• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ethnobiology of Tengger Society in Bromo Tengger Semeru East Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ethnobiology of Tengger Society in Bromo Tengger Semeru East Java"

Copied!
302
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT TENGGER

DI BROMO TENGGER SEMERU

JAWA TIMUR

JATI BATORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Etnobiologi Masyarakat

Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

JATI BATORO. Ethnobiology of Tengger Society in Bromo Tengger Semeru East Java. Under direction of DEDE SETIADI, TATIK CHIKMAWATI, and Y. PURWANTO.

This ethnobiological research focused on the ethnoecological, ethnobotanical, and ethnozoological study of the adaptation process (correlating to management concepts, impact on people’s activities, and technology usage) of the Tengger society in Bromo Tengger Semeru, East Java to environmental conditions where they were actively using and managing natural resources. The goals of this research were to study the beliefs, knowledge, and practice of Tengger society for the comprehensive understanding of landscape use and management, and to reveal the indigenous knowledge of Tengger society in managing their natural resources (plants and animals) which included species diversity, the index of ecological important value (INP), and the index of cultural significance (ICS). The research data consisted of ecological, ethnological, ethnobotanical and ethnozoological data. Ecological data was collected using vagetation analysis, while the rest of the data was collected using the participatory ethnobotanical appraisal, structured and open ended interviews, and direct observation. The Tengger society arranged their areas based on their function and usefulness including area of housing, agriculture, conservation, ecotourism, and sacral. Traditional ecological knowledge applied for environmental conservation consisted of an agricultural system that implement terasiring combined with plant borders, stall locations separated from houses, and planting Casuarina tree arranged by traditions. Tengger people depend on plant resources for their livelihood, and they have good knowledge on plant diversity surrounding them. The various plant utilization by Tengger society include food (75 species); medicines (121 species); construction, firewood and local technology (53 species); cosmetics, handycraft, cigarette, colors (40 species); forage (44 species); ornamental plants (140 species); fruit (49 species); and ritual (94 species). Calculations of the index of cultural significance showed that rice has a very high value and ten other plant species have high value in Tengger culture. For Tengger people, various animals have an economic value, and can be used for food, ritual, transportation, and objects for tourism.The indigenous knowledge on wild animals and their uses were very good. Tengger people distinguished 120 species consisting of 64 species of Aves, 32 species of Mammals, 9 species of Reptilia, 3 species of Diptera, 2 species of Decapoda, 1 species of Arachnidae, 1 species of Orthoptera, 1 species of Hypnoptera and 6 species of Pisces.

(6)
(7)

RINGKASAN

JATI BATORO. Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDE SETIADI, TATIK CHIKMAWATI, dan Y. PURWANTO.

Masyarakat suku Tengger merupakan penduduk asli Jawa yang menempati wilayah lereng deretan pegunungan Bromo Tengger Semeru, sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, mengisolir diri, dan lebih senang hidup pada lingkungannya sendiri. Mereka mempunyai tatanan yang disepakati bersama (pranata) serta adat sosial budaya khas dan unik, agama, kepercayaan, kesenian, bahasa serta organisasi sosial atau sistem kelembagaan sendiri. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup di sektor pertanian dan sebagian kecil mengelola wisata, perdagangan maupun peternakan.

Penelitian etnobiologi dimaksudkan untuk mengetahui proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Tengger terhadap kondisi lingkungan tempat mereka beraktivitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam hayati serta lingkungannya terkait dengan konsep pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkannya serta teknologi adaptasi yang dikembangkannya. Keanekaragaman hayati perlu dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan baik sebagai sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis maupun genetik serta ekosistemnya agar tetap lestari sumberdaya alamnya.

Tujuan penelitian secara khusus adalah 1. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang sistem pengelolaan sumber daya hayati (jenis tumbuhan dan hewan) meliputi keanekaragaman jenis tingkat kepentingan ekologis (INP), kegunaan dan cara pemanfaatannya (ICS), pengaruh dan cara pengembangannya. 2. Mengungkap pengetahuan masyarakat Tengger tentang lingkungan di sekitarnya meliputi persepsi dan konsepsi, pembagian tata ruang pada satuan lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkan serta strategi pengembangannya.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan etnoekologi, etnobotani, etnozoologi dan strategi konservasi sumberdaya hayati yang menggunakan kombinasi ICS dan INP. Metode antropologi digunakan untuk mengungkap dan mengetahui pola pikir (corpus) masyarakat Tengger yaitu dengan melakukan pengamatan langsung, wawancara bebas (open ended) serta ikut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dan semi struktural dan struktural. Mendeskripsikan berbagai bentuk aktivitas masyarakat dalam mengelola sumber daya alam, teknologi adaptasi yang dihasilkan serta menganalisis sesuai pandangan mereka. Melakukan pengamatan, analisis, penilaian secara ekologis dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap setiap satuan lingkungan.

(8)

dibangun secara semi permanen, permanen, bergerombol tidak berbeda jauh dari perkotaan, bahkan berlantai dua atau tiga berkeramik, yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat Tengger. Sistem tata ruang perumahan meliputi ruang tamu (petamon), kamar tidur (pedaringan), ruang pawon dengan tumang sangat disakralkan sebagai bagian mengadaptasikan kehidupan wilayah yang dingin serta pembelajaran antar generasi, dan kamar mandi (pakiwan). Kawasan ritual dan pariwisata seperti gunung Bromo, Semeru, gunung Pananjakan, lautan pasir milik TNBTS sangat mendukung pengembangan wisata dan ritual adat masyarakat Tengger.

Pengetahuan masyarakat Tengger terhadap sistem pertanian terutama budidaya sayuran pada lahan perbukitan perlu mendapat perhatian dan pengamatan khusus karena berkaitan dengan terjalnya wilayah, sehingga sistem pertanian terasiring dapat dipertahankan serta dampak kemungkinan longsor dapat diminimalkan demi kelangsungan hidup serta pembangunan berkelanjutan di masyarakat Tengger. Sistem pola gubuk-kandang sangat cocok dalam membantu pengolahan budidaya pertanian, dan peternakan berkelanjutan di wilayah Tengger yang dingin, memudahkan distribusi pupuk, transaksi ekonomi serta pengembangan peternakan. Peternakan sapi, babi, kambing, ayam kampung sangat mendukung ekonomi keluarga maupun mendukung berlangsungnya ritual adat. Sistem sewa (komplangan) dari Perhutani juga menarik, dukungan dari berbagai pihak baik TNBTS seperti jalur hijau, pemanfaatan pakan ternak, pemanfaatan lokasi ritual Kasada serta pentasbihan Dukun Pandhita sangat membantu keberlanjutan serta berjalannya ritual adat serta agama di Tengger.

Pengetahuan ekologi tradisional yang dipergunakan untuk berbagai keperluan menunjukkan apresiasi yang baik terhadap usaha pelestarian lingkungan. Penanaman cemara gunung dengan diatur hukum adat tebang 1pohon tanam 10 pohon, karena begitu pentingnya pohon cemara sebagai bahan bangunan, kayu bakar, batas lahan, pencegah longsor, selain itu tidak mengganggu tanaman pertanian. Sistem pengelolaan lahan pertanian terasiring telah diatur dalam bentuk petak arah air serta ditanam rumput astruli sebagai penahan erosi.

Kawasan konservasi TNBTS, kawasan hutan lindung Perhutani, tempat sakral sangat berguna sebagai sumber air baik untuk kawasan Tengger sendiri maupun daerah bawah, yang berfungsi sebagai sumber oksigen, sumber genetik, pelindung dan penahan rawan longsor, dan berkembangbiaknya berbagai satwa maupun flora. Kawasan konservasi seperti Danyangan, makam, Sanggar Pamujan, hutan larangan yang diperkuat oleh adanya hukum adat, aspek ritual peladangan memberikan dampak positif terhadap tertatanya pemanfaatan tanah, kehidupan hewan serta lingkungan yang harmoni.

(9)

dalam kehidupannya seperti putihan (Buddleja asiatica), adas (Foeniculum vulgare) dan cemara (Casuarina junghuhniana). Upacara ritual adat berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan sangat menarik dan unik di masyarakat Tengger yang merupakan modal sosial (capital social) dan dasar dalam pengembangan wisata, serta lingkungan yang sangat mendukung.

Sistem pengetahuan tradisional terhadap keanekaragaman hewan sangat baik terutama jenis yang berada di lingkungannya. Hasil inventarisasi jenis hewan yang tercatat meliputi 120 jenis baik hewan liar di lingkungan, hewan peliharaan maupun yang dibudidayakan. Pemanfaatan keanekaragaman hewan dipergunakan sebagai bahan pangan, penunjang ritual adat, penunjang ekonomi rumah tangga, peliharaan serta keindahan lingkungan.

Keberlanjutan keanekaragaman hayati di wilayah Tengger sebagai wilayah penyangga harus dipertahankan, diperlukan dukungan dari pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Dinas terkait, Kantor Balai TNBTS, Perhutani, serta strategi pengembangan disegala bidang sesuai proposional wilayah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, pelestarian, penyuluhan, pengawasan dalam kerangka dukungan terhadap daerah penyangga. Wilayah lahan desa masyarakat Tengger sangat cocok untuk budidaya sayuran seperti kentang, bawang prei, kobis, ercis, wortel, terong belanda, lombok terong, kopi, apel (Desa Gubuklakah, Kayukebek), kaya akan adat budaya unik sangat perlu dilestarikan, pengobatan tradisional, ritual adat, udara yang sejuk dan dingin di wilayah Tengger dengan obyek wisatanya masyarakat lokal maupun mancanegara perlu dikembangkan, digalakkan sebagai aset pariwisata Jawa Timur. Keberlanjutan ke depan desa Tengger dan sekitarnya tidak terlepas dari kesejahteraan masyarakat, sistem ekologi pegunungan Bromo Tengger Semeru saling ketergantungan dalam sebuah ekosistem, manusia serta adat sosial, keanekaragaman hayati dan lingkungannya.

(10)
(11)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(12)
(13)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT TENGGER

DI BROMO TENGGER SEMERU

JAWA TIMUR

JATI BATORO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo

Dr. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc.

(15)

Judul Disertasi : Etnobiologi Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru

Jawa Timur

Nama : Jati Batoro

NRP : G363070081

Program Studi : Biologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS. Ketua

Dr.Ir. Tatik Chikmawati, M.Si. Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Dekan

Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(16)
(17)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan Judul Etnobiologi

Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur. Pada kesempatan ini

penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Tatik

Chikmawati M.Si dan Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto DEA masing-masing selaku

anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan,

saran dan kritikan untuk menyelesaikan tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud banyak memberikan inspirasi.

3. Dr. Ir. Kgs. Dahlan Wakil Dekan FMIPA IPB, Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono DEA

mewakili Pogram Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pasca Sarjana IPB di ujian

tertutup dan terbuka.

4. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Biologi

Tumbuhan SPs-IPB, Dr. Ir. Miftahudin MSi.

5. Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito MS Rektor Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr.

Marjono M.Phil Dekan FMIPA UB, Dr. Widodo M.Sc, Ketua Jurusan Biologi

FMIPA dan Proyek I-MHERE UB, yang telah memberikan beasiswa program

Doktor.

6. Dr. Rodiyati S.Si, M.Sc sebagai Ketua Laboratorium Taksonomi Tumbuhan

Jurusan Biologi FMIPA UB dan kolega Brian Rahardi M.Sc, Dra.Gustini

Ekowati M.P, Dr. Serafinah Indriyani M.Si, Dr. Luqman Hakim M.Sc, Arifin

dan Apriyono S.Si.

7. Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS),

Kepala Perhutani Jawa Timur, Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang,

Pasuruan, Lumajang dan Probolinggo.

8. Teman-teman dari Puslitbang Biologi LIPI Kebun Raya Pasuruan, Perhutani

dan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS).

9. Petinggi Desa Ngadisari bapak Supoyo SH. MM, bapak Kartono Petinggi Desa

Ngadas Kidul, bapak Sumartono Petinggi Desa Ngadas Wetan, para Petinggi

Desa seluruh masyarakat Tengger serta staf. Koordinator Dukun Pandhita

(18)

Supayadi, bapak Natrulin dan para Dukun Pandhita seluruh Tengger, Sesepuh

Tengger, masyarakat Tengger di Malang, Pasuruan, Lumajang dan

Probolinggo.

10. Kepada semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu secara materi dan non materi dalam penulis menyelesaikan

penelitian dan penulisan ini.

11. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih secara tulus kepada istri

tercinta Dra. Sri Suwanti atas dorongan, pengorbanan, kesabaran,

pengertiannya, anak-anak tercinta Tectona Ekaningtyas S.KG. di FKG UNEJ

Jember, Dian Apriliyani di UB dan Agnes Arimbi A. SMAN 9 Malang. Tidak

lupa doa orang tua Sumardi WS (alm) dan Ibu Suyati serta mertua Hadi

Sukarto (alm) dan Ibu Surtijah (alm), yang semasa hidup mendorong agar

penulis dapat mecapai gelar akademik tertinggi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 25 April 1957, sebagai anak

pertama pasangan Sumardi Widyo Sumarto Almarhum (KRT. Widyo Padmo

Dipuro) dan Ibu RR. Suyati. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah

Lanjutan Pertama SMPN 1 Wates diselesaikan di Kulon Progo Yogyakarta dan

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan di

Yogyakarta. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Biologi UGM, lulus pada

tahun 1985. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Biologi

FMIPA, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa BPPS

dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan lulus pada tahun 2001.

Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor diperoleh pada tahun

2007 pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor (IPB), dengan bantuan beasiswa proyek I-MHERE Universitas

Brawijaya(UNIBRAW). Penulis bekerja sebagai staf pengajar bidang Taksonomi

Tumbuhan dan ,Etnobotani pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahun Alam Universitas Brawijaya sejak tahun 1986, hingga sekarang.

Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian disertasi telah

dipublikasikan, diantaranya sebuah artikel dengan judul Pengetahuan Fauna (Etnozoologi) Masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur diterbitkan pada Jurnal Biota (SSSN 0853-8670) Vol.17 (1) : 46-56, Februari

2012. Artikel lain yang berjudul: Pengetahuan Botani Masyarakat Tengger Di Bromo Tengger Semeru telah di terima untuk diterbitkan di Jurnal Wacana Vol 14 No (4) Oktober 2011; Ritual Entas-Entas Di Desa Tengger Ngadas Kidul Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang telah terbit di Jurnal Natural B, Vol 1.No (2) Oktober 2011. Karya Ilmiah lain yang berjudul Pemanfaatan Tumbuhan dan Hewan dalam Ritual Adat di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur telah disampaikan pada Seminar, Simposium dan Kongres PTTI (11-13 Oktober) di

(20)
(21)

DAFTAR ISI

2.3 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS)………. 13

3. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN METODE PENELITIAN... 17

3.1 Lingkungan Fisik ……….. 17

3.1.1 Letak Geografi ……… 17

3.1.2 Geologi, Tanah dan Hidrologi ……… 17

3.1.3 Iklim ……… 18

3.2 Lingkungan Biologi ……….. 20

3.3 Lingkungan Sosial Budaya ………... 22

3.3.1 Aspek Sosial Budaya ……….. 22

3.3.2 Agama dan Kepercayaan ……… 25

3.3.3 Kepemimpinan Tradisional dan Lembaga Adat ………. 26

3.3.4 Bahasa Lokal Tengger ……… 27

3.3.5 Sistem Penguasaan Lahan (Tenurial System) ………. 28

3.4 Pendekatan Penelitian ………... 29

3.4.1 Etnoekologi ………. 29

3.4.2 Etnobotani ………... 28

3.4.3 Etnozoologi ………. 28

3.5 Konservasi Sumberdaya Tumbuhan……….. 30

4. ETNOEKOLOGI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO TENGGER SEMERU JAWA TIMUR………... 31 Abstrak ……… 31

4.1 Pendahuluan ………. 32

4.1.1 Latar Belakang………. 32

4.1.2 Tujuan Penelitian ………. 35

4.2 Bahan dan Metoda ……… 35

4.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 35

4.2.2 Alat dan Bahan ……… 36

4.2.3 Metode Penelitian ……… 36

4.2.3.1 Pendekatan Emik (pengetahuan) ……… 36

(22)

4.2.3.3 Analisis Vegetasi ………... 37

4.3 Hasil ……….. 38

4.3.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan ………... 38 4.3.2 Pengenalan Satuan-satuan Lingkungan menurut Konsep Tata

Ruang Masyarakat Tengger ……… 40

4.3.2.1 Kawasan Pemukiman ……… 41

4.3.2.2 Kawasan Pertanian ……… 49

4.3.2.3 Kawasan Sakral atau Keramat ……….. 63

4.3.2.4 Kawasan Hutan TNBTS ………. 67

5.1 Pembahasan ……….. 70

6.1 Simpulan ……….. 77

5. ETNOBOTANI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO TENGGER SEMERU JAWA TIMUR………...

81

Abstrak ……… 81

5.1 Pendahuluan ………. 82

5.1.1 Latar Belakang ……… 82

5.1.2 Tujuan Penelitian ………. 85

5.2 Bahan dan Metode ……… 85

5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 85

5.2.2 Alat dan Bahan ……… 86

5.2.3 Metode Penelitian ……… 86

5.2.3.1 Metoda Pengumpulan Data Sosial Budaya Masyarakat

Tengger ……… 86

5.2.3.2 Pengumpulan Data Etnobtani ……….. 86 5.2.3.3 Data Kualitatif ……….. 87 5.2.3.4 Pemilihan Narasumber ………. 87 5.2.3.5 Perhitungan Nilai Guna Jenis Tumbuhan Berguna …….. 88

5.3 Hasil ………. 93

5.3.1 Sosial Budaya Masyarakat Tengger ……… 93

5.3.1.1 Aspek Sosial Budaya ………... 93

5.3.1.2 Sistem Kepemimpinan Tradisional ……….. 94 5.3.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Keanekaragaman Jenis

Tumbuhan ………. 94

5.3.2.1 Pengetahuan botani lokal masyarakat Tengger... 95 5.3.2.2 Pengetahuan masyarakat Tengger tentang pemanfaatan

jenis tumbuhan ……… 99

5.3.3 Indek Kepentingan Budaya (ICS) ………...

5.4 Pembahasan ……….………. 171

5.5 Simpulan ………... 178

6. ETNOZOOLOGI MASYARAKAT TENGGER DI BROMO

TENGGER SEMERU JAWA TIMUR ……….. 181

Abstrak ……… 181

6.1 Pendahuluan ………. 182

6.1.1 Latar Belakang ……… 182

6.1.2 Tujuan Penelitian ………. 184

(23)

6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………... 184

6.2.2 Alat dan Bahan ………... 184

6.2.3 Metode Penelitian ………... 185

6.3 Hasil ……….. 185

6.3.1 Pemanfaatan Jenis dan Kategori Pengelompokannya…... 185 6.3.1 Keanekaragaman Hewan Sebagai Bahan Pangan …………... 187 6.3.3 Keanekaragaman Hewan Buruan ……… 188 6.3.4 Keanekaragaman Hewan Mempunyai Makna ……… 189 6.3.5 Keanekaragaman Hewan Sebagai Bahan Ritual Adat ……… 189 6.3.6 Keanekaragaman Hewan Ternak ………. 192 6.3.7 Keanekaragaman Hewan Peliharaan dan Pariwisata ………... 193 6.3.8 Keanekaragaman Hewan Liar di Lingkungan ………. 194

6.4 Pembahasan ……….. 201

6.5 Simpulan ……….. 204

7. PEMBAHASAN UMUM ……….. 205

7.1 Sosial Budaya, Adaptasi dan Pengelolaan Lingkungan

Masyarakat Tengger ……… 205

7.2 Keanekaragaman Hayati, Pengembangan Pertanian, Peternakan dan Pariwisata di Wilayah Tengger ……… 211

7.3 Pembangunan Masyarakat Tengger Berkelanjutan di Wilayah

Tengger ………... 215

7.4 Strategi Konservasi wilayah Tengger ……….. 217

8. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 221

DAFTAR PUSTAKA ………. 227

LAMPIRAN ………... 235

(24)
(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah Penduduk di sembilan Desa masyarakat Tengger ………….... 24 2 Keanekaragaman jenis tanaman pekarangan sebagai bahan pangan … 45 3 Jenis-jenis tumbuhan sebagai indikator kesuburan tanah dan jenis

mengganggu tanaman budidaya di lingkungan ……… 62 4 Sistem kategorisasi lahan pada masyarakat Tengger………. 73 5 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani (Quality of use categories in ethnobotany)……….. 89 6 Kategorisasi intensitas penggunaan (Intensity of use) jenis tumbuhan

berguna ………. 92

7 Kategorisasi yang menggambarkan tingkat eklusivitas atau tingkat kesukaan ………

92

8 Terminologi untuk pengenalan dan karakterisasi tumbuhan pada

masyarakat Tengger ………. 98

9 Kategori pemanfaatan tumbuhan, jumlah jenis dan distribusi di

masyarakat Tengger ……….. 99

10 Keanekaragaman jenis tumbuhan bahan pangan (tanaman budidaya dan non budidaya) di masyarakat Tengger ... 102 11 Kategori jenis penyakit di masyarakat Tengger, jumlah jenis

tumbuhan dan organ tumbuhan yang digunakan sebagai obat ……… 118 12 Keanekaragaman jenis tumbuhan obat di masyarakat Tengger………. 128

13 Keanekaragaman jenis tanaman hias di perumahan dan gubuk di

masyarakat Tengger ………... 134

14 Keanekaragaman jenis tumbuhan digunakan dalam ritual adat di

tempat sakral ………. 141

15 Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan ternak di masyarakat

Tengger ………. 159

16 Sebelas jenis tanaman dengan Nilai Indek Kepentingan Budaya (ICS) tertinggi dan tinggi masyarakat Tengger ……….. 168 17 Kategori nilai ICS jenis tumbuhan bermanfaat masyarakat Tengger ... 169 18 Jenis tumbuhan liar yang berpotensi menurut masyarakat Tengger ... 171 19 Jumlah jenis hewan dimanfaatkan dan liar di masyarakat Tengger …. 187 20 Keanekaragaman jenis hewan ritual masyarakat Tengger ……… 191 21 Pengetahuan keanekaragaman jenis hewan: ternak, kegunaan dan

jenis hewan liar di lingkungan desa Tengger ……… 195

(26)
(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka fikir studi Etnobiologi dalam kehidupan masyarakat

Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur ………... 7 2 Peta lokasi penelitian dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

(TNBTS)………... 19

3 (a) Pakaian adat SDN Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo dan (b) Pure di Desa Ranupani Kecamatan Senduro Kabuparen Lumajang ………... 25 4 Struktur organisasi Pemerintahan Desa dan Lembaga Adat masyarakat

Tengger ... 39 5 Sikap dan Pandangan Hidup masyarakat Tengger... 39 6 Rumah Tengger: (a) Dapur (Pawon) dengan tumang dan (b) Homestay

di Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan ……… 43 7 Pekarangan: (a) Tanaman hias, mawar (Rosa hybrida, tlotok

(Curculigo capitulata) dan (b) Jenis bahan ritual (Fuchia hybrida)… 44 8 Perkampungan Tengger: (a) Sistem perkampungan bergerombol Desa

Ngadiwono Kecamatan Tosari Pasuruan dan (b) Perkampungan Desa Ranupani Kecamatan Senduro Lumajan……….. 47 9 Sarana Desa: (a) Jalan Desa Ngadas Kidul dan (b) Padmasari di tepi

jalan Desa Ngadirejo Kabupaten Pasuruan... 48 10 Pertanian terasiring: (a) Batas Tegalan Desa Ranupani dan Zona Hutan

Rimba (TNBTS) dan (b) Lahan pertanian di Ngadas Kidul Kecamatan

Poncokusumo ..……… 49

11 (a) Lokasi kerja sama antara pihak Perhutani dan Desa Gubuklakah seluas 10 Ha dengan tanaman kopi, suren, jabon dan (b) Tanaman industri poo…………... 55 12 Peristiwa alam: (a) Jenis tumbuhan cemara mengalami kerusakan

akibat uap belerang dari gunung Bromo dan (b) Longsor lahan pertanian Desa Ngadiwono ………... 58 13 (a) Suasana meletusnya gunung Bromo dan (b) Suasana sekolah SDN

desa Putus (Ngadirejo)………. 58

14 Pola pertanian Gubuk-kandang di masyarakat Tengger ……… 60 15 (a) Gubuk serta kandang dan (b) Ternak sapi jantan di Desa Ngadas

Kidul Kecamatan Poncokusumo……….. 60

16 Tata guna lahan tradisional masyarakat Tengger Desa Ngadas Kidul Kecamatan Poncokusumo: (a) Pedanyangan, (b) Wihara Paramita, (c) Pure,(d) Masjid, (e)Sanggar Pamujan, (f) Makam dan (g) Gubuk-kandang ………..

(28)

18 Tempat sakral: (a) Lahan makam di Desa Wonokitri dan (b) Sanggar Agung di Desa Ngadas Wetan………... 67 19 Sarana Desa: (a) Danau Ranupai (TNBTS) mengalami pendangkalan

dan (b) Lahan tegalan subur dengan latar belakang gunung Semeru... 70 20 Aktivitas pertanian: (a) Sigiran jagung dan (b) Menyiwil tanaman

tropong atau bawang prei di Desa Wonokitri …………... 112 21 Aktivitas pertanian: (a) Budidaya lombok kriting dan (b) Tanaman

budidaya lombok terong ………... 116 22 Sarana transportasi: (a) Konstruksi jembatan Desa Keduwung dari

kayu cemara dan (b) Transportasi kuda ..……… 118 23 Seni tradisional dan olah raga: Kesenian jaranan (a) dan (b) Olah raga

balap sepeda motor ………... 120 24 Seni tradisional: (a) Kesenian reyok Desa Wonotoro dan (b) Tayup di

Desa Ngadas Kidul……… 121

25 Peralatan rumah tangga: (a) Ibu di Desa Wonokitri menumbuk jagung untuk bahan aron dan (b) Peralatan pertanian di gubuk…...……… 122 26 Tumbuhan obat: (a) Dringu dan (b) Jamur impes, (c) Aseman dan (d)

Kentang………... 131

27 Tanaman bumbu: (a) Ketumbar dan (b) Tanaman jarak………. 131 28 Upacara Yadnya Kasada: (a) Pure Poten di Lautan Pasir gunung

Bromo dan (b) Masyarakat menunggu sesaji tandur tuwuh (marit) di tebing kawah gunung Bromo………... 153 29 Upacara Yadnya Kasada: (a) Tempat Mulun (ujian Dukun Pandhita) di

Pura Poten pada acara Kasada dan (b) Tetamping di kaki gunung

Bromo ……….. 153

30 Ritual Unan-unan: (a) Korban kerbau dengan seperangkat sesaji (foto Purnomo) dan (b) Sanggar Pamujan Desa Poncokusumo Kabupaten

Malang ………. 154

31 Acara ritual Karo: (a) Kesenian tari sakral Sodoran di Desa Jetak dan (b) Nyadran Karo di makam Desa Ngadas Kidul………. 155 32 Acara ritual Entas-entas: (a) Ongkek serta macam sesaji dan (b)

pembacaan mantra di depan Petra oleh Dukun Pandhita………. 157 33 Acara ritual Entas-entas: (a) Iber-iber dalam ritual Entas-entas dan (b)

Wong Sepuh membakar Petra di Pedanyangan……… 158 34 Acara ritual Leliwet: (a) Mendirikan rumah oleh Dukun Pandhita dan

(b) Jumat Legi di Desa Wonokitri Kecamatan Tosari ………. 159 35 Dukun Pandhita Zaman Kolonial Belanda ……….. 167 36 Acara ritual: (a) Wisuda Sesepuh Tengger oleh Dukun Pandhita

(29)

37 Peristiwa kebakaran: (a) Padang rumput Jomplangan TNBTS tahun 2011 dan (b) Bekas kebakaran hutan TNBTS tahun 2009………... 169 38 (a) Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan ternak di masyarakat

Tengger dan (b) Status jumlah jenis pakan ternak ……….. 170 39 Katagori nilai ICS tumbuhan berguna pada masyarakat

Tengger………. 177 40 Keanekaragaman jenis hewan pada saat Yadnya Kasada di kawah

gunung Bromo ………. 191 41 Pemanfaatan jenis hewan: (a) Pariwisata kuda dan (b) Hewan

peliharaan anjing ………. 191

42 Pengetahuan jenis hewan di lingkungan masyarakat Tengger…………. 201 43 Jumlah jenis hewan bermanfaat, pengganggu dan liar……….… 201 44 Interaksi sistem sosial dan ekosistem dari Rambo (1983)………….….. 209 45 Konsep peran, potensi, kegunaan dan konservasi keanekaragaman

(30)
(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Keanekaragaman jenis tumbuhan tegalan di lingkungan

masyarakat Tengger ... 237

2 Indek Nilai Penting (INP) jenis perdu di lahan tegalan masyarakat Tengger………... 243 3 Nilai Indek Penting (INP) jenis herba di lahan tegalan masyarakat

Tengger ……….. 244

4 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di lahan Sanggar Pamujan Desa Poncokusumo Kabupaten Malang ………... 246 5 Indek Nilai Penting (INP) keanekaragaman jenis perdu di Sanggar

Pamujan Desa Poncokusumo Kabupaten Malang ………. 249 6 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di lahan Komplangan

Perhutani Kabupaten Malang ………. 250

7 Indek Nilai Penting (INP) jenis pohon di tegalan masyarakat

Tengger ……….. 251

8 Keanekaragaman jenis buah-buahan di masyarakat Tengger………. 252

9 Keanekaragaman jenis tumbuhan bumbu, pewarna, rokok dan

kecantikan ……….. 255

10 Keanekaragaman jenis tumbuhan bahan bangunan, teknologi lokal, tali-temali, seni, pembungkus dan kayu bakar……… 257 11 Index of Cultural Significance (ICS) dan keanekaragaman jenis

(32)
(33)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat suku Tengger merupakan penduduk asli Jawa yang menempati

wilayah lereng deretan pegunungan Bromo Tengger Semeru sejak runtuhnya

kerajaan Majapahit. Mereka mengisolir diri dan lebih senang hidup pada

lingkungannya sendiri (Stibbe & Uhlenbeck 1921; DKDJPH & PABKSD IV

1984; Suyitno 2001). Masyarakat Tengger mempunyai tatanan yang disepakati

bersama (pranata) serta adat sosial budaya khas dan unik, agama, kepercayaan,

kesenian, bahasa serta organisasi sosial atau sistem kelembagaan sendiri. Pada

umumnya masyarakat Tengger hidup pada sektor pertanian, terutama pertanian

tanaman kentang, bawang prei, kobis, jagung, wortel, dan sebagian kecil

mengelola wisata, perdagangan maupun peternakan.

Masyarakat Tengger menghuni sebagian desa penyangga Taman Nasinal

Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang meliputi empat Pemerintah Daerah

Tingkat II yaitu Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.

Mereka sudah hidup turun temurun mulai dari nenek moyangnya yang dahulu

menggantungkan kehidupannya berupa sumber daya hayati dari hutan dalam

memenuhi kebutuhannya dengan pedoman bahwa hutan beserta isinya merupakan

anugerah Sang Hyang Widhi untuk dimanfaatkan manusia agar kehidupannya

sejahtera (DKDJPH & PABKSD IV 1984; DKDJPH & PABTNBTS 1999;

Nurudin et al. 2004). Sebagian masyarakat Tengger menempati wilayah di dalam Zona Pemanfaatan Tradisional (enclave) meliputi Desa Ngadas dan Desa Ranupani, jauh sebelum TNBTS berdiri. Taman Nasional merupakan kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem Zonasi,

mempunyai tujuan konservasi, penelitian, pendidikan dan kepariwisataan.

Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan Taman Nasional pada umumnya

disebabkan keterbatasan anggaran dana pemerintah, sumber daya pengelola,

kelemahan infrastruktur, serta belum harmonisnya hubungan antara pihak

(34)

Sebagaimana halnya masyarakat lainnya, masyarakat Tengger sebagian

besar hidup pada sektor pertanian yang telah lama melakukan strategi, teknik

adaptasi, teknik pengelolaan, teknik budidaya, teknik produksi, serta teknik

pengobatan tradisional terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati baik

tumbuhan maupun hewan (etnobiologi) sesuai dengan keadaan alam

lingkungannya. Pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan lahan dari

sumber daya hayati tidak hanya dipengaruhi oleh sejarah dan adat-istiadat, tetapi

juga kondisi sumber daya alam yang tersedia, kesuburan tanah, teknik peladangan

dan etos kerja. Ketergantungan manusia terhadap keanekaragaman hayati serta

tata cara kehidupan, sangat berkaitan dengan keanekaragaman budaya dari suatu

masyarakat (Taylor 1990; Ellen 1993; Sandbukt & Wiriadinata 1994). Oleh sebab

itu perlu ditelaah bagaimana konsep dan pemahaman serta penguasaan

pengetahuan dari masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya hayati serta

lingkungannya.

Dewasa ini telah banyak pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan

tumbuhan dan hewan serta variasi jenis tumbuhan dan hewan telah hilang

keberadaannya dari suatu masyarakat. Hal ini berarti hilangnya kearifan

tradisional atau berbagai jenis tumbuhan dan variasinya yang belum sempat

diketahui atau dikaji informasinya karena kondisi lingkungan berubah dengan

cepat (Sastrapradja & Rifai 1989; Rifai 1994). Sistem pengetahuan yang berasal

dari adanya akumulasi pengetahuan dalam berinteraksi dengan alam lingkungan

yang berjalan lama, umumnya memiliki pranata, norma adat, yang merupakan

bukti fundamental dari kondisi sosial budaya suatu kelompok masyarakat (Cotton

1996; Purwanto 2006 ).

Pengetahuan masyarakat lokal telah banyak memberikan kesempatan

berharga bagi kita untuk memahami aspek ekologi lanskap lahan pegunungan,

termasuk lanskap hutan di sekitar mereka. Apakah sistem pertanian dan

pemanfaatan keanekaragaman hayati yang mereka lakukan menyebabkan

kerusakan lingkungan atau tidak, informasi ini juga akan membantu kita dalam

memahami sejarah lansekap, perubahan lansekap dan pola-pola vegetasi masa

lalu, sekarang dan mendatang. Ekosistem pegunungan merupakan fakta penting

(35)

tumbuhan maupun hewan, namun rentan terhadap erosi tanah dan longsor yang

mengakibatkan hilangnya keragaman hayati dan sumberdaya genetik maupun

habitat (Odum 1971; Keating 1994, Primack et al. 1998). Berdasarkan latar belakang di atas, serta belum adanya penelitian yang mendasar pada bidang

etnobiologi masyarakat Tengger terhadap pemanfaatan, pengelolaan

keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan serta lingkungannya,

sehingga mendorong kami penelitian terhadap kehidupan dan etnobiologi

masyarakat Tengger dilakukan untuk penelitian disertasi ini.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi lingkungan biofisik dipengaruhi oleh proses adaptasi masyarakat

Tengger. Oleh sebab itu kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati dapat

menyebabkan ancaman bagi kelangsungan kehidupan mereka. Mereka memiliki

ketergantungan pada lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti

bahan pangan, bahan obat-obatan tradisional, bahan ritual, sumber ekonomi

rumah tangga dan berbagai kebutuhan lainnya. Latar belakang sosial budaya dan

ekonomi masyarakat Tengger dapat mempengaruhi perilaku dalam mengelola

sumber daya alam hayati dan lingkungan sekitarnya. Hal ini yang mendasari

dilakukannya penelitian etnobiologi pada masyarakat Tengger. Salah satu aspek

yang dibahas dalam penelitian ini adalah sistem pengetahuan masyarakat Tengger

dalam mengelola sumber daya alam hayati untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

dan pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Pengetahuan lokal

(local knowledge) masyarakat Tengger tentang pengelolaan sumber daya hayati ini belum tergali dan sangat sedikit informasinya. Oleh karena itu pengetahuan

masyarakat Tengger tersebut perlu untuk didokumentasi sebelum terdegradasi

oleh pengaruh lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi serta

intervensi budaya dari luar. Masalah lainnya adalah rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat Tengger dan keterbatasan sarana dan prasarana sehingga

menyebabkan terjadinya keterbelakangan teknologi dan kemampuan beradaptasi

serta kemampuan daya saing dengan masyarakat di sekitarnya. Keterbelakangan

(36)

masyarakat Tengger yang beranggapan bahwa “bersekolah yang tinggipun masyarakat Tengger akan kembali ke ladang”. Dari uraian permasalahan tersebut maka perlu dilakukan studi etnobiologi masyarakat Tengger untuk mengetahui

strategi masyarakat Tengger dalam mengelola sumber daya hayati dan selanjutnya

dapat dijadikan pijakan dalam pengembangan dengan pengelolaan sumber daya

hayati yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi dan

pengembangan secara berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dari

teknologi adaptasi yang dilakukan masyarakat Tengger terhadap kondisi

lingkungan tempat mereka beraktivitas dalam mengelola dan memanfaatkan

sumberdaya alam hayati serta lingkungannya serta pengaruh yang

ditimbulkannya. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang sistem

pengelolaan sumber daya hayati (tumbuhan dan hewan) yang meliputi

keanekaragaman jenis, kegunaan dan cara pemanfaatannya, pengaruh dan

cara pengembangannya.

2. Mengungkap pengetahuan lokal masyarakat Tengger tentang lingkungan di

sekitarnya meliputi persepsi dan konsepsi, pembagian tata ruang satuan

lingkungan, pengelolaan dan pemanfaatannya, pengaruh yang ditimbulkan

serta strategi pengembangannya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran baru tentang pengembangan

interdisiplin bidang etnologi dan biologi untuk menganalisis dan mengevaluasi

hubungan saling ketergantungan antara masyarakat Tengger sebagai produsen

(informan) dalam mengelola pola fikir (corpus) dan memanfaatkan (praxis) sumberdaya di lingkungan tempat mereka bermukim. Dengan demikian antara

(37)

proses adaptasi yang terjadi sebagai akibat hubungan keterkaitan antara

masyarakat Tengger dengan lingkungannya.

2. Melengkapi khasanah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat Tengger

berkaitan dengan suku-suku di Indonesia. Memberikan sumbangan pemikiran

ilmiah secara komprehensif tentang hubungan masyarakat Tengger dengan

sumber daya alam hayati dan lingkungannya.

3. Memberikan sumbangan data ilmiah aspek etnobiologi masyarakat Tengger

yang dapat dijadikan dasar pertimbangan kebijakan pembangunan yang

berkelanjutan dari masyarakat Tengger.

1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty)

1. Pengetahuan Masyarakat Tengger tentang keanekaragaman jenis-jenis

tumbuhan dan hewan, kegunaan dan potensinya.

2. Pengetahuan Masyarakat Tengger tentang pengelolaan lingkungan dan

pembagian tata ruang di kawasan Pegunungan Bromo Tengger Semeru.

3. Pengetahuan tentang teknologi adaptasi masyarakat Tengger dalam mengelola

sumber daya hayati dan lingkungannya

1.6 Kerangka Pemikiran

Perbedaan aspek historis, sosial, ekonomi dan budaya dapat

mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Tengger dalam mengelola dan

memanfaatkan sumber daya hayati dan lingkungannya. Kehidupan masyarakat

yang sebagian besar bersumber dari sektor pertanian tersebut sangat bergantung

dari sumber daya alam hayati dan lingkungannya. Hubungan masyarakat Tengger

dengan alam lingkungannya terlukis dari konsep pengelolaan sumber daya hayati

dan lingkungannya, cara pengelolaan dan pemanfaatannya, satuan lansekap yang

terbentuk, keanekaragaman jenis hayati yang terdapat di setiap satuan lingkungan

dan bentukan karakteristik setiap satuan lingkungan yang ada. Studi ini

memaparkan dan menganalisis bagaimana masyarakat Tengger mengelola dan

memanfaatkan keanekaragaman sumber daya hayati dan lingkungannya untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kepentingan subsisten maupun

(38)

Kondisi biofisik alam pegunungan Tengger yang memiliki topografi

berbukit dan bergunung dengan kemiringan hingga mencapai 70o, suhu yang dingin (kondisi ekstrem bisa mencapai 0oC), berkabut dan kelembaban yang tinggi memiliki pengaruh terhadap strategi adaptasi masyarakat Tengger.

Kemampuan masyarakat Tengger dalam mengembangkan strategi adaptasi

tersebut adalah dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam hayati yang ada

secara optimal guna mencukupi kebutuhannya. Strategi masyarakat Tengger

dalam mengeksploitasi sumber daya hayati dan lingkungannya telah

memunculkan bentuk-bentuk satuan lingkungan yang masing-masing memiliki

karakteristik spesifik sesuai dengan pemanfaatan dan nilai gunanya.

Masyarakat Tengger memiliki pengetahuan dalam mengelola

keanekaragaman jenis sumber daya hayati dan lingkungan serta mengembangkan

sistem produksi di Pegunungan Bromo, Tengger dan Semeru dengan kondisi tipe

ekosistem yang spesifik. Pengetahuan tersebut telah mampu digunakan untuk

mempertahankan eksistensi diri masyarakat Tengger dari tekanan baik dari luar

maupun tekanan dari alam. Pengetahuan pengelolaan sumber daya hayati, sistem

produksi dan teknologi adaptasi yang dikembangkan masyarakat Tengger tersebut

merupakan sumber pengetahuan yang harus digali dan dianalisis untuk

mengetahui kesahihannya, sehingga pengetahuan yang dikembangkan masyarakat

Tengger tersebut dapat bermanfaat bagi pengembangan kawasan tersebut secara

berkelanjutan. Alur pikir studi ini disajikan dalam Gambar 1.

Batasan penelitian etnobiologi pada disertasi ini hanya meliputi

etnoekologi, etnobotani dan etnozoologi masyarakat Tengger di Bromo Tengger

(39)

Gambar 1 Kerangka fikir studi Etnobiologi dalam kehidupan masyarakat Tengger di Bromo Tengger Semeru Jawa Timur.

 

Historis, sosial budaya-ekonomi mempengaruhi

perilaku kehidupan masyarakat terhadap sumber daya hayati, lingk.

Sumber daya alam hayati dalam kehidupan masyarakat Tengger

Lingkungan alam (ekosistem) pada masyarakat Tengger

Pengetahuan sumber daya hayati, keanekaragaman jenis, pemanfaatan dan pengelolaan

Tata ruang, bentuk satuan lingkungan, pandangan (corpus)

dan praktek pemanfaatan, pengelolaan (praxis)

Adaptasi terhadap kondisi lingkungan biofisik

STRATEGI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT

TENGGER BERKELANJUTAN

Pengetahuan sumber daya hayati Tumbuhan (Etnobotani ) dan

hewan (Etnozoologi)

(40)
(41)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etnobiologi

Sumber daya alam pada dasarnya menyediakan penghuninya untuk dapat

dimanfaatkan dalam menunjang kelangsungan kehidupannya. Manusia sebagai

bagian dari unsur penghuni bumi paling mudah untuk menyesuaikan dirinya

dengan alam lingkungan dimana mereka bermukim. Melalui daya cipta, rasa dan

karsa manusia melakukan adaptasi berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya

yang diperoleh dari lingkungannya, sehingga setiap kelompok masyarakat atau

etnik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dalam mengelola sumber daya

alam hayati di lingkungannya. Indonesia yang mempunyai banyak pulau besar

maupun kecil dihuni oleh berbagai suku dengan sistem adat maupun budaya yang

bermacam-macam. Masing-masing suku tersebut memiiki kemampuan adaptasi

dan berinteraksi dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Etnobiologi adalah bidang ilmu yang menelaah tentang hubungan

menyeluruh antara budaya manusia dengan keanekaragaman hayati meliputi pola

pikir, persepsi, konsepsi, pemanfaatan dan pengelolaannya. Menurut Berlin

(1992), Sukarman dan Riswan (1992) etnobiologi merupakan ilmu interdisipliner

yang mempelajari manusia atau suku dengan lingkungan sumberdaya hayati

tumbuhan dan hewan serta mikroorganisme, yang berkaitan dengan pengetahuan,

pengelolaan dan penggunaannya. Di Indonesia etnobiologi belum banyak dikenal,

namun dalam praktek terutama ahli biologi dan antropologi bidang ini menjadi

perhatian karena kegunaan dan status keberadaannya. Etnobiologi berkembang

dengan adanya fakta bahwa budaya suku bangsa dalam memanfaatkan sumber

daya alam hayati berbeda-beda bergantung pada sumber daya alam dan

lingkungannya.

