• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON

PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI

BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK

OLEH :

AFRA D. N. MAKALEW

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

ABSTRAK

AFRA D.N. MAKALEW.

Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat

yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh

SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan

SUBAGYO HARDJO-SUBROTO.

Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau

penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang

relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah

mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah

tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas

tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison

penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol

(70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian.

Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan

batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik).

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah

dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang

berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik

(andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat

dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol,

baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui

sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan

tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat,

batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik).

Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah

Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol,

dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2,

Pasircabe-Jonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang

(Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia,

mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison

penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria

dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003).

(3)

kedalaman 19 cm. Sedangkan ketebalan horison kambik paling tebal terdapat

pada pedon AM1 dan AM3 yang berkembang dari batuliat, yakni 120 cm. Paling

tipis dijumpai pada pedon AM2 (perudik) yang berkembang dari batuliat, yakni 99

cm dari permukaan tanah. Rata-rata jumlah peningkatan liat total 48,9%,

merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang

berkembang dari bahan volkanik-dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang

berkembang dari batuliat sebesar 37,9%, volkanik-andesitik sebesar 34,4%.

Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada

pedon-pedon dari batukapur. Peningkatan liat total tersebut cenderung lebih tinggi pada

pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. Hasil

pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat

(berdasarkan ada tidaknya laminasi) terlihat dengan urutan tingkat

perkembangan : dari sangat berkembang sampai kurang berkembang. Urutan

tingkat perkembangannya dari yang sangat

berkembang adalah bahan

(4)

iv

ABSTRACT

AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons

in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO

HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO

HARDJOSUBROTO.

A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10

pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic

rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay

accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical,

macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size

distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the

argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled

have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent

materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay

accumulation horizon,

i.e.

on the thickness, depth, position of maximum fine and

total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed

illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying

adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with

ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay

minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper

horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and

subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral

and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was

also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the

studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the

formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the

sedimentation processes . Some important results of this research showed that

(1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and

AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of

argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was

at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons

derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents,

i.e

.

48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%,

andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins

was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of

parent material together with other soil forming factors (climate and topography)

affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness

and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons

from the soil surface are the main properties that most related to management of

Alfisols, Ultisols, and Inceptisols.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

(6)

vi

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul

Karakteristik

Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan

Sedimen dan Volkanik

adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2006

Afra Donatha Nimia Makalew

(7)

KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON

PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI

BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK

OLEH :

AFRA D. N. MAKALEW

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

Judul

:

Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat

yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik

Nama

:

Afra Donatha Nimia Makalew

N r p

:

995032

Program Studi

:

Ilmu Tanah

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc

Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc

Ketua

Anggota

Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc

Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU

Anggota

Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS

Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965

sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget

(Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992,

penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of

Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun 1993.

Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah

Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa

pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan

BPPS Dikti (Tahun 2000 – 2003).

(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,

sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini

berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada

tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik.

Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi

Pembimbing

2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing

3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing

4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi

Pembimbing

5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB

6. Program Beasiswa BPPS-Dikti

7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi,

seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis

UMB Jakarta

8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB

9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Fakultas Pertanian IPB

10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya

Lahan Fakultas Pertanian IPB

11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor

12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan

’99, dan rekan-rekan kelompok G-8

14. Orangtua, suami, dan anak-anak

Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan

informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA.………...…... x

DAFTAR TABEL.…….………..………...…... xii

DAFTAR GAMBAR ...………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN………... xiv

PENDAHULUAN

Latar Belakang..………... 1

Tujuan………...…... 4

Hipotesis.………... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Horison Penimbunan Liat……….………… 5

Genesis Horison Penimbunan Liat.……….……….. 9

Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat………... 14

Bahan Induk Tanah.……..……….…...…... 18

Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat.…..…... 20

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu ..………...…... 25

Bahan Penelitian………...…... 28

Metodologi Penelitian………...…... 28

Analisis Data………...……... 31

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Lokasi Penelitian... 33

Geologi... 33

Topografi... 36

Iklim... 37

Penggunaan Lahan... 38

Vegetasi... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Morfologi dan Fisika tanah...………... 42

Sifat Kimia Tanah...………....…... 56

Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat...………...… 75

Horison Diagnostik... 94

Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil... 104

Karakteristik Horison Argilik dan Kambik... 106

Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat... 121

KESIMPULAN DAN SARAN ….………. ... 124

DAFTAR PUSTAKA……….………... 126

(12)

xii

DAFTAR TABEL

No.

Halaman

1.

Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah

Pedon-Pedon Pewakil………...…. 25

2.

Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian 30

3.

Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun)

di daerah penelitian ... 39

4.

Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan

di daerah Kabupaten Bogor , diwakili stasiun Darmaga (259 dpl)

(1989-1999)... 40

5.

Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil

yang Berkembang dari Batuliat... 43

6.

Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil

yang Berkembang dari Batukapur...… 47

7.

Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil

yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik...……51

8.

Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil

yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...……53

9.

Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari

Pedon Pewakil (Batuliat)…….………...………...57

10.

Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari

Pedon Pewakil (Batukapur)………..…….. ....63

11.

Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari

Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik……….………… ...67

12.

Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari

Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik....……….………...70

13.

Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi

(13)

14.

Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum

setiap Pedon Pewakil...79

15.

Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan

Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil…………..…… 94

16.

Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta

Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat

(Argilik)...98

17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada

Masing-masing Pedon Pewakil………...99

18.

Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing

Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10………101

19.

Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria

Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada

Pedon Pewakil... ...103

20.

Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya………..……..104

21.

Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada

Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil...109

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman

1.

Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor...26

2.

Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang………...27

3.

Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)...………..…………34

4.

Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)...………35

5.

Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi...37

6.

Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada

Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari ...60

7.

Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada

Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari ...64

8.

Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada

Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan

Volkanik-Andesitik...68

9.

Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada

Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...72

10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat …...…..…...81

10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)

Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat ...…..…...81

11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….….82

11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….…82

(15)

12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat...………..…...83

13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB)

Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…...85

13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)

Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…..85

14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..…...86

14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..….86

15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur...………..….87

15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)

Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur...………..…...87

16a. HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)

Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89

16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89

17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik..…………....….90

17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.…………....…..90

18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)

Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...…………....….91

18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)

Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………....…92

19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)

Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...………..93

19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4)

(16)

xvi

20.

Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4

dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik–Andesitik...101

21.

Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang

Berkembang dari Bahan Volkanik – Dasitik ...102

22.

Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta

Batas Argilik (

Argillic line

) pada Pedon AM8 dan AM10...108

23.

Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari

Batuliat...111

24.

Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman

1.

Deskripsi Profil Pedon AM1………... 131

2.

Deskripsi Profil Pedon AM2………... 132

3.

Deskripsi Profil Pedon AM3………... 133

4.

Deskripsi Profil Pedon AM4………... 134

5.

Deskripsi Profil Pedon AM5………... 135

6.

Deskripsi Profil Pedon AM6………... 136

7.

Deskripsi Profil Pedon AM7………... 137

8.

Deskripsi Profil Pedon AM8………...………... 138

9.

Deskripsi Profil Pedon AM9………... 139

10.

Deskripsi Profil Pedon AM10………... 140

11.

Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah...…...………... 142

11.1 Stasiun Cimulang... 142

11.2 Stasiun Pasirmaung...144

11.3 Stasiun Jonggol... 146

11.4 Stasiun Dramaga... 148

11.5 Stasiun Jasinga...150

(18)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat

filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya.

Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya

atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah

dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat

yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay

skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam

identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan

horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk

mengklasifikasi dan interpretasi proses-proses yang dominan pada

pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan

liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik

termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu

horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses

pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003).

Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat

banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat

yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan

tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan

mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga

(19)

Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan

tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di

Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta

ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan

tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian

(Subagjo et al., 2003).

Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang

berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa

regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses

pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik

meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses

pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya

di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih

mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian

pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan

pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan

horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan

akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et

al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang

tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak

memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat

memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan

(20)

3

Tanah Alfisol dan Ultisol keduanya mempunyai horison

penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol

lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen

ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik,

dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik,

dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol.

Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat

horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi

pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut.

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai

horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun

demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik

pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan

genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk

sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard , 1985), pada

tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972).

Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah

Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain

oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (1986), serta Stolt dan

Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah

yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976). Tetapi

adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada

(21)

Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat

dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di

Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada

Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi

pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat

iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda

menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan

proses-proses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga

penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia

masih sangat kurang.

Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik

horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah

yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya

horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah

Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam

pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi

tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia.

Tujuan

(1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat

dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan

(22)

5

(2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan

proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol

yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik

pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.

(3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan

dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun

Inceptisol.

Hipotesis

(1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan

pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan,

ketebalan, adanya tidaknya selaput liat maupun tingkat

perkembangannya.

(2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya

berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada

regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.

(3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya

dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang

(23)

Definisi Horison Penimbunan Liat

Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan

horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison

argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti

iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah

penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah

memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik

dan tidak ada selaput liat .

Horison Argilik

Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa

horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai

dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat

dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan

kandungan liat horison eluviasi.

Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu

horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :

1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :

(a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar

butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar,

berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan

minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari

seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau

(24)

6 horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan

gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15

cm atau lebih; dan

(b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa

salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang

menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi

berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada

wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka

rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2

kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan 2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi

(lithologic discontinuity) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison

iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di

dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :

(a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah

halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka

horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat

lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau

(b) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung

liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus

mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison

(25)

(c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya

mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik

harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak

(misalnya 42 persen vs 50 persen).

Horison Kambik

Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses

alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau

merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.

Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa

horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih.

Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari

lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus

memenuhi semua syarat berikut:

1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung,

atau yang lebih halus; dan

2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu

bentuk berikut :

a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah

didrainase, dan semua sifat berikut:

(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan

pada lebih dari setengah volume tanah; dan

(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;

dan

(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di

dalam matriks sebagai berikut:

(26)

8 (b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau

kurang; atau

(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan

terdapat konsentrai redoks; atau

b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari

permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab,

sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta

memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada

lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih

sifat berikut:

(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi,

warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi

dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau

horison yang berada di atasnya; atau

(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat

atau gipsum; dan

3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon

antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau

fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik,

petrogipsik, placik, atau spodik; dan

4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap

(tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak

bersifat rapuh.

Genesis Horison Penimbunan Liat

Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik

(27)

ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang

relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu

lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian

basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol

mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu

35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam

125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa

(berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman

180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan

kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.

Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen

maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah

Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik),

dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari

permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar

atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan

horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada

kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas

horison argilik, lebih kecil dari 35%.

Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang

terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses

tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan,

ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap

tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada

tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses

(28)

10 perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi,

serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin

akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.

Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana

tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison

argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering

tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang

ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).

Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison

argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1)

eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga

tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi

butir-butir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari

lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di

lapisan bawah (Buol et al., 1980)

Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat

menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran

iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi

disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya

terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2)

terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.

Dispersi

Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam

suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu

(29)

bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga

liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik,

bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya

penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).

Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat

seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari

permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol

perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama

dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas

menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai

flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat

dibebaskan.

Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat

lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di

lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah,

karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral

yang mudah lapuk.

Translokasi

Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis

pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler.

Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung

tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam

(30)

12 dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara

kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah,

akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.

Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah.

Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan

lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding

dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu

juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah

berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik,

sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan

air dan proses pemindahan liat.

Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison

lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari

liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga

kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah

dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa

membentuk partikel yang berukuran liat.

Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam

tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s

pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka

perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.

Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan

pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan

(31)

Pengendapan

Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi

tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2)

butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air

perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat;

(4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di

horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam,

kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak,

apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses

pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan

mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara

periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian

tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur

tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter,

agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan

menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal

dengan selaput liat (clay skin).

Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat

berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput

(32)

14 Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat

Tanah Ultisol

Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat

mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara

keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk

translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh

partikel iluviasi.

Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan

kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol

berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison

iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan

dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi,

dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori

diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan

dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di

antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids. Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai

pengisi pada pori yang berukuran kecil.

Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison

B, seringkali dalam bentuk microlaminated yang secara umum bentuk laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna

interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan

(33)

plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna

plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah

lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.

Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah

berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna

pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi,

maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari

argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna

interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.

Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/

mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang

pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah

yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna

kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan

merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan

memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.

Tanah Alfisol

Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan

mikromorfologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol

berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir,

(34)

16 teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat,

tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang

memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat

yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.

Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran

partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan

bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan

mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini

adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang

sangat jelas dengan matriks tanah.

Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah

dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya

kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat

terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968)

mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa,

komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada

horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada

permukaan ped dan sekitar lubang akar.

Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat

buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak

baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit,

sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik.

(35)

Tanah Inceptisol

Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut,

maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun

sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan

kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk

keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai

berikut:

Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur

struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur.

Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat

porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular.

Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya

adalah tubular.

Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada

tanah-tanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang

mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang

dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam

Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang

membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan

pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.

Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat

yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya

(36)

18 berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen

lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric. Bahan Induk Tanah

Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat

penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada

waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling

dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk

dan potensinya untuk pertanian.

Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah

yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya

kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan

liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral

yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan

terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila

bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada

horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka

permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama.

Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk

volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen batuan volkanik dan biotit menjadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur

pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru

(neoformation).

Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah

(37)

pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan

horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral

liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di

daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan

tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit.

Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan

induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai

lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult,

Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf.

Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan

sekitarnya) Witja ksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf

dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 cm), mineral

yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada

tanah-tanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih

sangatlah terbatas.

Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat Tanah Alfisol

Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan.

Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison

B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan

feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus

sehingga menyebabkan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding

horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus

(38)

20 Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison

eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di

horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama

terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan

bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang

terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan

sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan

struktur yang jelas.

Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada

tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum

mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun

koloid-koloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada

permukaan struktur, di dala m pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell

(1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya

menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang

horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya

mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak

mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut

tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus

memiliki selaput liat.

Tanah Ultisol

Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses

pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui

(39)

Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak

memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus,

mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang

berasal dari subtropik.

Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan

berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya

kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan

proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna

terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang

menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses

mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik.

Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang

berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap

berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4OAc) biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik.

Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi

epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran

dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan

bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah

kation) yang cukup rendah (< 35%).

Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol

adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180

cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila

tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman

tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif

(40)

22 mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan

tanah.

Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah

plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di

Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al. (1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang,

umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi pembasahan dan pengeringan yang berulang, beberapa dari bercak merah

tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak

pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada

kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit

dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang

dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume

horison tanah.

Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang

berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi

sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi

baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti

bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa

adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan

pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968); Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas.

Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya

horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan.

Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat

(41)

Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara

berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas

horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke

horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter.

Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang

ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi

seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi

mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol.

Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi

(42)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah

Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol

Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan

berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang

dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol); dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik

diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang

berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1,

Gambar 2) diambil di desa Cipocok. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah,

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan

di Labortorium Tanah, Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai

pada bulan Juni 2003 – Juni 2004.

Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon Pewakil.

No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban

Tanah AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 AM9 AM10

Kabupaten Bogor : Cendali Cijayanti-1 Cijayanti-2 Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Jasinga Ciampea

(43)
(44)
(45)

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah

Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison.

Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan

induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di

daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau

Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang

mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik.

Metodologi Penelitian Penelitian Lapangan

Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan

pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta

Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: 50.000

(Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1

: 250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor , skala 1:

100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi, Leuwiliang, dan Serang, skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998).

Kegiatan pengamatan lapang dilakukan untuk menentukan pedon pewakil.

Kegiatan pengamatan diawali dengan melakukan pemboran tanah dan pembuatan

mini pit, dan akhirnya menentukan titik pedon yang memenuhi syarat sebagai pewakil. Pedon pewakil yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, adalah yang

memiliki horison penimbunan liat (Bt) dan berkembang dari bahan induk batuan

sedimen dan/atau bahan volkanik, serta mempunyai regim kelembaban akuik,

perudik/udik, atau ustik. Selanjutnya dilakukan pembuatan profil tanah, yang

(46)

28 mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993).

Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan

keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah

dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman

sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing -masing profil meliputi

semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi,

warna, karatan, selaput liat, dan kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan

lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil.

Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg , untuk

kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah. Contoh tanah utuh (tidak

terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode

deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam

topografi, dan informasi penunjang lainnya) didokumentasikan pada lembar isian

yang sudah disiapkan sebelumnya

Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat

tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi

tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili tanah.

Penelitian Laboratorium : (1) Analisis fisika dan kimia

Untuk keperluan analisis fisika dan kimia tanah digunakan contoh tanah

terganggu yang berasal dari masing-masing horison dari setiap pedon pewakil.

(47)

kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus <

2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang

[image:47.612.88.524.178.584.2]

dilakukan, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian.

No. Sifat tanah Metode Kegunaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tekstur C-Organik

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity)

Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd)

Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity) Besi Bebas (Fe2O3)

Mineral liat

Mineral pasir total

Mikromorfologi tanah

Pipet

Walkley and Black

1N NH4OAc, pH7

BaCl2-TEA, pH 8,2

1N NH4Oac, pH7

1 N KCl

Ditionit-sitrat- bikarbonat

X-ray Diffraction

Line counting

Irisan tipis (Bullock et al., 1985)

Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah

Genesis & Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah

Akumulasi besi, (Genesis tanah )

Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah )

Jenis mineral pasir (Genesis tanah)

Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah)

(2) Analisis mineralogi

Identifikasi mineral liat menggunakan analisa X-ray diffraction (XRD) dilakukan pada masing-masing contoh tanah terpilih, yang mewakili horison eluviasi dan iluviasi

maksimum dari setiap pedon pewakil. Analisis terhadap contoh liat dilakukan

menggunakan 4 perlakuan standar yaitu penjenuhan dengan kation (1) Mg, (2) Mg,

(48)

30 (3) Analisis Mikromorfologi

Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada

masing-masing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock

et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan

yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison

penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada

masing-masing pedon.

Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang

dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi

contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah

orientasi horizontal.

Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mi kromorfologi

lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan

halus dari ”soil fabric” dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric ( b-fabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985).

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif/kualitatif. Cara kualitatif dilakukan

terhadap data sifat-sifat horison penimbunan liat hasil pengamatan di lapang, data

sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi hasil analisis laboratorium horison

(49)

Lokasi Penelitian

Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

(pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan

AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2).

Geologi

Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta

geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa

dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : 500.000 (Direktorat Geologi, 1968), dan

Geologi Lembar Serang skala 1 : 100.000 (Rusmana et al., 1991) dan disajikan

pada Gambar 3 dan 4.

Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah

Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojon

Gambar

Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian.
Gambar  5. Lokasi Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi
Tabel 3. Data Curah Hujan (mm) Bulanan Daerah Sekitar Penelitian (Rata-rata 10 Tahun)
Tabel 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Klaim asuransi menurut PERATURAN DIREKSI AJB BUMIPUTERA 1912 NO.PE.2/DIR/TEK/2011 merupakan suatu tuntutan atas hak dari pemegang polis atau yang ditunjuk kepada

NO KETUA PENELITI INSTITUSI SKEMA JUDUL PROPOSAL PENELITIAN REVIEWER WAKTU DAN TEMPAT.. 1 ISHAFIT,

Cara menggiring bola yang dibenarkan adalah dengan satu tangan (kiri

gala),  khususnya  Wayang  Orang  sriwedari.  Tulisan  ini  meru- pakan  rangkuman  hasil  wawancara  dengan  seniman  Wayang  Orang  sriwedari,  yang  terdiri 

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah meningkatkan hasil belajar renang gaya dada melalui permainan triangle bagi siswa kelas VIII E di SMP Negeri

Secara singkat, leksem memiliki pengertian sebagai satuan terkecil dalam leksikon, satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis, bahan baku dalam

Hal inilah yang kemudian menyebabkan berbagai bentuk, perancangan teras dan koridor pada beberapa apartemen dan rumah susun ini menjadi sebuah medan pertaruhan nyawa bagi