• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian meliputi DAS Kali Bekasi bagian hulu. Koordinat DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” - 107°07’00” BT, dan 06°26’00” LS - 06°41’00” LS. DAS Kali Bekasi bagian hulu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian DAS Kali Bekasi yang memiliki landform

berbukit dan bergunung, sedangkan bagian DAS yang datar tidak dimasukkan sebagai daerah penelitian karena diasumsikan tidak mengalami kejadian longsor. Wilayah penelitian mencakup 6 kecamatan, yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Klapanunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari - Juni 2015 serta pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni - Juli 2015. Skala output hasil penelitian adalah pada skala 1:25.000 yang disesuaikan dengan sumber data yang tersedia.

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: seperangkat laptop beserta software pembantu ERDAS 9.3, ArcGIS 10, SPSS, dan Expert Choice 2000 untuk mengolah data AHP, GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui titik koordinat di lapangan, kamera digital, klinometer, meteran, alat tulis, dan kuesioner.

Gambar 1 Lokasi penelitian

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer

Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari lapangan seperti wawancara dengan penduduk sekitar. Data yang dikumpulkan berupa titik-titik longsor yang terjadi di lapangan, pengecekan jenis batuan, kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan foto. Penentuan titik-titik untuk survei di lapangan ditentukan berdasarkan peta satuan lahan (land unit) yang sudah dibuat. Hasil dari pengecekan di lapangan dan informasi yang didapat dijadikan bahan untuk analisis penyebab utama terjadinya longsor yang ada di lapangan melalui analisis regresi logistik ordinal

Penggunaan kuesioner digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kejadian longsor di lapangan. Kuesioner untuk AHP disusun dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dan banyaknya responden yang diambil dalam penelitian ini hanya berjumlah 9 (sembilan) orang ahli.

Data sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah berupa peta-peta tematik yang berhubungan dengan parameter longsor yang akan dipakai pada penelitian ini. Peta tematik yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi peta-peta bentuklahan (landform), satuan lahan (land unit), kontur, lereng, curah hujan, dan penutupan lahan (land cover). Sebagian peta bentuklahan diambil dari Afwilla (2015) dan Lukman (2015) yang tercakup di daerah penelitian.

Peta kelas lereng dihasilkan dari analisis data SRTM, sedangkan peta satuan lahan diperoleh dari hasil proses tumpang-tindih (overlay) antara peta bentuklahan dan peta kelas lereng.

Peta penutupan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi visual citra

Google Earth tahun 2011 dan dibantu dengan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Spasial) dengan teknik dijitasi on screen melalui software ArcGIS. Pengecekan lapang (ground check) untuk penutupan lahan tidak dilakukan menyeluruh, melainkan hanya pada beberapa tempat yang dianggap mewakili masing-masing penutupan lahan.

Metode Analisis

Metode pengambilan keputusan yang dipakai untuk mendapatkan nilai bobot dan skor untuk penentuan bahaya longsor adalah menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process).

Metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty digunakan untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (expert judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini mendasarkan pada penilaian dari para ahli, tokoh yang berkompeten, berpengalaman untuk memberikan pilihan keputusan yang terbaik dari berbagai kriteria dan alternatif.

Pembuatan AHP ini dilakukan dengan membuat kuesioner dalam bentuk matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap parameter dan variabel yang akan ditentukan bobot dan skornya (Saaty 1983 dalam Marimin 2010). Responden yang terlibat dalam proses pembuatan AHP ini sejumlah 9 orang, yang mewakili keahlian di bidang longsor. Pengolahan data kuesioner AHP dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak program Expert Choice 2000. Bobot yang terpilih menunjukkan besaran atau derajat nilai masing-masing parameter dengan kisaran nilai 0-1, sedangkan skor menunjukkan nilai setiap variabel pada tiap parameter dengan kisaran nilai 0-100.

Selain itu, metode statistika juga digunakan untuk analisis regresi berganda terhadap data titik-titik kejadian longsor yang memuat parameter penyebab longsor di daerah penelitian. Analisis ini diolah dengan menggunakan

Tahapan Penelitian Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan studi kepustakaan yang ada kaitannya dengan topik penelitian, mencari dan mengumpulkan data sekunder, mengumpulkan bahan dan alat yang diperlukan, membuat kuesioner, dan menginterpretasi peta wilayah penelitian.

a. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi, antara lain berupa data spasial yang terdiri dari:

 Peta Rupa Bumi Indonesia (digital) tahun 2010 skala 1:25.000 yang diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial).

 Peta Geologi Lembar Bogor dengan skala 1:100.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung

 Data klimatologi tahunan dari BPDAS Citarum - Ciliwung (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai).

 Peta Bentuklahan dari penelitian sebelumnya (Afwilla (2015) dan Lukman (2015)

b. Pengumpulan data primer

Data primer yang dikumpulkan di lapangan meliputi lokasi titik-titik kejadian longsor dan pengukuran terhadap parameter yang diperlukan, seperti pemotongan lereng, jenis penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan yang lainnya. Wawancara juga dilakukan kepada penduduk lokal untuk mencari informasi tentang longsor di daerah penelitian.

Keterkaitan antara tujuan penelitian, data, metode analisis, dan hasil yang diharapkan secara ringkas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode

Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Metode Analisis

Mengidentifikasi titik-titik longsor dengan pendekatan satuan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu

Titik-titik Longsor Peta bentuk lahan

Peta lereng Peta satuan lahan

Wawancara SRTM 30m, peta geologi, peta kontur (12,5m), penelitian sebelumnya (Afwilla 2015, Lukman 2015) DEM – SRTM (30m) Peta bentuklahan dan kemiringan lereng Identifikasi titik longsor Interpretasi citra visual Analisis morfometri Overlay Memprediksi persebaran spasial daerah bahaya

Peta satuan lahan, dan data titik-titik longsor

Hasil dari tujuan no. 1

Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Metode Analisis longsor di wilayah

DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan AHP Kuesioner Peta Tematik terkait parameter bahaya longsor Para pakar di bidang terkait longsor BIG, Pusat Geologi Bandung, BPDAS, SRTM 30m, Google Earth AHP (Expert Choice 2000) On-screen Digitation, Scoring, dan Overlay Mengetahui faktor utama penyebab longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan statistik

Peta satuan lahan, dan data titik-titik longsor

Peta Tematik terkait parameter bahaya longsor

Hasil dari tujuan no. 1 BIG, Pusat Geologi Bandung, BPDAS, SRTM 30m Analisis Statistik Regresi Logistik Ordinal Analisis Statistik Regresi Berganda Overlay

Tahap Pengolahan Data

Pada tahap ini diawali dengan pengolahan data, seperti penentuan batas wilayah, penyamaan proyeksi, koreksi geometrik, dan juga interpretasi dan analisis terhadap data sekunder. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan data antara lain :

a. Pembuatan Peta Bentuklahan (Landform)

Peta bentuklahan dalam penelitian ini sebagian diambil dari penelitian Afwilla (2015) dan Lukman (2015) dan sebagian dilakukan dari interpretasi citra. Peta bentuklahan di interpretasi berdasarkan gabungan antara citra

hillshade SRTM (30 meter), peta kontur dengan interval 12,5 meter, dan peta geologi wilayah penelitian. Sistem klasifikasi bentuklahan mengacu pada sistem ITC (Van Zuidam 1985) dengan modifikasi pada pemberian simbolnya. Sistem ini mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: morfologi (relief), morfogenesis (litologi dan proses geomorfik), morfokronologi (tahap pembentukan dan perkembangan bentuklahan), dan morfoarrangement (hubungan susunan keruangan bentuklahan dan proses yang membentuknya).

Morfologi dibedakan menjadi morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan nama benetuklahan (dataran, perbukitan, pegunungan, dan plateau), sedangkan morfometri berkaitan dengan aspek kuantitatif bentuklahan (kecuraman lereng, ketinggian, arah lereng, dan sebagainya). Morfogenesis mengkaji asal mula bentuklahan atau proses-proses pembentukan bentuklahan tersebut, dan morfokronologi mengkaji umur secara relatif dan absolute atau tahap perkembangan bentuklahan.

b. Pembuatan Peta Satuan Lahan (Land Unit)

Peta satuan lahan dibuat dari hasil gabungan antara peta bentuklahan (landform) dan peta kemiringan lereng. Peta satuan lahan selanjutnya dijadikan sebagai satuan pemetaan atau unit analisis dan acuan untuk kerja lapang

(fieldwork) serta untuk memprediksi tingkat bahaya longsor. Pengambilan titik-titik sampel dilakukan secara sistematis berdasarkan satuan lahan, bersifat acak namun merata sehingga setiap satuan lahan terwakili.

c. Pembuatan Peta Bahaya Longsor

Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani (2013) yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan (pemotongan) lereng. Selain itu mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini selanjutnya dianalisis dengan metode AHP (Expert Choice 2000) sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter. Tabel skor parameter bahaya longsor hasil AHP dapat dilihat pada Tabel 3.

Untuk menentukan kelas bahaya longsor, nilai skor dan bobot dari masing-masing parameter dikalikan. Kemudian nilai tersebut dipakai dalam menentukan interval bahaya longsor pada jumlah kelas yang telah ditentukan (3 kelas). Metode penentuan tingkat bahaya menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) dalam Ikqra (2012), yaitu:

Dari hasil perhitungan di atas maka didapatkan total nilai tertinggi bahaya longsor, yaitu 43,93 dan terendah adalah 9,82, sedangkan nilai interval bahaya longsor sebesar 11,37 (Tabel 2).

Tabel 2 Skor interval bahaya longsor

Skor Interval Tingkat Bahaya Kelas

9,82 – 21,19 Rendah 1

21,20 – 32,57 Sedang 2

32,58 – 43,93 Tinggi 3

d. Analisis Bahaya Longsor

Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya longsor. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian dinilai berdasarkan perkalian antara bobot dengan skor.

Semua parameter tersebut kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Proses ini dikerjakan dengan memakai software ArcGIS. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh peta bahaya tanah longsor. Berikut rumus perhitungan skor total:

LH = 0.272(KL)+0.089(KPB)+0.064(G)+0.172(CH)+0.145(LU)+0.258(GL)

Keterangan: KL = Kemiringan Lereng (%), KPB = Kedalaman Pelapukan Batuan (m), G = Jenis Batuan, CH = Curah Hujan (mm/tahun), LU = Tutupan Lahan, GL = Gangguan (pemotongan) lereng (m)

Tahap Kerja Lapangan

Peta acuan untuk pekerjaan di lapangan adalah menggunakan peta satuan lahan (land unit). Dari peta ini direncanakan ada sebanyak 135 titik yang akan dikunjungi dan sudah mewakili semua satuan lahan yang ada. Untuk menentukan posisi geografis lokasi pengamatan digunakan alat GPS (Global Positioning System).

Pekerjaan lapangan juga digunakan untuk mengumpulkan data primer berupa wawancara dengan penduduk, tipe longsoran, pengecekan jenis batuan, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan dokumentasi berupa foto.

Hasil dari pekerjaan di lapangan dan informasi yang didapat akan dijadikan bahan untuk analisis bahaya longsor berdasarkan kejadian longsor yang ada di lapangan.

Tahap Analisis Data Akhir

Analisis berikutnya adalah mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan berdasarkan data yang didapat di lapangan dengan menggunakan analisis statistik regresi logistik ordinal pada SPSS. Pada tahap ini selanjutnya juga akan dilakukan analisis sebaran bahaya longsor berdasarkan bobot nilai statistik regresi berganda dari data kejadian longsor di lapangan. Setelahnya dibandingkan dengan pemetaaan bahaya longsor versi AHP untuk melihat hasil yang persamaan atau perbedaan di antara dua buah pendekatan tersebut. Arahan-arahan mitigasi yang terbaik untuk wilayah penelitian juga dibuat pada tahap ini.

Tabel 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor

Parameter Bobot Skor Nilai Kemiringan Lereng (%) 0,272 >45 (Sangat Curam) 46 12,51 30-45 (Curam) 29,7 8,08 15-30 (Agak Curam) 12,8 3,48 8-15 (Landai) 7,2 1,96 <8 (Datar) 4,3 1,17

Kedalaman Pelapukan Batuan 0,089

> 120cm 43 3,83 90 – 120 cm 25,2 2,24 60 – 90 cm 15,2 1,35 30 – 60 cm 10 0,89 < 30 cm 6,6 0,59 Jenis Batuan 0,064 Batu Liat/Claystone 24,7 1,58 Batu Napal 19,1 1,22 Batu Pasir/Sand 17,1 1,09 Batuan piroklastik 12 0,77

Parameter Bobot Skor Nilai

Batu Konglomerat 10,7 0,68

Batu Kapur/Limestone 9 0,58

Batuan Lava dan Breksi Vulkanik 7,4 0,47

Curah Hujan 0,172 >= 2300 mm/tahun 46,8 8,05 2201 – 2300 mm/tahun 25,2 4,33 2101 – 2200 mm/tahun 14,9 2,56 2001 – 2100 mm/tahun 8,2 1,41 1900 – 2000 mm/tahun 4,8 0,83 Tutupan Lahan 0,145 Permukiman 31,3 4,53 Tegalan, sawah 25,6 3,71 Semak belukar 22,7 3,29 Perairan 13,4 1,94 Hutan, Perkebunan 7 1,01

Gangguan (pemotongan) lereng 0,258

Berat 54,9 14,16

Sedang 26,1 6,73

Ringan 19 4,90

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis dan Administratif

Secara geografis DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” BT sampai 107°07’00” BT dan 06°26’00” LS sampai 06°41’00” LS dan terletak pada kisaran ketinggian 50 sampai 1.662 mdpl. Luas DAS Kali Bekasi bagian hulu adalah 26.912,17 ha dengan batas-batas : di sebelah utara adalah DAS Kali Bekasi bagian tengah, di sebelah timur adalah DAS Citarum, dan di sebelah selatan dan barat adalah DAS Ciliwung.

Wilayah yang termasuk ke dalam DAS Kali Bekasi bagian hulu secara administratif terdiri dari enam kecamatan yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Kelapa Nunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja (Tabel 4 dan Gambar 2).

Tabel 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian

Kecamatan Luas (ha)

Babakan madang 6.886,61

Citeureup 4.170,24

Jonggol 4.515,11

Kecamatan Luas (ha)

Sukamakmur 3.711,38

Sukaraja 934,97

Gambar 2 Lokasi administratif wilayah penelitian

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian Kemiringan Lereng

Peta kemiringan lereng dibuat dari peta kontur dengan interval 12,5 meter yang diperoleh dari data SRTM 30 meter. Kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 5 kelas, yaitu lebih kecil dari 8% (datar), 8% - 15% (landai), 15% - 30% (agak curam), 30% - 45% (curam), dan lebih besar dari 45% (sangat curam). Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 3, dan sebaran luas kemiringan lereng pada wilayah penelitian ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian

Kemiringan Lereng Luas

Ha % <8% (Datar) 12.192,03 45,30 8-15% (Landai) 2.212,88 8,22 15-30% (Agak Curam) 6.576,32 24,44 30-45% (Curam) 1.597,69 5,94 >45% (Sangat Curam) 4.333,26 16,10 Total 26.912,17 100,00

Berdasarkan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kemiringan lereng < 8% memiliki luasan yang tertinggi yaitu sebesar 45,30% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan kemiringan lereng 30-45% memiliki luasan yang terendah yaitu 5,94% dari luas total wilayah penelitian.

Gambar 3 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian

Curah Hujan

Data curah hujan yang dibuat diperoleh dari data curah hujan tahunan BPDAS Citarum-Ciliwung. Secara umum, keadaan iklim di wilayah penelitian relatif sama dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di DAS Kali Bekasi bagian hulu termasuk iklim tipe A (sangat basah) di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.800 - 2.400 mm, dimana curah hujan tinggi terjadi pada wilayah yang memiliki bentuklahan pegunungan, yaitu di Kecamatan Citeureup, Babakan Madang, dan Sukamakmur. Peta sebaran curah hujan wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian

Geologi

Informasi geologi wilayah penelitian diambil dari Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Secara umum jenis batuan di DAS Kali Bekasi bagian hulu dibagi menjadi 6 (enam) kategori, yaitu Claystone, Konglomerat, Lava dan Breksi Vulkanik, Limestone, Piroklastik, dan Sandstone (Gambar 5 dan Tabel 6).

Tabel 6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian

Geologi Luas

Ha %

Claystone 10.950,39 40,69

Konglomerat 394,09 1,46

Lava dan Breksi Vulkanik 5.378,82 19,99

Limestone 9.938,96 36,93

Piroklastik 85,34 0,32

Sandstone 164,61 0,61

Gambar 5 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian

Berdasarkan pengklasifikasian batuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, terdapat 4 jenis batuan utama yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen, batuan endapan, dan terobosan. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan Qvk; batuan sedimen terdiri atas satuan batuan Mdm, Mk, Tmj, Tmk, Tmp, dan Tms; satuan batuan endapan terdiri dari Qa, Qav, dan Qoa; dan satuan batuan terobosan terdiri dari satuan batuan a.

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa luas satuan batuan yang paling dominan adalah batuan batu liat (claystone) dan batuan batu kapur (limestone) yaitu sebesar 10.950,39 hektar atau 40,69% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan batuan yang paling sedikit adalah batuan Piroklastik dan Sandstone yaitu hanya 85,34 ha dan 165,61 ha atau 0,32% dan 0,61% dari luas total wilayah penelitian.

Bentuklahan

Dari hasil interpretasi dan pekerjaan lapang, bentuklahan daerah penelitian dapat dipilih menjadi 6 jenis asal proses geomorfik, yaitu denudasional, fluvial, karst, plutonik, vulkanik, dan vulkanik denudasional (Tabel 7 dan Gambar 6) Tabel 7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Bentuklahan Luas

ha %

Denudasional 11.102,29 41,81

Bentuklahan Luas ha % Karst 5.854,05 22,05 Plutonik 152,05 0,57 Vulkanik 339,95 1,28 Vulkanik denudasional 7.942,53 29,91 Total 26.912,17 100,00

Proses pembentukan lahan yang terjadi di daerah penelitian dapat dijelaskan melalui proses awal dan proses lanjutan. Proses awal terjadi secara

endogenetic (diastrophysme dan volcanisme) dan proses lanjutan terjadi secara

exogenetic (degradation dan aggradation). Proses endogenetik yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa proses tektonik lipatan dan gejala vulkanisme.

Berdasarkan data pengamatan lapang, bentuklahan yang dihasilkan oleh proses exogenetic adalah jalur sungai, tebing sungai, lembah, dan teras-teras sungai. Tenaga yang berperan pada proses tersebut adalah air yang mengalir melalui proses erosi dan deposisi. Proses aggradasi terjadi pada daerah-daerah lembah yang dijumpai di daerah lipatan yakni berupa dataran deposisional (alluvial).

Gambar 7 Landform pegunungan di daerah penelitian

Gambar 8 Landform perbukitan di daerah penelitian

Penutupan Lahan

Berdasarkan hasil analisis citra satelit Google Earth tahun 2011 dan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Geospasial) di wilayah penelitian, diperoleh 6 kelas penutupan lahan, yaitu hutan dan perkebunan, permukiman, pertambangan, tegalan dan sawah, semak, dan perairan. Peta penutupan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu disajikan pada Gambar 9.

Berdasarkan data penutupan lahan yang didapatkan, terlihat bahwa penutupan lahan terluas adalah tegalan dan sawah yaitu sebesar 47,36%, kemudian diikuti hutan dan perkebundan sebesar 27,92%, dan permukiman sebesar 11,12% dari luas total daerah penelitian. Sebaran luas penutupan lahan do wilayah penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Land Cover Luas

Ha %

Hutan dan Perkebunan 7.514,86 27,92

Permukiman 2.991,98 11,12

Tegalan dan Sawah 12.745,40 47,36

Semak 2.682,60 9,97

Perairan 4,91 0,02

Grand Total 26.912,17 100,00

Gambar 9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian

Gangguan Lereng

Parameter gangguan (pemotongan) lereng pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar tingkat pemotongan lereng yang terjadi pada wilayah penelitian ini. Peta gangguan lereng ini didapatkan dengan membuat rata-rata pemotongan lereng di tiap satuan lahan (land unit) kemudian dikalikan dengan jumlah kejadian gangguan lereng yang terjadi di lapangan dalam satuan lahan yang sama. Apabila tingkat pemotongan lereng besar, maka semakin berpotensi menghasilkan bencana longsor di daerah tersebut. Peta gangguan lereng dibagi menjadi 3 kelas, yaitu ringan (pemotongan lereng 20 – 137m), sedang (138 – 255m), dan tinggi ( > 256m).

Berdasarkan peta gangguan lereng dan data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa gangguan lereng ringan tampak dominan di wilayah penelitian, yaitu sebesar 55,76% dari luas total daerah penelitian, sedangkan gangguan yang berat hanya sebesar 8,22%. Peta dan sebaran luasan gangguan lereng pada wilayah penelitian disajikan pada Gambar 10 dan Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu

Gangguan Lereng Luas

ha %

Ringan 15.006,70 55,76

Sedang 9.694,35 36,02

Berat 2.211,19 8,22

Grand Total 26.912,17 100

Gambar 10 Peta gangguan lereng di wilayah penelitian

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Peta Satuan Lahan (Land Unit) Daerah Penelitian

Peta satuan lahan merupakan peta yang digunakan untuk acuan dalam identifikasi titik-titik longsor di lapangan dan digunakan sebagai satuan pemetaan (mapping unit). Peta satuan lahan pada penelitian ini didapatkan dari proses

overlay antara peta landform dan peta kemiringan lereng wilayah penelitian. Satuan lahan yang didapatkan di daerah penelitian ada sebanyak 102 (Gambar 11).

Gambar 11 Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang

Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan

Titik observasi yang direncanakan untuk pekerjaan lapang ada sebanyak 135 titik dimana tiap satu jenis satuan lahan dapat diambil lebih dari 1 sampel sesuai dengan proporsi luasannya. Peta satuan lahan dan peta titik rencana pekerjaan lapang dapat dilihat pada Gambar 11.

Dari 135 titik yang sudah direncanakan, ada sebanyak 85 titik yang bisa didatangi di wilayah penelitian. Hal ini disebabkan akses ke titik-titik yang dituju tidak memungkinkan baik karena adanya hambatan topografis maupun hambatan-hambatan lainnya. Peta titik sebaran daerah penelitian yang dapat didatangi dapat dilihat pada Gambar 12.

Dalam hal ini dari 85 titik yang diobservasi, 42 titik diantaranya ditemukan kejadian longsor (Gambar 13). Secara spasial dari 42 titik longsor tersebut, 28 di antaranya ditemukan pada landform denudasional, 2 titik longsor pada landform fluvial, 4 titik longsor pada landform karst, dan 8 longsor titik pada

landform vulkanik denudasional.

Dari semua titik longsor tersebut, bila dilihat dari peta satuan lahan ada sebanyak 15 titik yang berada pada kemiringan lereng <8%, 7 titik berada pada kemiringan lereng 8-15%, 2 titik berada pada kemiringan lereng 15-30%, 15 titik pada kemiringan lereng 30-45%, dan 3 titik pada kemiringan lereng >45% . Dengan demikian titik-titik longsor yang banyak dijumpai berada pada kemiringan lereng < 8% dan kemiringan lereng 30-45%.

Dari hasil pengamatan pada 42 titik longsor di lapangan, karakteristik longsor yang umum ditemukan, yaitu longsor tipe slide dan aliran massa tanah dan batuan (earth flow).

Fenomena longsor yang terjadi pada daerah penelitian ini banyak disebabkan oleh beban bangunan (rumah, jalanan, dan lain lain) yang begitu besar dan juga sebagian merupakan akibat dari aktifitas manusia seperti penambangan, pembangunan jalan, dan permukiman dengan memotong lereng. Pembangunan daerah permukiman di bagian lereng atas dapat membuat lereng tersebut kehilangan kestabilannya apabila bagian kaki lereng tidak didukung oleh bangungan penguat (konservasi) yang dapat mendukung lereng tersebut. Selain itu, curah hujan yang jatuh di lereng atas bila masuk ke dalam retakan tanah, maka bobot tanah akan bertambah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah tersebut akan menjadi licin dan massa tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng, sehingga massa batuan keluar lereng, maka terjadilah longsor.

Gambar 13 Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian

Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi

Jika dilihat dari jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan per kecamatan, maka kejadian longsor paling banyak berada di wilayah Kecamaatan Babakan Madang, yaitu sebanyak 16 dan diikuti oleh Kecamatan Sukamakmur sebanyak 10, sedangkan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Sukaraja. Untuk

Dokumen terkait