal

Validasi

Validasi bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Berikut adalah cara perhitungan validasi klasifikasi habitat kukang jawa:

Validasi = ×100%

Keterangan:

n : Jumlah titik pertemuan kukang jawa pada satu klasifikasi kesesuaian N : Jumlah total titik pertemuan kukang jawa hasil survei

V : Persentase kepercayaan (Validasi)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Nycticebus javanicus

Ketinggian

(21)

9

Ga

mbar

8 P

eta k

eti

(22)

10

Tabel 2 Penyebaran kukang jawa berdasarkan ketinggian Kelas Tinggi (m dpl) Luas (ha) Banyak perjumpaan

1 000 – 1 250 1 183.02 0

1 250 – 1 500 1 850.95 369

1 500 – 1 750 1 491.03 81

≥ 1 750 2 913.15 0

Data sebaran vertikal kukang jawa diklasifikasikan dalam empat kelas ketinggian (Tabel 2). Menurut Winarti 2011, Supriatna dan Wahyono 2000, kukang jawa dapat dijumpai pada sebaran vertikal 0 – 1 300 m dpl. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kukang jawa pada Kecamatan Cisurupan dapat dijumpai hingga ketinggian 1 674 m dpl. Peta sebaran kukang jawa berdasarkan ketinggian dapat dilihat pada Gambar 8.

Kelas ketinggian 1 000 – 1 250 m dpl kukang jawa tidak dapat terdeteksi karena ketinggian ini areal lahan terbangun lebih banyak dibandingkan dengan lahan bervegetasi, hal ini berkolerasi negatif dengan ketersedian pakan dan kebutuhan untuk berlindung untuk mendukung keberlangsungan kehidupan kukang jawa. Pada kelas ketinggian ≥ 1 750 m dpl kukang jawa tidak ditemukan karena kelas ketinggian ini memiliki tipe hutan pegunungan yang cenderung memiliki jumlah jenis tumbuhan yang lebih sedikit sehingga tidak ditemukannya vegetasi yang menjadi sumber pakan bagi kukang jawa.

Kelerengan

Peta kelerengan Cisurupan diperoleh dari peta DEM yang dianalisis berdasarkan kelas kelerengannya. Pengelompokan kelas kelerengan didasarkan pada tabel kriteria penetapan hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980. Kelas kelerengan dibagi menjadi lima kategori, yaitu 0-8% (datar), 8-15% (landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam), dan >40% (sangat curam). Sebaran kukang jawa disajikan pada Tabel 3 dan peta sebaran berdasarakan kelerengan dapat dilihat pada Gambar 9.

Tabel 3 Penyebaran kukang jawa berdasarkan kelerengan Kelas Lereng (%) Luas (ha) Banyak perjumpaan

(23)

11 terutama dari perburuan oleh manusia. Kelas kelerengan curam memiliki vegetasi yang belum terganggu, tingkat kesukaran dalam proses penggarapan lahan bagi masyarakat setempat menjadi alasan daerah curam memiliki vegetasi yang masih alami. Daerah ini memiliki kerapatan tinggi sehingga memberikan akses yang mudah bagi satwa arboreal untuk berpindah dalam melakukan aktivitas terutama memperoleh pakan.

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Penutupan/penggunaan lahan bervegetasi dipelajari dengan menggunakan indeks vegetasi. NDVI merupakan indeks tak bersatuan umum digunakan sebagai perwakilan kondisi tutupan lahan bervegetasi (Panuju et al. 2009). Klasifikasi NDVI menggambarkan kondisi penutupan lahan diperoleh dari citra landsat TM yang dapat digunakan untuk memisahkan tipe hutan (Xiao et al. 2002 diacu dalam Panunju et.al 2009). Hasil analisis dengan menggunakan ArcGis 10.1 memperoleh nilai piksel NDVI dari -0,13 sampai 0,80. Rahmi (2009); Rambe (2009); Shanty et.al. klasifikasi NDVI secara jelas disajikan pada Tabel 4 dan peta sebaran kukang jawa berdasarkan NDVI (Gambar 10).

