ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO
SHIMOKU
KIO SHIMOKU NO SAKUHIN NO “GENSHIKEN” MANGA NO SHUJINKOU TOSHITE OTAKU (NIHON NO GENDAI SHIKAKU
BUNKA NO FAN) NO SEIKATSU NO SHAKAIGAKU TEKI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh :
SARI ANGGRAINI SILALAHI NIM : 040708047
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO
SHIMOKU
KIO SHIMOKU NO SAKUHIN NO “GENSHIKEN” MANGA NO SHUJINKOU TOSHITE OTAKU (NIHON NO GENDAI SHIKAKU
BUNKA NO FAN) NO SEIKATSU NO SHAKAIGAKU TEKI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang
Pembimbing I: Pembimbing II :
Drs. Amin Sihombing
NIP : 131945676 NIP : 131763365 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
Disetujui Oleh :
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi S-1 Sastra Jepang
Ketua Program Studi,
Drs. Hamzon situmorang, MS, Ph.D
NIP : 131422712
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi
Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dlam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada
Fakultas Sastra Jepang.
Pada :
Tanggal :
Pukul :
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D
NIP : 131284310
Panitia Ujian Tanda Tangan
No. Nama
1. ( )
2. ( )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala nikmat
dan rahmat yang diberikan-Nya kepada kita kita semua. Tak lupa shalawat dan salam
kepada junjungan kita Nabi besar, Muhammad SAW.
Atas berkat dan rahmat-Nya lah, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” (PENCINTA
BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI TOKOH-TOKOH
DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO SHIMOKU”, yang
merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis inigin menyampaikan rasa terima kasih kepada
orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini :
1. Orang tua saya, yaitu ibu saya, Nuzuliani dan ayah saya, S.Silalahi yang telah
begitu berjasa dalam membesarkan serta memberikan dukungan buat saya
dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku pembimbing I yang telah banyak
membantu dan membimbing saya selama menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku pembimbing II yang juga
dengan sabar membimbing saya dan meluangkan waktunya membaca dan
4. Bapak Drs.Hamzon Situmorang, MS.Ph.D, selaku ketua jurusan Program
Studi Sastra Jepang yang telah banyak memberikan saran dan kritik kepada
penulis yang sangat membangun.
5. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D selaku dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
6. Dosen-dosen dan staf-staf Fakultas sastra, khususnya dosen-dosen Sastra
Jepang yang telah membimbing dan mengajar saya selama belajar di Fakultas
Sastra Jepang.
7. Untuk Keluarga dan famili yang telah banyak memberi dukungan dan
semangat buat saya.
8. Buat teman-teman saya, Inez, Yani, Nirmala (yang selalu mendorong saya
untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini), Fitri, Lusi, Ridhona, Septia,
Miskah, Rizky, (anak-anak yang duduk di bangku belakang yang sering
moody buat belajar), buat teman-temanku Lola, Sery, Santi serta anak
Gerobak Pasir yang lain, juga kepada semua teman satu stambuk ’04 yang
begitu banyak memberikan kenangan manis maupun pahit selama saya kuliah
di Sastra Jepang ini.
9. Buat sahabatku Farahdiba Asseweth yang selalu cerewet dan selalu ada
untukku kapanpun.
10.Buat Abdurrahman (Maman) yang telah banyak membantu tugas-tugasku
11.Senpai-senpai dan kohai-kohai di Sastra Jepang, khususnya buat kak Risaharti
yang skripsinya banyak memberikan ide dan inspirasi saya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
12.Semua pihak yang turut membantu dan mnedukung saya selama ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis
sendiri dan teman-teman yang tertarik dengan hal mengenai Jepang.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai
kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan untuk
masa yang akan datang.
Medan, Juni 2008
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 8
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14
1.6. Metode Penelitian ... 14
BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP KELOMPOK, OTAKU, DAN MANGA (KOMIK JEPANG) ... 16
2.1. Masyarakat Jepang Sebagai Masyarakat Kelompok ... 16
2.2. Sejarah dan Perkembangan Otaku di Jepang ... 19
2.2.1. Latar Belakang Lahirnya Istilah Otaku di Jepang ... 19
2.2.2. Perkembangan dan Lahirnya Kelompok Otaku di Jepang ... 21
2.2.3. Jenis-jenis Otaku di Jepang... 22
2.3. Gambaran Kehidupan Sosial dan Perilaku Para Otaku
di Jepang ... 25
2.3.1. Kehidupan Sosial Para Otaku di Jepang dengan Lingkungan Sosialnya ... 25
2.3.1.1. Kehidupan Sosial Para Otaku dengan Sesama Otaku ... 25
2.3.1.2. Kehidupan Sosial Para Otaku dengan yang Non-Otaku ... 27
2.3.2. Perilaku Para Otaku ... 28
2.4. Komik dan Manga (Komik Jepang). ... 29
2..4.1. Defenisi Komik ... 29
2.4.2. Sejarah Komik ... 30
2.4.3. Sejarah Manga ... 31
2.4.4. Perkembangan Manga di Jepang ... 35
2.4.5. Pengaruh Manga Terhadap Para Otaku ... 36
2.5. Riwayat Hidup Kio Shimoku dan Karyanya ... 38
2.6. Defenisi dan Studi Sosiologi Sastra ... 39
BAB III. ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU” SEBAGAI TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” ... 41
3.1. Sinopsis Cerita Komik Genshiken ... 41
dalam Komik Genshiken ... 52
3.2.1. Sasahara Kanji ... 52
3.2.2. Kousaka Makoto... 54
3.2.3. Kasukabe Saki ... 55
3.2.4. Madarame Harunobu ... 57
3.2.5. Tanaka Soichirou ... 60
3.2.6. Kugayama Mitsunori ... 62
3.2.7. Ōno Kanako ... 64
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
4.1. Kesimpulan ... 66
4.2. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Otaku (オタク) adalah istilah atau sebutan dalam bahasa Jepang yang
dipakai untuk orang yang tergila-gila pada budaya visual modern Jepang, seperti :
komik jepang (manga, 漫画), anime (アニメ), game, cosplay, dan lain-lain. Kata
otaku sendiri berarti “rumahmu” atau “kamu” (お宅) dan mempunyai konotasi
formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam makna lain. Awalnya
adalah ketika kalangan penggemar anime dan manga (komik) ketika bertemu dan
saling menyapa, “お宅 の コレクション を 見てもいいですか。”
(Bolehkah saya melihat koleksi kamu?) dengan menggunakan bahasa yang sopan.
Istilah otaku berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji Kawamori dan
Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya belajar di
Universitas Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat, mereka
menggunakan kata otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue juga
turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.
Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel
Otaku no kenkyuu (お宅の研究) dalam majalah Manga Burikko yang ditulis oleh
jurnalis Akio Nakamori. Ia menyebut fans sebagai otaku-zoku (generasi otaku) dan
menulis bahwa otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh. Istilah otaku itu menjadi
Miyazaki tahun 1989 yang membuka fakta bahwa Miyazaki adalah seorang “otaku”
yang tidak dapat membedakan dan memisahkan antara kenyataan dengan khayalan
yang ia konsumsi melalui manga dan anime (yang kebanyakan mengandung unsur
kekerasan dan pornografi/hentai).
Otaku lahir dan berkembang karena pengaruh tekhnologi yang berkembang
dan masyarakat sendiri yang melahirkan dan membuat identitas untuk mereka.
Menurut Volker Grassmuck dalam artikel “Sendiri Tapi Tak Kesepian” (terjemahan)
tahun 1990, bahwa dalam banyak hal, otaku adalah bagian dari fenomena media.
Media lah salah satu sebab utama kemunculan mereka, kemudian media jugalah yang
menciptakan nama untuk mereka. Mereka hidup di dalam dunia maya-informasi yang
disediakan oleh media, dan bahkan penelitian tentang otaku sebenarnya adalah
penelitian tentang sejarah media.
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham masyarakat
kelompok (shuudan shugi). Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang
merasuk ke dalam gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang.
Sehingga orang merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok.
Menurut Suryohadiprojo (1982 : 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah
peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam
kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena
pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena individualisme.
Seperti kelompok yang dibentuk oleh para otaku di Jepang, walaupun mereka tertutup
tetapi mereka juga tidak ingin sendirian dan tetap berjalan dalam lingkaran kelompok
Para otaku dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam hasil karya
sastra kebanyakan adalah sosok-sosok yang dipandang negatif oleh orang Jepang
dikarenakan kesukaan atau hobi (biasanya manga dan anime) mereka terhadap
sesuatu sangat berlebihan dan terkadang menyimpang, sehingga dirasakan “aneh” dan
“maniak”.
Karya sastra merupakan salah satu media umtuk menggambaran kejadian
yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Rene Wellek dalam Melani Budianto (1997 :
109) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa
dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan
sosial. Selain itu, menurut Boulton dalam Aminuddin (2000 : 37) mengungkapkan
bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa
yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan
yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
Sastra secara umum, terdiri atas berbagai variasi jenis sastra, seperti puisi,
prosa, drama, roman, dan lain sebagainya. Salah satu karya sastra dalam bentuk prosa
adalah novel, cerpen, cerita bergambar (cergam), kartun (komik), dan lain
sebagainya.
Komik merupakan salah satu karya sastra yang dapat memikat penikmat
sastra dari berbagai macam kalangan, baik anak-anak, remaja, bahkan orang tua.
Pengertian komik dalam artikel “Selintas Sejarah Komik Indonesia” yang ditulis oleh
Guntur Angkat (2004), menurut kutipan Marcel Bonnet dalam bukunya “Komik
Indonesia” adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan
pemikiran dan perenungan.
Komik dalam bahasa Jepang disebut manga. Kata “manga” (漫画) digunakan
pertama kali oleh seorang seniman bernama Hokusai Katsushika dan berasal dari dua
huruf Cina yang artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu. Pada
akhir abad 18, buku komik yang muncul untuk pertama kalinya adalah kibyoushi
yaitu buku yang berisikan cerita dengan gambar beserta narasi dan dialog di
sebelah/mengelilinginya. Tema yang diangkat pun bermacam-macam. Pada akhir
abad 19, Jepang secara cepat menyerap budaya, pengetahuan dan teknologi Barat,
sehingga kibyoushi tergeser keberadaannya. Dan dalam sejarah manga, mungkin yang
perlu dicatat adalah peranan Osamu Tezuka yang dikenal sebagai “God of Manga”.
Tetsuwan Atom adalah manga karya Osamu Tezuka yang terkenal.
Komik memiliki berbagai macam jenis (genre) sendiri. Komik di Jepang
(manga) terbagi atas 4 sasaran penikmat, yaitu komik untuk anak laki-laki (shounen
manga), komik untuk anak perempuan (shoujo manga), komik untuk remaja (seinen
manga), dan komik untuk orang dewasa (sejin manga).
Salah satu komik Jepang yang sangat menarik dan membahas mengenai
kehidupan para otaku di Jepang yaitu komik “GENSHIKEN”(げんしけん) karya
Kio Shimoku (木尾士目) yang termasuk dalam jenis seinen manga dan diterbitkan
oleh Kodansha. Kio Shimoku adalah seorang komikus Jepang yang lahir pada tahun
1974. Kio Shimoku dalam wawancara PWCW (Publisher Weekly Comics Week)
menyatakan dirinya sendiri juga adalah seorang otaku, dan ia ingin agar masyarakat
kehidupan para otaku di Jepang, terlepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap
komunitas otaku tersebut. Kio Shimoku juga membuat komik “Kujibiki Umbalance”
yang bergenre sama dengan komik “Genshiken” yang termasuk dalam genre shounen
manga (komik untuk anak laki-laki)
Genshiken (げんしけん) merupakan komik yang mengisahkan kehidupan
para otaku di Jepang yang sangat total dalam menjalani kehidupan ke-otaku-annya.
Cerita komik Genshiken ini bermula dari anak muda yang bernama Sasahara Kanji
(笹原完士) yang sangat mengggemari sesuatu hal, khususnya manga dan anime, dan
berniat menjadi anggota dari sebuah klub di Universitas Shiou yang baru
dimasukinya yang bernama “GENSHIKEN”, yaitu singkatan dari Gendai Shikaku
Bunka Kenkyukai (現代視覚文化研究会) yang berarti The Society for the Study of
the Modern Visual Culture (Kelompok Penelitian Budaya Visual Moderen). Para
anggota klub ini memiliki minat yang berbeda-beda, mulai dari menggambar
doujinshi (komik buatan fans yang meniru karakter suatu komik), membaca manga ,
menonton anime, bermain video game, ber-cosplay (memakai kostum layaknya tokoh
komik), merakit plamo (plastic model), dan lain-lain. Namun ada satu kesamaan
diantara mereka, yaitu sangat tertarik pada manga dan anime.
Dalam komik ini digambarkan dengan jelas kehidupan sosial, gaya hidup dan
perilaku khas para otaku ini. Mereka melakukan berbagai kegiatan yang berbeda dari
kehidupan “orang normal” lainnya, seperti bekerja dan belajar, tetapi mereka lebih
suka membaca manga, menonton anime, dan mencari informasi tentang apa saja yang
kebanyakan rela menghabiskan uangnya hanya untuk membeli barang-barang yang
berhubungan dengan hobinya tanpa perduli dengan harganya. Semakin lengkap
koleksinya, maka mereka akan semakin puas dan saling berlomba-lomba untuk
memamerkan koleksinya ke sesama otaku lainnya. Walaupun mereka mendapat
pertentangan dan tekanan dari kelompok lain, diakibatkan ‘keanehan’ mereka
tersebut, mereka berusaha mati-matian untuk tetap mempertahankan prinsipnya. Dan
walaupun mereka tertutup terhadap yang lain, mereka tetap mencoba berhubungan
baik dengan klub lainnya, dengan tidak saling mengganggu.
Pengarang juga menggambarkan dengan jelas prinsip dan pandangan para
otaku, serta kondisi sosial yang membentuk karakter para otaku dalam komik ini.
Selain itu, pengarang memasukkan berbagai macam pesan moral, yaitu “selama orang
itu bisa membedakan baik dan buruk, mana yang merupakan imajinasi dan mana
yang kenyataan, serta kegemaran tersebut tidak merugikan orang lain, maka itu
bukanlah sesuatu yang salah”. Selain itu pengarang juga berusaha menyampaikan
bawa “otaku juga seorang manusia sama seperti yang lainnya dan punya perasaan
yang peka”. Hal inilah yang membuat penulis ingin memaparkan dan membahas
kehidupan para otaku ini serta kehidupan sosial dan perilaku mereka melalui skripsi
ini yang berjudul “ANALISIS SOSIOLOGIS KEHIDUPAN “OTAKU”
(PENCINTA BUDAYA VISUAL MODERN JEPANG) SEBAGAI
TOKOH-TOKOH DALAM KOMIK “GENSHIKEN” KARYA : KIO SHIMOKU”.
1.2. Perumusan Masalah
kelompok (shuudan shugi). Orientasi dalam kelompok mempunyai pengaruh yang
merasuk ke dalam gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang.
Sehingga orang merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok.
Karena itu orang Jepang selalu terlihat berkelompok dalam melakukan kegiatan,
seperti kelompok berdasarkan pendidikan (gakubatsu), pekerjaan, hobi, klub-klub,
dan lain-lain. Seperti dalam kelompok otaku (berdasarkan persamaan hobi),
walaupun tertutup serta kurang dapat bergaul secara langsung, mereka tetap hidup
dalam kelompok yang memiliki hobi yang sama dengan mereka. Para otaku tersebut
akan berkumpul dengan sesamanya dan membentuk kelompok tersendiri, diluar
masyarakat yang ada.
Kelompok otaku sudah banyak digambarkan dalam karya sastra khususnya
dalam komik (manga). Namun, para otaku dalam kehidupan nyata ataupun yang
tergambar dalam hasil karya sastra kebanyakan adalah sosok-sosok yang dipandang
negatif oleh orang Jepang dikarenakan kesukaan atau hobi mereka terhadap manga
dan anime yang berlebihan dan terkadang menyimpang sehingga dirasakan “aneh dan
maniak”. Karena itu, para otaku kurang dapat diterima oleh masyarakat di Jepang.
Meskipun begitu, karena prinsip dan gaya hidup orang Jepang untuk cenderung hidup
dalam kelompok maka para otaku di Jepang tersebut berkumpul dan membentuk
kelompoknya sendiri.
Kehidupan para otaku yang digambarkan oleh Kio Shimoku dalam komik
Genshiken ini sangat total dan mendalami kehidupan otaku-nya. Tokoh-tokoh dalam
komik ini sebagian besar mewakili jenis dan karateristik kebanyakan otaku di Jepang.
otaku plamo. Mereka berkumpul dan berkelompok untuk melakukan kegiatan
ke-otaku-annya dalam ruangan klub mereka yang disebut Genshiken yang sudah menjadi
seperti surga bagi mereka, karena didalamnya terdapat berbagai macam barang yang
sangat mereka sukai. Para otaku ini memiliki kesamaan akan kesukaan mereka
terhadap manga dan anime, dimana mereka bisa membahas tentang manga dan anime
kesukaan mereka sampai lupa waktu. Klub-klub lain memandang “aneh” klub ini.
Tapi mereka berusaha mati-matian menjaga klub mereka tetap eksis.
Berdasarkan hal tersebut, permasalahan penelitian ini mencoba menjawab
masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana kehidupan sosial para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik
“Genshiken”.
2. Bagaimana perilaku para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik “Genshiken” .
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Ditinjau dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis
menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini
dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang
jauh, sehingga penulisan dapat terarah dan terfokus.
Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan
yang difokuskan pada perilaku dan kehidupan sosial otaku tokoh-tokoh dalam komik
ini, yang dapat dilihat dari tingkah laku, dan cara berpikir para otaku dalam komik
tersebut. Penulis juga akan mendeskripsikan bagaimana kehidupan sehari-hari serta
otaku-nya dalam komik “Genshiken” ini.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1. Tinjauan Pustaka
Sosiologi sastra menurut Ratna (2003 : 2) yaitu pemahaman terhadap totalitas
karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di
dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen yaitu
sastra dan masyarakat. Oleh karenanya, analisis sosiologis memberikan perhatian
yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat
tertentu.
Menurut Nyoman (2003 : 11) bahwa analisis sosiologis memberikan perhatian
yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat
tertentu. Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan
masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. Mekanisme
tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif.
Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya,
antar-hubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.
Menurut Wellek dan Warren (1962 : 37), fungsi sastra berada dalam kerangka hakikat
karya sastra.
Menurut Swingewood dalam Faruk (1999 : 43) mengisyaratkan perlunya
pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani
hubungan antara sastra dengan masyarakat itu. Selain itu perlu pertimbangan formasi
masyarakat tersebut (Wolff dalam Faruk, 1999 : 43). Melalui karya sastra maka dapat
terlihat bagaimana kehidupan sosial yang membentuk masyrakat tersebut.
Di dalam setiap masyarakat terdapat apa yang dinamakan pola-pola perilaku
atau patterns of behavior. Pola-pola perilaku menurut Soerjono Soekanto (1999 : 180)
merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus
diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Setiap tindakan manusia dalam
masyarakat selalu mengikuti pola-pola masyarakat tadi. Kecuali terpengaruh oleh
tindakan bersama tadi, maka pola-pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan masyarakatnya.
Masyarakat Jepang menganut paham masyarakat kelompok (shuudan shugi).
Pengertian shuudan shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten (1989) yaitu merupakan
pembentukan susunan atau formasi suatu status yang disatukan oleh keinginan dalam
suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan dari tiap individu yang
dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut ideologi kelompok.
Istilah Otaku (オタク) menurut kolumnis Nakamori Akio dalam artikel
“Otaku no Kenkyuu” (お宅の研究) yang direalisasikan dalam majalah manga
Burikko (1983) yaitu istilah untuk menyebut atau menunjuk seseorang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan berdiam di dalam rumah dengan membaca komik
(manga) dan menonton anime.
Pengertian komik dalam artikel “Selintas Sejarah Komik Indonesia” yang
ditulis oleh Guntur Angkat (2004), menurut kutipan Marcel Bonnet dalam bukunya
menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan tanda, mengarah
kepada suatu pemikiran dan perenungan.
Manga (漫画) adalah istilah untuk menyebut komik Jepang. Secara Harfiah
kata manga berasal dari kata lucu (man : 漫) dan kata gambar (ga : 画 ), jadi kata
manga berarti gambar yang lucu. Kata manga pertama kali digunakan oleh seorang
seniman bernama Hokusai Katsushika. yang menggunakan dua huruf Cina yang
artinya kira-kira gambar manusia untuk menceritakan sesuatu.
Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra yaitu tema,
penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Khususnya tokoh-tokoh dalam karya
sastra mempunyai peranan yang sangat penting sebagai penyampai pesan, amanat,
moral atau sesuatu ide yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca oleh si
pengarang. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1998 : 165) yang mengatakan
bahwa tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam tindakan. Dan hal ini sangat
tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan,
amanat atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
Dalam komik Genshiken, pengarang mencoba menggambarkan kehidupan
sosial, perilaku, maupun gaya hidup para otaku baik dalam komunitasnya sendiri
maupun dengan lingkungan masyarakat lainnya yang digambarkan melalui sikap,
tingkah laku, serta dialog-dialog yang diucapkan guna menyampaikan pesan, amanat,
tokoh-tokoh yang digambarkan pengarang dalam komik ini mencerminkan kehidupan
sosial, perilaku dan pandangan otaku terhadap gaya hidupnya dan bagaimana cara
mereka berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dengan cara mereka sendiri. Bagi
mereka kehidupan sebagai otaku merupakan yang terbaik untuk mereka sendiri dan
mereka bangga akannya.
1.4.2. Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori
yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian
akan disoroti (Nawawi, 2001 : 39-40)
Menurut Pradopo (2003 : 122) bahwa karya sastra merupakan sebuah sistem
yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra
(genre) dan ragam-ragam. Dalam berbagai macam genre inilah, penulis dapat leluasa
berkarya untuk dapat menyampaikan berbagai macam tujuan, termasuk di dalamnya
pesan kebudayaan, karena sastra merupakan bagian integral kebudayaan.
Penelitian ini menggunakan studi sosiologis dan pendekatan sosiologis dalam
memecahkan permasalahan sosial yang ada. Menurut Nyoman (2003 : 25-26), studi
sosiologis didasarkan atas pemahaman bahwa setiap fakta kultural lahir dan
berkembang dalam kondisis-kondisi sosial historis tertentu. Sistem produksi karya
seni, karya sastra khususnya, dipandang sebagai akibat hubungan-hubungan
bermakna interaksi antarindividu di satu pihak, hubungan-hubungan bermakna
sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan atas linear antara pengarang,
penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada umumnya, melainkan juga tradisi dan
konvensi sebagai literenya. Tambahan lagi, Nyoman (2004 : 60) menyatakan bahwa
dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya
sastra dengan masyarakat.
Selain pendekatan sosilogis juga digunakan pendekatan historis dan
fenomenologis. Menurut Aminuddin (2000 : 46), pendekatan historis adalah suatu
pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar
belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta
sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan
maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Hal dasar
yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan ini ialah anggapan bahwa cipta sastra
bagaimanapun juga merupakan bagian dari zamannya.
Menurut Faruk (1999 : 116), pendekatan fenomenologis yaitu pemahaman
mengenai individu dalam situasi sosialnya, pemahaman mengenai pola-pola makna
yang membangun realitasnya, dan pemahaman mengenai defenisinya terhadap situasi
yang didalamnya individu itu bertindak dan berinteraksi satu sama lain.
Menurut Zainuddin Fananie (2001 : 139), pendekatan semiotik adalah
pemahaman makna karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan
bahwa bahasa adalah sistem tanda, sign, dan tanda merupakan kesatuan antara dua
aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain ayitu significant (penanda) dan signifie
(petanda).
ditunjukkan mengenai kehidupan sosial dan perilaku para otaku yang dapat dianalisis
dalam komik “Genshiken” karya Kio Shimoku.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui kehidupan sosial para otaku pada tokoh-tokoh dalam
komik “Genshiken”.
2. Untuk mengetahui perilaku para otaku pada tokoh-tokoh dalam komik
“Genshiken”.
1.5.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain :
1. Dapat menambah pengetahuan mengenai gaya hidup otaku di Jepang melalui
komik “Genshiken”.
2. Dapat menambah wawasan mengenai kehidupan sosial para otaku di Jepang
dengan komunitas otaku maupun dengan masyarakat lainnya dalam komik
“Genshiken”.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilandaskan pada analisis dan
konstruksi. Analisis dan konstruksi dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang dihadapinya dalam kehidupan
(Soekanto, 2003 : 410).
Dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang
untuk mencapai tujuan. Metode adalah cara melaksanakan penelitian. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut
Koentjaraningrat (1976) : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan
gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau
kelompok tertentu.
Data-data penelitian dikumpulkan penulis dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan (Library Research), dengan mengambil sumber acuan dari berbagai
buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Selain itu
penulis memperoleh data dari berbagai macam artikel baik dari majalah, jurnal,
situs-situs atau website dari internet, serta literatur-literatur lainnya yang menunjang untuk
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KELOMPOK, OTAKU, DAN
MANGA (KOMIK JEPANG)
2.1. Masyarakat Jepang Sebagai Masyarakat Kelompok
Dalam masyarakat mungkin terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam
penekanan relatif yang diberikan pada individu dan kelompok. Menurut
Suryohadiprojo (1982 : 42), bahwa sifat Jepang yang menonjol adalah peranan
kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam
kehidupan masyarakat, sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena
pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena individualisme.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang menganut paham sosialis
daripada individualis, dimana penekanan kelompok jauh lebih berperan.
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang menganut paham kelompok
(shuudan shugi). Pengertian shuudan shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten
(1989) yaitu merupakan pembentukan susunan atau formasi suatu status yang
disatukan oleh keinginan dalam suatu kelompok yang mengatur berbagai tuntutan
dari tiap individu yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat yang menganut
ideologi kelompok. Dapat dikatakan kalau masyarakat Jepang jauh lebih terbiasa
dalam bertindak secara berkelompok dibandingkan masyarakat negara lainnya,
Kebanyakan orang Jepang akan merasa puas sekali dapat menyesuaikan
pakaian, tingkah laku, gaya hidup, dan bahkan pikiran pada norma-norma kelompok
mereka. Afliasi kelompok di Jepang penting sekali, tetapi orang Jepang cenderung
untuk menekankan hal ini dengan berusaha menafsirkan segala sesuatu dari sudut
pandangan yang sama seperti halnya kerja sama (habatsu) kelompok yang bersifat
pribadi dalam politik, hubungan antar kekeluargaan (ie), hubungan akademis
(gakubatsu), perlindungan pribadi dan rekomendasi-rekomendasi. Mereka ingin
menekankan, bahwa yang menentukan bukanlah kemampuan seseorang, tetapi
koneksi seseorang.
Penekanan pada kelompok mempunyai pengaruh yang merasuk ke dalam
gaya hidup Jepang terutama hubungan antar pribadi di Jepang. Sehingga orang
merasa bahwa bangsa Jepang terutama cenderung berkelompok. Ini merupakan
fenomena yang cukup umum terjadi, terutama terlihat bila suatu masyarakat ditinjau
dari luar, tetapi tampaknya lebih kuat di Jepang daripada di banyak tempat lain.
Untuk melaksanakan sistem kelompoknya dengan berhasil, orang Jepang
berpendapat sebaiknya menghindari konfrontasi terbuka. Dengan kata lain, setiap
konflik tajam terjadi maka dikemukakan secara tidak langsung atau hanya berupa
implikasi samar-samar sehingga keharmonisan kelompok tetap terjaga. Kalau ada
perbedaan pendapat, selalu diusahakan kompromi atas dasar makeru ga kachi
(mengalah untuk menang). Dalam kelompok, kehangatan hubungan merupakan hal
yang amat penting dan seseorang mencari amae atau rasa bersatu dengan sesama
anggota kelompok. Setiap anggota kelompok selalu berusaha untuk tidak
itu juga mereka tidak mau kelihatan atau dirasakan sebagai menguasai anggota lain.
Dalam suatu masyarakat yang sangat homogen seperti Jepang, bentuk-bentuk
komunikasi non-verbal demikian lebih menguntungkan dalam mempertahankan
kesetiakawanan kelompok. Dapat dikatakan bahwa kecendrungan Jepang untuk
menekankan pada kelompok, sedikit banyak mengorbankan individu.
Pada mayoritas orang Jepang, hidup dalam kelompok berarti menjaga suasana
kelompok tersebut, dan suasana ini dianggap penting daripada prinsip yang harus
dipertahankan.
Kelompok-kelompok dari setiap jenis berlimpahan di seluruh masyarakat
Jepang dan biasanya memainkan peranan yang lebih besar dan memberikan lebih dari
sekedar perasaan identifikasi diri kepada setiap individu dalam kelompok. Bagi orang
Jepang keberhasilan kelompok mereka memberikan suatu kepuasan tersendiri dalam
setiap jiwa individunya.
Dikarenakan telah merasuk ke dalam gaya hidup orang Jepang untuk
berperilaku sama dengan satu kelompoknya. Jika ada saja salah satu individu yang
berbeda maka mungkin dianggap aneh dan akan dikucilkan. Contohnya, para otaku
yang memang memiliki “gaya” berbeda dibandingkan orang Jepang pada umumnya,
baik dari penampilan maupun selera atau hobinya. Dikarenakan memiliki identitas
yang berbeda itulah maka para otaku tersebut membentuk kelompok mereka sendiri.
Dengan membentuk kelompok baru, maka mereka tetap dalam suatu kelompok.
Dapat dikatakan, walaupun tersingkir dari masyarakat umum, mereka kemudian
membentuk komunitas atau kelompok sendiri. Sehingga mereka tetap dalam jalinan
2.2. Sejarah dan Perkembangan Otaku di Jepang
2.2.1. Latar Belakang Lahirnya Istilah Otaku di Jepang
Otaku (オタク) adalah istilah untuk menyebut orang yang tergila-gila
terhadap budaya visual modern Jepang yaitu misalnya komik jepang (manga), anime,
game,dan lain-lain.
Kata otaku (お宅) sendiri berarti “rumahmu” atau “kamu” (お宅) dan
mempunyai konotasi formal. Tetapi sejak tahun 80-an, kata “otaku” dipakai dalam
makna lain. Awalnya adalah ketika kalangan penggemar anime dan manga (komik)
ketika bertemu dan saling menyapa, “お宅 の コレクション を
見てもいいですか。” (Bolehkah saya melihat koleksi kamu?) dengan
menggunakan bahasa yang sopan. Agar dapat membedakan kata “otaku” (お宅)
sebagai kata ganti orang kedua tersebut dengan istilah untuk menyebut penggemar
subkultur manga dan anime maka istilah otaku dituliskan dengan memakai huruf
katakana sehingga menjadi オタク.
Istilah otaku awalnya berasal dari creator Macross (1982) yaitu Shoji
Kawamori dan Haruhiko Mikimoto yang bekerja di studio Nue. Karena keduanya
belajar di Universitas Keio yang terkenal sebagai institusi pendidikan terhormat,
mereka menggunakan kata otaku untuk saling menyapa. Kemudian staff Studio Nue
juga turut menggunakan sapaan otaku, sehingga menular ke kalangan fans Macross.
Tahun 1983, istilah otaku untuk menyebut fans digunakan dalam artikel
Otaku no kenkyu dalam majalah Manga Burikko yang ditulis oleh jurnalis Akio
otaku itu anti sosial, tertutup dan aneh.
Pada waktu itu, masyarakat umum sama sekali belum mengenal istilah otaku.
Media massa yang pertama kali menggunakan istilah otaku adalah
yang mengangkat segmen Otakuzoku no jittai
(おたく族の実態) situasi kalangan otaku) pada acara radi
Otakuzoku (secara harafiah: suku Otaku) digunakan untuk menyebut kalangan otaku,
mengikuti sebutan yang sudah ada untuk kelompok anak muda yang memakai
akhiran kata "zoku," seperti
Istilah "otaku" dalam arti sempit awalnya hanya digunakan di antara
orang-orang yang memiliki hobi sejenis yang membentuk kalangan terbatas seperti
penerbitan 同人誌). Belakangan ini, istilah otaku dalam arti luas sering
dapat mempunyai konotasi negatif atau positif bergantung pada situasi dan orang
yang menggunakannya. Istilah otaku secara negatif digunakan untuk penggemar
fanatik suatu subkultur yang letak bagusnya tidak bisa dimengerti masyarakat umum,
atau orang yang kurang mampu berkomunikasi dan sering tidak mau bergaul dengan
orang lain. Otaku secara positif digunakan untuk menyebut orang yang sangat
mendalami suatu bidang hingga mendetil, dibarengi tingkat pengetahuan yang sangat
tinggi hingga mencapai tingkat
Secar
"laki-laki dengan kebiasaan aneh dan tidak dimengerti masyarakat umum," tanpa
memandang orang tersebut menekuni suatu hobi atau tidak. Anak perempuan di
kalangan anak perempuan, tapi sebaliknya istilah ini tidak pernah digunakan untuk
perempuan. Berhubung istilah otaku sering digunakan dalam konteks yang
menyinggung perasaan, penggunaan istilah otaku sering dikritik sebagai
perlakua
Istilah otaku juga identik dengan sebuta
laki-laki yang berselera buruk dalam soal berpakaian. Sebutan Akiba Kei berasal dari
gaya berpakaian laki-laki yang lebih suka mengeluarkan uang untuk keperluan hobi
di distr
yang kurang umum untuk Akiba-Kei adalah A-Boy atau A-Kei, mengikuti istilah
B-Boy (B-Kei atau B-Kaji) yang sudah lebih dulu ada untuk orang yang meniru
penampilan penyanyi
2.2.2. Perkembangan dan Lahirnya Kelompok Otaku di Jepang
Sebelum istilah otaku menjadi populer di Jepang, sudah ada orang yang
disebut "mania" karena hanya menekuni sesuatu dan tidak mempunyai minat pada
kehidupan sehari-hari yang biasa dilakukan orang. Di Jepang, istilah otaku sering
digunakan di luar konteks penggemar berat
istilah mania, sehingga ada istilah Game-otaku, Gundam-otaku (otaku mengenai
robot Gundam), Gunji-otaku (otaku bidang militer), Pasokon-otaku (otaku
komputer), Tetsudō-otaku (otaku kereta api alias Tecchan) dan lain-lain.
Para Otaku tersebut membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan
kesukaan atau hobi yang sama. Mereka berkumpul baik secara langsung maupun
dan keinginan yang sama.
Diantara banyaknya kelompok otaku tersebut, komunitas otaku manga dan
anime di Jepang saat ini cukup besar kalau melihat dari tingkat pasar penggemar
manga dan anime. Dapat dikatakan komunitas otaku ini di Jepang dapat terlihat dari
banyaknya kelompok otaku manga dan anime yang bermunculan dalam masyarakat
Jepang saat ini.
2.2.3. Jenis-jenis Otaku di Jepang
• Manga ota. Orang-orang yang suka membaca manga dan mengoleksi manga.
• Seiyuu ota. Seiyuu adalah pengisi suara dari anime. Orang-orang yg
tergolong ini mampu mengenali seiyuu hanya dari mendengar suaranya.
• Tetsudou (Railroad) ota. Ada 2 tipe dari otaku ini, noritetsu: orang yang
memiliki hobi melakukan perjalanan menggunakan kereta, dan toritetsu:
orang yang memiliki hobi mengambil foto dari kereta. Untuk hal ini masih
belum memungkinkan di Indonesia karena perkeretaapian di Indonesia belum
bisa tergolong memiliki daya tarik.
• Idol ota. Berlawanan dengan anime ota, Idol ota tertarik terhadap 3 dimensi
(sanjigen) ketimbang 2 dimensi (nijigen). Mereka biasanya mengambil
foto-foto idolanya menggunakan camera.
• Figure ota. Orang-orang yang mengoleksi action figure. Ada 2 tipe, yang
pertama adalah yg mengoleksi figure-figure yang lebih mahal, dan yang
kecil atau trading figure).
• Cosplay ota. Orang-orang yang suka menggunakan pakaian seperti karakter
anime/game.
• Maid ota. Juga dikenal sebagai meidosuki. Orang-orang ini menyukai orang
yang berpakaian dan bertindak seperti seorang maid (pelayan dari abad
pertengahan di Eropa).
• Eroge ota. Eroge artinya erotic game. Orang-orang yang tergolong dalam
otaku ini menyukai permainan erotic game (game porno). Umumnya
game-game seperti ini bisa didapat di Jepang.
• Anime ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal berhubungan anime.
• Pasocon ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan
dengan komputer. Atau juga dikenal sebagai computer freak.
• Game ota. Orang-orang yang suka bermain game, tapi bukan yang tergolong
erotic game. Orang-orang ini merupakan gamer-gamer yang sering
menghabiskan waktunya bermain game online maupun offline, dan juga
game-game console.
• Gunji ota. Orang-orang yang suka dengan segala hal yang berhubungan
dengan militer: seragam militer, mainan militer dan lain-lain.
2.2.4. Generasi-generasi Otaku
• Otaku generasi pertama (kelahiran paruh pertama tahun 1960-an)
masyarakat umum masih mengganggap anime sebagai konsumsi anak-anak.
secara luas. Otaku generasi pertama juga mulai ikut-ikutan membaca Gekiga.
Di Jepang, generasi kelahiran tahun 1960-an disebut generasi Shinjinrui
bentuk dan menyenangi
• Otaku generasi II (kelahiran sekitar tahun 1970-an)
Otaku generasi ini, di masa kecil memba
Masyarakat Jepang mulai menerima kehadiran otaku. Sebagian otaku generasi
II tidak bisa membedakan antara dunia fiksi sains dengan alam nyata,
misalnya Gundam-otaku (Gun-ota). Permainan video dekade 1980-an juga
menjadi kegemaran otaku generasi II. Pada saat yang sama, masyarakat mulai
menaruh praduga terhadap otaku akibat kasus pembunuhan heboh dengan
pelaku seorang otaku. Di kalangan anak sebaya, otaku mulai mendapat
perlakuan diskriminasi.
• Otaku generasi III (kelahiran sekitar tahun 1980-an)
Otaku generasi ini, di masa kecil memba
generasi III sekarang menjadi inti geraka
generasi I mulai menjadi otaku sehingga citra negatif otaku semakin
otaku generasi III, kecenderunga
keadaan sedang berfantasi seksual) sudah menjadi istilah yang disepakati
bersama, sekaligus sebagai prinsip dan tujuan. Otaku generasi III makin
tenggelam di dalam dunia yang digambarkan manga, dan bahkan sampai
menyenangi
diciptakan oleh manga dan anime) yang ada di dalamnya.
2.3. Gambaran Kehidupan Sosial dan Perilaku Para Otaku di Jepang
2.3.1. Kehidupan Sosial para Otaku di Jepang dengan Lingkungan Sosialnya
2.3.1.1. Kehidupan Sosial para Otaku dengan Sesama Otaku
Kebiasaan orang Jepang untuk masuk dalam suatu kelompok juga terdapat
dalam komunitas otaku di Jepang. Hal itu dapat terlihat dari berbagai macam jenis
kelompok otaku yang ada di Jepang. Persamaan yang ada dalam diri mereka menjadi
asal mula pembentukan kelompok otaku tersebut.
Para Otaku dalam kehidupan sosialnya kurang dapat terlihat secara langsung.
Mereka lebih suka berkumpul secara tidak langsung seperti dalam dunia maya
(misalnya, internet). Mereka menggunakan jaringan elektronik, karena media itulah
yang membuat mereka tetap bisa tinggal di rumah, sekaligus memampukan mereka
untuk bertemu dengan orang-orang serupa tanpa perlu kontak fisik. Mereka lebih
dapat terbuka tanpa kontak secara langsung. Biasanya mereka membentuk suatu
komunitas yang memiliki persamaan hobi. Dalam suatu komunitas tersebut, mereka
dapat terbuka dan mulai mengungkapkan jati dirinya. Hal ini dikarenakan mereka
Biasanya, otaku menghindari komunikasi langsung, tapi terus menerus dan
secara berlebihan, berkomunikasi melalui berbagai teknologi media. Struktur
pertukaran informasi mereka adalah uwasa (desas-desus) dan kuchi-komi
(komunikasi oral, gosip), komunikasi minor, dan ofu rekoodo (off the record), dan
berbagai jenis permainan, penyebaran melalui jaringan elektronik, dan (pada
akhirnya) diskomunikasi. Penting untuk berbicara, namun tidak penting apa yang
dibicarakan. Karakter dari para otaku adalah bahwa mereka berbicara tanpa konteks
tertentu. Mereka hidup dalam sistem yang merujuk diri sendiri yang tidak perlu
memperhatikan isi. Paling penting dalam kesadaran mereka adalah keberadaan
media.
Pada dasarnya, mereka dapat berkomunikasi hanya dengan otaku yang satu
tipe. Percakapan mereka tidaklah interaktif (artinya saling berbalasan), tapi hanya
untuk memamerkan pengetahuan (informasi) yang mereka punya. Setiap orang
mengkategorikan yang lain dengan kesukaan mereka pada detail-detail tertentu. Jika
dua orang dari mereka menemukan kesukaan yang sama, maka mereka akan menjadi
dekat. Tapi jika tidak, mereka tidak merasa perlu untuk saling bercakap-cakap.
Mereka tidak merasa perlu untuk mempengaruhi orang lain untuk menyukai apa yang
mereka sukai.
Kelompok ataupun komunitas otaku tersebut dapat dikatakan memiliki
hubungan sosial yang hampir sama dengan kebanyakan kelompok lainnya. Hanya
saja mungkin cara mereka bergaul atau bersosialisasi sedikit berbeda. Misalnya,
mereka lebih suka bersosialisasi dengan orang yang memiliki minat dan hobi yang
mungkin akan sedikit sulit bersosialisasi dengan mereka. Para otaku tersebut sangat
menghargai orang yang mau memahami minat mereka terhadap hobinya, dan
biasanya cenderung menutup diri pada orang asing (yang berbeda hobi).
Para otaku di Jepang dalam komunitasnya sangat loyalitas, terutama dalam
saling pemberian informasi yang menyangkut hobi mereka. Mereka akan sangat
menghargai dan menghormati orang yang memiliki sumber informasi mengenai hobi
mereka. Karena itu para otaku tersebut saling berlomba-lomba memperoleh informasi
dan melengkapi koleksi mereka untuk dapat diperlihatkan kepada otaku yang lain.
Sesama otaku tersebut memiliki suatu kesamaan akan sesuatu hal dengan otaku
lainnya, dan mereka mulai akan merasa diterima dalam kelompok tersebut. Sehingga
dapat dikatakan sesama otaku tersebut membentuk komunitas mereka atas dasar
persamaan yang ada dalam diri mereka.
2.3.1.2. Kehidupan Sosial para Otaku dengan yang Non-Otaku
Para otaku dalam kehidupan sosialnya dengan yang non-otaku sedikit sulit
terlihat. Biasanya meraka kurang dapat berkomunikasi satu sama lain, karena terdapat
banyak perbedaan yang ada. Misalnya, dari cara berpakaian, hobi, dan cara pandang
mereka terhadap sesuatu hal berbeda dengan masyarakat kebanyakan.
Kalau melihat dari sudut pandang masyarakat kebanyakan yang memandang
negatif para otaku, maka tidak heran para otaku tersebut sedikit demi sedikit mulai
menjauhi kehidupan bermasyarakat dan mulai membentuk komunitas mereka sendiri.
Para otaku tersebut mulai hidup dalam dunia khayalan yang mereka ciptakan
khayalan tersebut dikarenakan tidak ada tekanan dari masyarakat dan mereka dapat
lebih berekspresi dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini menyebabkan
mereka sedikit sulit memisahkan antara yang mana merupakan khayalan dan yang
mana merupakan kenyataan. Sehingga kecendrungan untuk semakin terpisah dari
yang non-otaku (masyarakat) pun terjadi.
Kehidupan sosial para otaku dengan yang non-otaku tersebut dapat dikatakan
sangat jarang terlihat, walaupun mungkin ada beberapa yang non-otaku dapat
memahami keadaan mereka. Tetapi karena pandangan masyarakat yang sudah
terlanjur memandang negatif para otaku, semakin membuat mereka menjauh
perlahan-lahan dalam kehidupan bermasyarakat secara umum.
2.3.2. Perilaku para Otaku
Kehidupan para otaku mungkin tidak jauh berebeda dari kebanyakan orang
lainnya. Namun perilaku maupun tindakan para otaku tersebut berbeda dengan orang
lainnya. Mereka lebih suka diam di rumah untuk membaca manga dan menonton
anime. Mereka seolah-olah masuk ke dalam dunia khayalan yang diciptakan oleh
anime dan manga tersebut dan ikut terhanyut ke dalam ceritanya. Mereka mulai
merasakan kesenangan yang lebih setelah mereka membaca manga dan menonton
anime. Mereka ingin lepas dari tekanan kenyataan kehidupan yang sebenarnya dan
mulai mencari dunia khayalan yang tidak memaksa dan dapat mereka ciptakan
sendiri.
Para otaku tersebut mulai bersikap seperti apa yang diciptakan oleh manga
dilihat oleh masyarakat. Keanehan para otaku tersebut seperti : mereka lebih suka
sesuatu yang abstrak daripada yang konkrit, contohnya, mereka lebih menyukai
figure-figure tokoh anime dibandingkan manusia sebenarnya. Mereka kurang cakap
berkomunikasi dengan orang lain daripada dengan tokoh-tokoh game yang dapat
berbicara dengan mereka.
Perilaku para otaku dinilai aneh oleh masyarakat Jepang yang menganggap
sesuatu hal yang yang dilakukan para otaku tersebut menyimpang dari perilaku
kebanyakan orang. Ada kesan bahwa semua otaku tergila-gila pada teknologi. Namun
sebenarnya, itu bukan berarti mereka semua membenci alam, karena ada otaku untuk
ikan tropis dan fosil. Mereka melakukannya dalam gaya otaku. Dalam hal ini yang
penting adalah sikapnya, bukan yang lain.
2.4. Komik dan Manga (komik Jepang)
2.4.1. Defenisi Komik
Komik adalah cerita bergambar (cergam) yang terdiri dari teks atau narasi
yang berfungsi sebagai penjelasan dialog dan alur cerita (Angkat, 2004). Komik
menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) adalah salah satu produk akhir dari
hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituang dalam gambar dan
tanda, mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.
Menurut Will Eisner dalam bukunya Graphic Storytelling, komik adalah
tatanan gambar dan balon kata yang berurutan. Scott McCloud punya pendapat lain
lagi, katanya dalam buku Understanding Comics, komik didefinisikan sebagai
melihatnya. Ada juga yang menyebut komik sebagai cerita bergambar, gambar yang
dinarasikan, kisah ilustrasi, picto-fiksi dan lain-lain.
2.4.2. Sejarah Komik
Sejarah munculnya komik masih menjadi perdebatan. Menurut Scot McCloud
komik bisa jadi bermula dari tulisan hiroglyph Mesir, emaki Jepang atau manuskrip
kuno Amerika Tengah. Tapi, menurut Roger Sabin, komik semestinya merupakan
istilah untuk kisah bergambar yang dicetak. Meski demikian, pengertian ini rancu
sebab film animasi juga merupakan kisah bergambar yang dibuat atau dicetak dengan
media tertentu.
Negara Prancis dikenal sebagai pencetus ide-ide komik cemerlang. Sejarah
komik diduga bermula pada masa prasejarah Digua Lascaux, Prancis selatan , yaitu
ditemukannya torehan berupa gambar gambar bison , sejenis banteng atau kerbau
Amerika. Cikal bakal komik ini menurut Marcel Bonnet dalam Angkat (2004) belum
mengandung sandi yang membentuknya menjadi bahasa namun sudah merupakan "
pesan" sebagai upaya komunikasi non verbal paling kuno.
Di Mesir, cerita tentang dewa maut dalam dunia roh terdapat di kuburan raja
Nakht yang ditoreh diatas (kertas) papirus, papirus ini juga sudah dikenal lama oleh
orang Assiria, Siria dan parsi. Selanjutnya " Komik" diatas daun beralih bentuk
Mozaik ( susunan lempeng batu berwarna) di Yunani, karya ini berlangsung hingga
abad ke 4 masehi, pada masa jaman Romawi cerita bergambar berkembang pesat
yang selanjutnya menyebar hampir ke seluruh Eropa.
Francis Barlow berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot”
(1682) dan “The Punishments of Lemuel Gulliver oleh William Hogarth” (1726).
Tapi Eddie Campbell menolak kesimpulan Sabin, sebab menurut Campbell karya dua
penulis itu mestinya digolongkan pada kartun. Sama halnya dengan komik karya
Rowlandson tahun 1782, yang membuat kartun bertema politik dan ditambah narasi.
Karya para kartunis itu lebih tepat disebut gambar yang dinarasikan.
Tahun 1884, komik karya Ally Sloper berjudul Half Holiday dipublikasikan.
Komik ini disebut sebagai komik strip majalah pertama. Berikutnya terbitlah
terobosan baru dunia perkomikan, yakni kemunculan komik berseri dengan tokoh
tetap tahun 1895. Dibuat oleh R.F Outcault, berjudul “Hogan's Alley”. Komik ini
menjadi sangat populer sehingga meningkatkan penjualan koran yang memuatnya.
Hogan's Alley menjadi penanda awal bangkitnya komik Amerika. Semangat
membuat komik menjalar dimana-mana. Para komikus menciptakan berbagai tokoh
cerita yang kemudian jadi populer hingga ke seluruh dunia. Sebut saja “Superman”
yang muncul pertama kali dalam Action Comics#1 tahun 1938.
2.4.3. Sejarah Manga
Manga merupakan istilah untuk komik Jepang. Berbeda dengan komik
Amerika, manga biasanya dibaca dari kanan ke kiri, sesuai dengan arah tulisan kanji
Jepang.
Komik Jepang yang paling tua dan terkenal pertama kali ditemukan di gudang
Shooshooin di Nara yang memperlihatkan berbagai ekspresi wajah manusia dengan
disebut Daidaron, menggambarkan mata yang terbelalak dan orang berjenggot.
Selain itu pada langit-langit di Kondoo (gedung utama) kuil Buddha Hooryuuji pada
abad ke-7 dan pada panggung bangunan Brahma dan Indra di kuil Tooshoodaiji pada
abad ke-8, dimana dalam gambar komik ini terdapat unsur-unsur religius dan
nilai-nilai tradisi. Sedangkan di gedung Phoenix kuli Byoodooin, tercatat arsitektur zaman
Heian (794-1185), yang pada saat itu ditemukan sejumlah karikatur pengadilan
rendah.
Namun ada juga yang menyebut manga pertama kali muncul abad 12 (pada
akhir zaman Heian) dimana manga generasi awal ini bertajuk “Choju Jinbutsu Giga”
karya biksu Toba soojoo yang berisi berbagai gambar lucu hewan dan manusia.
Manga yang dibuat banyak seniman ini memenuhi hampir semua persyaratan manga.
Sederhana, memiliki cerita di dalamnya, dan memiliki gambar artistik.
Pada pertengahan abad ke-12, terdapat gulungan surat bergambar yang
terkenal yang disebut Shigisan Engi Emaki, yang menggambarkan gerakan yang
dinamis. Dalam gambar tersebut terdapat sebuah adegan pendeta Buddha Myoren
membuat sebuah panci ajaib terbang ke udara dan membawa gudang beras orang
kaya ke puncak gunung. Sedangkan pada adegan lainnya, karung-karung beras
terbang keluar dari gudang. Kemudian Bandainagon Ekotoba (akhir tahun 1100-an)
memperlihatkan gerbang utama dari sebuah kuil terkenal yang sedang terbakar
dengan ekspresi wajah dari sekitar seratus orang yang dikejutkan oleh api atau
orang-orang yang melarikan diri, hal ini membuat adegan ini menjadi hidup dan membuat
kita merasa ada diantara mereka. Kedua gambar ini termasuk ke dalam kategori cerita
Kemudian pada zaman Kamakura (1185-1333) seiring dengan perkembangan
agama Buddha, komik juga terlihat yaitu pada gulungan surat bergambar seperti
Jigoku Zooshi dalam bentuk adegan gambar neraka dan Gaki Zooshi dalam bentuk
adegan penderitaan, kedua surat bergambar ini memperlihatkan adegan yang
berhubungan dengan kematian.
Pada zaman Muromachi (1333-1568) ada contoh komik berbentuk cerita
pendek yaitu Otogi Zooshi. Pada masa ini keberanian berimajinasi, daya pikir dan
selera humor yang tinggi sudah terlihat jelas.
Di zaman Edo (1603-1867), pertumbuhan kebudayan popular memberikan
semangat baru dalam komik yang merebut daya tarik lebih besar dalam bentuk buku
cetakan blok kayu, seperti pada lukisan Ootsure-e yang dibuat dengan tekanan kuas
yang kasar, lukisan Toba-e dengan sindirannya terhadap manusia, dan lukisan paham
Kuwagata Keisai (1764-1824) yang dikenal juga sebagai Kitao Masayoshi, serta
Yamaguchi Soken (1759-1818).
Sejarah komik Jepang seutuhnya berawal pada zaman Edo, ketika istilah
manga (komik Jepang) pertama kali digunakan oleh pelukis Ukiyo-e (grafis pahatan
kayu) yang terkenal yaitu Hokusai Katsushika. Ia memproduksi sebuah serial buku
bergambar yang diterbitkan dalam 15 jilid antara tahun 1814 dan 1878. manga ini
berisi lebih dari 4000 ilustrasi. Cara Hokusai menggambarkan gerakan badan
manusia, dan pengamatan ilmiahnya tentang gerakan otot benar-benar terlihat alami
dan nyata, seperti dalam komik Suzume Odori-zu (Dancing Sparrow, Burung Pipit
Sedang Menari, Jilid 3). Yari no Keiko-zu (Spear Throwing Practice, Latihan
Pada zaman showa (1926-1989) yang dikenal juga dengan abad manga
anak-anak, dimana saat itu, manga mulai berkembang pesat. Pada tahun 1989 dalam selang
waktu satu tahun telah diterbitkan sekitar 500 juta manga, 500 juta majalah manga
bulanan, dan 700 juta majalah mingguan manga. Dari prestasi yang dicapai ini Jepang
dapat dikatakan sebagai “Kerajaan Manga”, yang mulai bangkit dalam situasi setelah
melewati masa perang lewat manga anak-anak.
Sebelum dan selama Perang Dunia ke-II, para seniman lokal menggunakan
The Japan Punch sebagai media penerbitan yang juga merupakan majalah komik
dengan cerita humor yang dikelola oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Jepang,
meskipun awalnya The japan Punch muncul sebagai sindiran politik yang pada saat
itu diawasi dengan ketat oleh pemerintah Jepang.
Berkembangnya tekhnologi produksi manga pada pasca Perang Dunia ke-II
tidak lepas dari peran serta komikus berbakat Osamu Tezuka (1928-1989). Tezuka
mengubah wajah dunia manga pasca Perang Dunia ke-II secara radikal. Ia
menggunakan gaya narasi yang unik dengan komposisi cerita menyerupai novel yang
disebut dengan Story Manga (komik naratif) dengan alur cerita yang naik turun saat
menuju klimaks cerita serta menggunakan tehnik-tehnik seperti pada pembuatan film,
dengan sudut pengambilan gambar yang dinamis dengan penggalan-penggalan
gambar yang tidak beraturan, yang sengaja didesain untuk menggambarkan urutan
gerakan dan membangun ketegangan. Bunyi pun juga diungkapkan dengan huruf
sebagai penggambaran aktifitas bisu dan emosi. Tezuka juga memperkenalkan sistem
produksi manga yang baru, yaitu cara mempercepat produksi serta menjamin
komik tradisional.
Selama tahun 1960-an, seiring dengan meningkatnya pendapatan ekonomi
Jepang, perusahaan penerbitan komik menyadari bahwa pasar untuk buku komik dan
majalah komik telah berkembang dan jumlah komik pun meningkat.
Pada tahun 1963, Tezuka membuat animasi televisi untuk pertama kalinya dan
menjual karakter animasi tersebut untuk menutupi biaya produksi. Karya-karyanya
yang sukses besar di luar negeri antara lain yaitu “Mighty Atom” (Astro Boy) dan
“Jungle Emperor”. Tezuka juga memproduksi kartun versinya sendiri yang berjudul
“Faust”, dan “Dostoyevki’s Crime and Punishment” yaitu menceritakan tentang
kehidupan Buddha serta drama mengenai samurai. Kemudian karya Tezuka tersebut
dibuat dalam lembaran komik yang sangat dihargai sebagai suatu karya seni.
Populernya karya-karya Tezuka memacu munculnya banyak serial animasi
yang berdurasi 30 menit, yang kebanyakan didasarkan pada serial yang diterbitkan
majalah-majalah komik. Sejumlah film animasi telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa asing dan disiarkan di berbagai negara.
Tezuka telah meletakkan pondasi bagi industri manga di Jepang pasca Perang
Dunia ke-II dan merombak tradisi manga lama. Ia meninggal apada tahun 1989, dan
untuk mengenang jasanya didirikanlah Manga Museum pada tahun 1994 di
Tajarazuka.
2.4.4. Perkembangan Manga di Jepang
Industri manga di Jepang mulai berkembang pesat sejak tahun 1963. Ketika
termasuk membeli televisi. Dengan adanya televisi mendorong para penerbit dan
produser film memperbaiki indusrti manga lebih baik lagi dengan sasaran untuk dapat
diproduksi sebagai program televisi.
Majalah komik dicetak massal dan dijual di berbagai tempat dengan harga
murah. Karena itu, angka penjualan manga mencapai angka yang cukup besar.
Sepuluh majalah manga mingguan terlaris terjual sekitar satu juta eksemplar. Pada
tahun 1992, penjualan manga mencapai sekitar 540 milyar yen atau sekitar 23% dari
penjualan buku di Jepang.
Manga mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam industri penerbitan di
Jepang, karena hampir 1/4% hasil penjualan buku merupakan komik dengan angka
penjualan setiap tahunnya terus meningkat, belum termasuk penjualannya di luar
negeri yang juga laris di pasaran. Meningkatnya angka penjualan manga baik di
Jepang maupun luar negeri membuat industri manga di Jepang memiliki kedudukan
yang sangat kuat.
2.4.5. Pengaruh Manga Terhadap Para otaku
Manga secara langsung maupun tidak, banyak memberikan pengaruh pada
sebagian besar budaya Jepang, mulai dari iklan hingga toko aneka barang yang setia
pada barang-barang dengan merk satu tokoh manga. Bila ada tren baru yang muncul
di media, tren ini segera ditiru oleh yang lain. Artis musik pop dibentuk oleh tren
“mari menjadi tokoh manga” dan kemudian mereka menimbulkan genre baru dalam
manga, animasi dan games. Tentu saja mereka memiliki para otaku tersendiri yang
Manga adalah sebuah pasar besar. Perkiraan total sirkulasi dari semua buku
komik di tahun 1988 adalah 1.758.970.000. Di antaranya ada yang setebal buku
telpon. Komk-komik itu ada di mana-mana, di kereta bawah tanah, di rumah makan,
dan di toko buku. Serial-serial yang sukses diterbitkan kembali dalam versi buku,
juga dengan penjualan dalam jutaan eksemplar, selain juga menjadi serial animasi di
televisi dan video-games. Yang paling tinggi tingkat sirkulasinya, yakni “Shonen
Jump”, terjual 5 juta eksemplar setiap minggu. Menurut Yamazaki dalam artikel
Volkar Grassmuck (Desember 1990) “sendirian tapi tak kesepian”, majalah komik ini
adalah majalah yang paling bersifat otaku, memuat banyak kekerasan, mekanik,
fantasi, dan atau kombinasi dari ketiga hal tersebut, misalnya “Gundam” atau
“Ultraman”.
Di balik manga komersial atau di ‘bawah tanah’, kalau ingin disebut
demikian, kita bisa menemukan manga yang dibuat oleh otaku. Manga-manga ini
diproduksi dalam jumlah kecil untuk diedarkan dan dipertukarkan dalam comiket
(comic market, pasar komik) atau lewat pos, dan untuk yang lebih sukses,
manga-manga ini muncul di toko buku komik seperti Takaoka di daerah Kanda, atau Manga
no Mori di daerah Shinjuku. Toko buku Shozen di Kanda merupakan satu tempat lagi
di mana setiap sabtu siang segerombolan otaku memakai baju jeans atau seragam
sekolah berjalan sambil menebar kesan yang membuat orang lain tidak enak,
menerobos gang sempit di antara rak-rak buku di toko yang penuh pengunjung,
dengan diam membuka-buka lembaran komik dan majalah penggemar artis, buku
soft-porno dan games, CD musik games, Dragon Quest dan patung-patung plastik
binatang-binatang warna warni penuh ornamen.
Dalam banyak kasus, manga seperti itu merupakan hibrida atau mutasi genre
dari beberapa model komersial yang ada. Mereka menunjukkan sikap “plagiarisme”
yang ceria, yang bahkan tidak berusaha untuk menjadi orisinal. Satu-satunya aspek
yang betul-betul “orisinal” dari mereka adalah manga karya otaku ini memuat gambar
dari bagian-bagian organ seksual tanpa sensor, dan ini sangat berbeda dengan
manga-manga yang dapat dibeli di toko minimarket yang buka 24 jam. Jepang mewajibkan
sensor bagi setiap helai rambut di daerah kemaluan ketika akan ditampilkan di film
atau di media cetak. Sensor berupa ditutup atau diburamkan. Di negara yang seperti
ini, manga-manga amatiran yang menampilkannya secara terang-terangan dapat
dikatakan revolusioner.
2.5. Riwayat Hidup Kio Shimoku dan Karyanya
Kio Shimoku (木尾士目) adalah seorang komikus Jepang yang lahir di Jepang
pada tahun 1974. Kio Shimoku memulai debutnya sebagai mangaka (pengarang
manga) pada tahun 1994. Karya-karya Kio Shimoku antara lain :
(1994) yang berhasil memenagkan kontes “Afternoon Shiki Prize” sebagai juara
kedua, selain itu karyanya yang lain yaitu Kagerounikii, Yonensei, dan Gonensei
diterbitkan di majalah Afternoon Magazine, setelah itu dia membuat manga
Genshiken (2002), Kujibiki Umbalance (2006), Digopuri (2008).
Kio Shimoku dalam wawancara PWCW (Publisher Weekly Comics Week)
(khususnya di Jepang) dapat memahami dan menerima bagaimana sebenarnya
kehidupan para otaku di Jepang, terlepas dari pandangan negatif masyarakat terhadap
komunitas otaku tersebut. Kio Shimoku juga percaya bahwa para otaku tidak akan
menjadi kelompok minoritas kalau terlalu tidak mendapat tekanan dari dunia yang
memandang mereka dengan “aneh”.
2.6. Defenisi dan Studi Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi
berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar
manusia dalam masyarakat. Sedangkan sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar.
Namun lebih spesifik lagi setelah sastra terbentuk menjadi kata jadian, yaitu
kesusasteraan, yang artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003 : 1).
Menurut Nyoman (2003 : 25-26), studi sosiologis didasarkan atas pemahaman
bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisis-kondisi sosial
historis tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dipandang
sebagai akibat hubungan-hubungan bermakna interaksi antar individu di satu pihak,
hubungan-hubungan bermakna individu dan kelompok dengan struktur sosial di
pihak lain. Sistem produksi karya sastra dengan sendirinya tidak hanya didasarkan
atas linear antara pengarang, penerbit, patron, dan masyarakat pembaca pada
umumnya, melainkan juga tradisi dan konvensi sebagai literenya. Tambahan lagi,
Nyoman (2004 : 60) menyatakan bahwa dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah
adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.