• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnisitas dan Preferensi Politik (Studi Kasus : Masyarakat Etnis India dan Etnis Tionghoa Di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etnisitas dan Preferensi Politik (Studi Kasus : Masyarakat Etnis India dan Etnis Tionghoa Di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ETNISITAS DAN PREFERENSI POLITIK

(Studi Kasus : Masyarakat Etnis India Dan Etnis Tionghoa Di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia)

DISUSUN OLEH :

RIKA SULASTRI DALIMUNTHE

060906025

Dosen Pembimbing

: Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si

Dosen Pembaca

: Drs. Irfan Simatupang, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Etnisitas dan Preferensi Politik

Studi Kasus : Masyarakat Etnis India dan Etnis Tionghoa di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia)

Skripsi ini telah dilakukan di Kelurahan Polonia. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menggambarkan secara umum perilaku politik dari etnis India dan etnis Tionghoa

dengan preferensi politiknya pada Pemilu Legislatif 2009 serta untuk mengetahui tingkat

partisipasi mereka. Didalam penelitian ini, populasinya adalah pemilih yang berasal dari

etnis India dan etnis Tionghoa yang terdaftar dalam pemilu legislatif 2009 di Kelurahan

Polonia. Peneilitian hanya dilakukan kepada yang sudah berumur 17 tahun keatas atau

sudah menikah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik

pengumpulan data, yakni penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan

menggunakan angket.

Dari hasil penelitian didapat bahwa etnisitas tidak memberikan pengaruh terhadap

preferensi politik dari etnis India, sedangkan etnisitas kurang memberikan pengaruh

terhadap preferensi politik dari etnis Tionghoa pada Pemilu legislatif 2009. Etnis

bukanlah faktor penentu utama memilih partai politik maupun kandidatnya. Faktor yang

paling berpengaruh adalah faktor pendidikan yang tinggi dari kandidat. Diketahui juga

bahwa preferensi partai politik dari etnis India adalah lebih condong terhadap partai

Demokrat, sedangkan preferensi partai politik dari etnis Tionghoa lebih condong ke

partai PDI –P.

(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi ini dengan baik. dengan

judul “Etnisitas dan Preferensi Politik (Studi Kasus : Masyarakat Etnis India dan

Etnis Tionghoa Di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia”

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara dan guna

memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari sempurna. Karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan yang berguna demi

kesempurnaan skripsi ini.

Penulis dapat menjalankan segala aktivitas perkuliahan sampai menyelesaikan

skripsi ini karena do’a, motivasi, bimbingan, dan bantuan baik secara moril maupun

materil dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU Medan yaitu Prof. Dr.

Badaruddin, M.Si.

2. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.

3. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku Dosen Pembimbing dan Bapak Drs.

Irfan Simatupang, M.Si selaku Dosen Pembaca yang telah sangat baik dan

pengertian, yang selalu bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan

serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis guna menyelesaikan skripsi

(4)

4. Bapak Drs. Tonny P. Situmorang, MA selaku Dosen Wali yang telah

membimbing penulis selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Politik yang telah mengajar penulis selama masa

perkuliahan. Serta semua Staff Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

6. Kepada KPU Kota Medan yang telah membantu memberikan data yang

dibutuhkan oleh penulis.

7. Ibu Lurah dan semua pegawai Kelurahan Polonia yang telah membantu dalam

pengumpulan data yang diperlukan untuk skripsi ini. Serta kepada ibu As yang

telah bersedia mendampingi penulis selama menyebarkan angket.

8. Seluruh responden yang berbaik hati meluangkan waktu untuk mengisi angket

yang penulis berikan.

9. Kepada Papa dan Mama yang sangatku sayangi. Untuk Papa Terkasih, (Alm.) H.

Ir. Umar Dalimunthe, MBA dan Mama Tersayang, Hj. Marlina Harahap. Tetes

keringat beliau berdua adalah untaian mutiara dan do’a yang mengalir tiada henti

dalam mengiringi setiap langkah ananda dengan perjuangan tanpa kenal lelah.

Hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.

10.Kepada saudara – saudaraku yang penulis sayangi, buat kakakku, dr. Melinda

Apriana Khatulistiwa Dalimunthe, Herawaty Isnaeni Dalimunthe, SE dan adikku,

M. Hafiz Dalimunthe terima kasih atas dukungan dan semangatnya selama ini

hingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan.

11.Keluargaku, uwak yang di Jakarta dan di Medan, kakak, abang, Amangboru,

(5)

12.For all The Girls Crew, Adel (smoga cepet siap S2-nya dan bisa jadi dosen yak),

Ulfa (Semangat tros ya paul, jangan update status aja, heee..), Silvi (doaku

terwujud, vi. sama kita wisudanya, hahah..), Septi (tetap semangat ngerjain

skripsinya ya sep. Jangan FB-an aja kerjamu), dan Dini ( dinot kapan kita

ngumpul bareng lagi), terima kasih karena sudah memberikan suntikan semangat

serta masukan kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

13.Teman – teman stambuk 2006 jurusan Ilmu Politik. Buat Ayu (akhirnya

perjuangan kita yu, sarjana juga, heheh..), Reni, Adhiet, Astri, Kiki, Mardha, Eka,

Bella, Stella, Matthew, Arifin, Zafar, Gerson, Rezani (Phocheeze), Tigor, Zia,

Fanny, Yurial, Amar, beserta semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Jangan lupa kita reunian tahun depan ya,woii..

14.Buat Irwan, Rahma, Irfan dan semua junior di stambuk 2007 dan 2008.

15.Kepada teman – teman SMP dan SMA-ku yang selalu mendukung, Dian, Emok,

Loli, Duma, Salma, Afnidah, Apik, Indah, Uci, Zuniar serta Mika. I love u all

guys.

16.Untuk Bang Fuad, yang sudah baik, makasih ya bang bantuannya.

17.Kepada pihak-pihak lain yang belum dan tidak disebutkan namanya satu persatu,

yang telah membantu penulis baik moril maupun materil.

Medan, Desember 2010

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI………...i

KATA PENGANTAR…..……….ii

DAFTAR ISI……...………...…………v

DAFTAR TABEL………...viii

DAFTAR GAMBAR……….xi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah………...………..………...1

1.1.Etnis India di Kota Medan………...…….……....…..4

1.2.Perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia………..….5

2. Perumusan Masalah………..7

3. Batasan Masalah………..………..7

4. Tujuan Penelitian………..8

5. Manfaat Penelitian………8

6. Kerangka Teori……….……….9

6.1.Etnisitas……….……….………...……..9

6.1.1.Konsep Tentang Etnis……….…...……….9

6.1.2.Jenis – Jenis Pemilih.…………...……….………....10

6.2.Partisipasi Politik………...………...11

(7)

6.2.2.Bentuk – Bentuk Partisipasi Politik………...12

6.3.Partai Politik dan Sistem Kepartaian..………... …..17

6.3.1.Partai Politik…………...……….………...…...17

6.3.2.Sistem Kepartaian……….19

6.3.3.Partai Politik di Indonesia……….21

6.4.Pemilihan Umum dan Sistem Pemilu………...22

6.4.1.Sistem Pemilihan Umum……….…………..23

6.4.2.Pemilu 1955………..25

6.4.3.Pemilu 2009………..26

6.5.Perilaku Pemilih………28

6.5.1.Definisi Perilaku Pemilih……….…………...28

6.5.2.Pendekatan – Pendekatan Perilaku Pemilih………..28

7. Metode Penelitian………..30

7.1.Jenis Penelitian………...………...30

7.2.Populasi Dan Sampel Penelitian………...…………30

7.2.1.Populasi……….30

7.2.2.Sampel………...30

7.3.Teknik Pengumpulan Data………...…….32

7.4.Teknik Analisis Data………...…..32

8. Sistematika Penulisan………33

(8)

2.1.Demografi Penduduk………....34

2.2.Sarana dan Fasilitas………...38

2.3.Perolehan Suara Partai Politik Serta Calon Legislatif di

Kelurahan Polonia………38

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

3. Penyajian Data………...41

3.1. Karakteristik Responden……….………41

3.2. Analisa Data………44

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan……….………66

4.2. Saran………...67

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Bentuk – bentuk partisipasi politik...15

Tabel 2 Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Etnis…………35

Tabel 3 Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Agama……….35

Tabel 4 Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Tingkat Pendidikan……….36

Tabel 5 Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Pekerjaan…....37

Tabel 6 Perolehan Suara Partai Politik di Kelurahan Polonia………39

Tabel 7 10 Besar Perolehan Suara Calon Legislatif 2009 di Kelurahan Polonia...40

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………41

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Umur………..42

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan……….43

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama………44

Tabel 12 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Keikutsertaan Responden Dalam Pemilu Legislatif 2009………...45

Tabel 13 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Jumlah Keikutsertaan Responden Pada Pemilihan Umum………...46

Tabel 14 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Alasan Mengikuti Pemilu 2009………...47

(10)

Tabel 16 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Keanggotan Dalam

Partai Politik………...49

Tabel 17 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Kampanye Parpol Yang

Responden Ikuti……….50

Tabel 18 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Partai Politik Yang Dipilih

Responden Ketika Pemilu 2009……….51

Tabel 19 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Alasan Memilih Partai Tersebut

Dalam Pemilu Legislatif 2009………...52

Tabel 20 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pendapat Responden Mengenai

Partai Politik Yang Paling Banyak Dipilih Di Lingkungan Responden…53

Tabel 21 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pengetahuan Responden

Tentang Peran dan Fungsi Anggota DPR………..54

Tabel 22 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Sumber Utama Responden

Mengenai Caleg Pada Pemilu Legislatif 2009………...55

Tabel 23 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Apakah Responden

Mengetahui Visi dan Misi Caleg Pada Pemilu Legislatif 2009………….56

Tabel 24 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pengaruh Visi dan Misi Caleg

terhadap Pilihan Politik Responden pada Pemilu Legislatif 2009……….57

Tabel 25 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Media Yang Responden

Gunakan Untuk Mencari Informasi Mengenai Parpol atau Caleg……….58

Tabel 26 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Apakah Responden

(11)

Tabel 27 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pendapat Responden Apakah

Keterwakilan Etnis Responden di Lembaga Legislatif Sudah Cukup…...60

Tabel 28 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pengaruh Etnis/Suku

Terhadap Pilihan Politik Responden………..61

Tabel 29 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Faktor Yang Mempengaruhi

Responden Dalam Memilih Caleg DPR Pada Pemilu Legislatif 2009…..62

Tabel 30 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pendapat Responden Perlukah

Mendukung Caleg Yang Berasal dari Etnis Responden………63

Tabel 31 Distribusi Jawaban Responden Mengenai Harapan Responden Terhadap

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Piramida Partisipasi Politik………12

(13)

ABSTRAKSI

Etnisitas dan Preferensi Politik

Studi Kasus : Masyarakat Etnis India dan Etnis Tionghoa di Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kelurahan Polonia)

Skripsi ini telah dilakukan di Kelurahan Polonia. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menggambarkan secara umum perilaku politik dari etnis India dan etnis Tionghoa

dengan preferensi politiknya pada Pemilu Legislatif 2009 serta untuk mengetahui tingkat

partisipasi mereka. Didalam penelitian ini, populasinya adalah pemilih yang berasal dari

etnis India dan etnis Tionghoa yang terdaftar dalam pemilu legislatif 2009 di Kelurahan

Polonia. Peneilitian hanya dilakukan kepada yang sudah berumur 17 tahun keatas atau

sudah menikah. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik

pengumpulan data, yakni penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan

menggunakan angket.

Dari hasil penelitian didapat bahwa etnisitas tidak memberikan pengaruh terhadap

preferensi politik dari etnis India, sedangkan etnisitas kurang memberikan pengaruh

terhadap preferensi politik dari etnis Tionghoa pada Pemilu legislatif 2009. Etnis

bukanlah faktor penentu utama memilih partai politik maupun kandidatnya. Faktor yang

paling berpengaruh adalah faktor pendidikan yang tinggi dari kandidat. Diketahui juga

bahwa preferensi partai politik dari etnis India adalah lebih condong terhadap partai

Demokrat, sedangkan preferensi partai politik dari etnis Tionghoa lebih condong ke

partai PDI –P.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang yang terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari

beragam etnik yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan

religius yang berbeda - beda sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain. Negara

Indonesia diperkirakan dihuni tidak kurang dari 200 suku bangsa yang mengembangkan

kebudayaan dan tradisi masing – masing secara mandiri. Kemajemukan budaya atau

multibudaya dalam pandangan Posmodernisme dikenal dengan istilah

multikulturalisme

Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan dua cirinya yang agak unik. Dari

satu sisi bersifat horizontal yang ditandai dengan adanya kesatuan – kesatuan sosial yang

berlandaskan kepada perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat derta perbedaan

kedaerahan. Tetapi, di sisi vertikal menunjukkan dimana struktur masyarakat Indonesia

yang ditandai dengan adanya perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah

yang cukup tajam. Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan senantiasa

disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.1

Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut

oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa,

sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat

sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang

(15)

Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara struktural memiliki sub-sub

kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem

nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula

ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi

bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam

bentuknya yang relatif murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau

setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan sailng ketergantungan di antara

kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Faktor suku (juga agama) menjadi

perhatian serius di dalam negara suatu masyarakat majemuk.2

Dengan beragamnya suku bangsa, adat serta agama yang dimiliki oleh Indonesia

yang masing – masing budaya memilki khasnya masing masing, telah memunculkan

perilaku politik yang berbeda – beda. Artinya, tingkah laku politik merupakan

pencerminan dari budaya politik suatu masyarakat yang penuh dengan aneka bentuk

kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya.3

Latar belakang etnis seorang kandidat masih menuai perdebatan apakah dapat

mempengaruhi pilihan politik seseorang. Ada dua studi yang dilakukan dengan skala

nasional, dan menghasilkan temuan yang berbeda perihal sejauh mana etnis berpengaruh

terhadap perilaku pemilih. Studi yang pertama dilakukan oleh Ananta.

4

2

http://setabasri01.blogspot.com/2010/01/pengantar.html

3

Drs. Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Semarang Press, 1995, hal. 59

4

http://www.lsi.co.id/media/KAJIAN_BULANAN_EDISI_JANUARI_2008_(PDF).pdf

Hasil dari studi

ini menunjukkan bahwa etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku pemilih di

Indonesia. Ada partai yang di identikkan sebagai Jawa dan partai luar Jawa. Temuan

Ananta menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa terdapat pada PKB dan

(16)

Ini juga mengukuhkan kedua partai ini sebagai partai yang selama ini dikenal sebagai

partai non-Jawa. Ananta menyimpulkan bahwa Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan

etnis yang cukup tinggi, dan partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas.

Studi kedua dilakukan oleh Liddle dan Mujani.5

Etnisitas dan politik identitas kelihatan mendapatkan perhatian penting dari

berbagai kalangan. Dalam kalangan partai politik dan elit politik, keberadaan politik

etnisitas dan politik identitas masih dipandang penting sebagai salah satu medium dalam

arena mobilisasi politik , membangun jaringan politik membangun koalisi -koalisi politik,

dan membangun jaringan lobi politik. Sedangkan di kalangan birokrasi dan jajaran

eksekutif, politik etnisitas dan politik identitas juga nampak terus mewarnai wajah

birokrasi nasional dan lokal.