Tabel 4 Penyebaran kukang jawa berdasarkan NDVI

NDVI Kelas

Nilai NDVI mendekati satu mengindikasi tutupan tajuk yang semakin rapat. Nilai NDVI (-1)–0.32 merupakan tutupan tajuk rendah, 0.32-0.42 memiliki tutupan tajuk sedang dan 0.42–1 merupakan tutupan tajuk yang rapat (Dephut 2005). Kukang jawa ditemukan dari nilai NDVI 0.13–0.80, hal ini menjelaskan bahwa kukang jawa lebih menyukai kondisi yang bervegetasi dengan tutupan tajuk sedang sampai pada tutupan tajuk tinggi. Tutupan tajuk yang tinggi sangat berfungsi bagi satwa arboreal terutama kukang jawa untuk berpindah dalam melakukan aktivitas harian.

Menurut Nowak (1999) dan Ario (2010), Kukang jawa hidup di hutan primer, hutan sekunder, hutan pegunungan dan beberapa ditemukan di perkebunan, serta di bambu. Berdasarkan klasifikasi tutupan tajuk dengan nilai NDVI dimana kukang jawa banyak ditemukan di tipe hutan primer. Sedangkan Pamudi (2008), kukang jawa di Bodogol lebih banyak ditemukan pada tipe hutan sekunder. hal ini berbeda dengan hasil penelitian Pamudi (2008) yang menemukan bahwa kukang jawa lebih banyak ditemukan di hutan primer. Kondisi vegetasi hutan yang rapat dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan, minum, berlindung dan berkembangbiak (Alikodra 2002).

(24)

12

Ga

mbar

9 P

eta k

eler

eng

(25)

13

Ga

mbar

10 P

eta

ND

VI

(26)

14

Jarak Pohon Tidur

Jarak pohon tidur merupakan salah satu variabel biotik yang digunakan. Pohon tidur menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk keberlangsungan satwa. Menurut Winarti (2011), kukang jawa lebih sering menggunakan bambu sebagai pohon tidur. Bambu memiliki kanopi yang rimbun sehingga keberadaan kukang jawa di dalam kanopinya tidak terlihat. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari serangan predator pada siang hari.

Pembagian kelas jarak pohon tidur didasari oleh kedekatan jaraknya. Luas dan jumlah titik perjumpaan pada masing-masing kelas disajikan dalam Tabel 5, dan peta sebaran kukang jawa berdasarkan jarak pohon tidur dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 5 Penyebaran kukang jawa berdasarkan jarak pohon tidur

Jarak (M) Luas (ha) Banyak perjumpaan

0 – 250 2 419.60 447

250 – 500 1 650.95 3

≥ 500 3 365.30 0

Hasil identifikasi 450 jejak dan penemuan secara langsung di lokasi penelitian terhadap jarak pohon tidur memperlihatkan bahwa 99,3% kukang jawa berada dekat dengan pohon tidur. Pada saat pengamatan ditemukan bahwa kukang melakukan aktifitas breeding pada vegetasi bambu. Pergerakan yang lambat membuat kukang mencari lokasi tidur yang tidak berada jauh dengan ketersediaan pakan. Pada lokasi penelitian ditemukan bahwa rumpun bambu berada tidak jauh dengan sumber pakan yang ada, seperti Jenjeng (Acacia deccurens) yang memanfaatkan getah pohonnya, dan Kaliandra (Caliandra spp) yang memakan bagian sari bunga. Menurut Rogers dan Nekaris (2011), Kukang jawa hanya mampu berjalan rata-rata jarak perpindahan sebesar 550m/jam dengan jelajah harian + 1 000 m sehingga kukang jawa tidak akan jauh dari pohon tidurnya. Suhu Permukaan

Peta sebaran suhu permukaan diperoleh dari analisis menggunakan citra landsat TM5 menggunakan band 6. Rochidayat dan Sukowi (1979) diacu dalam Sulistyono (1995) menyebutkan bahwa ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Sebaran suhu berkolerasi negatif dengan ketinggian sehingga semakin tinggi suatu tempat maka semakin rendah suhu di suatu kawasan (Tabel 6). Peta sebaran kukang jawa berdasarkan suhu permukaan dapat dilihat pada Gambar 12.

Tabel 6 Penyebaran kukang jawa berdasarkan suhu permukaan uhu C Luas (ha) Banyak perjumpaan

0 – 20 1 126.31 12

20 – 25 3 426.59 405

25 – 30 2 203.55 22

(27)

15

Ga

mbar

11 P

eta ja

ringa

n pohon ti

(28)

16

Ga

mbar

12

P

eta s

eba

ra

n

suhu pe

rmuka

(29)

17 Suhu berpengaruh terhadap aktifitas mamalia nokturnal dan berpengaruh terhadap persediaan makanan. Aktifitas kukang akan meningkat pada suhu lebih tinggi dan akan semakin meningkat ketika tidak ada cahaya bulan. Sebaliknya, kukang akan mengurangi aktivitas pada kondisi suhu rendah dan pada saat cahaya bulan terang atau terang bulan (Starr et al. 2012).

Pada lokasi penelitian kukang jawa ditemukan pada suhu permukaan 19 -34 C dengan penemuan ter an ak terdapat pada rentang 20 – 25 C. Suhu permukaan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara. Suhu udara pada lokasi perjumpaan kukang erada di awah 25 C. enurut tarr et.al. (2012), aktivitas rata-rata Nycticebus pygmaeus konstan pada rentang suhu 15-28 C. satwa nocturnal ini merupakan satwa yang mampu beradaptasi pada suhu rendah sampai pada suhu tinggi.

Peta Kepadatan Pakan

Faktor biotik lain yang dijadikan variabel pembuatan model adalah kepadatan pakan. Menurut Wiens (2002), pakan N. coucang merupakan satwa omnivora yang memanfaatkan getah pohon sebanyak 38% dari total jenis pakan yang sebagai sumber pakan. Pada musim kemarau kukang lebih banyak memakan serangga sedangkan pada musim hujan kukang cenderung memakan getah pohon atau sari bunga. Pohon jenjeng (Acacia deccurens) menghasilkan getah dari bagian batang (Gambar 14). Kukang memiliki taring tajam dan kuat yang berfungsi untuk menggigit batang pohon yang keras agar memperoleh getah yang dihasilkan oleh pohon (Gambar 14b).

Kernel densiti adalah model perhitungan untuk mengukur kepadatan secara non-parametrik. Ilmu statistik, istilah non-parametrik pada umumnya digunakan untuk menjelaskan metode perhitungan yang bersifat free distribution. Dari hasil analisis yang dilakukan, kepadatan pakan dibagi menjadi empat kategori, disajikan pada Tabel 7 serta peta kepadatan pakan pada Gambar 13.

Tabel 7 Penyebaran kukang jawa berdasarkan kepadatan pakan Kepadatan (ind/ha) Luas (ha) Banyak perjumpaan

1 – 4 7 135.62 66

4 – 8 238.69 88

8 – 12 53.92 213

12 – 14 10.13 83

(30)

18

Ga

mbar

13 P

eta k

epa

da

ta

n pa

ka

n kuk

ang jaw

(31)

19

(a) (b)

Gambar 14 Pohon Jenjeng (Acacia deccurens) (a) getah pohon Jenjeng, (b) lubang bekas gigitan kukang jawa

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis)

PCA merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengatasi multikolinearitas (Soemartini 2008). Tujuan dari PCA yaitu mereduksi data dan kemudian menginterpretasikannya. Data yang digunakan dalam analisis komponen utama adalah data sebaran kukang jawa berdasarkan perjumpaan secara langsung dan jejak serta hasil survey tim Little Fireface Project.