Friedberg (1990) dan Ellen (1993) mempelajari etnobiologi suku Bunaq di

pulau Timor, suku Nuaulu di Pulau Seram Tengah yang mengkaitkan dunia

tetumbuhan dan hewan dari cara pengenalan, penggolongan (klasifikasi) dan

pemanfaatannya. Cara pendekatan dalam pengetahuan tradisional adalah dengan

(42)

kognitif dan analisis sosial budaya dalam mengetahui bagaimana persepsi

masyarakat terhadap dunia tumbuhan dan lingkungannya serta pendekatan

ekologis dan ekologi kebudayaan bagaimana mengelola sumber daya alam dan

lingkungannya (Purwanto 2006). Dengan demikian ruang lingkup etnobiologi

merupakan ilmu yang komplek meliputi berbagai disiplin ilmu antropologi,

botani, zoologi, arkeologi, paleobotani, fitokimia, ekologi, ekonomi, pertanian,

kehutanan, ekowisata dan biologi konservasi, selain itu kajiannya dapat

memberikan gambaran, peran serta dorongan terhadap pembangunan

berkelanjutan (Berlin 1992; Toledo 1992; Keating 1994; Fandeli 2002; Dede

2007).

Bukti-bukti paleobotani menunjukkan bahwa ketergantungan manusia

terhadap keanekaragaman hayati sudah diketahui semenjak prasejarah, sehingga

peran manusia atau kelompok suku, etnis dengan segala cara kehidupannya sangat

menentukan nasib lingkungannya. Sumber daya nabati, pengetahuan tradisional,

adaptasi teknologi serta lingkungan alam akan mengalami kepunahan apabila

masyarakat, warga negara, pemerintah tidak proaktif, arif terhadap suku atau

masyarakat tradisional (tradisional people).

Etnobotani menurut Cotton (1996); Purwanto (2006) dan Waluyo (2008)

merupakan ilmu interdisipliner dengan pendekatan holistik hubungan manusia

dengan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hubungan kultural, keanekaragaman

hayati, dan lingkungan dapat bersifat menguntungkan tetapi juga merugikan.

Aspek interdisipliner ini meliputi etnofarmakologi, etnomedisional,

etnogynaekologi, etnopediatrik, etnoortopedik, etnooptalmologi, etnoagrikultur,

etnotoksikologi, etnomusikologi, etnoekologi, etnofitokimia, etnolinguistik,

etnokosmetika dan lain-lain. Martin (1988) dan Cotton (1996) menjelaskan

etnobotani adalah ilmu yang mempelajari keseluruhan hubungan langsung antara

manusia dan tumbuhan untuk apa saja kegunaannya. Sedangkan Rifai dan Waluyo

(1992), berpendapat etnobotani sebagai cabang ilmu yang mendalami hubungan

budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya, dalam hal ini lebih diutamakan

persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam sistem

(43)

Etnoekologi muncul karena adanya pandangan baru ilmu ekologi yaitu

keberlanjutan (sustainability). Titik awal studi etnoekologi adalah pemahaman terhadap alam, kebudayaan dan aspek produksi. Sehingga studi etnoekologi selain

memperhatikan aspek alamiah juga mempertimbangkan aspek kebudayaan

masyarakat atau etnik dalam melakukan proses produksi. Jadi etnoekologi

merupakan disiplin ilmu menyeluruh menggabungkan aspek intelektual dan

praktis, meletakkan pusat analisisnya pada proses kongkrit secara menyeluruh dari

suatu kelompok budaya suatu etnik dalam proses produksi dan mereproduksi

material alam. Masyarakat tradisional diketahui memiliki banyak pengetahuan

yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam secara lestari, sesuai

dengan kondisi wilayahnya. Etnoekologi merupakan dasar hubungan manusia

dengan lingkungannya yaitu pemahaman tentang kebudayaan, alam dan faktor

produksi (Toledo 1992; Sukarman 1992).

2.2 Masyarakat Tengger

Masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu Dharma, sejak lama

telah menghuni lereng-lereng pegunungan Bromo Tengger Semeru pada

ketinggian antara 800–2200 m di atas permukaan laut. Persebaran wilayahnya

terletak di kabupaten tingkat II Malang, Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang.

Sebagian masyarakat Tengger mendiami daerah penyangga Taman Nasional

Bromo Tengger Semeru (Stibbe & Ulenbeck 1921; DKDJPH & PABTNBTS

1999; Anonim 2004; DKDJPH & PABTNBTS 2008).

Masyarakat Tengger dengan pengalaman yang telah teruji terhadap alam

lingkungan pegunungan, sehingga mempunyai seperangkat pengetahuan, sistem

pertanian, sistem nilai budaya, sistem kemasyarakatan, sistem kelembagaan,

sistem kepercayaan dan keagamaan. Tatanan kepemimpinan, tata ruang, kesenian,

hak tanah, adat budaya, teknologi tradisional, pengobatan, adat perkawinan,

pantangan, perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan dan pasaran,

sehingga mempunyai tatanan sosial (social order) mantap. Sistem pengetahuan tradisional sangat berhubungan dengan adat istiadat budaya, tradisi serta persepsi

yang merupakan ungkapan pola fikir didalamnya terkandung tata nilai, norma,

kaidah dan sumber daya hayati serta alam lingkungannya (DKDJPH &

(44)

Berdasarkan prasasti Walandit (Desa Walandit) berangka tahun 851 Saka

(929 M), masyarakat Tengger berasal dari kerajaan Majapahit, dikenal sebagai

wong Majapahit yang dibebaskan dari pajak (tetileman) dan dipersembahkan pada

gunung Bromo (Bataviaasch Geootschap Voor Kunsten en Wetenschappen Notulen tahun 1899 dalam DKDJPH & PABKSD IV (1984), dimana para penghuni dianggap sebagai Hulun Spiritual Sang Hyang Widhi Wasa, mereka menempati tempat suci (hila-hila). Berdasarkan prasasti Kumbolo, kitab Pararaton

dan menurut kepercayaan mereka masyarakat Tengger adalah keturunan Roro

Anteng putri Majapahit dan Joko Seger, putra seorang pertapa. Masyarakat

Tengger mempunyai sifat gotong royong yang kuat, jujur, memegang teguh

sistem nilai adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu yang

mengedepankan musyawarah berlandaskan kasih sayang (Welas Asih Pepitu)

yaitu Welas Asih marang Bapa Kuasa, Syang Hyang Widhi, Welas Asih Ibu

Pertiwi serta tanah dan lingkungannya, Welas Asih Bapa Biyung, Welas Asih

Rasa Jiwa, Welas Asih Sepadane Urip, Welas Asih Sato Kewan dan Welas Asih

Tandur Tinuwuh. Kesemuanya merupakan ajaran nenek moyang mereka yang

diwariskan turun temurun secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang

mereka, roh ada pada setiap benda, manusia, hewan maupun tumbuhan

(DKDJPH & PABKSDA IV 1984; Suyitno 2001).

Menurut Stibbe dan Ulenbeck (1921) suku Tengger menempati wilayah Distrik Kandangan, Distrik Pakis (vroeger Toempang), Distrik Pasuruan dan Distrik Probolinggo. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sekarang

ditemukan lebih dari 33 Desa Tengger, yang sebagian besar dari desa tersebut

merupakan daerah penyangga TNBTS (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Nurudin

et al. 2004). Hasil sensus penduduk tahun 1930 jumlah masyarakat Tengger adalah 10.000 jiwa, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 30.000 jiwa dan

sekarang jumlah masyarakat Tengger diperkirakan 50.000 jiwa yang tersebar di

empat Kabupaten (DKDJPH & PABTNBTS 1999; Anonim, 2004). Keberadaan

masyarakat Tengger di kawasan deretan pegunungan Tengger dan Jambangan

(Semeru) dengan Taman Nasional (TNBTS), Perhutani serta kekhasan tradisi

yang berasal dari kerajaan Majapahit merupakan modal utama untuk

(45)

mempratekkan sistem pertanian pada kondisi tanah lereng pegunungan terjal dan

bersuhu dingin, dengan membuat teras (Strip Croping), menggunakan pembatas pepohonan terutama cemara gunung (Casuarina junghuhniana).

Masyarakat Tengger sangat paham tentang bagaimana cara mengatur dan

memanfaatkan tata ruang (lanskap) dalam membangun tempat tinggal maupun

praktek tradisi pertaniannya. Tempat tinggal saling berdekatan dengan yang lain,

tanpa pagar. Rumah adat belum diketahui secara pasti, akan tetapi rumah adat

diperkirakan terbuat dari kayu atau bambu dengan atap berupa klakah (bambu

dibelah) atau alang-alang. Bentuk bangunan selalu dilengkapi perapian (tumang),

lincak dan tempat duduk (dingklik) yang berfungsi untuk tempat berkumpulnya

semua anggota keluarga untuk berdiskusi atau menerima tamu (Suyitno 2001;

Sukari et al. 2004).