Hasil dari penelitian Liddle dan

Mujani menghasilkan temuan sebaliknya. Aspek etnis bukanlah variabel penting dalam

menjelaskan pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Tidak ada perbedaan yang tegas

pilihan seseorang pada partai atau kandidat berdasarkan pada etnis mereka seperti pada

temuan Ananta. Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non Jawa tidak terlihat punya

perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden.

6

Isu – isu mengenai etnis didalam pemilu memang jarang muncul, tetapi isu – isu

mengenai etnis sering muncul ketika Pilkada berlangsung. Sebagai contoh ketika

Pilkadasung Sumatera Utara 2010 dimana setiap kandidat berlomba – lomba

menunjukkan identitas etnis dan keagamaan mereka melalui iklan televisi maupun poster

– poster kampanyenya demi menarik perhatian pemilih. Pasangan calon Walikota

(17)

Rahudman –Eldin menonjolkan sukuisme dan agamanya sebagai orang batak dan Islam

yang merupakan mayoritas di Sumatera Utara.

1.1.Etnis India di Kota Medan

Etnis India merupakan salah satu dari sekian etnis yang ada di Indonesia. Sejarah

awal kedatangan bangsa India, terutama India Tamil datang ke Sumatera Utara pada

akhir abad ke-19 pada masa penjajahan Belanda. Mereka biasanya dipekerjakan sebagai

kuli perkebunan tembakau. Dalam catatan Badan Warisan Sumatera (BWS), rombongan

pertama bangsa India Tamil yang datang ke Medan pada tahun 1873 sebanyak 25 orang.

Mereka dipekerjakan oleh Nienhuys, seorang Belanda pengusaha perkebunan tembakau,

yang pada masa sekarang dikenal sebagai tembakau Deli. Tembakau yang menjadikan

tanah Deli menjadi termasyur di dunia internasional. Hingga pada akhirnya dikenal

sebagi “Tanah Sejuta Dollar”. Setelah itu, para buruh dan tenaga-tenaga kerja dari India

semakin banyak yang didatangkan untuk bekerja di Tanah Deli. Baik itu sebagai buruh

perkebunan, supir, penjaga malam, sais kereta lembu, dan membangun jalan serta waduk.

Dikarenakan kaum India Tamil terkenal sebagai pekerja keras yang patuh kepada

atasannya. Hingga akhir 1975 jumlah kuli Jawa dan Tamil mencapai seribu orang.

Selain para kuli kontrak yang kebanyakan India Tamil, bangsa India lain juga ikut

berdatangan. Seperti dari Punjab, India Utara yang mayoritas menganut agama Sikh,

Bombay, dan bangsa Chettyar yang pintar berbisnis. Mereka tidak bekerja sebagai kuli di

perkebunan, melainkan membuka usaha sendiri dan bekerja pada sektor lain. Ketika

Belanda membuka cabang De Jawasche Bank di kota Medan pada tahun 1879, sejumlah

(18)

Medan, beberapa dari mereka membuka usaha peternakan lembu karena meningkatnya

permintaan pasokan susu dari Belanda. Banyak yang berhasil di usaha ini hingga saat ini

masyarakat keturunan India terkenal sebagai produsen susu sapi murni. Pada akhir tahun

1930, penganut Sikh di Medan sudah mencapai 5000 orang. Terdapat banyak istilah yang

digunakan untuk menyebut warga keturunan India. Diantaranya seperti keling atau chulia

yang biasanya digunakan untuk memanggil keturunan Tamil. Selain itu ada juga istilah

Benggali untuk menyebut mereka yang penganut Sikh. Lain dari itu, masyarakat umum

juga memakai istilah orang bombai. Keturunan India yang ada di kota Medan sekarang,

bukanlah mereka yang datang langsung dari India. Mereka adalah generasi ketiga atau

keempat dari para pendatang awal yang kebanyakan menolak disebut sebagai bangsa

India karena memang sudah lahir di Indonesia dan menjadi warga Negara Indonesia.7

Dalam hal politik, pada masa Orde Baru masyarakat etnis India di kota Medan

banyak yang memilih partai Golkar. Namun pada era reformasi dengan sistem

multipartai, sekarang mereka tidak lagi terpolarisasi ke suatu partai tertentu. Kaum muda

Tamil banyak juga yang aktif di organisasi kepemudaan seperti Pemuda Pancasila,

sehingga mereka semakin dalam terabsorbsi dengan lingkungan pergaulan dan

kebudayaan komunitas pribumi.

8

Etnis Tionghoa juga termasuk etnis minoritas yang terdapat di Indonesia. Selama

masa Orde Baru berkuasa etnis Tionghoa banyak diperlakukan dengan diskriminatif, baik

2.2. Perkembangan Etnis Tionghoa di Indonesia

7

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/21/kampung-madras-sejarah-kecil-kota-medan/

(19)

dalam bidang politik maupun sosial budaya. Etnis Tionghoa sperti lebih diarahkan ke

bidang ekonomi saja.

SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) diberlakukan bagi

warga negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa. Walaupun ketentuan ini bersifat

administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang

menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang masih dipertanyakan.

Ketika masa Orde Baru juga melarang warga keturunan Tionghoa untuk berekspresi.

Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia

dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga

menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya

Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang. Agama tradisional Tionghoa juga

dilarang. Mengakibatkan agama Konghucu tidak diakui oleh pemerintah. Orang

Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk

menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Pada masa akhir

masa Orde Baru, terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang merupakan peristiwa

terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut

menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami

pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.9

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi dijadikan

momentum bagi orang Tionghoa membuka dan menyadarkan mereka akan pentingnya

memperjuangkan aspirasi mereka melalui saluran-saluran politik. Hal ini didukung

reformasi dan iklim demokratisasi yang lebih baik yang membuka katup-katup politik

dan mengundang pasrtisipasi semua waga negara dalam proses ini. Salah satu agenda

9

(20)

yang diusung dalam label Reformasi Total adalah penyelesaian masalah terhadap kaum

minoritas, dan tercakup di situ pula Etnis Tionghoa. Saat itu mulai bermunculanlah

berbagai partai politik maupun kelompoki kepentingan dari etnis ini seperti Partai

Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dan

FORMASI (Forum Masyarakat Untuk Solidaritas Demokrasi Indonesia).10

Presiden saat itu, B.J. Habibie juga mengakhiri segala bentuk pelarangan terhadap

kebebasan berekspresi kelompok etnis Tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26

tahun 1998. kemudian Gus Dur mencabut Kepres No. 6 tahun 2000, sekaligus

keberadaan Inpres No. 14 tahun 1967. Sejak saat itu, dimulailah kebebasan berekspresi

dalam bidang budaya bahkan, Megawati Soekarnoputri, presiden RI selanjutnya

menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional serta menegaskan lagi tak boleh ada

diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Putri Bung Karno ini juga menjamin etnis

Tionghoa bisa bekerja dalam bidang apa pun, termasuk menjadi pegawai negeri sipil

(PNS) atau TNI.

11

2. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan terarah dan tepat sasaran, maka

permasalahan harus dirumuskan dengan jelas. Berdasarkan latar belakang yang telah di

uraikan di atas, maka perumusan masalah adalah Seberapa besar etnisitas dalam hal ini

etnis India dan etnis Tionghoa terkait dengan pilihan politiknya dan pengaruh etnis

terhadap pilihan partai politik yang dipilih oleh etnis India dan etnis Tionghoa dalam

Pemilu Legislatif 2009.