Variabel yang dianalisis, antara lain ketinggian, kelerengan, NDVI, jarak pohon tidur, suhu permukaan, dan kepadatan pakan. Satuan variabel yang digunakan berbeda-beda sehingga perlu dilakukan penyerataan nilai dengan melakukan transformasi dengan menggunakan z-score pada SPSS. Tahap pertama dalam analisis faktor untuk mendapatkan komponen utama adalah menilai variabel mana yang dianggap layak (appropriateness) untuk dilanjutkan keanalisis berikutnya. Seluruh variabel dapat diprediksi dan dianalisis lebih lanjut karena telah memenuhi s arat nilai A ≥ 0.5 antoso 2002 .

Tahap selanjutnya dilihat dari nilai KMO ≥ 0.5 dengan signifikansi ≤ 0.05 maka variabel dan sampel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut (Santoso 2002). Dari hasil analisis PCA diperoleh nilai KMO sebesar 0.577 dengan signifikansi 0,000. Hasil ekstraksi dengan menggunakan PCA menghasilkan enam variabel yang digunakan untuk membuat model kesesuaian habitat diperoleh tiga komponen baru yang memiliki nilai keragaman kumulatif 72.119%.

Tabel 8 Nilai initial eigenvalues (akar ciri)

Component Initial Eigenvalues

Total % of Variance Cumulative %

1 1.952 32.535 32.535

2 1.347 22.453 54.988

3 1.028 17.132 72.119

4 0.706 11.775 83.894

5 0.558 9.298 93.192

(32)

20

Hasil analisis PCA Tabel 8 menjelaskan bahwa dengan menggunakan tiga komponen utama sudah dapat menjelaskan varian sebanyak 72.119 % sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Terdapat tiga variabel yang memiliki hubungan positif terhadap komponen pertama yaitu ketinggian, kelerengan, dan kepadatan pakan sedangkan jarak pohon tidur memiliki hubungan negatif dengan komponen pertama. Komponen pertama lebih menggambarkan faktor lingkungan. Komponen kedua memiliki variabel suhu permukaan saja yang menggambarkan faktor abiotik. NDVI juga memiliki hubungan negatif terhadap komponen ketiga yang menggambarkan faktor biotik. Vektor ciri masing-masing variabel disajikan Tabel 9.

Bobot masing-masing variabel diperoleh dari nilai vektor ciri PCA dengan masing variabel yang dipilih mempunyai nilai tertinggi terhadap masing-masing komponen utama yang dihasilkan. Bobot tiap variabel mempunyai hubungan positif dengan variabel permodelan kesesuaian habitat. Besarnya bobot masing-masing variabel kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai pemodelan PCA pada masing-masing variabel Variabel Nilai Total pada Initial Eigenvalue

Ketinggian 1.952

Kelerengan 1.952

NDVI 1.028

Jarak pohon tidur 1.952

Suhu permukaan 1.347

Kepadatan pakan 1.952

Nilai bobot masing-masing variabel digunakan dalam persamaan untuk mendapatkan model kesesuaian habitat N. javanicus. Persamaan kesesuaian habitat yang digunakan yaitu sebagai berikut:

(33)

21 Analisis Spasial

Nilai kelas kesesuaian habitat yang digunakan dalam persamaan kesesuaian habitat kemudian dilakukan proses tumpang tindih (overlay) terhadap setiap variabel habitat yang digunakan. Nilai masing-masing kelas didapat dari proses pengelasan tiap variabel habitat untuk dilakukan pengharkatan (scoring/skor) pada masing-masing variabel. Skor dari tiap kelas dalam satu variabel berbeda antara satu dengan yang lainnya. Nilai skor tiap variabel kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Pembobotan variabel

