• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN RESPONS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI

DAS WAY BETUNG

ZAENAL MUBAROK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Respons Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ZAENAL MUBAROK. Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO sebagai ketua komisi pembimbing dan ENNI DWI WAHJUNIE sebagai anggota komisi pembimbing.

Tekanan lahan DAS Way Betung yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk sebesar 114.973 jiwa (2007) menjadi 134.792 jiwa (2012) berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan sehingga mempengaruhi karakteristik hidrologi DAS. Pendekatan kajian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi dapat menggunakan model hidrologi. Model hidrologi SWAT dapat memprediksi karakteristik hidrologi DAS yang dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan lahan.

Tujuan penelitian i ni meliputi : 1) Melakukan prediksi karakteristik hidrologi DAS Way Betung dengan menggunakan model SWAT; 2) Mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi; 3) Menyusun rekomendasi perencanaan penggunaan lahan DAS Way Betung yang terbaik.

Pelaksanaan penelitian terbagi atas 3 (tiga) tahap yaitu : (1) Pengumpulan peta dan data; (2) Pengolahan data masukan (input) model; (3) Menjalankan model SWAT. Kegiatan pada tahap 1 meliputi : pengumpulan peta dan data berupa peta dan data tanah, peta penggunaan lahan, Digital Elevation Model (DEM), data iklim, dan data hidrologi. Kegiatan pada tahap 2 meliputi : pengolahan data masukan (input) model SWAT untuk proses delineasi DAS (watershed delineation), analisis HRU (HRU analysis), dan pembuatan basis data iklim (weather generator data). Kegiatan tahap 3 meliputi : menjalankan model SWAT melalui urutan proses dimulai dengan delineasi DAS (watershed delineation), analisis HRU (HRU analysis), membuat basis data iklim (weather generator data), membangun data masukan model SWAT, simulasi model SWAT (SWAT simulation), kalibrasi dan validasi.

Parameter model SWAT yang disesuaikan pada proses kalibrasi adalah CN2 (SCS curve number), ALPHA_BF (Faktor alpha aliran dasar), GW_DELAY (waktu air menuju zona jenuh), GWQMN (ambang batas kedalaman air di aquifer dangkal untuk terjadi aliran air), GW_REVAP (koefisien revap air bawah tanah), RCHRG_DP (fraksi perkolasi perairan dalam), ESCO (faktor evaporasi tanah), ESCO (faktor uptake tanaman), CH_N2 (nilai Manning untuk saluran utama), CH_K2 (hantaran hidrolik pada saluran utama aluvium), SOL_K (konduktivitas hidrolik jenuh), SOL_AWC (kapasitas air tersedia), dan SURLAG (koefisien lag aliran permukaan). Kalibrasi model terhadap periode tahun 2010 menghasilkan nilai korelasi R² = 0.71 dan NS = 0.69. Konsistensi hasil model ditunjukkan oleh hasil validasi periode tahun 2011 yang diperoleh nilai R² = 0.75 dan NS = 0.80.

(5)

Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2001 dan 2010 ditunjukkan oleh jumlah total air sungai, nilai KRS, dan nilai C tahun 2001 dan 2010 masing-masing sebesar 1 143.25 mm, 38.83 (baik) dan 0.10 (baik) menjadi 802.26 mm, 50.27 (sedang) dan 0.12 (baik).

Penggunaan lahan yang direkomendasikan pada DAS Way Betung adalah penerapan agroteknologi pada lahan pertanian sesuai dengan fungsi kawasan hutan (skenario 3) dan penerapan agroteknologi pada penggunaan lahan kondisi saat ini (existing) (skenario 2) sebagai skenario alternatif. Nilai KRS skenario 3 dan 2 masing-masing sebesar 29.39 (baik) dan 36.10 (baik), dan nilai C masing-masing sebesar 0.11 (baik) dan 0.12 (baik) lebih baik dibandingkan kondisi saat ini (existing).

(6)

SUMMARY

ZAENAL MUBAROK. Response of Land Use Change on Hydrological Characteristics of Way Betung Watershed. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO as chairman and ENNI DWI WAHJUNIE as member of advisory committee.

The land pressure of Way Betung Watershed (DAS) caused by a population increase from 114,973 people (2007) to 134,792 people (2012) has influenced the change in land use and hydrological characteristics. The model used in this study was a hydrological model, which examined the effect of land use change on the hydrological characteristics. SWAT hydrological model could predict the hydrological characteristics influenced by the change in land management.

The aims of this study were: 1) to conduct a prediction on the hydrological characteristics of Way Betung Watershed using SWAT model; 2) to assess the impact of land use change on hydrological characteristics; and, 3) to recommend the best landuse of Way Betung Watershed.

The research was carried out in three (3) stages: (1) collecting maps and data, (2) processing input data of the model, and (3) running SWAT model. Phase 1 included such activities as collecting maps and data in the form of maps and soil data, land use maps, Digital Elevation Model (DEM), climate data, and hydrological data. Phase 2 included processing input data of SWAT model for watershed delineation process (watershed delineation), analyzing HRU (HRU analysis), and building a database of climate (weather generator data). Phase 3 included running SWAT model through a sequence of processes starting with watershed delineation, HRU analysis, weather generator data, the building of input data of SWAT model, SWAT simulation, calibration and validation.

The SWAT model parameters adjusted to the calibration process were CN2 (SCS curve number), ALPHA_BF (base flow alpha factor), GW_DELAY (when the water went to toward the saturated zone), GWQMN ( threshold of water depth in the shallow aquifer for water flow to occur), GW_REVAP (revap coefficient of underground water), RCHRG_DP (fraction of deep waters percolation), ESCO (soil evaporation factor), ESCO (plant uptake factor), CH_N2 (manning value for the main channel), CH_K2 (hydraulic conductivity in the main alluvium channel), SOL_K (saturated hydraulic conductivity), SOL_AWC (available water capacity), and SURLAG (lag coefficient of surface runoff). Model calibration towards the period of 2010 resulted in a correlation value of R ² = 0.71 and NS = 0.69. The consistency of the model result was shown by the validation result of 2011 period with the value of R² = 0.75 and NS = 0.80.

SWAT model was able to predict the effects of land use on the hydrological characteristics of Way Betung watershed in 2010 that was indicated by the water yield , surface runoff, lateral flow, and base flow, KRS value and C value is 802.26 mm, 193.74 mm, 455.80 mm, 152.72 mm, 50.27 (medium), and 0.12 (good) respectively.

(7)

and C value in 2001 and 2010 is 1 143.25 mm, 38.83 (good) and 0.10 (good) to 802.26 mm, 50.27 (medium) and 0.12 (good) respectively.

The recommendations of the land use in Way Betung Watershed are the application of agro technology on agricultural land in line with the functions of forest area (scenario 3) and the application of agro technology on the existing land use (scenario 2) as an alternative scenario. KRS values of scenarios 3 and 2 is 29.39 (good) and 36.10 (good) respectively; beside C value is 0.11 (good) and 0.12 (good) respectively. It is better than the existing land use.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

KAJIAN RESPON PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROLOGI

DAS WAY BETUNG

ZAENAL MUBAROK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup:

(11)

Judul Tesis : Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung

Nama : Zaenal Mubarok NIM : A155110051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWTatas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Desember 2013 adalah karakteristik hidrologi, dengan judul “Kajian Respons Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi DAS Way Betung”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada :

1. Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

2. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang memberikan fasilitas biaya pendidikan di sekolah pascasarjana IPB.

3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Bogor yang membantu administrasi dan fasilitator mahasiswa dengan IPB.

4. Balai Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung sebagai tempat bekerja penulis.

5. Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Taman Hutan Raya (TAHURA) Wan Abdurrahman, Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Provinsi Lampung yang memberikan data yang mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah.

6. Heri Meylina (istri), Azriel Bilhaq dan Azkya Luthfiana (anak-anak) yang selalu mendukung dengan do’a dan kesabaran serta keikhlasan.

7. Seluruh keluarga besar di Sukabumi dan Bandar Lampung yang telah

memberikan do’a, kesabaran, serta dukungan.

8. Teman-teman Program Studi DAS 2011, Ilmu Tanah 2011, SIL 2011, dan PWL 2011 atas bantuan dan kerjasamanya.

Ucapan dan rasa syukur juga disampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mendukung dalam kelancaran pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

Kerangka Pikir Penelitian 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Daerah Aliran Sungai (DAS) 4

Penggunaan Lahan 5

Perubahan Penggunaan Lahan 6

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) 7

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respons Hidrologi 7

Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) 8

Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT) 9

3 METODOLOGI PENELITIAN 14

Waktu dan Lokasi Penelitian 14

Bahan dan Alat 14

Tahapan Penelitian 14

Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT 23 Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap

Aspek Hidrologi 23

Skenario Perencanaan Penggunaan Lahan 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 24

Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT 29

Kalibrasi Model 32

Validasi Model 38

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Aspek Hidrologi 39

Skenario Perubahan Penggunaan Lahan 45

Rekomendasi Pengelolaan Penggunaan Lahan yang Terbaik 50

5 SIMPULAN DAN SARAN 52

Simpulan 52

(16)

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 55

RIWAYAT HIDUP 99

DAFTAR TABEL

1. Parameter basis data iklim (Weather Generator Data) 19

2. Edit SWAT input 21

3. Kelas Lereng DAS Way Betung 26

4. Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 29

5. Jumlah penduduk DAS Way Betung tahun 2010 29

6. Luas sub DAS hasil delineasi model SWAT 31

7. Total air sungai (WATER YLD) DAS Way Betung tahun 2010

sebelum kalibrasi 33

8. Nilai parameter pada tahap kalibrasi model SWAT 36 9. Total air sungai (WATER YLD) DAS Way Betung tahun 2010

sesudah kalibrasi 37

10. Analisis karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 38 11. Validasi model SWAT terkalibrasi terhadap total air sungai

DAS Way Betung tahun 2001, 2006, dan 2010 41

15. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap fluktuasi debit

DAS Way Betung tahun 2001-2010 41

16. Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 berdasarkan

peta fungsi kawasan hutan 45

17. Perubahan Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010

berdasarkan peta fungsi kawasan hutan 46

18. Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 1 46 19. Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 1 48 20. Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 2 48 21. Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 2 49 22. Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 3 49 23. Fluktuasi debit sungai DAS Way Betung tahun 2010 pada skenario 3 49 24. Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010 pada

masing-masing skenario 51

25. Nilai koefisien regim sungai (KRS) DAS Way Betung tahun 2010

pada maing-masing skenario 51

26. Karakteristik hidrologi DAS Way Betung tahun 2010

(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian 4

2. Representasi siklus hidrologi 11

3. Proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT 11 4. Hubungan antara curah hujan dan runoff dalam metode

Curva Number SCS 12

5. Lokasi penelitian DAS Way Betung 16

6. Diagram alir tahapan penelitian 17

7. Delineasi DAS 20

8. Analisis HRU 20

9. Input basis data iklim 21

10. Simulasi SWAT (SWAT Simulation) 22

11. Curah hujan tahunan DAS Way Betung tahun 2001–2010 25 12. Curah hujan rata-rata bulanan DAS Way Betung tahun 2001-2010 25

13. Peta sebaran kelas lereng DAS Way Betung 27

14. Peta sebaran jenis tanah DAS Way Betung 28

15. Peta sebaran sub DAS pada DAS Way Betung 30

16. Perbandingan total air sungai DAS Way Betung tahun 2010 hasil pengukuran dengan model SWAT sebelum kalibrasi 33 17. Perbandingan total air sungai sungai DAS Way Betung tahun 2010

hasil pengukuran dengan model SWATsetelah kalibrasi 37 18. Validasi model SWAT terkalibrasi terhadap total air sungai

DAS Way Betung tahun 2011 39

19. Jenis dan luas penggunaan lahan dan luas DAS Way

Betung tahun 2001-2010 40

20. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2001 42 21. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2006 43 22. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 44 23. Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010 sesuai peta

fungsi kawasan hutan (Skenario 2) 47

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lokasi pengambilan contoh tanah 56

2. Input database sifat fisik tanah dalam model SWAT 57 3. HRU yang terbentuk dalam model SWAT dengan metode treshold

by percentage 68

4. Input database iklim dalam model SWAT 76

5. Curah hujan dan debit observasi DAS Way Betung 81 6. Bilangan kurva (CN) aliran permukaan untuk berbagai komplek

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Propinsi Lampung memiliki luas daratan 35 288.35 km2 yang terbagi atas 14 Kabupaten/kota, sedangkan luas kawasan hutan adalah 1 004 735 ha (30.3% dari luas daratan). DAS besar di Provinsi Lampung sebanyak 6 (enam) terdiri atas DAS Tulang Bawang seluas 979 819 ha, DAS Seputih seluas 751 527 ha, DAS Mesuji seluas 723 715 ha, DAS Sekampung seluas 482.316 ha, DAS Semangka 161 441 ha, dan DAS Abar Kambas seluas 156 338 ha.

DAS Way Betung merupakan salah satu DAS yang termasuk kedalam wilayah DAS Sekampung. DAS Sekampung meliputi 8 wilayah administrasi Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Lampung Tengah, Kota Bandar Lampung, Kota Metro, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Lampung Timur. Hulu DAS Way Betung merupakan kawasan hutan yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman (TAHURA WAR) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.408/KPTS-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993 tentang perubahan fungsi dan penunjukan kawasan hutan lindung Gunung Betung (Register 19) seluas 22 249 ha menjadi TAHURA. Pengelolaan DAS Way Betung secara sinergi dilakukan bersama antara Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dengan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Way Seputih Way Sekampung.

Wilayah DAS Way Betung secara administrasi termasuk kedalam wilayah Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Wilayah Kota Bandar Lampung yang termasuk kedalam wilayah DAS Way Betung adalah Kecamatan Teluk Betung Barat dan Kecamatan Kemiling. Keberadaan DAS Way Betung memiliki peran sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan air masyarakat Kota Bandar Lampung. Sebagian besar kebutuhan air minum Kota Bandar Lampung dipasok oleh PDAM Way Rilau dengan sumber air baku berasal dari sungai Way Betung. Sebagian besar aktivitas penduduk DAS Way Betung tergantung pada sektor pertanian. Meningkatnya jumlah penduduk di dua kecamatan tersebut berpengaruh tehadap meningkatnya pemanfaatan lahan yang mengakibatkan perubahan kondisi biofisik DAS Way Betung. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap karakteristik hidrologi DAS Way Betung yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya nilai rasio antara debit maksimum dan debit minimum (Qmax/Qmin) (Yuwono 2011). Kondisi tersebut disebabkan oleh hutan yang merupakan hulu DAS Way Betung berubah menjadi penggunaan lahan lainnya. Perubahan hutan di wilayah DAS menjadi penggunaan lainnya berdampak negatif terhadap karakteristik hidrologi. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dipastikan akan mengakibatkan perubahan karakterisitik hidrologi DAS (Pawitan 2006).

(20)

2

Menurut Pawitan (2006), pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan dapat mengontrol perubahan aliran air dan meminimalkan kerusakan tanah. Pengawasan terhadap perubahan penggunaan lahan terhadap respons hidrologi perlu dilakukan melalui kajian. Kajian dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan evaluasi dan berbagai pengukuran di lapang atau memprediksinya dengan menggunakan model (Rachman dan Dariah 2007).

Model hidrologi digunakan untuk mengkaji perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi. Salah satu model hidrologi yang sering digunakan adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). SWAT merupakan model hidrologi yang banyak digunakan untuk mengevaluasi dampak iklim, penggunaan lahan, dan pengelolaan lahan terhadap karakteristik hidrologi (Arnold et al. 2011).

Perumusan Masalah

DAS Way Betung berdasarkan peta tutupan lahan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan memiliki luas 5 119.63 ha. Jenis tutupan lahan DAS Way Betung terdiri atas hutan lahan kering sekunder, kebun campuran, pemukiman, pertanian lahan kering, dan petanian lahan kering campuran. Periode tahun 2001 sampai 2006 terjadi perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung dengan menurunnya luas hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering campuran masing-masing seluas 254.30 ha dan 1 267.27 ha. Disisi lain terjadi peningkatan signifikan luas kebun campuran dan pemukiman masing-masing seluas 1 499.25 ha, dan 82.54 ha. Sedangkan pertanian lahan kering berubah menjadi tipe penggunaan lahan lainnya. Perubahan hutan lahan kering sekunder di sebabkan oleh bertambahnya areal pertanian lahan kering campuran, sedangkan berkurangnya pertanian lahan kering campuran disebabkan oleh meningkatnya pemukiman dan kebun campuran.

Kondisi di atas menggambarkan adanya tekanan terhadap lahan DAS Way Betung. Pemukiman dan kebun campuran bertambah disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk disekitar DAS Way Betung. Berdasarkan data BPS Kota Bandar Lampung (2013), jumlah penduduk Kecamatan Teluk Betung Barat

dan Kecamatan Kemiling terjadi peningkatan semula tahun 2007 berjumlah 114 973 jiwa menjadi 134 792 jiwa pada tahun 2012. Pertambahan jumlah

penduduk mengakibatkan tekanan terhadap lahan sehingga meningkatnya pemanfaatan lahan. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya perubahan pertanian lahan kering menjadi areal pemukiman. Keterbatasan lahan pertanian cenderung merubah hutan sehingga terjadi kerusakan.

(21)

Perubahan penggunaan lahan pada DAS Way Betung mempengaruhi karakteristik hidrologi. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Unila (2003) di DAS Way Betung menunjukkan bahwa perambahan hutan dan izin hutan kemasyarakatan seluas 492.7 ha berdampak terhadap penurunan debit minimum rata-rata DAS Way Betung dari 1.1 m3/det tahun 1997 menjadi 0.9 m3/det tahun 2002. Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung sejak tahun 1991 hingga 2006 sebesar 973.30 ha menjadi 508.10 ha menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan (C) dari 48.6% (1991-1995) menjadi 61.6% (2002-2006) dan koefisien regim sungai (KRS) dari 11 (1991) menjadi 30 (2006) (Yuwono 2011).

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian berupa kajian perubahan penggunaan lahan terhadap respons hidrologi di DAS Way Betung sekaligus menyusun skenario penggunaan lahan untuk mengkaji kondisi hidrologi DAS Way Betung.

Kerangka Pikir Penelitian

Hulu DAS Way Betung merupakan kawasan hutan yang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Pertambahan jumlah penduduk DAS Way Betung yang bergantung pada sektor pertanian berpengaruh tehadap perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Unila (2002) dan Yuwono (2011), perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung mempengaruhi karakteristik hidologi.

Upaya pemecahan masalah yaitu melakukan analisis karakteristik hidrologi melalui pengembangan pola pengelolaan dan penggunaan lahan yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan.

Analisis karakteristik hidrologi DAS yang dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan model hidrologi. Salah satu model hidrologi yang baik digunakan adalah model SWAT (Soil and Water Assesment Tools). Aplikasi model SWAT digunakan untuk mensimulasi perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi DAS Way Betung. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, tujuan penelitian adalah: 1. Melakukan prediksi karakteristik hidrologi DAS Way Betung dengan

menggunakan model SWAT.

2. Mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap karakteristik hidrologi.

3. Menyusun rekomendasi perencanaan penggunaan lahan DAS Way Betung yang terbaik.

Manfaat Penelitian

1. Menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat dalam menentukan kebijakan pengelolaan DAS Way Betung.

(22)

4

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan Daerah aliran sungai (DAS), Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS bukan hanya merupakan badan sungai, tetapi satu kesatuan seluruh ekosistem yang ada didalam pemisah topografis. Pemisah topografis di

Masalah DAS Way Betung

1. Pertambahan jumlah penduduk 2. Perambahan hutan

3. Perubahan penggunaan lahan hutan di DAS Way Betung

4. Menurunnya Qmin 1,1 m3/det (1997) menjadi 0,9 m3/det (2002) 5. Meningkatnya C 48,6% (1991-1995) menjadi 61,6% (2002-2006)

Kapasitas infiltrasi meningkat dan aliran permukaan

menurun

Simulasi model hidrologi dengan model SWAT (Kalibrasi dan Validasi)

Rencana penggunaan lahan yang terbaik Skenario rencana

(23)

darat berupa daerah yang paling tinggi biasanya punggung bukit yang merupakan batas antara satu DAS dengan DAS lainnya.

DAS terdiri atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Menurut Asdak (2004), ciri biogeofisik dari setiap bagian DAS adalah sebagai berikut: 1) Daerah hulu: sebagai daerah konservasi; kerapatan drainase lebih tinggi; memiliki kemiringan lereng lebih besar dari 15%; bukan merupakan daerah banjir; pemakaian air diatur berdasarkan pola drainase; vegetasi merupakan tegakan hutan. 2) Daerah tengah: bagian tengah merupakan daerah perubahan/transisi dari kondisi biogeofisik bagian hulu dan hilir. 3) Daerah hilir: sebagai daerah pemanfaatan; kerapatan drainase lebih kecil; memiliki kemiringan lereng kurang dari 8%; beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan); pemakaian air diatur berdasarkan bangunan irigasi; vegetasi didominasi tanaman pertanian.

Daerah hulu suatu sungai merupakan bagian penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS (Asdak 2004). Ada keterkaitan antara daerah hulu dan hilir dalam suatu DAS sehingga kondisi daerah hilir dipengaruhi oleh seluruh aktivitas yang dilakukan di daerah hulu. Aktivitas manusia pada daerah hulu DAS baik yang bersifat perbaikan kondisi DAS maupun eksploitasi akan berdampak pada kondisi hidrologi daerah hilir. Oleh karena itu perlu adanya kegiatan pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS merupakan usaha untuk menggunakan semua sumberdaya (tanah, vegetasi, air dan sebagainya) pada DAS tersebut secara rasional untuk mendapatkan penggunaan lahan yang berkelanjutan demi tercapainya produksi maksimum atau optimum dalam waktu yang tidak terbatas dan untuk menekan bahaya kerusakan seminim mungkin sehingga didapat hasil air dalam jumlah, kualitas, dan distribusi yang baik (Sinukaban 2007a). Pengelolaan suatu DAS dikatakan berhasil apabila terpenuhi beberapa hal berikut yaitu: (1) Tercapainya kondisi hidrologis yang optimal, (2) Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, (3) Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang muncul dari bawah sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat dan (4) Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan (Departemen Kehutanan 2001).

Penggunaan Lahan

Lahan merupakan faktor produksi utama yang tidak dapat digantikan dalam usaha pertanian. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak (conditio sinequanon) dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Lahan memiliki peran dan fungsi penting bagi masyarakat Indonesia sebagai negara agraris, secara filosofis memiliki nilai ekonomis, nilai sosial, dan bahkan nilai religius.

(24)

6

bentukan alami maupun buatan manusia. Kegiatan manusia terhadap lingkungan alamiah menghasilkan lingkungan binaan menjadi ladang, sawah, dan pemukiman. Kegiatan manusia pada sebidang lahan memberikan gambaran suatu penggunaan lahan. Penutupan lahan adalah kondisi fisik di atas permukaan bumi. Perwujudan kondisi fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dengan mengesampingkan kegiatan manusia memberikan gambaran satu penutupan lahan. Penggunaan lahan lebih bersifat dinamis seiring dengan perkembangan kehidupan dan budaya manusia.

Informasi mengenai penutupan/penggunaan lahan diperoleh melalui dua pendekatan: 1) survei lapang dan 2) pemanfaatan teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Proses survei lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder. Proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutupan lahan/penggunaan lahan berpedoman pada klasifikasi penutupan lahan/penggunaan. Analisis citra landsat dapat menyadap tujuh kategori

penutupan lahan/penggunaan lahan: 1) Air, 2) Hutan, 3) Lahan pertanian, 4) Lahan rawa, 5) Lahan perdagangan, 6) Lahan pemukiman dengan bangunan

bertingkat tinggi, dan 7) Lahan pemukiman dengan bangunan bertingkat rendah (Sutanto 1998).

Perlindungan terhadap lahan agar dapat bermanfaat dan berdayaguna dalam jangka waktu lama diperlukan perencanaan. Perencanaan tataguna lahan diperlukan agar pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Perencanaan tataguna lahan merupakan salah satu upaya menghindari degradasi lahan. Menurut FAO (1995), degradasi lahan cenderung terus memburuk pada lahan-lahan tanpa perencanaan sebagai akibat pengambilan keputusan yang tidak tepat, struktur insentif kelembagaan yang mengarah pada pengambilan keputusan penggunaan lahan yang tidak sesuai atau akibat kebijakan penggunaan lahan yang hanya berorientasi pada eksploitasi lahan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya menjadi penggunaan lahan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.

Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari. Namun selain faktor pembangunan, perubahan penggunanan lahan dapat diakibatkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2004) bahwa perubahan penggunaan lahan tidak mungkin dihindari karena pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan pertanian tidak seimbang. Upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan merupakan faktor utama terjadinya perubahan penggunaan lahan dan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya.

(25)

perkembangan kelompok pemukiman yang menyebar tidak teratur sebagai bentuk lingkungan perumahan adalah faktor persaingan memperoleh lahan. Penduduk di pedesaan akan lebih memilih mempertahankan lahan pekarangan dan memindahkan aktivitas sosial ekonominya yang berlatar belakang pertanian menjadi pekarangan sekaligus pemukiman. Hal ini menyebabkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit sehingga para petani mulai merambah hutan dan lahan tidak produktif lainnya sebagai lahan pertanian. Berubahnya hutan menjadi penggunaan lahan lainnya berdampak terhadap kondisi tata air setempat. Perubahan fungsi lahan di daerah pinggiran/pedesaan yang memiliki karakteristik sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian menjadi lahan dengan kegiatan non pertanian akan mempengaruhi kondisi tata air/hidrologi (Rosnila 2005).

Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Karakteristik biofisik jenis tanah, penggunaan lahan, topografi, kemiringan, dan panjang lereng sebagai unsur utama DAS sangat berperan dalam sistem hidrologi DAS. Karakteristik biofisik DAS dalam merespons curah hujan dapat memberikan pengaruh terhadap sistem hidrologi DAS mencakup proses aliran permukaan, evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, kandungan air tanah, dan aliran sungai. Tanggapan DAS sebagai pengatur proses terhadap hujan akan memberikan keluaran akibat interaksi semua proses yang terjadi dalam DAS (Pawitan 2006).

Konsep siklus hidrologi (hydrology cycle) menjadikan dasar pemikiran untuk mempelajari siklus hidrologi DAS sebagaimana siklus hidrologi dalam skala luas (benua). DAS sebagai suatu sistem yang alami menjadi tempat berlangsungnya proses fisik hidrologis menjadi sarana untuk mempelajari respons hidrologi yang terjadi. Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi dalam ekosistem DAS bermanfaat bagi pengembangan sumber daya air dalam skala DAS.

Pengaruh penggunaan lahan terhadap sistem hidrologi DAS erat kaitannya dengan kegiatan manusia dalam merekayasa lahan. Perubahan penggunaan lahan dari satu tipe ke tipe lainnya baik permanen maupun sementara menjadi salah satu fokus dalam perencanaan pengelolaan DAS (Asdak 2004).

Unsur vegetasi memiliki peranan penting dalam sistem hidrologi DAS. Vegetasi dapat merubah sifat fisika maupun kimia tanah, mempengaruhi kondisi permukaan tanah sehingga akan berpengaruh terhadap besar kecilnya aliran permukaan.

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respons Hidrologi

(26)

8

berkurang yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada musim kemarau (Sinukaban 2007b). Disisi lain, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kelebihan air di permukaan pada musim hujan.

Menurut Asdak (2004), perubahan sifat aliran sungai yang terjadi adalah peningkatan koefisien aliran permukaan yaitu terjadinya peningkatan jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan sehingga meningkatkan debit sungai. Peningkatan debit puncak akan merubah bentuk hidrograf secara drastis dalam waktu yang relatif singkat.

Perubahan respons hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan juga dapat dilihat dari rasio antara debit maksimum dan debit minimum suatu sungai (Prastowo 2003). Rasio digunakan sebagai indikator keberhasilan pengelolaan DAS sehingga dapat diketahui kondisi kerusakan DAS. Tingginya fluktuasi debit maksimum dan minimum menunjukkan curah hujan yang tinggi sangat berpengaruh terhadap meningkatnya aliran permukaan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa DAS mengalami kerusakan fungsi hidrologi sehingga dapat dikatakan fungsi DAS telah terganggu serta terjadinya degradasi kualitas DAS. Hal ini dikarenakan tingginya aliran permukaan juga akan meningkatkan jumlah erosi dan sedimen yang terangkut aliran permukaan (Asdak 2004).

Model Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Model merupakan suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu (Dooge 1973). Suatu model yang baik akan menggambarkan dengan baik semua aspek penting dari kelakuan dunia nyata dalam masalah-masalah tertentu (Muchtar 2006).

Model hidrologi DAS yang utama terdiri dari 3 tipe yaitu model fisik, analog dan digital (Arsyad 2006). Model fisik merupakan model dalam skala lebih kecil keadaan sebenarnya yang dibuat di laboratorium dengan asumsi bahwa terdapat kesamaan dinamik antara model dengan keadaan sebenarnya. Model analog merupakan model yang menggunakan sistem mekanikal atau listrik yang analog dengan sistem yang diselidiki, contohnya adalah aliran arus listrik yang digunakan untuk mensimulasi aliran air. Model digital terdiri dari model deterministik, model stokhastik dan model parametrik.

(27)

Model hidrologi merupakan model yang menggambarkan secara abstrak keadaan hidrologi yang mempunyai kesamaan dengan keadaan hidrologi sebenarnya di lapang (Pawitan 2008). Hal yang sama dinyatakan Harto (1993), bahwa model hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Adapun tujuan penggunaan suatu model dalam pengkajian hidrologi adalah untuk 1) Peramalan (forecasting) termasuk sistem peringatan dan manajemen, peramalan disini menunjukkan besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasarkan probabilistic; 2) Perkiraan (prediction) termasuk besaran kejadian dan waktu hipotetik; 3) Alat deteksi dalam masalah pengendalian, dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur; 4) Alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan, misalnya untuk melihat pengaruh urbanisasi, pengelolaan tanah

dengan membandingkan masukan dan keluaran dalam sistem tertentu; 5) Ekstrapolasi data/informasi; 6) Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku

manusia yang berubah/ meningkat; dan 7) Penelitian dasar dalam proses hidrologi. Model simulasi hidrologi untuk analisis DAS diklasifikasikan ke dalam lumped parameter versus distributed parameter berdasarkan representasi ruang. Pada model lumped parameter, variabel atau parameter model tidak mempunyai variabilitas ruang, artinya semua proses dalam DAS terjadi pada satu tititk spasial (seperti kotak hitam). Sedangkan pada model distributed parameter, proses dan mekanisme fisik digambarkan dalam keruangan. Secara teori model tersebut sangat memuaskan akan tetapi ketersediaan data lapang sering terbatas untuk mengkalibrasi dan memverifikasi hasil simulasi.

Beberapa model hidrologi yang sering digunakan sebelumnya seperti model USLE (Universal Soil Loss Equation), Modified-USLE, Revised-USLE, CREAMS (Chemical, Runoff and Erosion from Agricultural Management Systems) dan GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agricultural Management Systems) yang merupakan model lumped parameter. WEPP,HEC-1, ANSWERS, AGNPS (Agricultural Non-Point Source Pollution Model) dan SWAT (Soil and Water Assessment Tool) tergolong distributed model. Standford Watershed Model, SWMM (Storm Water Management Model) merupakan model continuous yang didasarkan pada persamaan kesetimbangan air dalam jangka yang lebih panjang. Model tersebut cocok digunakan pada DAS dengan ukuran yang lebih luas (Yusuf 2010).

Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT)

Model Soil and Water Assessment Tool (SWAT) dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA pada awal tahun 1990-an. SWAT merupakan

(28)

10

Komponen utama model adalah iklim, hidrologi, suhu, dan karakteristik tanah, pertumbuhan tanaman, unsur hara, pestisida, patogen dan bakteri, dan pengelolaan lahan. Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan ke dalam dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi dan fase air pada siklus hidrologi air (Neitsch et al. 2005).

Dalam SWAT, DAS dibagi menjadi beberapa SubDAS, yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respons hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik penggunaan lahan, pengelolaannya, dan tanah yang homogen. HRU menunjukkan persentase Sub DAS yang teridentifikasi dan tidak teridentifikasi secara spasial dalam simulasi SWAT. Alternatif lainnya, sebuah DAS dapat dibagi ke dalam Sub DAS yang memiliki karakteristik penggunaan lahan, jenis tanah dan pengelolaan yang dominan (Neitsch et al. 2005).

SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model ini diciptakan. Pengembangan SWAT sangat didukung oleh perkembangan teknologi. Pada awalnya, SWAT telah dikembangkan dalam Windows (Visual Basic), GRASS, ArcView, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Window, suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna (Neitsch et al. 2005).

SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0,73. Kalibrasi aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol and Abbaspour (2006) menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efisiensi sebesar 0,82. Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukkan bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, soil available water capacity, dan koefisien evaporasi tanah.

Fase Lahan Pada Siklus Hidrologi

Fase lahan pada siklus hidrologi mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS (Gambar 2). Siklus hidrologi yang disimulasikan di dalam model SWAT didasarkan pada perhitungan neraca air:

�� = � + ∑( �� − � � − ��− �� �− �) �=

(29)

Pembagian DAS mampu membuat model yang mencerminkan perbedaan evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang bervariasi. Aliran permukaan (surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff) suatu DAS. Hal ini dapat meningkatkan keakuratan dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik untuk neraca air.

Gambar 2. Representasi siklus hidrologi

Fase Air Pada Siklus Hidrologi

Pada fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi SWAT dapat menentukan muatan air, sedimen, unsur hara dan pestisida menuju ke saluran utama, muatan tersebut ditelusuri hingga ke jaringan sungai DAS. SWAT juga memodelkan perubahan kimia di dalam sungai dan badan sungai. Perbedaan proses yang terjadi dalam sungai yang dimodelkan SWAT disajikan pada Gambar 3.

(30)

12

Penelusuran pada sungai dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen: air, sedimen, unsur hara dan kimia organik. Ketika air mengalir ke hilir, ada bagian yang mungkin hilang karena evaporasi dan menyebar melalui badan saluran. Kehilangan lainnya yang potensial yaitu pergerakan air dari saluran ke area pertanian atau penggunaan oleh manusia. Aliran dapat digantikan oleh hujan yang jatuh langsung ke dalam saluran dan/atau tambahan air dari debit sungai.

Perhitungan Prediksi Debit Aliran

Aliran permukaan pada model SWAT dihitung menggunakan metode SCS Curve Number sebagai berikut:

Q � � = ��� − �� +��� − ��

Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat simpanan permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter retensi (mm). Parameter retensi dihitung berdasarkan persamaan berikut:

= . ( �� − )

CN adalah curve number (bilangan kurva) dan nilai Ia adalah 0.2 S (berdasarkan hasil penelitian), sehingga persamaan perhitungan aliran permukaan menjadi:

Q � � = ��� − .��� + .8

Aliran permukaan hanya terjadi apabila Rday > Ia. Solusi grafis untuk persamaan di atas dari perbedaan nilai bilangan kurva seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

(31)

Data Masukan Model

Data masukan model untuk setiap Sub DAS dikelompokkan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respons hidrologi (hydrologic response units/HRU), genangan/daerah basah, air bawah tanah, dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. Unit respons hidrologi merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengelolaan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian.

Data iklim meliputi curah hujan, temperatur maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Data tanah yang dibutuhkan model terdiri dari kedalaman solum tanah, ketebalan horizon, bobot isi, Available Water Capacity (AWC), Saturated Hydraulic Conductivity, C-organik, kandungan liat, debu, pasir, bahan kasar dan albedo.

Data Masukan Model

Data masukan model untuk setiap Sub DAS dikelompokkan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respons hidrologi (hydrologic response units/HRU), genangan/daerah basah, air bawah tanah, dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. Unit respons hidrologi merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengelolaan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian.

Data iklim meliputi curah hujan, temperatur maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Data tanah yang dibutuhkan model terdiri dari kedalaman solum tanah, ketebalan horizon, bobot isi, Available Water Capacity (AWC), Saturated Hydraulic Conductivity, C-organik, kandungan liat, debu, pasir, bahan kasar dan albedo.

Keluaran Model

(32)

14

3

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Desember 2013. DAS Way Betung seluas 5 119.63 ha terbagi atas dua wilayah administrasi yaitu Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. DAS Way Betung secara geografis

terletak pada koordinat 105o 09’– 105o 14’ BT dan 05o 24’ – 05o 29’ LS. (Gambar 5).

Bahan dan Alat

Bahan pendukung penelitian terdiri atas: 1) Peta dan data tanah, 2) Peta DEM resolusi 30 meter, 3 ) Peta tutupan lahan DAS Way Betung tahun 2001, 2006 dan 2010, 4) Data hidrologi (curah hujan dan debit sungai harian tahun 2001-2011), 5) Data iklim (temperatur, radiasi matahari, kelembaban udara, dan kecepatan angin harian), 6) Data sifat fisik tanah (kedalaman solum tanah, ketebalan horizon tanah, kapasitas air tersedia, bobot isi, C-organik, konduktivitas hidrolik jenuh, tekstur tanah, albedo tanah) .

Alat pendukung penelitian terdiri atas: 1) Perangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGIS 9.3, ArcSWAT versi 2009.93.5 released 8/19/10, SWAT Plot and Graph, dan Microsoft Office, 2) Global Positioning System; 3) Alat pengambil contoh tanah: ring soil sampler, meteran, cangkul, pisau tipis, palu, bor tanah, dan kantong plastik tebal, 4) Alat tulis, 5) Peralatan pendukung: kamera digital dan alat penyimpanan data.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahap dimulai dari pengumpulan peta dan data sampai dengan penentuan skenario penggunaan lahan terbaik untuk pengelolaan DAS Way Betung. Bagan alir pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 6.

Pengumpulan Peta dan Data

Pengumpulan peta dan data dilakukan untuk mendukung kegiatan pelaksanaan penelitian. Peta yang dikumpulkan terutama yang mendukung operasional model SWAT. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder baik berasal dari penelitian sebelumnya maupun dari instansi-instansi terkait. Peta dan data yang perlu dikumpulkan meliputi:

1. Peta dan data tanah.

(33)

Survey lapangan dilakukan untuk melengkapi informasi peta tanah lebih detil dengan melakukan pengambilan contoh tanah.

Pengambilan sampel tanah diawali dengan menentukan lokasi pengambilan contoh tanah secara purposive sampling dengan kriteria mewakili setiap unit lahan di DAS Way Betung sebagaimana peta pada Lampiran 1.

Analisis sifat fisik tanah memerlukan contoh tanah yang berbeda, tergantung tujuannya. Contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah utuh (undisturbed soil sample) dan contoh tanah tidak utuh (disturbed soil sample). a) Contoh tanah utuh (undisturbed soil sample)

Contoh tanah utuh (undisturb soil sample) merupakan contoh tanah yang diambil dari 3 lapisan tanah dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya hampir menyamai kondisi di lapang. Contoh tanah tersebut digunakan untuk penetapan berat jenis (bulk density) dan permeabilitas. Tahapan pengambilan contoh tanah utuh antara lain:

- Ratakan dan bersihkan permukaan tanah dari rumput atau serasah. - Gali tanah sampai kedalaman tertentu (5-10 cm) di sekitar calon ring

sample diletakkan, kemudian ratakan tanah dengan pisau.

- Letakan tabung di atas permukaan tanah secara tegak lurus dengan permukaan tanah, kemudian dengan menggunakan balok kecil yang diletakkan di atas permukaan tabung, tabung ditekan sampai ¾ bagian masuk ke dalam tanah.

- Letakan tabung lain di atas tabung pertama, dan tekan sampai 1 cm masuk ke dalam tanah.

- Gali tabung menggunakan cangkul. Ujung cangkul harus lebih dalam dari ujung tabung agar tanah di bawah tabung ikut terangkat.

- Pisahkan tabung bagian atas dari tabung bagian bawah dengan memotongnya.

- Segera tutup tabung bagian atas menggunakan tutup plastik yang telah tersedia. Setelah itu, iris dan potong kelebihan tanah bagian bawah dengan cara yang sama dan tutuplah tabung.

- Cantumkan label di atas tutup tabung bagian atas contoh tanah yang berisi informasi kedalaman, tanggal, dan lokasi pengambilan contoh tanah.

b) Contoh tanah terganggu (disturbed soil sample)

(34)

16

Gambar 5. Lokasi penelitian DAS Way Betung

(35)
(36)

18

2. Peta penggunaan lahan

Peta penggunaan lahan tahun 2001, 2006, dan 2010 (skala 1:100.000) hasil interpretasi citra landsat diperoleh dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan RI.

3. Digital Elevation Model (DEM)

Analisis peta digital elevation model (DEM) yang diperoleh dari http://srtm.csi.cgiar.org/SELECTION/inputCoord.asp menghasilkan informasi berupa titik ketinggian untuk delineasi batas DAS Way Betung.

4. Data iklim

Data iklim yang merupakan data masukan (input) model SWAT yaitu temperatur maksimum dan minimum, radiasi matahari, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Data ini dapat diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Masgar di Provinsi Lampung.

5. Data hidrologi

Data hidrologi berupa curah hujan dan debit sungai harian berpasangan mulai tahun 2001 hingga tahun 2011 yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Mesuji Sekampung Lampung.

Pengolahan Data Input

1. Pengolahan data input spasial

Data input spasial model SWAT berupa data DEM untuk delineasi batas DAS dengan metode watershed delineator (delineasi DAS).

2. Pembuatan HRU

Data input dala proses pembuatan HRU adalah peta penggunaan lahan, peta topografi, dan peta tanah. Penggunaan lahan yang terdapat di DAS Way Betung pada tahun 2010 yaitu hutan lahan kering sekunder, kebun campuran, pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran. Kemiringan lahan dibagi ke dalam 5 kelas yaitu: 0-8%, 8%-15%, 15%-25%, 25%-40% dan >40%. Informasi sifat-sifat tanah dikumpulkan dari data sekunder dan data primer. Data tanah diperoleh melalui pengambilan contoh tanah. Sifat-sifat tanah yang dibutuhkan meliputi konduktivitas hidrolik jenuh (mm/jam), kedalaman efektif (mm), sifat tanah untuk setiap horizon meliputi ketebalan horison (mm), tekstur tanah, bulk density (g/cm), kapasitas air tersedia (mm/mm), kandungan C-organik tanah (%) dan moist soil albedo. 3. Basis data iklim

(37)

Tabel 1. Parameter basis data iklim (Weather Generator Data)

Parameter Keterangan

TMPMX Rata-rata temperatur maksimum (ºC) TMPMN Rata-rata temperatur minimum (ºC)

TMPSTDMX Standar deviasi temperatur maksimum harian (ºC) TMPSTDMN Standar deviasi temperatur minimum harian (ºC) PCPMM Rata-rata curah hujan (mm)

PCPSTD Standar deviasi curah hujan harian (mm/hari) PCPSKW Koefisien skew untuk curah hujan dalam satu bulan

PR_W1 Perbandingan kemungkinan hari basah –hari kering dalam satu bulan

PR_W2 Perbandingan kemungkinan hari basah –hari basah dalam satu bulan

PCPD Rata-rata jumlah hari hujan dalam satu bulan RAINHHMX Curah hujan maksimum 0,5 jam (mm)

SOLARAV Rata-rata harian penyinaran matahari dalam satu bulan (MJ/m2/hari)

DEWPT Rata-rata harian temperatur dew point dalam satu bulan (ºC) WINDAV Rata-rata harian kecepatan angin dalam satu bulan (m/detik)

Menjalankan Model SWAT

1. Delineasi DAS (Watersheed Deliniator)

Delineasi DAS bertujuan untuk memperoleh data batas DAS, sub DAS, dan jaringan sungai. Delineasi DAS dilakukan secara otomatis berbasis peta DEM 30 M melalui analisis Watersheed Deliniator. Metode yang digunakan dalam proses delineasi DAS adalah metode treshold. Besaran treshold menentukan pembentukan dan jumlah jaringan sungai utama dan anak sungai. Berdasarkan jaringan sungai yang terbentuk akan menentukan jumlah sub DAS yang terbentuk dalam DAS. Semakin kecil besaran treshold yang digunakan, maka semakin banyak sub DAS yang terbentuk.

Tahapan yang dilakukan pada proses delineasi DAS terdiri atas: input data DEM (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition), penentuan outlet (outlet and Inlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watersheed outlet selection and definition), dan perhitungan parameter sub DAS (calculate subbasin parameter) sebagaimana disajikan pada Gambar 7. 2. Analisis HRU (Hydrologi respont unit)

(38)

20

Gambar 7. Delineasi DAS

Gambar 8. Analisis HRU 3. Basis data iklim (Weather Generator Data)

Tahap pemuatan data iklim dilakukan dengan memasukandata iklim pada menu database. Basis data iklim dihasilkan berdasakan perhitungan data iklim dari Stasiun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Sumber Rejo. Perhitungan dilakukan untuk memenuhi 14 parameter basis data iklim yang diperlukan oleh model dalam format file dbf.

(39)

Gambar 9. Input basis data iklim 4. Membangun data masukan model SWAT

Data masukan model SWAT pada tahap delineasi DAS, analisis HRU, dan input data iklim secara otomatis terbentuk dengan memilih sub menu Write All. Data masukan model SWAT dapat di perbaiki melalui Edit SWAT Input disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Edit SWAT input

Parameter Keterangan

Soil (.sol) Edit data tanah

Weather (.wgn) Edit data generator iklim Subbasin (.sub) Edit data tingkat sub DAS

HRU (.hru) Edit data umum HRU

Routing (.rte) Edit data saluran utama Groundwater data (.gw) Edit data air bawah tanah Management Data (.mgt) Edit data pengelolaan lahan

Watershed General Data (.bsn) Edit Input proses fisik yang dijalankan model

5. Simulasi SWAT (SWAT Simulation)

SWAT simulation dilakukan setelah seluruh data masukan terisi lengkap. Pada mode Run SWAT dipilih rentang waktu yang akan disimulasikan. Dilanjutkan dengan Setup SWAT dan Run SWAT. Penyimpan data output hasil simulasi dilakukan dengan memilih Read SWAT Output (Gambar 10).

(40)

22

Gambar 10. Simulasi SWAT (SWAT Simulation)

Kalibrasi dan Validasi

Kalibrasi dilakukan dengan menyesuaikan kombinasi nilai parameter-parameter yang berpengaruh terhadap kondisi hidrologi DAS sehingga diperoleh hasil model yang mendekati hasil pengukuran. Data debit pengukuran yang digunakan dalam kalibrasi adalah data debit harian periode 1 Januari hingga 31 Desember 2010.

Beberapa metode kalibrasi yang dapat dilakukan yaitu manual, otomatis dan kombinasi. Metode manual yaitu dengan mencocokan setiap nilai dari parameter secara coba-coba (trial and error). Metode tersebut disarankan penggunaannya pada model yang komplek. Metoda otomatis menggunakan algoritma dalam penentuan nilai parameter dengan tingkat keakuratan yang optimum. Metoda kombinasi dilakukan dengan menggabungkan metode coba-coba (trial and error) dan otomatis dalam menentukan nilai parameter.

Metode kalibrasi yang digunakan dalam penelitian adalah metode manual yaitu dengan merubah nilai parameter secara coba-coba (trial and error) sehingga menghasilkan kombinasi yang optimal.

Analisis statistik yang digunakan dalam kalibrasi yaitu korelasi koefisien determinasi (R²) dan Nash-Sutcliffe efficiency (NS) dengan persamaan sebagai berikut:

NS = − [∑ � − ŷ ∑ � − ȳ ]

Dimana y adalah debit aktual yang terukur (mm), ŷ adalah debit hasil simulasi (mm), ȳadalah rata-rata debit terukur. Menurut Nash (1970), Efisiensi model Nash-Sutcliffe dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu:

1. Baik, jika NS ≥ 0.75

(41)

Validasi bertujuan untuk membuktikan konsistensi hasil suatu proses sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Proses validasi dilakukan dengan membandingkan data debit yang sudah dikalibrasi dengan data debit pengukuran pada periode yang lain. Nilai parameter yang digunakan dalam proses validasi sama dengan nilai parameter pada proses kalibrasi. Data debit pengukuran yang digunakan pada proses validasi adalah data debit harian periode harian 1 Januari hingga 31 Desember 2011. Analisis statistic yang digunakan pada proses validasi sama dengan proses kalibrasi yaitu koefisien determinasi (R²) dan Nash–Sutcliffe (NS).

Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT

Analisis karakteristik hidrologi dengan model SWAT dilakukan melalui tahapan delineasi DAS, analisis HRU, pembuatan basis data iklim (Weather Generator Data), kalibrasi dan validasi hingga memperoleh output data karakteristik hidrologi.

Data masukan model SWAT berupa data spasial dan data numerik. Data spasial berupa peta penggunaan lahan tahun 2010, Digital Elevation Model (DEM) 30 M, dan peta tanah. Data numerik berupa data iklim yang terdiri atas data curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan radiasi matahari. Data hidrologi berupa data debit harian sungai DAS Way Betung tahun 2010.

Analisis karakteristik hidrologi meliputi total air sungai (WATER YLD), aliran permukaan (SUR_Q), aliran lateral (LAT_Q), dan aliran dasar (GW_Q). Menurut Arnold et al. (2011), total air sungai (water yield) adalah total air yang mengalir dari setiap HRU dan masuk ke saluran utama dalam jangka waktu tertentu (WATER YLD = SUR_Q + LAT_Q + GW_Q). Aliran permukaan (SUR_Q) adalah air limpasan yang mengalir diatas permukaan tanah dari setiap HRU. Aliran lateral (LAT_Q) adalah air yang mengalir pada profil tanah dengan arah lateral dan masuk ke saluran utama dalam jangka waktu tertentu. Aliran dasar (GW_Q) adalah aliran dari aquifer dangkal dan masuk ke saluran utama dalam jangka waktu tertentu.

Analisis Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Aspek Hidrologi

Informasi penggunaan lahan diperoleh dari peta tutupan lahan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2001, 2006, dan 2010. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan penggunaan lahan pada masing-masing periode tersebut.

(42)

24

Skenario Perencanaan Penggunaan Lahan

Penyusunan skenario dilakukan sebagai bahan rekomendasi perencanaan penggunaan lahan terbaik. Skenario perencaan penggunaan lahan yang disusun sebagai berikut:

1) Pengggunaan lahan sesuai dengan peta fungsi kawasan hutan (skenario 1)

2) Penerapan agroteknologi pada lahan pertanian diluar kawasan hutan (skenario 2)

3) Penggunaan lahan sesuai dengan peta fungsi kawasan hutan dan penerapan agroteknologi pada lahan pertanian (skenario 3).

Analisis karakteristik hidrologi masing-masing scenario meliputi total air sungai (WATER YLD), aliran permukaan (SUR_Q), aliran lateral (LAT_Q), aliran dasar (GW_Q).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Curah hujan, temperatur, kelembaban udara dan radiasi matahari merupakan unsur-unsur iklim yang berpengaruh terhadap kondisi hidrologi suatu wilayah. Kondisi hidrologi yang dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim tersebut yaitu debit sungai dan proses evapotranspirasi. Data curah hujan pada DAS Way Betung diperoleh dari stasiun penakar hujan sumur Putri yang berada di sekitar lokasi penelitian. Sedangkan data temperatur, kelembaban udara dan radiasi matahari diperoleh dari stasiun iklim Geofisika dan Klimatologi Provinsi Lampung dari stasiun pengamatan yang terletak di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson DAS Way Betung termasuk dalam type iklim C. Apabila didasarkan pada klasifikasi iklim Oldeman, wilayah studi termasuk dalam type iklim Esehingga kurang sesuai untuk kegiatan pertanian tanaman pangan atau tanaman semusim (padi dan palawija).

Curah hujan tahunan di DAS Way Betung sangat bervariasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2003 sedangkan terendah pada tahun 2008 masing-masing sebesar 2 518.93 mm dan 941.50 mm (Gambar 11). Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember sedangkan terendah pada bulan Agustus masig-masing sebesar 246.9 mm dan 38.10 mm (Gambar 12).

Temperatur maksimum rata-rata di DAS Way Betung berkisar antara 24.80ºC–38.60ºC dan minimum rata-rata 21.24ºC–28.60ºC. Radiasi matahari rata–rata bulanan di DAS Way Betung sebesar 20.59 MJ/m2/hari dan kelembaban udara sebesar 80%.

(43)

Gambar 11. Curah hujan tahunan DAS Way Betung tahun 2001–2010

Gambar 12. Curah hujan rata-rata bulanan DAS Way Betung tahun 2001-2010

digunakan terdiri atas 0-8% (datar), 8-15% (landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam), dan >40% (sangat curam) sebagaimana yang lazim dipakai oleh Kementerian Kehutanan. Penyebaran kelas lereng di DAS Way Betung disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 13. Klasifikasi kelas lereng tersebut menggabungkan kelas lereng 0-3% dan 3-8% yang biasa digunakan dibidang pertanian, disisi lain prosentase lahan pada kelas lereng 0-8% terendah dibandingkan kelas lereng lainnya.

Secara umum wilayah DAS Way Betung termasuk dalam grup vulkan (Volcanic Group) yang terdiri dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Di wilayah hulu DAS terdiri dari pegunungan berlereng curam sampai sangat curam dan pegunungan berlereng sangat curam tersusun oleh batuan volkan tua (basal, andesit dan dasit). Pada wilayah perbukitan bahan penyusun batuannya hampir sama

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

C

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

(44)

26

dengan pegunungan, namun pada beberapa wilayah perbukitan terdapat batuan intrusif (granit) dan batuan metamorfik (skis, gneis).

Tabel 3. Kelas Lereng DAS Way Betung Kelas lereng

Berdasarkan Peta satuan lahan dan tanah lembar Tanjung Karang, Sumatera skala 1:250.000 (PUSLITANAK, 1989), tanah di wilayah penelitian terbentuk dari bahan induk batuan vulkan muda yang berasal dari Gunung Betung dan terbentuk di daerah pegunungan yang beriklim basah. Vegetasi yang mempengaruhi proses pembentukan tanah adalah vegetasi hutan, walaupun pada saat ini sudah banyak yang berubah menjadi lahan pertanian. Penggunaan peta tanah dengan skala kecil (tinjau) kurang memberikan informasi detil mengenai informasi dan data tanah lokasi penelitian sehingga diperlukan survey lapang. Jenis tanah DAS Way Betung terdiri atas Humitropepts seluas 2 863.59 ha (55.93%) dan Dystropepts seluas 2 256.04 ha (44.07%) sebagaimana disajikan pada Gambar 14. Survei dilakukan untuk mendapatkan informasi sifat fisik tanah kaitannya dengan data masukan model SWAT (Lampiran 2). Untuk mendapatkan data keterwakilan unit lahan, dilakukan pengambilan terhadap 14 titik pengambilan contoh tanah. Penyebaran pengambilan titik contoh tanah sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.

Berdasarkan peta tutupan lahan tahun 2010 (skala 1:100.000) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, bagian hulu DAS Way Betung merupakan hutan lahan kering sekunder seluas 977.06 ha yang masuk ke dalam wilayah kerja TAHURA Wan Abdurrahman. Selain kawasan hutan lahan kering sekunder, jenis penggunaan lahan lainnya yaitu pertanian lahan kering campuran seluas 3 604.65 ha, pemukiman 252.39 ha, kebun campuran seluas 234.14 ha, dan pertanian lahan kering 51.39 ha (Tabel 4).

(45)

27

Gambar 13. Peta sebaran kelas lereng DAS Way Betung

(46)

28

Gambar 14. Peta sebaran jenis tanah DAS Way Betung

(47)

Tabel 4. Penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2010

Jenis penggunaan lahan Luas

Ha % Keberadaan DAS Way Betung dipengaruhi oleh aktivitas penduduk di sekitarnya. Prilaku penduduk yang positif akan menjadi daya dukung untuk kelestarian dan kelangsungan DAS. Sedangkan aktivitas penduduk yang negatif akan menjadi tekanan yang mengancam keberadaan DAS. Pertambahan jumlah penduduk menjadi salah satu tekanan terutama dalam penyediaan kebutuhan lahan.

DAS Way Betung dipengaruhi oleh penduduk yang berada disekitar DAS. Pada umumnya penduduk disekitar DAS Way Betung beraktivitas dibidang pertanian sehingga berpengaruh langsung terhadap DAS Way Betung. Daerah yang terletak disekitar DAS Way Betung sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah penduduk DAS Way Betung tahun 2010

Kabupaten/Kecamatan/Desa

Sumber: monografi desa tahun 2010

Analisis Karakteristik Hidrologi Menggunakan Model SWAT

Delineasi DAS (Watershed Delineator)

Delineasi DAS pada model SWAT dilakukan secara otomatis melalui proses delineasi DEM 30 M. Proses delineasi tersebut menghasilkan batas DAS, batas sub DAS, dan jaringan sungai. Delineasi DAS dilakukan dengan ambang batas (threshold) sebesar 100 ha dengan tujuan agar mencakup seluruh jaringan sungai di DAS Way Betung.

(48)

30

Gambar 15. Peta sebaran sub DAS pada DAS Way Betung

(49)

Tabel 6. Luas sub DAS hasil delineasi model SWAT

Analisis HRU (Hydrologi Respont Unit)

HRU merupakan unit analisis terkecil yang digunakan dalam perhitungan pada model SWAT. Hydrologi Respont Unit (HRU) terbentuk dari proses tumpang tindih antara peta/data penggunaan lahan, karakteristik tanah, dan kelas lereng.

(50)

32

berisi sebaran jenis tanah DAS Way Betung. Data numerik tanah dimasukan kedalam database tanah pada mode Edit SWAT Input. Peta kelas lereng terbentuk secara otomatis berbasis peta DEM 30 M. Metode Multiple Slope dipilih untuk memperoleh 5 kelas lereng serta luasnya sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Data HRU diperoleh dari tumpang tindih ke-3 data masukan tersebut.

HRU definition dilakukan dengan metode threshold by percentage sebesar 5%. Penentuan threshold bertujuan agar luas polygon kurang dari 5% akan digabungkan dengan polygon terdekat. Pengecualian dapat dilakukan dengan penggunaan lahan yang memiliki luas kurang dari 5%. Analisis HRUmenghasilkan 270 HRU yang tersebar di 29 sub DAS. Informasi detil mengenai HRU disajikan pada Lampiran 3.

Basis data iklim (Weather Generator Data)

Basis data iklim model SWAT berdasarkan perhitungan data iklim tahun 2001 hingga 2010 yang terdiri atas data curah hujan (rainfall data), temperatur (temperatur data), kelembaban (Relative Humidity Data), radiasi matahari (Solar Radiation Data), dan kecepatan angin (Wind Speed Data) disajikan pada Lampiran 4.

Analisis Karakteritik Hidrologi

Data karakteristik hidrologi diperoleh dari proses menjalankan model SWAT. Data karakteristik hidrologi diperoleh berdasarkan data curah hujan yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan radiasi matahari pada kondisi penggunaan lahan tahun 2010. Data karakteristik hidrologi juga dipengaruhi oleh karakteristik tanah dan topografi DAS Way Betung. Berdasarkan hasil analisis model SWAT diperoleh data total air sungai bulanan sebelum dilakukan kalibrasi sebagaimana disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 16., sedangkan debit harian hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 5.

Hubungan antara debit hasil model SWAT dengan hasil pengukuran (observasi) ditunjukkan dengan nilai efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) dan koefisien determinasi (R²). Berdasarkan uji tersebut diperoleh nilai NS dan R² masing-masing sebesar 0.54 dan 0.60. Meskipun termasuk kriteria memuaskan, namun hubungan tersebut belum menggambarkan kondisi lapang sehingga perlu dilakukan proses kalibrasi.

Kalibrasi Model

Gambar

Gambar 4.
Gambar 5. Lokasi penelitian DAS Way Betung
Gambar 6. Diagram alir tahapan penelitian
Tabel 1.  Parameter basis data iklim (Weather Generator Data)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan Melalui Media Flip Chart pada Anak Kelompok A di TK Islam Insan Fathonah Wonorejo Karanganyar

Melihat kenyataan di atas, terbukti secara nyata bahwa sebuah karya sastra drama dalam pembelajaran di kelas tidak cukup dengan apa yang telah diajarkan oleh guru dan

Selain untuk menanamkan kecintaan anak kepada alam dan melatih mental / kegiatan outbond ini juga dapat untuk menjalin keakraban antar sesame teman // Kegiatan yang

Gambar C.2 Kontaminasi Adsorben Pasir Putih dengan ion logam Cd(II) a) Foto Kontaminasi Adsorben sebelum dikeringkan. b) Foto Kontaminasi Adsorben

Dengan dapat terbentuknya senyawa kloroanilin dari air limbah industri tekstil yang mengandung pewarna azo / azo dyes akibat biodegradasi secara anaerobik , maka timbul

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keaktifan dan hasil belajar pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui strategi pembelajaran Think

dan jika sebuah matriks B yang berukuran sama bisa didapatkan sedemikian sehingga AB = BA = I, maka A disebut bisa dibalik dan B disebut invers dari A..  Suatu matriks

Jika minyak sawit mentah Indonesia memiliki daya saing di pasar Internasional diharapkan akan lebih banyak lagi negara yang membeli minyak sawit mentah dari Indonesia dan para