10

(21)

http://savindievoice.wordpress.com/2008/08/25/etnis-tionghoa-sebagai-kekuatan-politik-paska-orde-3. Batasan Masalah

• Penelitian hanya dilakukan pada masyarakat etnis India dan Etnis Tionghoa

yang berdomisili di Kelurahan Polonia saja dan telah memiliki hak suara

untuk memilih dalam Pemilu, yaitu yang telah berusia 17 tahun ke-atas atau

yang sudah menikah.

• Penelitian hanya dilakukan terhadap bagaimana preferensi politik masyarakat

etnis India dan etnis Tionghoa pada Pemilu Legislatif 2009 yang berdomisili

di Kelurahan Polonia.

4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis Perilaku politik etnis India dan etnis Tionghoa

dalam kaitannya dengan preferensi politiknya pada Pemilihan Umum Legislatif

2009.

5. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Individu, untuk menambah pemahaman serta kemampuan berfikir

penulis. Serta penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar

untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut.

2. Bagi Akademik, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian di

bidang ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya mengenai studi tentang

(22)

3. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat digunakan sebagai literature daftar

kepustakaan bagi yang tertarik untuk meneliti tentang masalah perilaku

pemilih.

4. Dapat menjadi masukan kepada Pemerintahan,dalam hal ini Komisi Pemilihan

Umum, Partai Politik serta Pemerintahan Daerah dalam kaitannya tentang

perilaku politik masyarakat.

6. Kerangka Teori

Didalam menyusun sebuah tulisan ilmiah, maka kerangka teori merupakan bagian

yang sangat penting, karena di dalam kerangka teori akan dimuat teori – teori yang

relevan dalam menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori

ini digunakan sebagai landasan berfikir atau titik tolak dalam penelitian. Oleh sebab itu,

perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok – pokok pikiran yang menggambarkan

diri dari sudut mana masalah itu akan ditelaah. Berikut ini akan di paparkan beberapa

teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini.

6.1.Etnisitas

6.1.1. Konsep tentang Etnis

Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok sosial

dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu

karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu

kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang

(23)

Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena

kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat

pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-orang sebagai

suatu populasi yang :12

• Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

• Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa

kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.

• Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

• Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan

dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

6.1.2.Jenis – Jenis Pemilih

Menurut Eep Saifullah Fatah, pengamat politik sekaligus tenaga pengajar

FISIPOL UI, secara umum pemilih dikategorikan ke dalam empat kelompok utama, yaitu

:13

• Pemilih Rasional Kalkulatif.

Pemilih tipe ini adalah pemilih yang memutuskan pilihan politiknya berdasarkan

perhitungan rasional dan logika. Kelompok pemilih jenis ini sangat peduli dan kritis

dengan integritas kandidat serta visi dan misi masing-masing kandidat. Biasanya pemilih

ini berasal dari golongan masyarakat yang terdidik (well-educated) atau relatif

tercerahkan dengan informasi yang cukup (well-informed) sebelum menjatuhkan

pilihannya.

12

Fredrik Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988, hal. 11

13

(24)

• Pemilih Primordial

Pemilih yang menjatuhkan pilihan politiknya lebih dikarena alasan

primordialisme. Seperti alasan agama, suku, ataupun keturunan. Pemilih yang termasuk

kedalam tipe ini biasanya sangat mengagungkan simbol-simbol yang mereka anggap

luhur, seperti agama, suku, atau kedaerahan, dan karena itu mereka cendrung tidak terlalu

kritis dengan pilihan mereka. Pemilih tipe ini lebih banyak berdomisili di perkampungan.

Di Jawa, pemilih jenis ini lebih banyak dikenal dari kalangan nahdiyin, yang begitu

hormat kepada simbol-simbol agama, bahkan sampai pada tingkat pengkultusan seorang

kiyai.

• Pemilih Pragmatis.

Pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan

rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan

sesaat secara pribadi kepada mereka. Biasanya mereka juga tidak begitu peduli dan sama

sekali tidak kritis dengan integritas dan visi misi yang di bawa kandidat.

• Pemilih Emosional

Kelompok pemilih ini cenderung memutuskan pilihan politiknya karena alasan

perasaan. Pilihan politik yang didasari rasa iba, misalnya, adalah pilihan yang emosional.

Atau pilihan dengan alasan romantisme, seperti kagum dengan ketampanan atau

kecantikan kandidat, misalnya, juga termasuk kategori pilihan emosional. Kebanyakan

(25)

6.2.Partisipasi Politik

6.2.1. Konsep Partisipasi Politik

Dalam analis politik modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang

dianggap penting yang banyak dipelajari terutama dalam kaitannya dengan negara –

negara berkembang. Secara pada awalnya studi mengenai partisipasi politik

memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, tetapi dalam

perkembangannya, banyak muncul kelompok masyarakat yang juga ingin memengaruhi

proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan umum.14

Secara konseptual partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok

orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih

pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan

pemerintahan (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara

dalam pemilihan umum, meghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau

kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah

atau anggota parlemen dan sebagainya.

Karena keputusan yang

diambil oleh pemerintah sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.

15

Dalam buku Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Samuel P. Huntington

dan Joan M. Nelson mengartikan partisipasi politik adalah :

Menurut Herbert McClosky, seorang tokoh masalah partisipasi mengatakan

bahwa, partisipasi politik merupakan sebuah kegiatan sukarela dari warga masyarakat

melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara

langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.

14

Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik : Edisi Revisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 367

15

(26)

“Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi – pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif , terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.”16

6.2.2. Bentuk – Bentuk Partisipasi Politik

1. Piramida Partisipasi Politik

David F. Roth dan Frank L. Wilson, menggambarkan partisipasi politik kedalam

bentuk piramida patisipasi. Piramida partisipasi politik dibagi menjadi empat lapisan,

yaitu Aktivis, partisipan, penonton dan apolitis.

Gambar 1. Piramida Partisipasi Politik

sumber : di adaptasi dari David F. Roth & Frank L. Wilson, The Comparative Study Of Politics, dalam

Berdasarkan gambar diatas, puncak piramida diduduki oleh Aktivis. Menurut

mereka, piramida partisipasi politik menunjukkan bahwa semakin tinggi integritas dan

derajat aktivitas politik seseorang maka, semakin kecil kuantitas orang yang terlibat

(27)

didalamnya. Intentisitas dan derajat keterlibatan yang tinggi dalam aktivitas politik

dikenal sebagai aktivis. Yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah para

pemimpin dan para fungsionaris partai atupun kelompok kepentingan. Lapisan kedua

adalah partisipan. Kelompok ini mencakup berbagai aktivitas seperti petugas atau juru

kampanye, mereka yang terlibat dalam program atau proyek sosial, sebagai pelobi politik,

maupun yang aktif dalam partai politik atau kelompok kepentingan. Lapisan ketiga

adalah kelompok pengamat. Mereka ikut dalam kegiatan politik yang tidak banyak

menyita waktu, tidak menuntut prakarsa sendiri, tidak intensif dan jarang melakukannya.

Misalnya, seperti memberikan suara dalam pemilu, mendiskusikan isu politik dan

mengahdiri kampanye. Dan lapisan terakhir adalah kelompok orang yang apolitis, yaitu

sekelopok orang yang tidak peduli terhadap sesuatu yang berhubungan dengan politik.

Mereka tidak memberikan sedikitpun terhadap masalah politik.17

2. Hierarki Partisipasi Politik

Michael Rush dan Philip Althoff mengajukan hierarki parisipasi politik. Menurut

mereka, hierarki tertinggi dari partisipasi politik diduduki oleh jabatan politik atau

฀dministrative. Sedangkan yang menduduki hierarki paling terendah dari partisipasi

politik adalah adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan

aktifitas apapun dalam politik secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik,

maka semakin kecil kuantitas keterlibatan dari orang – orang.18

17

Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 183-185

18

Prof. Dr. Damsar, ibid., hal. 185

Agar lebih jelas dapat

(28)

Gambar 2. Hierarki Partisipasi Politik

Sumber : diadaptasi Michael Rush & Philip Althoff , Pengantar Sosiologi Politik dalam : Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. 2010

3. Bentuk– bentuk Partisipasi Politik Konvensional dan Non-Kovensional

Sedangkan Gabriel A. Almond membedakan partisipasi ke dalam dua bentuk,

yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non-konvensional. Partisipasi

politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi

modern. Sedangkan Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi

politik yang tidak lazim dilakukan dalam bentuk kondisi normal, bahkan dapat berupa

kegiatan yang ฀dminis, penuh kekerasan dan revolusioner.19

Untuk lebih jelas mengenai pandangan dari Gabriel A. Almond mengenai bentuk

(29)

Tabel 1.

Bentuk – Bentuk Partisipasi Politik

Konvensional Non-Konvensional

• Pemungutan suara (voting)

• Diskusi politik

• Kegiatan kampanye

• Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan

• Komunikasi individual dengan pejabat politik dan

• Tindak kekerasan politik terhadap benda (perusakan,

pemboman, pembakaran)

• Tindak kekerasan Politik terhadap manusia (penculikan,

pembunuhan)

• Perang gerilya dan revolusi

Sumber : Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Politik. 2010

Ramlan Surabkti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, membagi bentuk

partisipasi politik menjadi dua, yaitu Partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi

aktif adalah kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik. Yang

termasuk dalam partisipasi aktif adalah mengajukan usulan mengenai suatu kebijakan

umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan mengenai kebijakan yang

dibuat pemerintah, memberikan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan,

membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif

(30)

kegiatan partisipasi pasif adalah seperti kegiatan yang menaati pemerintah, menerima dan

melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.20

Alasan orang berpartisipasi dalam kegiatan politik juga dapat merujuk pada

tipologi tindakan sosial Max Webber. Seseorang melakukan aktifitas politik dikarenakan

empat alasan, yaitu pertama, alasan rasional nilai, adalah alasan yang di dasarkan atas

penerimaan secara rasional akan nilai – nilai suatu kelompok. Kedua, alasan emosional

afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas suatu kebencian atau sukacita terhadap suatu

ide, oranisasi, partai atau individu. Alasan partisipasi politik seperti ini cenderung bersifat

nonrasional. Ketiga, alasan tradisional, yaitu alasan yang di dasarkan atas penerimaan

norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Keempat,

alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung-rugi

secara ekonomi.

Selain itu, juga terdapat sekelompok yang tidak termasuk ke dalam dua kategori

di atas, mereka beranggapan bahwa masyarakat serta sistem politik yang ada telah

menyimpang jauh dari apa yang mereka cita – citakan, sehingga membuat mereka enggan

untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik. Kelompok ini disebut apatis atau

lebih dikenal dengan golongan putih (golput). Dalam negara – negara demokratis,

umunya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya

tingkat partisipasi menunjukkan bahwa negara mengikuti dan memahami masalah politik

dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan – kegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi

yang rendah pada umunya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan

bahwa banyak warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan.

21

20

(31)

6.3.Partai Politik dan Sistem Kepartaian 6.3.1. Partai Politik

Salah satu sarana untuk berpartisipasi adalah partai politik. Secara umum partai

politik dapat diartikan sebagai suatu kelompok yang yang terorganisir yang anggota –

anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai, dan cita – cita yang sama. Tujuan dari

partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan tersebut

mereka melaksanakan kebijakan – kebijakannya. Sigmund Neumann memberikan

definisi mengenai partai politik yaitu sebagai berikut :

“Partai politik adalah organisasi atrikulatif yaitu terdiri dari pelaku – pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada menguasai kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda – beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan – kekuatan dan ideologi sosial lembaga – lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.”22

Ahli lain yang juga merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisi

tentang partai politik adalah Giovanni Sartori. Menurut Sartori partai politik adalah suatu

kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu,

mampu menempatkan calon – calonnya untuk menduduki jabatan – jabatan publik. Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik adalah sebagai berikut :

“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan

tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi

pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memerikan kepada anggota

partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.”

23

22

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal. 16- 17

23

Miriam Budiarjo, op.cit., hal 404 - 405

(32)

Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal – usul dari partai politik, yaitu

pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan partai

politik. Teori ini mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif (dan

eksekutif) karena adanya kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan

pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan

dari masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsinya,, kemudian

muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik ini

biasanya dibentuk kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar akan politik

berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk oleh pemerintah tidak mampu

menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Teori kedua adalah teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik

sebagai upaya sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan

masyarakat secara luas. Teroi ini menjelaskan bahwa krisis situasional terjadi manakala

suatu sistem politik mengalami masa tansisi karena perubahan masyarakat dari bentuk

tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur

kompleks. Perubahan – perubahan tersebut menimbulkan tiga macam krisis, yakni

legitimasi, integrasi dan partisipasi. Artinya perubahan – perubahan mengakibatkan

masyarakat mempertanyakan prinsip – prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan

pihak yang memerintah. Menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan

masyarakat sebagai suatu bangsa dan mengakibatkan timbulnya suatu tuntutan yang

semakin besar untuk ikut serta di dalam proses politik.

Untuk mengatasi ketiga permasalahan inilah partai politik di bentuk. Partai politik

(33)

terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang berlegimitasi antara pemerintah dan

masyarakat. Partai politik yang terbuka bagi setiap anggota masyarakat dan

beranggotakan pelbagai unsur etnis, agama, daerah dan pelapisan social ekonomi

diharapkan dapat berperan sebagai pengintegrasi bangsa.

Teori yang ketiga, yaitu teori pembangunan yang meilihat partai politik sebagai

produk modernisasi sosial ekonomi. Teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi,

melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan

memperjuangkan berbagai aspirasi di masyarakat. Jadi, partai politik merupakan produk

logis dari modernisasi sosial ekonomi.24

Partai politik di dalam negara yang demokratis mempunyai beberapa fungsi yaitu

:25

1. Sebagai sarana komunikasi politik

2. Sebagai sarana sosialisasi politik

3. Sebagai sarana rekrutmen politik

4. Sebagai sarana pengatur konflik

6.3.2. Sistem Kepartaian

Sistem Partai Tunggal

Secara umum sistem partai tunggal adalah dimana sebuah negara hanya memiliki

satu- satunya partai atau partai yang kedudukannya dominan di antara partai – partai yang

lainnya. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus

menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak diperbolehkan bersaing

dengannya. Negara – negara yang baru lepas dari kolonilisme mempunyai kecenderungan

24

Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 113-114

25

(34)

kuat untuk menggunakan pola sistem partai tunggal karena pimpinan dihadapkan dengan

masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang

berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Fungsi partai adalah meyakinkan atau

memaksa masyarakat untuk menerima persepsi partai mengenai kebutuhan utama dari

masyarakat seluruhnya. Sistem partai tunggal digunakan oleh China, Afrika, Kuba dan

beberapa negara Eropa Timur.26

Sistem Dwi –Partai

Sistem Dwi-partai biasanya diartikan dengan adanya dua partai di antara beberapa

partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara

bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan yang dominan. Di dalam sistem

Dwi-partai ini, partai dibagi kedalam partai yang berkuasa (karena menang dalam

pemilihan umum) dan partai oposisi (Karena kalah dalam pemilihan umum). Dalam

sistem ini, partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi setia terhadap

kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran

tersebut sewaktu – waktu bias bertukar.

Sistem Dwi-partai dianggap lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena

adanya perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Sistem ini

menggunakan sistem pemilihan distrik, dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya

dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan

partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Negara yang

memakai sistem ini adalah seperti Inggris dan Amerika Serikat.27

(35)

Sistem Multi-Partai

Keanekaragaman budaya politik yang dimiliki suatu masyarakat mendorong

pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi-partai dianggap lebih sesuai dengan

pluralitas budaya dan politik daripada sistem dwi-partai. Sistem multi-partai, jika

dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk

menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga badan eksekutif sering lemah

dan aragu – ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak adanya satu partai yang cukup

kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk

koalisi dengan partai – partai lain. Dalam sistem ini, partai oposisi kurang memainkan

peranan yang jelas karena sewaktu – waktu masing – masing partai dapat diajak untuk

duduk dalam pemerintahan koalisi baru.

Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan

berimabang, yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai – partai baru.

Sistem multi-partai dapat ditemukan di negara seperti Indonesia, Prancis, Swedia.28

6.3.2.1. Partai Politik di Indonesia

1. Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945

Pemerintah pertama Republik Indonesia condong kea rah mengembangkan suatu

sistem pemerintahan di mana hanya di perbolehkan satu partai politik saja, yaitu Partai

Nasional Indonesia (PNI). Akan tetapi aliran terbesar dalam KNIP tidak menghendaki

perkembangan kearah suatu partai tunggal dan atas usul BP-KNIP diumumkan maklumat

Wakil Presiden tanggal 3 November 1945, dimana dinyatakan bahwa :

28

(36)

1. Pemerintah menyukai timbulnya partai – partai politik, karena dengan

adanya partai – partai itulah segala aliran paham yang ada dalam

masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur.

2. Pemerintah berharap suapaya partai – partai itu telah tersusun sebelum

dilangsungkan pemilihan anggota Badan – badan Perwakilan Rakyat

dalam bulan Januari 1946.

Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X, yang berisi anjuran

untuk mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan.

Sejak saat itu berkembanglah berbagai aliran partai politik antara lain seperti Partai

Sosialis, PKI dan sebagainya.29

6.4. Pemilihan Umum dan Sistem Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana demokrasi yang dapat menentukan siapa

yang berhak menduduk i kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui

sebuah pemilu, rakyat memilih figur yang dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif

dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk

memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihan pada figur yang dinilai sesuai

dengan aspirasinya. Aspek terpenting dalam demokrasi adalah mengakui dan

menghormati suara mayoritas.

Setiap kontestan pemilu sudah tentu memiliki ideologi yang di dalamnya

mengandung visi dan program dasar pemerintahannya. Aspirasi apapun yang

dipertarungkan, kesemuanya bermuara pada satu cita – cita, yaitu untuk mencapai

(37)

pendekatan. Pemilu adalah arena uji publik atau visi dan program yang ditawarkan oleh

siapapun baik partai maupun individu. Dengan sistem seperti itu, maka harus diakui

bahwa demokrasi adalah satu – satunya sistem yang yang membuka ruang bagi lahir dan

tumbuhnya aneka ragam visi maupun ideologi, kesemuanya memiliki kemungkinan yang

sama untuk berkembang dengan bebas. Dalam demokrasi, paham atau ideologi yang

berlandaskan keyakinan agama, kesukuan ataupun ras memiliki hak untuk berdiri dan sah

berkompetisi dalam pemilu.

6.4.1.Sistem Pemilihan Umum

Dalam ilmu politik, dikenal bermacam – macam sistem pemilihan umum dengan

berbagai variasinya, tetapi pada umumnya hanya berkisar pada dua prinsip, yaitu :

Sistem Distrik

Dalam sistem distrik, wilayah kesatuan administratif negara di bagi atas sejumlah

distrik pemilihan. Jumlah distrik pemilihan harus sama dengan jumlah kursi yang tersedia

di parlemen. Aturan yang berlaku dalam sistem ini adalah bahwa setiap distrik hanya

akan memunculkan seorang pemenang (single member constituency). Suara yang kalah

tidak dihitung. Sistem distrik memiliki prinsip “winner takes all”. Guna mendekati rasa

keadilan, setiap distrik setidaknya dalam satu provinsi, harus memiliki jumlah penduduk

yang sama. Dengan demikian maka masing – masing pemenang pada dasarnya memiliki

kesamaan bobot legitimasi karena mewakili distrik yang memilki jumlah suara yang

(relatif) sama. 30

Misalnya saja, dalam suatu distrik jumlah suaranya adalah 100.000, dan memiliki

dua calon, yaitu calon A dan calon B. Calon A memperoleh suara sebanyak 60.000 suara

30

(38)

sedangkan calon B hanya memperoleh 40.000 suara. Maka yang menang adalah calon A.

Karena calon B kalah, maka 40.000 jumlah suara yang didapatnya otomatis hilang.

Ketentuan bahwa dalam sistem distrik hanya ada satu pemenang dalam satu

wilayah (distrik) berkonsekuensi hanya partai – partai besar, yang memiliki wilayah

jangkauan ke seluruh, yang lebih berpotensi memenangkan pertarungan dalam

memperebutkan kepemimpinan nasional. Sistem distrik biasanya lebih memberikan

kestabilan pemerintahan karena pertarungan partai dalam pemilu hanya akan berkisar

pada partai yang telah membuktikan eksistensinya dalam kancah perpolitikan nasional.

5. Sistem Proporsional

Sistem proporsional membuka ruang bagi ikut sertanya partai kecil berkiprah

dalam penyelenggaraan pemerintah. Ketentuan suara yang diwakili dalam sistem

proporsional tidak berbeda dengan sistem distrik yakni satu kursi mewakili sejumlah

suara yang disesuaikan jumlah kursi yang tersedia di parlemen. Hanya dalam cara

perhitungan suara yang bebeda dengan sistem distrik. Apabila sistem distrik menetapkan

bahwa satu distrik adalah satu pemenang, maka dalam sistem proporsional yang tidak

menegenal distrik itu suara dihitung berdasarkan seluruh jumlah suara yang masuk di

seluruh daerah administratif pemilihan (lokal, regional, nasional). Maka dalam sistem

proporsional murni dalam tingkat nasional dimungkinkan partai kecil memperoleh kursi

di tingkat nasional karena suara pemilih yang tersebar di seluruh wilayah negara ikut

dihitung, sejauh ia memenuhi syarat jumlah perolehan suara yang minimal yang

disyaratkan. Sistem proporsional banyak dinilai lebih demokratis karena lebih akomodatif

terhadap beragam aspirasi yang ada di masyarakat. Karena prinsip dasar perhitungan

(39)

administratif, maka loyalitas wakil rakyat lebih berat ke partai ketimbang ke wilayah

pemilihan.31

6.4.2.Pemilu 1955

Sebagai contoh, partai A mendapatkan 70% suara, maka partai tersebut akan

mendapatkan 7 kursi di parlemen, demikian pula dengan partai B yang mendapat 40%

suara, partai B akan mendapatkan jatah 4 kursi di parlemen.

Pada tahun awal kemerdekaan Republik Indonesia, pemilu tidak serta - merta

langsung terlaksana. Dikarenakan kondisi saat itu yang memang diarahkan untuk lebih

mempertahankan kemerdekaan dan membendung arus kaum kolonial yang berusaha

untuk kembali menginjakkan kaki mereka ke Indonesia. Dan ditambah dengan pertikaian

intern di dalam lembaga politik dan pemerintahan serta belum adanya Undang – Undang

yang mengatur untuk pelaksanaan Pemilihan Umum. Kesulitan untuk menyelenggarakan

Pemilu karena tidak adanya Undang – Undang yang mengatur, baru teratasi setelah

Rencana Undang – Undang Pemilihan Umum yang telah diserahkan kepada Parlemen

pada tanggal 25 November 1952 dapat di sahkan pada tanggal 4 April 1953 yang

dirancang dan di sahkan oleh Kabinet Wilopo. Kabinet Wilopo kemudian Jatuh dan

diagntikan oleh Kabinet Ali I. masa kampanye jatuh di saat Kabinet Ali yang juga gugur

sebelum terselenggaranya Pemilu. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap pemilu baru

bisa dilaksanakan.

Pada Pemilu 1955 tercatat 43.104.464 penduduk yang mempunyai Hak Suara.

tetapi hanya 37.875.299 yang memberikan suaranya, dari 77.987.879 dari jumlah seluruh

penduduk pada tahun 1954. Dengan kata lain, sebesar 87,65% pemilih yang

31

(40)

menggunakan hak pilihnya. Jumlah kursi yang si perebutkan dalam Pemilu 1955 adalah

sebanyak 257 buah. Masing – masing anggota DPR mewakili 30.000 penduduk.

Pemilihan Umum 1955 berhasil menempatkan 28 partai politik/organisasi/perorangan.

Pemilu ini menempatkan empat Partai politik besar, memperoleh 78% dari suara suara

yang sah dengan jumlah kursi sebanyak 198 buah (77,3%). Empat partai politik adalah

PNI di posisi pertama, diikuti Masyumi di posisi kedua, NU di posisi ketiga dan disusul

oleh PKI di posisi keempat.32

6.4.3.Pemilu 2009

Pemilu 1955 disebut sebagai pemilu paling jujur yang pernah dilaksanakan di

Indonesia, meskipun melibatkan banyak sekali partai politik, tetapi tidak sampai

menggoncangkan stabilitas nasional.

Sejak Kemerdekaan hingga tahun 2009, Indonesia telah melaksanakan sepuluh

kali menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu), yakni ketika orde lama pada tahun

1955, 1971. Ketika Orde Baru berkuasa, yaitu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,

dan ketika masa Reformasi pada tahun 1999, 2004 dan yang terakhir pada tahun 2009.

Pada Pemilu 2009 ada dua pemilihan yang diadakan, yaitu Pemilihan anggota Legislatif

sekaligus pemilihan anggota DPD dan yang kedua adalah Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden. Yang membedakan Pemilu 2009 dari Pemilu 2004 adalah Pemilihan anggota

Legislatif tidak lagi berdasarkan sistem nomor urut, tetapi telah menggunakan sistem

perolehan suara terbanyak sesuai dari sidang Mahkamah Konstitusi.

(41)

Pemilu Legislatif 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Pada tanggal 7 Juli 2008,

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan daftar 34 partai politik yang dinyatakan

lolos verifikasi faktual untuk mengikuti Pemilu 2009, dimana 18 partai diantaranya

merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu ataupun baru

mengganti namanya. 16 partai lainnya merupakan peserta Pemilu 2004 yang berhasil

mendapatkan kursi di DPR periode 2004-2009, sehingga langsung berhak menjadi

peserta Pemilu 2009. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memutuskan

bahwa seluruh partai politik peserta Pemilu 2004 berhak menjadi peserta Pemilu 2009,

sehingga berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta No.

104/VI/2008/PTUN.JKT, KPU menetapkan 4 partai politik lagi sebagai peserta Pemilu

2009.33

Jumlah Pemilih yang terdaftar adalah 171.265.441, sedangkan yang penduduk

yang menggunakan hak suaranya hanya 49.677.075. ini menunjukkan bahwa sedikit

sekali penduduk yang menggunakan hak pilihnya. Pemilu 2009 dikatakan sebagai pemilu Pemilu Legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang

perhitungannya didasarkan pada sejumlah daerah pemilihan, dengan peserta pemilu

adalah partai politik. Pada tanggal 9 April 2009 pemungutan suara diselenggarakan

secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dan pada tanggal 9 Mei 2009, KPU

menetapkan hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009 setelah 14 hari (26 April 2009 -

9 Mei 2009) melaksanakan rekapitulasi penghitungan suara secara nasional Partai

Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI-P).

33

(42)

yang tingkat golputnya paling tinggi diantara Pemilu lain yang pernah diselenggarakan di

Indonesia.

6.5. Perilaku Pemilih

6.5.1. Definisi Perilaku Pemilih

Keikutsertaan warga negara dalam pemilu merupakan serangkaian kegiatan

membuat keputusan, yakni apakah akan memilih atau tidak memilih dalam pemilu.

Dengan melihat pola perilaku pemilih, kita dapat mengetahui apakah pemilih memilih

berdasarkan manifesto partai atau tertarik hanya berdasarkan emosional belaka. Tindakan

atau keputusan politik seseorang ditentukan oleh perilaku, sikap dan persepsi politik.

Menurut Plano, seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra (2003), perilaku politik

adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengen pemerintah. Perilaku politik ini

meliputi tanggapan – tanggapan internal seperti persepsi – persepsi, sikap – sikap dan

keyakinan – keyakinan, juga meliputi tindakan – tindakan yang nyata seperti pemberian

suara, protes, lobbying, dan lain sebagainya. Sedangkan persepsi politik berkaitan dengan

gambaran suatu objek tertentu, baik mengenai keterangan maupun informasi dari suatu

hal maupun gambaran tentang objek politik yang bersifat fisik dan nyata. Dan sikap

politik berkaitan dengan berbagai keyakinan yang telah melekat dan mendorong

seseorang untuk menanggapi suatu objek atau situasi politik dengan suatu cara tertentu.34

(43)

6.5.2. Pendekatan – Pendekatan Perilaku Pemilih

Berikut ini diutarakan beberapa pendekatan untuk menjelaskan mengapa pemilih

memilih kontestan tertentu, yaitu :35

1. Pendekatan Struktural

2. Pendekatan Ekologis

3. Pendekatan Pilihan Rasional

4. Pendekatan Sosiologis

5. Pendekatan Psikologis

Pendekatan Struktural cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan

dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilu dipengaruhi latar

belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti misalnya jenis kelamin, tempat tinggal,

pendidikan, kelas maupun agama. Dalam pendekatan ekologis hanya relevan apabila

dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit

teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten. Pendekatan pilihan rasional

melihat kegiatan untuk memilih sebagai produk dari segi keuntungan dan rugi. Dalam

pendekatan ini, pemilih mempertimbangkan untung dan rugi digunakan untuk membuat

keputusan tentang keputusan partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat

keputusan apakah ikut memilih atau tidak dalam pemilu36

Pendekatan Sosiologis atau Mazhab Colombia lebih menekankan pada faktor

sosiologis didalam membentuk perilaku masyarakat dalam melakukan pilihan dalam

pemilu. Mazhab ini melihat bahwa masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang

bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Menurut paham ini,

35

Ramlan Surbakti, op.cit., hal. 145-146

36

(44)

kelompok – kelompok yang membentuk persepsi, sikap politik dari masing – masing

individu. Oleh karenanya, segala kelakuan politik masyarakat merupakan bentuk dari

masing – masing sifat status sosial mereka. Dan pada Pendekatan Psikologis atau Mazhab

Michigan menekankan pada faktor psikologis dari pemilih. Menurut paham ini,

masyarakat dalam menentukan pilihannya dalam proses pemilu lebih banyak dipengaruhi

oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sendiri, yang kesemuanya

merupakan hasil dari proses sosialisasi politik. Melalui sosialisasi inilah terbentuk suatu

ikatan antara individu dengan partai yang berwujud sebuah simpati terhadap partai politik

tersebut.37

7. Metode Penelitian 7.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif adalah Cara yang digunakan untuk memecahakan sebuah masalah

yang ada dengan berdasarkan fakta dan data yang ada. Data yang telah dimiliki di

kumpulkan, diklasifikasi lalu kemudian di analisis38

37

Fadillah Putra, Op.cit., hal. 251

38

.

7.2. Populasi dan Sampel Penelitian 7.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah Pemilih dari etnis India dan etnis

Tionghoa yang terdaftar sebagai Pemilih tetap pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 di

(45)

7.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara

tertentu. Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah masyarakat etnis India dan

etnis Tionghoa yang terdaftar pada Pemilihan Umum 2009 yang sudah berusia 17 tahun

keatas atau yang sudah menikah dan berdomisili di Kelurahan Polonia. Dalam

menentukan jumlah sampel, penulis menggunakan rumus Taro Yamane39

1

d2 : Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

Maka sampel yang digunakan untuk masyarakat etnis India dalam penelitian ini

adalah sebanyak :

(46)

69

Jadi, sampel yang akan digunakan untuk menjadi responden dalam penelitian ini

masing – masing dibulatkan menjadi 93 Orang dan 94 Orang.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Demi memperoleh data maupun informasi yang diperlukan, maka penulis

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu peneliti langsung mengumpulkan

data maupun informasi yang diperlukan dalam penelitian tersebut langsung

ke lokasi penelitian. Maka penelitian yang digunakan oleh penulis adalah

dengan menggunakan Angket (kuesioner), yaitu menyebarkan angket kepada

responden yang berisi daftar pertanyaan yang akan akan di jawab oleh

responden.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu peneliti mencari sumber

data maupun informasi melalui buku – buku, jurnal, internet serta bahan lain

yang berkaitan dengan penelitian ini.

7.4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, data maupun informasi yang telah diperoleh kemudian

disusun, di analisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi

(47)

secara sistematis. Hasil dari analisis dari pnelitian ini bersifat kualitatif. Selanjutnya akan

menghasilkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan masalah yang diteliti.

8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan Latar belakang masalah, perumusan

masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum dari lokasi

penelitian di Kelurahan Polonia.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian berupa penyajian data

dan juga analisis data dari penelitian yang telah dilakukan.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran – saran yang diperoleh

dari penelitian yang telah dilakukan.

(48)

BAB II

Deskripsi Lokasi Penelitian

2. Deskripsi Kelurahan Polonia

Kelurahan Polonia merupakan salah satu dari kelurahan yang terdapat di

Kecamatan Medan Polonia yang memilki luas 1,57km2

• Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Babura dan Kecamatan Medan Baru. dan terdiri dari 13 kepala

lingkungan (Kepling). Batas – batas dari Kelurahan Polonia adalah sebagai berikut :

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sukadamai.

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Anggrung.

• Sebelah Selatan berbatsan dengan Kelurahan Sari Rejo.

Sebagai bagian dari Kecamatan Medan Polonia, Kelurahan Polonia juga termasuk

pintu gerbang Kota Medan dimana terdapat Bandara Udara Internasional Polonia yang

menghubungkan daerah lainnya, baik itu Regional maupun Internasional.

2.1. Demografi Penduduk

Penduduk di Keluarahan Polonia berjumlah 17.270 jiwa dan memiliki KK

sebanyak 4200 kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat klasifikasi mengenai

(49)

Tabel 2

Klasifikasi Penduduk Kelurahan Polonia Berdasarkan Etnis

No. Etnis Jumlah Persentase (%)

1. Jawa 7849 45,44%

2. Batak 4981 28,82%

3. Tionghoa 2648 15,33%

4. India 1792 10,37%

Jumlah 17.270 Jiwa 100%

Sumber : Profil Kelurahan Polonia

Berdasarkan Tabel 2 diatas, terlihat bahwa mayoritas etnis di kelurahan Polonia

adalah berasal dari etnis Jawa dengan jumlah 45,44%. Ditempat kedua adalah etnis Batak

dengan 28,82%. Lalu disusul oleh etnis Tionghoa dengan 15, 33%. Dan yang terakhir

adalah etnis India dengan 10,37%. Ini menunjukkan bahwa etnis India dan etnis

Tionghoa cukup banyak bermukim di Kelurahan ini. Mengingat khususnya etnis India

sudah tidak lagi tinggal terpusat di satu daerah tertentu

Tabel 3

Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Agama

No. Agama Jumlah Persentase (%)

1. Islam 8848 51,23%

2. Kristen Protestan 3282 19,00%

(50)

4. Hindu 1792 10,37%

5. Buddha 2648 15,33%

Jumlah 17.270 Jiwa 100%

Sumber : Profil Kelurahan Polonia

Pada tabel diatas, bisa disimpulkan bahwa agama yang terbanyak di anut di

Kelurahan Polonia adalah agama Islam dengan 51,23%. Kristen Protestan di tempat

Kedua dengan 19,00%. Lalu diurutan ketiga ditempati oleh Budha dengan 15,33%.

Hindu diurutan keempat dengan 10,37% dan yang diurutan terakhir adalah Kristen

Katholik dengan 4,04%. Walaupun memilki beragam keyakinan, penduduk di Kelurahan

Polonia tidak pernah mengalami konflik mengenai agama. Penduduk saling menjaga

kerukunan dan saling menghargai antar agama.

Tabel 4

Klasifikasi Penduduk di Kelurahan Polonia Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1. Tamat SD/sederajat 6291 41,58%

2. Tamat SMP/sederajat 5580 36,88%

3. Tamat SMA/sederajat 2214 14,63%

4. Tamat Diploma (D1-D3) 486 3,21%

Gambar

Tabel  2
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses rekruitmen terhadap caleg perempuan yang dilakukan oleh PKS dan Partai Demokrat pada pemilu legislatif untuk periode 2009-2014 di Kota Bukittinggi telah

Jika pilihan orang tua bapak dalam pemilu legislatif 2009 adalah Demokrat, apakah akan mempengaruhi pilihan bapak untuk memilih juga partai yang orang tua anda pilih,

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Grobogan yang memiliki jumlah Pemilih 1.039.071 pada Pemilu Legislatif 2009 dan 1.096.933 pada Pemilu Legislatif 2014. Penelitian

Dari tabel 1.4 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah Caleg pada tahun 2004 yang cuma 14 menjadi 44 pada pemilu legislatif tahun 2009 dengan memperoleh 11 kursi

Sebab dilihat dari tindakan perempuan di Kelurahan Jatipurno dalam Pemilu Legislatif tahun 2009 di wujudkan dalam bentuk partisipasi seperti menjadi pemilih atau ikut

Penulis telah menulis skripsi dengan judul Partisipasi Politik Etnis Tionghoa dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 di Surat Kabar Harian Kompas (Analisis Framing

Vote buying pada pemilu legislatif tahun 2019 di Kabupaten Tasikmalaya merupakan strategi yang banyak dilakukan caleg untuk memenangkan suara dalam pemilu, karena

Men- urut hasil survei Lembaga Survei Indonesia LSI di akhir tahun 2013 di mana 90% responden survei tersebut menyatakan akan memilih pada Pemilu Legislatif yang lalu.2 Masih mengenai