Variabel Kelas Skor

(34)

22

Ga

mbar

15 P

eta k

ese

sua

ian ha

bit

at kukang ja

w

(35)

23 Tabel 12 Kelas kesesuaian habitat kukang jawa

Selang Kelas Kesesuaian Skor

Min sampai (Nilai rata-rata – ½ Std) Rendah 1.03 – 17.67 (Nilai rata-rata– ½ Std) sampai (Nilai

rata-rata + ½Std)

Sedang 17.67 – 25.20 (Nilai rata-rata + ½ Std) sampai Max Tinggi 25.20 – 42.36

Validasi Kesesuaian Habitat Nycticebus javanicus

Validasi model dilakukan dengan menguji model menggunakan data validasi. Validasi model dilakukan untuk menerima model yang telah dibangun dengan tingkat kepercayaan tinggi (lebih dari 85%) pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi (Koeswara 2010). Validasi model kesesuaian habitat kukang jawa menggunakan 300 titik perjumpaan secara langsung maupun penemuan jejak pada lokasi penelitian. Nilai validasi diperoleh dengan membagi banyaknya jejak kukang jawa pada suatu kelas kesesuaian terhadap total kukang jawa yang ditemukan. Hasil validasi tiap kelas kesesuaian habitat kukang jawa dapat disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Validasi model kesesuaian habitat kukang jawa Kelas

(36)

24

Saran

1. Perlu diadakannya inventarisasi Nycticebus javanicus di Cisurupan secara menyeluruh untuk mendapatkan data sebaran Nycticebus javanicus dan secara temporal agar dapat diketahui kondisi sebaran Nycticebus javanicus dari secara kontinu.

2. Perlu adanya upaya untuk mengurangi fragmentasi habitat yang terjadi pada kawasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

[CITES] Convention on International Trade of Endangered Species of Flora dan Fauna. 2007. IUCN/TRAFFIC Analyses of the Proposals to Amend the CITES Appendices at the 14th Meeting of the Conference of the Parties. [notification] The Hauge : CITES.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Pemerintah Republik Indonesia.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. IUCN Red List of Threatned Species. http://www.iucnredlist.org /details/39761/0.terhubung berkala 28 Desember 2012.

123456789/37037/prosiding%20Semiloka%20B-2_dyahpanuju.pdf

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Ario A. 2010. Panduan Lapang Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango.Jakarta (ID): Conservation International Indonesia.

Berliana K. 2009. Pemetaan Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) Di Cagar Alam Gunung Tilu Kabupaten Bandung Dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Chen KML, Kwoh LK. 2001. Asian Conference on Remote Sensing, 5-9

November. Singapore.

Dephut [Departemen Kehutanan]. 1990. Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta (ID): Pemerintah Republik Indonesia.

Indrawati YM. 2010. Pemodelan Spasial Habitat Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Desmarest, 1822) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Koeswara DA. 2010. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus Indicus Desmarest, 1819) Di Resort Batang Suliti Taman Nasional Kerinci Sebla [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecologi: A Primer on Methods and Computing. Kanada (CA): John Wiley and Sons Inc.

(37)

25 Mittermeier RA, Schwitzer C, Rylands AB, Taylor LA, Chiozza F, Williamson EA, Wallis J. 2012. Primates in Peril: The World’s 25 Most Endangered Primates 2012–2014. Arlington (US): Bristol Conservation and Science Foundation.

Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. New York (US): Academic Press.

Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge (GB): The MIT Press.

Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The strepsirrhine primates of Asia and Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in Perspective. Oxford (GB): Oxford University Press. hlm 24-45.

Nekaris KAI, Bearder SK. 2011. The strepsirrhine primates of Asia and Mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Di dalam: Campbell C, Fuentes A, MacKinnon K, Panger M, Bearder SK, editor. Primates in Perspective. Ed ke-2. Oxford (GB): Oxford University Press. hlm 34-54

Nekaris KAI, Blackham GV, Nijman V. 2008. Conservation implications of low encounter rates of five nocturnal primate species (Nycticebus spp.) in Asia. Biodiversity and Conservation 17:733–747.

