• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologis Kehidupan “Otaku” Pencinta Budaya Visual Modern Jepang) Sebagai Tokoh-Tokoh Dalam Komik “Genshiken” Karya : Kio Shimoku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Sosiologis Kehidupan “Otaku” Pencinta Budaya Visual Modern Jepang) Sebagai Tokoh-Tokoh Dalam Komik “Genshiken” Karya : Kio Shimoku"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO

SHIMOKU

KIO SHIMOKU NO SAKUHIN NO “GENSHIKEN” MANGA NO SHUJINKOU TOSHITE OTAKU (NIHON NO GENDAI SHIKAKU

BUNKA NO FAN) NO SEIKATSU NO SHAKAIGAKU TEKI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

SARI ANGGRAINI SILALAHI NIM : 040708047

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO

SHIMOKU

KIO SHIMOKU NO SAKUHIN NO “GENSHIKEN” MANGA NO SHUJINKOU TOSHITE OTAKU (NIHON NO GENDAI SHIKAKU

BUNKA NO FAN) NO SEIKATSU NO SHAKAIGAKU TEKI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I: Pembimbing II :

Drs. Amin Sihombing

NIP : 131945676 NIP : 131763365 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(3)

Disetujui Oleh :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi S-1 Sastra Jepang

Ketua Program Studi,

Drs. Hamzon situmorang, MS, Ph.D

NIP : 131422712

(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi

Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dlam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada

Fakultas Sastra Jepang.

Pada :

Tanggal :

Pukul :

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D

NIP : 131284310

Panitia Ujian Tanda Tangan

No. Nama

1. ( )

2. ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala nikmat

dan rahmat yang diberikan-Nya kepada kita kita semua. Tak lupa shalawat dan salam

kepada junjungan kita Nabi besar, Muhammad SAW.

Atas berkat dan rahmat-Nya lah, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul “ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA

BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH

DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO SHIMOKU”, yang

merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis inigin menyampaikan rasa terima kasih kepada

orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini :

1. Orang tua saya, yaitu ibu saya, Nuzuliani dan ayah saya, S.Silalahi yang telah

begitu berjasa dalam membesarkan serta memberikan dukungan buat saya

dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku pembimbing I yang telah banyak

membantu dan membimbing saya selama menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku pembimbing II yang juga

dengan sabar membimbing saya dan meluangkan waktunya membaca dan

(6)

4. Bapak Drs.Hamzon Situmorang, MS.Ph.D, selaku ketua jurusan Program

Studi Sastra Jepang yang telah banyak memberikan saran dan kritik kepada

penulis yang sangat membangun.

5. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D selaku dekan Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

6. Dosen-dosen dan staf-staf Fakultas sastra, khususnya dosen-dosen Sastra

Jepang yang telah membimbing dan mengajar saya selama belajar di Fakultas

Sastra Jepang.

7. Untuk Keluarga dan famili yang telah banyak memberi dukungan dan

semangat buat saya.

8. Buat teman-teman saya, Inez, Yani, Nirmala (yang selalu mendorong saya

untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini), Fitri, Lusi, Ridhona, Septia,

Miskah, Rizky, (anak-anak yang duduk di bangku belakang yang sering

moody buat belajar), buat teman-temanku Lola, Sery, Santi serta anak

Gerobak Pasir yang lain, juga kepada semua teman satu stambuk ’04 yang

begitu banyak memberikan kenangan manis maupun pahit selama saya kuliah

di Sastra Jepang ini.

9. Buat sahabatku Farahdiba Asseweth yang selalu cerewet dan selalu ada

untukku kapanpun.

10.Buat Abdurrahman (Maman) yang telah banyak membantu tugas-tugasku

(7)

11.Senpai-senpai dan kohai-kohai di Sastra Jepang, khususnya buat kak Risaharti

yang skripsinya banyak memberikan ide dan inspirasi saya untuk

menyelesaikan skripsi ini.

12.Semua pihak yang turut membantu dan mnedukung saya selama ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis

sendiri dan teman-teman yang tertarik dengan hal mengenai Jepang.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai

kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan untuk

masa yang akan datang.

Medan, Juni 2008

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.6. Metode Penelitian ... 14

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP KELOMPOK, OTAKU, DAN MANGA (KOMIK JEPANG) ... 16

2.1. Masyarakat Jepang Sebagai Masyarakat Kelompok ... 16

2.2. Sejarah dan Perkembangan Otaku di Jepang ... 19

2.2.1. Latar Belakang Lahirnya Istilah Otaku di Jepang ... 19

2.2.2. Perkembangan dan Lahirnya Kelompok Otaku di Jepang ... 21

2.2.3. Jenis-jenis Otaku di Jepang... 22

(9)

2.3. Gambaran Kehidupan Sosial dan Perilaku Para Otaku

di Jepang ... 25

2.3.1. Kehidupan Sosial Para Otaku di Jepang dengan Lingkungan Sosialnya ... 25

2.3.1.1. Kehidupan Sosial Para Otaku dengan Sesama Otaku ... 25

2.3.1.2. Kehidupan Sosial Para Otaku dengan yang Non-Otaku ... 27

2.3.2. Perilaku Para Otaku ... 28

2.4. Komik dan Manga (Komik Jepang). ... 29

2..4.1. Defenisi Komik ... 29

2.4.2. Sejarah Komik ... 30

2.4.3. Sejarah Manga ... 31

2.4.4. Perkembangan Manga di Jepang ... 35

2.4.5. Pengaruh Manga Terhadap Para Otaku ... 36

2.5. Riwayat Hidup Kio Shimoku dan Karyanya ... 38

2.6. Defenisi dan Studi Sosiologi Sastra ... 39

BAB III. ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” ... 41

3.1. Sinopsis Cerita Komik Genshiken ... 41

(10)

dalam Komik Genshiken ... 52

3.2.1. Sasahara Kanji ... 52

3.2.2. Kousaka Makoto... 54

3.2.3. Kasukabe Saki ... 55

3.2.4. Madarame Harunobu ... 57

3.2.5. Tanaka Soichirou ... 60

3.2.6. Kugayama Mitsunori ... 62

3.2.7. Ōno Kanako ... 64

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

4.1. Kesimpulan ... 66

4.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Otaku (オタク) adalah istilah atau sebutan dalam bahasa Jepang yang

dipakai untuk orang yang tergila-gila pada budaya visual modern Jepang, seperti :

komik jepang (manga, 漫画), anime (アニメ), game, cosplay, dan lain-lain. Kata

otaku sendiri berarti “rumahmu” atau “kamu” (お宅) dan mempunyai konotasi

formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam makna lain. Awalnya

adalah ketika kalangan penggemar anime dan manga (komik) ketika bertemu dan

saling menyapa, “お宅 の コレクション を 見てもいいですか。”

(Bolehkah saya melihat koleksi kamu?) dengan menggunakan bahasa yang sopan.

Istilah otaku berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji Kawamori dan

Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya belajar di

Universitas Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat, mereka

menggunakan kata otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue juga

turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.

Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel

Otaku no kenkyuu (お宅の研究) dalam majalah Manga Burikko yang ditulis oleh

jurnalis Akio Nakamori. Ia menyebut fans sebagai otaku-zoku (generasi otaku) dan

menulis bahwa otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh. Istilah otaku itu menjadi

(12)

Miyazaki tahun 1989 yang membuka fakta bahwa Miyazaki adalah seorang “otaku”

yang tidak dapat membedakan dan memisahkan antara kenyataan dengan khayalan

yang ia konsumsi melalui manga dan anime (yang kebanyakan mengandung unsur

kekerasan dan pornografi/hentai).

Otaku lahir dan berkembang karena pengaruh tekhnologi yang berkembang

dan masyarakat sendiri yang melahirkan dan membuat identitas untuk mereka.

Menurut Volker Grassmuck dalam artikel “Sendiri Tapi Tak Kesepian” (terjemahan)

tahun 1990, bahwa dalam banyak hal, otaku adalah bagian dari fenomena media.

