KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON
PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI
BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH :
AFRA D. N. MAKALEW
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
ABSTRAK
AFRA D.N. MAKALEW.
Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat
yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh
SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan
SUBAGYO HARDJO-SUBROTO.
Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau
penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang
relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah
mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah
tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas
tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison
penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol
(70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian.
Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan
batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik).
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah
dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang
berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik
(andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat
dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol,
baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui
sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan
tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat,
batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik).
Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah
Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol,
dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2,
Pasircabe-Jonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang
(Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia,
mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison
penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria
dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003).
kedalaman 19 cm. Sedangkan ketebalan horison kambik paling tebal terdapat
pada pedon AM1 dan AM3 yang berkembang dari batuliat, yakni 120 cm. Paling
tipis dijumpai pada pedon AM2 (perudik) yang berkembang dari batuliat, yakni 99
cm dari permukaan tanah. Rata-rata jumlah peningkatan liat total 48,9%,
merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang
berkembang dari bahan volkanik-dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang
berkembang dari batuliat sebesar 37,9%, volkanik-andesitik sebesar 34,4%.
Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada
pedon-pedon dari batukapur. Peningkatan liat total tersebut cenderung lebih tinggi pada
pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. Hasil
pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat
(berdasarkan ada tidaknya laminasi) terlihat dengan urutan tingkat
perkembangan : dari sangat berkembang sampai kurang berkembang. Urutan
tingkat perkembangannya dari yang sangat
berkembang adalah bahan
iv
ABSTRACT
AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons
in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO
HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO
HARDJOSUBROTO.
A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10
pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic
rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay
accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical,
macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size
distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the
argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled
have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent
materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay
accumulation horizon,
i.e.
on the thickness, depth, position of maximum fine and
total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed
illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying
adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with
ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay
minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper
horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and
subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral
and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was
also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the
studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the
formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the
sedimentation processes . Some important results of this research showed that
(1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and
AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of
argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was
at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons
derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents,
i.e
.
48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%,
andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins
was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of
parent material together with other soil forming factors (climate and topography)
affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness
and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons
from the soil surface are the main properties that most related to management of
Alfisols, Ultisols, and Inceptisols.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
vi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul
Karakteristik
Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan
Sedimen dan Volkanik
adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2006
Afra Donatha Nimia Makalew
KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON
PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI
BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH :
AFRA D. N. MAKALEW
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
Judul
:
Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat
yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik
Nama
:
Afra Donatha Nimia Makalew
N r p
:
995032
Program Studi
:
Ilmu Tanah
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc
Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc
Ketua
Anggota
Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc
Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU
Anggota
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS
Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965
sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget
(Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992,
penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of
Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun 1993.
Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah
Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa
pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan
BPPS Dikti (Tahun 2000 – 2003).
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini
berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada
tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik.
Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi
Pembimbing
2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing
3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing
4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi
Pembimbing
5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB
6. Program Beasiswa BPPS-Dikti
7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi,
seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis
UMB Jakarta
8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB
9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB
10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan Fakultas Pertanian IPB
11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta
13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan
’99, dan rekan-rekan kelompok G-8
14. Orangtua, suami, dan anak-anak
Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan
informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA.………...…... x
DAFTAR TABEL.…….………..………...…... xii
DAFTAR GAMBAR ...………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN………... xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang..………... 1
Tujuan………...…... 4
Hipotesis.………... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Horison Penimbunan Liat……….………… 5
Genesis Horison Penimbunan Liat.……….……….. 9
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat………... 14
Bahan Induk Tanah.……..……….…...…... 18
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat.…..…... 20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu ..………...…... 25
Bahan Penelitian………...…... 28
Metodologi Penelitian………...…... 28
Analisis Data………...……... 31
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian... 33
Geologi... 33
Topografi... 36
Iklim... 37
Penggunaan Lahan... 38
Vegetasi... 40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Morfologi dan Fisika tanah...………... 42
Sifat Kimia Tanah...………....…... 56
Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat...………...… 75
Horison Diagnostik... 94
Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil... 104
Karakteristik Horison Argilik dan Kambik... 106
Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat... 121
KESIMPULAN DAN SARAN ….………. ... 124
DAFTAR PUSTAKA……….………... 126
xii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah
Pedon-Pedon Pewakil………...…. 25
2.
Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian 30
3.
Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun)
di daerah penelitian ... 39
4.
Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan
di daerah Kabupaten Bogor , diwakili stasiun Darmaga (259 dpl)
(1989-1999)... 40
5.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Batuliat... 43
6.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Batukapur...… 47
7.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik...……51
8.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil
yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...……53
9.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batuliat)…….………...………...57
10.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil (Batukapur)………..…….. ....63
11.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik……….………… ...67
12.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari
Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik....……….………...70
13.
Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi
14.
Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum
setiap Pedon Pewakil...79
15.
Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan
Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil…………..…… 94
16.
Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta
Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat
(Argilik)...98
17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada
Masing-masing Pedon Pewakil………...99
18.
Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing
Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10………101
19.
Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria
Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada
Pedon Pewakil... ...103
20.
Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya………..……..104
21.
Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada
Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil...109
xiv
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor...26
2.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang………...27
3.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)...………..…………34
4.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)...………35
5.
Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi...37
6.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari ...60
7.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari ...64
8.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan
Volkanik-Andesitik...68
9.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada
Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...72
10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat …...…..…...81
10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat ...…..…...81
11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….….82
11b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat...……….…82
12b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat...………..…...83
13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB)
Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…...85
13b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur...………..…..85
14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..…...86
14b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur...………..….86
15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur...………..….87
15b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2)
Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur...………..…...87
16a. HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89
16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik………...….89
17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik..…………....….90
17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.…………....…..90
18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...…………....….91
18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3)
Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………....…92
19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap)
Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...………..93
19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4)
xvi
20.
Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4
dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik–Andesitik...101
21.
Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang
Berkembang dari Bahan Volkanik – Dasitik ...102
22.
Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta
Batas Argilik (
Argillic line
) pada Pedon AM8 dan AM10...108
23.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari
Batuliat...111
24.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Deskripsi Profil Pedon AM1………... 131
2.
Deskripsi Profil Pedon AM2………... 132
3.
Deskripsi Profil Pedon AM3………... 133
4.
Deskripsi Profil Pedon AM4………... 134
5.
Deskripsi Profil Pedon AM5………... 135
6.
Deskripsi Profil Pedon AM6………... 136
7.
Deskripsi Profil Pedon AM7………... 137
8.
Deskripsi Profil Pedon AM8………...………... 138
9.
Deskripsi Profil Pedon AM9………... 139
10.
Deskripsi Profil Pedon AM10………... 140
11.
Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah...…...………... 142
11.1 Stasiun Cimulang... 142
11.2 Stasiun Pasirmaung...144
11.3 Stasiun Jonggol... 146
11.4 Stasiun Dramaga... 148
11.5 Stasiun Jasinga...150
PENDAHULUAN
Latar belakang
Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat
filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya.
Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya
atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah
dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat
yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay
skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam
identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan
horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk
mengklasifikasi dan interpretasi proses-proses yang dominan pada
pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan
liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik
termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu
horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses
pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003).
Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat
banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat
yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan
tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan
mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga
Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan
tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di
Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta
ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan
tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian
(Subagjo et al., 2003).
Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang
berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa
regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses
pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik
meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses
pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya
di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih
mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian
pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan
pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan
horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan
akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et
al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang
tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak
memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan
3
Tanah Alfisol dan Ultisol keduanya mempunyai horison
penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol
lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen
ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik,
dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik,
dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol.
Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat
horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi
pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut.
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai
horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun
demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik
pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan
genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk
sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard , 1985), pada
tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972).
Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah
Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain
oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (1986), serta Stolt dan
Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah
yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976). Tetapi
adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada
Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat
dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di
Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada
Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi
pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat
iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda
menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan
proses-proses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga
penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia
masih sangat kurang.
Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik
horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah
yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya
horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah
Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam
pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi
tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia.
Tujuan
(1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat
dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan
5
(2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan
proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol
yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik
pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan
dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun
Inceptisol.
Hipotesis
(1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan
pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan,
ketebalan, adanya tidaknya selaput liat maupun tingkat
perkembangannya.
(2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya
berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada
regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik.
(3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya
dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang
Definisi Horison Penimbunan Liat
Macam-macam horison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan
horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison
argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti
iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah
penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah
memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik
dan tidak ada selaput liat .
Horison Argilik
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa
horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai
dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat
dari horison di atasnya, dan (3) Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan
kandungan liat horison eluviasi.
Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu
horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut :
1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut :
(a) Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar
butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar,
berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan
minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari
seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau
6 horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan
gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15
cm atau lebih; dan
(b) Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa
salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang
menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi
berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada
wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka
rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2
kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan 2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi
(lithologic discontinuity) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison
iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di
dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut :
(a) Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah
halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka
horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat
lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau
(b) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung
liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus
mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison
(c) Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya
mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik
harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak
(misalnya 42 persen vs 50 persen).
Horison Kambik
Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses
alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau
merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut.
Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa
horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih.
Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari
lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus
memenuhi semua syarat berikut:
1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung,
atau yang lebih halus; dan
2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu
bentuk berikut :
a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah
didrainase, dan semua sifat berikut:
(1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan
pada lebih dari setengah volume tanah; dan
(2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara;
dan
(3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di
dalam matriks sebagai berikut:
8 (b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau
kurang; atau
(c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan
terdapat konsentrai redoks; atau
b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari
permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab,
sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta
memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada
lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih
sifat berikut:
(1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi,
warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi
dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau
horison yang berada di atasnya; atau
(2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat
atau gipsum; dan
3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon
antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau
fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik,
petrogipsik, placik, atau spodik; dan
4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap
(tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak
bersifat rapuh.
Genesis Horison Penimbunan Liat
Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik
ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang
relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu
lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian
basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol
mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu
35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam
125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa
(berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman
180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan
kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah.
Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen
maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah
Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik),
dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari
permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar
atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan
horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada
kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas
horison argilik, lebih kecil dari 35%.
Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang
terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses
tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan,
ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap
tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada
tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses
10 perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi,
serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin
akan berpengaruh pada pengelolaan tanah.
Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana
tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison
argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering
tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang
ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980).
Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison
argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1)
eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga
tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi
butir-butir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari
lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi (pengendapan) liat di
lapisan bawah (Buol et al., 1980)
Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat
menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran
iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi
disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya
terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2)
terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.
Dispersi
Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam
suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu
bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga
liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik,
bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya
penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980).
Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat
seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari
permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol
perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama
dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas
menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai
flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat
dibebaskan.
Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat
lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di
lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah,
karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral
yang mudah lapuk.
Translokasi
Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis
pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler.
Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung
tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam
12 dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara
kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah,
akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen.
Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah.
Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan
lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding
dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu
juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah
berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik,
sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan
air dan proses pemindahan liat.
Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison
lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari
liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga
kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah
dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa
membentuk partikel yang berukuran liat.
Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam
tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s
pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka
perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi.
Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan
pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan
Pengendapan
Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi
tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2)
butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air
perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat;
(4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di
horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam,
kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak,
apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses
pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan
mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara
periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian
tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur
tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter,
agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan
menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal
dengan selaput liat (clay skin).
Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat
berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput
14 Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat
Tanah Ultisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ekspresi sifat-sifat
mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara
keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk
translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh
partikel iluviasi.
Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan
kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol
berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison
iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan
dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi,
dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori
diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan
dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di
antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids. Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai
pengisi pada pori yang berukuran kecil.
Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison
B, seringkali dalam bentuk microlaminated yang secara umum bentuk laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna
interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan
plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna
plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah
lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit.
Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah
berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna
pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi,
maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari
argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna
interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat.
Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/
mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang
pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah
yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna
kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan
merupakan bentuk eksternal yang fleksibel (dapat membengkok) dan
memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.
Tanah Alfisol
Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan
mikromorfologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol
berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir,
16 teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat,
tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang
memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat
yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi.
Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran
partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan
bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan
mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini
adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang
sangat jelas dengan matriks tanah.
Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah
dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya
kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat
terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968)
mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa,
komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada
horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada
permukaan ped dan sekitar lubang akar.
Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat
buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak
baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit,
sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik.
Tanah Inceptisol
Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut,
maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun
sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan
kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk
keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai
berikut:
Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur
struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur.
Ditemukan pula struktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat
porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular.
Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya
adalah tubular.
Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada
tanah-tanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang
mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam
Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang
membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan
pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.
Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat
yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya
18 berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen
lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric. Bahan Induk Tanah
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat
penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada
waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling
dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk
dan potensinya untuk pertanian.
Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah
yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya
kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan
liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral
yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan
terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila
bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada
horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka
permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama.
Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk
volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen batuan volkanik dan biotit menjadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur
pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru
(neoformation).
Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah
pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan
horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral
liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di
daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan
tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit.
Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan
induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai
lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult,
Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf.
Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan
sekitarnya) Witja ksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf
dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 cm), mineral
yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada
tanah-tanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih
sangatlah terbatas.
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat Tanah Alfisol
Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan.
Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison
B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan
feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus
sehingga menyebabkan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding
horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus
20 Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison
eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di
horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama
terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan
bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang
terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan
sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan
struktur yang jelas.
Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada
tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum
mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun
koloid-koloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada
permukaan struktur, di dala m pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell
(1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya
menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang
horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya
mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak
mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut
tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus
memiliki selaput liat.
Tanah Ultisol
Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses
pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui
Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak
memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus,
mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang
berasal dari subtropik.
Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan
berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya
kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan
proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna
terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang
menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses
mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik.
Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang
berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap
berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4OAc) biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik.
Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi
epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran
dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan
bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah
kation) yang cukup rendah (< 35%).
Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol
adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180
cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila
tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman
tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif
22 mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan
tanah.
Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah
plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di
Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al. (1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang,
umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi pembasahan dan pengeringan yang berulang, beberapa dari bercak merah
tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak
pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada
kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit
dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang
dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume
horison tanah.
Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang
berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi
sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi
baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti
bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa
adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan
pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968); Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas.
Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya
horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan.
Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat
Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara
berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas
horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke
horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter.
Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang
ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi
seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi
mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol.
Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah
Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol
Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan
berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang
dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol); dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik
diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang
berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1,
Gambar 2) diambil di desa Cipocok. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium
Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan
di Labortorium Tanah, Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai
pada bulan Juni 2003 – Juni 2004.
Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon Pewakil.
No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban
Tanah AM1 AM2 AM3 AM4 AM5 AM6 AM7 AM8 AM9 AM10
Kabupaten Bogor : Cendali Cijayanti-1 Cijayanti-2 Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Pasircabe-Jonggol Jasinga Ciampea
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah
Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison.
Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan
induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di
daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau
Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang
mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik.
Metodologi Penelitian Penelitian Lapangan
Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan
pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta
Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: 50.000
(Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1
: 250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor , skala 1:
100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi, Leuwiliang, dan Serang, skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998).
Kegiatan pengamatan lapang dilakukan untuk menentukan pedon pewakil.
Kegiatan pengamatan diawali dengan melakukan pemboran tanah dan pembuatan
mini pit, dan akhirnya menentukan titik pedon yang memenuhi syarat sebagai pewakil. Pedon pewakil yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, adalah yang
memiliki horison penimbunan liat (Bt) dan berkembang dari bahan induk batuan
sedimen dan/atau bahan volkanik, serta mempunyai regim kelembaban akuik,
perudik/udik, atau ustik. Selanjutnya dilakukan pembuatan profil tanah, yang
28 mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993).
Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan
keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah
dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman
sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing -masing profil meliputi
semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi,
warna, karatan, selaput liat, dan kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan
lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil.
Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg , untuk
kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah. Contoh tanah utuh (tidak
terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode
deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam
topografi, dan informasi penunjang lainnya) didokumentasikan pada lembar isian
yang sudah disiapkan sebelumnya
Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat
tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi
tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili tanah.
Penelitian Laboratorium : (1) Analisis fisika dan kimia
Untuk keperluan analisis fisika dan kimia tanah digunakan contoh tanah
terganggu yang berasal dari masing-masing horison dari setiap pedon pewakil.
kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus <
2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang
[image:47.612.88.524.178.584.2]dilakukan, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian.
No. Sifat tanah Metode Kegunaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tekstur C-Organik
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity)
Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd)
Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity) Besi Bebas (Fe2O3)
Mineral liat
Mineral pasir total
Mikromorfologi tanah
Pipet
Walkley and Black
1N NH4OAc, pH7
BaCl2-TEA, pH 8,2
1N NH4Oac, pH7
1 N KCl
Ditionit-sitrat- bikarbonat
X-ray Diffraction
Line counting
Irisan tipis (Bullock et al., 1985)
Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah
Genesis & Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Klasifikasi tanah
Akumulasi besi, (Genesis tanah )
Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah )
Jenis mineral pasir (Genesis tanah)
Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah)
(2) Analisis mineralogi
Identifikasi mineral liat menggunakan analisa X-ray diffraction (XRD) dilakukan pada masing-masing contoh tanah terpilih, yang mewakili horison eluviasi dan iluviasi
maksimum dari setiap pedon pewakil. Analisis terhadap contoh liat dilakukan
menggunakan 4 perlakuan standar yaitu penjenuhan dengan kation (1) Mg, (2) Mg,
30 (3) Analisis Mikromorfologi
Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada
masing-masing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock
et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan
yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison
penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada
masing-masing pedon.
Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang
dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi
contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah
orientasi horizontal.
Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mi kromorfologi
lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan
halus dari ”soil fabric” dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric ( b-fabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985).
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif/kualitatif. Cara kualitatif dilakukan
terhadap data sifat-sifat horison penimbunan liat hasil pengamatan di lapang, data
sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi hasil analisis laboratorium horison
Lokasi Penelitian
Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
(pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan
AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2).
Geologi
Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta
geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa
dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : 500.000 (Direktorat Geologi, 1968), dan
Geologi Lembar Serang skala 1 : 100.000 (Rusmana et al., 1991) dan disajikan
pada Gambar 3 dan 4.
Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah
Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojon