PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus(L.)Merr.)
DALAM RANSUMNYA
SKRIPSI
MAHARENI SEPTYANA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
MAHARENI SEPTYANA. D24104044. 2008. Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Widya Hermana, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.
Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting untuk fungsi reproduksi (Subekti, 2007). Pemberian tepung daun katuk pada ayam petelur sampai dengan 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum dan produksi telur. Nilai konversi pada ayam petelur terbaik dicapai pada pemberian tepung daun katuk sebesar 15% (Ibrahim, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap performa itik petelur lokal. Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal sebanyak 48 ekor yang siap bertelur dengan umur 20 minggu. Itik dipelihara selama 6 minggu. Perlakuan dibedakan berdasarkan level pemberian tepung daun katuk dalam ransum, yakni R1 (ransum tanpa tepung dun katuk), R2 (ransum mengandung 5% tepung daun katuk), R3 (ransum mengandung 10% tepung daun katuk), dan R4 (ransum mengandung 15% tepung daun katuk). Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai Juni 2007, bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, empat ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari tiga ekor itik. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk sebesar 15% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konsumsi ransum dan konversi ransum, dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Pemberian tepung daun katuk 10% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konversi pakan dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Ransum perlakuan tidak mempengaruhi bobot telur. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tepung daun katuk dapat diberikan dalam ransum sebesar 5% pada itik petelur lokal tanpa mempengaruhi performa.
ABSTRACT
Effect of Feeding Katuk Leaf Meal (Sauropus androgynus (L.) Merr.) in the Diet on the Performances of Local Laying Ducks
M. Septyana, W. Hermana, Sumiati
Sauropus androgynus (L.) Merr. is known to contain protein, beta carotene, vitamin C, and vitamin E that important to improve the reproduction function (Subekti, 2007). Feeding katuk leaf meal increased the feed consumption and egg production of laying hens. The best feed conversion of laying hen was obtained from the diet contained 15% katuk leaf meal (Ibrahim, 2004). This research was carried out from February 2007 until June 2007 in Poultry Nutrition Laboratory, Departemen of Nutrition and Feed Technology, Bogor Agricultural University. This research was aimed to study the effect of using katuk leaf meal in the diet on performances of local ducks. Forty-eight layer local ducks (Anas domesticus) of 21 weeks old were divided into 4 treatment groups with 4 replications and 3 local ducks of each. The ducks were raised during 6 weeks. The treatments were: R1 (diet without katuk leaf meal), R2 (diet contained 5% katuk leaf meal), R3 (diet contained 10% katuk leaf meal) and R4 (diet contained 15% katuk leaf meal). The research used Completely Randomized Design. The data were analyzed using ANOVA and any significant difference was further tested using Duncan’s multiple range test. Feeding 15% katuk leaf meal significantly decreased (p<0.05) feed consumption and feed conversion, and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. Feeding 10% katuk leaf meal significantly decreased the feed conversion and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. The treatments did not effect the egg weight. It is concluced that katuk leaf meal can be used 5% in the layer ducks diet without interfere the performances.
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
DALAM RANSUMNYA
MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
DALAM RANSUMNYA
Oleh :
MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 Juni 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir.Widya Hermana,MSi. Dr. Ir. Sumiati,MSc. NIP.131 999 586 NIP.131 624 182
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul, 5 September 1985 dari pasangan
Drs.Suratmaningrum dan Andriyani. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Pendidikan dasar dimulai dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Imogiri 3 yang
diselesaikan pada tahun 1998, kemudian dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) Negeri 1 Imogiri yang diselesaikan pada tahun 2001 dan penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1Bantul pada tahun 2004.
Diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2004, dan
terdaftar pada program studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis pernah menjadi panitia Olimpiade
Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2005, anggota Biro Kreatifitas Ilmiah Himpunan Profesi
Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak periode 2006-2007. Penulis mengikuti program
magang di PT. Charoen Phokpand yang bekerjasama dengan IPB dan di Koperasi
Produksi Susu (KPS), Bogor. Selain itu penulis juga menjadi salah satu pengajar di
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga studi, penelitian,
seminar dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan dan pemimpin umat akhir jaman, Rasulullah
Muhammad SAW.
Skripsi ini berjudul ” Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya ”. Penelitian dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, selama 4 bulan yang
dimulai dari tanggal 23 Februari 2007 sampai 15 Juni 2007. Persiapan dimulai dari
penulisan proposal, pembuatan tepung daun katuk, perkandangan dilanjutkan dengan
pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk
mengetahui respon pemberian tepung daun katuk dalam ransum terhadap performa itik
petelur lokal.
Tak lupa ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang yang mampu membalasnya. Kami memahami bahwa dalam penulisan hasil
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu besar harapan kami adanya sumbangan
pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya tulis ini
bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amalan shaleh.
Amien.
Bogor, Juni 2008
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBARAN PERNYATAAN... iv
LEMBARAN PENGESAHAN ... v
Rancangan Percobaan ... 15
Pembuatan Tepung Daun Katuk... 15
Pembuatan Ransum Perlakuan ... 16
Peubah yang Diamati ... 17
Prosedur ... 18
Pemeliharaan ... 18
Cara Pemberian Pakan ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
Konsumsi Ransum... 19
Konsumsi Energi Metabolis ... 22
Konsumsi Protein ... 23
Produksi Telur Duck day... 24
Produksi Massa Telur ... 26
Bobot Telur... 27
Konversi Ransum ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan... 32
Saran ... 32
UCAPAN TERIMA KASIH ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Senyawa Kimia Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya
Terhadap Fungsi Fisiologis di Dalam Jaringan ... 6
2. Komposisi, Harga Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Itik Periode Layer Berdasarkan Perhitungan ... 14
3. Komposisi Nutrien Tepung Daun Katuk ... 16
4. Kandungan Tanin dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Katuk... 19
5. Rataan Konsumsi Ransum Itik Penelitian dengan Penambahan Tepung Daun Katuk Selama 6 Minggu Penelitian... 20
6. Rataan Konsumsi Tanin Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian 21
7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis Ransum Selama 6 Minggu Penelitian... 23
8. Rataan Konsumsi Protein Ransum Selama 6 Minggu Penelitian 24
9. Rataan Produksi Telur Duck day Selama 6 Minggu Penelitian... 25
10. Rataan Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian... 27
11. Rataan Berat Telur pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian 28
12. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian... 29
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus(L.)Merr.)
DALAM RANSUMNYA
SKRIPSI
MAHARENI SEPTYANA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
MAHARENI SEPTYANA. D24104044. 2008. Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Widya Hermana, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.
Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting untuk fungsi reproduksi (Subekti, 2007). Pemberian tepung daun katuk pada ayam petelur sampai dengan 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum dan produksi telur. Nilai konversi pada ayam petelur terbaik dicapai pada pemberian tepung daun katuk sebesar 15% (Ibrahim, 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap performa itik petelur lokal. Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal sebanyak 48 ekor yang siap bertelur dengan umur 20 minggu. Itik dipelihara selama 6 minggu. Perlakuan dibedakan berdasarkan level pemberian tepung daun katuk dalam ransum, yakni R1 (ransum tanpa tepung dun katuk), R2 (ransum mengandung 5% tepung daun katuk), R3 (ransum mengandung 10% tepung daun katuk), dan R4 (ransum mengandung 15% tepung daun katuk). Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai Juni 2007, bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, empat ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari tiga ekor itik. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan ANOVA dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk sebesar 15% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konsumsi ransum dan konversi ransum, dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Pemberian tepung daun katuk 10% dalam ransum nyata (p<0,05) menurunkan konversi pakan dan sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duck day. Ransum perlakuan tidak mempengaruhi bobot telur. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tepung daun katuk dapat diberikan dalam ransum sebesar 5% pada itik petelur lokal tanpa mempengaruhi performa.
ABSTRACT
Effect of Feeding Katuk Leaf Meal (Sauropus androgynus (L.) Merr.) in the Diet on the Performances of Local Laying Ducks
M. Septyana, W. Hermana, Sumiati
Sauropus androgynus (L.) Merr. is known to contain protein, beta carotene, vitamin C, and vitamin E that important to improve the reproduction function (Subekti, 2007). Feeding katuk leaf meal increased the feed consumption and egg production of laying hens. The best feed conversion of laying hen was obtained from the diet contained 15% katuk leaf meal (Ibrahim, 2004). This research was carried out from February 2007 until June 2007 in Poultry Nutrition Laboratory, Departemen of Nutrition and Feed Technology, Bogor Agricultural University. This research was aimed to study the effect of using katuk leaf meal in the diet on performances of local ducks. Forty-eight layer local ducks (Anas domesticus) of 21 weeks old were divided into 4 treatment groups with 4 replications and 3 local ducks of each. The ducks were raised during 6 weeks. The treatments were: R1 (diet without katuk leaf meal), R2 (diet contained 5% katuk leaf meal), R3 (diet contained 10% katuk leaf meal) and R4 (diet contained 15% katuk leaf meal). The research used Completely Randomized Design. The data were analyzed using ANOVA and any significant difference was further tested using Duncan’s multiple range test. Feeding 15% katuk leaf meal significantly decreased (p<0.05) feed consumption and feed conversion, and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. Feeding 10% katuk leaf meal significantly decreased the feed conversion and highly significantly decreased (P<0.01) the duckday production. The treatments did not effect the egg weight. It is concluced that katuk leaf meal can be used 5% in the layer ducks diet without interfere the performances.
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
DALAM RANSUMNYA
MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PERFORMA ITIK PETELUR LOKAL DENGAN PEMBERIAN
TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
DALAM RANSUMNYA
Oleh :
MAHARENI SEPTYANA D24104044
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 Juni 2008
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir.Widya Hermana,MSi. Dr. Ir. Sumiati,MSc. NIP.131 999 586 NIP.131 624 182
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul, 5 September 1985 dari pasangan
Drs.Suratmaningrum dan Andriyani. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Pendidikan dasar dimulai dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Imogiri 3 yang
diselesaikan pada tahun 1998, kemudian dilanjutkan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) Negeri 1 Imogiri yang diselesaikan pada tahun 2001 dan penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1Bantul pada tahun 2004.
Diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui program USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2004, dan
terdaftar pada program studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis pernah menjadi panitia Olimpiade
Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2005, anggota Biro Kreatifitas Ilmiah Himpunan Profesi
Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak periode 2006-2007. Penulis mengikuti program
magang di PT. Charoen Phokpand yang bekerjasama dengan IPB dan di Koperasi
Produksi Susu (KPS), Bogor. Selain itu penulis juga menjadi salah satu pengajar di
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga studi, penelitian,
seminar dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan dan pemimpin umat akhir jaman, Rasulullah
Muhammad SAW.
Skripsi ini berjudul ” Performa Itik Petelur Lokal dengan Pemberian Tepung Daun
Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dalam Ransumnya ”. Penelitian dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, selama 4 bulan yang
dimulai dari tanggal 23 Februari 2007 sampai 15 Juni 2007. Persiapan dimulai dari
penulisan proposal, pembuatan tepung daun katuk, perkandangan dilanjutkan dengan
pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk
mengetahui respon pemberian tepung daun katuk dalam ransum terhadap performa itik
petelur lokal.
Tak lupa ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut
membantu penyusunan karya ilmiah ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang yang mampu membalasnya. Kami memahami bahwa dalam penulisan hasil
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu besar harapan kami adanya sumbangan
pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya tulis ini
bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amalan shaleh.
Amien.
Bogor, Juni 2008
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBARAN PERNYATAAN... iv
LEMBARAN PENGESAHAN ... v
Rancangan Percobaan ... 15
Pembuatan Tepung Daun Katuk... 15
Pembuatan Ransum Perlakuan ... 16
Peubah yang Diamati ... 17
Prosedur ... 18
Pemeliharaan ... 18
Cara Pemberian Pakan ... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19
Konsumsi Ransum... 19
Konsumsi Energi Metabolis ... 22
Konsumsi Protein ... 23
Produksi Telur Duck day... 24
Produksi Massa Telur ... 26
Bobot Telur... 27
Konversi Ransum ... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
Kesimpulan... 32
Saran ... 32
UCAPAN TERIMA KASIH ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Senyawa Kimia Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya
Terhadap Fungsi Fisiologis di Dalam Jaringan ... 6
2. Komposisi, Harga Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Itik Periode Layer Berdasarkan Perhitungan ... 14
3. Komposisi Nutrien Tepung Daun Katuk ... 16
4. Kandungan Tanin dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Katuk... 19
5. Rataan Konsumsi Ransum Itik Penelitian dengan Penambahan Tepung Daun Katuk Selama 6 Minggu Penelitian... 20
6. Rataan Konsumsi Tanin Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian 21
7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis Ransum Selama 6 Minggu Penelitian... 23
8. Rataan Konsumsi Protein Ransum Selama 6 Minggu Penelitian 24
9. Rataan Produksi Telur Duck day Selama 6 Minggu Penelitian... 25
10. Rataan Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian... 27
11. Rataan Berat Telur pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian 28
12. Rataan Konversi Ransum pada Itik Penelitian terhadap Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Penelitian... 29
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Katuk... 3
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Sidik Ragam Konsumsi Ransum ... 38
2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Ransum ... 38
3. Sidik Ragam Produksi Telur Duck day(%) ... 38 4. Uji Jarak Duncan Produksi Telur Duck day (%) ... 38 5. Sidik Ragam Bobot Telur ... 39
6. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur... 39
7. Uji Jarak Duncan Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur.. 39
8. Sidik Ragam Konversi Ransum terhadap Jumlah Telur... 39
9. Konsumsi Ransum Itik Selama Masa Penelitian... 40
10.Produksi Telur Duck day Itik Selama Masa Penelitian ... 40 11.Bobot Telur Itik Selama Masa Penelitian... 40
12.Konversi Ransum Selama Masa penelitian ... 40
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani semakin meningkat sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan dan jumlah penduduk. Kemudahan dalam pemeliharan ternak unggas
dibandingkan ternak besar menjadi pilihan masyarakat, selain harganya yang relatif
murah dibandingkan sumber protein lainnya. Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat lebih memilih mengkonsumsi sumber protein hewani dari produk ternak
unggas.
Itik merupakan hewan monogastrik yang dapat dimanfaatkan daging dan
telurnya untuk dikonsumsi manusia. Itik umumnya mengalami masak kelamin pada
umur 20-22 minggu dan lama produksi sekitar 15 bulan. Itik merupakan penghasil
telur kedua terbesar setelah ayam ras dengan sumbangan sebesar 30-40% total
konsumsi telur di Indonesia (Suharno, 2002). Populasi itik pada tahun 2006 di
seluruh Indonesia mencapai 34.612.057 ekor dan mengalami kenaikan (6,81%)
dibandingkan tahun 2005 dengan jumlah populasi sebanyak 32.405.428 ekor.
Produksi telur itik tahun 2007 sebesar 202.481 (angka sementara) butir, mengalami
kenaikan sebesar 4,57% bila dibandingkan dengan produksi telur tahun 2006 yaitu
sebesar 193.630 butir (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007).
Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan sayuran yang bergizi
dengan kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting
untuk fungsi reproduksi (Subekti, 2007). Daun katuk umumnya digunakan sebagai
sayuran yang dapat memperlancar sekresi air susu ibu, selain itu digunakan sebagi
obat bisul dan demam. Penelitian oleh para ahli untuk mengetahui potensi katuk
sebagai bahan makanan ternak telah banyak dilakukan, daun katuk diberikan sebagai
pakan tambahan untuk sapi perah dengan tujuan meningkatkan produksi susu,
pemberian daun katuk pada ternak unggas seperti ayam broiler, ayam petelur serta
puyuh telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas produksi karkas dan telur.
Pemerintahan Kota Bogor (2008) melaporkan persentase capaian panen terhadap
target panen selama satu tahun (sampai dengan Desember 2003). Adapun persentase
capaian panen terhadap target panen sampai dengan bulan Desember 2003 adalah
sebagai berikut, padi 163,36%, palawija 161,17%, sayuran 95,34%, dengan produksi
total katuk sebanyak 13,56% (1.125 ton).
Penggunaan tepung daun katuk dalam ransum ternak itik diharapkan karena
adanya senyawa androstan-17-one-3-ethyl-3-hidroxy-5-alpha yang terkandung
dalam daun katuk dapat meningkatkan fungsi hormon reproduksi sehingga
meningkatkan produksi telur.
Perumusan Masalah
Peningkatan kebutuhan akan protein hewani harus ditunjang dengan
produktivitas dari ternaknya. Hal ini harus didukung dengan ketersedian pakan yang
mencukupi. Ketersediaan daun katuk yang cukup melimpah serta tersedia sepanjang
tahun menjadi salah satu pertimbangan mengapa daun katuk dipergunakan sebagai
bahan campuran dalam pakan. Daun katuk mengandung senyawa aktif
androstan-17-one-3-ethyl-3-hidroxy-5-alpha (Saragih, 2005) yang mampu memacu sintesis hormon reproduksi sehingga dapat meningkatkan produksi telur. Diharapkan dengan
pemberian tepung daun katuk dalam ransum dapat memperbaiki produktivitas itik.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon pemberian tepung daun
katuk dengan taraf 0%, 5%, 10% dan 15% dalam ransum terhadap performa itik
petelur lokal.
TINJAUAN PUSTAKA
Daun Katuk
Taksonomi
Katuk atau Sauropus androgynus (L.) Merr., merupakan tanaman yang dapat tumbuh tinggi hingga mencapai 2-3 m, termasuk famili Euphorbiceae
(Puspaningtyas et al. 1997). Daun katuk berbentuk lonjong hingga bulat. Bagian daun dan pucuk batang termasuk salah satu sayuran yang digemari dan dianjurkan
untuk dikonsumsi para ibu yang sedang menyusui.
Taksonomi tanaman katuk menurut Hsuan (1989), dapat diklasifikasikan
sebagai berikut
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Klass : Dictyledoneae
Ordo : Geraniles
Famili : Euphorbiceae
Sub famili : Phyllonthoideae
Genus : Phyllanth
Spesies : Sauropus
Varietas : Sauropus androgynus L. Merr
Gambar 1. Daun Katuk
Menurut Muhlisah (2007), nama daerah untuk tanaman katuk adalah memata,
mata-mata, cekop, simasi (Sumatera); katu, babing, katukan (Jawa) dan kerakur
(Madura). Ciri fisik tanaman katuk yaitu tanaman dengan batang tumbuh tegak,
warna kehijauan saat muda, setelah tua berwarna kelabu keputihan, daunnya
merupakan daun majemuk yang berjumlah genap, bunganya berwarna putih semu
kemerahan dengan kelopak yang keras dan tumbuh di dataran rendah hingga 1.200 m
dpl. Tanaman ini banyak ditanam di kebun, ladang atau pekarangan dan digunakan
sebagai tanaman pagar.
Potensi Katuk
Katuk merupakan jenis tanaman tahunan yang setiap saat dapat dipetik, tidak
tergantung pada musim dan dapat dipanen lebih dari sepuluh kali selama
bertahun-tahun. Tanaman ini mudah ditanam, tahan gulma dan menghasilkan daun yang
banyak dalam waktu yang relatif singkat (Yuliani dan Mawarti, 1997).
Setyowati (1997) melaporkan bahwa hasil pencatatan distribusi geografi pada
material herbarium yang ada di Balitbang, penyebaran katuk di Indonesia dijumpai di
Jawa (Banyuwangi, Pekalongan, Rembang, Semarang, Prwokerto, Kediri, Pasuruan,
Surakarta, Bogor, Situbondo, Malang, Jepara, Tulungagung, Madiun, Pulau Bawean,
Madura); Sumatera (Jambi, Palembang, Sibolangit, Padang, Lampung, Bangka,
Pulau Enggano); Kalimantan (Aramba, Natuna, Pulau Bunguran); Kepulauan Sumba
(Sumbawa, Timor) dan Moluccas (Maluku, Ternate, Ambon).
Manfaat
Daun katuk berkhasiat dapat meningkatkan produksi dan kualitas air susu ibu
(ASI). Selain itu daun katuk juga bermanfaat sebagai pewarna makanan, sedangkan
akarnya dapat dipergunakan untuk obat demam, memperlancar air seni dan obat luar
frambusia (Sa’roni et al., 1997).
Daun katuk berkhasiat memperbanyak air susu, untuk demam, bisul, borok
dan darah kotor. Selain itu infus daun katuk dapat meningkatkan produksi air susu
pada mencit. Infus daun katuk dapat meningkatkan jumlah asi tiap lobulus kelenjar
susu mencit. Infus akar katuk mempunyai efek diuretik dengan dosis 72 mg/100 g
bb. Konsumsi sayur katuk oleh ibu menyusui dapat memperlama waktu menyusui
bayi. Proses perebusan daun katuk dapat menghilangkan sifat anti protozoa.
Pemberian infus daun katuk kadar 20%, 40%, dan 80% pada mencit selama periode
organogenesis tidak menyebabkan cacat bawaan (teratogenik) dan tidak
menyebabkan resorbsi. Jus daun katuk mentah digunakan sebagai pelangsing di
Taiwan (Aziz dan Muktningsih, 2006).
Zat Aktif
Katuk merupakan sayuran yang bergizi dengan kandungan protein sekitar
33,68% per 100 gram katuk kering (Aziz dan Muktningsih, 2006). Penapisan
fitokimia daun katuk mengandung sterol, alkaloid, flavonoid dan tanin. Analisis
dengan kromatografi gas dan spektrometri massa, ekstrak daun katuk mengandung
monometil suksinat, siklopentonal asetat, asam benzoat, asam fenil malonat,
2-pirolidinon dan metil piroglutamat (Sa’roni et al., 1997). Menurut hasil analisis yang
dilakukan oleh Aziz dan Muktiningsih, (2006) dalam 100 g daun katuk terkandung:
energi 59 kal, protein 6,4 g, lemak 1,0 g, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, abu 1,7 g,
kalsium 233 mg, fosfor 98 mg, besi 3,5 mg, karoten 10.020 mcg (vitamin A), B, dan
C 164 mg, serta air 81 g. Tanaman katuk dapat meningkatkan produksi ASI diduga
berdasarkan efek hormonal dari kandungan kimia sterol yang bersifat estrogenik.
Penelitian yang pernah dilakukan di Instansi dan Perguruan Tinggi di
Indonesia antara lain mencakup penelitian daun katuk untuk memperlancar air susu
dan pengaruh daun katuk terhadap gambaran histologi kelenjar susu pada mencit;
penelitian efek antipiretik akar katuk pada burung merpati; penelitian terhadap
senyawa kimia daun katuk serta keamanan infus daun katuk (Sa’roni et al., 1997).
Daun katuk mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Juana, 2008).
Suprayogi (2000a) melaporkan bahwa terdapat tujuh senyawa aktif utama di
dalam daun katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis, senyawa-senyawa
tersebut bekerja secara langsung maupun tidak langsung yaitu di dalam jaringan dan
secara bersamaan berkhasiat sebagai, pemacu produksi air susu, meningkatkan fungsi
pencernaan, meningkatkan pertumbuhan badan, pemicu jumlah darah, mengatasi
kelelahan, mengatasi penyakit pembuluh darah dan jantung serta mengatasi
gangguan reproduksi pada pria dan wanita. Senyawa aktif daun katuk tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.Suprayogi (2000b) menyatakan bahwa keracunan yang terjadi di
Taiwan sebagai akibat konsumsi daun katuk yang berlebih dalam bentuk jus pada
penggunaan jangka waktu yang lama. Hal ini terjadi karena adanya senyawa kimia
papaverine-like compound yang dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih.
Tabel 1. Senyawa Kimia Utama Tanaman Katuk dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Fisiologis di Dalam Jaringan
No Senyawa Aktif Pengaruhnya pada Fungsi Fisiologis
1*. octadecanoic acid 2*. 9-eicosine
3*. 5,8,11-heptadecatrienoic acid methyl ester
4*. 9,12,15- octadecatrienoic acid ethyl ethyl ester
5*. 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester
Sebagai prekursor dan terlibat dalam
biosintesis senyawa eicosanoids
(prostaglandin, prostacyclin, tromboxane,
6*. androstan-17-one, 3-ethyl-3 hydroxy-5-alpha
Sebagai senyawa prekursor atau lipoxin
dan leukatrines).Intermediate-step dalam
Sebagai eksogenus asam asetat dari
saluran pencernaan dan terlibat dalam
metabolisme sellar melalui siklus krebs.
Keterangan : (*) Senyawa 1-6 secara bersamaan memodulasi hormon-hormon laktogenesis dan laktasi
dan aktivitas fisiologis yang baik
Tanin
Tanin merupakan senyawa dengan bobot molekul tinggi yang mengandung
hidroksil dan beberapa komponen seperti karboksil yang mampu berikatan komplek
dengan protein dan beberapa makromineral lainnya pada kondisi lingkungan. Tanin
mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan komplek dengan protein, pati,
selulosa dan mineral. Tanin dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang dikandung
makanan dan pakan yang dikonsumsi hewan terdapat pada tanaman legum, rumput
dan buah yang belum masak. Tanin menyebabkan rasa mengkerut pada lidah karena
mampu berikatan dengan cairan saliva dalam mulut (Cannas, 2008). Struktur
senyawa kimia tanin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Senyawa Kimia Tanin (Cannas, 2008)
Tanin terdiri atas katekin, leukoantosianin,dan asam hidroksi yang
masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Tanin terdiri atas
dua kelompok, yaitu condensed tannin (tanin padat) dan hydrolizable tannin (tanin
yang dapat dihidrolisis). Kelompok condensed tannin merupakan tanin yang dapat
terkondensasi, tahan terhadap degradasi enzim pencernaan, tahan terhadap hidrolisis
asam, dimetilasi dengan penambahan methionin, selain itu tanin mempunyai struktur
senyawa kompleks dan banyak terkandung dalam biji shorgum. Jenis tanin ini
diperoleh dari kondensasi flavanol-flavanol seperti katekin dan epikatekin, tidak
mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat. Tanin yang dapat dihidrolisis
oleh asam alkali dan enzim, menghasilkan glukosa dan asam aromatik yaitu galat dan
asam ellagat, yang terdiri atas residu gula-gula (Widodo, 2002). Harborne (1987),
tanin terkondensasi tersebar luas dalam paku-pakuan, gimnospermae dan
angiospermae. Tanaman katuk termasuk kedalam Sub divisi Angiospermae, sehingga jenis tanin yang terkandung dalam daun katuk adalah tanin terkondensasi.
Efek negatif tanin dengan kadar dibawah 5% pada hewan monogastrik
menyebabkan penekanan pertumbuhan, penurunan penggunaan protein, merusak
dinding mukosa saluran pencernaan, mengurangi ekskresi beberapa kation dan
meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino essensial. Kandungan tanin
0,5-2% pada pakan unggas menyebabkan efek merugikan yaitu menekan
pertumbuhan dan produksi telur, sedangkan pada level 3-7% dapat menyebabkan
kematian (Cannas, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambula et al.
(2001) penurunan konsumsi terjadi pada ransum yang mengandung tanin sebesar
2,71-3,54%. Tanin sebesar 2,76% menyebabkan penurunan konsumsi sebesar 19,4%.
Menurut Widodo (2002), pemberian pakan yang mengandung tanin sebesar 0,33%
tidak membahayakan untuk unggas khususnya ayam. Apabila pemberian kadar tanin
mencapai 0,5% atau lebih menyebabkan penekanan pertumbuhan ayam, karena tanin
menekan retensi nitrogen dan penurunan daya cerna asam amino yang seharusnya
dapat diserap oleh vili-vili usus yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan bila mengkonsumsi
tanin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan yang berkurang karena rasa
pahit pada tanin, kaki tidak normal (pengkor) dan kemampuan memproduksi telur
berkurang.
Penggunaan Daun Katuk dalam Ransum Ternak
Penelitian Subekti (2003) pada ayam lokal menunjukan bahwa daun katuk
hingga 9% dalam ransum mampu meningkatkan kualitas telur dan karkas dengan
terjadinya penurunan kolesterol dan peningkatan vitamin A didalamnya. Saragih
(2005) melaporkan bahwa penambahan tepung daun katuk sebesar 15% pada ransum
ayam petelur dapat meningkatkan kualitas telur, konsentrasi karoten dan vitamin A
dalam telur, dan mampu menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas.
Penggunaan tepung daun katuk diatas 10% pada ayam petelur yang dipelihara
menyebabkan penurunan ketebalan kerabang telur, hal ini karena daun katuk dapat
mengganggu penyerapan kalsium.
Pemberian daun katuk hingga 10% dapat meningkatkan konsumsi ransum
dan produksi telur pada ayam petelur. Nilai konversi terbaik dicapai pada pemberian
tepung daun katuk sebesar 15% (Ibrahim, 2004). Santoso et al. (2001) melaporkan
bahwa menggunakan ekstrak daun katuk 4,5 gram/liter pada air minum ayam broiler
menghasilkan performa terbaik yang diindikasikan dengan rendahnya konversi
ransum dan tidak ditemukannya keabnormalitasan pada kaki ayam yang dipelihara.
Penelitian tersebut tidak ditemukan adanya kasus keracunan pada ayam, pengamatan
hati yang dilakukan terlihat bahwa warna hati kecoklatan dengan ukuran normal.
Wiradimaja (2007), menyatakan bahwa penggunaan tepung daun katuk 15% dalam
ransum puyuh menurunkan konsumsi ransum, bobot telur dan produksi telur hen day,
namun terjadi peningkatan pada pertambahan bobot badan puyuh. Selain itu puyuh
yang diberi ransum yang mengandung daun katuk menghasilkan konversi ransum
yang tidak efisien.
Itik Lokal
Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa itik lokal adalah keturunan dari tetua pendatang yang telah mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun masuk
tetua tersebut ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pengamatan di Jawa Barat, itik
lokal tersebut dikelompokkan menurut habitatnya, yaitu itik dataran rendah (Cirebon,
Karawang, Serang), itik gunung atau dataran tinggi (Cihateup) dan itik rawa (Alabio)
Itik yang dipelihara saat ini disebut Anas domesticus. Itik ini berasal dari domestikasi
itik liar (Anas moscha) atau Wild mallard (Suharno dan Setiawan, 1999). Taksonomi
itik dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Scanes et al., 2004) :
Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata
Klas : Aves Super ordo : Carinatae
Ordo : Anseriformes
Spesies : Anas platryhynchos (mallard dan domestik)
Itik bersifat omnivorus (pemakan segala) yaitu memakan bahan dari tumbuhan dan hewan seperti biji-bijian, rumput-rumputan, ikan, bekicot dan keong.
Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri kaki relatif lebih pendek
dibandingkan tubuhnya; jarinya mempunyai selaput renang; paruhnya ditutupi oleh
selaput halus yang sensitif; bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak; itik
memiliki lapisan lemak di bawah kulit; dagingnya tergolong gelap (dark meat);
tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 1999). Rasyaf (1993)
menyatakan bahwa itik merupakan unggas air yang dipelihara untuk diambil telurnya
yang mempunyai ciri-ciri umum; tubuh ramping, berjalan horizontal, berdiri hampir
tegak seperti botol dan lincah sebagai ciri unggas petelur.
Itik merupakan hewan monogamus atau hidup berpasangan yang biasa
diternakkan untuk diambil daging dan telurnya untuk dikonsumsi manusia. Itik lokal
yang terdapat di Indonesia umumnya merupakan itik tipe petelur, mengalami masak
kelamin pada umur 20-22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan
(Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).
Menurut Windhyarti (1999), itik dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe pedaging,
tipe petelur dan tipe hias (ornamental). Itik tipe pedaging misalnya itik Muscovy
(Anas moscata, itik manila), itik Peking dan itik Rouen. Itik ornamental contohnya
itik Blue Swedis. Itik tipe petelur antara lain Indian Runner (Anas javanica) yang terdiri dari itik Karawang, itik Mojosari, itik Tegal, itik Magelang, itik Bali (Anas
sp.), itik Alabio (Anas platurynchos borneo), itik khaki Campbell, itik CV 2000-INA
serta itik unggul lain yang merupakan hasil persilangan oleh pakar BPT
Ciawi-Bogor.
Konsumsi Ransum
Amrullah (2004), menyatakan bahwa untuk menduga besarnya konsumsi
ransum ternak unggas dengan mempergunakan data sebelumnya dan
memperhitungkan perubahan suhu lingkungan serta adanya faktor lain yang
mempengaruhi pada minggu berikutnya. Konsumsi minggu ini diketahui dari jumlah
ransum yang dikonsumsi selama minggu sekarang atau dengan cara menimbang
jumlah ransum yang diberikan dengan dikurangi sisa ransum.
Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum itik adalah kesehatan
itik, kandungan energi dalam ransum, macam bahan makanan dan kondisi ransum
yang diberikan, kebutuhan produksi dan hidup itik berdasarkan tingkat
pertumbuhannya serta selera dan metode pemberian pakan yang dipergunakan
peternak (Rasyaf, 1993). Amrullah (2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor
utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian ransum yaitu kandungan kalori
ransum dan suhu lingkungan.
Pemberian ransum dibagi menjadi tiga tingkatan usia, yaitu anak itik, itik
remaja dan itik yang sedang bertelur. Selama masa anak, itik mengkonsumsi ransum
sebesar 58,3 gram/ekor/hari, dimasa remaja menjadi 80 dan pada masa petelur
sebanyak 180 gram/ekor/hari (Rasyaf, 1993).
Produksi Telur
Produktivitas itik meliputi umur dewasa kelamin, kecepatan pertumbuhan
badan, produksi telur, ketahanan itik untuk terus bertelur dan kualitas telur (Muslim,
1992). Ransum dengan kualitas baik akan menghasilkan produksi yang tinggi dan
dapat dipertahankan sampai akhir masa produksi. Keadaan ini dapat dicapai bila
terjadi keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya seperti
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami usia masak
kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi selama 15 bulan. Itik
mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27-32 minggu (Muslim, 1992).
Produksi telur dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik yang mempengaruhi produksi telur adalah umur masak
kelamin, sedangkan faktor lingkungan adalah pakan, pemeliharaan, suhu lingkungan
dan kesehatan (Muslim, 1992).
Penilaian produktivitas telur dari sekelompok itik adalah dengan menghitung
produksi harian atau PTH (Produksi Telur Harian). Produktivitas telur baik bila nilai
PTH tersebut lebih dari 60%. Itik mempunyai nilai PTH tinggi bila dipelihara tidak
lebih dari umur 18 bulan (Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).
Bobot Telur
Bobot telur biasanya digunakan sebagai ukuran telur. Ada beberapa variasi
perbedaan ukuran telur, variasi ini disebabkan faktor genetik dan perbedaan
lingkungan. Menurut Siagian (1996), rataan bobot telur pertama dari itik Cirebon dan
Tegal masing-masing 51,01 gram/butir dan 51,07 gram/butir.
Bobot telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, bangsa, umur
dewasa kelamin, obat-obatan, zat nurisi, tingkat protein dalam ransum, cara
pemeliharaan dan suhu lingkungan (Anggorodi, 1985; Romanoff dan Romanoff,
1963). Selanjutnya Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa berat telur
akan bertambah sampai pada batas tertentu dan selanjutnya berat telur relatif
konstan.
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan
telur dalam ukuran yang sama. Konversi ransum tergantung pada jumlah pakan yang
dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan. Bila jumlah telur yang
dihasilkan banyak akan menyebabkan konversi pakan yang kecil bila dibandingkan
dengan itik yang berproduksi sedikit walaupun konsumsi dan bobot telur sama
(Zubaidah, 1991). Konversi ransum merupakan cara untuk mengukur efisiensi
penggunaan ransum yaitu perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada
waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau
jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama.
Konversi ransum untuk itik Alabio, CV 2000 dan silangannya yaitu Alabio
dengan CV 2000 serta CV 2000 dengan Alabio, masing-masing adalah 8,24; 7,08;
6,91 dan 5,79 pada umur 19 sampai 28 minggu, untuk itik yang sama pada umur 21
sampai 28 minggu mempunyai nilai konversi sebesar 6,7; 5,7; 5,55; dan 4,64
(Zubaidah, 1991). Konversi ransum dapat digunakan sebagai gambaran untuk
mengetahui tingkat efisiensi produksi. Angka konversi ransum menunjukan tingkat
efisiensi pakan, artinya jika angka konversi ransum semakin tinggi maka penggunaan
ransum kurang ekonomis dan sebaliknya. Anggorodi (1985) mengemukakan bahwa
konversi ransum merupakan indikator teknis yang dapat menggambarkan
penggunaan ransum. Angka konversi ransum akan membaik bila hubungan antara
energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Faktor-faktor yang berpengaruh
pada konversi pakan adalah produksi telur, kandungan energi dalam ransum, bobot
badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Juni 2007.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah itik lokal umur 20 minggu,
yang berasal dari peternak di daerah Parung, Bogor, sebanyak 48 ekor yang siap
bertelur dengan bobot badan 1.144-1.538 g. Itik tersebut dibagi secara acak ke dalam
4 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 3 ekor itik. Itik dipelihara
selama 6 minggu.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang cage sebanyak
16 petak. Setiap cage diberi satu tempat air minum dan tempat pakan bambu serta
kandang dilengkapi dengan sebuah lampu pijar 100 watt.
Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah timbangan, tempat pakan
dan minum yang terbuat dari bambu, egg tray, oven, ember, gayung, label,
termometer, gunting, kantong plastik, dan selang air.
Ransum
Ransum yang digunakan terdiri dari jagung, dedak, MBM, tepung ikan,
bungkil kedelai, minyak, CaCO3, L-lysin, Dl-methionin dan premiks. Komposisi
ransum yang digunakan disusun berdasarkan standar kebutuhan itik periode layer
menurut Leesons dan Summers (2005), yaitu dengan kandungan energi metabolis
2.850 kkal/kg dan protein 16%. Susunan dan kandungan nutrisi ransum disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi, Harga Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Itik
Harga Ransum (Rp/kg) 3.997,28 4.590,98 5.187,47 5.721,08
Kandungan nutrien ransum berdasarkan perhitungan :
R1 R2 R3 R4
Keterangan : (*) Harga bahan makanan bulan Mei 2008 (**) Tepung Daun Katuk
(**) Hasil pergitungan tanpa kandungan nutrisi daun katuk
Metode
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan empat macam ransum dengan tiga ulangan,
masing-masing ulangan terdiri dari tiga ekor itik. Perlakuan dibedakan berdasarkan
level pemberian tepung daun katuk yang berbeda dalam ransum, yakni :
R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk)
R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk
R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk
R4 = Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) empat
perlakuan, 3 ulangan dengan tiga ekor itik untuk setiap ulangan. Model matematika
dari rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993) :
Yij = µ + βi +
ε
ijKeterangan :
Yij =Respon percoban dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai rataan umum dari perlakuan βi = Efek perlakuan ke-i
ε
ij = Pengaruh error (galat) ke-i dan ulangan ke-jData yang diperoleh dianalisis secara stastitik dengan menggunakan ANOVA
dan jika menunjukan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.
Pembuatan Tepung Daun Katuk
Pembuatan tepung daun katuk dilakukan dengan cara pelayuan daun katuk
selama kurang lebih 24 jam di dalam ruangan (kering udara). Kemudian dikeringkan
dengan menggunakan oven bersuhu 60˚C selama 24 jam. Daun katuk yang cukup
kering kemudian digiling hingga halus. Tepung daun dianalisis kandungan
nutriennya dengan analisis proksimat, Ca, P dan energi bruto. Hasil analisis tepung
daun katuk dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Nutrien Tepung Daun Katuk*(As fed)
Energi Bruto (kkal/kg) 4.028
Energi Metabolis (kkal/kg)*** 1.610
Keterangan : (*) Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (2007).
(**) P non phytat = 0,3 x P total
(***) Hasil estimasi Energi Metabolis Berdasarkan NRC (1994), dengan rumus :
EM = 39,15DM-39,15ash-9,72CP-63,81CF
Pembuatan Ransum Perlakuan
Setiap bahan yang memiliki komposisi dalam jumlah besar yaitu jagung, bungkil
kedelai, dedak padi dan tepung ikan dimasukan ke dalam hopper. Kemudian bahan
tersebut diangkut melalui bucket elevator ke dalm mesin mixer, sedangkan
bahan-bahan dengan komposisi dalam jumlah kecil seperti CaCO3, minyak, MBM, premiks,
L-lysin dan Dl-methionin dimasukan langsung ke dalam mesin mixer. Selanjutnya
bahan-bahan tersebut mengalami proses pencampuran (mixing) selama 10 menit.
Bahan-bahan yang telah melalui mixing dikeluarkan ke dalam surge bin dan diangkut
oleh screw convenyor kemudian dimasukan ke dalam mesin pellet (pelleter).
Bahan-bahan yang telah masuk ke dalam mesin pellet mengalami proses
pemanfaatan melalui suatu lubang disebut die dan proses penekanan sampai akhirnya
terbentuk pellet. Pellet yang terbentuk kemudian dialirkan melalui bucket elevator ke
dalam mesin cooler ditempatkan ke dalam karung plastik yang kuat untuk menjaga
mutu pellet.
Peubah yang diamati
1. Konsumsi Ransum (gram/ekor/hari)
Konsumsi ransum dihitung dari selisih ransum yang diberikan setiap awal
minggu dengan sisa ransum pada akhir minggu.
2. Konsumsi Energi Metabolis (EM) (kkal/ekor/hari)
Konsumsi Energi Metabolis dihitung dari konsumsi pakan (gram/ekor/hari)
dikalikan dengan kandungan energi metabolis ransum penelitian.
3. Konsumsi Protein (gram/ekor/hari)
Konsumsi protein dihitung dari konsumsi pakan (gram/ekor/hari) dikalikan
dengan kandungan protein ransum penelitian.
4. Produksi Telur Duck Day (%)
Produksi Duck day dihitung dari jumlah telur yang diproduksi selama satu minggu dengan jumlah itik yang ada pada minggu tersebut.
5. Produksi Massa Telur (gram/ekor/hari)
Produksi massa telur itik dihitung dengan cara mengalikan produksi telur Duck
day (%) dengan bobot telur harian (gram/ekor/hari). 6. Bobot telur (gram/butir)
Bobot telur dihitung dari produksi telur itik/hari.
7. a. Konversi Ransum terhadap Produksi Massa Telur konsumsi ransum (gram/ekor/hari)
pro =
duksi massa telur (gram/ekor/hari)
Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat
total telur selama penelitian.
b. Konversi Ransum terhadap Jumlah Butir Telur
jumlah konsumsi ransum = jumlah butir telur
Konversi ransum dihitung berdasarkan dari jumlah ransum yang dikonsumsi
dengan jumlah telur yang diproduksi selama penelitian.
Prosedur
Pemeliharaan
Sebelum digunakan, kandang terlebih dahulu dibersihkan dan dilakukan
pengapuran. Itik ditimbang bobot badannya terlebih dahulu agar diketahui bobot
badan awal sebelum diberi perlakuan. Penimbangan bobot badan dilakukan untuk
digunakan dalam pengacakan perlakuan. Untuk mengurangi cekaman stres dan panas
diberi larutan Vita Stres baik sebelum dan sesudah penimbangan. Setiap hari
dilakukan kegiatan pembersihan yaitu pada kandang, tempat pakan dan tempat air
minum, serta pemberian pakan dan air minum. Penelitian dilakukan selama 6
minggu. Di akhir penelitian, penimbangan bobot badan kembali dilakukan untuk
mengetahui bobot badan akhir itik setelah diberi perlakuan.
Cara Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan sesuai kebutuhan hidup itik yaitu 150 gram/ekor/hari,
diberikan 2 kali yaitu pada jam 07.00 pagi dan jam 17.00 sore yang masing-masing
75 gram/ekor. Pakan diberikan dalam bentuk pellet pada tempat pakan yang tersedia.
Air minum diberikan ad libitum. Seminggu sekali dilakukan penimbangan sisa
pakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas itik terhadap ransum yang
diberikan. Salah satu faktor yang dipengaruhi palatabilitas adalah adanya anti nutrisi
yang terkandung dalam ransum. Daun katuk mengandung anti nutrisi yang bila
diberikan berlebih dapat menurunkan palatabilitas dan konsumsi ransum. Menurut
Arifin (2005), daun katuk mengandung zat-zat antinutrisi seperti tanin, saponin,
alkaloid dan flavonoid. Serbuk daun katuk muda mengandung tanin sebanyak 3,45%
dan 2,85% pada daun yang lebih tua. Jumlah tanin pada ransum yang mengandung
tepung daun katuk disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Tanin dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Katuk*
Perlakuan Kandungan Tanin (%)
Tepung Daun Katuk 5% (R2) 0,17
Tepung Daun Katuk 10% (R3) 0,35
Tepung Daun Katuk 15% (R4) 0,52
Keterangan : (*) Tanin yang Dihitung Hanya Berasal dari Tepung Daun Katuk
Pengaruh tanin tepung daun katuk terhadap palatabilitas itik dapat dilihat dari
penurunan konsumsi perlakuan pemberian tepung daun katuk 10% dan 15%
disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 5 rataan konsumsi pakan itik lokal selama
penelitian berkisar 113,64 sampai dengan 146,12 gram/ekor/hari. Konsumsi pakan
itik pada masa bertelur dengan kandungan protein 18% untuk itik Bali, Tegal dan
Mojosari berturut-turut adalah 147,5; 139,11 dan 136,43 gram/ekor/ hari. Ransum
dengan kandungan protein 16% untuk itik tersebut di atas, konsumsi ransum menjadi
147,10; 133,53 dan 134,33 gram/ekor/hari (Windhyarti, 1999). Itik penelitian
mendekati konsumsi ransum itik Tegal yang berkisar 133,53-139,11 gram/ekor/hari.
Pemberian tepung daun katuk 5% (R2) tidak mempengaruhi rataan konsumsi
ransum bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Hal ini menunjukkan bahwa level
pemberian tepung daun katuk 5% tidak menurunkan palatabilitas ransum.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Ransum Itik Penelitian dengan Penambahan Tepung Daun Katuk Selama 6 Minggu Penelitian
Perlakuan
Rataan 140,10a±6,02 138,09a±7,01 126,83ab±13,75 113,64b±15,63
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Pemberian 15% tepung daun katuk nyata (p<0,05) menurunkan konsumsi bila
dibandingkan dengan ransum kontrol (R1). Hal ini karena adanya kandungan
antinutrisi dari daun katuk yaitu tanin, ransum R4 mengandung tanin 0,52%. Tanin
merupakan faktor pembatas pada unggas (Santoso et al., 2001). Rataan konsumsi
tanin dalam ransum berkisar 22,82-58,81 gram/ekor/hari. Perlakuan R2 (pemberian
tepung daun katuk 5%) mengandung kadar tanin sebesar 0,17%. Kandungan tanin
tersebut masih dalam batasan normal, bila dibandingkan dengan perlakuan R3 dan
R4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ambula et al. (2001) penurunan
konsumsi terjadi pada ransum yang mengandung tanin sebesar 2,71-3,54%. Menurut
Widodo (2002) pemberian pakan pada ayam yang mengandung tanin sebesar 0,33%
tidak menyebabkan pengaruh negatif, tetapi apabila kadar tanin dalam pakan
mencapai 0,5% atau lebih akan mulai berpengaruh. Pengaruh dari tanin tersebut
antara lain penekanan pertumbuhan ayam dan penurunan daya cerna asam amino.
Besarnya konsumsi tanin dari masing-masing perlakuan dengan pemberian tepung
daun katuk disajikan dalam Tabel 6.
Efek negatif tanin dengan kadar dibawah 5% pada hewan monogastrik
menyebabkan penekanan pertumbuhan, penurunan penggunaan protein, merusak
dinding mukosa saluran pencernaan, mengurangi ekskresi beberapa kation dan
meningkatkan ekskresi protein dan beberapa asam amino essensial. Kandungan tanin
sebesar 0,5-2% pada pakan unggas menyebabkan efek merugikan yaitu menekan
pertumbuhan dan produksi telur sedangkan pada level 3-7% dapat menyebabkan
kematian (Cannas, 2008).
Penyebab tidak disukainya ransum diduga akibat adanya tanin pada tepung
daun katuk yang berinteraksi dengan protein dalam ludah dan glikoprotein yang
menyebabkan rasa mengkerut pada mulut, tanin mempunyai ikatan yang mampu
mengendapkan protein sehingga menurunkan daya cerna dan palatabilitas pakan
(Widodo, 2002). Menurut Appleby et al. (2004), perkembangan indra perasa pada
unggas cukup bagus, sehingga dapat merespon rasa yang berbeda pada ransum
terutama rasa asam dan pahit. Kedua rasa tersebut tidak disukai oleh unggas.
Tabel 6. Rataan Konsumsi Tanin Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian
Perlakuan
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05), R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Tabel 6 memperlihatkan bahwa konsumsi tanin meningkat seiring dengan
bertambahnya level pemberian tepung daun katuk dalam ransum perlakuan. Hal ini
menyebabkan tanin terakumulasi dalam tubuh itik. Efek negatif dari tanin yang
terakumulasi tersebut adalah menurunnya palatabilitas dan daya cerna ransum. Tanin
mempunyai kemampuan untuk mengendapkan protein, karena mengandung sejumlah
kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul protein dan menghasilkan
ikatan silang yang komplek yaitu protein-tanin. Mekanisme reaksi antara tanin dan
protein mampu membentuk ikatan yang kuat, yaitu (1) ikatan hidrogen dengan gugus
NH pada tanin dan gugus reseptornya. Misalnya antara NH dari tanin dengan gugus
OH pada protein; (2) ikatan ionik antara gugus anion dari tanin dengan gugus kation
pada protein; dan (3) ikatan cabang kovalen antara quinon pada tanin dengan
gugusan reaktif pada protein. Ikatan kovalen tersebut menyebabkan protein ransum
lebih cepat terikat dengan tanin saat mencapai saluran pencernaan dan menyebabkan
ransum sulit untuk dicerna oleh enzim-enzim pencernaan (Widodo, 2002).
Konsumsi Energi Metabolis
Kebutuhan energi, protein dan nutrien pada unggas sangat penting terutama,
karena digunakan untuk pembentukan telur. Menurut Rasyaf (1993), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum itik yaitu kesehatan itik, kandungan
energi dalam ransum, kebutuhan produksi dan hidup itik berdasarkan tingkat
pertumbuhannya. Konsumsi energi metabolis itik perlakuan disajikan pada Tabel 6.
Berdasarkan perhitungan, konsumsi energi metabolis itik berkisar 324,96
sampai dengan 399,54 kkal/ekor/hari. Menurut Lesson dan Summer (2001), standar
kebutuhan energi metabolisme itik penelitian berkisar 365,08 kkal/ekor/hari. Dengan
demikian konsumsi energi metabolis ransum penelitian dapat mencukupi kebutuhan
hidup pokok seekor itik, dan produksi telur. Akan tetapi konsumsi energi metabolis
pada perlakuan R4 lebih rendah bila dibandingkan dengan standar kebutuhan
sehingga berpengaruh terhadap produktivitas itik yaitu dengan menurunkan produksi
telurnya.
Hasil analasis ragam konsumsi energi perlakuan R4 (pemberian tepung daun
katuk 15%) nyata lebih kecil (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontrol (R1). Hal
ini disebabkan oleh rendahnya rataan konsumsi ransum pada perlakuan pemberian
tepung daun katuk 15%, hanya sebesar 113,64 gram/ekor/hari. Penyebab
menurunnya konsumsi ransum pada perlakuan R4 tersebut karena adanya tanin yang
mampu berinteraksi dan membentuk ikatan komplek dengan protein, pati, selulosa
dan mineral ransum. Tanin tersebut dapat mempengaruhi nilai nutrisi ransum yang
dikonsumsi ternak (Cannas, 2008). Cannas (2008) juga menyatakan bahwa tanin
dapat mengurangi konsumsi ransum yang menurunkan palatabilitas dan merusak
dinding mukosa saluran pencernaan. Penurunan palatabilitas ransum tersebut
disebabkan tanin berasa astrigent (berasa mengkerut pada mulut).
Konsumsi energi metabolis itik perlakuan R4 lebih rendah bila dibandingkan
dengan standar kebutuhan Lesson dan Summer (2001) disajikan di Tabel 7. Energi
dan protein yang dikonsumsi dipergunakan itik untuk hidup pokok, aktivitas dan
pembentukkan sebutir telur. Penurunan konsumsi energi metabolis akan berakibat
pada rendahnya produksi telur duck day yang dihasilkan.
Tabel 7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis pada Itik Penelitian Selama 6
Rataan 399,54a±17,17 393,87a±19,94 361,71ab±39,23 324,96b±44,60
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Konsumsi Protein
Kebutuhan protein unggas untuk mencapai performa yang optimum
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu lingkungan, jenis kelamin, spesies,
umur, kandungan energi metabolis dan keseimbangan asam amino ransum (Bell dan
Weaver, 2002). Menurut Daghir (1998), performa terbaik ayam dalam produksi telur,
produksi massa telur dan efisiensi ransum tercapai bila ayam diberi ransum tinggi
kandungan protein dan energi bila dibandingkan dengan ayam yang diberi pakan
rendah kandungan protein dan energi. Konsumsi protein itik penelitian disajikan
pada Tabel 8.
Menurut Lesson dan Summer (2001), standar kebutuhan protein itik penelitian
berkisar 20,7 gram/ekor/hari. Konsumsi protein penelitian berkisar 18,26-22,51
gram/ekor/hari. Konsumsi protein harian sangat diperlukan untuk seekor unggas
untuk mencukupi kebutuhan dalam pembentukan sebutir telur, kebutuhan hidup
pokok dan pertumbuhan bobot badan dan bulu (Lesson dan Summer, 2001).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsumsi protein perlakuan R4
nyata lebih rendah bila dibandingkan standar kebutuhan protein. Rendanya konsumsi
protein ini diduga karena adanya interaksi tanin dengan protein ransum. Interaksi
tanin dengan protein membentuk ikatan yang tahan terhadap degradasi enzim
protease, sehingga daya cerna protein ransum menjadi berkurang (Cannas, 2008).
Menurut Widodo (2002) ikatan hidrogen yang terbentuk antara hidroksi fenol dan
kelompok peptida membentuk ikatan silang antara rantai protein yang saling
berdekatan. Kemampuan oksidasi fenol dalam tanin menjadi quinon memberikan
kenaikan ikatan kovalen dengan epsilon asam-asam amino seperti lisin dan arginin
yang dapat meningkatkan daya tahan terhadap aksi bakteri, panas dan abrasi. Hal ini
menyebabkan ransum yang mengandung tanin memiliki daya cerna dan palatalitas
rendah.
Tabel 8. Rataan Konsumsi Protein pada Itik Penelitian Selama 6 Minggu Penelitian
Keterangan : Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda nyata (p<0,05). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Produksi Telur Duck day
Kemampuan produksi telur itik dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada
produktivitas itik adalah ransum. Konsumsi kandungan energi dan protein ransum
juga berperan dalam produksi telur, karena pembentukkan telur dihasilkan dari
besarnya konsumsi energi dan protein ransum (Brand et al., 2003). Rataan produksi
telur itik penelitian disajikan pada Tabel 9.
Itik Mojosari pertama kali bertelur pada umur 6 bulan, dengan produksi telur
70-80% per hari dari seluruh populasi saat mencapai umur 7 bulan. Itik Tegal
bertelur pertama kali pada umur 5,5-6 bulan, itik CV 2000-INA pada umur 21
minggu (5 bulan) dengan produksi sekitar 10% akan meningkat menjadi 70-80%
pada umur 24 minggu (Windhyarti, 1999).
Tabel 9. Rataan Produksi Telur Duck day pada Itik Penelitian Selama 6
Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01). R1 = Ransum Kontrol (tidak mengandung Tepung Daun Katuk); R2 = Ransum mengandung 5% Tepung Daun Katuk; R3 = Ransum mengandung 10% Tepung Daun Katuk; dan R4= Ransum mengandung 15% Tepung Daun Katuk.
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian tepung daun katuk 10%
dan 15% sangat nyata (P<0,01) menurunkan produksi telur duckday. Pemberian
tepung daun katuk sebesar 5% (R2) menghasilkan produksi telur yang sama dengan
itik kontrol (R1). Produksi telur duck day pada perlakuan R3 dan R4 nyata menurun
bila dibandingkan perlakuan R1 dan R2. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein yang dibutuhkan untuk pembentukkan telur pada kedua
perlakuan tersebut. Padahal asupan energi dan protein sangat berguna untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok, aktivitas harian dan produksi telur seekor itik.
Brand et al. (2003), menyatakan bahwa pembentukan telur dipengaruhi oleh besarnya konsumsi energi dan protein ransum. Bila ransum mengandung energi dan
protein dalam jumlah terbatas maka unggas berkompensasi mengurangi ukuran telur
dan jumlah telur dihasilkan, atau memperpanjang interval bertelur.
Konsumsi energi dan protein perlakuan R4 (pemberian 15% tepung daun
katuk) nyata lebih rendah (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontol (R1). Penurunan
konsumsi energi dan protein tersebut diduga karena adanya tanin dalam ransum yang
berinteraksi dengan protein, pati, selulosa, dan mineral yang dapat mempengaruhi
nilai nutrisi yang dikonsumsi oleh ternak (Cannas, 2008). Cannas (2008) juga
berpendapat bahwa tanin sebesar 0,5-2% pada ransum menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan menurunnya produksi telur.
Pengamatan penelitian pada minggu pertama hingga minggu keempat terlihat
bahwa, produksi telur duck day itik perlakuan pemberian tepung daun katuk 10%
(R3) dan perlakuan pemberian tepung daun katuk 15% (R4) masih belum stabil,
sedangkan pada minggu kelima sampai minggu keenam mengalami peningkatan
produksi telur duck day. Ketidakstabilan produksi telur ini diduga karena itik belum
beradaptasi dengan ransum perlakuan yang diberikan, sehingga itik menurunkan
konsumsi ransumnya. Rendahnya konsumsi ransum berakibat pada menurunnya
konsumsi energi dan protein ransum yang penting dipergunakan untuk mensintesis
sebutir telur. Dilaporkan oleh Prasetyo et al. (2003) tingkat produksi pada itik
persilangan Mojosari dan Alabio mengalami puncak produksi telur duck day pada
minggu ke-16 yang mencapai 93,7%.
Prasetyo et al. (2003), melaporkan rataan produksi telur duck day pertama dari minggu 1-4 untuk itik persilangan antara Mojosari dengan Alabio (MA),
persilangan antara Mojosari dengan Mojosari (MM) berurutan 15,0% dan 5,1% dan
untuk minggu 5-8 berurutan 52,1% dan 24,8%. Rataan produksi telur duck day dari
minggu 1-4 penelitian berkisar 7,14-29,17% lebih tinggi dari itik hasil persilangan
MA dan MM yang dipelihara oleh Prasetyo et al. (2003). Peningkatan rataan
produksi telur duck day itik penelitian terjadi pada minggu terakhir perlakuan
menjadi 9,62-32,44%.
Produksi Massa Telur
Produksi massa telur dipengaruhi oleh bobot telur itik dan jumlah produksi
telur duck day. Produksi massa telur merupakan cara menyatakan produksi telur dalam bentuk bobot yang didapat dari mengalikan jumlah butir telur dengan
bobotnya setiap periode (Hidayati, 1994). Menurut Bell dan Weaver (2002),
perhitungan output massa telur harian pada ayam petelur adalah mengalikan produksi
telur Hen day dengan rataan bobot telur dalam gram.
Penelitian Prasetyo et al. (2001) pada itik hasil persilangan Mojosari dan
Alabio dengan tingkat produksi telur sebesar 20,2% dan rataan bobot telur sebesar
58,5 gram/butir menghasilkan produkis massa telur sebesar 11,82 gram/ekor/hari.
Berdasarkan Tabel 10 rataan produksi massa telur itik selama penelitian sebesar 4,47
hingga 17,52 gram/ekor/hari. Rendahnya produksi massa telur itik, karena konsumsi
energi dan protein juga rendah (Tabel 7 dan 8). Menurut Brand et al. (2003),