• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi Bahaya Longsor Dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor Di Wilayah Das Kali Bekasi Bagian Hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prediksi Bahaya Longsor Dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor Di Wilayah Das Kali Bekasi Bagian Hulu"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH DAS KALI BEKASI BAGIAN HULU

BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK

A153110021

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Boanerges Silvanus Dearari Damanik

(3)

dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu. Dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KUKUH MURTILAKSONO.

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geomorfologi yang disebut dengan mass wasting atau mass movement, yaitu suatu perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah oleh pengaruh gaya gravitasi. Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh bahaya tanah longsor dapat melahirkan suatu bencana, maka penelitian tentang longsor sangat diperlukan. DAS Kali Bekasi merupakan salah satu DAS yang hanya memiliki tutupan hutan seluas 4 %, sedangkan penggunaan lahan tegalan cukup dominan. Dengan demikian masalah ekologi DAS perlu diperhatikan, terutama bahaya longsor untuk daerah hulu.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi titik-titik longsor di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan satuan lahan, (2) memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan AHP, dan (3) mengetahui faktor-faktor penyebab utama longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pembobotan statistik.

Metode yang digunakan untuk identifikasi titik longsor mengacu pada jenis satuan lahan yang ada, dimana setiap satu jenis satuan lahan terwakili untuk diobservasi. Adapun untuk memprediksi persebaran spasial bahaya longsor digunakan metode skor dan pembobotan dengan pendekatan AHP dan juga pembobotan secara statistik dengan regresi berganda (multiple regression). Parameter yang digunakan untuk menilai bahaya longsor adalah kemiringan lereng, gangguan (pemotongan) lereng, curah hujan, penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan geologi/jenis batuan. Selanjutnya bahaya longsor dari hasil analisis dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu kelas rendah, sedang, dan tinggi. Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor utama penyebab longsor adalah dengan analisis statistika regresi logistik ordinal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa titik longsor ditemukan di 42 titik, baik ukuran besar/kecil, dengan tipe utama earthflow dan sebagian slide. Hasil analisis untuk memprediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi oleh satuan-satuan lahan yang mempunyai tingkat bahaya longsor ringan seluas 39,49%, tingkat bahaya tinggi

seluas 32,21%, dan tingkat bahaya sedang seluas 27,54%, sedangkan dengan pembobotan statistik, luasan terbesar berada pada tingkat bahaya longsor tinggi

seluas 43,13%, tingkat bahaya sedang seluas 38,21%, dan tingkat bahaya ringan

sebesar 18,66%. Pola persebaran masing-masing kelas bahaya longsor agak berbeda dari kedua metode tersebut, namun secara kualitatif (yang didasarkan pada hasil obsevasi lapangan) hasil dari metode AHP tampak lebih mirip dengan kondisi lapangan.

(4)

peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat setempat sangat diperlukan dalam program mitigasi bencana.

(5)

BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK. Landslide Prone Area Prediction and The Assessment of Its Main Causes, a Case Study for The Upstream Part of Kali Bekasi Watershed. Supervised by BOEDI TJAHJONO dan KUKUH MURTILAKSONO.

Landslide is an example of geomorphological process called mass wasting or mass movement, i.e the displacement of the rock mass, regolith, and soil from a higher place to a lower place by the influence of gravity. Given the impact of the landslide can create a disaster, the research of the landslide is very necessary. The forest cover of Kali Bekasi watershed is only about 4%, while the moor is quite dominant. Thus watershed ecological problems need to be considered, especially for landslides on the upstream.

The objectives of this study were (1) to identify the events of landslides on Kali Bekasi watershed using land units approach, (2) to predict the spatial distribution of landslide hazard areas in the upstream part of Kali Bekasi watershed using AHP approach, and (3) to know of its main causes and to predict the spatial distribution of landslide hazard by statistical weighting.

The method used to identify the points of landslides refers to the type of land units, each of which represented one type of land units for observation. The method used to predict the spatial distribution of landslide hazards were scoring and weighting with an AHP approach and statistical weighting with multiple regression. For this purpose, six factors were recognized as elements of landslide causes, which is slope, slope disruption, rainfall, land cover, the depth of lithology -weathering, and geology. Furthermore, the danger of landslides from the analysis were divided into three classes, low, medium, and high. The method used to determine the main factors for the landslide is the ordinal logistic regression.

Landslides found in the study area were 42 point, both the size of large / small, with main types were earthflow and some slides. Landslide hazards with AHP approach indicates that the study area is dominated by land units with a low landslide hazards level of with an area of 39,49%, high level hazard (32,21%), and the medium level witn an area of 27,54%, while with statistical approach indicated that the study area is dominated by high landslide hazards level with an area of 43,13%, the medium landslide hazard level (38,21%), and the rate of low hazard level is 18,66% . Distribution pattern of each classes of landslide hazards were a little different from both methods, but qualitatively (based on the results of field observation) the results of AHP method is more similar to the field conditions.

(6)
(7)

© Hak cipta IPB, tahun 2015

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(8)

BEKASI BAGIAN HULU

BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(9)
(10)

NRP : A153110021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(11)

melimpahkan kasih dan anugerah-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu” ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan Juni tahun 2015 di wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu, yang memiliki karakteristik fisik lahan yang berpotensi untuk terjadinya bancana longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan satuan lahan, dan mengetahui faktor utama penyebab longsor di daerah penelitian.

Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang sebagian dapat kami sebutkan, yaitu:

1. Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc dan Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS selaku komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud. 2. Dr. Ir. Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.

3. Seluruh staf pengajar PS MBK IPB yang sedari awal memberikan curahan ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi manusia yang lebih baik.

4. Teman-teman PS MBK IPB angkatan 2011: Siti Hadjar Kubangun dan Nina Widiana Darodjati. Semoga persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita berada.

5. Seluruh staf akademik dan administrasi PS MBK yang telah banyak membantu dalam kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis. 6. Semua teman-teman Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial,

Rani, Mba Reni, Miranti, Alwan, Fatma, Diah, Nurul, yang sudah membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan tesis ini sampai selesai. Dan juga kepada Ria dan Ega yang sudah membantu memberikan data untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Papa, mama, kak Ira, dan bang Indra yang selalu mendorong, memberikan nasehat dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Bogor, September 2015

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

2 TINJUAN PUSTAKA ... 3

Tanah Longsor ... 3

Penyebab Tanah Longsor ... 3

Lereng ... 3

Tekstur dan Jenis Tanah ... 4

Curah Hujan ... 4

Penggunaan Lahan ... 4

Getaran ... 4

Material Timbunan pada Tebing... 5

Bekas Longsoran Lama ... 5

Penggundulan Hutan ... 5

Daerah Pembuangan Sampah ... 5

Bahaya Tanah Longsor ... 5

Mitigasi Bencana Tanah longsor ... 6

Aplikasi SIG dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor ... 7

Penelitian-penelitian tentang Longsor Sebelumnya ... 8

Daerah Aliran Sungai ... 8

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 9

Lokasi dan Waktu ... 9

Peralatan Penelitian ... 9

(13)