Media lah salah satu sebab utama kemunculan mereka, kemudian media jugalah yang

menciptakan nama untuk mereka. Mereka hidup di dalam dunia maya-informasi yang

disediakan oleh media, dan bahkan penelitian tentang otaku sebenarnya adalah

penelitian tentang sejarah media.

Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham masyarakat

kelompok (shuudan shugi). Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang

merasuk ke dalam gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang.

Sehingga orang merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok.

Menurut Suryohadiprojo (1982 : 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah

peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam

kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena

pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena individualisme.

Seperti kelompok yang dibentuk oleh para otaku di Jepang, walaupun mereka tertutup

tetapi mereka juga tidak ingin sendirian dan tetap berjalan dalam lingkaran kelompok

(13)

Para otaku dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam hasil karya

sastra kebanyakan adalah sosok-sosok yang dipandang negatif oleh orang Jepang

dikarenakan kesukaan atau hobi (biasanya manga dan anime) mereka terhadap

sesuatu sangat berlebihan dan terkadang menyimpang, sehingga dirasakan “aneh” dan

“maniak”.

Karya sastra merupakan salah satu media umtuk menggambaran kejadian

yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Rene Wellek dalam Melani Budianto (1997 :

109) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa

dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan

sosial. Selain itu, menurut Boulton dalam Aminuddin (2000 : 37) mengungkapkan

bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa

yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan

yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.

Sastra secara umum, terdiri atas berbagai variasi jenis sastra, seperti puisi,

prosa, drama, roman, dan lain sebagainya. Salah satu karya sastra dalam bentuk prosa

adalah novel, cerpen, cerita bergambar (cergam), kartun (komik), dan lain

sebagainya.

Komik merupakan salah satu karya sastra yang dapat memikat penikmat

sastra dari berbagai macam kalangan, baik anak-anak, remaja, bahkan orang tua.

Pengertian komik dalam artikel “Selintas Sejarah Komik Indonesia” yang ditulis oleh

Guntur Angkat (2004), menurut kutipan Marcel Bonnet dalam bukunya “Komik

Indonesia” adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan

(14)

pemikiran dan perenungan.

Komik dalam bahasa Jepang disebut manga. Kata “manga” (漫画) digunakan

pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai Katsushika dan berasal dari dua

huruf Cina yang artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu. Pada

akhir abad 18, buku komik yang muncul untuk pertama kalinya adalah kibyoushi

yaitu buku yang berisikan cerita dengan gambar beserta narasi dan dialog di

sebelah/mengelilinginya. Tema yang diangkat pun bermacam-macam. Pada akhir

abad 19, Jepang secara cepat menyerap budaya, pengetahuan dan teknologi Barat,

sehingga kibyoushi tergeser keberadaannya. Dan dalam sejarah manga, mungkin yang

perlu dicatat adalah peranan Osamu Tezuka yang dikenal sebagai “God of Manga”.

Tetsuwan Atom adalah manga karya Osamu Tezuka yang terkenal.

Komik memiliki berbagai macam jenis (genre) sendiri. Komik di Jepang

(manga) terbagi atas 4 sasaran penikmat, yaitu komik untuk anak laki-laki (shounen

manga), komik untuk anak perempuan (shoujo manga), komik untuk remaja (seinen

manga), dan komik untuk orang dewasa (sejin manga).

Salah satu komik Jepang yang sangat menarik dan membahas mengenai

kehidupan para otaku di Jepang yaitu komik “GENSHIKEN”(げんしけん) karya

Kio Shimoku (木尾士目) yang termasuk dalam jenis seinen manga dan diterbitkan

oleh Kodansha. Kio Shimoku adalah seorang komikus Jepang yang lahir pada tahun

1974. Kio Shimoku dalam wawancara PWCW (Publisher Weekly Comics Week)

menyatakan dirinya sendiri juga adalah seorang otaku, dan ia ingin agar masyarakat

(15)

kehidupan para otaku di Jepang, terlepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap

komunitas otaku tersebut. Kio Shimoku juga membuat komik “Kujibiki Umbalance”

yang bergenre sama dengan komik “Genshiken” yang termasuk dalam genre shounen

manga (komik untuk anak laki-laki)

Genshiken (げんしけん) merupakan komik yang mengisahkan kehidupan

para otaku di Jepang yang sangat total dalam menjalani kehidupan ke-otaku-annya.

Cerita komik Genshiken ini bermula dari anak muda yang bernama Sasahara Kanji

(笹原完士) yang sangat mengggemari sesuatu hal, khususnya manga dan anime, dan

berniat menjadi anggota dari sebuah klub di Universitas Shiou yang baru

dimasukinya yang bernama GENSHIKEN”, yaitu singkatan dari Gendai Shikaku

Bunka Kenkyukai (現代視覚文化研究会) yang berarti The Society for the Study of

the Modern Visual Culture (Kelompok Penelitian Budaya Visual Moderen). Para

anggota klub ini memiliki minat yang berbeda-beda, mulai dari menggambar

doujinshi (komik buatan fans yang meniru karakter suatu komik), membaca manga ,

menonton anime, bermain video game, ber-cosplay (memakai kostum layaknya tokoh

komik), merakit plamo (plastic model), dan lain-lain. Namun ada satu kesamaan

diantara mereka, yaitu sangat tertarik pada manga dan anime.

Dalam komik ini digambarkan dengan jelas kehidupan sosial, gaya hidup dan

perilaku khas para otaku ini. Mereka melakukan berbagai kegiatan yang berbeda dari

kehidupan “orang normal” lainnya, seperti bekerja dan belajar, tetapi mereka lebih

suka membaca manga, menonton anime, dan mencari informasi tentang apa saja yang

(16)

kebanyakan rela menghabiskan uangnya hanya untuk membeli barang-barang yang

berhubungan dengan hobinya tanpa perduli dengan harganya. Semakin lengkap

koleksinya, maka mereka akan semakin puas dan saling berlomba-lomba untuk

memamerkan koleksinya ke sesama otaku lainnya. Walaupun mereka mendapat

pertentangan dan tekanan dari kelompok lain, diakibatkan ‘keanehan’ mereka

tersebut, mereka berusaha mati-matian untuk tetap mempertahankan prinsipnya. Dan

walaupun mereka tertutup terhadap yang lain, mereka tetap mencoba berhubungan

baik dengan klub lainnya, dengan tidak saling mengganggu.

Pengarang juga menggambarkan dengan jelas prinsip dan pandangan para

otaku, serta kondisi sosial yang membentuk karakter para otaku dalam komik ini.

Selain itu, pengarang memasukkan berbagai macam pesan moral, yaitu “selama orang

itu bisa membedakan baik dan buruk, mana yang merupakan imajinasi dan mana

yang kenyataan, serta kegemaran tersebut tidak merugikan orang lain, maka itu

bukanlah sesuatu yang salah”. Selain itu pengarang juga berusaha menyampaikan

bawa “otaku juga seorang manusia sama seperti yang lainnya dan punya perasaan

yang peka”. Hal inilah yang membuat penulis ingin memaparkan dan membahas

kehidupan para otaku ini serta kehidupan sosial dan perilaku mereka melalui skripsi

ini yang berjudul “ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU”

(PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI

TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO SHIMOKU”.

1.2. Perumusan Masalah

(17)

kelompok (shuudan shugi). Orientasi dalam kelompok mempunyai pengaruh yang

merasuk ke dalam gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang.

Sehingga orang merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok.

Karena itu orang Jepang selalu terlihat berkelompok dalam melakukan kegiatan,

seperti kelompok berdasarkan pendidikan (gakubatsu), pekerjaan, hobi, klub-klub,

dan lain-lain. Seperti dalam kelompok otaku (berdasarkan persamaan hobi),

walaupun tertutup serta kurang dapat bergaul secara langsung, mereka tetap hidup

dalam kelompok yang memiliki hobi yang sama dengan mereka. Para otaku tersebut

akan berkumpul dengan sesamanya dan membentuk kelompok tersendiri, diluar

masyarakat yang ada.

