TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI KETIDAKETISAN PENGGELAPAN PAJAK
(Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Bantul dan Sleman)
THE INFLUENCE OF FAIRNESS, TAX SYSTEM, DISCRIMINATION, AND PROBABILITY OF FRAUD DETECTION ON NON-ETHICS
PERCEPTION OF TAXPAYERS ABOUT TAX EVASION (Empirical Study on Taxpayers in KPP Pratama Bantul and Sleman)
Oleh
NINA LUTFYANTIKA SUWARDHINI 20130420450
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
i
PENGGELAPAN PAJAK
(Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Bantul dan Sleman)
THE INFLUENCE OF FAIRNESS, TAX SYSTEM, DISCRIMINATION, AND PROBABILITY OF FRAUD DETECTION ON NON-ETHICS
PERCEPTION OF TAXPAYERS ABOUT TAX EVASION (Empirical Study on Taxpayers in KPP Pratama Bantul and Sleman)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana pada Fakuktas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh
NINA LUTFYANTIKA SUWARDHINI 20130420450
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
viii
This study aims to analyze that affect to perception on non-ethical of tax evasion. These factors are fairness, tax system, discrimination, and probability of fraud detection. The population of this study is the individual tax payer in KPP Pratama Bantul and Sleman. The sampling technique of this study used convenience sampling method, where the data obtained from questionnaires with 88 respondenses. Data analysis in this study assisted by SPSS software.
The result of this study are follows : (1) fairness on perception of ethical tax evasion is positive and significant, (2) tax system on perception of non-ethical tax evasion is positive and significant, (3) discrimination on perception of non-ethical tax evasion is negative and significant, (4) probability of fraud detection on perception of non-ethical tax evasion is positive and significant.
1 A. Latar Belakang Penelitian
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang.
Globalisasi yang sedang terjadi menyebabkan tidak ada batasan antara
ruang dan waktu setiap individu di dunia. Sehingga terjadilah pasar bebas
dalam berbagai sektor, termasuk dalam sektor perekonomian. Hal ini
memaksa suatu negara untuk terus berkembang dan mengikuti kemajuan
dunia yang ada, salah satunya ialah suatu negara harus dapat membuka diri
dengan persiapan yang baik dalam persaingan bebas agar dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negaranya,
termasuk Negara Indonesia sebagai Negara berkembang. Dalam
merealisasikan pembangunan itu, Indonesia memerlukan dana untuk dapat
membiayai dan mengembangkan pembangunan nasional.
Menurut pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa suatu negara dikatakan mandiri jika negara tersebut tidak bergantung pada negara yang
lainnya, memiliki karakter dan jati diri yang kuat, serta ketahanan ekonomi
yang kuat dalam menghadapi setiap krisis yang ada (Ningsih, 2015). Salah
satu pemasukan negara yang paling besar ialah berasal dari pajak. Menurut
Pajak adalah kontribusi wajib oleh negara terutang kepada orang pribadi atau badan bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Prasetyo (2010) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
yang dapat dipaksakan yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat suatu prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran
umum negara berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintah.
Peran pajak sebagai sumber pendanaan utama di Indonesia dijadikan
andalan utama dalam pembangunan nasional. Ardyaksa (2014)
menyebutkan bahwa peran pajak dari waktu ke waktu semakin menjadi
andalan utama pendapatan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
sangat menekankan Wajib Pajak untuk tertib dan taat dalam pembayaran
pajak demi kepentingan nasional. Dalam pelaksanaanya, penerimaan pajak
dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Namun, perubahan
yang signifikan dalam pembangunan belum dapat dirasakan langsung oleh
rakyat. Jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan Wajib Pajak menjadi
enggan untuk membayar pajak. Maka dari itu, pemerintah terus
mengembangkan tata cara perpajakan agar Wajib Pajak merasa terlayani
dengan benar saat membayar pajak termasuk dalam sistem perpajakannya.
Sistem perpajakan merupakan salah satu elemen penting yang
menunjang dalam keberhasilan pemungutan pajak. Setiap tahunnya
Pajak taat dalam membayar pajak. Ada tiga sistem pemungutan pajak di
Indonesia, yaitu official assessment system, self assessment system, dan with holding system. Sejak tahun 1983 yaitu setelah adanya reformasi di bidang perpajakan, Indonesia mulai menerapkan self assessment system. Self assessment system ini menuntut Wajib Pajak untuk mendaftar, menghitung, dan membayar sendiri pajak yang terutangnya.
Dengan diterapkannya self assessment system, menandakan bahwa pemerintah memberikan kepercayaan penuh terhadap Wajib Pajak untuk
mengelola utang pajaknya dan diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran
Wajib Pajak akan pentingnya membayar pajak demi terwujudnya
pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Nugroho
(2012) semakin modern sistem perpajakan maka diharapkan kesadaran
Wajib Pajak untuk membayar pajak akan tinggi, sehingga penerimaan
pajak juga akan semakin meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
Wajib Pajak, karena jumlah Wajib Pajak memiliki potensial yang
cenderung meningkat setiap tahunnya. Ketika masyarakat mempunyai
kesadaran dalam perpajakan secara sukarela atau biasa disebut voluntary tax compliance yang tinggi maka sistem ini akan berhasil, tetapi apabila tingkat kesadaran masyarakat rendah, maka akan menimbulkan
masalah-masalah perpajakan, salah satunya yaitu adanya penggelapan pajak
(Suminarsi, 2011).
perpajakaan yang berlaku, sehingga tax evasion dapat dikatakan suatu hal yang illegal. Adanya tax evasion ini menandakan rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Hal ini dapat diliat dari adanya tax gap, yaitu selisih antara kewajiban pajak yang sebenarnya dengan pajak yang dibayarkan atau dalam kata lain adanya gap antara target dan
realisasi dalam pendapatan pajak. Gap ini dapat kita lihat dalam tabel
target dan realisasi penerimaan pajak dari tahun 2010-2014 berikut:
Tabel 1.1
Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Tahun Target Penerimaan
Pajak
2010 661,40 triliun 649,04 triliun 98,12%
2011 878,65 triliun 873,82 triliun 99,45%
2012 1.011,70 triliun 980,17 triliun 96,88%
2013 1.139,32 triliun 1.040,32 triliun 91,31%
2014 1.246,00 triliun 1.143,00 triliun 91,70%
Sumber: Kementrian Kuangan, Republik Indonesia (diolah, 2016).
Dari tabel 1.1 diatas dapat dilihat bahwa pendapatan negara dari
sektor pajak masih belum optimal, karena dari tahun ke tahun cenderung
mengalami penurunan. Penurunan ini dapat dilihat dengan jelas dimulai
dari tahun 2012-2014. Peningkatan yang signifikan dapat kita lihat pada
tahun 2010-2011, yaitu persentase penerimaannya dari 98,12% menjadi
99,45%. Tetapi tetap saja antara target dan realisasi yang diharapkan
tidaklah sesuai hasilnya dan cenderung menurun dari yang ditargetkan.
Maka, bisa jadi bahwa penurunan ini salah satu penyebabnya adalah
Salah satu penyebab Wajib Pajak melakukan penggelapan pajak
adalah Wajib Pajak merasa bahwa pajak merupakan suatu beban yang
akan mengurangi pendapatan, dimana tujuan pemerintah dan tujuan Wajib
Pajak bertolak belakang, pemerintah mengharapkan dapat memaksimalkan
penerimaan pajak sedangkan Wajib Pajak ingin meminimalkan beban
seminim mungkin termasuk dalam meminimalkan beban pajak. Ardyaksa
(2014) menyebutkan bahwa Wajib Pajak akan lebih memilih untuk
melakukan penggelapan pajak karena merasa penggelapan pajak akan
lebih mudah dilakukan walaupun hal itu merupakan tindakan yang
melanggar undang-undang. Penyebab lainnya adalah banyaknya Wajib
Pajak yang beranggapan bahwa dana pajak tersebut belum maksimal untuk
dialokasikan ke pembangunan nasional, melainkan dana tersebut masuk
kedalam kantong fiskus pajak. Maka, peran fiskus disini juga penting
dalam mengawasi dan melaksanakan tugasnya dengan integritas yang
tinggi.
Salah satu kasus penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia adalah
kasus Gayus Tambunan pada tahun 2009 yang ramai dibicarakan. Gayus
dianggap telah memberikan kerugian kepada negara yang sangat besar.
Gayus terjerat dalam 3 pasal berlapis sekaligus, yaitu korupsi, pencucian
uang, dan penggelapan pajak. Diduga banyaknya pegawai Ditjen Pajak
dan perusahan-perusahaan yang dalam pengawasan Gayus terlibat dalam
kasusnya. Pada tahun 2015 silam yang dilansir oleh Siaran Pers Direktorat
penggelapan pajak pada 9 November 2015. DP alias AK merupakan
komisaris PT. SEP yang berada di kabupaten Tangerang, disangkakan
melakukan penerbitkan faktur pajak yang tidak berdasar pada kondisi yang
sebenarnya sehingga meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayarkan
oleh pengguna faktur pajak fiktif tersebut dalam kurun waktu 2012-2013.
Kerugian yang dialami oleh negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai
19,6 Miliar (Siaran Pers, 2015).
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak ada
dalam berbagai modus pelanggaran dan menyebabkan kerugian negara
yang sangat besar. Banyaknya kasus atau skandal yang terjadi baik di
institusi maupun indvidu dalam bidang perpajakan merupakan akibat dari
kegagalan etis/ethical failure (Hartman, 2008). Beberapa penelitian terdahulu banyak menjelaskan mengenai aspek-aspek teknis dari
penggelapan pajak dan hukum perpajakan. Selain dari aspek tersebut,
penggelapan pajak juga dapat dilihat dari sudut pandang etikanya, yaitu
mengenai etis atau ketidaketisan penggelapan pajak dalam arti lain sesuatu
yang salah atau tidak untuk dilakukan. McGee (2006) dalam Silaen (2015)
menyatakan bahwa penggelapan pajak terbagi menjadi tiga pandangan,
yaitu tidak pernah etis, kadang-kadang etis (tergantung pada situasi) dan
yang terakhir etis.
Salah satu penyebab penggelapan pajak dianggap etis adalah ketika
adanya kecurangan pemerintah ataupun fiskus pajak dalam pengalokasian
pajak yang dianggap hanya menguntungkan beberapa pihak saja, sehingga
Wajib Pajak lebih memilih untuk tidak membayar pajak karena mereka
merasa tidak mendapatkan imbalan apapun dari beban pajak yang
dibayarkan dan menganggap bahwa beban pajak yang dikeluarkan tidak
dikelola dengan baik. Menurut McGee (2006) menyebutkan bahwa
penggelapan pajak dianggap suatu hal yang etis dikarenakan oleh
minimnya keadilan dalam penggunaan uang yang bersumber dari pajak,
korupsi oleh pemerintah, dan merasakan tidak mendapat imbalan secara
langsung atas pajak yang dibayarkan. Hal inilah yang menyebabkan
kurangnya tingkat penerimaan pajak Negara serta menimbulkan krisis
kepercayaan dari masyarakat terhadap institusi yang terkait dalam
pembayaran pajak.
Penggelapan pajak akan dianggap tidak etis ketika sistem perpajakan
itu dilaksanakan secara baik dan adil. Dalam literatur Yahudi memandang
bahwa tindakan penggelapan pajak selalu menjadi tindakan yang tidak
pernah etis. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan pemikiran dalam
literatur Yahudi untuk tidak meremehkan ataupun mempermalukan orang
Yahudi lainnya. Jika salah satu orang Yahudi melakukan penggelapan
pajak, maka hal ini akan berdampak buruk juga terhadap orang Yahudi
lainnya, dampaknya yaitu membuat semua orang Yahudi terlihat buruk
(McGee, 2008).
Penggelapan pajak dianggap tidak etis atau tidak benar pun dijelaskan
188 yang secara tidak langsung melarang umat-Nya untuk melakukan
tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ayat tersebut berbunyi:
ا ْ أ ا كْأت ا ْأ ْث ْْاب ساَ ا ا ْ أ ْ ًاقيرف ا كْأت اَ حْ ا ى إ ا ب ا ْدت طابْ اب ْ ْيب ْ
ْ ت
ْعت
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Ayat diatas menjelaskan larangan Allah SWT dalam melakukan
kecurangan, kolusi, nepotisme, penipuan ataupun korupsi. Kegiatan
penggelapan pajak termasuk dalam aspek-aspek tersebut, yaitu melakukan
penipuan atas kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan dan
melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme terhadap Wajib Pajak ataupun
Fiskus Pajak.
Nickerson et al., (2009) dalam Suminarsi (2011) menjelaskan penelitian mengenai dimensionalitas skala etika penggelapan pajak.
Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan sekitar seribu orang di enam
negara disurvei, skala delapan belas item disajikan, dianalisis dan dibahas.
Hasilnya menunjukan bahwa dari item-item yang diuji dalam penggelapan
pajak secara keseluruhan terdapat tiga dimensi persepi skala etis, yaitu (1)
keadilan, berkaitan dengan kegunaan positif dari uang; (2) sistem
perpajakan, hal ini terkait mengenai tarif pajak dan kegunaan negatif atas
uang; (3) diskriminasi, yaitu yang terkait mengenai penggelapan pajak
Dari uraian dan penelitian sebelumnya diatas dapat dilihat mengenai
perbedaan pandangan skala etis dari berbagai aspek dan juga mengenai
skala dimensionalitas mengenai etika penggelapan pajak. Hal ini
mendorong peneliti untuk melalukan penelitian mengenai ketidaketisan
penggelapan pajak, karena apapun alasannya penggelapan pajak tidak etis
untuk dilakukan mengingat bahwa pajak sudah merupakan kewajiban
masyarakat Indonesia dalam membantu pembangunan nasional dan
merupakan bentuk dari pengabdian masyarakat terhadap negara. Penelitian
ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan sebelumnya
oleh Suminarsi (2011). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah:
1. Adanya penambahan variabel independen yaitu kemungkinan
terdeteksi kecurangan.
2. Sasarannya terkhusus pada WPOP (Wajib Pajak Orang Pribadi),
Suminarsi melakukan penelitian pada Wajib Pajak, yang berarti Wajib
Pajak disini bisa Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.
3. Penelitian dilakukan pada tahun 2016 sedangkan penelitian
sebelumnya dilakukan pada tahun 2011.
4. Penelitian ini hanya dilakukan di KPP Pratama Bantul dan Sleman,
penelitian sebelumnya dilakukan di KPP wilayah Yogyakarta
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian ini dengan judul “
Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan terhadap Persepsi Wajib Pajak
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Apakah keadilan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak?
b. Apakah sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak?
c. Apakah diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak ?
d. Apakah kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh positif
terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan
pajak?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk menguji pengaruh keadilan terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
b. Untuk menguji pengaruh sistem perpajakan terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
c. Untuk menguji pengaruh diskriminasi terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
d. Untuk menguji pengaruh kemungkinan terdeteksi kecurangan terhadap
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, adapun manfaat penelitian yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian
selanjutnya sebagai referensi untuk menambah pengetahuan dan
sebagai informasi, serta bahan acuan untuk membandingkan atau
mengembangkan mengenai penelitian yang serupa.
b. Manfaat Praktis
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat melihat kecenderungan
persepsi Wajib Pajak mengenai penilaiannya terhadap ketidaketisan
penggelapan pajak, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menanggulani ataupun mencegah adanya kasus
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Landasan teori berisi penjelasan mengenai teori-teori dan variabel
yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Teori Persepsi
Sebelum mengetahui persepsi mengenai ketidaketisan
penggelapan pajak, harus mengetahui terlebih dahulu teori mengenai
persepsi. Secara umum persepsi dapat dikatakan sebagai suatu respon
pemberian arti terhadap rangsangan dari suatu masalah yang terjadi
dari luar (Prasetyo, 2010). Menurut KBBI (2002) persepsi merupakan
suatu proses seseorang dalam mengetahui beberapa hal yang terjadi
pada setiap orang dalam menanggapi dan memahami informasi
mengenai suatu hal yang terjadi di lingkungannya melalui
pancainderanya (melihat, merasakan, mencium, mendengar,
menyentuh).
Pareek (2001) menyebutkan bahwa persepsi mencakup dua proses
yang saling terkait, yaitu :
a. Menerima kesan melalui panca indera
b. Penetapan atas arti dari kesan-kesan panca indera tersebut. Arti
tersebut ditetapkan melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur
kejadian di masa lalu) dan struktur evaluative (nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang).
Rachmadi (2014) menyimpulkan bahwa persepsi merupakan
proses untuk memahami kemudian menafsirkan suatu objek,yang
kemudian penafsiran itu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berada di
dalam diri individu tersebut. Menurut Abizar (1988) dalam Prasetyo
(2010) persepsi merupakan suatu proses seorang individu memilih,
mengevaluasi dan mengordinasi pola stimulus dari lingkungannya.
Proses dari pemberian persepsi oleh individu itu sendiri dipengaruhi
oleh stimuliti serta pengetahuan individu mengenai objek tersebut.
Menurut Plano (2005) dalam Rachmadi (2014) banyak faktor yang
mempengaruhi persepsi individu diantaranya dari faktor lingkungan
sosial. Lingkungan sosial ini akan membentuk kepribadian seseorang
dan cara pandang maupun cara berfikir seseorang terhadap suatu
objek. Persepsi individu juga bisa menjadi persepsi masyarakat karena
masyarakat merupakan kumpulan individu yang kemudian saling
berinteraksi sosial, sehingga hal ini juga bisa menjadi faktor yang
mempengaruhi cara pandang seseorang.
Teori persepsi juga berkaitan dengan teori psikologis perilaku,
yang berarti bahwa persepsi merupakan salah satu faktor psikologis
yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Hal ini berarti persepsi
juga menentukan cara kita berpelaku atau menanggapi suatu objek
seseorang yang nantinya persepsi itu mempengaruhi juga terhadap
perilaku yang seseorang itu tunjukan.
Dari penjelasan diatas mengenai pengertian persepsi, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh persepsi dalam membentuk pola
pikir dan perilaku individu sebagai warga negara yang membayar
pajak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jadi, persepsi
individu dalam menanggapi penggelapan pajak ialah proses bagaimana
individu tersebut dalam menerima, mengorganisasikan dan
mengartikan praktik dari penggelapan pajak yang dipengaruhi oleh
lingkungan sosial disekitar individu tersebut. Apabila dalam
lingkungannya ataupun dari individu tersebut menerima banyak
informasi mengenai etika penggelapan pajak, maka wawasan individu
tersebut akan lebih luas juga, sehingga hal ini akan mendorong
individu untuk berperilaku positif terhadap proses pelaksanaan
perpajakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibson (2001), yang
mengatakan bahwa respon individu terhadap objek akan bergantung
pada persepsi yang timbul dari dirinya sendiri.
2. Pengertian Pajak
Pajak di Indonesia merupakan sumber pendapatan utama dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dasar dari ilmu
perpajakan ialah yang tercantum dalam undang-undang yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pajak mempunyai
Menurut Undang-undang No.28 tahun 2007, pajak merupakan
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Soemitro (2000) dalam Prasetyo (2010) pajak merupakan
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan terhadap Wajib Pajak tanpa mendapatkan timbal
balik secara langsung, langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk
pengeluaran-pengeluaran umum.
Menurut Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan
sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma
yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran umum (Resmi,
2009). Berbeda dengan pedapat para ahli diatas, Meliala (2007) dalam
Prasetyo (2010) mengungkapkan bahwa pajak merupakan iuran rakyat
kepada kas Negara sebagai bentuk pengabdian rakyat terhadap Negara
dalam membantu membiayai pembangunan Nasional.
Dari beberapat definisi pajak diatas dapat disimpulkan bahwa
pajak mempunyai ciri-ciri yang mendasar, diantaranya:
a. Pajak merupakan suatu iuran wajib yang dibayarkan oleh rakyat
b. Pajak dapat dipaksakan dan dipungut berdasarkan ketentuan umum
dalam suatu perundang-undangan.
c. Pajak dibayarkan tanpa mendapat kontrasepsi langsung atau tidak
mendapat timbal balik secara langsung dari pemerintah terhadap
individual.
d. Pajak digunakan untuk pembiayaan pengeluaran umum pemerintah
dalam upaya pembangunan nasional.
Maka dapat disimpulkan juga bahwa perbedaan definisi pajak yang
signifikan diungkapkan oleh Meliala (2007) dalam Prasetyo (2010),
yang tidak disebutkan oleh para ahli lainnya, yaitu bahwa pajak
merupakan suatu “bentuk pengabdian rakyat terhadap negara”, yang
mana dari definisi lain terkesan bahwa pajak itu merupakan suatu
bentuk “paksaan” terhadap rakyat. Sehingga dari definisi tersebut
dapat mengartikan dan memahami pajak sebagai suatu hal yang positif
dan sukarela, yang dimana manfaatnya juga demi kepentingan bangsa
dan Negara. Sesuai dengan sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia” yang
berarti bahwa apabila kita dapat bersatu dan kompak dalam mengabdi
kepada Negara yang salah satu bentuk pengabdiannya ialah dengan
membayar pajak, maka pembangunan nasional demi kesejahteraan
rakyat yang diinginkan dapat tercapai.
3. Fungsi Pajak
Menurut Resmi (2009) fungsi pajak dalam masyarakat suatu
a. Fungsi Budgetair (Sumber Dana Bagi Pemerintah)
Fungsi ini bertujuan untuk membuat pemasukan kas Negara
sebanyak-banyaknya, yang kemudian kas ini akan dipergunakan
untuk pengeluaran-pengeluaran umum Negara, contohnya
dimasukannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negri, yang kemudian
penggunaannya sesuai dengan target penerimaan pajak yang telah
ditetapkan, sehingga dapat menyeimbangi dan mengontrol posisi
antara pemasukan dan pengeluaran.
b. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Fungsi pajak ini secara tidak langsung mengatur dan
mengembangkan sarana perekonomian yang produktif. Tidak
hanya dalam bidang ekonomi fungsi pajak dapat menjadi alat
untuk mencapai tujuan tertentu diluar bidang keuangan, tetapi
masih dalam kebijakan pemerintah, contohnya dalam bidang
sosial. Fungsi ini dapat kita lihat dalam kebijakan pemerintah,
seperti :
1) Dalam bidang sosial terdapat kebijakan Keluarga Berencana,
bagi keluarga yang memilik anak lebih dari 3 orang maka tidak
akan diberikan tambahan untuk Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
2) Tarif pajak progresif yang dikenakan atas penghasilan, hal ini
tinggi memberikan kontribusi yang tinggi juga, sehingga
adanya.
3) Tarif pajak untuk ekspor dikenakan sebesar 0%, hal ini
dimaksudkan agar mendorong pengusaha lokal untuk
mengekspor hasil produksinya ke pasar dunia, dimana hal ini
dapat memperbesar devisa Negara juga.
4) Minuman keras dikenakan pajak yang tinggi agar rakyat dapat
mengurangi konsumsi minuman keras.
Berdasarkan fungsi pajak diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi
budgetair merupakan suatu alat untuk mengisi kas negara sebanyak-banyaknya dalam upaya membiayai pengeluaran umum rutin yang
digunakan oleh Negara dalam pembangunan Nasional, sedangkan
fungsi regurelend lebih berfokus dan mengatur pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
4. Etika
Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya (Bertens, 2000). Secara etimologis etika berasal dari kata
Yunani yaitu “ethos” yang berarti adat istiadat atau watak kesusilaan.
Hal ini berarti etika berkaitan dengan suatu perilaku dan kebiasaan
hidup seseorang maupun kebiasaan hidup pada suatu masyarakat. Etika
juga biasanya berhubungan dengan aturan yang mengajarkan hal-hal
dalam sehari-hari di masyarakat, tata cara hidup yang baik, dan hal
yang mengajarkan kebaikan yang kemudian dianut dan diajarkan
secara turun-temurun unuk generasi selanjutnya.
Silaen (2015) menyebutkan bahwa etika merupakan suatu
kebiasaan hidup yang timbul dari diri seorang maupun pada
masyarakat atau kelompok yang menghindari hal-hal yang
menimbulkan tindakan yang buruk. Indonesia merupakan negara yang
penuh akan budaya, maka kadang etika seseorang akan dipandang dari
sudut pandang yang berbeda-beda. Hal ini menandakan bahwa etika
berkaitan dengan moralitas, tetapi bukan berarti etika sama arti dengan
moralitas. Perbedaan antara etika dan moralitas ialah etika merupakan
sebuah penelaahan sedangkan moralitas merupakan sebuah pedoman
yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok mengenai benar atau
salah dan baik atau tidaknya suatu perkara (Suminarsi, 2011). Selain
itu juga etika sekarang berkembang menjadi sebuah studi mengenai
kebenaran dan ketidakbenaran berdasar pada kodrat manusia yang
kemudian diwujudkan melalui kehendak manusia (Wicaksono, 2014).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika pajak merujuk
pada perilaku sudah benar atau salah, baik atau tidaknya Wajib Pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
umum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan definisi etika yang
and wrong conducts, yang artinya etika merupakan aturan dari suatu undang-undang yang menggambarkan perilaku benar atau salah.
5. Wajib Pajak
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2009 tentang perubahan terbaru atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang
dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan
ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
Sesuai dengan self assessment system kewajiban Wajib Pajak ialah mendaftarkan, menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak
terutangnya. Wajib Pajak juga memiliki kewajiban untuk membuat
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
6. Penggelapan Pajak
Penggelapan pajak merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang melanggar peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Suminarsi (2011) menjelaskan bahwa penggelapan pajak
merupakan suatu tindakan yang tidak benar yang dilakukan oleh Wajib
Pajak terhadap kewajiban pajaknya. Penggelapan pajak dianggap
sesuatu yang melanggar undang-undang karena Wajib Pajak disini
dengan memalsukan dokumen sedemikian rupa sehingga akan terbebas
dari kewajiban pajak yang seharusnya.
Mardiasmo (2009) menyebutkan bahwa penggelapan pajak (tax evasion) merupakan suatu usaha Wajib Pajak dalam meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang yang berlaku.
7. Keadilan
Tujuan hukum pemungutan pajak adalah harus mencapai keadilan,
undang-undang, dan pelaksanaan pemungutannya harus adil
(Mardiasmo, 2009). Adil yang dimaksud disini adalah pengenaan
pajak yang dilakukan secara umum dan merata, serta disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing (Wicaksono, 2014). Oleh karena
itu, baik masyarakat maupun pemerintah memastikan bahwa mereka
mendapatkan perlakuan yang adil dalam tata cara perpajakan. Keadilan
oleh Siahaan (2010) terbagi menjadi tiga pendekatan aliran pemikiran
yaitu :
a. Prinsip Manfaat (Benefit Principle)
Prinsip ini menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar pajak
sesuai dengan manfaat kontribusi yang telah diberikan oleh
pemerintah. Kontribusi ini dapat berbentuk berbagai sarana atau
fasilitas yang disediakan oleh pemerintah untuk kepentingan
publik. Menurut Rahman (2013) dan Wicaksono (2014)
berdasarkan prinsip ini maka sistem pajak yang adil bergantung
diperhatikan disini adalah bahwa manfaat pajak bukan hanya
mengenai kebijakan pajak saja, tetapi menyangkut pada
pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak juga.
b. Prinsip Kemampuan Untuk Membayar (Ability To Pay)
Dalam prinsip ini dijelaskan bahwa masalah pajak hanya dilihat
dari sisi pajaknya itu sendiri, terlepas dari sisi pengeluaran public
(pengeluaran pemerintah dalam membiayai pengeluaran bagi
kepentingan publik). Berdasarkan prinsip ini, diperlukan
penerimaan pajak dalam jumlah tertentu untuk perekonomian
negara dan Wajib Pajak membayar sesuai dengan kemampuannya
saja. Pendekatan ini dipandang lebih baik dalam mengatasi
redistribusi pendapatan dari masyarakat, daripada masalah yang
berkaitan dengan penyediaan jasa atau sarana untuk public.
c. Keadilan Horizontal dan Vertikal
Waluyo (2013) menyebutkan bahwa aspek keadilan dalam
pemungutan pajak, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1) Keadilan Horizontal
Keadilan ini dikenal dengan sebutan equal treatment for equals yaitu perlakuan yang sama terhadap yang berada dalam kondisi
yang sama, maksudnya adalah sistem pemungutan horizontal
pajak memenuhi keadilan horizontal ketika Wajib Pajak yang
dikenakan besaran yang sama dengan Wajib Pajak yang
melihat jenis penghasilan atau sumber penghasilannya. Prinsip
ini ditujukan untuk meningkatkan kesetaraan dimana Wajib
Pajak akan dikenakan besaran yang sama besarnya dengan
Wajib Pajak yang besar penghasilannya sama juga.
2) Keadilan Vertikal
Keadilan ini dikenal sebagai unequal treatment for the unequals, maksudnya adalah pengenaan pajak terhadap orang-orang yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang
berbeda akan dikenakan pajak yang berbeda juga sesuai dengan
perbedaannya. Singkatnya, Wajib Pajak dengan ekonomis yang
sama akan dikenakan pajak yang sama juga, dan sebaliknya
8. Sistem Perpajakan
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Official Assessment System, Self assessment system, dan With Holding System: a. Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem yang memberikan wewenang pada
pemerintah (fiskus) dalam menetukan besaran pajak yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak. Peran Wajib Pajak disini adalah pasif,
karena utang pajak akan timbul setelah fiskus mengeluarkan surat
ketetapan pajak. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan
timbulnya utang pajak menurut sistem ini ialah utang pajak timbul
b. Self Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak dimana Wajib
Pajak diberikan wewenang untuk mendaftar, menghitung, dan
menyetor sendiri pajak yang terutang. Aparat pajak (fiskus) hanya
berperan dalam penyuluhan dan pengawasan kepatuhan pajak dari
Wajib Pajaknya (Suandy, 2002).
c. With Holding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak dimana pihak
ketiga yaitu bukan fiskus maupun Wajib Pajak yang diberikan
wewenang untuk menentukan besaran pajak yang dikenakan
terhadap Wajib Pajak. Pihak ketiga yang dimaksud disini antara
lain adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah (Suandy,
2002). Menurut Siahaan (2010) sistem ini diterapkan bagi Wajib
Pajak yang penghitungan dan pemungutannya lebih efektif apabila
dilakukan oleh orang atau badan tertentu yang ditunjuk oleh fiskus
sebagai pemungut pajak.
9. Diskriminasi
Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa
diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
berakibat pengangguran, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang
lain.
Menurut Danandja (2003), diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok, berdasarkan
sesuatu yang sifatnya kategorikal, seperti ras, budaya, suku bangsa,
agama, ataupun kelas sosialnya. Diskriminasi dalam bidang perpajakan
ini lebih menunjuk pada kondisi dimana pemerintah memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dan seimbang terhadap masyarakat
maupun Wajib Pajak (Abrahams dan Kristanto, 2016).
10.Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan dalam menghimpun dan
mengolah data, keterangan atau bukti yang dilaksanakan secara
professional dan objektif berdasarkan pada suatu standar pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Mardiasmo, 2011).
Budileksmana (2001) menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak
merupakan suatu rangkaian tindakan lanjutan dari penelitian yang telah
dilakukan atas SPT. Ketika pengisian pada SPT telah memenuhi
kriteria untuk dilakukan pemeriksaan, maka setelah dilakukan
Beberapa kriteria tertentu dimana setelah dilakukan penelitian akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan pajak antara lain (Menkeu RI, 1994)
dalam Budileksmana (2001) :
a. SPT Tahunan yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran
pajak.
b. SPT Tahunan yang menyalahi ketentuan penggunaan norma
penghitungan untuk penghitungan penghasilan neto.
c. SPT Tahunan yang menyatakan adanya kerugian.
d. SPT Tahunan untuk bagian tahun pajak sebagai akibat adanya
perubahan tahun buku yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal
Pajak.
e. Adanya penggabungan (merger), pemekaran usaha atau
pengambilalihan usaha (akuisisi), serta pembubaran usaha
(likuidasi).
f. Adanya kerja sama operasi (KSO).
g. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pindah tempat
terdaftarnya Wajib Pajak atau pencabutan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP).
h. SPT Tahunan yang menyatakan adanya penilaian kembali
(revaluasi) aktiva tetap yang telah disetujui oleh Dirjen Pajak.
i. Wajib Pajak yang mengajukan restitusi Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn.BM)
k. SPT Tahunan yang terdapat kekeliruan penghitungan kompensasi
kerugian.
l. SPT Tahunan tidak atau terlambat disampaikan 2 (dua) tahun
berturut-turut.
m. Terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana
dibidang Perpajakaan.
Menurut Tobing (2015) Wajib Pajak akan enggan untuk
melakukan penggelapan pajak apabila adanya sistem pemeriksaan
yang baik dan disiplin. Wajib pajak menganggap bahwa apabila
adanya sistem pemeriksaan yang ketat dan kemungkinan akan
terdeteksi kecurangannya tinggi, maka WP tersebut akan takut untuk
melakukan penggelapan pajak. Karena WP tersebut tahu bahwa denda
untuk membayar pelanggaran lebih besar daripada membayar besar
No Peneliti Judul Penelitian
Variabel Data Hasil Penelitian
Wajib Pajak di Wilayah Surakarta
Variabel Moderasi:
Penggelapan pajak
Dependen:
Persepsi wajib pajak.
Surakarta) pemahaman akan
aturan pajak, 85,74% WP tidak setuju dengan praktik penggelapan pajak dan 95,56% PNS tidak
C. Hipotesis
1. Keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Keadilan pajak merupakan hal yang harus diperhatikan dalam
penerapan perpajakan di suatu negara. Keadilan disini berfungsi untuk
menjaga kesetaraan pajak berdasar pada kemampuan masing-masing
Wajib Pajaknya. Ketidakadilannya pembebanan pajak disuatu negara
akan memicu Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak seperti
tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Suminarsi (2011) menyatakan bahwa secara psikologis
masyarakat menganggap membayar pajak merupakan suatu beban,
dimana tujuan mereka adalah meminimalkan beban seminimal
mungkin. Berbeda dengan tujuan pemerintah yang menginginkan
pemaksimalan penerimaan pajak. Ardyaksa (2014) menyebutkan
bahwa pemungutan pajak haruslah adil dan merata sesuai dengan
kemampuan dalam membayar pajak dan manfaat yang diterima
sebanding. Pemikiran dalam hal pentingnya keadilan bagi Wajib Pajak
dalam membayar pajak mempengaruhi tindakannya dalam membayar
pajak.
McGee (2006) menyebutkan bahwa penggelapan pajak dianggap
suatu hal yang etis dikarenakan oleh minimnya keadilan dalam
penggunaan uang yang bersumber dari pajak, korupsi oleh
atas pajak yang dibayarkan. Pajak dianggap adil oleh Wajib Pajak jika
beban pajak yang dibayarkan sebanding dengan kemampuan dan
manfaat yang akan diterima (Indriyani dkk, 2016). McGee (2009)
dalam penelitiannya mengenai skala dimensionalitas mengenai etika
penggelapan pajak menemukan bahwa variabel keadilan termasuk
sebagai salah satu faktornya. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu dan
Hastuti (2009), Suminarsi (2011), Handayani (2014) dan Ardyaksa
(2014) menyebutkan bahwa keadilan tidak berpengaruh terhadap
penggelapan pajak.
Tetapi, dalam penelitian Rahman (2013) hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa keadilan berpengaruh negatif terhadap
ketidaketisan penggelapan pajak, yang artinya semakin tinggi tingkat
keadilan maka penggelapan pajak akan dianggap hal yang etis.
Semakin tinggi tingkat keadilan, maka persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak juga meningkat, sehingga
penggelapan pajak (tax evasion) semakin dianggap tidak etis untuk dilakukan. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
McGee (2006) dan McGee (2008) yang menyebutkan dalam hasil
penelitiannya bahwa penggelapan pajak dipandang sebagai perilaku
yang tidak pernah etis. Sebaliknya, apabila tingkat keadilan rendah
maka persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
pajak hal yang etis dilakukan.Oleh karena itu, hipotesis pertama dalam
penelitian ini adalah :
H1: Keadilan pajak berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
2. Sistem perpajakan berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Silaen (2015) menyatakan bahwa sistem perpajakan merupakan
suatu sistem pemungutan pajak dari suatu perwujudan pengabdian dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melakukan kewajiban pembayaran pajaknya yang kemudian digunakan
untuk membiayai pembangunan nasional. Sistem perpajakan yang
digunakan di Indonesia adalah self assessment system, sistem ini memberikan wewenang kepada Wajib Pajak untuk mendaftar,
menghitung, dan membayar sendiri pajak terutangnya. Hal yang
diharapkan dari hasil sistem ini ialah administrasi perpajakan dapat
dilaksanakan secara rapih, terkendali, dan mudah dipahami oleh
masyarakat atau Wajib Pajak (Siahaan, 2010). McGee (2009)
menyatakan bahwa sistem perpajakan berkaitan dengan tarif
perpajakan dan korupsi mungkin saja terjadi dalam sistem apapun.
Sistem ini dilihat juga dari tinggi rendahnya tarif pajak dan arus
kemana dana tersebut dialokasikan, maka peran fiskus dalam
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Permita dkk (2014) yang hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa semakin baik sistem perpajakan yang ada maka
Wajib Pajak semakin mendapat peluang yang besar melakukan
penggelapan pajak, mengingat sistem yang digunakan di Indonesia
yaitu self assessment system. Sehingga Wajib Pajak mendapatkan peluang besar untuk menghitung dan membayar pajak terutangnya.
Hasil penelitian Handayani (2014) menyebutkan bahwa sistem
perpajakan tidak berpengaruh terhadap tindakan penggelapan pajak.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee
(2008) yang mengemukaan bahwa penggelapan pajak selalu tidak etis
untuk dilakukan. Nickerson et al,. (2009), Suwandhi (2010), Suminarsi (2011) dan Rahman (2013) juga menemukan bahwa sistem perpajakan
berpengaruh terhadap persepsi etis penggelapan pajak.
Semakin baik pengalokasian dan sistem perpajakannya maka akan
meningkatkan juga persepsi ketidaketisan Wajib Pajak mengenai
pengelapan pajak, maka Wajib Pajak akan menganggap penggelapan
pajak sebagai hal yang tidak etis dilakukan. Sebaliknya, semakin
rendahnya sistem perpajakan maka akan menurunkan juga persepsi
Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak, dan
penggelapan pajak akan dianggap sebagai suatu hal yang etis.
H2: Sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap persepsi Wajib
3. Diskriminasi berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Indriyani dkk. (2016) menyebutkan bahwa suatu kebijakan dinggap
diskriminasi apabila kebijakan tersebut hanya menguntungkan pihak
tertentu saja dan ada pihak lainnya yang merasa dirugikan.
Berdasarkan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 ayat (3), UU tersebut menyatakan bahwa diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat
pengangguran, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang
lain. Adanya peraturan perpajakan yang dianggap sebagai bentuk
diskriminasi membuat Wajib Pajak enggan untuk membayar pajak.
McGee (2009) dalam penelitiannya mengenai skala
dimensionalitas mengenai etika penggelapan pajak menyebutkan
bahwa variabel diskriminasi berpengaruh terhadap etika penggelapan
pajak. Penelitian sebelumnya Suminarsi (2011) hasilnya menyatakan
bahwa diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib Pajak
tinggi tingkat diskriminasi, maka persepsi Wajib Pajak mengenai
ketidaketisan penggelapan pajak semakin rendah. Hasil penelitian
Nickerson et al,. (2009) dan Rahman (2013) juga menyatakan bahwa diskriminasi memiliki korelasi positif terhadap penggelapan pajak,
maka semakin tinggi tingkat dikriminasi, semakin tinggi juga tingkat
penggelapan pajak dan penggelapan pajak akan dianggap suatu hal
yang etis.
H3: Diskriminasi berpengaruh negatif terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
4. Kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak
Ada beberapa cara yang dilakukan pemerintah dalam mendeteksi
kecurangan, salah satunya yaitu dengan melakukan pemeriksaan.
Rahman (2013) menyatakan bahwa kemungkinan terdeteksi
kecurangan adalah dilihat dari seberapa besarnya kecurangan
terdeteksi saat pemerisaan. Wajib Pajak akan merasa takut melakukan
penggelapan pajak apabila pemeriksaan yang dilakukan terlaksana
dengan baik, tegas, teliti, dan lebih terkontrol. Tobing (2015)
menyatakan bahwa ketika WP menganggap presentase kemungkinan
terdeteksi kecurangan saat dilakukan tinggi, maka WP akan takut
untuk melakukan penggelapan dan cenderung untuk patuh pada aturan
Hal ini sesuai dengan penelitian Ayu dan Hastuti (2009), Ayu
(2011) dan Rahman (2013) bahwa kemungkinan terdeteksi kecurangan
berpengaruh negatif terhadap tindakan tax evasion, artinya bila kemungkinan terdeteksi kecurangan tinggi maka penggelapan pajak
semakin tidak etis untuk dilakukan. Semakin tinggi tingkat
kemungkinan terdeteksi kecurangan, maka semakin tinggi juga
persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak,
sehingga Wajib Pajak cenderung untuk tidak melakukan tindakan tax evasion.
H4 : Kemungkinan terdeteksi kecurangan berpengaruh positif
terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
D. Model Penelitian
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Obyek/Subyek Penelitian
Wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai
suatu karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan dan kemudian
diambil kesimpulannya disebut dengan populasi (Sugiyono, 2008).
Populasi lebih mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian,
atau minat yang ingin diinvestigasi oleh peneliti (Sekaran, 2006). Populasi
dari penelitian ini ialah seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berada di
KPP Pratama Bantul, KPP Pratama Yogyakarta, dan KPP Pratama
Sleman. Peneliti hanya menargetkan ketiga KPP ini (yaitu KPP Pratama
Bantul, Yogyakarta, dan Sleman) karena ketiga KPP ini memiliki
karakteristik yang hampir sama dalam berbagai bidang, salah satunya
dalam aspek taraf kesejahteraan masyarakat.
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di DIY, 2014-2015
Kabupaten/Kota Garis
Kemiskinan
Penduduk Miskin
%
Kulon Progo 265.575 84,67 20,64
Bantul 301.986 153,49 15,89
Gunung Kidul 243.847 148,39 20,83
Sleman 306.961 110,44 9,5
Yogyakarta 366.520 36,6 8,67
DIY 321.056 532,59 14,55
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa daerah Bantul,
Yogyakarta dan Sleman mempunyai taraf hidup yang cukup sejahtera
yang dapat dilihat dari tingkat garis kemiskinan yang rendah, yaitu Bantul
15,89%, Yogyakarta 8,67 %, dan Sleman 9,5%. Maka, peneliti
mengambil ketiga KPP di wilayah ini karena ingin melihat apakah dengan
taraf kesejahteraan hidup yang lebih baik dapat membuat Wajib Pajak
lebih taat untuk membayar pajak dan menganggap bahwa penggelapan
pajak merupakan suatu hal yang tidak etis untuk dilakukan.
B. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan jenis data primer. Data primer merupakan
data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh suatu individu atau suatu
organisasi. Data dalam penelitian ini bersifat kuantitatif, dimana hasilnya
berupa angka yang tertera didalam skala kuesioner yang dapat diolah
menggunakan software SPSS untuk kemudian ditarik kesimpulannya. C. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dari penelitian ini menggunakan metode
convenience sampling. Metode convenience sampling merupakan teknik pengumpulan sampel yang berdasar atas kemudahan peneliti dalam
memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian, atau unit sampel yang
dapat ditarik mudah untuk diukur dan bersifat kooperatif (Hamid, 2010).
Sampel yang diambil merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini yaitu
menggunakan metode survei. Metode survei ini yaitu dengan
pendistribusian kuesioner secara langsung kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi yang secara tidak sengaja bertemu di KPP Pratama Bantul, KPP
Pratama Yogyakarta, dan KPP Pratama Sleman. Pengambilan kembali
kuesionernya langsung diambil pada saat Wajib Pajak tersebut mengisi,
artinya peneliti menunggu ditempat Wajib Pajak tersebut mengisi
kuesioner. Motode survei ini disebut dengan survei diambil yaitu peneliti
langsung memberikan dan kemudian mengambil angket kuesioner yang
telah diberikan kepada Wajib Pajak. Kuesioner ini berisi sejumlah
pernyataan yang harus diisi oleh Wajib Pajak berkaitan dengan variabel
dependen dan independen dalam penelitian ini sehingga peneliti dapat
mengukur pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi dan
kemungkinan terdeteksi kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak
mengenai ketidaketisan penggelapan pajak.
E. Definisi Operasional Variabel
Pada bagian ini akan diuraikan definisi dari masing-masing variabel
yang digunakan berikut dengan definisi operasional dan cara
pengukurannya.
1. Keadilan (X1)
Suminarsi (2011) salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
Undang-Undang adil berarti mengenakan pajak secara merata, sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan dalam pelaksanaanya
adil berarti memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan pembayaran dan mengajukan kepada Majelis
Pertimbangan Pajak (Sari, 2015). Secara psikologis masyarakat
menganggap bahwa pajak merupakan suatu beban, maka dari itu
masyarakat harus diberi kepastian bahwa mereka akan mendapat
perlakuan yang adil dalam pengenaan pemungutan pajaknya.
Pengukuran variabel ini menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Suminarsi (2011) dan Rahman (2013) dengan
menggunakan skala likert. Dalam variabel ini terdapat 6 pernyataan menggunakan pengukuran skala likert dengan 5 poin penilaian, yang
terdiri dari:
a. Sangat setuju mempunyai skor 1
b. Setuju mempunyai skor 2
c. Netral mempunyai skor 3
d. Tidak setuju mempunyai skor 4
e. Sangat tidak setuju mempunyai skor 5
Semakin responden setuju mengenai pernyataan dalam kuesioner
semakin mengindikasikan bahwa Wajib Pajak menganggap bahwa
penggelapan pajak merupakan hal yang etis untuk dilakukan.
Sebaliknya, semakin responden menjawab pertanyaan sangat tidak
bahwa penggelapan pajak merupakan hal yang tidak etis untuk
dilakukan.
2. Sistem Perpajakan (X2)
Rahman (2013) menyebutkan bahwa sistem perpajakan
merupakan suatu sistem yang menggambarkan perwujudan dari
pengabdian dan peran serta Wajib Pajak dalam melaksanakan
perpajakan. Menurut Suminarsi (2011) sistem perpajakan yang baik
adalah yang pengelolaan uang pajaknya dapat dipertanggungjawabkan,
petugas yang kompeten dan tidak korup serta prosedur perpajakan
yang tidak berbelit. Semakin baik suatu sistem perpajakan, maka
perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang tidak etis.
Akan tetapi, apabila sistem perpajakan berjalan dengan tidak baik,
maka perilaku penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang
cenderung etis.
Pengukuran variabel ini menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Suminarsi (2011) dan Rahman (2013) dengan
menggunakan skala likert. Dalam variabel ini terdapat 5 pernyataan menggunakan pengukuran skala likert dengan 5 poin penilaian, yang
terdiri dari:
a. Sangat setuju mempunyai skor 1
b. Setuju mempunyai skor 2
c. Netral mempunyai skor 3
e. Sangat tidak setuju mempunyai skor 5
Semakin responden setuju mengenai pernyataan dalam kuesioner
mengindikasikan bahwa Wajib Pajak menganggap bahwa tingkat
sistem perpajakan tinggi dan sebaliknya.
3. Diskriminasi (X3)
Diskriminasi merupakan suatu perlakuan yang tidak seimbang
terhadap suatu kelompok atau perorangan, berdasarkan sesuatu hal,
yang biasanya bersifat kategorikal, seperti berdasarkan ras, agama,
kesukubangsaan, atau keanggotaan kelas sosial (Danandjaja, 2003).
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa diskriminasi mencakup
jangkauan yang luas yang secara langsung atau tidak langsung terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali dalam bidang perpajakan.
Perbedaan budaya, ras, agama, dan perspektif sejarah memiliki
pengaruh terhadap pandangan etis penggelapan pajak (Rahman, 2013).
Pengukuran variabel ini menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Suminarsi (2011) dan Rahman (2013) dengan
menggunakan skala likert. Dalam variabel ini terdapat 4 pernyataan menggunakan pengukuran skala likert dengan 5 poin penilaian, yang terdiri dari:
a. Sangat setuju mempunyai skor 5
b. Setuju mempunyai skor 4
c. Netral mempunyai skor 3
e. Sangat tidak setuju mempunyai skor 1
Semakin responden setuju mengenai pernyataan dalam
kuesioner mengindikasikan bahwa Wajib Pajak menganggap bahwa
tingkat diskriminasi tinggi dan sebaliknya.
4. Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan (X4)
Kemungkinan terdeteksi kecurangan berhubungan dengan
bagaimana pemeriksaan pajak berlangsung. Sari (2015) menyebutkan
bahwa pemeriksaan pajak adalah kegiatan mengolah data, keterangan,
atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional untuk
menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksakan ketentuan
undang-undang perpajakan. Ketika Wajib Pajak menganggap bahwa
prosentase kemungkinan terdeteksi kecurangan melalui pemeriksaan
pajaknya tinggi, maka WP tersebut akan cenderung untuk patuh dalam
pelaksanaan perpajakan dan tidak melakukan penghindaran pajak. Hal
ini terjadi karena Wajib Pajak sadar bahwa apabila WP tersebut
terbukti melakukan kecurangan, maka WP tersebut akan dikenakan
denda yang lebih tinggi pembayarannya dari pajak yang terutang.
Pengukuran variabel ini menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Suminarsi (2011) dan Rahman (2013) dengan
a. Sangat setuju mempunyai skor 1
b. Setuju mempunyai skor 2
c. Netral mempunyai skor 3
d. Tidak setuju mempunyai skor 4
e. Sangat tidak setuju mempunyai skor 5
Semakin responden setuju mengenai pernyataan dalam
kuesioner mengindikasikan bahwa Wajib Pajak menganggap bahwa
tingkat kemungkinan terdeteksi kecurangan tinggi dan sebaliknya.
5. Penggelapan Pajak (Y)
Mardiasmo mendefinisikan penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha yang dilakukan Wajib Pajak untuk meminimalkan beban
pajak dengan cara melanggar undang-undang. Cara meminimalkan
beban pajak pada tax evasion sangat melanggar undang-undang, Wajib Pajak mengabaikan ketentuan-ketentuan perpajakan yang menjadi
kewajibannya seperti, memalsukan dokumen, atau mengisi data
dengan tidak lengkap dan tidak benar.
Ketidaketisan penggelapan pajak disini menjelaskan mengenai
konteks pengaruh terhadap variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian
ini diantaranya keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi, dan
kemungkinan terdeteksi kecurangan Wajib Pajak Orang Pribadi di
Pengukuran variabel ini menggunakan instrument yang
dikembangkan oleh Suminarsi (2011) dan Nickerson, et al (2009). Variabel ini diukur berdasarkan aspek keadilan, sistem perpajakan,
diskriminasi, dan kemungkinan terdeteksi kecurangan diukur dengan
skala likert.
a. Sangat setuju mempunyai skor 1
b. Setuju mempunyai skor 2
c. Netral mempunyai skor 3
d. Tidak setuju mempunyai skor 4
e. Sangat tidak setuju mempunyai skor 5
Semakin responden setuju mengenai pernyataan dalam kuesioner
semakin mengindikasikan bahwa Wajib Pajak menganggap bahwa
penggelapan pajak merupakan hal yang etis untuk dilakukan.
Sebaliknya, semakin responden menjawab pertanyaan sangat tidak
setuju, maka semakin mengindikasikan Wajib Pajak menganggap
bahwa penggelapan pajak merupakan hal yang tidak etis untuk
46
Operasional Variabel
Tema : Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi, dan Kemungkinan Terdeteksi Kecurangan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Ketidaketisan Penggelapan Pajak.
Variabel Konsep/Sub Variabel
Indikator Butir
Pernyataan
Sumber Skala Alat X1 : Keadilan a.Prinsip Keadilan
Pajak
1. Prinsip manfaat dari penggunaan uang yang bersumber dari pajak 2. Prinsip kemampuan dalam
membayar kewajiban pajaknya 3. Keadilan horizontal dan keadilan
vertical dalam pemungutan pajak
1,2
3
4
Skala Likert Regresi
b. Cara
Mewujudkan Keadilan Pajak
1. Keadilan dalam penyusunan undang-undang pajak 2. Keadilan dalam penerapan
ketentuan perpajakan
1. Tarif pajak yang diberlakukan di Indonesia
2. Pendistribusian dana dari pajak 3. Kemudahan pelayanan dan
fasilitas sistem perpajakan
1. Pendiskriminasian atas agama, ras, kebudayaan dan keangotaan kelas-kelas sosial
47
Variabel Pernyataan
menguntungkan salah satu pihak
2. Pendiskiriminasian atas hal-hal yang disebabkan dari manfaat perpajakan
Pemeriksaan Pajak 1. Masyarakat memenuhi
kewajibannya atas dasar karena takut terhadap hukum
2. Pemeriksaan pajak diterapkan untuk mengidentifikasi adanya
1. Penerapan tarif pajak dan peran penting adanya kerjasama yang baik antara Wajib Pajak dan fiskus pajak.
2. Penggelapan pajak dianggap etis karena lemahnya penerapan hukum dan terdapat peluang bagi Wajib Pajak untuk menggelapan pajak
3. Integritas atau mentalitas aparatur perpajakan/fiskus dan pejabat pemerintah yang buruk serta adanya pendiskriminasian atas pelaksanaan perpajakan 4. Konsekuensi melakukan tindakan
F. Analisa Data
Analisa data adalah cara yang digunakan dalam mengolah data
sehingga didapatkan dari suatu hasil analisis atau hasil uji.
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum
yang relevan dengan responden dengan menggunakan tabel distribusi
yang merincikan variabel-variabel keseluruhan dalam penelitian yang
diperoleh dari hasil jawaban yang diterima dari responden. Statistik
deskriptif dalam penelitian ini memberikan gambaran atau deskripsi
suatu data yang dilihat dari rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum.
2. Uji Kualitas Instrumen
Untuk melakukan uji kualitas instrumen pada data primer ini,
maka peneliti menggunakan uji validitas dan reliabilitas.
a. Uji Validitas
Validitas merupakan ukuran yang menunjukan sejauh mana
instrument pengukur mampu mengukur apa yang diukur. Uji
Validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu
kuesioner (Ghozali, 2011). Suatu kuesioner akan dikatakan valid
ketika pernyataan pada kuesioner mampu untuk mengukur dan
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.
kuesioner dikatakan valid apabila factor loading > 0,4 (Ghozali, 2011).
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah alat ukur untuk mengukur suatu kuesioner
yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Reabilitas
menunjuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup
dapat dipercaya untuk diinginkan sebagai alat pengumpul data
karena instrumen tersebut sudah baik. Instrumen yang tidak baik
akan bersifat tendesius mengarahkan responden untuk memilih
jawaban-jawaban tertentu.
Kuesioner akan dikatakan reliable apabila jawaban responden
stabil dari waktu ke waktu. Maka, reliable ini sangat berkaitan
mengenai konsistensi seseorang. Uji reliabilitas ini dihitung
cronbach alpha nya. Suatu variabel dinyatakan reliable apabila nilai cronbach alphanya lebih besar dari 0,60 (Ghozali, 2009).
3. Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik bertujuan untuk memastikan kelayakan
model regresi yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam uji asumsi
klasik di data primer ini, peneliti melakukan 3 tahap uji, yatu uji
a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam
model regresi antara variabel dependen (terikat) dan variabel
independen (bebas) mempunyai residual berdistribusi normal atau
tidak (Ghazali, 2011). Model yang baik adalah model regresi yang
berdistribusi normal. Uji normalitas dalam penelitian ini
menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Residual dikatakan normal jika nilai sig > α 0,05.
b. Uji Multikolonieritas
Uji Multikolonieritas digunakan untuk menguji adanya
interkorelasi yang sempurna diantara beberapa variabel independen
(bebas) yang digunakan dalam model. Model regresi yang baik
ialah yang bebas dari multikolonieritas. Multikolonieritas terjadi
apabila terdapat hubungan linier antara variabel independen yang
dilibatkan dalam model. Pengujian ini dapat dilihat dari besaran
VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Toelrance mengukur variabilitas variabel independen terpilih yang tidak
dijelaskan variabel independen lainnya. Nilai tolerance yang
rendah sama dengan nilai VIF=1/Tolerance. Ghozali (2011)
menyatakan bahwa nilai cut off yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolonieritas adalah jika nilai Tolerance