Data primer ... 10

Data sekunder ... 11

Metode Analisis ... 11

Tahapan Penelitian ... 12

Tahap Persiapan ... 12

Tahap Pengolahan Data ... 13

Tahap Kerja Lapangan ... 15

Tahap Analisis Data Akhir ... 15

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 16

Letak Geografis dan Administratif ... 16

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian ... 17

Kemiringan Lereng ... 17

Curah Hujan ... 18

Geologi ... 19

Bentuklahan ... 20

Penutupan Lahan ... 22

Gangguan Lereng ... 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Peta Satuan Lahan (Land Unit) Daerah Penelitian ... 24

Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan ... 25

Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi ... 27

Penilaian Bahaya Longsor dengan AHP ... 28

a. Kriteria dan Parameter Pembentuk Longsor ... 28

b. Prediksi Bahaya Longsor dengan Pendekatan AHP ... 30

Persebaran Titik Longsor pada Daerah Bahaya Longsor dan Kecamatan ... 34

Distribusi Kawasan Bahaya Longsor Berdasarkan Wilayah Administratif ... 33

Hubungan Bahaya Longsor dan Bentuklahan (Landform) ... 37

Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor dengan Pendekatan Statistik ... 37

Prediksi Longsor dengan Pembobotan Secara Statistik ... 38

Mitigasi Bencana Longsor di DAS Kali Bekasi Bagian Hulu ... 40

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 42

(14)

Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46

DAFTAR TABEL

1 Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode ... 12

2 Skor interval bahaya longsor ... 14

3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor ... 15

4 Luas kecamatan di wilayah penelitian ... 16

5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian ... 17

6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian ... 19

7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu ... 20

8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu ... 22

9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu ... 24

10Jumlah kejadian titik longsor berdasarkan kecamatan ... 27

11Bobot masing-masing parameter pembentuk longsor ... 28

12Bobot dan skor parameter kemiringan lereng ... 28

13Bobot dan skor parameter gangguan lereng ... 29

14Bobot dan skor parameter curah hujan ... 29

15Bobot dan skor parameter penutupan lahan ... 29

16Bobot dan skor parameter kedalaman pelapukan batuan ... 30

17Bobot dan skor geologi ... 30

18Klasifikasi tingkat bahaya longsor ... 31

19bahaya longsor berdasarkan kecamatan ... 33

20Sebaran titik kejadian longsor di wilayah penelitian ... 34

21Sebaran luas tingkat bahaya longsor dengan bentuklahan ... 37

22Derajat hubungan antara variabel tingkat bencana longsor di lapangan ... 38

23Parameter dan bobot dengan pendekatan statistika ... 39

24Sebaran luasan tingkat bahaya longsor dengan pendekatan statistik ... 39

25Sebaran titik kejadian longsor dengan pendekatan statistika ... 39

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian ... 10

2 Lokasi administratif wilayah penelitian ... 17

3 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian ... 18

4 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian ... 19

5 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian ... 20

(15)

7 Landform pegunungan di daerah penelitian ... 22

8 Landform perbukitan di daerah penelitian ... 22

9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian ... 23

10Peta gangguan lereng di wilayah penelitian ... 24

11Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang ... 25

12Peta titik observasi di wilayah penelitian ... 26

13Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian ... 27

14Peta sebaran prediksi bahaya longsor di wilayah penelitian ... 31

15Peta titik kejadian longsor di lapangan ... 33

16Terasering yang dijumpai di wilayah penelitian di Desa Tajur, Kecamatan Citeureup ... 35

17Bangunan bronjong untuk menahan lereng di Desa Hambalang ... 35

18(a) Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Hambalang, (b) earth flow di Desa Karang Tengah ... 36

19Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Cijayanti ... 36

20Longsor tipe slide yang dijumpai di Desa Cijayanti ... 37

21Prediksi bahaya longsor dengan pendekatan statistika ... 40

22Papan peringatan yang ditemui di daerah penelitian ... 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner AHP ... 47

2 Bentuklahan daerah penelitian ... 53

(16)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terbentuk oleh pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dinamika lempeng yang cukup intensif telah membentuk permukaan bumi yang bervariasi, mulai dari permukaan yang landai hingga pegunungan dengan lereng-lereng yang curam. Topografi yang bervariasi seperti itu ditambah dengan variasi kondisi geologis, geomorfologis dan klimatologis, maka Indonesia selalu berhadapan dengan bencana alam (Sadisun 2005).

Pada tahun 2009 di Indonesia telah terjadi 644 kejadian bencana alam dimana sekitar 81,5% atau 517 kejadian merupakan bencana hidrometerologi (BNPB 2011). Jenis bencana ini meliputi banjir, kekeringan, tanah longsor, angin puting beliung, dan gelombang pasang. Bencana hidrometerologi ini terjadi rata-rata hampir 70% dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, perubahan penggunaan lahan, dan meningkatnya jumlah penduduk merupakan faktor-faktor utama ancaman bencana di Indonesia dan telah menimbulkan korban jiwa serta kerugian yang besar (Utomo 2013).

Bencana longsor terjadi di Indonesia terutama di musim hujan. Longsor berskala kecil memang tidak sehebat peristiwa gempa bumi, tsunami maupun letusan gunungapi, sehingga perhatian orang pada masalah longsor umumnya tidak terlalu besar dan bahayanya sering kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan (Sugiharyanto et al. 2009).

Di Indonesia lokasi-lokasi penting bencana longsor berjumlah setidaknya 918 lokasi dan setiap tahunnya bisa menimbulkan kerugian yang mencapai ratusan miliar serta mengancam sekitar satu juta jiwa manusia (Nandi, 2007). Seperti halnya banjir, peristiwa tanah longsor juga dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan perubahan musim yang ditandai dengan tingginya curah hujan serta berlokasi di daerah-daerah yang berlereng terjal.

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor karena sebagian besar topografi wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan. Faktor lainnya adalah kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang relatif masih rendah serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik (Utomo 2008). Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah Jawa Barat yang tergolong rawan bencana longsor dengan alasan topografi yang sama dan dikenal mempunyai curah hujan yang tinggi. Selain itu perubahan penggunaan lahan juga relatif dinamis di wilayah ini yang berada di beberapa daerah aliran sungai (DAS).

(17)

karena titik-titik longsor yang sudah lama atau pun yang baru tidak dapat dengan mudah teridentifikasi bilamana tertutupi oleh vegetasi yang lebat (Ardizzone et.al, 2002).

Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan database daerah potensi longsor hingga pembuatan peta zona bencana. Salah satu permasalahan dalam mitigasi bencana alam antara lain adalah kurangnya informasi kebencanaan kepada pembuat keputusan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, penyediaan peta yang akurat dan valid merupakan salah satu hal yang perlu dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan.

Perumusan Masalah

Bencana alam tanah longsor ini sifatnya sulit dideteksi dan dipredikasi kapan akan terjadi dan sampai kapan kejadian akan berlangsung, maka usaha untuk menghindari bencana tersebut mengalami kesulitan untuk dilaksanakan (Suranto 2008). Bencana ini akan lebih diperparah apabila masyarakat tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor di daerahnya. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan melakukan kegiatan migitasi untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dengan melakukan analisis terhadap kerawanan tanah longsor.

DAS Kali Bekasi merupakan salah satu DAS yang berada di Kabupaten Bogor, dekat dengan DKI Jakarta, dan mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan. Luas DAS Kali Bekasi mencapai ± 47.054,50 Ha dengan topografi dominan berupa dataran disamping topografi perbukitan di bagian hulu (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009).

Kawasan DAS Kali Bekasi bagian hulu memiliki letak yang berdampingan dengan hulu DAS Ciliwung yang merupakan kawasan dengan tingkat alih fungsi lahan yang cukup tinggi yaitu sebesar 30,36% selama kurun waktu 33 tahun (DCK Kabupaten Bogor 2010). Perubahan pola tutupan lahan ini terutama diperuntukkan bagi pengembangan permukiman. Perubahan ini dapat memberikan dampak terhadap berbagai permasalahan lingkungan seperti kejadian banjir dan tanah longsor (Utami 2011).

(18)

Tujuan Penelitian

Terkait dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi titik-titik longsor dengan pendekatan satuan lahan, (2) memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan AHP, dan (3) mengetahui faktor-faktor utama penyebab longsor serta memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan statistik.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi daerah bahaya atau rawan longsor di hulu DAS Kali Bekasi sehingga dapat membantu pemerintah daerah atau stakeholder lain dalam rangka melaksanakan perencanaan pengembangan wilayah atau pengambilan keputusan dalam pembangunan sarana dan prasarana wilayah.

2 TINJUAN PUSTAKA

Tanah Longsor

Cruden (1991) mengemukakan bahwa longsor (landslide) adalah massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (percampuran tanah dan batuan) yang bergerak menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh pengaruh gravitasi terhadap batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable). Lapisan kedap air tersebut dalam hal ini berfungsi sebagai bidang luncur.

Penyebab Tanah Longsor

Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, longsor juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan (Alhasanah 2008).

Kementrian ESDM (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah lereng, tekstur dan jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, getaran, material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah.

Lereng

(19)

lereng menjadi 7 yaitu, 0° – 2° ( 0% - 2% ) kemiringan lereng datar, 2° – 4° ( 2% - 7% ) kemiringan lereng landai, 4° – 8° ( 7% - 15%) kemiringan lereng miring, 8° – 16° ( 15% - 30%) kemiringan lereng agak curam, 16° – 35° (30% - 70%) kemiringan lereng curam, 35° – 55° ( 70% - 140%) kemiringan lereng sangat curam, > 55° ( >140%) kemiringan lereng terjal.

Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya longsor, hal ini disebabkan lereng yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0%-15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor pada saat musim penghujan dan terjadinya gempa bumi akan semakin besar. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong atau peluncur. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin.

Tekstur dan Jenis Tanah

Jenis tanah merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor, karena tanah memiliki sifat kelolosan air (permeabilitas). Sifat ini dapat menggambarkan kuat atau lemahnya daya ikat (kohesi) tanah, sehingga tanah yang gembur akan mudah dilalui air hingga masuk ke dalam penampang tanah. Hal tersebut menyebabkan tanah yang gembur akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive). Contoh tanah yang padat antara lain adalah tanah yang bertekstur liat (clay) (Sitorus 2006).

Curah Hujan

Pada beberapa kasus longsor yang terjadi di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisikmekanik tanah (mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan faktor keamanan lereng (Bowles 1989; Hirnawan 1994).

Penggunaan Lahan

Selain pengaruh fisik, tanah longsor juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Tanah longsor banyak terjadi di daerah dengan penggunaan tanah berupa persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada wilayah persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

Getaran

(20)

kasus longsor yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, gempa bumi seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor.

Material Timbunan pada Tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan secara sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya, sehingga apabila hujan turun, maka akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti oleh retakan tanah.

Bekas Longsoran Lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunungapi pada lereng yang relatif terjal atau pada saat maupun sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-ciri antara lain, adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil.

Penggundulan Hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana kurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengikatan air tanah sangat kurang.

Daerah Pembuangan Sampah

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor dan diperburuk jika ditambah dengan guyuran hujan.

Bahaya Tanah Longsor

(21)

korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta, dan kerusakan lingkungan (Sutikno 1994).

Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang ditimbulkannya akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali oleh adanya tanda-tanda akan terjadi tanah longsor. Dampak yang ditimbulkan oleh tanah longsor terhadap lingkungan adalah sebagai berikut :

 Terjadinya kerusakan lahan.

 Hilangnya vegetasi penutup lahan.

 Terganggunya keseimbangan ekosistem.

 Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis.

 Dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.

Mitigasi Bencana Tanah longsor

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) salah satu upaya untuk menghadapi tanah longsor adalah dengan manajemen bencana. Manajemen bencana adalah upaya mitigasi bencana untuk menekan korban jiwa seminimal mungkin, baik itu bencana gempa bumi, gunungapi maupun tanah longsor. Manajemen bencana meliputi tahapan-tahapan sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana. Sebelum terjadi bencana cara yang ditempuh antar lain adalah mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) pada suatu daerah secara optimal dan terus-menerus. Saat terjadi bencana, adalah saat bagaimana manusia dapat menyelamatkan diri dari ancaman dan ke arah mana harus berlari, dan kapan ini harus dilakukan. Semua ini harus diketahui masyarakat di daerah rawan bencana. Adapun saat sesudah terjadi bencana, dalam tahap recovery atau pemulihan, masyarakat harus tahu dan dilibatkan sebagai subyek untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pemulihan. Pada tahap ini umumnya sulit dikoordinasikan dengan mudah. Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bahaya tanah longsor. Sosialisasi ini diharapkan dapat mengubah pola pikir dan budaya masyarakat di daerah rawan bencana supaya lebih waspada dan peduli.

Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-sama dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan- peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.

(22)

bronjong kawat pada kaki lereng, dan penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena bila diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat menjenuhi tanah di atas lapisan kedap. Menurut Dardak (2008), upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni hard engineering dan soft engineering.

a. Hard Engineering, adalah pembangunan struktur buatan seperti tembok penahan gerakan tanah (retaining wall), saluran drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah, terasering lahan untuk mengurangi erosi tanah, dan penanaman pohon dengan perakaran kuat pada lereng curam. b. Soft Engineering adalah upaya untuk merekayasa pola pikir masyarakat agar

memiliki kesadaran yang tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan ruang. Upaya ini antara lain dapat dilakukan melalui penyuluhan, penyebarluasan informasi, dan pelatihan.

Aplikasi SIG dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor

SIG (Sistem Informasi Geografis) dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer yang kemudian dipresentasikan di atas kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan yang lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Peta yang ditampilkan bisa berupa titik, garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur dan deskripsinya.

Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu tanah longsor maupun banjir, yaitu dengan cara identifikasi dan pemetaan kawasan rawan. Longsor dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana terdiri dari pembuatan basis data, inventori, overlay SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut. SIG dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk mengidentifikasi struktur, dan lain lain. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan mitigasi (Haifani, 2008).

Menurut Paimin, et.al. (2009), salah satu prosedur yang dapat dilakukan untuk identifikasi kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut:

1. Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000, deliniasi kelas kelerengan lahan. Pembagian kelas lereng dapat digunakan sebagai unit peta.

2. Padukan peta Geologi pada peta kelas lereng

3. Dengan peta jenis tanah dapat diperkirakan kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap air.

(23)

5. Dipadukan peta penutupan lahan dengan peta penggunaan lahan (land use) agar diperoleh kejelasan pemangku lahan terkait, dan ancaman tanah longsor terhadap permukiman.

6. Apabila data demografi desa tersedia maka kepadatan permukiman pada unit peta tersebut dapat dihitung yakni nilai nisbah/rasio jumlah penduduk dibagi dengan luas permukiman pada wilayah desa yang bersangkutan.

7. Analisis data hujan harian dari catatan data curah hujan harian sepuluh tahun terakhir untuk memperoleh data curah hujan tiga hari berurutan terbesar.

Dari hasil identifikasi seperti tersebut di atas, selanjutnya dapat ditarik hasil sebagai berikut, (1) tingkat kerentanan/kerawanan lahan terhadap longsor, (2) tingkat ancaman tanah longsor terhadap penduduk atau permukiman, (3) penggunaan lahan di daerah rawan bencana tanah longsor – berkaitandengan tanggung jawab stakeholder, (4) usulan kegiatan pengendalian tanah longsor yang sesuai.

Penelitian-penelitian tentang Longsor Sebelumnya

Rahmat (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa parameter-parameter penyebab tanah longsor serta berdasarkan model pembobotan yang digunakan, dan yang paling besar pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan longsor di lokasi penelitian (Majalengka) adalah parameter curah hujan dan kemiringan lahan, sementara jenis batuan dan tipe penutupan lahan memiliki bobot yang sama, kemudian jenis tanah merupakan parameter dengan pengaruh yang paling kecil.

Sugiharyanto, et.al. (2009) dalam penelitiannya menunjukkan tingkat potensi kerentanan pada setiap satuan unit lahan yang didasarkan pada kemiringan lereng, tekstur tanah, permeabilitas, pelapukan, kedalaman efektif tanah, kerapatan vegetasi, curah hujan, penggunaan lahan, dan solum tanah. Hasil analisis pada setiap kriteria tersebut menunjukkan kategori tingkat potensi kerentanan longsor lahan di setiap unit lahan. Hasil observasi dan pengukuran di lapangan terhadap 9 variabel pendukung kerentanan longsor lahan di daerah penelitiannya (Samigaluh), yang diperoleh empat kelas tingkat kerentanan longsor lahan yaitu, tingkat kerentanan longsor lahan rendah (0,2%), sedang (2,67%), tinggi (88,27%), dan sangat tinggi (8,86%).

Daerah Aliran Sungai

(24)

hal ini di bawah cekungan air tanah. Sungai merupakan badan air berupa saluran-saluran air yang mengalir di permukaan bumi menuju ke laut.

DAS dibagi menjadi sub DAS bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan (Asdak 2007).

Berbagai kegiatan yang dapat dijumpai dalam pengembangan suatu DAS antara lain adalah kegiatan konstruksi, seperti pembangunan jalan, perluasan kota/daerah permukiman, industri, pembangkit tenaga listrik, dam/waduk untuk irigasi, kegiatan pengerukan, pembangunan kanal, transportasi/navigasi, pertambangan, pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, maupun kegiatan lainnya. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan timbulnya masalah, benturan atau persaingan antar kegiatan dalam suatu DAS, maka diperlukan suatu rencana pengembangan yang komprehensif dan terpadu (Sinukaban 2007).

3 METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian meliputi DAS Kali Bekasi bagian hulu. Koordinat DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” - 107°07’00” BT, dan 06°26’00” LS - 06°41’00” LS. DAS Kali Bekasi bagian hulu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian DAS Kali Bekasi yang memiliki landform

berbukit dan bergunung, sedangkan bagian DAS yang datar tidak dimasukkan sebagai daerah penelitian karena diasumsikan tidak mengalami kejadian longsor. Wilayah penelitian mencakup 6 kecamatan, yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Klapanunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari - Juni 2015 serta pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni - Juli 2015. Skala output hasil penelitian adalah pada skala 1:25.000 yang disesuaikan dengan sumber data yang tersedia.

Peralatan Penelitian

(25)

Gambar 1 Lokasi penelitian

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer

Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari lapangan seperti wawancara dengan penduduk sekitar. Data yang dikumpulkan berupa titik-titik longsor yang terjadi di lapangan, pengecekan jenis batuan, kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan foto. Penentuan titik-titik untuk survei di lapangan ditentukan berdasarkan peta satuan lahan (land unit) yang sudah dibuat. Hasil dari pengecekan di lapangan dan informasi yang didapat dijadikan bahan untuk analisis penyebab utama terjadinya longsor yang ada di lapangan melalui analisis regresi logistik ordinal

(26)

Data sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah berupa peta-peta tematik yang berhubungan dengan parameter longsor yang akan dipakai pada penelitian ini. Peta tematik yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi peta-peta bentuklahan (landform), satuan lahan (land unit), kontur, lereng, curah hujan, dan penutupan lahan (land cover). Sebagian peta bentuklahan diambil dari Afwilla (2015) dan Lukman (2015) yang tercakup di daerah penelitian.

Peta kelas lereng dihasilkan dari analisis data SRTM, sedangkan peta satuan lahan diperoleh dari hasil proses tumpang-tindih (overlay) antara peta bentuklahan dan peta kelas lereng.

Peta penutupan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi visual citra

Google Earth tahun 2011 dan dibantu dengan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Spasial) dengan teknik dijitasi on screen melalui software ArcGIS. Pengecekan lapang (ground check) untuk penutupan lahan tidak dilakukan menyeluruh, melainkan hanya pada beberapa tempat yang dianggap mewakili masing-masing penutupan lahan.

Metode Analisis

Metode pengambilan keputusan yang dipakai untuk mendapatkan nilai bobot dan skor untuk penentuan bahaya longsor adalah menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process).

Metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty digunakan untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (expert judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini mendasarkan pada penilaian dari para ahli, tokoh yang berkompeten, berpengalaman untuk memberikan pilihan keputusan yang terbaik dari berbagai kriteria dan alternatif.

Pembuatan AHP ini dilakukan dengan membuat kuesioner dalam bentuk matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap parameter dan variabel yang akan ditentukan bobot dan skornya (Saaty 1983 dalam Marimin 2010). Responden yang terlibat dalam proses pembuatan AHP ini sejumlah 9 orang, yang mewakili keahlian di bidang longsor. Pengolahan data kuesioner AHP dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak program Expert Choice 2000. Bobot yang terpilih menunjukkan besaran atau derajat nilai masing-masing parameter dengan kisaran nilai 0-1, sedangkan skor menunjukkan nilai setiap variabel pada tiap parameter dengan kisaran nilai 0-100.

Selain itu, metode statistika juga digunakan untuk analisis regresi berganda terhadap data titik-titik kejadian longsor yang memuat parameter penyebab longsor di daerah penelitian. Analisis ini diolah dengan menggunakan

(27)

Tahapan Penelitian Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan studi kepustakaan yang ada kaitannya dengan topik penelitian, mencari dan mengumpulkan data sekunder, mengumpulkan bahan dan alat yang diperlukan, membuat kuesioner, dan menginterpretasi peta wilayah penelitian.

a. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi, antara lain berupa data spasial yang terdiri dari:

 Peta Rupa Bumi Indonesia (digital) tahun 2010 skala 1:25.000 yang diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial).

 Peta Geologi Lembar Bogor dengan skala 1:100.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung

 Data klimatologi tahunan dari BPDAS Citarum - Ciliwung (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai).

 Peta Bentuklahan dari penelitian sebelumnya (Afwilla (2015) dan Lukman (2015)

b. Pengumpulan data primer

Data primer yang dikumpulkan di lapangan meliputi lokasi titik-titik kejadian longsor dan pengukuran terhadap parameter yang diperlukan, seperti pemotongan lereng, jenis penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan yang lainnya. Wawancara juga dilakukan kepada penduduk lokal untuk mencari informasi tentang longsor di daerah penelitian.

Keterkaitan antara tujuan penelitian, data, metode analisis, dan hasil yang diharapkan secara ringkas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode

Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Metode Analisis

(28)

Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Metode Analisis

Pada tahap ini diawali dengan pengolahan data, seperti penentuan batas wilayah, penyamaan proyeksi, koreksi geometrik, dan juga interpretasi dan analisis terhadap data sekunder. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan data antara lain :

a. Pembuatan Peta Bentuklahan (Landform)

Peta bentuklahan dalam penelitian ini sebagian diambil dari penelitian Afwilla (2015) dan Lukman (2015) dan sebagian dilakukan dari interpretasi citra. Peta bentuklahan di interpretasi berdasarkan gabungan antara citra

hillshade SRTM (30 meter), peta kontur dengan interval 12,5 meter, dan peta geologi wilayah penelitian. Sistem klasifikasi bentuklahan mengacu pada sistem ITC (Van Zuidam 1985) dengan modifikasi pada pemberian simbolnya. Sistem ini mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: morfologi (relief), morfogenesis (litologi dan proses geomorfik), morfokronologi (tahap pembentukan dan perkembangan bentuklahan), dan morfoarrangement (hubungan susunan keruangan bentuklahan dan proses yang membentuknya).

Morfologi dibedakan menjadi morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan nama benetuklahan (dataran, perbukitan, pegunungan, dan plateau), sedangkan morfometri berkaitan dengan aspek kuantitatif bentuklahan (kecuraman lereng, ketinggian, arah lereng, dan sebagainya). Morfogenesis mengkaji asal mula bentuklahan atau proses-proses pembentukan bentuklahan tersebut, dan morfokronologi mengkaji umur secara relatif dan absolute atau tahap perkembangan bentuklahan.

b. Pembuatan Peta Satuan Lahan (Land Unit)

(29)

(fieldwork) serta untuk memprediksi tingkat bahaya longsor. Pengambilan titik-titik sampel dilakukan secara sistematis berdasarkan satuan lahan, bersifat acak namun merata sehingga setiap satuan lahan terwakili.

c. Pembuatan Peta Bahaya Longsor

Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani (2013) yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan (pemotongan) lereng. Selain itu mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini selanjutnya dianalisis dengan metode AHP (Expert Choice 2000) sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter. Tabel skor parameter bahaya longsor hasil AHP dapat dilihat pada Tabel 3.

Untuk menentukan kelas bahaya longsor, nilai skor dan bobot dari masing-masing parameter dikalikan. Kemudian nilai tersebut dipakai dalam menentukan interval bahaya longsor pada jumlah kelas yang telah ditentukan (3 kelas). Metode penentuan tingkat bahaya menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) dalam Ikqra (2012), yaitu:

Dari hasil perhitungan di atas maka didapatkan total nilai tertinggi bahaya longsor, yaitu 43,93 dan terendah adalah 9,82, sedangkan nilai interval bahaya longsor sebesar 11,37 (Tabel 2).

Tabel 2 Skor interval bahaya longsor

Skor Interval Tingkat Bahaya Kelas

9,82 – 21,19 Rendah 1

21,20 – 32,57 Sedang 2

32,58 – 43,93 Tinggi 3

d. Analisis Bahaya Longsor

Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya longsor. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian dinilai berdasarkan perkalian antara bobot dengan skor.

Semua parameter tersebut kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Proses ini dikerjakan dengan memakai software ArcGIS. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh peta bahaya tanah longsor. Berikut rumus perhitungan skor total:

LH = 0.272(KL)+0.089(KPB)+0.064(G)+0.172(CH)+0.145(LU)+0.258(GL)

(30)

Tahap Kerja Lapangan

Peta acuan untuk pekerjaan di lapangan adalah menggunakan peta satuan lahan (land unit). Dari peta ini direncanakan ada sebanyak 135 titik yang akan dikunjungi dan sudah mewakili semua satuan lahan yang ada. Untuk menentukan posisi geografis lokasi pengamatan digunakan alat GPS (Global Positioning System).

Pekerjaan lapangan juga digunakan untuk mengumpulkan data primer berupa wawancara dengan penduduk, tipe longsoran, pengecekan jenis batuan, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan dokumentasi berupa foto.

Hasil dari pekerjaan di lapangan dan informasi yang didapat akan dijadikan bahan untuk analisis bahaya longsor berdasarkan kejadian longsor yang ada di lapangan.

Tahap Analisis Data Akhir

Analisis berikutnya adalah mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan berdasarkan data yang didapat di lapangan dengan menggunakan analisis statistik regresi logistik ordinal pada SPSS. Pada tahap ini selanjutnya juga akan dilakukan analisis sebaran bahaya longsor berdasarkan bobot nilai statistik regresi berganda dari data kejadian longsor di lapangan. Setelahnya dibandingkan dengan pemetaaan bahaya longsor versi AHP untuk melihat hasil yang persamaan atau perbedaan di antara dua buah pendekatan tersebut. Arahan-arahan mitigasi yang terbaik untuk wilayah penelitian juga dibuat pada tahap ini.

Tabel 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor

Parameter Bobot Skor Nilai

Batu Liat/Claystone 24,7 1,58

Batu Napal 19,1 1,22

Batu Pasir/Sand 17,1 1,09

(31)

Parameter Bobot Skor Nilai

Batu Konglomerat 10,7 0,68

Batu Kapur/Limestone 9 0,58

Batuan Lava dan Breksi Vulkanik 7,4 0,47

Curah Hujan 0,172

Secara geografis DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” BT sampai 107°07’00” BT dan 06°26’00” LS sampai 06°41’00” LS dan terletak pada kisaran ketinggian 50 sampai 1.662 mdpl. Luas DAS Kali Bekasi bagian hulu adalah 26.912,17 ha dengan batas-batas : di sebelah utara adalah DAS Kali Bekasi bagian tengah, di sebelah timur adalah DAS Citarum, dan di sebelah selatan dan barat adalah DAS Ciliwung.

Wilayah yang termasuk ke dalam DAS Kali Bekasi bagian hulu secara administratif terdiri dari enam kecamatan yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Kelapa Nunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja (Tabel 4 dan Gambar 2).

Tabel 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian

Kecamatan Luas (ha)

Babakan madang 6.886,61

Citeureup 4.170,24

Jonggol 4.515,11

(32)

Kecamatan Luas (ha)

Sukamakmur 3.711,38

Sukaraja 934,97

Gambar 2 Lokasi administratif wilayah penelitian

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian Kemiringan Lereng

Peta kemiringan lereng dibuat dari peta kontur dengan interval 12,5 meter yang diperoleh dari data SRTM 30 meter. Kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 5 kelas, yaitu lebih kecil dari 8% (datar), 8% - 15% (landai), 15% - 30% (agak curam), 30% - 45% (curam), dan lebih besar dari 45% (sangat curam). Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 3, dan sebaran luas kemiringan lereng pada wilayah penelitian ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian

Kemiringan Lereng Luas

Ha %

<8% (Datar) 12.192,03 45,30

8-15% (Landai) 2.212,88 8,22

15-30% (Agak Curam) 6.576,32 24,44

30-45% (Curam) 1.597,69 5,94

>45% (Sangat Curam) 4.333,26 16,10

(33)

Berdasarkan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kemiringan lereng < 8% memiliki luasan yang tertinggi yaitu sebesar 45,30% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan kemiringan lereng 30-45% memiliki luasan yang terendah yaitu 5,94% dari luas total wilayah penelitian.

Gambar 3 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian

Curah Hujan

(34)

Gambar 4 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian

Geologi

Informasi geologi wilayah penelitian diambil dari Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Secara umum jenis batuan di DAS Kali Bekasi bagian hulu dibagi menjadi 6 (enam) kategori, yaitu Claystone, Konglomerat, Lava dan Breksi Vulkanik, Limestone, Piroklastik, dan Sandstone (Gambar 5 dan Tabel 6).

Tabel 6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian

Geologi Luas

Ha %

Claystone 10.950,39 40,69

Konglomerat 394,09 1,46

Lava dan Breksi Vulkanik 5.378,82 19,99

Limestone 9.938,96 36,93

Piroklastik 85,34 0,32

Sandstone 164,61 0,61

(35)

Gambar 5 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian

Berdasarkan pengklasifikasian batuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, terdapat 4 jenis batuan utama yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen, batuan endapan, dan terobosan. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan Qvk; batuan sedimen terdiri atas satuan batuan Mdm, Mk, Tmj, Tmk, Tmp, dan Tms; satuan batuan endapan terdiri dari Qa, Qav, dan Qoa; dan satuan batuan terobosan terdiri dari satuan batuan a.

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa luas satuan batuan yang paling dominan adalah batuan batu liat (claystone) dan batuan batu kapur (limestone) yaitu sebesar 10.950,39 hektar atau 40,69% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan batuan yang paling sedikit adalah batuan Piroklastik dan Sandstone yaitu hanya 85,34 ha dan 165,61 ha atau 0,32% dan 0,61% dari luas total wilayah penelitian.

Bentuklahan

Dari hasil interpretasi dan pekerjaan lapang, bentuklahan daerah penelitian dapat dipilih menjadi 6 jenis asal proses geomorfik, yaitu denudasional, fluvial, karst, plutonik, vulkanik, dan vulkanik denudasional (Tabel 7 dan Gambar 6) Tabel 7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Bentuklahan Luas

ha %

Denudasional 11.102,29 41,81

(36)

Bentuklahan Luas

ha %

Karst 5.854,05 22,05

Plutonik 152,05 0,57

Vulkanik 339,95 1,28

Vulkanik denudasional 7.942,53 29,91

Total 26.912,17 100,00

Proses pembentukan lahan yang terjadi di daerah penelitian dapat dijelaskan melalui proses awal dan proses lanjutan. Proses awal terjadi secara

endogenetic (diastrophysme dan volcanisme) dan proses lanjutan terjadi secara

exogenetic (degradation dan aggradation). Proses endogenetik yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa proses tektonik lipatan dan gejala vulkanisme.

Berdasarkan data pengamatan lapang, bentuklahan yang dihasilkan oleh proses exogenetic adalah jalur sungai, tebing sungai, lembah, dan teras-teras sungai. Tenaga yang berperan pada proses tersebut adalah air yang mengalir melalui proses erosi dan deposisi. Proses aggradasi terjadi pada daerah-daerah lembah yang dijumpai di daerah lipatan yakni berupa dataran deposisional (alluvial).

(37)

Gambar 7 Landform pegunungan di daerah penelitian

Gambar 8 Landform perbukitan di daerah penelitian

Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil analisis citra satelit Google Earth tahun 2011 dan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Geospasial) di wilayah penelitian, diperoleh 6 kelas penutupan lahan, yaitu hutan dan perkebunan, permukiman, pertambangan, tegalan dan sawah, semak, dan perairan. Peta penutupan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu disajikan pada Gambar 9.

Berdasarkan data penutupan lahan yang didapatkan, terlihat bahwa penutupan lahan terluas adalah tegalan dan sawah yaitu sebesar 47,36%, kemudian diikuti hutan dan perkebundan sebesar 27,92%, dan permukiman sebesar 11,12% dari luas total daerah penelitian. Sebaran luas penutupan lahan do wilayah penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Land Cover Luas

Ha %

Hutan dan Perkebunan 7.514,86 27,92

Permukiman 2.991,98 11,12

(38)

Tegalan dan Sawah 12.745,40 47,36

Semak 2.682,60 9,97

Perairan 4,91 0,02

Grand Total 26.912,17 100,00

Gambar 9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian

Gangguan Lereng

Parameter gangguan (pemotongan) lereng pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar tingkat pemotongan lereng yang terjadi pada wilayah penelitian ini. Peta gangguan lereng ini didapatkan dengan membuat rata-rata pemotongan lereng di tiap satuan lahan (land unit) kemudian dikalikan dengan jumlah kejadian gangguan lereng yang terjadi di lapangan dalam satuan lahan yang sama. Apabila tingkat pemotongan lereng besar, maka semakin berpotensi menghasilkan bencana longsor di daerah tersebut. Peta gangguan lereng dibagi menjadi 3 kelas, yaitu ringan (pemotongan lereng 20 – 137m), sedang (138 – 255m), dan tinggi ( > 256m).

(39)

Tabel 9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Gangguan Lereng Luas

ha %

Ringan 15.006,70 55,76

Sedang 9.694,35 36,02

Berat 2.211,19 8,22

Grand Total 26.912,17 100

Gambar 10 Peta gangguan lereng di wilayah penelitian

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Peta Satuan Lahan (Land Unit) Daerah Penelitian

Peta satuan lahan merupakan peta yang digunakan untuk acuan dalam identifikasi titik-titik longsor di lapangan dan digunakan sebagai satuan pemetaan (mapping unit). Peta satuan lahan pada penelitian ini didapatkan dari proses

(40)

Gambar 11 Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang

Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan

Titik observasi yang direncanakan untuk pekerjaan lapang ada sebanyak 135 titik dimana tiap satu jenis satuan lahan dapat diambil lebih dari 1 sampel sesuai dengan proporsi luasannya. Peta satuan lahan dan peta titik rencana pekerjaan lapang dapat dilihat pada Gambar 11.

Dari 135 titik yang sudah direncanakan, ada sebanyak 85 titik yang bisa didatangi di wilayah penelitian. Hal ini disebabkan akses ke titik-titik yang dituju tidak memungkinkan baik karena adanya hambatan topografis maupun hambatan-hambatan lainnya. Peta titik sebaran daerah penelitian yang dapat didatangi dapat dilihat pada Gambar 12.

Dalam hal ini dari 85 titik yang diobservasi, 42 titik diantaranya ditemukan kejadian longsor (Gambar 13). Secara spasial dari 42 titik longsor tersebut, 28 di antaranya ditemukan pada landform denudasional, 2 titik longsor pada landform fluvial, 4 titik longsor pada landform karst, dan 8 longsor titik pada

landform vulkanik denudasional.

(41)

Dari hasil pengamatan pada 42 titik longsor di lapangan, karakteristik longsor yang umum ditemukan, yaitu longsor tipe slide dan aliran massa tanah dan batuan (earth flow).

Fenomena longsor yang terjadi pada daerah penelitian ini banyak disebabkan oleh beban bangunan (rumah, jalanan, dan lain lain) yang begitu besar dan juga sebagian merupakan akibat dari aktifitas manusia seperti penambangan, pembangunan jalan, dan permukiman dengan memotong lereng. Pembangunan daerah permukiman di bagian lereng atas dapat membuat lereng tersebut kehilangan kestabilannya apabila bagian kaki lereng tidak didukung oleh bangungan penguat (konservasi) yang dapat mendukung lereng tersebut. Selain itu, curah hujan yang jatuh di lereng atas bila masuk ke dalam retakan tanah, maka bobot tanah akan bertambah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah tersebut akan menjadi licin dan massa tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng, sehingga massa batuan keluar lereng, maka terjadilah longsor.

(42)

Gambar 13 Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian

Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi

Jika dilihat dari jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan per kecamatan, maka kejadian longsor paling banyak berada di wilayah Kecamaatan Babakan Madang, yaitu sebanyak 16 dan diikuti oleh Kecamatan Sukamakmur sebanyak 10, sedangkan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Sukaraja. Untuk kecamatan-kecamatan yang lain kejadian longsor yang ditemukan tidak sebanyak di Kecamatan Babakan Madang, karena medan kecamatan-kecamatan tersebut cukup sulit untuk dilewati, selain karena lahan berupa hutan juga karena milik suatu perusahaan tambang, dan tidak diijinkan untuk diakses.

Tabel 10 Jumlah kejadian titik longsor berdasarkan kecamatan

Kecamatan Longsor

Babakan Madang 16

Citeureup 4

Jonggol 5

Kelapa nunggal 6

Sukamakmur 10

(43)

Penilaian Bahaya Longsor dengan AHP a. Kriteria dan Parameter Pembentuk Longsor

Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani (2013) yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan (pemotongan) lereng dan mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini dianalisis dengan metode AHP (Expert Choice 2000) sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter sesuai dengan pendapat para pakar. Hasil lengkap analisis AHP untuk pembobotan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Bobot masing-masing parameter pembentuk longsor

No Parameter Bobot

1 Kemiringan Lereng 0,272

2 Gangguan lereng 0,258

3 Curah Hujan 0,172

4 Penutupan Lahan 0,145

5 Kedalaman Pelapukan Batuan 0,089

6 Jenis Batuan 0,064

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa bobot parameter bahaya longsor secara berurutan dari yang paling besar adalah parameter kemiringan lereng, gangguan (pemotongan) lereng, curah hujan, penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan paling kecil adalah jenis batuan (geologi). Nilai bobot parameter yang paling tinggi menunjukkan bahwa parameter tersebut lebih penting dalam menyebabkan longsor di wilayah penelitian. Dalam hal ini kemiringan lereng merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan terjadinya longsor, sedangkan jenis batuan (geologi) merupakan parameter yang dianggap kurang penting.

Kemiringan Lereng

Berdasarkan hasil analisis AHP terhadap parameter kemiringan lereng dapat dilihat bahwa skor tertinggi untuk bahaya longsor adalah pada kemiringan lereng > 45% yaitu sebesar 46, dan 30-45% sebesar 29,7. Apabila nilai skor yang diperoleh tinggi, maka semakin tinggi pula potensi terjadinya longsor di wilayah penelitian. Hal ini berarti bahwa tingkat kemiringan lereng yang lebih besar dari 30% adalah daerah-daerah bahaya longsor di daerah penelitian. Hasil analisis AHP untuk parameter kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Bobot dan skor parameter kemiringan lereng

Kemiringan Lereng (%) Bobot Skor

(44)

Gangguan (Pemotongan) Lereng

Berdasarkan hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa skor tertinggi terdapat pada pemotongan lereng yang berat yaitu sebesar 54,9, dan paling kecil pada pemotongan lereng yang ringan. Hasil analisis AHP terhadap parameter gangguan (pemotongan) lereng dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Bobot dan skor parameter gangguan lereng

Gangguan (pemotongan) lereng Bobot Skor

Berat

Berdasarkan analisis AHP untuk curah hujan, skor tertinggi terdapat pada curah hujan yang lebih dari 2.300 mm/tahun yaitu mempunyai skor 46,8. Dari Tabel 14 hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat curah hujan, maka tingkat potensi longsor yang terjadi juga akan semakin tinggi. Hasil analisis AHP terhadap parameter curah hujan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 14 Bobot dan skor parameter curah hujan

Curah Hujan Bobot Skor terdapat pada penutupan lahan tegalan dan sawah, yaitu sebesar 31,3, diikuti oleh permukiman yaitu 25,6, dan paling kecil adalah di penutupan lahan hutan dan perkebunan, yaitu 7 (Tabel 15).

Tabel 15 Bobot dan skor parameter penutupan lahan

Tutupan Lahan Bobot Skor

Permukiman

(45)

batuan yang telah mengalami pelapukan sangat mendukung terjadi longsor daripada batuan yang masih segar atau kedalaman pelapukan yang tipis.

Berdasarkan analisis AHP untuk kedalaman pelapukan batuan, skor yang paling tinggi terdapat pada kedalaman pelapukan batuan > 120 cm yang mempunyai skor 43. Hasil dari analisis AHP untuk parameter kedalaman pelapukan batuan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Bobot dan skor parameter kedalaman pelapukan batuan

Kedalaman Pelapukan Batuan Bobot Skor

> 120cm

Batuan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi karakter suatu wilayah. Batuan berbeda-beda sifatnya ada yang kompak dan ada yang tidak kompak. Sifat batuan tersebut berpengaruh terhadap bencana longsor di wilayah penelitian.

Dari hasil analisis AHP didapatkan bahwa jenis batuan liat memiliki skor yang paling tinggi yaitu sebesar 24,7. Hal ini berarti bahwa jenis batu liat memiliki tingkat kerentanan tinggi dalam melahirkan longsor di daerah penelitian, sedangkan batuan lainnya tidak terlalu tinggi. Hasil analisis AHP untuk parameter jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Bobot dan skor geologi

Jenis Batuan Bobot Skor

Batuan Lava dan Breksi Vulkanik 7,4

b. Prediksi Bahaya Longsor dengan Pendekatan AHP

Prediksi bahaya longsor dihasilkan dari penilaian data lapangan dengan data peta-peta tematik yang sudah diolah dengan pendekatan satuan lahan. Peta bahaya longsor hasil prediksi untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar 14, dan luasan dari masing-masing kelas bahaya longsor disajikan pada Tabel 18.

(46)

Gambar 14 Peta sebaran prediksi bahaya longsor di wilayah penelitian Tabel 18 Klasifikasi tingkat bahaya longsor

Kelas Tingkat Bahaya Selang Nilai Luasan ha %

1 Rendah 9,82 – 21,19 10.626,40 39.49 2 Sedang 21,20 – 32,57 7.412,27 27,54 3 Tinggi 32,58 – 43,93 8.668,98 32,21 Peta persebaran titik-titik kejadian longsor dengan peta bahaya longsor dengan pendekatan AHP dapat dilihat pada Gambar 15. Adapun uraian untuk masing-masing tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kelas bahaya longsor rendah

Kelas longsor ini memiliki luas area sebesar 10.626,40 ha atau 39,49% dari luas total lokasi penelitian. Persebaran kelas bahaya rendah berada di bagian utara dan selatan lokasi penelitian, yaitu di Kecamatan Kelapa Nunggal dengan luas 3,311.3 ha, Kecamatan Jonggol (2.977,3 ha), dan Kecamatan Babakan Madang (2,962.4 ha) (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor rendah berada secara dominan pada areal permukiman dan hutan/perkebunan.

(47)

(limestone), berada pada areal dengan curah hujan 1.900 – 2.100 mm/tahun, mempunyai kedalaman pelapukan batuan di antara 30 – 60 cm, secara dominan berada pada bentuklahan karst dan denudasional, dan memiliki gangguan pemotongan lereng di antara 20 sampai 140 cm.

Longsor yang terjadi pada kemiringan lereng <8% (datar) ini lebih disebabkan oleh aktifitas manusia secara intensif dalam penggunaan lahan seperti permukiman atau pembangunan sarana jalan. Kejadian longsor yang terjadi memiliki karakteristik slide dalam skala yang kecil. Longsor berskala kecil ini banyak terjadi pada lereng-lereng daerah permukiman. Pemotongan lereng dapat menyebabkan massa tanah mudah merosot dan menyebabkan longsor.

Kelas bahaya longsor sedang

Kelas longsor ini memiliki luas area hanya sebesar 7.412,27 ha atau 27,54% dari luas total lokasi penelitian. Persebaran kelas bahaya sedang secara dominan berada di Kecamatan Babakan Madang dengan luas 1.949,3 ha dan di Kecamatan Citeureup seluas 2.172,9 ha (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay

dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor sedang ini berada secara dominan pada areal-areal sawah, permukiman, dan hutan.

Karakteristik tingkat bahaya longsor sedang: memiliki kelerengan landai sampai curam (8 – 45%), jenis batuan batuan liat(claystone), curah hujan berkisar antara 2.101 sampai lebih dari 2.300 mm/tahun, kondisi kedalaman pelapukan batuan berada di antara 60 – 90 cm, banyak terjadi pada bentuklahan denudasional dan vulkanik denudasional, sedangkan gangguan pemotongan lereng berada di antara 140 sampai 250 cm.

Kelas bahaya longsor tinggi

Kelas longsor ini memiliki luas area sebesar 8.668,98 ha atau 32,21% dari luas total lokasi penelitian. Penyebarannya sebagian besar berada di Kecamatan Citeureup dengan luas 2.011 ha, Kecamatan Babakan Madang (2.003,7 ha), dan Kelapa Nunggal (1.817,7 ha) (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor tinggi ini secara dominan berada di areal hutan.

(48)

Gambar 15 Peta titik kejadian longsor di lapangan

Distribusi Kawasan Bahaya Longsor Berdasarkan Wilayah Administratif

Berdasarkan hasil prediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP yang di overlay dengan peta wilayah administrasi terlihat bahwa setiap kecamatan terdapat semua tingkat bahaya longsor. Adapun secara administratif persebaran luas daerah bahaya longsor disajikan pada Tabel 20.

Tabel 19 bahaya longsor berdasarkan kecamatan

Kecamatan

Bahaya longsor

Total (ha) Rendah Sedang Tinggi

(ha) % (ha) % (ha) %

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian
Tabel 1Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode
Tabel 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor
Tabel 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait