ANALISIS SWIMMING LAYERS DAN SEBARAN DENSITAS
IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR
DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK
DONWILL PANGGABEAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Swimming Layers dan Sebaran Densitas Ikan Pelagis Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Swimming Layers Analysis and Density Distribution of Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach
Donwill Panggabean 1), Indra Jaya 2), Bonar P. Pasaribu 3) 1
Corresponding author : e-mail donwill@rock.com
Marine Technology Study Program IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: +628129729937 2
Department of Science and Marine Technology IPB. Kampus Dramaga, Bogor. phone: +62811892394 3
ABSTRACT
DONWILL PANGGABEAN. Swimming Layers Analysis and Density Distribution of Small Pelagic Fish in Makassar Strait by Acoustic Approach. Supervised by INDRA JAYA and BONAR P. PASARIBU.
The purposes of this research are to analyze swimming layer and to estimate distribution and density of small pelagic fish in Makassar Strait by acoustic system approach, and how far the effect of both temperature and salinity on distribution and density of small pelagic fish. Cruise track was designed by parallel grid, acoustic data were collected by echosounder, temperature and salinity data were collected by CTD instrument, data analysis displayed on 3 layers, namely: homogen layer (1 to 50 m), thermocline layer (50 to 300 m), and deep layer (300 m to bottom), all of data measured on October 14 to 25, 2003. In homogen layer, acoustic density values range 221,10 to 36199,92 m2/nmi2, in thermocline layer, acoustic density values range 5,09 to 2982,66 m2/nmi2 and in deep layer, acoustic density values range 281,69 to 577,49 m2/nmi2. In homogen layer, the temperature values range 25,33 to 29,59 oC and salinity values range 30,41 to 34,36 psu. In thermocline layer, a drastic decrease temperature is happened with range 9,98 to 28,47 o
C and salinity values range 33,74 to 34,79 psu. In deep layer, temperature tend to decrease with narrow range 3,61 to 11,28 oC and salinity tend to increase by decrease depth with values range 34,45 to 34,59 psu. The result showed that both temperature and salinity affect the distribution and density of small pelagic fish per layer.
Kecil di Selat Makassar dengan Pendekatan Hidroakustik. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan BONAR P. PASARIBU.
Informasi mengenai distribusi maupun densitas ikan pelagis kecil dengan metode hidroakustik di Selat Makassar serta hubungannya dengan faktor oseanografi masih sedikit dan mungkin masih kurang, oleh karena itu dianggap perlu untuk melakukan penelitian tentang estimasi distribusi (secara vertikal dan horisontal) dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan menggunakan peralatan deteksi hidroakustik dan hubungannya dengan faktor oseanografi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa swimming layers dan mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui pendekatan hidroakustik dan bagaimana faktor oseanografi khususnya parameter suhu dan salinitas dapat mempengaruhi distribusi dan densitas sumberdaya ikan pelagis kecil pada suatu perairan yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data akustik secara in situ dan real time, dimana instrumen akustik dan perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup seluruh area yang diteliti, maka di desain suatu rancangan survei berupa cruise track berbentuk paralel, ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg dengan jarak masing-masing leg sekitar 30 nautical mile (nmi). Bersamaan dengan perekaman data akustik, dilakukan juga pengumpulan data oseanografi dengan alat conductivity temperature depth (CTD) pada 16 stasiun di sepanjang cruise track.
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan estimasi terhadap densitas nilai akustik pada area yang diteliti berkisar antara 5,09 - 36199,92 m2/nmi2. Nilai akustik pada homogen layer memiliki nilai densitas tertinggi dengan kisaran 221,10- 36199,92 m2/nmi2, dan selanjutnya densitas tersebut terdistribusi semakin kecil pada dua layer di bawahnya. Densitas nilai akustik pada thermocline layer berkisar 5,09- 2982,66 m2/nmi2 dan pada deep layer berkisar 281,69- 577,49 m2/nmi2. Hasil pengukuran faktor oseanografi pada 16 stasiun mendapatkan nilai suhu pada homogen layer berkisar 25,33 - 29,59 oC sedangkan salinitas berkisar 30,41 - 34,36 psu, pada thermocline layer suhu berkisar 9,98 - 28,47 oC sedangkan salinitas berkisar 33,74 - 34,79 psu, dan pada deep layer nilai suhu berkisar 3,61 - 11,28 o
Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa ada pengaruh suhu dan salinitas terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, hal ini diduga disebabkan batasan-batasan ikan pelagis kecil terhadap kondisi oseanografis terutama terhadap suhu dan salinitas. Hal tersebut dapat diketahui dari tingginya nilai densitas pada homogen layer dibandingkan dengan densitas pada thermocline layer dan densitas pada deep layer. Selanjutnya, walaupun tidak terlalu signifikan, ada pengaruh ketersediaan klorofil-a terhadap sebaran dan densitas ikan pelagis kecil di perairan Selat Makassar, dan dapat disimpulkan juga bahwa pada thermocline layer distribusi dan densitas ikan pelagis kecil lebih dipengaruhi oleh suhu dari pada ketersediaan klorofil-a. Pengaruh suhu paling besar dan cukup nyata dari pada pengaruh ketersediaan klorofil-a, hal ini dapat dilihat dari perbedaan distribusi dan densitas pada thermoclinelayer bila dibandingkan pada homogen layer, padahal klorofill-a masih tersedia pada thermocline layer tersebut.
C sedangkan salinitas berkisar 34,45 - 34,59 psu.
@ Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya Tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber ;
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sesuatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam
ANALISIS
SWIMMING LAYERS
DAN SEBARAN DENSITAS
IKAN PELAGIS KECIL DI SELAT MAKASSAR
DENGAN PENDEKATAN HIDROAKUSTIK
DONWILL PANGGABEAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si
Nama : Donwill Panggabean
NRP : C 551020241
Program studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
PERSEMBAHAN
Ucapan penuh syukur dan rasa terima kasih penulis sampaikan melalui
puji-pujian dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih-Nya karena penulis
dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB dan memperoleh gelar Master.
Selama melakukan penelitian dan penyusunan tulisan ini, penulis dapat merasakan
bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
• Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc. yang
dengan sungguh-sungguh memberikan arahan dan bimbingan hingga tulisan ini
dapat penulis selesaikan dengan baik
• Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta
jajarannya, dan seluruh dosen Program Studi Teknologi Kelautan
• Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI)
• Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II) DKP
• Semua pihak yang telah memberikan dukungan terutama dalam bentuk moril,
namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini memiliki kekurangan, oleh karena itu
kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan,
dan semoga tesis ini memiliki manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2011
RIWAYAT HIDUP
Aku bersyukur kepada-Mu karena kejadianku dahsyat dan ajaib!
(Mazmur 139:14a). Untuk pertama kalinya penulis melihat dunia
pada tengah hari bolong, Sabtu, 20 November 1976 di Tembilahan,
Kabupaten Indragiri Hilir - Riau. Penulis merupakan anak kedua
(empat bersaudara) dari pasangan keluarga M. Panggabean dan
R.M. Lumban Tobing.
Penulis memulai pendidikan pada tahun 1983-1989 di SD Negeri 2 Tembilahan;
tahun 1989-1992 mengikuti pendidikan di SMP Negeri 1 Tembilahan; dan pada tahun
1992-1995 mengikuti pendidikan di SMA Negeri 1 Tembilahan. Kemudian, pada tahun
1995 mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan diterima pada program studi
Ilmu Kelautan di Universitas Riau dan menyelesaikan studi pada 29 Januari 2002.
Agustus 2002 penulis melanjutkan studi pada Program Pascasarjana IPB dan
diterima pada program studi Teknologi Kelautan. Selama menempuh pendidikan di IPB,
penulis pernah aktif menulis pada beberapa surat kabar dan jurnal nasional. Penulis juga
cukup berperan aktif dalam beberapa project dan riset survei yang berhubungan dengan
sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Pada bulan Oktober 2003 penulis mengikuti
ekspedisi census of marine life di Selat Makassar dan pada bulan Desember 2003 hingga
Januari 2004 mengikuti pelayaran program international nusantara stratification and
transport (leg 1 dan leg 2) di Selat Lombok, Laut Timor dan Selat Ombai.
Penulis melakukan riset untuk penulisan tesis dengan judul ‘analisis swimming
layers dan distribusi densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar dengan pendekatan
hidroakustik’. Setelah mempertahankan argumen dihadapan penguji dan pembimbing
saat sidang pada tanggal 20 Januari 2011, penulis dinyatakan lulus dan berhak untuk
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Longitude) . . . 48
2 Distribusi Kisaran Nilai Suhu pada Seluruh Section (searah Latitude) . . . . 51
3 Distribusi Kisaran Nilai Salinitas pada Seluruh Section (searah Longitude) . . 58
Halaman
1 Massa Air Termoklin Samudera Pasifik Utara dan Pasifik Selatan . . . 7
2 Perambatan Suara pada Medium yang Ideal . . . 12
3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target . . . 14
4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam . . . 17
5 Prinsip dari Split Beam Echosounder . . . 17
6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target . . . 19
7 Cruise Track dan Posisi Stasiun Oseanografi . . . 24
8 Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya . . . 27
9 Estimasi Distribusi Menegak Nilai Sv pada Seluruh Leg dan Layer . . . 28
10 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer . . . 30
11 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Leg . . . 32
12 Estimasi Distribusi Melintang Nilai Sv pada Masing-masing Antar Leg . . . 34
13 Estimasi Distribusi Menegak Nilai NASC pada Seluruh Leg dan Layer . . . 35
14 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai NASC pada Seluruh Layer . . . 37
15 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Leg . . . 39
16 Estimasi Distribusi Melintang Nilai NASC pada Masing-masing Antar Leg . . 41
17 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Siang Hari . . . 42
18 Estimasi Distribusi Nilai NASC pada Malam Hari . . . 42
19 Distribusi Menegak Nilai Suhu pada 16 Stasiun Pengamatan . . . 44
20 Distribusi Mendatar Nilai Suhu pada Masing-masing Layer . . . 46
21 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Longitude) . . 49
22 Distribusi Melintang Nilai Suhu pada Masing-masing Section (Latitude) . . . 52
23 Distribusi Menegak Nilai Salinitas pada 16 Stasiun Pengamatan . . . 54
24 Distribusi Mendatar Nilai Salinitas pada Masing-masing Layer . . . 56
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambar dan Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya VIII . . . 72
2 Gambar dan Spesifikasi SIMRAD EK 500 Scientific Echosounder . . . 74
3 Conductivity Temperature Depth . . . 75
4 Echogram dari Software Sonardata Echoview . . . 76
a : diameter transduser (m)
ABC : area backscattering coefficient dalam satuan m2/m2 bo : normalized target strength untuk tiap 1 cm (dB/cm)
c : kecepatan gelombang suara dalam medium air (m/s) C1 : parameter kalibrasi (SL, SRT, ψ dan lainnya)
cτ/2 : lebar pulsa yang merambat dalam medium air (m) dV : volume target strength suatu pulsa yang diinsonifikasi
dΩ : solid angle yang dibentuk oleh suatu volume target (steradian) EL : echo level, intensitas akustik pada receiving transduser (dB/1µ Pa) F : frekuensi suara (Hz)
Ge : faktor gain dari echo integrator
I : intensitas suara, jumlah energi perdetik yang melewati satuan luas tertentu dan tegak lurus terhadap arah pancaran (dB/1µ Pa)
Ib : intensitas suara yang dipantulkan oleh sekelompok target
Io : intensitas suara pada saat transmit
In : intensitas suara pada saat ke n
Ii : intensitas suara yang dipancarkan oleh suatu sumber suara
Ir
I
: intensitas suara yang dipantulkan target
r : rata-rata intensitas yang dipantulkan oleh sekelompok target k : faktor skala yang diperoleh dari kalibrasi
L : panjang ikan (cm)
M : nilai integrator pengamatan n : jumlah individu ikan (ekor)
N : panjang pulsa yang terjadi dalam interval jarak integrasi NASC : nautical area scattering coefficient, besarnya nilai acoustic
backscattering strength di dalam setiap milnya (m2/nmi2) PR : daya power yang keluar dari transduser
Rn : jarak ke n kedalaman integrasi
RL : reverberation level, jumlah total intensitas yang terhambur atau dipantulkan
∆R : interval jarak integrasi
SA : coefficientbackscatteringarea dari suatu area integrasi (m2/nmi2)
SL : source level, intensitas akustik pada sumbu axis, 1 meter dari sumber suara (dB/1µ Pa/m)
SRT : sensitivitas transduser (dB/IV/1µ Pa)
SV : volume backscattering, ratio logaritmik intensitas kelompok ikan dengan intensitas yang dipancarkan (dB)
Sv : volume backscattering strength (m2/m2)
T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m)
TL : transmission loss, jumlah kehilangan suara karena adanya faktor geometrical spreading dan attenuation
TLA : transmission loss, karena faktor attenuation (dB)
TLG : transmission loss, karena faktor geometrical spreading
xiv
TS : rata-rata target strength dari sekelompok tunggal target terdeteksi (dB) VRT : voltase yang ditimbulkan gelombang reverbrasi, terjadi ditransduser Vo2 : kuadrat keluaran voltase dari suatu sistem fungsi TVG
α : koefisien absorbsi (dB/km)
φ : sudut azimut pada bidang transduser yang dibentuk target η : faktor peredaman (dB)
λ : panjang gelombang suara
θ : sudut dari target terhadap sumbu akustik
θ1 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi alongship
θ2 : posisi target yang diperoleh dari beda phase pada sisi athwartship
ρA : densitas ikan per unit area yang diintegrasi (ekor/m2)
ρv : rata-rata densitas ikan per volume perairan (ekor/m3) σ : acoustic backscattering dari target tunggal
σbs : acoustic backscattering dari target tunggal pada koordinat sudut (θ,φ)
τ : durasi pulsa yang dipancarkan suatu sumber suara (s)
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini informasi sumberdaya ikan sangat berguna dan diperlukan bagi
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, pengambilan keputusan, masyarakat,
akademika dan swasta perikanan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang
berkesinambungan. Sayangnya, ketersediaan informasi tersebut masih minim untuk
didapatkan, padahal ini sangat penting untuk hal-hal di atas dan perlu dilakukan
pengumpulan data untuk membuat suatu informasi bagi sumberdaya perikanan
dan kelautan.
Tersedianya data dan informasi tentang potensi sumberdaya ikan pada
suatu perairan dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan bagi pengembangan
(termasuk juga bagi investasi) pada wilayah tersebut. Estimasi potensi sumberdaya
ikan (fish stock assessment) untuk sebagian wilayah Indonesia telah dirintis sejak
tahun tujuh puluhan, sedangkan estimasi potensi sumberdaya ikan pada perairan
Indonesia secara keseluruhan baru dilaporkan pada sekitar tahun sembilan puluhan
(Martosubroto, 1991).
Seberapa besar stok awal sumberdaya ikan seharusnya menjadi perhatian
utama, karena dengan demikian maka suatu rencana pembangunan terhadap upaya
pengelolaan sumberdaya ikan akan lebih memiliki kepastian, apalagi bila didukung
pula oleh informasi yang akurat mengenai distribusi dan densitasnya. Salah satu
sumberdaya ikan tersebut adalah ikan pelagis kecil, yang merupakan sumberdaya
ikan paling melimpah di Indonesia.
Kehidupan ikan di suatu perairan sangat ditentukan oleh faktor oseanografi,
antara lain; suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan juga faktor ekologi
lainnya (Brand 1979). Fenomena distribusi vertikal populasi ikan berdasarkan hasil
laporan dari beberapa penelitian (Simbolon 1996; Latumeten 1996; Nugroho 2004)
menggambarkan adanya pergerakan pola migrasi ikan, dimana ikan pada umumnya
melakukan migrasi diurnal (pada siang hari) dan nokturnal (pada malam hari)
secara vertikal pada kolom perairan.
Sumberdaya ikan pelagis merupakan jenis-jenis ikan yang biasa hidup atau
2
Ikan pelagis ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ikan pelagis kecil
antara lain adalah: ikan layang (Decapterus russeli), kembung (Ratrelliger spp),
tembang (Sardinella fimbriata), dan ikan lemuru (Sardinella longiceps) dan ikan
pelagis besar seperti; cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Scomberidae sp),
madidihang (Thunnus albacores) dan ikan cucut (Carchahinidae).
Ikan pelagis kecil memiliki nilai ekonomis penting dan terdapat pada seluruh
wilayah perairan Indonesia, akan tetapi informasi mengenai sebaran dan densitas ikan
pelagis kecil ini masih dirasa kurang, seharusnya dengan wilayah perairan Indonesia
yang sangat luas, kita memiliki informasi yang lengkap dan akurat tentang potensi
sumberdaya ikan, oleh karena itu melalui penelitian-penelitian perlu digali informasi
sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Indonesia dan selanjutnya dipetakan agar
dapat dimanfaatkan oleh stakeholders serta pihak lain yang memerlukannya.
Salah satu upaya untuk penggalian informasi ketersediaan sumberdaya ikan
pelagis kecil bagi tujuan-tujuan pemanfaatan dan pengelolaan secara efesien serta
berkelanjutan antara lain adalah dengan menerapkan pengetahuan bidang kelautan
dan perikanan yang didukung oleh keahlian dalam bidang eksplorasi.
Hidroakustik merupakan salah satu metode yang digunakan dalam survei
pendugaan sumberdaya ikan. Metode ini memiliki beberapa keunggulan apabila
dibandingkan dengan metode lainnya, antara lain; informasi tentang kelimpahan
dan distribusi sumberdaya ikan pada daerah yang disurvei dapat diperoleh secara
real time (cepat), in situ (langsung), tidak merusak atau mengganggu objek yang
diteliti, serta memiliki selang dinamik yang cukup lebar sehingga informasi yang
diperoleh cukup akurat. Sistem split-beam dari transducer memungkinkan perolehan
nilai targetstrength dan posisi dari objek secara langsung.
Metode hidroakustik dapat memberikan informasi yang detail mengenai
densitas, distribusi kedalaman renang, ukuran panjang ikan dan variasi migrasi
vertikal. Metode hidroakustik merupakan salah satu teknik terbaik dan tercanggih
hingga saat ini dengan menggunakan transduser split beam. Metode hidroakustik
ini pada prinsipnya ditujukan untuk mengestimasi target strength, densitas dan
kelimpahan ikan per satuan luas atau volume perairan. Cara ini dilakukan dengan
mengintegrasikan energi echo (gema) yang sebelumnya telah dikonversi ke bentuk
tertentu). Hasil intergrasi tersebut kemudian dikonversi ke dalam biomassa ikan.
Perolehan kelimpahan sumberdaya ikan akan diperoleh dari densitas yang terdeteksi
dengan luasan area lokasi ikan yang menjadi target.
Pengintegrasian echo merupakan cara yang diterapkan dalam penelitian
akustik, karena dengan cara ini densitas dan distribusi ikan dapat ditentukan dalam
cakupan yang besar. Dewasa ini, digital echo integrator telah dapat dengan mudah
diprogram untuk menampung banyak parameter penelitian, termasuk di dalamnya
interval kedalaman (layer) dimana akan dilakukan penghitungan densitas ikan.
Apabila densitas ikan dapat diketahui berdasarkan swimming layers di suatu lokasi
perairan, akan lebih mudah melakukan analisa terhadap keberadaan sumberdaya
ikan tersebut, dan selanjutnya untuk proses pemanfaatan (penangkapan) terhadap
sumberdaya ikan tersebut dapat lebih ditingkatkan karena telah didapatkan informasi
dan data mengenai keberadaan ikan tersebut di lokasi perairan yang diamati.
1.2Perumusan Masalah
Suatu kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkeberlanjutan
membutuhkan indikator utama pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu seberapa besar
stok sumberdaya ikan yang tersedia, dan untuk menganalisis stok sumberdaya ikan,
maka dibutuhkan beberapa informasi penting yaitu; data hasil tangkapan (ukuran,
jenis, dan jumlah ikan), daerah tangkapan (fishing ground) dan upaya penangkapan
(effort). Untuk menyatakan bahwa suatu perairan tersebut adalah fishing ground,
perlu suatu kegiatan eksplorasi yang disertai dengan kajian mengenai keberadaan
dan ketersedian sumberdaya ikan pada perairan tersebut. Ketersediaan ikan dapat
dikaji melalui seberapa besar nilai densitas serta distribusi ikan tersebut pada suatu
area perairan.
Sumberdaya ikan memiliki spesies yang relatif beragam (multi-species) dan
dinamis yang sangat bergantung pada karakteristik oseanografi, dimana karakteristik
oseanografi tersebut sangat berpengaruh bagi tingkah laku, distribusi dan densitas
serta fluktuasi sumberdaya ikan di suatu perairan. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang densitas dan pola distribusi kelompok ikan di suatu perairan terutama dalam
kaitannya dengan kondisi oseanografi perairan sangat penting untuk dijadikan bahan
pertimbangan bagi pendugaan dan pengkajian sumberdaya ikan sebagai komponen
4
menggunakan metode akustik, sangat perlu dilakukan penganalisaan faktor-faktor
oseanografi bagi penentuan distribusi dan densitas sumberdaya ikan.
Sama halnya dengan densitas, untuk mengetahui dan menganalisa swimming
layer sumberdaya ikan pada suatu perairan harus mengarah pada pengetahuan
mengenai karakteristik fisik perairan, sebab fisik perairan merupakan faktor penting
dan dominan bagi keberadaan sumberdaya ikan pada suatu area perairan, terlebih
apabila perairan tersebut merupakan daerah penangkapan ikan.
Laporan penelitian terdahulu dengan menggunakan pendekatan akustik yang
menjelaskan densitas ikan berdasarkan swimming layers di perairan Indonesia masih
terbatas, penelitian ini berusaha menjelaskan densitas ikan pelagis kecil berdasarkan
swimming layers yang dilakukan melalui pendeteksian akustik serta menganalisa
karakteristik fisik perairan yaitu faktor oseanografi yang diduga turut mempengaruhi
keberadaan sumberdaya ikan pelagis kecil tersebut di suatu perairan.
Selat Makassar merupakan salah satu perairan di Indonesia yang cukup unik
bila dibandingkan dengan beberapa perairan lainnya, karena Selat Makassar dilalui
massa air yang sangat besar yang biasa disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO).
Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan fenomena, baik terhadap oseanografi fisik
perairan maupun terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang terdapat pada perairan
Selat Makassar tersebut. Selain itu, perairan Selat Makassar juga menerima proses
penyuburan sepanjang tahun dimana pada musim barat penyuburan terjadi karena
adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi akibat curah hujan yang cukup
tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi
bagian selatan Selat Makassar akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik
dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores. Hal-hal tersebut cukup menggelitik
dan turut membangkitkan rasa ingin tahu lebih jauh sehingga diputuskanlah untuk
melakukan riset di perairan Selat Makassar dengan mengkombinasikan peralatan
deteksi hidroakustik dan pengukuran kondisi oseanografi fisik untuk mengestimasi
sebaran dan densitas ikan pelagis kecil.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis swimming layers dan
mengestimasi distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di Selat Makassar melalui
parameter suhu dan salinitas terhadap distribusi dan densitas ikan pelagis kecil di
perairan Selat Makassar berdasarkan strata ketebalan lapisan perairan (layer).
1.4Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Diperoleh data estimasi swimming layers (posisi lapisan renang) dan estimasi
densitas ikan serta kecenderungan pola distribusinya secara vertikal maupun
horizontal di Selat Makassar.
(2) Dapat diketahui sejauh mana faktor oseanografi (terutama suhu dan salinitas)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang
membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya
disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian throughflow. Massa air
Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki
1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik
et al. 1997; Susanto dan Gordon 2005).
Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim
tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut
mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih
tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien
tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus (Arlindo) dari Samudera Pasifik
ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari
pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo,
sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di
Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera
Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui
Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan
keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder
adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan
Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok
(Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996).
Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan
yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada
musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari
daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang
cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa
lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut
Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan
sungai-sungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam
menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui
Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah
putus-putus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera
Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus
warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan
Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh
monsoon(Susanto dan Gordon 2005).
Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon (angin
musim), monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun,
hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan
Desember–Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas
Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan (west monsoon).
Pada bulan Juni–Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin
bergerak dari arah tenggara menuju selatan (east monsoon). Selama angin musim
barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan
Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi
peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah
Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan
8
lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik
melaui Laut Sulawesi (Wyrtki 1961).
Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon,
kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga
kedalaman 500 meter (Arief, 1998). Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan
mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode
Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan
bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup*
Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai
dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini pada musim tenggara
dan 0,7 Sverdrup pada musim barat laut (Gordon dan McClean 1999). Pada kurun
waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat
Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan mencapai 9,1 Sverdrup (Susanto
dan Gordon 2005).
Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan
Indonesia umumnya berkisar antara 31,2 - 34,5 ppt. Naulita (1998) mendapatkan
nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,12 ppt pada musim timur
(Juni, Juli dan Agustus), dan mendekati nilai 30 ppt pada musim barat (Desember,
Januari dan Februari). Hasil pengukuran Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di
Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,26 - 33,35 ppt pada lapisan
dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada
bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit
berfluktuasi dengan kisaran 30,4 - 33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga
kedalaman 100 meter (34,7 psu), kemudian terjadi sedikit penurunan hingga
kedalaman 300 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International
nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan
salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara
33,441 - 35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916 - 35,206 psu (Awaludin 2005).
Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan
dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan
karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang
memberikan suplai air tawar yang cukup besar (Naulita 1998).
*
diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan.
Pada kedalaman melebihi 1000 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara
2 - 4oC (Hutagalung 1988). Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor,
seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan
faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui
curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi
dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke
lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), evaporasi
dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1o
Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan C pada lapisan permukaan hingga
kedalaman 10 meter.
Lukas dan Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan
laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur (lapisan
homogen). Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan
entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta
kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991) adveksi vertikal dan
entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu
pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor
angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya
upwelling.
Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat
dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan
sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian
mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan
Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan
sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald 1993). Maes (1998) menemukan
bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan
menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter
dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan
keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang
10
intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya
berkisar antara 25 - 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan
bertambahnya kedalaman hingga 80 db (Tomascik et al. 1997). Hasil pengukuran
yang dilakukan Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan
kisaran suhu antara 29,89 - 30,0oC pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter),
sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan
nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 29,2oC dengan nilai
kisaran antara 28,5 - 29,6oC dan mengalami penurunan hingga kedalaman 300 meter
(11,29oC). Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara
stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan suhu
permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 29,14 - 29,69oC
dan sebelah selatan antara 27,44 - 29,10oC (Awaludin 2005).
2.2 Ikan Pelagis Kecil
Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya menyebar di perairan Selat
Makassar antara lain adalah ikan kembung (Ratrelliger spp), layang (Decapterus
russeli), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps), selar bentong
(Selar crumenophthalmus),japuh (Dussumieria acuta), tenggiri (Scomberomorus sp),
tongkol (Scomberidae sp), petek (Leognatidae spp) dan ikan teri (Engraulidae)
(Latumeten 1996). Penyebaran ikan pelagis kecil tersebut semakin meningkat dari
bagian utara ke arah selatan Selat Makassar (Simbolon 1996).
Ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling
melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik,
karena penyebaran utamanya adalah di perairan sekitar pantai, dan pada
daerah-daerah dimana terjadi proses up welling, dan sumberdaya ini dapat membentuk
biomassa yang sangat besar (Csirke 1988).
Menurut Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol pada
lapisan atas perairan, sedangkan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah.
Burczynski et al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil dapat
dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline.
Menurut Laevastu dan Hela (1970), hewan laut termasuk di dalamnya ikan
(1) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada sedikit di atas termoklin, akan
bermigrasi ke lapisan permukaan pada sore hari, menyebar di antara permukaan
thermocline pada malam hari, dan naik ke atas lapisan thermocline pada pagi
hari.
(2) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada di bawah lapisan thermocline,
bermigrasi melalui thermocline ke lapisan permukaan selama pagi hari, menyebar
antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di atas
thermocline.
(3) Spesies ikan pelagis yang berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi ke
lapisan thermocline selama sore hari, menyebar kelapisan yang lebih dalam
selama pagi hari.
Pendugaan kelimpahan sumberdaya ikan sangat penting karena merupakan
langkah awal dalam manajemen pengelolaan perikanan. Pendugaan kelimpahan
dapat digunakan untuk menduga laju eksploitasi, mortalitas dan rekrutmen pada
suatu sok ikan (Aziz 1989).
2.3 Landasan Teoritis Metode Hidroakustik
MacLennan dan Simmonds (1992) menyatakan beberapa keuntungan dan
keunggulan yang didapat bila menggunakan metode hidroakustik dalam estimasi
ikan antara lain:
(1)Menghasilkan informasi tentang densitas ikan secara cepat dan meliputi suatu
kawasan yang luas;
(2)Pendugaan dapat dilakukan secara langsung tanpa tergantung dari data statistik
perikanan;
(3)Memiliki ketelitian dan kecepatan tinggi dan dapat digunakan ketika metode
lain tidak dapat digunakan.
Metode ini menggunakan pulsa suara atau bunyi yang dihasilkan oleh alat
transduser dan akan menghasilkan echo (gema) dari target yang dituju. Transmisi
pulsa suara dari transduser dalam media air akan mengalami pengurangan intensitas
dalam rambatannya menuju suatu obyek atau target. Pengurangan intensitas selama
berlangsungnya proses transmisi pulsa itu disebut transmission loss (TL). Ada dua
12
(geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) suara oleh suatu massa air
(Burczynski 1982; Urick 1983; Johannesson dan Mitson 1983).
Jika diasumsikan bahwa transmisi gelombang suara ada pada suatu titik dan
merambat dalam medium yang ideal (tidak ada pengaruh peredaman), maka power
(P) yang keluar dari seluruh permukaan sumber harus sama pada jarak berapapun
dari sumber suara (misal; pada jarak R1, R2, ….Rn
dimana: PR : power yang keluar/dipancarkan sumber suara
I = 1,2,3,…n : besarnya intensitas yang diukur pada jarak R = 1,2,3,..n.
Dari persamaan (1) dapat ditentukan intensitas suara dari sumber pada jarak Rn
2
dimana: I0 : intensitas suara yang dipancarkan sumber suara
0
R : jarak standar, 1 meter dari sumber suara
R
I : intensitas suara pada jarak R dari sumber suara
karena standar jarak (R) untuk referensi yang digunakan adalah 1 meter dari sumber
suara atau (R0), maka dari persamaan (2) akan didapat:
Penurunan intensitas yang diakibatkan oleh perambatan geometris (geometrical
spreading) biasa juga disebut transmission loss (TLG
(
)
( )
2Pengurangan intensitas juga disebabkan adanya peredaman, dimana gelombang
suara yang merambat di medium air sebagian energinya diserap oleh massa air, dan
menurut Urick (1983) untuk setiap meter energi yang diserap dapat dinyatakan
dengan:
,
dx I
dI =−η
dimana:η : faktor peredaman
Pada jarak antara R1 dengan R0, maka intensitas I1 pada jarak R1 berhubungan
Dalam skala logaritmik, penurunan intensitas akibat peredaman (attenuation)
(TLA
Berdasarkan persamaan (4) dan (6), maka pengurangan intensitas suara pada
medium air akibat perambatan geometris (geometrical spreading) dan peredaman
(attenuation) ditentukan dengan persamaan:
R R
TL=20log +α . . . (7)
Pengurangan intensitas pada persamaan (7) merupakan sekali perjalanan
energi suara, yaitu dari transduser ke target, sedangkan sistem hidroakustik adalah
menghitung gema (echo) yang dipantulkan kembali oleh target menuju sumber
suara (transduser), sehingga akan terjadi dua kali perjalanan energi suara; dari
transduser ke target, lalu kembali lagi (dipantulkan) ke transduser, yang berarti
terjadi dua kali pengurangan intensitas. Maka untuk pengurangan intensitas ini,
persamaannya adalah:
R R TL=40log +α
14
Sedangkan energi yang dipantulkan kembali oleh target dan diterima kembali oleh
transduser disebut juga derajat gema (Echo Level, EL), dan dapat ditentukan dengan
persamaan yang dikemukakan oleh Urick (1983) sebagai berikut:
TS TL SL
EL= −2 + . . . (9)
Namun persamaan di atas hanya diterapkan pada target tunggal, maka untuk
multiple target intensitas suara yang mencapai transduser biasa disebut reverberation
level (RL). Johannesson dan Mitson (1983) mengemukakan konsep perhitungan
intensitas suara yang mencapai transduser untuk multiple target, yang dijelaskan
seperti pada Gambar 3.
Volume dVdihitung berdasarkan perkalian luas permukaan insonifikasi
(
R2 dΩ)
teradap ketebalan target
(
cτ 2)
, sehingga diperoleh:Ω =R c d
dV 2 τ 2 . . . (10)
Untuk mendapatkan intensitas volume acoustic backscattering, digunakan istilah
coefficient volume backscattering (SV) yang analog dengan σ untuk target tunggal,
yaitu:
dengan demikian maka RL dalam bentuk logaritmik adalah (Urick 1983):
Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson
(
)
Gelombang tekanan yang memutuskan aksi RL pada transduser menghasilkan
sebuah voltase VTR yang amplitudonya pada seketika waktu sama dengan RL + SRT
(SRT = sensitivitas transduser), sehingga didapatkan:
VTR = SL + SRT + SV + 10 log cτ/2 + 10 log ψ . . . (12)
SL + SRT adalah sebuah parameter kelompok yang dapat diukur dengan rata-rata
dari prosedur kalibrasi pada standar target. Tegangan VRT diolah melalui echosounder,
pada awalnya oleh gain amplifier tetap (G1) dan kemudian amplitudo TVG (G2).
Semua tegangan dari echosounder dikuadratkan dalam echo integrator untuk
dikonversi dari satuan tegangan ke intensitas (Johannesson dan Mitson 1983).
2.4 Target Strength
Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk
memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg
1984), sedangkan Coates (1990) mendefenisikan target strength sebagai ukuran
desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar
satu meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang
mengenai target.
Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan
melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam
kolom air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu, akan
tetapi tidak semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan,
karena ada juga yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak
faktor yang mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan
bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, gelembung
renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit,
distribusi dari sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena
nilai kerapatannya tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan 1989).
Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan
suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy
16
beberapa faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan,
gelembung renang, tingkah laku (orientasi), acoustic impedance, panjang gelombang
suara, beam pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect
(Johannesson dan Mitson 1983; MacLennan 1989; MacLennan dan Simmonds 1992).
Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat
diartikan sebagai 10 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (Ir)
pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur
target tersebut (Ii
TS = 10 log I
), seperti pada persamaan berikut ini:
r Ii . . . (13)
dimana: Ir : intensitas suara yang dipantulkan target
Ii : intensitas suara yang membentur target
Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), target strength merupakan
backscattering crosssection (σbs
TS = 10 log ( σ 4 π ) ≈ 10 log σ
) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti
persamaan di bawah ini:
bs . . . (14)
dimana : (σ/4 π) ≈σbs
TS = 10 log I
: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ)
Maka, target strength dapat dinyatakan dalam:
r I
Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat
dinyatakan dalam persamaan ini:
Untuk mendapatkan target strength atau σ
: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ)
bs, maka faktor skala, peredaman
dan beampattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat
dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/time varied gain (penambahan berdasarkan
variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem
beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian
transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti tampak pada Gambar 4.
Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat
kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target,
keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran
digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk isolasi
target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 5).
Gambar 5 menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh setiap kuadran
diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah
datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang
Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi
Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999).
18
berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector maka phase angle
dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad 1977). Sudut lokasi dari suatu target
tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh transduser.
Pada sisi alongship,beda phase dapat diperoleh dengan cara membandingkan sinyal
di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda phase θ1, kemudian
pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d, sehingga diperoleh
beda phase θ2.
Dengan diketahuinya beda phase θ1 dan θ2, maka koordinat sudut (θ,φ)
dari posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983):
θ = sin –1γ ( sin2θ1 + sin2θ2 )
φ = tan –1 ( sin2θ1 / sin2θ2 ) . . . (17)
Setelah diperoleh nilai sudut θ1 dan θ2, maka faktor beam pattern dapat dihitung,
sehingga nilai σbs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (17) di atas.
Sebuah model geometrik sederhana untuk menduga energi backscatter
berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (1990) sebagai berikut: σ = b0 L2 . . . (18)
TS = 20 lo L + b0 . . . (19)
Love (1971) dan (1977) merumuskan persamaan yang menghubungkan
backscattering cross section (σ), panjang ikan (L) dan panjang gelombang (λ):
σ/λ2 = a ( L/λ )b (dB ) . . . (20)
dimana: a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan dan panjang gelombang.
Persamaan (10) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi:
TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (dB) . . . (21)
dimana: TS : Target strength
f : frekuensi suara a, b, c : konstanta
Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak
ada perbedaan hasil yang didapatkan dari frekwensi yang berbeda, oleh sebab itu
diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan
sebagai berikut:
TS = 20 log ( L) – 68 (dB) . . . (22)
2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan
Burczynski (1982) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang berada
pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh gelombang
suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu target
menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan
merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu
(Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi:
Ir total = Ir1 + Ir2 + . . . + Irn . . . (23) dimana: n = jumlah individu ikan
Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-rata
intensitasnya (Īr), sehingga:
Ir total = n Īr . . . (24)
oleh karena σ = 4π (Ir / Ii), maka intensitas rata-rata per-target menjadi:
Īr = σIi / 4π . . . (25)
sehingga: Ir total = ( nσ / 4π) Ii . . . (26)
Persamaan (26) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi:
Ir total = nσIi . . . (27)
Persamaan (27) merupakan dasar untuk mengestimasi stok ikan secara kuantitatif
dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi:
SV = 10 log n + TS dimana: S
. . . (28)
V
Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 1982).
20
Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi
pada jarak kedalaman ΔR = R1 - R2, volume backscattering strength (SV) untuk satu transmisi dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m3 air
yang dijumlahkan dan dirata-ratakan pada ΔR, sehingga SV yang diperoleh
merupakan rata-rata SV (SV ) dapat dituliskan sebagai berikut:
TS
)n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n
Jika diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat diketahui
apabila TS juga diketahui.
Selanjutnya secara matematis persamaan (30) digabung dengan persamaan
integrator, dimana output (M) yaitu:
∫
Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input terminal dari integrator
Penggabungan dari dua persamaan (30) dan (31) akan diperoleh:
V
S ΔR = M/Ci.Ge . . . (32)
Dengan mensubstitusi persamaan (29) dan (32) akan diperoleh:
ρv/ ΔR = M/Ci.Ge (σ/4π) . . . (33)
ρv/ ΔR = ρA . . . (34)
Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (34)
diaplikasikan dengan:
ρA = SA / σbs . . . (35)
dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad 1997):
∂σ / ∂v = 4πr2Sv . . . (36) ∂σ / ∂A
Kemudian persamaan (38) mengubah volumebackscattering strength (SV) menjadi coefficient backscattering area (SA) per unit volume. Jumlah SA
(m2/nmi2) dihubungkan dengan σbs menjadi:
SA = (1852 m/nmi)2σbs . . . (39)
Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh
dengan mengkombinasikan persamaan (36) dan (39) menjadi:
)
Coefficient backscatteringarea (SA) dari persamaan (40) dikalkulasi untuk setiap area terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh
nilai backscattering cross section (Sv):
)
Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung
densitas ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (33) menjadi: ρv = ρA ( R2 - R1 ) . . . (41)
dimana: ρv : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi dalam bentuk nilai jumlah ikan persatuan volume (1000 m3)
ρA : densitas ikan per luas area (ekor/m3)
R : jarak target dari transduser
Densitas akustik ikan ρv dapat juga dilihat dari nilai NASC (m2/nmi2), karena
NASC merupakan besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap
milnya. Nilai NASC dapat diturunkan dari ABC (area backscattering coefficient)
dalam satuan m2/m2
T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m)
Sehingga nilai NASC dapat diketahui seperti persamaan berikut ini:
. . . (43)
Nilai ABC dan NASC diukur berdasarkan area scattering, dihitung setelah
22
pada saat proses penghitungan dengan menggunakan softwaresonardata echoview
versi 4.10. NASC (nautical area scattering coefficient) identik dengan SA (coefficient
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang
diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan
oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Agustus 2003 sampai
Januari 2004, mulai dari persiapan, pengukuran dan pengumpulan data di lapangan,
analisis data hingga penyusunan laporan. Pengukuran dan pengumpulan data secara
in situ dilakukan pada tanggal 14 – 25 Oktober 2003 di perairan Selat Makassar.
3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian
Sumberdaya ikan pelagis kecil dan data oseanografi (suhu dan salinitas) di
perairan Selat Makassar merupakan bahan penelitian yang diteliti, sedangkan
peralatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran dan pengumpulan data
dalam penelitian ini antara lain:
(1) Kapal Penelitian
Penelitian ini menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII (1300 GT) milik
Pusat Penelitian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI)
(spesifikasi dan desain dapat dilihat pada Lampiran 1).
(2) Instrumen Akustik
Semua instrumen akustik yang digunakan telah tersedia pada KR. Baruna
Jaya VIII, meliputi: 1) scientific echosounder SIMRAD EK-500 dengan frekwensi
38 kHz, transmisi berkekuatan 2 kW yang mampu mendeteksi hingga kedalaman
10.000 meter, bandwidth terdiri dari 0,38 kHz (narrow) dan 3,8 kHz (wide) serta
panjang pulsa 0,1; 0,3; dan 3,0 (ms); 2) SIMRAD BI-500 post-processing system;
3) donggle; 4) komputer tipe pentium dan printer warna (Lampiran 2).
Selama perekaman data akustik, echosounder EK-500 diset sebagai berikut:
Frekuensi : 38 kHz Kedalaman rekaman : 5 ~ 1.000 m
TVG : 20 log R
24
(3) Instrumen Oseanografi
Pengukuran parameter perairan (suhu dan salinitas) dilakukan dengan alat
conductivity temperature depth (CTD) tipe SBE 911 plus seabirds dengan tingkat
kemampuan mengukur hingga kedalaman maksimum 6.800 meter (Lampiran 3).
3.3 Desain Survei
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan
menggunakan sistem akustik split beam untuk mendapatkan data secara in situ dan
real time. Peralatan akustik serta perangkat lainnya telah terpasang pada Kapal Riset
Baruna Jaya VIII. Agar pelaksanaan pendeteksian, pengukuran dapat mencakup
seluruh area yang diteliti, maka dibuat suatu rancangan survei yang berupa suatu
jalur transek pelayaran (cruise track) seperti Gambar 7.
Cruise track di Selat Makassar dibuat berbentuk sistematik sejajar (paralel)
dengan jarak antar leg sekitar 30 mil laut. Menurut MacLennan dan Simmonds (1992)
bahwa jika salah satu tujuan dari survei adalah untuk distribusi ikan, maka transek
dengan jarak yang sama atau sejajar (parallel grid) adalah lebih baik digunakan
karena upaya penyamplingan distribusi akan merata pada area yang diteliti.
Ditetapkan 5 leg dan 4 antar leg pada cruise track paralel yang digunakan,
dan penentuan elementary sampling distance unit (ESDU) untuk perekaman data
akustik ditetapkan sepanjang 1 nautical mile (nmi), sedangkan untuk pengukuran
data oseanografi ditetapkan 16 stasiun pengukuran. Sebelum melakukan cruise
seluruh instrumen akustik dan instrumen oseanografi harus dikalibrasi, dan stasiun
untuk sampling faktor-faktor oseanografi pada sepanjang transek harus terlebih
dahulu ditentukan dan ditandai pada peta pelayaran, sehingga pada saat melakukan
pengukuran mudah diketahui dengan menggunakan kompas dan GPS.
3.4 Perolehan Data
Data dan informasi yang diperoleh dari echosounder (frekuensi 38 kHz)
diteruskan ke komputer melalui local area network untuk keperluan penyimpanan
serta analisis data dan perhitungan selanjutnya. Integrasi echo dilakukan meliputi
seluruh kolom air sepanjang jalur transek yang dilewati oleh kapal mulai dari
kedalaman 5 meter, dan selanjutnya pada pengolahan data dilakukan per-layer
(lapisan kedalaman) dengan ketebalan masing-masing layer adalah 50m (5~50,
50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan 300~350m), sehingga ada 7
layer yang diambil datanya. Nilai integrasi dikelompokan dalam satuan integrasi
(ESDU) yang diperuntukan dalam pendugaan rata-rata densitas ikan per km2 atau
m2/nmi2
Instrumen akustik merekam data akustik secara otomatis dan terus menerus
serta menghasilkan data dalam bentuk echogram, dan selanjutnya data deteksi ikan
tunggal dan kelompok ikan oleh perangkat echosounder SIMRAD EK 500 diproses
dengan menggunakan software di dalam BI 500 post processing system. Software
untuk seluruh kolom perairan atau per-layer.
Bersamaan dengan pengambilan data akustik, dilakukan juga pengumpulan
data oseanografi (salinitas dan suhu) dengan menggunakan CTD pada 16 stasiun
pengambilan data yang telah ditetapkan di sepanjang cruise track, sedangkan data
sekunder yang dikumpulkan adalah hasil penghitungan nilai sebaran kandungan
korofil-a di perairan Selat Makassar.
26
tersebut berisi formula target strength ikan tunggal dan formula scattering volume
kelompok ikan seperti yang diuraikan pada sub bab 2.4 Target Strength dan sub bab
2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan. Distribusi dan densitas ikan yang akan diestimasi
diperoleh melaui proses intergrasi echo dalam arah vertikal untuk setiap layer yang
telah ditentukan serta merata-ratakan dalam arah horisontal sepanjang cruise track.
Pemrosesan data tersebut menghasilkan nilai densitas relatif (mean volume
backscattering strength) tiap ESDU yang direkam dan dapat diketahui dalam bentuk
echogram pada display komputer maupun dari print out printer. Pada prinsipnya
keluaran echo integrator adalah dalam bentuk mean volume backscattering strength
(densitas relatif), dan untuk melihat pola sebaran densitas ikan secara horisontal,
maka nilai densitas akustik (acoustic density) ikan untuk setiap ESDU dipetakan
sebagai satu titik koordinat yang terletak pada bagian tengah jalur transek.
Echogram yang ditampilkan berdasarkan pemrosesan software sonardata
echoview versi 4.10 dalam wujud densitas ikan dengan satuan ekor ikan/nmi2 pada
setiap ESDU dan menurut layer (lapisan kedalaman), selanjutnya dianalisis secara
deskriptif untuk menjelaskan variasi distribusi densitas berdasarkan keseluruhan
kedalaman perairan. Kedalaman perairan dialokasikan masing-masing dalam layer
sekitar 50 meter, yaitu 5~50, 50~100, 100~150, 150~200, 200~250, 250~300 dan
300~350 meter. Fenomena parameter suhu, salinitas, estimasi acoustic values dan
distribusi densitas per layer divisualisasikan dalam bentuk peta kontur horisontal
dengan menggunakan softwareocean dataview versi 3.2.3. Secara umum, seluruh
proses pengolahan dan analisis data hidroakustik dan oseanografi pada penelitian
Gambar 8 Diagram Alir Pemrosesan Data dan Analisisnya.
Echosounder Simrad EK 500
Software BI 500
Kondisi fisik perairan yang di teliti
Sv, NASC per layer
dan per ESDU
Software
Sonardata echoview version 4.10
Estimasi densitas dan distribusi
CTD
Temperatur dan Salinitas
Estimasi swimming layers dan densitas ikan pelagis kecil
O v e r l a y
Deskriptif
Vessel position: Latitude and longitude
GPS
Software
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan dan analisa data untuk distribusi Sv dan NASC pada daerah
penelitian ditampilkan berdasarkan tujuh layer (lapisan kedalaman). Suhu dan
salinitas ditampilkan berdasarkan tiga layer, yaitu homogen layer (lapisan homogen)
yang merupakan lapisan perairan dengan ketebalan lebih kurang 50 meter, mulai
dari permukaan perairan hingga kedalaman 50 meter; thermocline layer (lapisan
termoklin) yang berada tepat di bawah lapisan homogen hingga kedalaman 300
meter; dan deep layer (lapisan dalam) yang berada di bawah lapisan thermocline.
Hal ini dilakukan untuk lebih memudahkan pembahasan yang dilakukan.
4.1 Distribusi Nilai Sv
Pada profil menegak, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi pada layer 1, 2 dan sedikit pada layer 3 hingga
layer 7, seperti tampak pada Gambar 9.
Pada profil mendatar berikut ini dapat dilihat secara detil estimasi distribusi
nilai Sv pada masing-masing layer, seperti dapat dilihat pada Gambar 10.
Pada layer 1 yang ditunjukkan Gambar 10a memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv di bagian utara hingga tengah area memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan bagian barat dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara
keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar (-47,29 dB) – (-69,43 dB).
Pada layer 2 yang ditunjukkan Gambar 10b memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv cukup bervariatif, dimana nilai Sv yang lebih tinggi terdistribusi
di bagian utara, di tengah, dan barat daya area yang diteliti. Pada layer ini secara
keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-58,29 dB) – (-69,92 dB).
Pada layer 3 yang ditunjukkan Gambar 10c memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian selatan, barat daya dan barat area
yang diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berkisar
antara (-63,27 dB) – (-70 dB).
Pada layer 4 yang ditunjukkan Gambar 10d memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi hanya di bagian barat daya area yang diteliti. Pada
layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-63,9 dB)
– (-69,45 dB).
Pada layer 5 yang ditunjukkan Gambar 10e memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih hanya pada bagian barat daya area yang
diteliti. Pada layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv berada pada
kisaran (-62,46 dB) – (-69,29 dB).
Pada layer 6 yang ditunjukkan Gambar 10f memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi tetap hanya pada bagian barat daya area yang
diteliti. Secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv pada layer ini berada pada
kisaran (-62,95 dB) – (-69,77 dB).
Pada layer 7 yang ditunjukkan Gambar 10g memperlihatkan bahwa estimasi
distribusi nilai Sv terkonsentrasi masih di bagian barat daya area yang diteliti. Pada
layer ini secara keseluruhan estimasi distribusi nilai Sv ada pada kisaran (-65,72 dB)
Gambar 10 Estimasi Distribusi Mendatar Nilai Sv pada Seluruh Layer.
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
(g)