Pertambahan penduduk, rendahnya pendidikan dan keterbatasan luas lahan

serta keterbukaan dengan masyarakat lain sedikit demi sedikit akan

mempengaruhi pola serta nilai kehidupan masyarakat Tengger yang sebagian

besar menempati Desa penyangga. Oleh sebab itu diperlukan pengumpulan data

yang akurat sebelum terjadi erosi atau degradasi pengetahuan lokal,

keanekaragaman hayati, kemungkinan juga kerusakan hutan sekitar mereka.

Pengetahuan lokal tentang pemanfaatan tumbuhan maupun hewan dan lingkungan

oleh masyarakat tradisional sudah banyak hilang sebelum ditulis oleh peneliti,

namun disisi lain kita ingin menggunakan sumber nabati alami, seperti obat

tradisional, kosmetika, model perumahan (back to nature).

2.3 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Kawasan Bromo Tengger Semeru dijadikan sebagai Taman Nasional

berdasarkan SK Menteri Pertanian No: 736/MentanIX/1982 tanggal 14 Oktober

1982 seluas 58.000 Ha. Pada tahun 1997 dilakukan penunjukan kawasan TNBTS

dengan SK Menhut No. 278/KPTS-IV/1997, tanggal 23 Mei 1997 dengan luas

50.267,20 Ha. Pada tahun 2005 berdasarkan Menteri Kehutanan SK No:

178/Menhut. II/2005 tentang Penetapan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

seluas 50.276,20 Ha yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten

Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Wilayah TNBTS

(46)

Hutan produksi. TNBTS dikelola berdasarkan Zonasi meliputi Zona Inti 22.006

Ha, Zona Rimba 23.485,20 Ha, Zona Pemanfaatan Intensif 425 Ha, dan Zona

Rehabilitasi 2.000 Ha, yang terletak di pegunungan Bromo, Tengger Semeru pada

ketinggian berkisar 750–3.676 m dpl serta dikelilingi area hutan Perhutani.

Berdasarkan perbedaan tinggi tempat dan suhu, formasi hutan TN.BTS dibagi

menjadi tiga Zona yaitu Sub Montane (750-1.500 m dpl); Zona Montane (1.500–

2.400 m dpl) dan Zona Sub Alpin (2.400 m dpl keatas) (Van Steenis 1972;

DKDJPH & PABTNBTS 1999; Sardiwina et al. 2002 ).

Gunung Bromo (2.392 m dpl masih aktif), gunung Widodaren (2.600 m

dpl) serta Pure Poten di lokasi lautan pasir merupakan tempat untuk upacara

Yadnya Kasada bagi masyarakat Tengger. Letak kawasan TNBTS meliputi

sebelah utara deretan pegunungan Tengger, dan sebelah selatan komplek

pegunungan Jambangan (gunung Semeru). Di komplek gunung Jambangan

(Semeru 3.676 m dpl masih aktif), sering dipergunakan untuk pendakian dan

merupakan obyek wisata alam menarik serta sering diadakan upacara oleh para

pendaki pada setiap tanggal 17 Agustus. Suhu udara di kawasan Taman Nasional

Bromo Tengger Semeru berkisar 3°C –20°C, suhu terendah pada musim kemarau

dapat mencapai dibawah 0°C. Jenis tanah adalah regusol dan litosol, warna mulai

dari kelabu, coklat, coklat kekuningan sampai putih, tekstur pasir lepas sampai

lempung berdebu. Di TNBTS terdapat empat buah danau (ranu) yaitu Ranu

Regulo (0.75 Ha), Ranu Pani (1 Ha), Ranu Kumbolo (14 Ha) dan Ranu Darungan

(0.5 Ha), 25 sungai, 28 sumber mata air dan dua air terjun (BKDJPH &

PABTNBTS 2008).

Tugas-tugas Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

flora dan satwa serta pemanfaatan secara lestari potensi sumber daya alam hayati

dan ekosistemnya untuk kepentingan budidaya, pendidikan, penelitian, ilmu

pengetahuan, sosial budaya, rekreasi dan wisata alam. Sejak tahun 1992 TNBTS

dikelola oleh Kantor TNBTS sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan dan

berdasarkan SK No: 185/kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 menjadi Balai

(47)

Kehutanan No: P.02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 manjadi Balai Besar

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Kelas IB (DKDJPH &

PABTNBTS 2008). Pada dasarnya daerah penyangga berfungsi sebagai

penyangga terhadap berbagai macam kegiatan yang dapat merusak potensi sumber

daya alam Taman Nasional.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang BTNBTS, sebagai pengelola

dan pemangku kawasan tidak terlepas dari gangguan dan ancaman yang salah

satunya ditimbulkan oleh masyarakat desa penyangga di sekitar kawasan hutan.

Secara administratif kawasan TNBTS dikelilingi 63 desa penyangga 23 desa

diantaranya adalah desa Tengger, tersebar di 17 kecamatan dan 4 Pemda TK II

Kabupaten yaitu Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Sebagian dari

masyarakat penyangga mempunyai ketergantungan terhadap potensi sumber daya

alam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pada wilayah hutan lindung tidak

boleh digunakan untuk pemukiman maupun dimanfaatkan, sedangkan hutan

lindung dan wilayah Taman Nasional dengan pembagian Zonasi merupakan

wilayah hukum de facto wilayah tersebut (Barber 1999).

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki lebih kurang 1.025 jenis

tumbuhan termasuk di dalamnya 226 jenis anggrek, 138 tanaman hias, dan 187

tanaman obat-obatan, dan fauna yang telah teridentifikasi sebanyak 158 jenis

satwa liar yang terdiri dari 130 jenis burung, 22 jenis mamalia, 6 jenis reptil dan

(48)
(49)

3. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN PENDEKATAN PENELITIAN

3.1Lingkungan Fisik 3.1.1 Letak Geografi

Kawasan Bromo Tengger Semeru merupakan rangkaian pegunungan yang,

meliputi komplek pegunungan Tengger dan Jambangan terletak pada ketinggian

750 – 3.676 m dpl, membentang 40 km dari Utara ke Selatan dan 20 – 30 km dari

Timur ke Barat dengan topografi kawasan di dominasi gunung, bukit serta lekuan

atau lembah yang diakibatkan erosi masa lalu (DKDJPH & PABTNBTS 1999;

DKDJPH & PABTNBTS 2008).

Masyarakat Tengger sebagian menempati daerah penyangga dan

berbatasan dengan kawasan konservasi TNBTS dan Perhutani berupa hutan

produksi dan hutan lindung. Desa Ranupani Kabupaten Lumajang dan Desa

Ngadas Kabupaten Malang merupakan daerah penyangga yang berada di dalam

wilayah konservasi TNBTS. Beberapa desa Tengger yang berada di luar kawasan

Taman Nasional merupakan desa penyangga yang berbatasan atau tidak

berbatasan dengan kawasan konservasi (Gambar 2).

3.1.2 Geologi, Tanah dan Hidrologi

Berdasarkan peta Geologi Jawa dan Madura dengan skala 1:500.000 dari direktorat Geologi Indonesia tahun 1963, kawasan Bromo Tengger Semeru

terbentuk dari gunung api kuarter muda sampai tua, sedangkan jenis tanah adalah

regosol dan litosol, yang merupakan abu dan pasir vulkanik bersifat permiabilitas

sangat tinggi, lapisan teratas mudah terkena erosi, warna tanah mulai dari

abu-abu, coklat sampai coklat kekuningan, putih dan struktur tanah pasir sampai

lempung berdebu (DKDJPH & PTNBTS 2009). Tanah kawasan Tengger yang

terdiri dari debu, pasir dan liat merupakan faktor penting dalam penyebaran

vegetasi. Kawasan Bromo Tengger Semeru mempunyai tata air radikal (Radical Drainase Pattern), artinya pada saat musim kemarau air permukaan sulit didapatkan. Hal tersebut disebabkan air hujan jatuh dipermukaan tanah

selanjutnya merembes melalui sebaran tanah serta batuan gunung. Pada musim

(50)

tertampung di danau (ranu) atau merembes masuk ke dalam tanah. Wilayah

Bromo Tengger Semeru (TNBTS dan Perhutani) mempunyai peranan sangat

penting dalam pengaturan tata guna air, baik terhadap masyarakat Tengger

maupun masyarakat sekitar meliputi wilayah Kabupaten Malang, Pasuruan,

Probolinggo dan Lumajang, dimana sumber air mengalir melalui 50 anak sungai.

Selain itu juga terdapat 4 danau terdiri Ranu Darungan, Ranu Pani, Ranu

Kumbolo dan Ranu Regulo (DKDJPH & PABTNBTS 1999).