Nowak RM. 1999.Walker’s Primate of the World. Baltimore: Johns Hopkins

Panuju DR, Susetyo B. Ralmadoya MA. 2009. Telaah Pola Musiman Penutupan Lahan Beroegetasi dengan Xl2ARlMA pada NDVI SPOT VEGETATION [Internet]. [diunduh 2013 Okt 16]. tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id /bitstream/handle/.

Rahmi J.2009. Hubungan Kerapatan Tajuk dan Penggunaan Lahan Berdasarkan Analisis Citra Satelit Dan SIG Di Taman Nasional Gunung Leuser [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Rambe NK. 2009. Pemanfaatan Citra Landsat Tm5 Dalam Identifikasi Hutan Rakyat Di Kecamatan Sibolangit, Pancur Batu Dan Namo Rambe Kabupaten Deli Serdang.Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Rinaldi D. 2003. The Study of Java Gibbon (Hylobates moloch in Gunung Halimun Salak National Park (Distribution, Population and Behaviour). Makalah dalam Research and Conservation of Biodiversity in Indonesa. Vol XI. hal; 30-47.

Rogers LD, Nekaris KAI. 2011. Behaviour and habitat use of the Bengal slow loris Nycticebus bengalensisin the dry dipterocarp forests of Phnom Samkos Wildlife Sanctuary, Cambodia. Cambodian Journal of Natural History.2011(2):104-113.

Santoso S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta (ID): PT. Elex Media Komputindo.

(38)

26

Shanty R N T.Pramadihanto D. Sesulihatie WT. tahun.Pemrosesan Citra Satelit dan Pemodelan untuk Prediksi Penyebaran Banjir Bengawan Solo.Surabaya (ID): PENS-ITS.

oemadi G Ba’alw jakradidjaja AS, Diapari D. 2003.Aktivitas Perilaku Makan Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) di Penangkaran pada Malam Hari. [laporan teknik]. Bogor (ID) : LIPI.

Soemartini.2008. Principal Component Analysis (PCA) Sebagai Salah Satu Metode Untuk Menghilangkan Multikolineritas [Skripsi]. Jatinangor (ID): Universitas Padjajaran

Soerianegara I, Indrawan A. 1998.Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Starr C. Nekaris KAI. Leung L. 2012. Hiding from the Moonlight: Luminosity and Temperature Affect Activity of Asian Nocturnal Primates in a Highly. Seasonal Forest. PLoS ONE 7(4): e36396.

Sulistyono.1995. Pengaruh Tinggi Tempat Tumbuh Terhadap Produksi Getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.et. de Vriese) di KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID) :. Institut Pertanian Bogor.

Supriatna J, Wahyono EH.2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Swedianto H. 2010.Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan [skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni H. 2011. Pengaruh Pengayaan Pakan Alami Terhadap Perilaku Kukang Jawa (Nycticebus Javanicus Geoffroy 1812) Di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wiens F. 2002. Behavior dan ecology of wild slow lorises (Nycticebus coucang): social organisation, infant care system dan diet [disertasi]. Bayreuth: Bayreuth University.

Winarti I. 2011.Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wirdateti, Setyorini LE, Suparni, Handayani TH. 2005. Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan indung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan. Biodiversitas 6:45-49.

Wirdateti, Setyorini LE, Suparno, Handayani TH. 2005. Pakan dan Habitat Kukang (Nycticebus coucang) di Hutan Lindung Perkampungan Baduy, Rangkasbitung-Banten Selatan. Biodiversitas 6 (1): 45-49.

(39)

27

Lampiran 1 Hasil principal component analysis (PCA) Faktor Ananlisis

Uji KMO dan Bartlett's Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling

Adequacy. .577

Bartlett's Test of Sphericity

Approx. Chi-Square 370.352

Df 15

Sig. .000

Anti-image Matrices

Tinggi Kelerengan NDVI Suhu Permukaan Jarak Pohon Tidur Kepadatan Pakan

Anti-image Covariance

Tinggi .631 -.343 -.077 .153 -.028 -.100

Kelerengan -.343 .662 .127 .034 -.067 -.025

NDVI -.077 .127 .920 .071 -.073 .145

Suhu Permukaan .153 .034 .071 .864 -.139 .070

Jarak Pohon Tidur -.028 -.067 -.073 -.139 .806 .288

Kepadatan Pakan -.100 -.025 .145 .070 .288 .768

Anti-image Correlation

Tinggi .556a -.531 -.101 .207 -.039 -.143

Kelerengan -.531 .550a .162 .044 -.092 -.035

NDVI -.101 .162 .509a .080 -.084 .173

Suhu Permukaan .207 .044 .080 .703a -.166 .086

Jarak Pohon_Tidur -.039 -.092 -.084 -.166 .553a .365

(40)

28

Lampiran 1 Hasil principal component analysis (PCA) (lanjutan) a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Communalities

Kepadatan Pakan 1.000 .632

Extraction Method: Principal Component Analysis. Total Variance Explained

Component Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Extraction Method: Principal Component Analysis.

Component Matrixa

(41)

29 Lampiran 2 Kukang jawa

Kukang jawa Juvenil

(42)

30

(43)

31

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sijunjung, 12 September 1991, Putra dari Bapak Slamet Riyadi, SH dan Ibu Mutrikhanah, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sijunjung pada 2009 dan pada tahun yang sama diterima di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif dalam Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) di bawah organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) pada periode 2010–2012. Dalam organisasi yang sama penulis berpartisipasi dalam beberapa kegiatan eksplorasi, yaitu sebagai peserta Eksplorasi Fauna, Flora, dan Ekowisata Indonesia (Rafflesia) 2011 di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Studi Konservasi Lingkungan (Surili) 2011 di Taman Nasional Kerinci Seblat. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Sancang dan Kamojang (2011), Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2012), serta Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi (2013).

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian Cisurupan Garut
Gambar 2  Bagan alir penelitian
Gambar 3 Kerangka pembuatan peta ketinggian dan kelerengan
Gambar 5  Kerangka pembuatan peta jarak pohon tidur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keselamatan yang ditawarkan dalam Kristus jauh lebih baik ketimbang berkat yang ditawarkan oleh para guru palsu di Kolose. Keutamaan Kehidupan

Seruan mengenai bahaya DBD yang ber- sumber dari lingkungan sekitar (tetangga) mengenai penyakit DBD serta pencegahannya tidak pernah didapatkan sekalipun beberapa

Variasi konsentrasi alginat yang digunakan dalam formulasi serbuk effervescent sari jeruk lemon adalah 1, 2, 3 dan 4%.Kisaran konsentrasi ini berdasarkan hasil

Distribusi Triangular dari komponen biaya akan digunakan untuk menjalankan simulasi Monte Carlo. Metode perkiraan biaya proyek Monte Carlo berdasarkan pada

Menur unnya tingkat kerusa kan wilaya h pesisir dan laut GAMBUT Meningkatnya luasan lahan gambut yang terpulihkan sebesar 5% dari luas KHG yang sudah ditentukan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi meliputi: pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan pada buruh sekitar kebun kopi di perkebunan Gunung

Sumber-sumber primer kedua yang dimaksud adalah sumber data berupa video yang diambil dari media sosial yaitu youtobe yang terkait dengan penelitian, alasan

Reguler 300 Blok M Rawamangun Patas 16 Rambutan Tanah Abang Reguler 106 Senen Cimone Patas AC 82 Tanjung Priok Depok Reguler 103 Grogol Cimone Patas AC 135 Tanjung Priok Ciputat