Kelompok otaku sudah banyak digambarkan dalam karya sastra khususnya

dalam komik (manga). Namun, para otaku dalam kehidupan nyata ataupun yang

tergambar dalam hasil karya sastra kebanyakan adalah sosok-sosok yang dipandang

negatif oleh orang Jepang dikarenakan kesukaan atau hobi mereka terhadap manga

dan anime yang berlebihan dan terkadang menyimpang sehingga dirasakan “aneh dan

maniak”. Karena itu, para otaku kurang dapat diterima oleh masyarakat di Jepang.

Meskipun begitu, karena prinsip dan gaya hidup orang Jepang untuk cenderung hidup

dalam kelompok maka para otaku di Jepang tersebut berkumpul dan membentuk

kelompoknya sendiri.

Kehidupan para otaku yang digambarkan oleh Kio Shimoku dalam komik

Genshiken ini sangat total dan mendalami kehidupan otaku-nya. Tokoh-tokoh dalam

komik ini sebagian besar mewakili jenis dan karateristik kebanyakan otaku di Jepang.

(18)

otaku plamo. Mereka berkumpul dan berkelompok untuk melakukan kegiatan

ke-otaku-annya dalam ruangan klub mereka yang disebut Genshiken yang sudah menjadi

seperti surga bagi mereka, karena didalamnya terdapat berbagai macam barang yang

sangat mereka sukai. Para otaku ini memiliki kesamaan akan kesukaan mereka

terhadap manga dan anime, dimana mereka bisa membahas tentang manga dan anime

kesukaan mereka sampai lupa waktu. Klub-klub lain memandang “aneh” klub ini.

Tapi mereka berusaha mati-matian menjaga klub mereka tetap eksis.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan penelitian ini mencoba menjawab

masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana kehidupan sosial para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik

“Genshiken”.

2. Bagaimana perilaku para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik “Genshiken” .

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Ditinjau dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis

menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini

dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang

jauh, sehingga penulisan dapat terarah dan terfokus.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan

yang difokuskan pada perilaku dan kehidupan sosial otaku tokoh-tokoh dalam komik

ini, yang dapat dilihat dari tingkah laku, dan cara berpikir para otaku dalam komik

tersebut. Penulis juga akan mendeskripsikan bagaimana kehidupan sehari-hari serta

(19)

otaku-nya dalam komik “Genshiken” ini.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003 : 2) yaitu pemahaman terhadap totalitas

karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di

dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen yaitu

sastra dan masyarakat. Oleh karenanya, analisis sosiologis memberikan perhatian

yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat

tertentu.

Menurut Nyoman (2003 : 11) bahwa analisis sosiologis memberikan perhatian

yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat

tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan

masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme

tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif.

Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya,

antar-hubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.

Menurut Wellek dan Warren (1962 : 37), fungsi sastra berada dalam kerangka hakikat

karya sastra.

Menurut Swingewood dalam Faruk (1999 : 43) mengisyaratkan perlunya

pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani

hubungan antara sastra dengan masyarakat itu. Selain itu perlu pertimbangan formasi

(20)

masyarakat tersebut (Wolff dalam Faruk, 1999 : 43). Melalui karya sastra maka dapat

terlihat bagaimana kehidupan sosial yang membentuk masyrakat tersebut.

Di dalam setiap masyarakat terdapat apa yang dinamakan pola-pola perilaku

atau patterns of behavior. Pola-pola perilaku menurut Soerjono Soekanto (1999 : 180)

merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus

diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan manusia dalam

masyarakat selalu mengikuti pola-pola masyarakat tadi. Kecuali terpengaruh oleh

tindakan bersama tadi, maka pola-pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh

kebudayaan masyarakatnya.

Masyarakat Jepang menganut paham masyarakat kelompok (shuudan shugi).

Pengertian shuudan shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten (1989) yaitu merupakan

pembentukan susunan atau formasi suatu status yang disatukan oleh keinginan dalam

suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan dari tiap individu yang

dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut ideologi kelompok.

Istilah Otaku (オタク) menurut kolumnis Nakamori Akio dalam artikel

“Otaku no Kenkyuu” (お宅の研究) yang direalisasikan dalam majalah manga

Burikko (1983) yaitu istilah untuk menyebut atau menunjuk seseorang yang banyak

menghabiskan waktunya dengan berdiam di dalam rumah dengan membaca komik

(manga) dan menonton anime.

Pengertian komik dalam artikel “Selintas Sejarah Komik Indonesia” yang

ditulis oleh Guntur Angkat (2004), menurut kutipan Marcel Bonnet dalam bukunya

(21)

menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan tanda, mengarah

kepada suatu pemikiran dan perenungan.

Manga (漫画) adalah istilah untuk menyebut komik Jepang. Secara Harfiah

kata manga berasal dari kata lucu (man : ) dan kata gambar (ga : 画 ), jadi kata

manga berarti gambar yang lucu. Kata manga pertama kali digunakan oleh seorang

seniman bernama Hokusai Katsushika. yang menggunakan dua huruf Cina yang

artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra yaitu tema,

penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Khususnya tokoh-tokoh dalam karya

sastra mempunyai peranan yang sangat penting sebagai penyampai pesan, amanat,

moral atau sesuatu ide yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca oleh si

pengarang. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 165) yang mengatakan

bahwa tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu

karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam tindakan. Dan hal ini sangat

tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan,

amanat atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

Dalam komik Genshiken, pengarang mencoba menggambarkan kehidupan

sosial, perilaku, maupun gaya hidup para otaku baik dalam komunitasnya sendiri

maupun dengan lingkungan masyarakat lainnya yang digambarkan melalui sikap,

tingkah laku, serta dialog-dialog yang diucapkan guna menyampaikan pesan, amanat,

(22)

tokoh-tokoh yang digambarkan pengarang dalam komik ini mencerminkan kehidupan

sosial, perilaku dan pandangan otaku terhadap gaya hidupnya dan bagaimana cara

mereka berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara mereka sendiri. Bagi

mereka kehidupan sebagai otaku merupakan yang terbaik untuk mereka sendiri dan

mereka bangga akannya.

1.4.2. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam

memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori

yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian

akan disoroti (Nawawi, 2001 : 39-40)

Menurut Pradopo (2003 : 122) bahwa karya sastra merupakan sebuah sistem

yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra

(genre) dan ragam-ragam. Dalam berbagai macam genre inilah, penulis dapat leluasa

berkarya untuk dapat menyampaikan berbagai macam tujuan, termasuk di dalamnya

pesan kebudayaan, karena sastra merupakan bagian integral kebudayaan.

Penelitian ini menggunakan studi sosiologis dan pendekatan sosiologis dalam

memecahkan permasalahan sosial yang ada. Menurut Nyoman (2003 : 25-26), studi

sosiologis didasarkan atas pemahaman bahwa setiap fakta kultural lahir dan

berkembang dalam kondisis-kondisi sosial historis tertentu. Sistem produksi karya

seni, karya sastra khususnya, dipandang sebagai akibat hubungan-hubungan

bermakna interaksi antarindividu di satu pihak, hubungan-hubungan bermakna

(23)

sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan atas linear antara pengarang,

penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada umumnya, melainkan juga tradisi dan

konvensi sebagai literenya. Tambahan lagi, Nyoman (2004 : 60) menyatakan bahwa

dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya

sastra dengan masyarakat.

Selain pendekatan sosilogis juga digunakan pendekatan historis dan

fenomenologis. Menurut Aminuddin (2000 : 46), pendekatan historis adalah suatu

pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar

belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta

sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan

maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Hal dasar

yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan ini ialah anggapan bahwa cipta sastra

bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya.

Menurut Faruk (1999 : 116), pendekatan fenomenologis yaitu pemahaman

mengenai individu dalam situasi sosialnya, pemahaman mengenai pola-pola makna

yang membangun realitasnya, dan pemahaman mengenai defenisinya terhadap situasi

yang didalamnya individu itu bertindak dan berinteraksi satu sama lain.

Menurut Zainuddin Fananie (2001 : 139), pendekatan semiotik adalah

pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan

bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign, dan tanda merupakan kesatuan antara dua

aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain ayitu significant (penanda) dan signifie

(petanda).

(24)

ditunjukkan mengenai kehidupan sosial dan perilaku para otaku yang dapat dianalisis

dalam komik “Genshiken” karya Kio Shimoku.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain :

1. Untuk mengetahui kehidupan sosial para otaku pada tokoh-tokoh dalam

komik “Genshiken”.

2. Untuk mengetahui perilaku para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik

“Genshiken”.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain :

1. Dapat menambah pengetahuan mengenai gaya hidup otaku di Jepang melalui

komik “Genshiken”.

2. Dapat menambah wawasan mengenai kehidupan sosial para otaku di Jepang

dengan komunitas otaku maupun dengan masyarakat lainnya dalam komik

“Genshiken”.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilandaskan pada analisis dan

konstruksi. Analisis dan konstruksi dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

(25)

manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang dihadapinya dalam kehidupan

(Soekanto, 2003 : 410).

Dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang

untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam

penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut

Koentjaraningrat (1976) : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan

gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau

kelompok tertentu.

Data-data penelitian dikumpulkan penulis dengan menggunakan teknik studi

kepustakaan (Library Research), dengan mengambil sumber acuan dari berbagai

buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Selain itu

penulis memperoleh data dari berbagai macam artikel baik dari majalah, jurnal,

situs-situs atau website dari internet, serta literatur-literatur lainnya yang menunjang untuk

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KELOMPOK, OTAKU, DAN

MANGA (KOMIK JEPANG)

2.1. Masyarakat Jepang Sebagai Masyarakat Kelompok

Dalam masyarakat mungkin terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam

penekanan relatif yang diberikan pada individu dan kelompok. Menurut

Suryohadiprojo (1982 : 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah peranan

kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam

kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena

pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena individualisme.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang menganut paham sosialis

daripada individualis, dimana penekanan kelompok jauh lebih berperan.

Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham kelompok

(shuudan shugi). Pengertian shuudan shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten

(1989) yaitu merupakan pembentukan susunan atau formasi suatu status yang

disatukan oleh keinginan dalam suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan

dari tiap individu yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut

ideologi kelompok. Dapat dikatakan kalau masyarakat Jepang jauh lebih terbiasa

dalam bertindak secara berkelompok dibandingkan masyarakat negara lainnya,

(27)

Kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan

pakaian, tingkah laku, gaya hidup, dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok

mereka. Afliasi kelompok di Jepang penting sekali, tetapi orang Jepang cenderung

untuk menekankan hal ini dengan berusaha menafsirkan segala sesuatu dari sudut

pandangan yang sama seperti halnya kerja sama (habatsu) kelompok yang bersifat

pribadi dalam politik, hubungan antar kekeluargaan (ie), hubungan akademis

(gakubatsu), perlindungan pribadi dan rekomendasi-rekomendasi. Mereka ingin

menekankan, bahwa yang menentukan bukanlah kemampuan seseorang, tetapi

koneksi seseorang.

Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang merasuk ke dalam

gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang. Sehingga orang

merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok. Ini merupakan

fenomena yang cukup umum terjadi, terutama terlihat bila suatu masyarakat ditinjau

dari luar, tetapi tampaknya lebih kuat di Jepang daripada di banyak tempat lain.

Untuk melaksanakan sistem kelompoknya dengan berhasil, orang Jepang

berpendapat sebaiknya menghindari konfrontasi terbuka. Dengan kata lain, setiap

konflik tajam terjadi maka dikemukakan secara tidak langsung atau hanya berupa

implikasi samar-samar sehingga keharmonisan kelompok tetap terjaga. Kalau ada

perbedaan pendapat, selalu diusahakan kompromi atas dasar makeru ga kachi

(mengalah untuk menang). Dalam kelompok, kehangatan hubungan merupakan hal

yang amat penting dan seseorang mencari amae atau rasa bersatu dengan sesama

anggota kelompok. Setiap anggota kelompok selalu berusaha untuk tidak

(28)

itu juga mereka tidak mau kelihatan atau dirasakan sebagai menguasai anggota lain.

Dalam suatu masyarakat yang sangat homogen seperti Jepang, bentuk-bentuk

komunikasi non-verbal demikian lebih menguntungkan dalam mempertahankan

kesetiakawanan kelompok. Dapat dikatakan bahwa kecendrungan Jepang untuk

menekankan pada kelompok, sedikit banyak mengorbankan individu.

Pada mayoritas orang Jepang, hidup dalam kelompok berarti menjaga suasana

kelompok tersebut, dan suasana ini dianggap penting daripada prinsip yang harus

dipertahankan.

Kelompok-kelompok dari setiap jenis berlimpahan di seluruh masyarakat

Jepang dan biasanya memainkan peranan yang lebih besar dan memberikan lebih dari

sekedar perasaan identifikasi diri kepada setiap individu dalam kelompok. Bagi orang

Jepang keberhasilan kelompok mereka memberikan suatu kepuasan tersendiri dalam

setiap jiwa individunya.

Dikarenakan telah merasuk ke dalam gaya hidup orang Jepang untuk

berperilaku sama dengan satu kelompoknya. Jika ada saja salah satu individu yang

berbeda maka mungkin dianggap aneh dan akan dikucilkan. Contohnya, para otaku

yang memang memiliki “gaya” berbeda dibandingkan orang Jepang pada umumnya,

baik dari penampilan maupun selera atau hobinya. Dikarenakan memiliki identitas

yang berbeda itulah maka para otaku tersebut membentuk kelompok mereka sendiri.

Dengan membentuk kelompok baru, maka mereka tetap dalam suatu kelompok.

Dapat dikatakan, walaupun tersingkir dari masyarakat umum, mereka kemudian

membentuk komunitas atau kelompok sendiri. Sehingga mereka tetap dalam jalinan

(29)

2.2. Sejarah dan Perkembangan Otaku di Jepang

2.2.1. Latar Belakang Lahirnya Istilah Otaku di Jepang

Otaku (オタク) adalah istilah untuk menyebut orang yang tergila-gila

terhadap budaya visual modern Jepang yaitu misalnya komik jepang (manga), anime,

game,dan lain-lain.

Kata otaku (お宅) sendiri berarti “rumahmu” atau “kamu” (お宅) dan

mempunyai konotasi formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam

makna lain. Awalnya adalah ketika kalangan penggemar anime dan manga (komik)

ketika bertemu dan saling menyapa, “お宅 の コレクション を

見てもいいですか。” (Bolehkah saya melihat koleksi kamu?) dengan

menggunakan bahasa yang sopan. Agar dapat membedakan kata “otaku” (お宅)

sebagai kata ganti orang kedua tersebut dengan istilah untuk menyebut penggemar

subkultur manga dan anime maka istilah otaku dituliskan dengan memakai huruf

katakana sehingga menjadi オタク.

Istilah otaku awalnya berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji

Kawamori dan Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya

belajar di Universitas Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat,

mereka menggunakan kata otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue

juga turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.

Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel

Otaku no kenkyu dalam majalah Manga Burikko yang ditulis oleh jurnalis Akio

(30)

otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh.

Pada waktu itu, masyarakat umum sama sekali belum mengenal istilah otaku.

Media massa yang pertama kali menggunakan istilah otaku adalah

yang mengangkat segmen Otakuzoku no jittai

(おたく族の実態) situasi kalangan otaku) pada acara radi

Otakuzoku (secara harafiah: suku Otaku) digunakan untuk menyebut kalangan otaku,

mengikuti sebutan yang sudah ada untuk kelompok anak muda yang memakai

akhiran kata "zoku," seperti

Istilah "otaku" dalam arti sempit awalnya hanya digunakan di antara

orang-orang yang memiliki hobi sejenis yang membentuk kalangan terbatas seperti

penerbitan 同人誌). Belakangan ini, istilah otaku dalam arti luas sering

dapat mempunyai konotasi negatif atau positif bergantung pada situasi dan orang

yang menggunakannya. Istilah otaku secara negatif digunakan untuk penggemar

fanatik suatu subkultur yang letak bagusnya tidak bisa dimengerti masyarakat umum,

atau orang yang kurang mampu berkomunikasi dan sering tidak mau bergaul dengan

orang lain. Otaku secara positif digunakan untuk menyebut orang yang sangat

mendalami suatu bidang hingga mendetil, dibarengi tingkat pengetahuan yang sangat

tinggi hingga mencapai tingkat

Secar

"laki-laki dengan kebiasaan aneh dan tidak dimengerti masyarakat umum," tanpa

memandang orang tersebut menekuni suatu hobi atau tidak. Anak perempuan di

(31)

kalangan anak perempuan, tapi sebaliknya istilah ini tidak pernah digunakan untuk

perempuan. Berhubung istilah otaku sering digunakan dalam konteks yang

menyinggung perasaan, penggunaan istilah otaku sering dikritik sebagai

perlakua

Istilah otaku juga identik dengan sebuta

laki-laki yang berselera buruk dalam soal berpakaian. Sebutan Akiba Kei berasal dari

gaya berpakaian laki-laki yang lebih suka mengeluarkan uang untuk keperluan hobi

di distr

yang kurang umum untuk Akiba-Kei adalah A-Boy atau A-Kei, mengikuti istilah

B-Boy (B-Kei atau B-Kaji) yang sudah lebih dulu ada untuk orang yang meniru

penampilan penyanyi

2.2.2. Perkembangan dan Lahirnya Kelompok Otaku di Jepang

Sebelum istilah otaku menjadi populer di Jepang, sudah ada orang yang

disebut "mania" karena hanya menekuni sesuatu dan tidak mempunyai minat pada

kehidupan sehari-hari yang biasa dilakukan orang. Di Jepang, istilah otaku sering

digunakan di luar konteks penggemar berat

istilah mania, sehingga ada istilah Game-otaku, Gundam-otaku (otaku mengenai

robot Gundam), Gunji-otaku (otaku bidang militer), Pasokon-otaku (otaku

komputer), Tetsudō-otaku (otaku kereta api alias Tecchan) dan lain-lain.

Para Otaku tersebut membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan

kesukaan atau hobi yang sama. Mereka berkumpul baik secara langsung maupun

(32)

dan keinginan yang sama.

Diantara banyaknya kelompok otaku tersebut, komunitas otaku manga dan

anime di Jepang saat ini cukup besar kalau melihat dari tingkat pasar penggemar

manga dan anime. Dapat dikatakan komunitas otaku ini di Jepang dapat terlihat dari

banyaknya kelompok otaku manga dan anime yang bermunculan dalam masyarakat

Jepang saat ini.

2.2.3. Jenis-jenis Otaku di Jepang

Manga ota. Orang-orang yang suka membaca manga dan mengoleksi manga.

Seiyuu ota. Seiyuu adalah pengisi suara dari anime. Orang-orang yg

tergolong ini mampu mengenali seiyuu hanya dari mendengar suaranya.

Tetsudou (Railroad) ota. Ada 2 tipe dari otaku ini, noritetsu: orang yang

memiliki hobi melakukan perjalanan menggunakan kereta, dan toritetsu:

orang yang memiliki hobi mengambil foto dari kereta. Untuk hal ini masih

belum memungkinkan di Indonesia karena perkeretaapian di Indonesia belum

bisa tergolong memiliki daya tarik.

Idol ota. Berlawanan dengan anime ota, Idol ota tertarik terhadap 3 dimensi

(sanjigen) ketimbang 2 dimensi (nijigen). Mereka biasanya mengambil

foto-foto idolanya menggunakan camera.

Figure ota. Orang-orang yang mengoleksi action figure. Ada 2 tipe, yang

pertama adalah yg mengoleksi figure-figure yang lebih mahal, dan yang

(33)

kecil atau trading figure).

Cosplay ota. Orang-orang yang suka menggunakan pakaian seperti karakter

anime/game.

Maid ota. Juga dikenal sebagai meidosuki. Orang-orang ini menyukai orang

yang berpakaian dan bertindak seperti seorang maid (pelayan dari abad

pertengahan di Eropa).

Eroge ota. Eroge artinya erotic game. Orang-orang yang tergolong dalam

otaku ini menyukai permainan erotic game (game porno). Umumnya

game-game seperti ini bisa didapat di Jepang.

Anime ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal berhubungan anime.

Pasocon ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan

dengan komputer. Atau juga dikenal sebagai computer freak.

Game ota. Orang-orang yang suka bermain game, tapi bukan yang tergolong

erotic game. Orang-orang ini merupakan gamer-gamer yang sering

menghabiskan waktunya bermain game online maupun offline, dan juga

game-game console.

Gunji ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan

dengan militer: seragam militer, mainan militer dan lain-lain.

2.2.4. Generasi-generasi Otaku

Otaku generasi pertama (kelahiran paruh pertama tahun 1960-an)

(34)

masyarakat umum masih mengganggap anime sebagai konsumsi anak-anak.

secara luas. Otaku generasi pertama juga mulai ikut-ikutan membaca Gekiga.

Di Jepang, generasi kelahiran tahun 1960-an disebut generasi Shinjinrui

bentuk dan menyenangi

Otaku generasi II (kelahiran sekitar tahun 1970-an)

Otaku generasi ini, di masa kecil memba

Masyarakat Jepang mulai menerima kehadiran otaku. Sebagian otaku generasi

II tidak bisa membedakan antara dunia fiksi sains dengan alam nyata,

misalnya Gundam-otaku (Gun-ota). Permainan video dekade 1980-an juga

menjadi kegemaran otaku generasi II. Pada saat yang sama, masyarakat mulai

menaruh praduga terhadap otaku akibat kasus pembunuhan heboh dengan

pelaku seorang otaku. Di kalangan anak sebaya, otaku mulai mendapat

perlakuan diskriminasi.

Otaku generasi III (kelahiran sekitar tahun 1980-an)

Otaku generasi ini, di masa kecil memba

generasi III sekarang menjadi inti geraka

generasi I mulai menjadi otaku sehingga citra negatif otaku semakin

(35)

otaku generasi III, kecenderunga

keadaan sedang berfantasi seksual) sudah menjadi istilah yang disepakati

bersama, sekaligus sebagai prinsip dan tujuan. Otaku generasi III makin

tenggelam di dalam dunia yang digambarkan manga, dan bahkan sampai

menyenangi

diciptakan oleh manga dan anime) yang ada di dalamnya.

2.3. Gambaran Kehidupan Sosial dan Perilaku Para Otaku di Jepang

2.3.1. Kehidupan Sosial para Otaku di Jepang dengan Lingkungan Sosialnya

2.3.1.1. Kehidupan Sosial para Otaku dengan Sesama Otaku

Kebiasaan orang Jepang untuk masuk dalam suatu kelompok juga terdapat

dalam komunitas otaku di Jepang. Hal itu dapat terlihat dari berbagai macam jenis

kelompok otaku yang ada di Jepang. Persamaan yang ada dalam diri mereka menjadi

asal mula pembentukan kelompok otaku tersebut.

Para Otaku dalam kehidupan sosialnya kurang dapat terlihat secara langsung.

Mereka lebih suka berkumpul secara tidak langsung seperti dalam dunia maya

(misalnya, internet). Mereka menggunakan jaringan elektronik, karena media itulah

yang membuat mereka tetap bisa tinggal di rumah, sekaligus memampukan mereka

untuk bertemu dengan orang-orang serupa tanpa perlu kontak fisik. Mereka lebih

dapat terbuka tanpa kontak secara langsung. Biasanya mereka membentuk suatu

komunitas yang memiliki persamaan hobi. Dalam suatu komunitas tersebut, mereka

dapat terbuka dan mulai mengungkapkan jati dirinya. Hal ini dikarenakan mereka

(36)

Biasanya, otaku menghindari komunikasi langsung, tapi terus menerus dan

secara berlebihan, berkomunikasi melalui berbagai teknologi media. Struktur

pertukaran informasi mereka adalah uwasa (desas-desus) dan kuchi-komi

(komunikasi oral, gosip), komunikasi minor, dan ofu rekoodo (off the record), dan

berbagai jenis permainan, penyebaran melalui jaringan elektronik, dan (pada

akhirnya) diskomunikasi. Penting untuk berbicara, namun tidak penting apa yang

dibicarakan. Karakter dari para otaku adalah bahwa mereka berbicara tanpa konteks

tertentu. Mereka hidup dalam sistem yang merujuk diri sendiri yang tidak perlu

memperhatikan isi. Paling penting dalam kesadaran mereka adalah keberadaan

media.

Pada dasarnya, mereka dapat berkomunikasi hanya dengan otaku yang satu

tipe. Percakapan mereka tidaklah interaktif (artinya saling berbalasan), tapi hanya

untuk memamerkan pengetahuan (informasi) yang mereka punya. Setiap orang

mengkategorikan yang lain dengan kesukaan mereka pada detail-detail tertentu. Jika

dua orang dari mereka menemukan kesukaan yang sama, maka mereka akan menjadi

dekat. Tapi jika tidak, mereka tidak merasa perlu untuk saling bercakap-cakap.

Mereka tidak merasa perlu untuk mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang

mereka sukai.

Kelompok ataupun komunitas otaku tersebut dapat dikatakan memiliki

hubungan sosial yang hampir sama dengan kebanyakan kelompok lainnya. Hanya

saja mungkin cara mereka bergaul atau bersosialisasi sedikit berbeda. Misalnya,

mereka lebih suka bersosialisasi dengan orang yang memiliki minat dan hobi yang

(37)

mungkin akan sedikit sulit bersosialisasi dengan mereka. Para otaku tersebut sangat

menghargai orang yang mau memahami minat mereka terhadap hobinya, dan

biasanya cenderung menutup diri pada orang asing (yang berbeda hobi).

Para otaku di Jepang dalam komunitasnya sangat loyalitas, terutama dalam

saling pemberian informasi yang menyangkut hobi mereka. Mereka akan sangat

menghargai dan menghormati orang yang memiliki sumber informasi mengenai hobi

mereka. Karena itu para otaku tersebut saling berlomba-lomba memperoleh informasi

dan melengkapi koleksi mereka untuk dapat diperlihatkan kepada otaku yang lain.

Sesama otaku tersebut memiliki suatu kesamaan akan sesuatu hal dengan otaku

lainnya, dan mereka mulai akan merasa diterima dalam kelompok tersebut. Sehingga

dapat dikatakan sesama otaku tersebut membentuk komunitas mereka atas dasar

persamaan yang ada dalam diri mereka.

2.3.1.2. Kehidupan Sosial para Otaku dengan yang Non-Otaku

Para otaku dalam kehidupan sosialnya dengan yang non-otaku sedikit sulit

terlihat. Biasanya meraka kurang dapat berkomunikasi satu sama lain, karena terdapat

banyak perbedaan yang ada. Misalnya, dari cara berpakaian, hobi, dan cara pandang

mereka terhadap sesuatu hal berbeda dengan masyarakat kebanyakan.

Kalau melihat dari sudut pandang masyarakat kebanyakan yang memandang

negatif para otaku, maka tidak heran para otaku tersebut sedikit demi sedikit mulai

menjauhi kehidupan bermasyarakat dan mulai membentuk komunitas mereka sendiri.

Para otaku tersebut mulai hidup dalam dunia khayalan yang mereka ciptakan

(38)

khayalan tersebut dikarenakan tidak ada tekanan dari masyarakat dan mereka dapat

lebih berekspresi dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini menyebabkan

mereka sedikit sulit memisahkan antara yang mana merupakan khayalan dan yang

mana merupakan kenyataan. Sehingga kecendrungan untuk semakin terpisah dari

yang non-otaku (masyarakat) pun terjadi.

Kehidupan sosial para otaku dengan yang non-otaku tersebut dapat dikatakan

sangat jarang terlihat, walaupun mungkin ada beberapa yang non-otaku dapat

memahami keadaan mereka. Tetapi karena pandangan masyarakat yang sudah

terlanjur memandang negatif para otaku, semakin membuat mereka menjauh

perlahan-lahan dalam kehidupan bermasyarakat secara umum.

2.3.2. Perilaku para Otaku

Kehidupan para otaku mungkin tidak jauh berebeda dari kebanyakan orang

lainnya. Namun perilaku maupun tindakan para otaku tersebut berbeda dengan orang

lainnya. Mereka lebih suka diam di rumah untuk membaca manga dan menonton

anime. Mereka seolah-olah masuk ke dalam dunia khayalan yang diciptakan oleh

anime dan manga tersebut dan ikut terhanyut ke dalam ceritanya. Mereka mulai

merasakan kesenangan yang lebih setelah mereka membaca manga dan menonton

anime. Mereka ingin lepas dari tekanan kenyataan kehidupan yang sebenarnya dan

mulai mencari dunia khayalan yang tidak memaksa dan dapat mereka ciptakan

sendiri.

Para otaku tersebut mulai bersikap seperti apa yang diciptakan oleh manga

(39)

dilihat oleh masyarakat. Keanehan para otaku tersebut seperti : mereka lebih suka

sesuatu yang abstrak daripada yang konkrit, contohnya, mereka lebih menyukai

figure-figure tokoh anime dibandingkan manusia sebenarnya. Mereka kurang cakap

berkomunikasi dengan orang lain daripada dengan tokoh-tokoh game yang dapat

berbicara dengan mereka.

Perilaku para otaku dinilai aneh oleh masyarakat Jepang yang menganggap

sesuatu hal yang yang dilakukan para otaku tersebut menyimpang dari perilaku

kebanyakan orang. Ada kesan bahwa semua otaku tergila-gila pada teknologi. Namun

sebenarnya, itu bukan berarti mereka semua membenci alam, karena ada otaku untuk

ikan tropis dan fosil. Mereka melakukannya dalam gaya otaku. Dalam hal ini yang

penting adalah sikapnya, bukan yang lain.

2.4. Komik dan Manga (komik Jepang)

2.4.1. Defenisi Komik

Komik adalah cerita bergambar (cergam) yang terdiri dari teks atau narasi

yang berfungsi sebagai penjelasan dialog dan alur cerita (Angkat, 2004). Komik

menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) adalah salah satu produk akhir dari

hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan

tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.

Menurut Will Eisner dalam bukunya Graphic Storytelling, komik adalah

tatanan gambar dan balon kata yang berurutan. Scott McCloud punya pendapat lain

lagi, katanya dalam buku Understanding Comics, komik didefinisikan sebagai

(40)

melihatnya. Ada juga yang menyebut komik sebagai cerita bergambar, gambar yang

dinarasikan, kisah ilustrasi, picto-fiksi dan lain-lain.

2.4.2. Sejarah Komik

Sejarah munculnya komik masih menjadi perdebatan. Menurut Scot McCloud

komik bisa jadi bermula dari tulisan hiroglyph Mesir, emaki Jepang atau manuskrip

kuno Amerika Tengah. Tapi, menurut Roger Sabin, komik semestinya merupakan

istilah untuk kisah bergambar yang dicetak. Meski demikian, pengertian ini rancu

sebab film animasi juga merupakan kisah bergambar yang dibuat atau dicetak dengan

media tertentu.

Negara Prancis dikenal sebagai pencetus ide-ide komik cemerlang. Sejarah

komik diduga bermula pada masa prasejarah Digua Lascaux, Prancis selatan , yaitu

ditemukannya torehan berupa gambar gambar bison , sejenis banteng atau kerbau

Amerika. Cikal bakal komik ini menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) belum

mengandung sandi yang membentuknya menjadi bahasa namun sudah merupakan "

pesan" sebagai upaya komunikasi non verbal paling kuno.

Di Mesir, cerita tentang dewa maut dalam dunia roh terdapat di kuburan raja

Nakht yang ditoreh diatas (kertas) papirus, papirus ini juga sudah dikenal lama oleh

orang Assiria, Siria dan parsi. Selanjutnya " Komik" diatas daun beralih bentuk

Mozaik ( susunan lempeng batu berwarna) di Yunani, karya ini berlangsung hingga

abad ke 4 masehi, pada masa jaman Romawi cerita bergambar berkembang pesat

yang selanjutnya menyebar hampir ke seluruh Eropa.

(41)

Francis Barlow berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot”

(1682) dan “The Punishments of Lemuel Gulliver oleh William Hogarth” (1726).

Tapi Eddie Campbell menolak kesimpulan Sabin, sebab menurut Campbell karya dua

penulis itu mestinya digolongkan pada kartun. Sama halnya dengan komik karya

Rowlandson tahun 1782, yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi.

Karya para kartunis itu lebih tepat disebut gambar yang dinarasikan.

Tahun 1884, komik karya Ally Sloper berjudul Half Holiday dipublikasikan.

Komik ini disebut sebagai komik strip majalah pertama. Berikutnya terbitlah

terobosan baru dunia perkomikan, yakni kemunculan komik berseri dengan tokoh

tetap tahun 1895. Dibuat oleh R.F Outcault, berjudul “Hogan's Alley”. Komik ini

menjadi sangat populer sehingga meningkatkan penjualan koran yang memuatnya.

Hogan's Alley menjadi penanda awal bangkitnya komik Amerika. Semangat

membuat komik menjalar dimana-mana. Para komikus menciptakan berbagai tokoh

cerita yang kemudian jadi populer hingga ke seluruh dunia. Sebut saja “Superman”

yang muncul pertama kali dalam Action Comics#1 tahun 1938.

2.4.3. Sejarah Manga

Manga merupakan istilah untuk komik Jepang. Berbeda dengan komik

Amerika, manga biasanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji

Jepang.

Komik Jepang yang paling tua dan terkenal pertama kali ditemukan di gudang

Shooshooin di Nara yang memperlihatkan berbagai ekspresi wajah manusia dengan

(42)

disebut Daidaron, menggambarkan mata yang terbelalak dan orang berjenggot.

Selain itu pada langit-langit di Kondoo (gedung utama) kuil Buddha Hooryuuji pada

abad ke-7 dan pada panggung bangunan Brahma dan Indra di kuil Tooshoodaiji pada

abad ke-8, dimana dalam gambar komik ini terdapat unsur-unsur religius dan

nilai-nilai tradisi. Sedangkan di gedung Phoenix kuli Byoodooin, tercatat arsitektur zaman

Heian (794-1185), yang pada saat itu ditemukan sejumlah karikatur pengadilan

rendah.

Namun ada juga yang menyebut manga pertama kali muncul abad 12 (pada

akhir zaman Heian) dimana manga generasi awal ini bertajuk “Choju Jinbutsu Giga”

karya biksu Toba soojoo yang berisi berbagai gambar lucu hewan dan manusia.

Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga.

Sederhana, memiliki cerita di dalamnya, dan memiliki gambar artistik.

Pada pertengahan abad ke-12, terdapat gulungan surat bergambar yang

terkenal yang disebut Shigisan Engi Emaki, yang menggambarkan gerakan yang

dinamis. Dalam gambar tersebut terdapat sebuah adegan pendeta Buddha Myoren

membuat sebuah panci ajaib terbang ke udara dan membawa gudang beras orang

kaya ke puncak gunung. Sedangkan pada adegan lainnya, karung-karung beras

terbang keluar dari gudang. Kemudian Bandainagon Ekotoba (akhir tahun 1100-an)

memperlihatkan gerbang utama dari sebuah kuil terkenal yang sedang terbakar

dengan ekspresi wajah dari sekitar seratus orang yang dikejutkan oleh api atau

orang-orang yang melarikan diri, hal ini membuat adegan ini menjadi hidup dan membuat

kita merasa ada diantara mereka. Kedua gambar ini termasuk ke dalam kategori cerita

(43)

Kemudian pada zaman Kamakura (1185-1333) seiring dengan perkembangan

agama Buddha, komik juga terlihat yaitu pada gulungan surat bergambar seperti

Jigoku Zooshi dalam bentuk adegan gambar neraka dan Gaki Zooshi dalam bentuk

adegan penderitaan, kedua surat bergambar ini memperlihatkan adegan yang

berhubungan dengan kematian.

Pada zaman Muromachi (1333-1568) ada contoh komik berbentuk cerita

pendek yaitu Otogi Zooshi. Pada masa ini keberanian berimajinasi, daya pikir dan

selera humor yang tinggi sudah terlihat jelas.

Di zaman Edo (1603-1867), pertumbuhan kebudayan popular memberikan

semangat baru dalam komik yang merebut daya tarik lebih besar dalam bentuk buku

cetakan blok kayu, seperti pada lukisan Ootsure-e yang dibuat dengan tekanan kuas

yang kasar, lukisan Toba-e dengan sindirannya terhadap manusia, dan lukisan paham

Kuwagata Keisai (1764-1824) yang dikenal juga sebagai Kitao Masayoshi, serta

Yamaguchi Soken (1759-1818).

Sejarah komik Jepang seutuhnya berawal pada zaman Edo, ketika istilah

manga (komik Jepang) pertama kali digunakan oleh pelukis Ukiyo-e (grafis pahatan

kayu) yang terkenal yaitu Hokusai Katsushika. Ia memproduksi sebuah serial buku

bergambar yang diterbitkan dalam 15 jilid antara tahun 1814 dan 1878. manga ini

berisi lebih dari 4000 ilustrasi. Cara Hokusai menggambarkan gerakan badan

manusia, dan pengamatan ilmiahnya tentang gerakan otot benar-benar terlihat alami

dan nyata, seperti dalam komik Suzume Odori-zu (Dancing Sparrow, Burung Pipit

Sedang Menari, Jilid 3). Yari no Keiko-zu (Spear Throwing Practice, Latihan

(44)

Pada zaman showa (1926-1989) yang dikenal juga dengan abad manga

anak-anak, dimana saat itu, manga mulai berkembang pesat. Pada tahun 1989 dalam selang

waktu satu tahun telah diterbitkan sekitar 500 juta manga, 500 juta majalah manga

bulanan, dan 700 juta majalah mingguan manga. Dari prestasi yang dicapai ini Jepang

dapat dikatakan sebagai “Kerajaan Manga”, yang mulai bangkit dalam situasi setelah

melewati masa perang lewat manga anak-anak.

Sebelum dan selama Perang Dunia ke-II, para seniman lokal menggunakan

The Japan Punch sebagai media penerbitan yang juga merupakan majalah komik

dengan cerita humor yang dikelola oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Jepang,

meskipun awalnya The japan Punch muncul sebagai sindiran politik yang pada saat

itu diawasi dengan ketat oleh pemerintah Jepang.

Berkembangnya tekhnologi produksi manga pada pasca Perang Dunia ke-II

tidak lepas dari peran serta komikus berbakat Osamu Tezuka (1928-1989). Tezuka

mengubah wajah dunia manga pasca Perang Dunia ke-II secara radikal. Ia

menggunakan gaya narasi yang unik dengan komposisi cerita menyerupai novel yang

disebut dengan Story Manga (komik naratif) dengan alur cerita yang naik turun saat

menuju klimaks cerita serta menggunakan tehnik-tehnik seperti pada pembuatan film,

dengan sudut pengambilan gambar yang dinamis dengan penggalan-penggalan

gambar yang tidak beraturan, yang sengaja didesain untuk menggambarkan urutan

gerakan dan membangun ketegangan. Bunyi pun juga diungkapkan dengan huruf

sebagai penggambaran aktifitas bisu dan emosi. Tezuka juga memperkenalkan sistem

produksi manga yang baru, yaitu cara mempercepat produksi serta menjamin

(45)

komik tradisional.

Selama tahun 1960-an, seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi

Jepang, perusahaan penerbitan komik menyadari bahwa pasar untuk buku komik dan

majalah komik telah berkembang dan jumlah komik pun meningkat.

Pada tahun 1963, Tezuka membuat animasi televisi untuk pertama kalinya dan

menjual karakter animasi tersebut untuk menutupi biaya produksi. Karya-karyanya

yang sukses besar di luar negeri antara lain yaitu “Mighty Atom” (Astro Boy) dan

“Jungle Emperor”. Tezuka juga memproduksi kartun versinya sendiri yang berjudul

“Faust”, dan “Dostoyevki’s Crime and Punishment” yaitu menceritakan tentang

kehidupan Buddha serta drama mengenai samurai. Kemudian karya Tezuka tersebut

dibuat dalam lembaran komik yang sangat dihargai sebagai suatu karya seni.

Populernya karya-karya Tezuka memacu munculnya banyak serial animasi

yang berdurasi 30 menit, yang kebanyakan didasarkan pada serial yang diterbitkan

majalah-majalah komik. Sejumlah film animasi telah diterjemahkan ke dalam

berbagai bahasa asing dan disiarkan di berbagai negara.

Tezuka telah meletakkan pondasi bagi industri manga di Jepang pasca Perang

Dunia ke-II dan merombak tradisi manga lama. Ia meninggal apada tahun 1989, dan

untuk mengenang jasanya didirikanlah Manga Museum pada tahun 1994 di

Tajarazuka.

2.4.4. Perkembangan Manga di Jepang

Industri manga di Jepang mulai berkembang pesat sejak tahun 1963. Ketika

(46)

termasuk membeli televisi. Dengan adanya televisi mendorong para penerbit dan

produser film memperbaiki indusrti manga lebih baik lagi dengan sasaran untuk dapat

diproduksi sebagai program televisi.

Majalah komik dicetak massal dan dijual di berbagai tempat dengan harga

murah. Karena itu, angka penjualan manga mencapai angka yang cukup besar.

Sepuluh majalah manga mingguan terlaris terjual sekitar satu juta eksemplar. Pada

tahun 1992, penjualan manga mencapai sekitar 540 milyar yen atau sekitar 23% dari

penjualan buku di Jepang.

Manga mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam industri penerbitan di

Jepang, karena hampir 1/4% hasil penjualan buku merupakan komik dengan angka

penjualan setiap tahunnya terus meningkat, belum termasuk penjualannya di luar

negeri yang juga laris di pasaran. Meningkatnya angka penjualan manga baik di

Jepang maupun luar negeri membuat industri manga di Jepang memiliki kedudukan

yang sangat kuat.

2.4.5. Pengaruh Manga Terhadap Para otaku

Manga secara langsung maupun tidak, banyak memberikan pengaruh pada

sebagian besar budaya Jepang, mulai dari iklan hingga toko aneka barang yang setia

pada barang-barang dengan merk satu tokoh manga. Bila ada tren baru yang muncul

di media, tren ini segera ditiru oleh yang lain. Artis musik pop dibentuk oleh tren

“mari menjadi tokoh manga” dan kemudian mereka menimbulkan genre baru dalam

manga, animasi dan games. Tentu saja mereka memiliki para otaku tersendiri yang

(47)

Manga adalah sebuah pasar besar. Perkiraan total sirkulasi dari semua buku

komik di tahun 1988 adalah 1.758.970.000. Di antaranya ada yang setebal buku

telpon. Komk-komik itu ada di mana-mana, di kereta bawah tanah, di rumah makan,

dan di toko buku. Serial-serial yang sukses diterbitkan kembali dalam versi buku,

juga dengan penjualan dalam jutaan eksemplar, selain juga menjadi serial animasi di

televisi dan video-games. Yang paling tinggi tingkat sirkulasinya, yakni “Shonen

Jump”, terjual 5 juta eksemplar setiap minggu. Menurut Yamazaki dalam artikel

Volkar Grassmuck (Desember 1990) “sendirian tapi tak kesepian”, majalah komik ini

adalah majalah yang paling bersifat otaku, memuat banyak kekerasan, mekanik,

fantasi, dan atau kombinasi dari ketiga hal tersebut, misalnya “Gundam” atau

“Ultraman”.

Di balik manga komersial atau di ‘bawah tanah’, kalau ingin disebut

demikian, kita bisa menemukan manga yang dibuat oleh otaku. Manga-manga ini

diproduksi dalam jumlah kecil untuk diedarkan dan dipertukarkan dalam comiket

(comic market, pasar komik) atau lewat pos, dan untuk yang lebih sukses,

manga-manga ini muncul di toko buku komik seperti Takaoka di daerah Kanda, atau Manga

no Mori di daerah Shinjuku. Toko buku Shozen di Kanda merupakan satu tempat lagi

di mana setiap sabtu siang segerombolan otaku memakai baju jeans atau seragam

sekolah berjalan sambil menebar kesan yang membuat orang lain tidak enak,

menerobos gang sempit di antara rak-rak buku di toko yang penuh pengunjung,

dengan diam membuka-buka lembaran komik dan majalah penggemar artis, buku

soft-porno dan games, CD musik games, Dragon Quest dan patung-patung plastik

(48)

binatang-binatang warna warni penuh ornamen.

Dalam banyak kasus, manga seperti itu merupakan hibrida atau mutasi genre

dari beberapa model komersial yang ada. Mereka menunjukkan sikap “plagiarisme”

yang ceria, yang bahkan tidak berusaha untuk menjadi orisinal. Satu-satunya aspek

yang betul-betul “orisinal” dari mereka adalah manga karya otaku ini memuat gambar

dari bagian-bagian organ seksual tanpa sensor, dan ini sangat berbeda dengan

manga-manga yang dapat dibeli di toko minimarket yang buka 24 jam. Jepang mewajibkan

sensor bagi setiap helai rambut di daerah kemaluan ketika akan ditampilkan di film

atau di media cetak. Sensor berupa ditutup atau diburamkan. Di negara yang seperti

ini, manga-manga amatiran yang menampilkannya secara terang-terangan dapat

dikatakan revolusioner.

2.5. Riwayat Hidup Kio Shimoku dan Karyanya

Kio Shimoku (木尾士目) adalah seorang komikus Jepang yang lahir di Jepang

pada tahun 1974. Kio Shimoku memulai debutnya sebagai mangaka (pengarang

manga) pada tahun 1994. Karya-karya Kio Shimoku antara lain :

(1994) yang berhasil memenagkan kontes “Afternoon Shiki Prize” sebagai juara

kedua, selain itu karyanya yang lain yaitu Kagerounikii, Yonensei, dan Gonensei

diterbitkan di majalah Afternoon Magazine, setelah itu dia membuat manga

Genshiken (2002), Kujibiki Umbalance (2006), Digopuri (2008).

Kio Shimoku dalam wawancara PWCW (Publisher Weekly Comics Week)

(49)

(khususnya di Jepang) dapat memahami dan menerima bagaimana sebenarnya

kehidupan para otaku di Jepang, terlepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap

komunitas otaku tersebut. Kio Shimoku juga percaya bahwa para otaku tidak akan

menjadi kelompok minoritas kalau terlalu tidak mendapat tekanan dari dunia yang

memandang mereka dengan “aneh”.

2.6. Defenisi dan Studi Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi

berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar

manusia dalam masyarakat. Sedangkan sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar.

Namun lebih spesifik lagi setelah sastra terbentuk menjadi kata jadian, yaitu

kesusasteraan, yang artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003 : 1).

Menurut Nyoman (2003 : 25-26), studi sosiologis didasarkan atas pemahaman

bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisis-kondisi sosial

historis tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dipandang

sebagai akibat hubungan-hubungan bermakna interaksi antar individu di satu pihak,

hubungan-hubungan bermakna individu dan kelompok dengan struktur sosial di

pihak lain. Sistem produksi karya sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan

atas linear antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada

umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi sebagai literenya. Tambahan lagi,

Nyoman (2004 : 60) menyatakan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah

adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait