4. Dampak Musim dan Perubahan Cuaca Yang Ekstrim di Indonesia Bagi
Kesehatan
Cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia belakangan ini merupakan dampak dari perubahan iklim global. Kondisi tersebut berdampak buruk terhadap kesehatan, khususnya penyakit menular melalui media air, udara, serangga nyamuk, dan makanan. Perubahan cuaca yang begitu tiba-tiba saat ini, ternyata membawa dampak yang kurang baik bagi kesehatan tubuh kita. Di mana pada pagi hari ketika kita akan melakukan aktivitas kondisi udara masih terasa dingin, namun beranjak siang hari udara berubah secara drastis menjadi panas sekali. Perubahan iklim ini tentunya harus diwaspadai agar tidak memberikan dampak yang berbahaya bagi tubuh kita. Karena, tanpa bekal tameng yang kuat di tubuh kita maka sistem imunitas tubuh kita menjadi lemah dan yang lebih parah lagi, kulit menjadi rusak dan terjadi penuaan dini.
Perubahan iklim yang drastis juga mengakibatkan terjadinya kekeringan (pada musim kemarau) karena sumber air menjadi menyusut sehingga ketersediaan pangan pun menjadi terganggu. Akibat hal tersebut, maka kemungkinan akan terjadi peningkatan potensi penyebaran penyakit infeksi pencernaan, sanitasi dasar, diare, kontaminasi makanan oleh berbagai penyakit yang dikarenakan virus tipus atau pes, karena minimnya kedasaran dan kebiasaan cuci tangan sebelum makan.
Selain itu, dalam perubahan cuaca yang tidak menentu seperti saat ini juga sangat rentan akan penyebaran penyakit yang dikarenakan nyamuk seperti, deman berdarah, chikungunya, kaki gajah, dan malaria. Penyakit ini sangat berbahaya karena kerap kali menimbulkan korban jiwa. Berapa banyak tiap tahunnya korban yang berjatuhan akibat deman berdarah yang kini sudah tidak mengenal musim lagi (hanya terjadi pada musim hujan) karena musim sudah tidak menentu dan panjang atau singkatnya musim kini sudah tidak dapat diprediksi lagi.
Untuk itu kita harus membentengi diri dengan meningkatkan kesehatan, yang dimulai dengan memperhatikan kebersihan lingkungan kita. Selain itu pola hidup dan makan juga harus lebih teratur, membiasakan diri untuk berolah raga secara rutin agar tubh menjadi sehat. Untuk menambah kesehatan kita juga disarankan untuk mengkonsumsi vitamin yang diperlukan tubuh, yang akan membantu meningkatkan sistem imunitas tubuh kita.
5. Teknologi Informasi dan Komputer dalam Penyelesaian Dampak
Peristiwa Alam
Tindakan mitigasi terhadap perubahan iklim bagi negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dilakukan lewat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Implementasinya melalui pemanfaatan ‘Climate Friendly Technology’ (proses alih teknologi yang difasilitasi oleh mekanisme pendanaan Internasional). Tujuannya yaitu untuk dapat memberikan kontribusi dalam upaya penurunan emisi karbon. Tindakan mitigasi terhadap perubahan iklim bagi negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dilakukan lewat pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Implementasinya melalui pemanfaatan ‘Climate Friendly Technology’ (proses alih teknologi yang difasilitasi oleh mekanisme pendanaan Internasional). Tujuannya yaitu untuk dapat memberikan kontribusi dalam upaya penurunan emisi karbon. Namun, bagi negara berkembang seperti Indonesia persoalannya tidak semudah membalik tangan. Partisipasi aktif melakukan gerakan mitigasi terkendala bukan pada pendanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutannya, tetapi justru pada awal memulainya yaitu pada jenis pilihan dan proses alih-teknologinya.
Faktor yang menjadi kendala teknologi mitigasi perubahan iklim di Indonesia:
(1). Ketersediaan teknologi yang notabene berasal dari luar dan tentu saja memerlukan proses waktu adaptasi. Bagi Indonesia misalnya, teknologi yang dipilih tersebut memerlukan proses tropikalisasi. Yakni penyesuaian teknologi terhadap lokasi.
(2). Proses adopsi teknologi juga tidak mudah. Bagi teknologi yang non-disruptive, persoalan tersebut muncul pada strata perbedaan masyarakat penerima teknologi yang oleh Rogers (1962) disebut sebagai polapsikografik. Pola ini terbagi dalam lima kelompok masyarakat penerima (adopter) teknologi. Dua kelompok pertama, yaitu kelompok inovator (2.5%), dan kelompok yang mudah menerima teknologi baru (13.5%). Kedua kelompok ini biasanya dari kalangan terdidik, hidup pada tingkat sosial yang tercukupi dan sebagiannya berupa orang-orang yang senang menghadapi risiko. Kemudian kelompok yang konservatif namun terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yang pada umumnya terdiri dari pemimpin informal, dan aktif di dalam masyarakat (late adopter). Dan dua kelompok sisanya terdiri dari late majority (34%), dan laggards (16%). Kelompok terakhir ini dicirikan oleh latar belakang pendidikan yang rendah dan tertinggal, sangat konservatif dan tertutup, bahkan sering tidak tersentuh dalam strata kemajuan dan tata-pergaulan masyarakat.
(3). Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi sebuah teknologi untuk bisa diterima dan diterapkan dalam kegiatan pembangunan sehari-hari. Belum lagi persoalan apakah jenis teknologi yang bersangkutan merupakan jenis teknologi yang memberikan kontribusi bagi upaya pengurangan emisi karbon. Dalam konteks ini, diperlukan dua tahap evaluasi terhadap teknologi yang tersedia dan akan diterapkan. Pertama, evaluasi terhadap jenis teknologi yang layak terap. Dan, kedua, evaluasi jenis-jenis teknologi yang memang memberikan kontribusi bagi upaya pengereman laju peningkatan konsentrasi karbon.
b. Technology Clearing House (TCH)
kebijakan strategic nasional dalam bidang iptek. Implementasinya pun difasilitasi dengan berbagai bentuk insentif. Namun, seperti yang sering dikeluhkan, belum banyak hasil-hasil dari penelitian yang dimanfaatkan dalam aktifitas pembangunan. Belum lagi memilih dan memilah hasil-hasil teknologi yang memberikan dukungan bagi upaya mitigasi. Untuk itu, perlu ada hubungan antara litbang tiap departemen agar ilmu dan riset yang dihasilkan bisa dipakai pemerintah dalam menentukan kebijakan terutama dalam mitigasi menghadapi perubahan iklim.
Selanjutnya butuh upaya terlembaga dan terstruktur dalam rangka mempersiapkan kesemuanya: (i) jenis teknologi, (ii) arah pengembangan, (iii) besar skala pengembangan, (iv) road-map pengembangannya, dan (v) basis-data turunan teknologinya. Hal ini diperlukan agar bentuk teknologi yang terpilih lolos dari berbagai hambatan baik teknis maupun non-teknis, di hulu maupun hilirnya. Upaya ini tentu tidak bisa datang hanya pada tingkat individu.
Maka dari situlah direncanakan dan dibuatlah sebuah satuan khusus yang bertugas untuk menyediakan informasi terkait dengan ketersediaan jenis-jenis teknologi yang layak untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, yang dinamai Technology Clearing House. Fungsinya yaitu memberikan satu inti pelayanan untuk berbagai penjelasan terhadap teknologi tersebut, termasuk didalamnya cara penerapan, karakteristik kondisi yang dibutuhkan, serta kelebihan dan kekurangannya. Lembaga ini bisa juga menjadi forum bagi para pihak yang berkepentingan mengkaji dan mendiskusikan kebijakan untuk memacu pemanfaatannya, serta memperbaharui pemanfaatan dari teknologi yang bersangkutan. Unit ini pula yang memberikan fasilitas jaminan perlindungan bagi konsumen pemakainya.
c. Teknologi Antisipasi Dampak Iklim Pengkajian - Sumberdaya Pertanian
Dampak langsung dari perubahan iklim yang dihadapi sektor pertanian antara lain adalah 1) meningkatnya kondisi cuaca ekstrim yang ditandai musim hujan yang ekstrim tinggi menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, dan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan resiko kekekeringan, 2) pergeseran awal musim hujan yang berdampak terhadap pergeseran awal musim tanam dan panjang musim tanam, dan 3) kondisi cuaca yang tidak menentu menyebabkan terjadinya perubahan pola sebaran dan dominansi organisme pengganggu tanaman (OPT). Sebagai salah satu terobosan rekomendasi teknologi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Pertanian pada tahun 2012 telah merilis Kalender Tanam yang sifatnya dinamis dan terpadu. Badan Litbang Pertanian (2011) juga merekomendasikan teknologi untuk menghadapi kekeringan panjang melalui teknologi panen hujan seperti embung, rorak, dam parit, sumur renteng, irigasi tetes, irigasi gravitasi, irigasi kapiler. Pada lahan kritis dengan satu-satunya sumber air hanya berasal dari air hujan, kekeringan akan menjadi faktor pembatas utama dalam keberlangsungan usahatani lahan kering. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan efisiensi pengairan agar air yang tersisa selama musim kemarau dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mengairi tanaman.
dilakukan di lokasi kajian, 2) Merakit 1 paket teknologi antisipatif terhadap dampak perubahan iklim melalui pengaturan pola tanam dan panen hujan dan 3) Melaksanakan satu model sekolah lapang iklim di tingkat kelompok tani. Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di kabupaten Bantul dari bulan Januari – Desember 2012. Ruang lingkup dalam pengkajian ini adalah sebagai berikut : 1) Menguji ketepatan prediksi awal musim tanam berdasarkan kalender tanam 2012 dibandingkan dengan awal musim tanam riil yang dapat dilakukan di lokasi kajian yaitu dengan menghitung berapa dasarian selisih antara rekomendasi KATAM dibandingkan dengan kondisi riil di lapangan. 2) Pengkajian teknologi antisipatif terhadap dampak perubahan iklim melalui pengaturan pola tanam dan panen hujan dilakukan di lahan kering perbukitan kritis di dusun Nawungan I, Desa Selopamioro, kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Pola tanam pada musim kemarau yang dikaji pada kegiatan ini adalah: model A. Pola tanam petani (kontrol) bawang merah tumpanggilir dengan tembakau, model B. Pola tanam introduksi: bawang merah dengan pengaturan interval pemberian air sesuai kapasitas lapang dilanjutkan dengan cabe keriting, model C. Pola tanam bawang merah tumpanggilir cabe keriting model D. Monokultur cabe. 3) Model sekolah lapang iklim dilaksanakan pada tingkat kelompok tani binaan dengan berpanduan pada modul pelaksanaan SLI yang telah ada.
Hasil yang didapat adalah: 1) Terdapat selisih sebesar 1 sampai 4 dasarian antara prediksi awal MT yang dirilis Katam Terpadu dibandingkan dengan awal musim riil yang terjadi di lapangan. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena prediksi awal musim merupakan fungsi dari nilai peluang dan sangat dipengaruhi oleh dinamika atmosfer, namun demikian diharapkan pada masa depan prediksi dapat memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi sehingga memperkecil kemungkinan ketidaktepatan prediksi. 2) Pola tanam introduksi bawang merah yang disiram tiap 3 hari sekali dilanjutkan dengan cabe keriting merupakan model pola tanam antisipatif terhadap dampak perubahan iklim yang layak secara ekonomi, dimana pada simulasi bila harga turun 30% produksi turun 20% biaya naik 20% yang mungkin terjadi pada kondisi iklim ekstrim menunjukkan kesimpulan bahwa pola tanam tersebut masih layak diusahakan. 3) Model Sekolah Lapang Iklim (SLI) telah dilaksanakan di Kelompok Tani Lestari Mulyo, Selopamioro, Imogiri, Kab. Bantul. Materi SLI terdiri dari: pengenalan iklim dan cuaca, membuat alat pengukur curah hujan, mengamati unsur iklim, hujan tipuan dan antisipasinya, pengendalian hama dan penyakit akibat anomali iklim serta menganalisa hasil pengamatan unsur iklim.
Sumber:
- http://tyna17.wordpress.com/2009/04/21/teknologi-mitigasi-perubahan-iklim/
- http://www.gentongmas.com/berita/706-efek-perubahan-cuaca-yang-ekstrim-bagi-kesehatan.html
- http://yogya.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?