3.1.3 Iklim

Jawa Timur memiliki iklim tropis basah. Berdasarkan peta wilayah hujan, dataran rendah bagian utara dan selatan mempunyai tipe iklim kering dengan

rata-rata curah hujan tahunan 1.000-2.000 mm/tahun, sedangkan bagian tengah

merupakan dataran tinggi, daerah perbukitan dan pegunungan mempunyai iklim

basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000-3.000 mm/tahun. Dibandingkan dengan

wilayah pulau Jawa bagian barat, Jawa Timur pada umumnya memiliki curah

hujan yang lebih sedikit dengan curah hujan rata-rata 1.900 mm/tahun, dan musim

hujan berlangsung selama 100 hari. Suhu rata-rata berkisar antara 21-34°C, suhu

di daerah pegunungan lebih rendah, bahkan di daerah Ranupani (lereng gunung

Semeru), suhu bisa mencapai minus 4°C yang menyebabkan turunnya salju yang

lembut. Suhu udara kawasan Bromo Tengger Semeru berkisar antara 3-20°C,

suhu udara mencapai puncaknya pada musim kemarau 3-5°C, suhu maksimum

berkisar antara 20–22°C. Berdasarkan klasifikasi tipe hujan menurut Schmidt dan

Ferguson (1951) kawasan Bromo Tengger Semeru termasuk iklim B dengan nilai

Q sebesar 14.36% dan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun (DKDJPH &

PABTNBTS 1999). Bagian laut pasir dan sekitarnya termasuk iklim C dengan

nilai Q sebesar 43.86% dengan curah hujan rata 166 mm/bulan dengan

rata-rata hari hujan 9.28 hari/bulan. Kelembaban udara kawasan Bromo Tengger

(51)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Gubugklakah

Ngadas

Ranu Pani

Argosari Pandansari Ngadisari

Ngadas Keduwung

Wonokitri Mororejo 

Ngadirejo

Lumajang Probolinggo Pasuruan

(52)

3.2 Lingkungan Biologi

Secara umum masyarakat Tengger menempati wilayah pegunungan

Bromo Tengger Semeru yang mempunyai tipe ekosistem didasarkan pada

ketinggian tempat dari permukaan laut, suhu dan formasi hutan yaitu ekosistem

hutan pegunungan bawah atau Sub Montane, ekosistem hutan hujan pegunungan

atas atau Zona vegetasi Montane. Desa-desa Tengger terletak pada ketinggian 800

-2.100 m dpl, suhu rata-rata 10-20°C, dengan lingkungan bekas hutan telah

berubah menjadi lahan tegalan yang ditanami tanaman budidaya sayur mayur.

Jenis budidaya sayur meliputi kentang (Solanum tuberosum), bawang prei (Allium fistulosum), kobis (Brassica oleracea), ucet (Vigna sinensis), wortel (Daucus carota), sawi (Brassica juncea). Untuk konservasi masyarakat Tengger mengandalkan tanaman lokal cemara gunung (Casuarina junghuhniana), putihan (Buddleja indica), trabasan (Artemisia vulgaris), cubung (Brugmansia suaneolens), paitan (Tithonia diversifolia), mentigi (Vaccinum varingiefolium), klandingan (Albizia lophanta), akasia (Acasia decurrens) suren (Toona sinensis), jabon (Ardina cordifolia) dan keningar (Cinnamomum burmanii)

Wilayah Bromo Tengger Semeru juga mempunyai ekosistem khas yaitu

Lautan Pasir (Kaldera), danau, ekosistem kawah dan padang rumput. Zona Sub

Montana ditandai kekayaan jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis paling

tinggi dan termasuk hutan hujan tropis dataran rendah pegunungan. Jenis

tumbuhan berupa tegakan hutan pohon tinggi sehingga membentuk lapisan tajuk,

tumbuhan epifit liana, terna dan semak. Zona vegetasi Sub Montana memiliki

struktur yang kompleks dibanding dengan Zona vegetasi lainnya. Jenis-jenis

pepohonan yang paling dominan meliputi jenis dari anggota suku Moraceae,

Anacardiaceae, Lauraceae, Fagaceae, Sterculiaceae, Anacardiaceae, Rubiaceae

dan Euphorbiaceae.

Selain beranekaragam jenis pohon di Zona Sub Montana juga terdapat

tumbuhan epifit, dari suku Polypodiaceae, Hymenophyllaceae, Lycopodiaceae,

Marattiaceae, Orchidaceae, Marchantiacae dan Bryophyta. Berbagai jenis

(53)

paitan, kerinyu, tehan, trabasan, tanaman anting-anting (Fuchsia hybrida), anggrek dan jenis paku pohon (Cyathea tenggeriensis).

Pada vegetasi Zona Montana jenisnya mulai berkurang meliputi jenis

cemara gunung, paku pohon, mentigi, kemlandingan gunung, akasia, edelweiss

(Anaphalis longifolia) dan senduro (Anaphalis javanica). Tumbuhan bawah meliputi tumbuhan paku-pakuan, anggota suku Poaceae meliputi alang-alang

(Imperata cylindrica), bambu jajang (Gigantochlea apus), bambu betung (Dendrocalamus asper) dan rumput merak (Themeda sp), Cypeaceae dan Asteraceae. Lautan pasir ditumbuhi adas (Foeniculum vulgare), alang-alang, paku-pakuan dan pusek (Eupatorium sp).

Jenis-jenis eksotik yang ditanam sekitar masyarakat Tengger seperti damar

(Agathis lorantifolia) dari Maluku, Pinus merkusii, Eupatorium palescens, Bidens pilosa, poo (Melaleuca leucadendron), Acasia iliciformis, apel (Pyrus malus), keningar, jabon, suren dan mindi (Melia azedarach) (DKDJPH & PABTNBTS 1995; DKDJPH & PABTNBTS 1997).

Hewan liar yang menghuni daerah Tengger dan kawasan Bromo Tengger

Semeru berdasarkan catatan tahun 1996-1997 diketahui ada 113 jenis fauna terdiri

dari 22 jenis mamalia, 85 jenis burung, dan 6 jenis reptilia. Jenis yang terdapat di

(54)

3.3Lingkungan Sosial Budaya

3.3.1 Aspek Sosial Budaya

Sistem sosial masyarakat berkembang bersamaan dengan struktur sosial

yang berpengaruh terhadap perubahan sistem sosial masyarakat. Fenomena

tersebut juga terjadi di desa-desa di lingkungan masyarakat Tengger. Mereka

dikenal sebagai suku Tengger, wong Tengger atau wong Majapahit, dimana

masyarakatnya lugu, sederhana, jujur serta menyukai kehidupan dalam harmoni

dan kedamaian. Perubahan dan perkembangan sosial tersebut menyebabkan

terbentuknya unit-unit sosial yang berkembang dari sistem lama dan akan

mengalami perubahan.

Masyarakat sederhana ditandai adanya kelembagaan yang terintegrasi tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara aturan-aturan dan tuntutan. Mereka

mempunyai sistem pertanian, kelembagaan, kemasyarakatan, kepercayaan dan

upacara keagamaan, kepemimpinan, dan adat budaya yang unik. Upacara adat,

kesenian tradisional, teknologi tradisional, hak tanah, pengobatan, pantangan,

perdagangan, sistem kekerabatan serta hari, bulan dan pasaran merupakan bentuk

adaptasi kehidupan mereka. Sistem pengetahuan tradisional sangat berhubungan

dengan adat istiadat budaya, tradisi serta persepsi yang merupakan ungkapan pola

pikir yang didalamnya terkandung tata nilai, norma, kaidah dan sumber daya

hayati serta alam lingkungan sekitar (DKDJPH & PABKSD 1984; Widyoprakosa

1994; Suyitno 2001). Masyarakat Tengger mempunyai sifat gotong royong yang

kuat, jujur, memegang teguh adat budaya serta kepercayaan sebagai pemersatu

yang mengutamakan musyawarah berlandaskan Welas Asih Pepitu yang

merupakan ajaran nenek moyang mereka yang diwariskan secara turun temurun

secara lisan. Menurut kepercayaan nenek moyang mereka adanya roh pada setiap

benda, sampai pada manusia, hewan maupun tumbuhan (Suyitno 2001;

Widyoprakosa 2004).

Gunung Bromo sebagai tempat upacara Yadnya Kasada dipercaya sebagai

tempat suci. Puncak upacara Yadnya Kasada bertempat di Pure Poten dan

diadakan pada tengah malam hingga pagi hari, pada setiap bulan purnama bulan

Gambar

Gambar 1   Kerangka fikir studi Etnobiologi dalam kehidupan masyarakat
Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Gambar 4.  Struktur organisasi Pemerintahan Desa dan Lembaga Adat masyarakat
Tabel 2 Keanekaragaman jenis tanaman pekarangan sebagai bahan pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan terdiri dari : (1) karakteristik wisatawan mancanegara, meliputi: variabel geografi (negara asal); variabel demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan,

Some suggestions can be asserted for the follow- ing related parties such as: 1 Balai Besar Taman Na- tional National Park Agency of the Bromo Tengger Semeru and the surrounding area

In addition, integrating cultural assets and local wisdom into tourism development is particularly important especially in the context of Bromo Tengger Semeru National Park TNBTS which

1 | 2022 | DOI: 10.21776/ub.biotropika.2022.010.01.10 ANURAN DIVERSITY AND COMMUNITY STRUCTURE IN LESTI UPRIVER ACROSS BUFFER ZONE HABITAT IN BROMO TENGGER SEMERU NATIONAL PARK

Enhancing strength to optimizing opportunities Strategy enhancing strength to optimizing op- portunities includes some important action, in- cluding: 1 Using Anaphalis species