• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

Aquilaria microcarpa Baill DENGAN Fusarium solani DALAM

PEMBENTUKAN GAHARU

RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Interaksi antara Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani

dalam Pembentukan Gaharu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Rima Herlina Setiawati Siburian

(4)

Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu. Dibimbing oleh ULFAH YUNIARTI SIREGAR, ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR, dan ERDY SANTOSO.

Aquilaria microcarpa merupakan salah satu tanaman yang berpotensi

menghasilkan gaharu. Di habitat alaminya maupun pada hutan tanaman, tidak semua jenis ini akan menghasilkan gaharu, diperkirakan hanya 10% yang dapat memproduksi resin gaharu. Mekanisme pembentukan gaharu diduga merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Mengkarakterisasi secara morfologis tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani., 2. Mengidentifikasi anatomi kayu A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani, 3. Menentukan genotipe tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan F.solani berdasarkan marka mikrosatelit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 17 karakter morfologi yang diukur, dua karakter yaitu karakter tinggi tanaman serta sudut percabangan memperlihatkan perbedaan antara kelompok tanaman yang diinokulasi dengan F.

solani dan tidak diinokulasi. Untuk karakter anatomi kayu A.microcarpa,

berdasarkan pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa pada tanaman yang diinokulasi memiliki endapan berwarna coklat keemasan pada pori dan kulit tersisip dan aroma wangi yang khas. Setelah diuji lebih lanjut dengan menggunakan GCMS kandungan endapan tersebut berupa beberapa senyawa yang teridentifikasi memiliki kesamaan dengan hasil penelitian terdahulu terkait kandungan senyawa gaharu, diantarnya adalah elemol, baimuxinal, 3-phenyl-2-butanone dan chromone-4-one.

Hasil uji virulensi Fusarium sp menunjukkan bahwa satu dari 4 strain, yaitu F. solani FORDA 512, memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding dengan F.solani lainnya, terutama pada anakan A, B dan C. Dua lokus mikrosatelit, yaitu 6Pa18 dan 71Pa17, dapat digunakan untuk mengkarakterisasi genotipe tanaman yang berinterksi dengan Fusarium sp yaitu semai (n = 40), pohon diinokulasi (n = 20) dan pohon tidak diinokulasikan (n = 20). Hasil analisis genetik menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam hal struktur genetik antara populasi pohon dan populasi semai. Selain itu, urutan fragmen A. microcarpa

menunjukkan homologi yang rendah dengan A. crassna (82%). Urutan kladogram menunjukkan bahwa semai yang diinokulasi memiliki hubungan yang erat dengan pohon yang diinokulasi, hal ini menunjukkan peran genetik dalam pembentukan gaharu.

Hasil yang diperoleh berdasarkan karakter morfologi pohon dan informasi genotipe menunjukkan informasi yang berguna pada pembentukan gaharu terutama berkenaan dengan anatomi kayu dan struktur genotipik.

(5)

Tanaman Aquilaria microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam Pembentukan Gaharu. Supervised by ULFAH YUNIARTI SIREGAR, ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR, and ERDY SANTOSO.

Aquilaria microcarpa is native to Indonesia and has been identified and

promoted as potential tree species to yield high quality agarwood (gaharu). Individual trees of this species, both in its natural habitat and plantation, do not always yield agarwood due to many influencing factors. It is estimated that only 10% trees would be able to yield the resin. A clear mechanism of agarwood formation is unknown and there is a lack of information on underlying causes and triggers of the formation due to natural complexity and uncertainty. However, natural defense mechanisms through a series of pathogenesis are presumed as naturally observed in other resin producing tree species.

Research on the characterization of host-pathogen interaction in gaharu formation was carried out based on the above mentioned problems with the following specific objectives, namely: i). to identify morphological characters of

A. microcarpa trees interacting with F. solani sp, ii). to determine wood

anatomical characters of A. microcarpa interacting with F. solani, and iii) to verify the genotypes of A. microcarpa seedlings and trees interacting with

F.solani based on microsatellites.

Results on tree morphological analysis showed that two out of 17 morphological characters (descriptor), namely tree height (m) and branching angles (0), showed significant differences between inoculated and non-inoculated individuals. In addition, microscopic observations on wood anatomical characters

of A. microcarpa revealed that inoculated plants clearly deposited golden-brown

colored resin in pores and canticles with a distinct scent. Further verification using GC MS on the sediment deposits identified common compounds as reported in many previous research on agarwood, namely: baimuxinal, elemol,

3-phenyl-2-butanone and chromone-3-one. On the other hand, tests on the viulence degrees

of F. solani showed that one out of 4 strains, i.e. F.solani FORDA 512, showed

the highest level of virulence and was significantly different with other F.solani, especially if inoculated on seedlings A60, A68 and B30. Two microsatellite loci

of A. crassna, i.e. 6Pa18 and 71Pa17, were successfully transferable to

A. microcarpa and could be used to characterize the genotypes of

(6)

anatomy analysis showing the presence of gaharu resin.

Key words: Anatomical, Aquilaria microcarpa, gaharu, genotyping,

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(8)
(9)

PEMBENTUKAN GAHARU

RIMA HERLINA SETIAWATI SIBURIAN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Departemen Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Imam Santoso, MSc

2. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA

(11)

NRP : E461090041

Mayor : Silvikultur Tropika (SVK)

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Ulfah J Siregar, M.Agr Ketua

Prof.Dr.Ir.Iskandar Z,Siregar, M.For.Sc Dr.Ir. Erdy Santoso, MS Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program studi/ Dekan Sekolah Pascasarjana

Mayor Silvikultur Tropika

Dr.Ir.Basuki Wasis, MS Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(12)

segala hikmat dan pimpinanNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi dengan judul “Karakterisasi interaksi antara tanaman Aquilaria

microcarpa Baill dengan Fusarium solani dalam pembentukan gaharu”.

Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2010 hingga September 2012. Penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana dari DIPA BIOTROP tahun 2011.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr.Ir. Erdy Santoso MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga selesainya penulisan disertasi.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Papua, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti studi S-3 di Sekolah Pascasarjana IPB; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan ketua Program Studi Silvikultur Tropika atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di SPs IPB. Kepada seluruh staf pengajar dan administrasi SPs IPB, penulis menyampaikan terimakasih atas ilmu dan kelancaran administrasi selama penulis menjadi mahasiswa di SPs IPB juga kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Dana pendidikan (beasiswa) dan kepada SEAMEO BIOTROP atas hibah dana penelitian. Ucapan terimakasih juga kepada ibu Tetty Chaidamsari atas segala bantuan dan bimbingan serta dorongan dalam penyelesaian riset dan tulisan ini, serta teman-teman seperjuangan Silvikultur Tropika, Ikatan Mahasiswa Pasca sarjana Papua, Sdri Laswi Irmayanti, S.Hut, ibu Dr. Ir. Oemijati Rachmatsjah, Ibu Ir. Lincah Andadari, Msi, atas bantuannya.

Ungkapan terimakasih disampaikan pula kepada suami terkasih (Ricardo Tapilatu), ketiga anak-anakku (Maryrose Easter Tapilatu, Julia Rosemary Tapilatu dan Daniel Fitzgerald Tapilatu) atas segala pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, pengertian dan doa bagi penyelesaian studiku; Penghargaan yang tinggi juga bagi kedua orang tuaku; ayahanda S.Siburian dan ibunda R. Sianturi, yang tanpa mengenal lelah selalu memanjatkan doa demi keberhasilanku, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas doa dan semua bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Mei 2013

(13)

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 3

1.3 Manfaat Penelitian 4

1.4 Kerangka Pemikiran 4

2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA

MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM

SOLANI

2.1 Pendahuluan 7

2.2 Bahan dan Metode 8

2.3 Hasil 9

2.4 Pembahasan 13

2.5 Simpulan 15

3 IDENTIFIKASI ANATOMI KAYU AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI

3.1 Pendahuluan 16

3.2 Bahan dan Metode 17

3.3 Hasil 19

3.4 Pembahasan 26

3.5 Simpulan 27

4 GENOTYPE TANAMAN AQUILARIA MICROCARPA YANG

BERINTERAKSI DENGAN FUSARIUM SOLANI

BERDASARKAN MARKA MIKROSATELIT

4.1 Pendahuluan 28

4.2 Bahan dan Metode 29

4.3 Hasil 32

4.4 Pembahasan 41

4.5 Simpulan 43

5 PEMBAHASAN UMUM 44

6 SIMPULAN DAN SARAN 50

(14)

yang diinokulasi dan tidak diinokulasi pada KHDTK Carita 2.2 Hubungan korelasi antar karakter pengamatan 12 2.3 Nilai Koefisien Komponen Utama Aquilaria microcarpa berdasarkan

karakter morfologi

14

3.1 Karakter anatomi Aquilaria microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi

19

3.2 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak dinokulasi

21

3.3 Komponen gaharu dari tanamanA quilaria microcarpa yang diinokulasi 22 3.4 Kesamaan senyawa kimia dari beberapa Aquilaria spp 24 3.5 Senyawa Aquilaria microcarpa yang terdeteksi berdasarkan hasil GCMS

pada tanaman yang diinokulasi dan tidak diinokulasi

25

4.1 Kriteria virulensi isolat Fusarium sp pada tanaman muda A.microcarpa 29 4.2 Primer mikrosatelit Aquilaria crasna menurut Eurlings et al. (2009) 31 4.3 Kemampuan amplifikasi Primer mikrosatelit pada Aquilaria microcarpa 34

4.4 Panjang fragmen hasil amplifikasi silang pada lokus 6Pa18 dan 71Pa17 35 4.5 Tingkat keparahan inokulasi lima jenis Fusarium solani pada tanaman

muda Aquilaria microcarpa

36

4.6 Koefisien kesamaan genetik lokus 71Pa17 dan 6Pa18 40

DAFTAR GAMBAR

1.1 Diagram alur penelitian 6

2.1 Teknik pengukuran pohon dan daun Aquilaria microcarpa 9 2.2 Sampel tanaman Aquilaria . microcarpa yang di diinokulasi (a) dan

tidak diinokulasi (b)

10

2.3 Dendogram similarity variabel pengamatan morfologiA. microcarpa 11 2.4 Biplot karakter pengukuran morfologi A. microcarpa. 13 3.1 Teknik pengambilan sampel tanaman dengan menggunakan bor,

a = (1/2 .ϴ) + 1 cm

17

3.2 Penampang melintang Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b)

20

3.3 Penampang dan kulit tersisip Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b)

21

3.4 Penampang Aquilaria microcarpa dengan pengamatan mikroskop makro (a) dan pengamatan dengan SEM perbesaran 500 x (b)

22

4.1 Pola amplifikasi PCR dengan primer 71Pa17 pada tanaman Aquilaria

microcarpa anakan (A), tidak diinokulasi (N) dan diinokulasi (i)

33

4.2 Morfologi tanaman setelah 4 hari diinokulasi Fusarium solani FORDA 512

34

(15)

4.9 4.10

Pensejajaran hasil sekuen DNA Aquilaria mikrocarpa lokus 71Pa17 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan lokus 6Pa18

40 41 4.11 Cladogram tanaman Aquilaria microcarpa berdasarkan DNA lokus

71Pa17

41

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pengamatan karakter dan cara pengukuran/ perhitungan 64 2. Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa

yang diinokulasi Fusarium solani.

66

3. Hasil analisis korelasi karakter morfologi pada Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi Fusarium solani

66

4. Hasil pengamatan induksi Fusarium Solani pada tingkat semai 67 5. Frekuensi alel mikrosatelit Aquilaria microcarpa pada populasi

inokulasi, tidak inokulasi dan anakan

68

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thymeleaeceae merupakan salah satu famili dari tanaman hutan tropika yang dapat menghasilkan gaharu. Famili ini memiliki kurang lebih 50 genus dan hanya tujuh genus yang diduga mampu menghasilkan gaharu, diantaranya; Aetoxylon, Enkleia, Gyrinops, Gonystylus, Dalbergia, Wikstroemia dan Aquilaria (Whitmore 1980). Sumarna 2005 menyatakan bahwa dari ketujuh genus tersebut yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis-jenis Aquilaria. Penyebaran Aquilaria di Indonesia bagian barat terdiri dari spesies Aquilaria

malacciensis, A. hirta, A. agallocha, A. beccariana, A. moszkowskii, dan

A. microcarpa,sedang A. filaria, A. secundana, dan A. tomentosa tersebar pada

kawasan timur Indonesia. Tanaman ini umumnya tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 750 mdpl (Hou 1960).

Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya yang dapat mencapai Rp 30 juta/kg untuk kualitas super (Siran dan Turjaman 2010). Gaharu diperdagangkan untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupa/kemenyan, pengawet berbagai jenis asesoris dan obat-obatan (Sumarna 2005) dan juga acara ritual keagamaan (Barden et al. 2000).

Meningkatnya permintaan pasar atas komoditas ini, menyebabkan proses pencarian gaharu di hutan alam tak terkendali, disamping itu tidak semua pohon yang dicari mengandung gaharu. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam membandingkan tanaman yang bergaharu dan tidak bergaharu mengakibatkan populasi tanaman penghasil gaharu semakin berkurang akibat kejadian asal tebang.

Sebagai konsekuensi penurunan populasi beberapa jenis Aquilaria, termasuk A. microcarpa telah masuk dalam kelompok tanaman yang terancam punah sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES (Convention on

International Trade of Endangered Species) karena keberadaannya dialam telah

menurun (Blanchette 2004). IUCN (International Union for the Conservation of

Nature and Natural Resources) memberikan status rentan (Vulnerable) yang

berarti spesies ini sedang menghadapi risiko kepunahan di alam pada waktu yang akan datang.

(18)

Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, Maluku, Mataram, Lombok, Riau, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya.

Penanaman beberapa jenis tanaman penghasil gaharu yang dilakukan pada beberapa kawasan namun hingga tanaman berumur 10 tahun menurut Umboh et al (1998), belum ada yang menghasilkan gaharu secara alami. Mekanisme pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu hingga saat ini masih belum begitu dipahami, namun pembentukan ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis (Keeling dan Bohlmann 2006). Pada mekanisme terinduksi, hama atau pathogen memicu tanaman untuk membentuk sistim pertahanan diantaranya melalui proses inokulasi (Agrios 1997).

Sesquiterpenoid yang terdapat pada pembentukan gaharu diketahui merupakan senyawa pertahanan tanaman tipe fitoaleksin yang diproduksi tanaman sebagai pertahanan terhadap pengaruh luar, seperti pengaruh lingkungan dan penyakit (Keeling dan Bohlmann 2006). Metabolit sekunder atau zat ekstraktif tanaman, dapat efektif melawan patogen dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistim sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan menghambat jalur metabolisme (Bulugahapitiya dan Musharaff 2009). Metabolit sekunder pada kayu teras dapat menjadi pertahanan tanaman terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hills 1987). Konsentrasi metabolit sekunder ini bervariasi antar spesies, antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, maupun antar musim. Respon yang dilakukan oleh tanaman saat terjadi interaksi dengan hama, adalah melakukan sintesis berbagai molekul toksik baik molekul protein maupun non protein yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap patogen (Agrios 1997). Pelukaan jaringan tanaman diduga dapat menginduksi sintesis senyawa fitokimia tertentu sebagai bentuk respon tanaman (Wobbe dan Klessig 1996).

Pengembangan teknik inokulasi pada tanaman penghasil gaharu telah dilakukan oleh Ngatiman dan Armansyah (2005); Santoso et al. (2010), dengan tujuan untuk meningkatan keberhasilan produksi gaharu. Pada beberapa penelitian, respon tanaman terhadap patogen ditunjukkan oleh adanya perubahan dalam kandungan tanin dan fenol yang merupakan produk jalur asam sikimat (Wobbe dan Klessig 1996). Namun sejauh mana proses penginokulasian buatan ini dapat meningkatkan produk gaharu, perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh untuk mendapatkan informasi yang tepat baik informasi karakter fenotipe tanaman maupun karakter genotipenya guna mendapatkan karakter yang tepat bagi tanaman bergaharu.

Serangan dan infeksi patogen dalam hal ini Fusarium sp dapat mengganggu proses fisiologis yang berdampak pada perubahan morfologi tanaman (Nieamann dan Visintini 2005; Lee dan Bostock 2006). Perubahan tersebut dapat berupa gejala lokal dan gejala sistimatik (Christiansen 1999). Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer, yang dapat terlihat dengan melakukan pengamatan perubahan morfologi, sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari daerah inokulasi sehingga pengamatannya perlu dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti mikroskop disamping pengamatan molekuler.

(19)

sedangkan penggunaan penanda molekuler dapat menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya (Powell et al. 1996). Penanda morfologi telah banyak digunakan dalam program dasar genetika untuk mengidentifikasi varietas, spesies, genus, maupun famili dari suatu jenis tanaman maupun program pemuliaan tanaman. Meski demikian, terdapat beberapa kelemahan yang dimiliki penanda ini, yaitu dapat dipengaruhi lingkungan (Tanksley 1983).

Penanda anatomi dapat dipelajari dengan menggunakan mikroskop untuk membedakan struktur antar organel sel. Namun penanda ini memiliki kelemahan karena kadang sukar untuk memperoleh perbedaan antara sel terinfeksi dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang patogen kadang memiliki arsitektur sel yang sama (Kunoh 1995). Untuk itu perlu dilakukan pendekatan dengan mempelajari senyawa-senyawa yang terbentuk sebagai akibat dari pengakumulasian senyawa pertahanan tanaman. Dimana hal ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler (Kunoh 1995).

Penanda molekuler banyak diaplikasikan untuk membedakan setiap spesies tanaman melalui pembentukan genotipe tanaman yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Penanda molekuler mampu meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi secara tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan. Selain itu, marka molekuler tidak diregulasi lingkungan sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi dimana tanaman tersebut berada, juga marka tersebut dapat terdeteksi pada semua tahap perkembangan tanaman (Mohan

et al. 1997).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakter tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan Fusariumsolani dan tanaman yang tidak menghasilkan gaharu ditinjau dari aspek morfologi, anatomi kayu dan genetika. Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk:

1. Mengidentifikasi karakter morfologi tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani

2. Menganalisis struktur anatomi kayu dan senyawa A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani serta ragam senyawa yang terbentuk

3. Menentukan genotipe tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan

(20)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

1. Morfologi tanaman yang telah diinokulasi F. solani berbeda dengan yang tidak diinokulasi.

2. Struktur anatomi dan kandungan senyawa A. microcarpa yang telah diinokulasi F. solani berbeda dengan yang tidak diinokulasi .

3. Reaksi pertahanan tanaman terhadap beberapa strain F. solani, berbeda antar individu tanaman maupun jenis F. solani akibat perbedaan genotipe tanaman.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat berupa informasi penting terkait:

1. Perbedaan karakter morfologi tanaman bergaharu, berdasarkan karakter yang diujikan.

2. Karakter struktur anatomi kayu yang diinokulasi F. solani serta informasi mengenai perbedaan kandungan senyawa kimia.

3. Genotipe tanaman yang berinteraksi dengan F. solani serta mampu menghasilkan gaharu.

Kebaruan (Novelty)

Kebaruaan yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini terkait informasi:

1. Karakter morfologi pembeda antara tanaman bergaharu, dilihat dari bentuk batang dan daun/tajuk tanaman.

2. Perbedaan struktur anatomi dan perbedaan kandungan senyawa kimia

A.microcarpa yang telah bergaharu dan yang tidak.

3. Genotipe tanaman bergaharu yang diinokulasi dengan F.solani.

1.4 Kerangka Pemikiran

Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropis dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymeleaeceae. Tanaman A. microcarpa

merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gaharu yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Pada habitat alaminya maupun di hutan tanaman, tidak semua jenis ini akan menghasilkan gaharu, diperkirakan hanya 10% yang dapat memproduksi resin gaharu (Gibson 1977 dalam Ng et al. (1997). Namun karena nilai ekonomi gaharu tinggi, maka perburuan tanaman penghasil gaharu tidak terkendalikan sehingga mengakibatkan populasi dari potensi tanaman ini khususnya

(21)

Mekanisme pembentukan gaharu belum begitu dipahami, bahkan mengapa pembentukannya tidak terjadi pada semua tanaman penghasil gaharu juga masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab tuntas. Menurut beberapa ilmuwan pembentukan gaharu dapat terjadi secara alami (Hills 1987); sedangkan menurut ilmuwan lain penyebab utamanya adalah pelukaan mekanik (Rahman dan Khisa 1984) ataupun induksi bahan kimia (Boss 1938; Baruah et al. 1982) maupun dengan jalan inokulasi cendawan/patogen (Umboh et al 1998; Santoso 1996). Namun mekanisme pembentukan gaharu ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman.

Agrios (1997) menjelaskan bahwa mekanisme terjadinya penyakit pada tanaman merupakan interaksi tanaman dengan patogen pada keadaan lingkungan yang mendukung. Interaksi ini dikenal dengan istilah segitiga penyakit, dimana ukuran dari setiap sisi sebanding dengan total jumlah sifat-sifat tiap komponen yang memungkinkan terjadinya penyakit. Dalam proses terjadinya gaharu, kondisi optimal dari ketiga aspek ini sangat penting diketahui untuk mendapatkan hasil gaharu yang optimal. Oleh karena itu penelitian-penelitian terintegrasi mengenai ketiga aspek tersebut sangat dibutuhkan guna mendapatkan informasi yang tepat mengenai proses pembentukan gaharu serta kualitas yang diharapkan.

Penelitian tentang karakterisasi interaksi antara tanaman A. microcarpa

(22)

1.1 Diagram alur penelitian

Gaharu Non Gaharu

Inokulasi

Identifikasi molekuler dengan marka

mikrosatelit Identifikasi

Anatomi

Pengujian populasi anakan Analisis

Karakter Morfologi IdentifikasiMorfologi

Pengamatan mikroskopis dan Analisis GCMS

Alami

Karakterisasi

Indikator tanaman bergaharu

Aquilaria microcarpa

Cekaman (fisik/kimia)

(23)

2 IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI AQUILARIA

MICROCARPA YANG BERINTERAKSI DENGAN

FUSARIUM SOLANI

2.1 Pendahuluan

Tanaman A. microcarpa Bail memiliki batang tegak dan dapat mencapai ketinggian 40 m, diameter 2.5 m dengan daun majemuk yang tersusun berselingan, berbentuk lonjong, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap. Bentuk bunga majemuk, berada di ujung ranting (terminal) atau di ketiak daun (Hayne 1987). Umumnya tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang subur maupun tanah dengan kondisi masam, bahkan pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir dan juga ada yang mampu tumbuh di celah–celah batuan (Sumarna 2007).

Tanaman A. microcarpa merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu, namun tidak semua jenis ini dapat menghasilkan gaharu. Terbentuknya gaharu pada tanaman ini diduga merupakan mekanisme pertahanan tanaman terhadap faktor abiotik maupun biotik. Faktor abiotik seperti perlakuan pemberian bahan kimia maupun pelukaan mekanis pada batang mengakibatkan tanaman bereaksi terhadap perlakuan tersebut yang kemudian membentuk gaharu (Isnaini 2004), namun hal ini tidak dapat menyebabkan penyebaran ke bagian lain dari pohon yang tidak terkena efek langsung. Hal ini berbeda dengan faktor biotik seperti jamur atau jasad renik lainnya, mekanisme pembentukan gaharu dapat menyebar ke bagian lain pada pohon, karena penyebab mekanisme ini adalah makhluk hidup yang melakukan aktifitas yang diperlukan untuk kehidupannya. Dengan terjadinya penyebaran pembentukan gaharu ke jaringan lain pada batang pohon, maka kualitas dan kuantitas produk gaharu yang dihasilkan akan lebih memuaskan (Santoso et al. 2010).

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tanaman penghasil gaharu dari genus Aquilaria, terutama dalam hal budidaya tanaman dan rekayasa produksi gaharu (Novryanti 2008) usaha tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan konsumen gaharu yang terus meningkat sejalan dengan naiknya harga jual gaharu. Upaya pembudidayaan tanaman penghasil gaharu di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1994/1995 oleh sebuah perusahaan pengekspor gaharu, dengan menanam A. malaccensis seluas 10 hektar. Namun disisi lain, dijumpai juga beberapa kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu disebabkan oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi dan perkiraan waktu penebangan serta keragaan tanaman bergaharu yang tidak tepat, sehingga hasil yang diperoleh tidak memuaskan.

(24)

penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang (Siran dan Turjaman 2010). Namun sering indikator ini tidak tepat dalam menduga keberadaan gaharu karena setelah tanaman tersebut ditebang, gaharu yang diharapkan tidak ada. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait hal diatas dengan tujuan untuk mengidentifikasi karakter morfologi tanaman yang berinteraksi dengan F. solani serta mampu menghasilkan gaharu.

2.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Maret 2011 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita Banten dengan koordinat 06o8’-06o14’ Lintang Selatan dan 105º50’-105o55’ Bujur Timur. Tanaman A.microcarpa pada kawasan ini berasal dari desa penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri-Tengah, Kabupaten Kampar - Riau, yang ditanam pada tahun 1998. Pada tahun 2009 beberapa tanaman diantaranya diinokulasi dengan beberapa F.solani.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh tanaman A.microcarpa yang terdapat pada KHDTK Carita Banten, sebanyak 110 pohon yang terdiri dari 44 pohon yang tidak diinokulasi dan 66 pohon yang telah diinokulasi. Alat yang digunakan adalah haga meter, pita meter, kaliper, kamera, tally sheet, dan alat tulis.

Metode

(25)

Gambar 2.1 Teknik pengukuran pohon dan daun Aquilaria microcarpa

Perbedaan penampilan fenotipik pohon induk dianalisis dengan menguji perbedaan nilai tengah (compare mean) pada setiap karakter yang diukur kemudian dilakukan uji lanjut Tukey. Parameter statistik yang dihitung meliputi nilai tengah (nilai rata-rata), standar deviasi dan koefisien varians.

Analisis varians fenotipe pada populasi A.microcarpa dilakukan dengan melihat korelasi antar karakter menurut formula korelasi Pearson. Untuk menerangkan struktur varians melalui kombinasi linear dari variabel-variabel (karakter fenotipik) yang diukur, dilakukan analisis faktor. Pola pengelompokan antar karakter ditampilkan dalam bentuk grafik biplot antar faktor dengan menggunakan program MINITAB 15.0.

2.3 Hasil

Analisis Keragaan Setiap Karakter Morfologi A. microcarpa

Secara visual morfologi tanaman A. microcarpa baik yang telah diinokulasi tiga tahun maupun yang tidak diinokulasi, pada KHDTK Carita Banten tidak menunjukkan adanya perbedaan, seperti pada Gambar 2.2.

(a)

(b) (b)

(26)

Hasil pengamatan morfologi terhadap 17 deskriptor tanaman A. microcarpa

baik yang telah diinokulasi maupun tidak diinokulasi, pada sampel tanaman

A. microcarpa yang berjumlah 110 pohon yang terdapat di KHDTK Carita Banten

juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kecuali pada karakter tinggi total dan sudut cabang pertama pembentuk tajuk seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Rataan dan simpangan baku karakter morfologi Aquilaria microcarpa

yang diinokulasi dan tidak diinokulasi pada KHDTK Carita

Karakter pengamatan Satuan pengukuran

Tidak diinokulasi (n = 44)

Inokulasi (n = 66)

P value

Tinggi total

Tinggi bebas cabang Diameter

Kekekaran batang Tebal kulit Kelurusan batang kualitas bentuk batang Volume bebas cabang Panjang tajuk

Lebar tajuk Jumlah cabang Sudut cabang pertama pembentuk tajuk Persen penutupan tajuk Panjang anak daun Lebar anak daun Rasio panjang lebar anak daun Panjang petiol m m cm indeks mm indeks indeks cm3 m m buah derajat (0)

% cm cm rasio

mm

8.273 ± 2.74 3.023 ± 1.135

23.56±10.79 2.941 ± 1.168 0.2154 ± 0.063

8.886 ± 0.387 10 ± 0,092

0.00186 ± 0.00118 5.166 ±2.335 3.847±1.697 8±3.816 65.34±19.78 42.61±20.07 5.943±0.851 2.443±0.701 2.585±0.691 3.773±0.803

9.288 ± 2.41 3.177 ± 1.251

26.17 ± 9.4 3.225 ± 1.226 0.2267 ± 0.0559 8.7576 ± 0.4661 9.9394 ± 0.4924

0.00225± 0.00169 5.989 ± 2.41 3.811 ± 1.414 8.561 ± 3.595 55.53 ± 15.54

43.03±15.59 5.939±0.82 2.6288±0.6811 2.3722± 0.5491 3.7575±0.7245 0.043* 0.512 0.182 0.228 0.329 0.132 0.349 0.194 0.078 0.904 0.436 0.004** 0.903 0.981 0.169 0.075 0.918

Keterangan: * berbeda nyata (p < 0.05); ** berbeda sangat nyata (p < 0.05)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum karakter-karakter tanaman yang diinokulasi, tidak berbeda nyata dengan karakter tanaman yang tidak diinokulasi. Namun untuk hasil pengamatan pada karakter tinggi pohon nilai rata-rata yang diperoleh lebih tinggi dibanding tanaman yang tidak diinokulasi dan karakter sudut cabang pertama pembentuk tajuk, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dimana rata-rata nilai hasil pengukuran karakter inokulasi menunjukkan hasil pengukuran yang lebih rendah dibanding tanaman yang tidak diinokulasi. Kedua nilai rata-rata karakter ini memiliki keterkaitan, dimana pertumbuhan tinggi tanaman akan lebih cepat bila sudut cabang pembentuknya memiliki nilai sudut yang kecil dibanding tanaman yang memiliki nilai sudut yang besar.

(27)

lebar tajuk dan persen penutupan tajuk. Kelompok kedua terdiri dari dua karakter pengukuran daun yakni karakter panjang anak daun dan lebar anak daun, sedang kelompok ketiga terdiri dari enam karakter yaitu kelurusan batang, kualitas bentuk batang, rasio panjang lebar anak daun, panjang petiol, jumlah cabang dan sudut cabang pertama pembentuk tajuk seperti pada Gambar 2.3. Karakter pengukuran yang memiliki tingkat kemiripan yang tinggi adalah karakter tinggi total dan panjang tajuk yakni sebesar 89.71 %.

Gambar 2.3 Dendogram similarity karakter pengamatan morfologi Aquilaria microcarpa

Analisis Faktor

Berdasarkan hasil pengolahan data karakter morfologi tanaman

A. microcarpa, maka untuk mengetahui karakter yang mampu menjadi penentu

(28)

Tabel 2.3 Nilai koefisien faktor tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi dan diinokulasi berdasarkan karakter morfologi

Karakter pengukuran Analisis Faktor

Tidak diinokulasi Diinokulasi

Eigenvalue 3.838 2.831

% Keragaman 0.226 0.167

Tinggi total 0.897 0.794

Tinggi bebas cabang 0.255 0.434

Diameter 0.815 0.798

Kekekaran batang 0.413 0.275

Tebal kulit 0.272 0.291

Kelurusan batang -0.206 -0.004

Kualitas bentuk batang 0.222 0.001

Volume bebas cabang 0.718 0.739

Panjang tajuk 0.784 0.558

Lebar tajuk 0.112 0.404

Jumlah cabang 0.067 -0.052

Sudut cabang pertama pembentuk tajuk

-0.116 0.117

Persen penutupan tajuk 0.255 0.073

Panjang anak daun 0.363 0.027

Lebar anak daun 0.498 0.250

Rasio panjang lebar anak daun -0.329 -0.285

Panjang petiol -0.216 -0.025

Analisis faktor digunakan untuk menentukan variabel-variabel mana yang mempengaruhi dengan tingkat keragaman paling tinggi. Untuk itu faktor yang dipilih dari hasil analisis faktor ini hanya satu faktor. Berdasarkan loading faktornya, nilai pada faktor 1 yang lebih besar dari |0,5| menandakan variabel-variabel yang bersesuaian mempengaruhi karakter tanaman yang tidak diinokulasi dengan nilai keragaman tinggi diantaranya tinggi total, diameter, volume bebas cabang, dan panjang tajuk. Pada tanaman yang diinokulasi faktor yang memiliki nilai keragaman yang tinggi yaitu tinggi total, diameter, kekekaran batang, volume bebas cabang dan panjang tajuk. Kedua hasil pengukuran menunjukkan nilai keragaman analisis faktor yang sama baik pada tanaman yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi.

(29)

(a) (b)

Gambar 2.4 Biplot karakter pengukuran morfologi Aquilaria microcarpa tidak diinokulasi (a) dan diinokulasi (b). (X1= tinggi total, X2= tinggi bebas cabang, X3= diameter, X4= kekekaran batang, X5 = tebal kulit, X6= kelurusan batang, X7= kualitas bentuk batang, X8= volume bebas cabang, X9 = panjang tajuk, X10=lebar tajuk, X11= jumlah cabang X12= sudut cabang pertama pembentuk tajuk, X13= persen penutupan tajuk, X14= panjang anak daun, X15= lebar anak daun, X16= rasio panjang lebar anak daun , X17= panjang petiol).

2.4 Pembahasan

Karakter morfologi yang diukur menunjukkan tingkat kemiripan yang tinggi, antara tanaman yang telah diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi. Hal ini diduga karena dalam tubuh tanaman terjadi reaksi pertahanan, yang mengakibatkan tanaman tetap tumbuh dan berkembang. Agrios (1997) menyatakan bahwa tanaman dapat tahan terhadap patogen karena tanaman tersebut masuk dalam kelompok tanaman yang imun terhadap patogen (ketahanan bukan-inang = non host resistance) atau karena tanaman tersebut memiliki gen ketahanan untuk mengatasi virulensi patogen (ketahanan sejati = true resistance) atau karena beberapa alasan tanaman terhindar atau toleran terhadap infeksi patogen (ketahanan nyata = apparent resistance).

Siregar (2009) menyatakan bahwa tanda-tanda terbentuknya gaharu bila dilihat dari faktor morfologi sampai dengan pengamatan bulan ke enam adalah daun menguning dan rontok; kulit batang mulai mengering; ranting dan cabang mulai meranggas serta mudah patah; batang, cabang dan ranting berwarna putih berserat coklat hitam dengan teras kayu merah kecoklatan atau hitam bila kulit dikupas; bila kulitnya dibakar akan mengeluarkan aroma gaharu yang khas.

(30)

sel penyusun organisme. Keragaman morfologi pada individu dalam suatu populasi sangat tergantung pada keragaman proses dan hasil metabolisme yang terjadi pada masing-masing individu. Proses metabolisme tersebut terjadi dalam sel yang melibatkan reaksi biokimia yang dikatalis oleh enzim tertentu, sehingga mengakibatkan keragaman morfologi dan hasil metabolisme.

Variasi kerentanan terhadap patogen dalam tanaman juga disebabkan karena perbedaan jumlah gen ketahanan (Agrios 1997). Tanaman yang sangat rentan terhadap suatu isolat patogen, sesungguhnya tidak memiliki gen ketahanan yang efektif untuk mengatasi isolat yang diinokulasikan pada tanaman, akibatnya tanaman tersebut mati apabila patogen yang diinokulasikan sangat virulen. Tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dengan F. solani, juga ada yang mati saat diinokulasi, sekalipun tanaman lain di sekitarnya tidak mengalami hal yang sama.

Lingkungan dapat mempengaruhi jumlah dan aktivitas patogen (Semangun 1996). Kerentanan tanaman dan virulensi patogen tidak berubah pada tanaman yang sama selama beberapa hari hingga beberapa minggu, akan tetapi keadaan lingkungan dapat berubah secara tiba-tiba dalam tingkatan yang bervariasi. Oleh karena itu, lingkungan juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan penyakit menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Tentu saja perubahan yang terjadi pada faktor lingkungan tersebut mampu mempengaruhi tanaman inang, patogen atau kedua-duanya. Perubahan faktor lingkungan ini mungkin menguntungkan bagi pertumbuhan patogen dan tidak menguntungkan bagi tanaman inang.

Teknik pemilihan tanaman yang akan diinokulasi diduga juga berpengaruh terhadap nilai karakter morfologi tanaman yang diinokulasi, dimana tanaman yang akan diinokulasi umumnya adalah tanaman yang secara fenotip sehat. Hal ini mengakibatkan nilai hasil pengukuran karakter morfologi tanaman yang diinokulasi lebih tinggi dibanding tanaman yang belum diinokulasi.

Pada tahun 2008 di lokasi penelitian ini terjadi serangan hama Heortia

vitessoides yang mengakibatkan proses pembentukan gaharu terganggu. Akibat

serangan tersebut beberapa daun pohon penghasil gaharu menjadi rusak, pohon menjadi meranggas, bahkan mati. Tanaman yang terserang ulat H. vitessoides, kematian banyak terjadi pada kelompok tanaman yang diinokulasi, karena serangan tersebut menghambat pertumbuhan tanaman dan bahkan menimbulkan kematian tanaman.

Terbukanya lahan yang disebabkan oleh matinya tanaman rentan yang tidak tahan terhadap inokulasi yang dilakukan maupun akibat serangan ulat H.

vitessoides, memberi peluang bagi tanaman di sekitarnya untuk bertumbuh dan

(31)

2.5 Simpulan

(32)

3 IDENTIFIKASI ANATOMI KAYU

AQUILARIA MICROCARPA YANG BERINTERAKSI

DENGAN FUSARIUM SOLANI

3.1 Pendahuluan

Gaharu terbentuk sebagai reaksi tanaman terhadap adanya gangguan biotik atau abiotik. Gangguan biotik yang paling banyak dilaporkan berperan dalam pembentukan gaharu adalah gangguan oleh cendawan salah satunya adalah

Fusarium spp. (Gong dan Shun 2008; Siregar 2009; Isnaini et al. 2009; Mohamed

et al. 2010).

Pada proses interaksi antara Fusarium dengan inangnya, patogenesitas Fusarium sangat mempengaruhi respon yang diberikan oleh tanaman (Mendgen dan Deising 1993). Respon tersebut merupakan pertahanan tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan juga biokimia dalam sel maupun jaringan tanaman sehingga dapat mematikan patogen atau menghambat pertumbuhannya (Groenewald 2005).

Ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut (Agrios 1997). Perubahan biokimia dapat terjadi antara lain melalui sintesis dan akumulasi asam salisilat (Wobbe dan Klessig 1996) atau fitoaleksin (Beynon 1997), yaitu senyawa hasil metabolit sekunder yang toksik bagi virus, bakteri, maupun cendawan yang menyerupai asam lemak (Lawton et al 1992), dan dikeluarkannya elisitor berupa oligosakarida oleh tanaman (Nothnagel et al

1983). Senyawa-senyawa ini dapat melindungi tanaman secara menyeluruh terhadap serangan patogen namun dapat juga menekan perkembangan patogen sehingga tidak menurunkan produksi. Disamping itu tanaman juga dapat mempertahankan diri dengan tidak memproduksi senyawa metabolit yang diperlukan oleh patogen sehingga patogen tidak berkembang.

Penelitian terdahulu mengenai identifikasi morfologi tanaman yang berinteraksi dengan Fusarium spp, belum dapat membedakan karakter-karakter tanaman penanda bergaharu. A. microcarpa merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu, dengan perubahan warna batang yang khas (coklat-kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional 1999). Oleh karena itu identifikasi anatomi kayu serta senyawa-senyawa yang terkandung dalamnya diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan yang jelas antara tanaman bergaharu dan tidak bergaharu. Penelitian mengenai interaksi tanaman A.microcarpa dengan F. solani telah dilakukan dengan menguji pada tanaman muda/semai (Rahayu et al 2009; Putri et al 2008) namun perbedaan anatomi dan kandungan antara tanaman yang telah diinokulasi dan tidak diinokulasi, sangat bervariasi antar jenis tanaman penghasil gaharu.

(33)

3.2Bahan dan Metode

Penelitian anatomi kayu dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 pada laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Analisis kandungan senyawa tanaman dilakukan di laboratotium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia.

Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman A. microcarpa yang telah diinokulasi tiga tahun sebelum dilaksanakan riset ini, serta terbentuk senyawa gaharu yakni pohon nomor 5. Sampel tanaman yang belum diinokulasi dipilih tanaman yang seumur dan dekat dengan tanaman yang telah diinokulasi, yaitu pohon nomor 22. Pengambilan sampel kayu dilakukan dari empat arah mata angin (timur, barat, utara dan selatan) dengan cara dibor seperti disajikan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Teknik pengambilan sampel kayu dengan bor a = (1/2 .ϴ) + 1 cm

Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol teknis, gliserin teknis, larutan FAA (Formaldehid 37% : asam asetat glasial : alkohol 70% = 5:5:90), larutan n-Butanol, larutan Gifford (asam asetat glasial:etanol 60%:gliserin teknis = 20:80:5), formaldehid 4%, K2HPO4 100 mM, safranin 2%, I2KI 1%, dan larutan tembaga asetat [Cu(CH3COO)2·H2O] 50%.

Alat yang digunakan yaitu fotomikroskop (Nikon Obtiphot 2), mikroskop (Nikon AFX-DX Labophot -2), mikrotom putar (Yamato RV- 240), mikrotom sorong (Microm HM 400 R) dan mikrotom beku (Yamato RV-240).

Pembuatan Slide Mikrotom

[image:33.595.105.493.311.516.2]
(34)

dimasukkan ke dalam gelas berisi larutan 20 % PEG 2000 dalam etanol. Sesudah itu gelas berisi contoh tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60oC selama 3 – 4 hari sampai semua etanol menguap. Penyayatan dilakukan dengan mikrotom putar. Untuk membantu agar jaringan tidak sobek, permukaan yang akan disayat dilapisi dengan pita pelekat (“scotch tape”). Contoh uji disayat dengan menggunakan pisau sayat mikrotom dengan ketebalan 12-20 μm pada arah melintang, radial dan tangensial. Selanjutnya pewarnaan dengan safranin-O 2 % dilakukan dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 jam. Sayatan yang telah direndam dengan safranin-O kemudian dicuci dengan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan 100%, untuk kemudian direndam dalam xylol sekitar 1 menit. Proses selanjutnya adalah mounting (proses mengatur dan meletakkan bahan sayatan di atas kaca preparat). Setelah mounting, preparat dikeringkan pada slide warmer

pada suhu 40-500C.

Bagian anatomi kayu diamati meliputi warna kayu, lingkaran tahun, sebaran pori/pembuluh, noktah antar pori, bahan endapan dalam pori, included

phloem di samping bau/aroma kayu. baik pada tanaman yang telah diinokulasi dan

bergaharu serta yang belum diinokulasi.

Ciri umum yang diamati meliputi: warna, tekstur, alur, pengelupasan, tebal, warna sayatan kulit dalam dan ada tidaknya eksudat, sedangkan ciri anatomi yang diamati meliputi floem, jari-jari, parenkim, serat, dan periderm.

Pengujian Gas Chromatography Mass Spectrometry(GC MS)

Pengujian GCMS dilakukan di Laboratorium Forensik Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Jakarta), untuk menguji senyawa-senyawa yang terkandung dalam endapan yang teramati pada pengamatan anatomi. Sampel untuk pengujian GCMS berasal dari sampel yang sama dengan pengamatan anatomi, namun pada tahapan ini kayu dicincang hingga halus kemudian direndam dalam aseton selama 1 malam. Hasil rendaman ini kemudian dikering anginkan dan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan GC MS.

Analisis GC MS A. microcarpa dilakukan dengan Instrumen Agilent Technologies 6890N, Detector Mass Spectrometer, interface 300 0 C, kolom yang digunakan HP-5 Capilary Coloumn, panjang (m) 30 X 0,25 (mm) I.D X 0,25 (μm) Film thickness ( 5% -Phenyl)- methylpolysiloxane, suhu Oven 100oC – 3000C pada 150C/min , selama 35 menit, kondisi injection Port Temperature (Spplit

(35)

3.3 Hasil

Ciri Anatomi

Hasil pengamatan karakter anatomi kayu dari tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi memperlihatkan perbedaan warna kayu, bahan endapan dalam pori, kulit tersisip dan aroma kayu. Pada tanaman diinokulasi, warna kayu terutama di sekitar daerah inokulasi terlihat sedikit lebih gelap dibandingkan dengan tanaman yang tidak diinokulasi. Aroma kayu yang ditimbulkan juga agak berbeda: kayu yang diinokulasi memiliki aroma gaharu yang khas dibandingkan dengan kayu yang tidak diinokulasi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kulit tersisip nampak lebih banyak pada tanaman yang diinokulasi serta memiliki resin berlapis emas di dalam lumen, sedangkan pada tanaman yang tidak diinokulasi resin tidak terlihat. Beberapa persamaan dan perbedaan dalam ciri-ciri anatomi A. microcarpa yang diinokulasi dan yang tidak diinokulasi disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Karakter anatomi A. microcarpa yang diinokulasi dan tidak diinokulasi

Karakter Pengamatan A. microcarpa

Inokulasi Tidak diinokulasi Warna kayu

Lingkaran tahun Sebaran pori/pembuluh Noktah antar pori

Bahan endapan dalam pori

Included phloem

Bau/aroma kayu

Coklat muda hingga tua Tidak jelas

Baur dan sebagian soliter Bersilangan

Ada

Ada; terdapat endapan Beraroma wangi

Putih (terang) Tidak jelas

Baur dan sebagian soliter Bersilangan

Tidak ada

Ada; tidak ada endapan Tidak beraroma

Pada tanaman A. microcarpa resin yang dihasilkan tidak dieksudasi keluar melainkan terdeposit di dalam jaringan kayu dan mengakibatkan perubahan warna jaringan dari putih menjadi coklat kehitaman. Pengamatan yang dilakukan

Rao et al. (1992), menunjukkan bahwa resin yang dihasilkan oleh A. agalocha

terakumulasi dalam jumlah besar di included phloem, sedangkan di bagian lain seperti di unsur trakea xilem, serat xilem, dan jejari parenkima resin terakumulasi dalam jumlah sedikit. Included phloem merupakan floem sekunder yang terletak di dalam xilem sekunder (Mauseth 1988). Jaringan tempat tertimbunnya resin pada Aquilaria sp telah diketahui, namun jaringan mana yang mensekresikannya belum diketahui (Mandang dan Wiyono 2002). Diduga jaringan yang mensekresikan resin adalah parenkima floem yang terdiri atas sel-sel hidup yang dapat menyimpan pati, lemak, senyawa organik, dan merupakan tempat terakumulasi beberapa metabolit sekunder seperti tanin dan resin (Fahn 1991 ).

Pada penelitian ini selain di jari-jari, endapan terlihat juga di included

phloem. Menurut Blanchette (2004) included phloem merupakan jaringan khusus

pada Aquilaria yang mampu mensekresikan resin. Selain pada Aquilaria struktur seperti ini juga dijumpai pada Nyctaginaceae dan Amaranthaceae. Included

(36)

Pinus sp yaitu sebagai tempat pengakumulasi resin (Nagy et al. 2000). Mauseth (1988), menyatakan bahwa included phloem merupakan struktur kompleks yang dibentuk oleh kambium ke arah dalam, tersusun atas unsur tapis, sel pengiring, jaringan parenkima, dan serat (Rao et al. 1992). Included phloem memiliki dinding sel tipis yang tidak terwarnai dengan safranin karena tidak mengandung lignin, plat tapisnya bertipe foraminate (Rao et al. 1992; Nobuchi dan Siripatanadilok 1991). Selain included phloem, sel-sel parenkima yang sudah tidak berfungsi lagi akan mengalami sklerefikasi dan dapat terisi oleh resin (Fahn 1991).

Tanaman yang diinokulasi dengan F. solani, menimbulkan respon terhadap infeksi yang terjadi pada tingkat sel, jaringan maupun organ. Respon yang teramati pada pengamatan ini adalah perbedaan pada jaringan pengakumulasi senyawa terpenoid, dimana pada tanaman A. microcarpa yang tidak diinokulasi terlihat tidak adanya endapan atau resin pada jejari parenkima, include phloem

dan empulur, sedang pada tanaman yang diinokulasi terlihat adanya endapan, seperti pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3.

(a) (b)

(37)

(a) (b)

Gambar 3.3 Penampang dan kulit tersisip Aquilaria microcarpa yang belum diinokulasi (a) dan yang telah diinokulasi (b), tanda panah menunjukkan endapan dalam pori

Komponen Kimia A. microcarpa

Hasil analisis dengan menggunakan GC MS pada tanaman A. microcarpa

yang tidak diinokulasi, tidak ditemukan senyawa kimia yang diduga berkorelasi dengan pembentukan gaharu seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang tidak diinokulasi

Puncak Rentang

waktu Lokasi

Konsentrasi

(%) Nama senyawa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 3.859 3.938 4.045 4.313 4.363 4.443 5.638 5.713 5.785 6.713 16.317 17.373 18.633 21.216 22.759 23.331 30.370 30.964 32.710 40.000 57748699 46993579 45069108 1190854 3092894 7498711 1632302 5108772 2012226 9649992 5642118 1742249 9814480 5986334 2686563 6597848 5339014 1334922 3834756 9198165 24.87 20.24 19.41 0.51 1.33 3.23 0.70 2.20 0.88 4.16 2.43 0.75 4.23 2.58 1.16 2.84 2.30 0.57 1.65 3.96

Methane, tetranitro- (CAS) Tetranitromethane 3,3-DIMETHYL-2-PHENYL-2-(1-OXO-1,2,3,4-TETRAHYDRONAPHTHALEN 2-isopropylthio-5-trifluoracetyl-1,3-oxathiolyium-4-olat

1,2-Propadiene (CAS) Allene 2-Propanone (CAS) Acetone

2-Butanone, 3-hydroxy-(CAS) Acetoin Acetic Acid (CAS) Ethylic Acid 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol Phenol (CAS) Izal

2-Cyclopenten-1- one, 2-hydroxy-3-methyl-(CAS) Corylon

Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol ISOSORBID

Phenol, 4-ethenyl-2- methoxy Phenol,2,6-dimethoxy-(CAS) 2,6 – Dimethoxyphenol

Pentadecanoic Acid, 14-methyl-,methyl ester (CAS) METHYL 14-METHYL-F

Octadecanoic acid (CAS) Stearic acid Pentadecanoic acid, 14-methyl-methyl ester (CAS) METHYL 14-METHYL-F

[image:37.595.107.516.416.737.2]
(38)

Bhuiyan et al. 2009 juga pernah menguji minyak dari tanaman

A. agallocha yang sehat, hasil yang diperoleh tidak mengindikasikan kandungan

[image:38.595.74.479.141.792.2]

senyawa sesquiterpene dan turunannya. Hasil yang diperoleh ini berbeda dengan senyawa kimia yang terdeteksi dari A. microcarpa yang diinokulasi seperti disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang terinokulasi

Puncak Rentang

waktu Lokasi

Konsen.

(%) Nama senyawa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 3.946 4.030 4.521 6.019 8.809 12.122 14.075 15.679 17.099 18.694 20.623 21.643 23.226 23.563 25.567 26.441 26.694 27.034 27.996 28.550 28.971 29.476 29.875 30.275 30.875 31.132 31.338 32.006 32.163 32.625 32.838 33.013 37.340 39.843 41.873 43.126 44.957 46.421 51.114 52.638 43336763 21481234 581871973 24235257 14749584 66907808 416783661 23859825 16151567 21427548 983694261 153913534 62806288 17828687 44916967 30587272 27159246 24215834 78236288 23934213 80905192 85011925 109066979 193368835 105313915 61314943 140581115 225615566 65290314 69816367 34881132 52133006 148108946 20042318 44232320 247582648 112603924 44320723 58536492 64578087 0.93 0.46 12.54 0.52 0.32 1.44 8.98 0.51 0.35 0.46 21.19 3.32 1.35 0.38 0.97 0.66 0.59 0.52 1.69 0.52 1.74 1.83 2.35 4.17 2.27 1.32 3.03 4.86 1.41 1.50 0.75 1.12 3.19 0.43 0.95 5.33 2.43 0.95 1.26 1.39

Wolfram, Tricarbonyl- (2,5-Norbornadien) (E-Cycloocten) 2-PROPYNOIC ACID

(3a.alpha.,4.alpha.,6a.alpha.)-Hexahydro-4-methylene-1(2H)-penta

1-Propanol, 2-methyl- (CAS) Isobutyl alcohol 2-Pentanone, 4-methyl-(CAS) 4-Methyl-2-pentanone 2-Pentanone, 4-hydroxy-4-methyl-(CAS) Diacetone alcohol Ethanol, 2-butoxy- (CAS) 2-butoxyethanol

Benzaldehyde (CAS) Phenylmethanal

Benzene, 1-methoxy-4-methyl-(CAS) p-Methylnisole Phenol, 4-methoxy- (CAS) Hqmme

CYCLOBUTANE,

1-DEUTERO-2-ETHYL-1-(PENTADEUTEROETHYL)

2-Butanone,4-phenyl-(CAS) Benzylacetone

Benzenepropanoic acid (CAS)PHENYLPROPIONIC ACID 1-(2-VINYL-PHENYL)-ETHANONE

2-Butanone, 4-(4-methoxyphenyl)-(CAS) ENT 20,279 3-phenyl-2-butanone

2-(2’-3”-isopropenyl-1”-cyclopropenyl-2’-methylpropyl) cyclopropyl methyl

Beta,-Ionol

ETHANONE, 1-(1-HYDROXY-2,6,6-TRIMETHYL-2,4-CYCLOHEXADIEN

1-(3-ISOPROPYL-4-METHYL-PENT-3-EN-1YNYL)-1-METHYL-CYCLOPRO

Gamma, 1-cadinene aldehyde

2-Furancarboxaldehyde, (methyl-2furanyl) methyl- (CAS) 5-FORMYL

“KW3 AUS EPIGLOBULOL” Baimuxinal

3,4-Dihydro-alpha-ionone

1,3-CHYCLOPENTADIEN, 5-5 DIMETHYL-1,2-DIPROPHYL LEDENOXID-(II) Velleral 3-Cyclohexene-1-methanol,.alpha.,.alpha.,4-trimetyl-(CAS) CYCLOHEKSENE Octanal,7-hydroxy-3,7-dimethyl-(CAS) Hydroxycitronella Elemol 9-Heptadecene-4,6-dyn-8-ol. (Z)-(CAS) 8-NAPHTHOL, 1-(BENZYLOXY)

1,2-Benzenedicarboxylic Acid, bis(2-ethylhexyl) ester (CAS) Bis (2-ethylhexyl)

PENTANAL, 2[BIS(PHENYLMETHYL) AMINO] -4-METHYL 6-METHOXY-2-(2PHENYLETHYL)-4H-CROMEN-4-ONE 7-(Benzyloxy)-5-hydroxy-2-methyl-4H-1-benzopyran-4-one PENTANAL,2-[ S(PHENYLMETHYL)AMINO]-4-METHYL NORFLUOROCURINE

Benzene, (1-methoxypropyl)-(CAS) 1-Methoxy-1-phenylpropane

(39)

antara gaharu kualitas tinggi dan rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo –agarospirol merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi cendawan pada kayu

A. sinensis.

Beberapa senyawa penting yang terkandung dalam gaharu adalah agarospirol, jinkohol dan chromone yang mungkin akan menyebabkan aroma khas gaharu (Nakanishi et al 1984, Ishihara et al 1991; Dai et al 2009). Selanjutnya Yuan (1995) menemukan perbedaan komponen kimia antara gaharu kualitas tinggi dan rendah. Agarol merupakan senyawa seskuiterpen pertama yang diisolasi dari gaharu (Yuan 1995), dan oxo agarospirol merupakan komponen aroma gaharu yang dihasilkan dari infeksi cendawan pada kayu A. sinensis.

Kandungan oxoagarolspirol A. sinensis meningkat dua bulan setelah inokulasi. Menurut Ishihara et al. (1991) menyatakan bahwa kusunol, dihidrokanon, karanon, dan oxo-agarospirol merupakan senyawa seskuiterpen yang diisolasi dari gaharu kualitas rendah. Benzilaseton merupakan konstituen gaharu yang telah didentifikasi oleh Yang dan Cheng dari A. sinensis (Burfield 2005). Senyawa chromone juga merupakan konstituen gaharu (Yagura et al. 2005; Konishi et al.

2002; Dai et al 2009). Gaharu merupakan senyawa pertahanan pohon tipe fitoaleksin yang terpicu pembentukannya setelah terjadi serangan, maka pembentukan benzilaseton dan senyawaan chromone ini menunjukkan respon pertahanan pohon terhadap induksi F. bulbigenum.

Yagura et al (2003) menemukan turunan cromone baru, yaitu 5-hydroxy

-6-methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone, 6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)

chromone, 8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8-tetrahydro

chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang

diisolasi dari ekstrak MeOH kayu A. sinensis.

Hasil GCMS dari tanaman yang diinokulasi ini menunjukkan kesamaan komposisi kimia dengan sampel minyak gaharu dari beberapa peneliti sebelumnya diantaranya: elemol, baimuxinal, 3-phenyl-2-butanone dan

6-methoxy-2-(2-phenylethyl)-4H-cromen-4-one, seperti tersaji pada Tabel 3.4. Pada penelitian

yang dilakukan oleh Chen et al 2011, kandungan senyawa baimuxinal yang diperoleh dari alam konsentrasinya sebesar 14,78%, lebih tinggi dibanding konsentrasi yang disuntikkan NaCl ataupun tanaman sehat. Dalam penelitian ini kandungan baimuxinal hanya sebesar 4,17 % dan untuk tanaman yang tidak diinokulasi senyawa tersebut tidak dijumpai. Namun konsentrasi senyawa elemol pada Tabel 3.3 lebih tinggi dibanding hasil penelitian Chen et al 2011. Elemol merupakan salah satu hasil sesquiterpena yang diproduksi oleh fungi pada saat menyerang tanaman (Mannito 1981) disamping tiga puluh sesquiterpena lainnya. Konsentrasi 3-phenyl-2-butanone yang ditemukan pada penelitian ini, bila dibanding dengan hasil penelitian Faridah (2009) dari daerah Kelantan, Pahang dan Terengganu menunjukkan nilai yang lebih rendah.

(40)

Tabel 3.4 Kesamaan senyawa kimia dari beberapa Aquilaria spp

Senyawa kimia Rumus bangun Peneliti

Baimuxinal

Elemol

6-Methoxy-2-(2- Phenylethyl)-4H-cromen-4-one

3-phenyl-2-butanone

Chen et al 2011 (A. sinensis

Lour)

Chen et al 2011 (A. sinensis

Lour)

Faridah 2009(A. maleccencis)

Dai et al 2009 (A. sinensis Lour)

Faridah 2009 (A. maleccencis)

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, saat ini gaharu bukan saja berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Tanaman penghasil gaharu di Cina digunakan sebagai obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal tumor paru-paru dan lain-lain. Di Eropa, gaharu ini kabarnya diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus (Putri 2011). Bahkan Asoasiasi Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) melaporkan bahwa Negara-negara di Eropa dan India sudah memanfaatkan gaharu dalam pengobatan tumor dan kanker. Di Papua, gaharu digunakan secara tradisional oleh masyarakat dengan mengambil bagian-bagian dari pohon penghasil gaharu (daun, kulit batang, dan akar) digunakan sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan (limbah dari proses destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) digunakan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit. Studi farmakologi menunjukkan bahwa A. agallocha dapat menghambat pelepasan histamin dari sel dan menekan reaksi hipersensitif. Ini mungkin berpotensi sebagai agen anti-radang dan /atau analgesik. Dalam penelitian ini ada beberapa senyawa yang dapat digunakan tanaman sebagai pertahanan terhadap patogen dan juga memiliki manfaat bagi manusia baik pada tanaman yang belum diinokulasi dan juga tpada tanaman yang telah diinokulasi, seperti pada Tabel 3.5.

CHO

H MeO

H H

H H

(41)

3.4 Pembahasan

Pada bagian tanaman A. microcarpa yang diinokulasi dengan F. solani

dalam tubuh tanaman akan timbul reaksi pertahanan tanaman yang tidak dieksudasi keluar melainkan terdeposit di dalam jaringan kayu dan mengakibatkan perubahan warna jaringan dari putih menjadi coklat kehitaman pada areal terinfeksi akibat akumulasi resin metabolit sekunder yang merupakan senyawa penentu kualitas gaharu.

Menurut Blanchette (2004), included phloem merupakan jaringan pada

Aquilaria yang mampu mensekresi resin. Jaringan included phloem dan jejari

parenkima tersusun oleh sel-sel hidup, sedang unsur trakea xylem dan empulur tersusun oleh sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan empulur hanya berperan sebagai jaringan pendeposit saja.

Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa resin yang dihasilkan oleh

A.microcarpa terakumulasi dalam jumlah besar di included phloem, sedangkan di

bagian lain seperti trakea xilem, serat xilem, dan parenkima jejari resin terakumulasi dalam jumlah sedikit (Rao dan Dayal 1992). Fahn (1991) menyatakan bahwa jaringan parenkima floem yang terdiri dari sel-sel hidup diduga dapat menyimpan pati, lemak, senyawa organik, yang merupakan tempat terakumulasi beberapa metabolit sekunder seperti tanin dan resin.

Penginokulasian tanaman A. microcarpa dengan F. solani, dapat menghasilkan aroma wangi khas gaharu diduga disebabkan oleh adanya senyawa gaharu yang terakumulasi pada kayu gaharu tersebut. Tidak semua senyawa gaharu akan memberikan aroma wangi. Taiz dan Zeiger (2002) melaporkan bahwa salah satu senyawa metabolit sekunder yang beraroma wangi adalah sesquiterpenoid. Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharrya 1962).

Fitoaleksin merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh jaringan inang sebagai tanggapan terhadap invasi patogen (Semangun 1996). Senyawa ini terakumulasi sampai pada suatu batas (threshold) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen. Fitoaleksin berupa metabolit tanaman yang bersifat antimikrobia, pada tanaman sehat kadarnya sangat rendah atau tidak terdeteksi, dan akan terakumulasi sebagai akibat patologis, fisik dan rangsangan-rangsangan lain dari lingkungan. Pembentukan fitoaleksin dapat diinduksi oleh jamur, bakteri, virus, nematoda, senyawa kimia toksik atau perlakuan fisik. Beberapa fitoaleksin bersifat toksik terhadap bakteri, nematoda, jamur dan binatang (Misaghi 1982).

(42)

organisme yaitu mempertahankan integritas struktural membran dan permeabilitas membran dalam regulasi berbagai ion (Mann 1987).

Seskuiterpena merupakan salah satu komponen utama gaharu. Burfield (2005) mengungkapkan 8 komponen seskuiterpena, yaitu α-agarofuran, (-)-10- epi-δ-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkoh-eremol, kusunol, jinkohol II, dan okso-agarospiral. Ishihara et al. (1993) melaporkan pula bahwa ada 8 komponen seskuiterpena yang berbeda dari Burfield (2005), yaitu (-)-selina-3,11-dien-14-al, (+)-14-al, asam selina-3,11-dien-14-at, asam selina-4,11-dien-14- at, 9-hidroksiselina-4, 11-dien-selina-4,11-dien-14-at, (+)-1,5-epoksi-nor-ketoguaiena,

dehidro-jinkoh-eremol, dan neo-petasana. Namun dalam penelitian ini hanya

ditemukan beberapa senyawa sesquiterpena yang diduga bergaharu, hal ini dapat disebabkan karena suhu alat pyrolisis GCMS tesebut bekerja pada suhu 3000C, sehingga beberapa senyawa yang diperoleh diduga merupakan turunan dari komponen utama gaharu tersebut.

Perbedaan hasil GC MS antara tanaman yang tidak diinokulasi dan tanaman telah yang diinokulasi tiga tahun, menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat virulensi F. solani disamping ketahanan tanaman dan lingkungan yang mendukung terbentuknya gaharu. Pada tanaman yang tidak diinokulasi, senyawa gaharu tidak ditemukan. Senyawa gaharu yang ditemukan, selain berfungsi sebagai pertahanan tanaman terhadap patogen juga bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman mempunyai variabilitas yang tinggi karena sangat tergantung pada kondisi iklim, hama dan penyakit serta kondisi fisiologis dari tanaman tersebut. Pada beberapa pengujian hasil ekstrak tanaman penghasil gaharu menunjukkaan kemampuan anti mikroba dan juga sebagai antipiretik, analgesik serta oksidatif tanpa aktivitas anti-inflamasi (Sattayasai et al 2012). Menurut Ebadi (2007), senyawa-senyawa alkaloid dan juga senyawa Benzene dan turunannya merupakan golongan dari hidrokarbon aromatik yang berguna sebagai anti jamur, optical brightening agent dan dyes. Selain itu senyawa sesquiterpene yang diekstrak dari tanaman dapat berfungsi sebagai antioksidan, diuretik dan juga sebagai antipiretik. Pengujian kandungan senyawa gaharu serta manfaatnya terutama dalam bidang farmasi masih perlu dikembangkan guna mendapatkan senyawa-senyawa yang bermanfaat bagi manusia.

3.5 Simpulan

Perbedaan ciri anatomi tanaman yang berinteraksi dengan F. solani, terdapat pada warna kayu, bahan endapan dalam pori, aroma kayu dan juga endapan dalam included phloem. Pengujian endapan dalam pori dengan menggunakan GCMS pada tanaman yang berinteraksi dengan F. solani

mengandung beberapa senyawa pembentuk gaharu yaitu struktur dasar seskuiterpenoid seperti baimuxinal, elemol,

6-Methoxy-2-(2-Phenylethyl)-4H-cromen-4-one

Gambar

Gambar 3.1
Gambar 3.3 Penampang dan kulit tersisip Aquilaria microcarpa yang belum
Tabel 3.3 Komponen gaharu dari tanaman Aquilaria microcarpa yang terinokulasi
Gambar 4.2  Morfologi tanaman setelah 4 hari diinokulasi Fusarium solani
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan perilaku pelanggan mendorong PT Rabbani Hypnofashion untuk merubah platform perusahaan ke pemasaran dengan menggunakan banyak model untuk memenangkan

kelompok domba tangkas Wanaraja dan domba tangkas Sukawening memiliki nilai terkecil yaitu 1,16, sedangkan nilai matriks jarak genetik yang lebih besar adalah antara kelompok

Sistem penghawaan buatan menggunakan AC pada bangunan apartment dapat diterapkan di semua ruang yang ada, namun sebagai penunjang konsep filosofi simbiosis, penggunaan AC

Tiga lembaga pemerintah seperti Kantor wilayah Departemen Sosial Republik Indonesia (aparat menteri sosial), Dinas Sosial Propinsi (aparat gubernur), dan Dinas Sosial

However, the result also shows that if L1 is used too much, the students would then perceive it would not be effective for students; they thought that it makes the students

Tesis yang berjudul ‘Efektivitas Guru Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Akhlak Mulia Peserta Didik di SMA GUPPI Salawati’ yang disusun oleh saudara Simin

orang siswa yang mencapai KKM yaitu 74 dan persentase ketuntasannya yaitu 15%.Dilihat dari hasil evaluasi yang tidak memenuhi tujuan tersebut, hal ini disebabkan oleh

Data hasil organoleptik mengenai rasa pada dangke peram dengan penambahan bakteri asam laktat ( Lactococcus lactis ) pada suhu pemeraman dan lama pemeraman yang