• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups. Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.

Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group. Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher body weight than control group and male pups of the treatment group had higher body weight than female pups of the treatment group.

(2)

LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus)

MUHAMMAD SOFYAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(4)

MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups. Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.

Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group. Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher body weight than control group and male pups of the treatment group had higher body weight than female pups of the treatment group.

(5)

MUHAMMAD SOFYAN. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.

Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan

berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan

ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan

stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di

daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango

di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng

sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan

populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur

dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,

bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa

Sekunang (Rahardjo et al. 2005).

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol

purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari

hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi. Pemberian ekstrak etanol purwoceng

pada induk laktasi diharapkan dapat menyebabkan sel-sel kelenjar ambing lebih aktif

berproliferasi dan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir

sampai dengan lepas sapih. Penelitian berlangsung mulai pada bulan April 2011

sampai dengan Agustus 2011. Enam tikus betina menyusui dibagi menjadi dua

kelompok; kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pencekokkan ekstrak etanol

purwoceng pada tikus betina laktasi dilakukan pada hari 1-21 masa laktasi. Penentuan

dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu

(Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus sebesar 300

g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc untuk 300 g

(6)

diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1989).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan tidak berbeda dari

bobot badan dari kelompok kontrol dan anak tikus jantan dari kelompok perlakuan

memiliki bobot badan yang tidak berbeda dari anak tikus betina dari kelompok

perlakuan.

(7)

©Hak Cipta milik IPB,tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus)

MUHAMMAD SOFYAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan

Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Nama : Muhammad Sofyan

NIM : B04070014

Disetujui,

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc Drs. Pudji Achmadi, M.Si

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan April β011 dengan mengambil judul “Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi

kepada:

1. Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs.

Pudji Achmadi, M.Si, sebagai dosen pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan nasehat

hingga tersusunnya karya ilmiah ini,

2. Ayahanda Muhammad Ali dan Ibunda Wa Ode Melati Ido atas segala perhatian,

kasih sayang, doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, serta

seluruh keluarga besar yang telah memberikan limpahan doa, kasih sayang dan

semangat,

3. Ibu Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc dan Bapak drh. Supratikno, M.Si,

PAVet yang telah bersedia menjadi dosen penilai dan moderator pada seminar

skripsi,

4. Ibu drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si

yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada ujian akhir sarjana dan atas

saran-saran yang telah diberikan,

5. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet, selaku dosen pembimbing akademik,

6. Pak Edi yang telah membantu di kandang hewan percobaan,

7. Teman sekelompok penelitian Julianto, SKH, Sandra Hapsari, SKH, Divo

Jondriatno, Meta Levi Kurnia, SKH dan Wisnugroho Agung Pribadi,

(11)

pendidikan,

10.Semua pihak yang membantu tersusunnya karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dikemudian hari untuk masyarakat

luas.

Bogor, Februari 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Oktober

1988 dari ayah Muhammad Ali dan ibu Wa ode Melati Ido. Penulis merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Kemaraya Barat Kendari

dan lulus tahun 2001. Pendidikan penulis dilanjutkan ke SLTP Negeri 2 Kendari

(2001-2004). Masa SMA penulis diselesaikan di SMA Negeri 4 Kendari dan lulus

tahun 2007 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah

(13)

DAFTAR ISI

Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan

yang Diberi purwoceng ………..

Pertambahan Bobot Badan Anak Betina

yang Diberi Purwoceng ………..

Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan

(14)

Saran ………...

DAFTAR PUSTAKA ……… LAMPIRAN ………..

27

28

32

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok

purwoceng dan kontrol ………

2. Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng …....………

3. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina dari induk yang dicekok purwoceng dan kontrol ………

21

22

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pimpinella alpinaKDS ……… 2. Tikus putih (Rattus norvegicus)galur Sprague Dawley ……….. 3. Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya ………

4. Struktur kimia estrogen dan flavonoid ………

5. Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan

jantan perlakuan ………... 4

6

13

17

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng ………

2. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-1 ……... 3. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-β ……... 4. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-γ ……... 5. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-1 ……... 6. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-β ……... 7. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-γ ……...

33

34

34

34

35

35

(18)

Latar Belakang

Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan

berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di Indonesia

telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai salah satu obat

alternatif untuk menyembuhkan penyakit atau untuk menjaga kesehatan tubuh

semakin meningkat. Hal ini disebabkan tanaman obat mudah didapat, harga relatif

murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan.

Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat

tersendiri. Masyarakat Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih

mempercayakan perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan

menggunakan tanaman obat.

Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan

berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan

ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan

stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di

daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango

di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng

sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan

populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur

dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,

bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa

Sekunang (Rahardjo et al. 2005).

Studi farmakologi terhadap purwoceng juga menjadi topik yang menarik

untuk diketahui. Data yang dihasilkan dapat menjadi acuan dalam penggunaannya

secara klinis bagi manusia. Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar

purwoceng pada tikus. Salah satu teknik yang digunakan oleh Caropeboka (1980)

(19)

purwoceng dalam minyak zaitun dengan dosis 20 mg-40 mg. Efek yang teramati

adalah adanya peningkatan bobot kelenjar prostat dan kelenjar seminalis secara nyata

dibandingkan dengan kontrol. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas

androgenik dari ekstrak akar purwoceng. Demikian juga ketika tikus betina tanpa

indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis

yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot uterus.

Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar

purwoceng. Kosin (1992) melakukan penelitian terhadap anak ayam jantan, hasilnya

adalah efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap peningkatan pertumbuhan

ukuran jengger.

Tikus sebagai hewan percobaan banyak digunakan dalam berbagai penelitian

karena siklus reproduksinya singkat, mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek,

murah dan mudah dipelihara. Tikus adalah hewan politokus dengan jumlah anak

antara 6-12 ekor tiap kali melahirkan (Harkness dan Wagner 1989). Pada penelitian

ini tikus dari galur Sprague Dawley digunakan dalam keadaan induk yang sedang laktasi untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan pada pertambahan bobot badan

anak setelah induk tikus tersebut diberi ekstrak purwoceng selama 21 hari laktasi.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa

purwoceng bersifat estrogenik. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 1-13 hari

dengan dosis 25 mg/300 g BB selama kebuntingan tikus putih cenderung

meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Hapsari 2011). Pemberian

ekstrak etanol purwoceng pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis yang sama

cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan

anak tikus putih (Kurnia 2011). Diasumsikan bahwa ada bahan aktif dalam

purwoceng yang dapat berperan seperti estrogen atau bersifat estrogenik. Estrogen

adalah hormon yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel (Ganong 2003).

Purwoceng yang diberikan pada tikus laktasi, diharapkan akan membuat sel-sel

kelenjar ambing menjadi lebih banyak yang berproliferasi sehingga lebih aktif dalam

(20)

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol

purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari

hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi.

Hipotesis Penelitian

Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi dapat menyebabkan

sel-sel kelenjar ambing lebih aktif berproliferasi dan berpengaruh terhadap

peningkatan bobot badan anak yang lahir sampai dengan lepas sapih.

Manfaat Penelitian

Data yang diperoleh dapat menjadi dasar untuk penelitian dibidang reproduksi

pada hewan politokus lainnya seperti babi, terutama diharapkan dapat bermanfaat

sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu hewan ternak maupun

(21)

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)

Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan

tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar

2000-3000 dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki

nama daerah berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput

dempo atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki

khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak.

Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Prajoko 2010)

Tjitrosoepomo (1994) mendiskripsikan purwoceng sebagai tumbuhan yang

temasuk terna dari suku Umbelliferae yang berumur pendek atau panjang. Batang

berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya

tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun

penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak

membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu

kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorfik atau sedikit zigomorfik, dan

berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung

(22)

merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan

mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua,

beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu tangkai biji yang bergantungan.

Tangkai putik berjumlah 2 dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium),

tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat

saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat

anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam

gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang

dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya

rambut-rambut lain yang bukan merupakan kelenjar.

Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan

saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, triterpenoid-steroid dan tannin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokuramin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1985), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2005). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang

dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa

sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.

Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman

Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar

purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid.

Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan

fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki

reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Tetapi afinitas

fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan

estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan

dengan reseptor estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid

merupakan antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang

(23)

senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan

neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor

estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya,

flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada

hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif

lemah (Balitro 2011).

Biologi Tikus Putih

Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus)galur Sprague Dawley (Tocang 2010)

Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan adalah hewan yang

sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna

mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala

penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus putih sudah sejak lama digunakan

sebagai hewan laboratorium untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan

kepentingan medis, embriologi, maupun tentang tingkah laku. Hal ini didasarkan

pada pertimbangan faktor ekonomis dan efisiensi. Tikus mempunyai bentuk

morfologis yang kecil sehingga ruangan pemeliharaan yang dibutuhkan relatif kecil,

mudah dalam penanganan, murah, mudah didapat dan cocok untuk penelitian jangka

(24)

Harkness dan Wagner (1989) menuliskan taksonomi tikus norwegia sebagai

Terdapat tiga galur tikus putih yang sudah dikembangkan sebagai hewan

percobaan yaitu Sprague Dawley, Wistar dan Long Evans. Sprague Dawley lebih

mudah dan cepat berkembangbiak, merupakan jenis tikus albino yang memiliki

kepala yang kecil dengan ekor yang lebih panjang dari badannya. Wistar mempunyai kepala yang lebar, telinga yang panjang dan ekor yang lebih pendek dari panjang

badan sedangkan Long Evans lebih kecil dari kedua galur lainnya, mempunyai bercak hitam pada bagian atas kepala dan di belakang leher (Veterinary Library 1996).

Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun, mencapai umur antara 2,5-3,5 tahun.

Bobot badan jantan dan betina dewasa berkisar masing-masing 450 g-520 g dan 250

g-300 g. Masa pubertas dapat dicapai pada umur 65-110 hari, baik pada jantan

maupun pada betina. Pada umur tersebut bobot badan tikus mencapai 250 g untuk

betina dan 300 g untuk jantan dan sudah dapat dikawinkan (Malole dan Pramono

1989). Tikus termasuk hewan poliestrus yaitu hewan yang berahinya lebih dari dua

(25)

estrus 12 jam setiap siklus. Periode siklus berahi pada tikus terdiri atas beberapa

tahap yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Harkness dan Wagner 1989).

Kebuntingan terjadi selama 21-23 hari dengan jumlah anak perkelahiran 6-12

ekor (Harkness dan Wagner 1989). Pada tikus jarang terjadi bunting semu

(Veterinary Library 1996). Sejak umur kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya

perubahan bentuk kelenjar susu (Malole dan Pramono 1989). Bobot lahir anak tikus

berkisar 5 g-6 g. Anak tikus disapih pada umur 21 hari dengan bobot badan sudah

mencapai 25 g-30 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu

Kelenjar Susu dan Laktasi

Pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah

anak, bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (Tuju 2001).

Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel

kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju

penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya

selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989).

Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu

Kelenjar susu dianggap homolog dengan kelenjar keringat karena keduanya

berasal dari kulit yang tumbuh kedalam. Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus.

Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang

disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus

laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik yaitu progesteron,

estradiol, laktogen plasenta, dan relaksin. Percabangan duktus laktiferus membentuk

ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveolar. Lapisan lobulo-alveolar

menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner

dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama

kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih

(26)

jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai

kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit

mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi.

Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena

dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun

pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti

lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Peacker 1982). Hurley (2000)

mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang

berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan

awal laktasi.

Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang

berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa

pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama,

sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang

dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik

diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik

sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar

susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi

pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan

lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat

dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen

plasenta. Progesteron berfungsi mengatur perkembangan lobolo-alveolar kelenjar

susu, estradiol berfungsi mengatur perkembangan pertumbuhan duktus kelenjar susu,

dan hormon laktogen plasenta dapat menguatkan efek dari hormon steroid yang

dihasilkan oleh ovarium dan hormon pituitari pada perkembangan kelenjar laktasi

selama kebuntingan (Fahey 1998).

Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48%

sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12%

pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan

(27)

Proses Pembentukan Susu

Alveolus terdiri dari selapis sel epitel membentuk suatu lumen. Lumen

tersebut dibungkus oleh jaringan mioepitel dan dikelilingi oleh suatu basement membrane yang terdiri atas jaringan ikat. Darah akan mengalir melalui stroma yakni

ruang inter-alveolar yang terdiri atas jaringan fibroblast, leukosit, sel adiposa, dan

jaringan ikat lain. Lobuli dibentuk dari beberapa alveolus. Beberapa lobuli akan

membentuk beberapa lobus (Hurley 2000).

Di lumen alveolus akan dibentuk susu yang diambil dari bahan-bahan asal

dari darah. Alveolus tempat pembentukan susu akan mengambil cairan dan

komponen darah dengan kemampuan daya selektif yakni keistimewaan memilih

bahan-bahan yang diperlukan serta mengubah bahan-bahan asal darah menjadi bahan

yang lain bentuknya. Susu akan keluar dari lumen epitel dengan cara terjadi ruptur

sel. Susu masuk ke lumen alveoli kemudian masuk ke dalam saluran-saluran halus.

Saluran halus dari tiap-tiap lobuli berkumpul untuk membentuk saluran yang lebih

besar dan akhirnya masuk ke dalam sisterna ambing. Sisterna ambing adalah suatu

ruangan yang berada di bawah kuartir. Selanjutnya susu dialirkan ke ruang puting

susu/kisterna puting. Ruangan akhir penampungan susu dihubungkan oleh sebuah

saluran menuju lubang puting susu. Lubang puting susu memiliki otot-otot sirkuler

yang berfungsi untuk membuka dan menutup lubang puting. Adanya rangsangan

saraf dan tekanan dalam ambing mengakibatkan otot sirkuler mengendur dan susu

dapat keluar (Hurley 2000).

Komponen-komponen susu terdiri dari protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan air. Prekursor protein susu adalah casein, -laktoglobulin, dan α -laktalbumin yang disintesis jaringan ambing. Serum albumin, immunoglobulin, dan

-casein diserap melalui darah. Lemak disintesis di jaringan ambing. Makanan

dengan kadar lemak yang rendah dapat menurunkan konsentrasi lemak dalam susu.

Laktosa merupakan karbohidrat terpenting yang ditemukan dalam susu. Laktosa

adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol galaktosa dan 1 mol glukosa dan hanya

ditemukan didalam susu. Laktosa disintesis di jaringan ambing diambil dari bahan

(28)

melaui darah dan disekresikan ke susu. Mineral yang terpenting di dalam susu adalah

Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang

peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas, karena

aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya

memang tinggi. Pada saat setelah partus, lepasnya plasenta dan kurang

berfungsinya korpus luteum, maka progesteron sangat berkurang, ditambah

lagi dengan adanya isapan anak yang merangsang puting susu dan payudara,

akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang befungsi sebagai reseptor

mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis

dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor

yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran

faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor yang memacu

sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga

keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk

membuat susu. Kadar prolaktin pada induk betina yang menyusui akan

menjadi normal saat penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada

peningkatan prolaktin walaupun ada isapan anak, namun pengeluaran susu

tetap berlangsung. Pada induk betina yang menyusui, prolaktin akan

meningkat dalam keadaan-keadaan seperti: penurunan stres, anastesi, operasi,

rangsangan puting susu, kopulasi, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti

reserpin; klorpromazin; fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang

menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi yang jelek dan obat-obatan

(29)

2. Refleks let down (milk ejection reflex).

Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise,

rangsangan yang berasal dari isapan anak ada yang dilanjutkan ke

neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin.

Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus yang dapat

menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ

tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel

mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat

dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang untuk selanjutnya mengalir

melalui duktus laktiferus masuk ke mulut anak. Faktor-faktor yang

meningkatkan refleks let down adalah: melihat anak, mendengarkan suara anak dan mencium bayi. Faktor-faktor yang menghambat refleks let down adalah stres seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan cemas. Bila ada

stres dari induk betina yang menyusui maka akan terjadi suatu blokade dari

refleks let down. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin

(epinefrin) yang menyebabkan vasokontraksi dari pembuluh darah alveoli,

sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat mencapai target organ

mioepitelium (Cowie 1980).

Hormon Steroid

Hormon steroid merupakan turunan dari kolesterol. Selain vitamin D, semua

turunan kolesterol memiliki struktur dasar yang sama yaitu cincin

siklopentanoperhidrofenantrena dengan sistem penomoran yang sama dengan

kolesterol. Penurunan kolesterol (C27) menjadi berbagai jenis hormon steroid diawali

dengan reaksi yang menghasilkan suatu senyawa isokaproaldehida (C6) dan

pregnenolon (C21). Berdasarkan jumlah atom karbonnya hormon steroid

dikelompokkan menjadi tiga yaitu pregnan (C21), androstan (C19), dan estran (C18)

(30)

Androstan Pregnan Estran

Gambar 3 Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)

Devlin (1993) diacu dalam Ibrahim (2001), menyatakan bahwa hormon

steroid di bagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seksual

(testosteron, estrogen, dan progesteron). Sedangkan King (2004) membagi steroid

menurut asalnya yaitu hormon steroid adrenal dan steroid gonadal. Korteks adrenal

bertanggung jawab dalam memproduksi tiga kelas utama hormon-hormon steroid

yaitu : 1) glukokortikoid, yang meregulasi metabolisme karbohidrat, 2)

mineralokortikoid, yang meregulasi kadar Na dan K dalam tubuh, 3) androgen, yang

memiliki fungsi serupa dengan steroid yang dihasilkan dari gonad jantan.

Ketidaktersediaan hormon-hormon adrenal disebut penyakit Addison, dan bila tidak

diberikan hormon steroid pengganti akan menyebabkan kematian. Hormon steroid

adrenal adalah deoksikortisol, kortisol (glukokortikoid), aldosteron

(mineralokortikoid), androstenedion, dan dehidroepiandrosteron (DHEA). Steroid

gonadal diproduksi oleh testis dan ovari, dua steroid yang utama adalah testosteron

dan estradiol.

Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal,

dan kemungkinan juga dari plasenta. Terdapat lima senyawa androgen yang penting yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆4

-androstene-3, 17-dion; testosteron; 11

-hidroksi-∆4-androsten-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif

adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis

sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 1γ-16 μg testosteron

(31)

Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi

kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi

menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa

perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig

akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses

pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya

steroid binding globulin( -globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah

berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk

ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat

bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984).

Hormon steroid seksual terdiri dari testosteron, estrogen dan progesteron

(Ibrahim 2001). Hormon testosteron berfungsi sebagai hormon seksual pada jantan.

Hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual pada betina yang juga

berfungsi merawat kebuntingan dan menstimulasi perkembangan kelenjar susu

(Ganong 2003). Hormon estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina,

dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel

teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen disekresikan mulai dari proses

perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan

berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah

menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi oleh FSH. Ada γ bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17 -estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984).

Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama terutama sebagai

(32)

kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini

menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder

pada wanita, seperti payudara, dan juga terlihat dalam penebalan endometrium

maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai

berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, diantaranya hot flash,

berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Anwar 2001). Unit

lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda sangat responsif

dengan estrogen. Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan

diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris,

dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Estrogen juga menghasilkan

efek seperti histamin pada mikrosirkulasi ambing. Densitas reseptor estrogen pada

jaringan payudara sangat tinggi pada fase folikuler dari siklus menstruasi dan

menurun setelah ovulasi. Estrogen menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker ambing.

Pada wanita-wanita postmenopause dengan kanker ambing, konsentrasi estradiol

tumor tinggi, karena aromatisasi in situ, meskipun adanya konsentrasi estradiol serum yang rendah (Guyton 1994).

Hormon estrogen disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel

ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Jalur biosintesis yang melibatkan hormon

androgen dan juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi.

Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion

menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna

mempunyai banyak reseptor LH. LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan

kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol

yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion

pada sel granulosa. Sel granulosa membuat estradiol bila mendapat rangsangan dari

androgen dan disekresikan dalam cairan folikel. Sel granulosa memiliki banyak

reseptor FSH untuk meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dengan bekerja

melalui cAMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga

memiliki reseptor LH yang kemudian akan merangsang pembentukan estradiol

(33)

Fitoestrogen

Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis tumbuh-tumbuhan yang

merupakan senyawa non-steroidal mempunyai aktivitas estrogenik atau

dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu

substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus

bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis

dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus –OH/hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A° pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A° dan gugus –OH inilah yang

menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni

memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Tsourounis

2004). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan

reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat

rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut

Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman

antara lain:

Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti

tempe, tahu, dan tauco.

Lignane pada biji gandum dan wijen.

Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari.

Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (black cohosh) tumbuh di

hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menjadi produk obat

menopause.

 Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti

flavones, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.

Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid.

Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur

kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk

(34)

sistem aromatik yang terkonjugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada

tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau

dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan

menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer

dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin,

proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan

isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek

estrogenik, karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen.

Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang

mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia.

Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid.

Estrogen Flavonoid

Gambar 4 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)

Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE), di dalam tubuh ada dua reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (RE ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, adrenal, dan payudara. Sedangkan reseptor estrogen terdapat di ovarium, prostat,

paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).

(35)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan April 2011 sampai dengan bulan

Agustus 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan

Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan – IPB.

Alat dan Bahan

Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang terdiri atas tikus betina yang telah dewasa kelamin sebanyak 6 ekor

dengan berat badan berkisar antara 150 g-200 g dan tikus jantan yang telah dewasa

kelamin sebanyak 6 ekor dengan berat badan berkisar antara 350 g-400 g. Bahan lain

yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0.9%, kertas saring Whatman no 42,

etanol 70%, akuades, dan ekstrak purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus,

erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa

vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton buds, dan timbangan analitis.

Persiapan Purwoceng

Bagian akar purwoceng dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu

tidak melebihi 50˚C). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis

-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat serbuk

(simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak

350 g direndam dalam 3,5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2

(36)

ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5

etanol 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan

ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlenmeyer ukuran 5

l, kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan

menggunakan Rotary Evaporator (Rotavapor) Buchi dengan suhu 48˚C dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm, selanjutnya ekstrak kering

diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering selanjutnya disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan

akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang

didapatkan dari 350 g simplisia adalah sejumlah 95 g. Ekstrak kering ini kemudian

dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades atau 50

mg/cc.

Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng

Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian

terdahulu (Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus

sebesar 300 g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc

untuk 300 g tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc).

Persiapan Hewan Percobaan

Tikus percobaan diadaptasikan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan tikus betina

bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan

betina dalam satu kandang. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan

vagina dan pada umumnya tikus telah bunting, sehingga tercatat sebagai hari pertama

kebuntingan (H1). Kemudian tikus bunting dipelihara hingga partus dan laktasi

selama 21 hari.

Pemeliharaan tikus laktasi dilakukan di dalam kandang hewan individu yang

terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm (panjang × lebar × tinggi) dan

(37)

ditempatkan dalam satu kandang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum.

Penggantian sekam minimal dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 3 hari

sekali.

Perlakuan Hewan

Kelompok tikus laktasi : 6 ekor tikus betina digunakan dalam penelitian ini

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:

A: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang tidak diberi perlakuan.

B: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang dicekok purwoceng pada umur

laktasi 1-21 hari.

Tahapan yang dilakukan adalah:

1. Perkawinan

Proses perkawinan dilakukan dengan cara meletakkan betina dan jantan dalam

satu kandang selama 1-7 hari. Betina yang telah dikawinkan dan diketahui

bunting melalui tes swab vagina, dipisahkan pada kandang tersendiri dan merawatnya selama 21-22 hari.

2. Kelahiran

Menghitung jumlah total anak keseluruhan, menghitung jumlah total anak betina,

dan menghitung jumlah total anak jantan.

3. Laktasi

Pada saat laktasi, induk perlakuan dicekoki ekstrak purwoceng selama 21 hari,

serta menimbang anak dari induk perlakuan maupun kontrol untuk mengetahui

perkembangan dari bobot badannya.

Parameter Percobaan

Masing-masing kelompok ditimbang bobot badan anaknya selama 21 hari

masa laktasi untuk dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk kemudian

dibandingkan antar kelompok. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan yang Diberi purwoceng

Sejumlah 14 ekor anak tikus jantan dari 3 ekor induk yang dicekok ekstrak

etanol purwoceng dibandingkan bobot badannya dengan 12 ekor anak jantan dari 3

ekor induk tikus kontrol yang tidak diberi purwoceng. Hasil yang diperoleh adalah

bahwa pertambahan bobot badan tikus jantan yang induknya diberi ekstrak etanol

purwoceng selama 21 hari masa laktasi tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan

pertambahan bobot badan tikus anak tikus kontrol. Rataan pertambahan bobot

badan anak tikus jantan tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok purwoceng dan kontrol.

Induk Σ anak Tikus Jantan

Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan (g) Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol

A 6 3 4.65 2.56 10.05 7.60 16.77 11.66

B 4 3 4.40 4.57 11.30 14.67 22.65 24.84

C 4 6 3.50 2.40 9.80 6.78 15.15 14.29

Rata-rata 4.18±0.60 3.18±1.21 10.38±0.80 9.68±4.34 18.19±3.95 16.93±6.98 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.

Berdasarkan tabel 1 tersebut memberikan gambaran bahwa pemberian

purwoceng tidak mempengaruhi bobot badan jantan anak tikus. Jumlah anak yang

berbeda disetiap induknya kemungkinan menjadi faktor penyebab rataan bobot badan

anak jantan yang tidak berbeda antara perlakuan dan kontrol. Rataan bobot badan

anak jantan perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, kecuali

untuk induk B rataan bobot badan anak jantan perlakuan lebih rendah dibandingkan

dengan anak jantan kontrol (untuk setiap minggunya). Hal ini disebabkan jumlah

anak keseluruhan untuk induk B perlakuan lebih banyak dibandingkan dengan

kontrol. Purwoceng mengandung zat fitoestrogen yang bersifat estrogenik.

Fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan

senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme

(39)

Hasil uji fitokimia dengan metode kualitatif dari kandungan ekstrak akar purwoceng

yang di pakai pada penelitian ini tertera pada Tabel 2 (Balitro 2011):

Tabel 2 Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng

Zat yang terkandung pada akar

Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat

dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar purwoceng

adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid. Flavanoid,

alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan fitoestrogen

yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki reseptor

estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Afinitas fitoestrogen

terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen.

Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan dengan reseptor

estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid merupakan

antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang terdiri atas 15

atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari senyawa

polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan

neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor

estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya,

flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada

hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif

lemah (Balitro 2011). Bahan-bahan yang ada pada purwoceng ini diduga bersifat

estrogenik, maka diduga bahwa purwoceng dapat mempengaruhi kondisi ambing

(40)

Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus. Lobus yang satu dengan lobus

yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang disebut stroma. Tiap lobus

terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus laktiferus. Percabangan

duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik. Percabangan duktus laktiferus

membentuk ranting-ranting terminal yang disebut alveola. Lapisan

lobulo-alveolar menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi

(Turner dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa

selama kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan

lebih banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas

dibandingkan jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium

fetus sampai kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa

hanya sedikit mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi.

Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena

dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun

pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti

lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Parker 1982). Hurley (2000)

mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang

berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan

awal laktasi. Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih

kurang berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki

masa pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus

pertama, sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh

umumnya yang dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan

allometrik diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan

isometrik sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada

kelenjar susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi

pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan

lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat

dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen

(41)

flavonoid diduga dan diharapkan turut berperan seperti estrogen endogen di dalam

tubuh yang dapat merangsang peningkatan pertumbuhan duktus pada kelenjar susu

selama laktasi.

Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48%

sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12%

pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan

sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).

Pertambahan Bobot Badan Anak Betina yang Diberi Purwoceng

Pertambahan bobot badan dari 10 ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk

yang dicekok ekstrak etanol purwoceng dibandingkan dengan pertambahan bobot

badan dari 11ekor anak tikus betina dari 3 ekor induk kontrol yang tidak diberi

perlakuan, Pertambahan bobot badan anak betina pada kelompok tikus yang diberi

purwoceng secara umum cenderung tidak berbeda dibandingkan dengan pertambahan

bobot anak betina tikus kontrol. Hasil analisa statistik yang didapat tidak berbeda

nyata antara kelompok tikus perlakuan dengan kontrol (p>0.05). Rataan pertambahan

bobot badan anak tikus betina tiap minggu selama 21 hari disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina yang dicekok purwoceng dan kontrol.

Induk Σ anak tikus betina

Rataan Pertambahan Bobot Badan Anak Betina (g) Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3 Perlakuan Kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol

A 2 4 3.75 3.02 9.50 8.35 14.93 13.15

B 5 3 3.96 5.63 10.02 14.33 19.68 23.43

C 3 4 3.60 2.15 9.73 6.35 16.23 12.64

Rata-rata 3.77±0.18 3.60±1.18 9.75±0.26 9.68±4.15 16.95±2.45 16.41±6.09 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5%.

Rataan bobot badan anak betina perlakuan cenderung lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol, kecuali untuk induk B rataan bobot badan anak betina

perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan anak betina kontrol (untuk setiap

minggunya). Hal ini disebabkan jumlah anak keseluruhan untuk induk B perlakuan

lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Menurut Tuju (2001) pertumbuhan dan

(42)

tingkat produksi susu induk selama laktasi. Produksi susu induk selama laktasi

dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode

kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar

serta kelengkapan perangkat sintesisnya selama laktasi, dan laju involusi sel-sel

kelenjar (Wilde dan Knight 1989). Jumlah anak yang berbeda setiap induk

merupakan faktor penyebab dari rataan bobot badan anak betina yang tidak

menampakkan perbedaan.

Fitoestrogen yang terkandung pada ekstrak etanol purwoceng pada induk

laktasi memberikan peningkatan terhadap hormon estrogen. Menurut Ganong (1994),

Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi saluran

epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi

pertumbuhan jaringan penyambung. Semakin aktifnya pertumbuhan dan diferensiasi

pada duktus kelenjar mamae akan meningkatkan produksi susu pada induk laktasi.

Menurut Forbes (1992), estrogen di dalam plasma dapat meningkatkan metabolisme

lemak di dalam jaringan adiposa. Di dalam jaringan adiposa terdapat reseptor

estrogen, sehingga estrogen dapat berperan dalam peningkatan metabolisme lemak.

Meningkatnya produksi susu pada jaringan ambing induk laktasi dan kemungkinan

meningkatnya konsentrasi estrogen pada jaringan adiposa anak tikus betina akan

menambah bobot badan anak tikus betina seperti yang terjadi pada anak tikus jantan.

Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan Jantan yang Diberikan Purwoceng Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi terhadap

peningkatan bobot badan anak jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 5.

(43)

Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal,

dan kemungkinan juga dari plasenta. terdapat lima senyawa androgen yang penting yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆4

-androstene-3, 17-dion; testosterone; 11

-hidroksi-∆4-androstene-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif

adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis

sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 1γ-16 μg

testosteron. Peningkatan sintesis protein di dalam tubuh dapat meningkatkan bobot

badan tubuh. Meningkatnya produksi susu pada induk laktasi yang diberi purwoceng

ditambah dengan efek anabolik hormon androgenik yang dikandung purwoceng

menyebabkan bobot badan jantan lebih tinggi dari bobot badan betina.

Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi

kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi

menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa

perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig

akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses

pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya

steroid binding globulin( -globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya

rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah

berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk

ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat

bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984).

Menurut Rudiono (2005) pemberian hormon testosteron pada kambing kacang

betina dengan dosis 0.77 mg/kg BB/hari pada umur 7-9 bulan memberikan hasil

terbaik dan mampu meningkatkan ukuran fibril otot longisimus dorsi, otot rectus femoris, dan luas mata rusuk, namun tidak meningkatkan bobot otot-otot tersebut. Pemberian hormon testosteron secara berlebih, yakni sampai dengan 2.31 mg/kg

BB/hari, tidak mampu memberikan respon positif terhadap perkembangan otot.

Kemungkinan hal tersebut terjadi karena testosteron mampu merangsang peningkatan

(44)

optimal. Selanjutnya GH memacu pembentukan jaringan otot melalui peningkatan

(45)

PENUTUP

Simpulan

1. Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi

tidak berbeda dengan bobot badan anak tikus kontrol.

2. Bobot badan anak jantan tidak berbeda dengan bobot badan anak betina yang

induk dari keduanya diberi ekstrak etanol purwoceng selama 21 hari laktasi.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian efek ekstrak etanol purwoceng dengan dosis optimum

yang efektif diberikan, serta perlu adanya penambahan jumlah sampel tikus untuk

mendapatkan data statistik yang lebih akurat.

2. Perlu dilakukan penelitian pemberian ekstrak etanol purwoceng pada tikus

bunting untuk membandingkan hasil dari pemberian ekstrak etanol purwoceng

pada tikus laktasi.

3. Perlu dilakukan penelitian tentang efek pemberian ekstrak etanol purwoceng

(46)

Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada seminar setengah hari “Menguak Manfaat herbal

bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta, 13 Oktober 2001. Hlm 8.

[BALITRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Laporan Hasil Uji Fitokimia Purwoceng. Bogor.

Barnes S, Kim H. 1998. Soy isoflavone, estrogens and growth factor signaling. The soy connection news letter Vol 6. http://www.soyfoods.com/nutrition/isoflavone.html. [27 Oktober 2004]

Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 73 hlm.

Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina (Purwoceng). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I. Bogor, 8-9 Desember 1975. Bogor: Bagian Farmakologi-Dept. Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-IPB. Hlm 153-158.

Cowie AT. 1980. The Mammary Gland and Lactation. London: William Heinemann Medical Book.

Fahey TD. 1998. Anabolic androgenic steroid: mechanism of action and effect on performance. http://www.sportsci.org/encyc. [3 Maret 2011]

Forbes JM. 1992. Effects of estradiol 17p on voluntary food intake in sheep and goats. J. Endocrinol. 52:viii.

Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Edisi ke-7. Jakarta: EGC.

Hapsari S. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian bogor.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Harkness JE, Wagner JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. 3rd Ed. Lea and Febiger. Philadelphia.

(47)

Hurley WL. 2000. Lactation biology ANSCI 308. http//www.classes.acces.uiuc.edu/AnSci308/index.html. [24 April 2011].

Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut, Discodoris sp. [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd Ed. London and Beccles: William Clowes limited.

King MW. 2004. Steroid hormones. http://web.indstate.edu/thcme/mwking. [8 Maret 2011]. Knight W, Peacker M. 1982. Development of The Mammary Gland. J. Reprod. Fert. 65:

521-536.

Kosin AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina Molk. (Purwoceng) terhadap anak ayam jantan [skripsi]. Bogor: Universitas Pakuan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Biologi.

Kurnia ML. 2011. Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus Putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Malole MBM, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Laboratorium.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prajoko S. 2010. Purwoceng, the viagra of java.

http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2010/11/20/purwoceng-the-viagra-of-java/. [10 Maret 2011].

Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuhan tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan

MOLK.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII; Bogor, 15-16 September 2005.

Rostiana O et.al. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan teknis Penelitian Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003/2004. Bogor: Balitro.

(48)

Sidik, Sasongko, Kurnia E dan Ursula. 1985. Usaha isolasi turunan kumara dari akar purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I. Bogor.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of Experimental Animals for Research in the Tropics International Development Program of Australia Universities and College (IDP). Canberra.

Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistik. B. Sumantri, penerjemah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosterone, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague dawley [tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro.

Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan.Yogyakarta: Universitas gajah Mada Press. 447 hlm.

Tocang. 2010. Agen tikus putih. http://tocang.blogspot.com/2010/07/agen-tikus-putih.html. [10 Maret 2011].

Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetricts and Gynecology. J. dairy Sci. 44 (4): 836-42

Tucker HA. 1987. Quantitative stimate of mammary growth during various physiological states: A review. J. dairy Sci. 70: 1958-1966.

Tuju EA. 2001. Peningkatan sekresi hormon kebuntingan melalui superovulasi untuk meningkatan efesiensi reproduksi pada tikus putih. Disajikan pada Seminar Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Turner CD, Bagnara JT. 1995. Endokrinologi Umum. Harsojo, penerjemah; Surabaya: Universitas Airlangga. 746 hlm.

Veterinary Library. 1996. The labrotary rat. http://www.animalz.co.nz/library/small pet/rats.html. [9 Februari 2011].

Gambar

Gambar 3  Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)
Gambar 4  Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)
Gambar 3  Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)
Gambar 4  Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)

Referensi

Dokumen terkait

Tahun 2007 penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Bogor, lalu pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Operator mesin yang merasa puas dengan gaji atau upahnya (pay), dimana operator menilai bahwa jumlah gaji atau upah yang diberikan perusahaan sesuai dengan kinerja yang ia

Maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah (1) Guru seni musik dapat menggunakan media iringan MIDI dalam proses pembelajaran vokal untuk meningkatkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap remaja tentang keamanan makanan jajanan antara sebelum dan sesudah pendidikan dengan media

CEO transformational leadership and the new product development process: The mediating roles of organizational learning and innovation culture.. Seen Yu Ng, Garib Singh SK.,

[r]

(dalam Pinkus, 2009:14) menjelaskan iklim sekolah sebagai kualitas dan karakter dari kehidupan sekolah, berdasarkan pola perilaku siswa, orang tua dan pengalaman

Untuk mewujudkan semua hal ini, maka dibutuhkan suatu ilmu yang mempelajari cara-cara, pola maupun sistem serta kondisi dan lingkungan yang terkait dengan proses