• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BANTUL (Studi Kasus di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh : Nursahera Juniati

20120210069

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Sarjana Pertanian

Oleh :

Nursahera Juniati 20120210069

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

(3)
(4)

iv

Produksi Padi (Studi Kasus di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan)”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat semoga kita semua mendapatkan safaatnya di hari kiamat nanti.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik secara moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku dosen pembimbing satu, yang telah membimbing, memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi dengan meluangkan waktu, tenaga serta pemikiran dalam penyusunan skripsi ini;

2. Ir. Gatot Supangkat, M.P selaku dosen pembimbing dua, yang telah membimbing, memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi dengan meluangkan waktu, tenaga serta pemikiran dalam penyusunan skripsi ini; 3. Ir. Haryono, M.P selaku dosen penguji, yang telah memberikan saran dan

arahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

4. Ir. Sarjiyah selaku dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

5. Dr. Innaka Ageng Rineksane, S.P, M.P selaku ketua Program Studi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

6. Bapak dan Ibu dosen Prodi Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;

(5)

v

Hakimah yang telah menjadi sahabat dan rekan dalam berdiskusi;

10. Seluruh rekan-rekan Agroteknologi 2012 yang memberikan kontribusi tidak sedikit dalam memberikan semangat dan bantuan untuk terselesaikannya skripsi ini;

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT, membalas kebaikan yang diberikan. Dan apabila ada kesalahan, kekurangan dan kekhilafan dari penulis mohon dimaafkan.

Yogyakarta, 9 Juni 2016

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

x II. Kuisioner

III. Hasil Tabulasi Penelitian

(11)
(12)

subdistricts of Bantul regency (Banguntapan and Kasihan) from of December 2015 up to of April 2016.

The research used survey method. The method consisted of data collecting, interview, and observation, the samples were taken by using purposive sampling technique, and all of the data were analyzed by simple linear regression to determine the influened of rice-field conversion to rice production.

The result showed that the rice-field conversion significantly affected rice production and the influenced factors of rice-field conversion were socioeconomics background and local goverment policy.

(13)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Konversi lahan pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan (Tjondronegoro, 1999). Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dan berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Konversi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani memperoleh pendapatan dari usahataninya (Achmad, E.L., 2005).

(14)

namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi,tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Agus Suman (2007) menambahkan bahwa pada rentang tahun 1992 sampai 2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Angka itu melonjak pada empat tahun terakhir menjadi 145.000 hektar. Kini, ada permohonan dari pemerintah daerah kepada Badan Pertanahan Negara (BPN) untuk menkonversikann lahan pertanian seluas 3,099 juta hektar. Dari jumlah itu 1,6 juta hektar atau 53,8 persen adalah lahan subur yang berada di Jawa dan Bali.

Konversi lahan pertanian merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan nasional karena dampaknya bersifat permanen. Lahan pertanian yang telah dikonversi ke penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan pertanian. Demikian pula upaya untuk membangun lahan pertanian baru diluar Jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di Jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun lahan pertanian dengan tingkat produktivitas yang tinggi.

(15)

pertanian menjadi non pertanian tersebut berupa penggunaan lahan untuk perumahan, kawasan industri maupun sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ekonomi dan perhubungan sebagai contoh jalan yang semakin lama semakin bertambah panjang. Data konversi pada tahun 2012 ke tahun 2013, penggunaan lahan pertanian ke non pertanian meningkat, terlihat lahan pemukiman mengalami peningkatan sebesar 31,32 hektar, sedangkan luas lahan sawah dan tegalan mengalami pergeseran sebesar 30,49 hektar. Adapun Kecamatan yang sering terjadi penyempitan lahan sawah di kabupaten Bantul adalah di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

Kabupaten Bantul sebagai daerah penyangga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kedudukan yang strategis dan pemasok kebutuhan pangan di Provinsi DIY. Pada tahun 2012, produksi padi sawah di Kabupaten Bantul sebesar 204.959 ton, sedangkan produksi padi gogo/ladang sebesar 396 ton. Jumlah seluruh produksi padi di Kabupaten Bantul pada tahun 2012 sebesar 205.355 ton atau sekitar 21,70% dari seluruh produksi padi di Provinsi DIY (BPS Provinsi DIY, 2013). Hampir setengah dari luas wilayah Kabupaten Bantul merupakan kawasan budidaya pertanian dengan tingkat kesuburan yang cukup tinggi dengan didukung irigasi teknis pada sebagian besar areal persawahan yang ada

(16)

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 – 2030 menjelaskan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan peternakan. Kawasan pertanian lahan basah di Kabupaten Bantul direncanakan seluas kurang lebih 13.324 hektar atau 26,29% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian tengah dan selatan, tetapi penyebarannya terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Bantul kecuali Kecamatan Kasihan. Kawasan pertanian lahan kering direncanakan seluas kurang lebih 5.247 hektar atau 10,35% dari luas wilayah Kabupaten Bantul difokuskan terutama pada bagian timur.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penulis beranggapan bahwa penelitian mengenai “Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Bantul” penting untuk dilakukan mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang amat penting sebagai penyedia bahan pangan terutama beras yang merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.

B. Perumusan Masalah

(17)

tanaman pangan, maka hal ini akan menimbulkan masalah pada produksi pangan di Indonesia, khususnya Kabupaten Bantul. Masalah akan timbul apabila peningkatan produktivitas tanaman pangan tidak sebanding dengan penyusutan lahan pertanian, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman pangan secara terus menerus.

Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan, dimana produksi pangan akan berkurang akibat konversi lahan. Disisi lain kebutuhan konsumsi pangan masyarakat akan meningkat, dan selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi kemampuan wilayah untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduknya. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi sawah terhadap produksi produksi padi di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konversi sawah di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan ?

C. Tujuan Penelitian

(18)

2. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi sawah di Kabupaten Bantul khususnya Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Sebagai bahan referensi atau sumber informasi ilmiah bagi pihak-pihak yang membutuhkan;

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan; 3. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah;

E. Batasan Studi

(19)

F. Kerangka Pikir Penelitian

Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mempunyai lahan subur. Persawahan di Kabupaten Bantul masih didukung oleh sistem irigasi yang efektif dan efisien. Luas lahan sawah rata-rata Kabupaten Bantul adalah 2.500 m2/keluarga. Wilayah Kabupaten Bantul yang relatif sempit ini didominasi oleh areal persawahan yang subur. Melihat luas lahan rata-rata dan produktivitas padi berkisar 7 ton/hektar, maka keluarga petani di Kabupaten Bantul relatif mempunyai siklus pendapatan perbulan sedang, hal ini dikarenakan harga jual gabah yang tidak menentu.

Kecamatan Banguntapan dapat dikatakan sebagai daerah peralihan atau Rural-urban fringe karena lokasinya berbatasan langsung dengan daerah kota dan daerah desa. Selain itu Kecamatan Banguntapan sebagian wilayahnya telah berkembang menjadi daerah perkotaan terutama di daerah pinggiran yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan dan sebagian lahan pertanian telah berubah menjadi lahan non pertanian sehingga kegiatan pertanian mulai berkurang. Sedangkan Kecamatan Kasihan lahan pertanian beralih menjadi pemukiman penduduk.

(20)

merupakan salah satu akibat yang dapat menimbulkan berkurangnya luas lahan padi sawah yang semula lahan padi sawah tersebut cukup luas namun karena terjadinya laju alih fungsi lahan maka lahan tersebut semakin lama semakin berkurang. Selain itu terdapat beberapa kerugian yang harus diperhitungkan sebagai dampak negatif konversi sawah, seperti berkurangnya luas tanam dan luas panen yang mengakibatkan hilangnya potensi produksi beras, hilangnya kesempatan kerja, dan semakin rusaknya lingkungan hidup. Muara dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat yang sulit meningkat.

(21)

para petani beralih untuk membudidayakan tanaman selain padi. Faktor sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap konversi lahan akibat pengaruh dari perkembangan daerah perkotaan. Kondisi ini juga berimbas pada lahan pertanian yang berubah menjadi pemukiman penduduk. Berdasarkan Faktor tersebut, akan berdampak terhadap produksi padi yang mengalami penurunan seiring dengan terjadinya konversi lahan. Permasalahan konversi lahan di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan Kabupaten Bantul terhadap produksi Padi digambarkan di kerangka pikir sebagaimana Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran konversi lahan sawah Kecamatan Banguntapan dan Kasihan

Luas Konversi Lahan sawah

Faktor yang mempengaruhi Konversi

Lahan

Luas Tanam dan Luas Panen

Produksi Padi

Persepsi masyarakat

(22)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lahan

Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalam Akbar, 2008).

Muhammad Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:

1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

(23)

Martua, S (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.

2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidakmemanfaatkan tenaga kerja buruh tani. 3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak

memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.

B. Konversi lahan

(24)

tahun ke depan lahan produktif yang beralih fungsi mencapai 20.000 hektar (Suwandi, 2002).

Irawan (2005) dalam Akbar (2008) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

(25)

1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah. Kepentingan/keberpihakan Pemerintah.Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.

2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah. Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.

3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenaiagrarian. Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hukum normatif/hukum adat.

Dampak negatif dari konversi lahan adalah hilangnya peluang memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahannya. Jenis kerugian tersebut mencakup pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja pada usahatani. Selain itu juga hilangnya pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kaitan ke depan (forward linkage) maupun ke belakang

(26)

Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi alih fungsi lahan sawah. Upaya ini tidak memberikanhasil yang baik disebabkan karena: (a) lahan sawah mudah untuk berubah kondisi fisiknya; (b) peraturan yang bertujuan untuk mengandalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Ketiga kelemahan tersebut pada gilirannya menyebabkan aparat cenderung mendukung proses konversi lahan dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Menurut Soekartawi (2005) faktor penyebab konversi Lahan pertanian adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya jumlah penduduk dan taraf kehidupan.

2. Lokasi lahan pertanian yang strategis diminati untuk kegiatan non-pertanian.

3. Fragmentasi lahan pertanian.

4. Kepentingan pembangunan wilayah yang seringkali mengorbankan sektor pertanian

(27)

1. Pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita.

2. Adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor -sektor primer khususnya dari sektor-sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktifitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

Berkurangnya luas lahan pertanian khususnya lahan sawah di suatu daerah, sudah tentu akan ikut mempengaruhi produksi padi di daerah tersebut. Jika dilihat dari tingkat pertumbuhan penduduk yang pada umumnya semakin bertambah dari tahun ke tahunnya, maka dikhawatirkan akan timbul masalah-masalah yang mengancam ketahanan pangan di daerah tersebut (Erwin Gunanto 2007).

(28)

bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut. Teori von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi pertanian tersebut (Suwandi., 2002).

Konversi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas. Apabila lahan sawah letaknya dekat dengan sumber ekonomi maka akan menggeser penggunaannya kebentuk lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah. Hal ini terjadi karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang dihasilkan sawah (Suwandi., 2002).

Hubungan antara nilai land rentdan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rent yang tinggi, sebaliknya sektor yang kurangmempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rentsama dengan surplus ekonomiyang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total. Suatu lahan sekurang-kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu:

(29)

2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan 3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan 4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan

Hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat. Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rent yang tinggi, sebaliknya sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economicrent sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya total (Winoto., 2005).

Untuk mencegah lebih banyak terjadi konversi lahan untuk tahun-tahun berikutnya, dapat digunakan metode peramalan. Peramalan dapat diartikan sebagai penggunaan data masa lalu dari sebuah variabel atau kumpulan variabeluntuk mengestimasikan nilai dimasa yang akan datang. Untuk membuat peramalan dimulai dengan mengeksplorasi data dari waktu yang lalu dengan mengembangkan pola data dengan asumsi bahwa pola data waktu yang lalu itu akan berulang lagi pada waktu yang akan datang, misalnya berdasarkan data dan pengalaman pada 12 bulan yang terakhir (Suwandi,2002).

C. Produksi Padi

(30)

produksi. Proses produksi juga melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktor-faktor produksi yang digunakan denga produk yang di hasilkan. Dalam pertanian, proses produksi sangat kompleks dan terus-menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Salvatore (2001), Fungsi produksi merupakan hubungan matematis antara input dan output. Menurut Iskandar Putong (2003) fungsi produksi adalah hubungan teknis bahwa produksi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan faktor produksi. Bila faktor produksi tidak ada, maka produksi juga tidak ada.

(31)

jenis barang dan jasa yang mereka butuhkan. Adapun faktor yang mempengaruhi produksi.

a. Luas Lahan

Dalam bidang pertanian, penguasaan tanah bagi masyarakat merupakan unsur yang paling penting untuk meningkatkan kesejahteraannya. Luas penguasaan lahan bagi rumah tangga petani akan berpengaruh pada produksi usaha tani yang pada akhirnya akan menentukan tingkat ekspor (Mubyarto,1989).

Sedangkan Sadono, S. (2006) mengatakan tanah sebagai faktor produksi, tanah adalah mencakup sebagian dari permukaan bumi yang tertutup oleh air. Atau bagian dari permukaaan bumi yang dapat dijadikan untuk bercocok tanam dan untuk tempat tinggal dan termasuk pula kekayaan alam yang terdapat didalamnya.

Menurut BPS (2003) lahan pertanian adalah lahan yang dikuasai, dan pernah diusahakan untuk selama satu tahun. Lahan tersebut antara lain: lahan sawah, tegal/kebun, kolam/tebat/empang, tambak, lahan perkebunan, hutan dan lahan untuk pengembangan /padang/rumput.

(32)

faktor produksi semakin baik. Penggunaan tenaga kerja tercukupi dan juga ketersediaan modal juga tidak terlalu besar sehingga kegiatan usaha pertanian lebih efisien. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa luasnya lahan yang dapat mengakibatkan upaya melakukan tindakan yang mengarah pada segi efisien berkurang, karena disebabkan oleh:

1. Lemahnya pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.

2. Terbatasnya persediaan tenaga kerja disektor didaerah itu yang pada akhirnya akan mempengaruhi efisien usaha pertanian tersebut.

3. Terbatasnya persediaan modal untuk membiayai pertanian dalam skala luas.

Sebaliknya pada luas lahan yang sempit upaya pengawasan terhadap usaha pembangunan semakin baik, penggunaan tenaga kerja tercapai dan tersedianya modal kerja yang tidak terlalu besar, sehingga luas usaha pertanian seperti ini lebih efisien. Meskipun luasnya terlalu kecil cenderung menghasilkan usaha kecil pula. Jadi dari pendapat-pendapat dia atas dapat dikatakan bahwa tanah merupakan faktor produksi utama dari hasil pertanian. Luas lahan juga harus diiringgi dengan faktor-faktor lain seperti ketersediaan tenaga kerja yang cukup, pupuk yang disesuaikan dengan keadaan tanah tegalan atau kebun, pestisida yang berguna untuk mengatasi hama yang merusak tanaman.

(33)

menghasilkan produksi yang maksimal, sebagaimana diketahui bahwa luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha dan usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidak efisiensinya suatu usaha pertanian.

b. Bibit

Bibit adalah bahan tanaman berupa tanaman yang kecil yang berpotensi untuk tumbuh dewasa yang berasal dari tanaman sejenis, misalnya: akar, batang dan daun. Bibit merupakan salah satu cara untuk mengembang biakkan tanaman. Dalam memilih bibit harus benar-benar baik yaitu tahan terhadap serangan hama penyakit, pertumbuhan subur serta memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu bibit yang baik memiliki daya tumbuh sekitar 80-100%. Kunci utama untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan mengunakan benih bermutu dari varietas unggul.

(34)

gigitan serangga. Untuk memperoleh bibit yang sehat dilakukan dengan cara teknologi benih.

c. Pupuk

Menurut Hasan, B. J. (2002) pupuk adalah senyawa yang mengandung unsur hara yang diberikan pada tanaman. Suatu pupuk umumnya terdiri dari komponen-komponen yang mengandung unsur hara, zat penolak air, pengisi, pengatur konsistensi, kotoran dan lain-lain. Bagian yang tidak mengandung unsur hara tersebut akan menyebabkan penurunan kadar hara dalam pupuk tersebut. Pemberian pupuk pada tanaman berguna untuk mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah agar produksi tanaman tetap normal bahkan meningkat. Tujuan pemupukan memungkinkan tercapainya keseimbangan antara unsur hara baik yang terangkat saat panen, erosi, atau pencucian lainnya.

Pupuk adalah bahan yang diberikan kedalam tanah baik yang organik maupun anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian pupuk pada tanaman, tidak hanya tahu cara pemberian, waktu pemberian dan dosis atau takaran tiap pemberian juga harus tepat.

d. Pestisida

(35)

penting dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari usaha “peningkatan produksi” atau produksi pertanian pertanaman”. Kegiatan perlindungan tanaman ialah kegiatan yamg bertujuan untuk melindungi, mencegah, atau menghindari agar tanaman kita tidak mengalami suatu gangguan, kerusakan, kematian, atau kemerosotan hasilnya, sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang ditimbulkan secara ekonomis. Pestisida pada tanaman ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam tindakan sesuai dengan kebutuhan tanaman, seperti penggunaan fungsida dan pestisida.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan tanaman itu sangat penting seperti disebutkan diatas dan dapat dikatakan menjamin kepastian hasil dan memperkecil resiko berproduksi sesuatu tanaman, sebab walaupun langkah-langkah lainnya dari memproduksi tanaman sudah dilaksanakan dengan baik, seperti varietas unggul, memupuk, mengairi, menyiangi, memanen, bahkan sampai pada pasca panen, tetapi langkah pengendalian gangguan diabaikan, maka apa yang diberikan oleh langkah lain itu akan menjadi sia-sia.

(36)

pembasmi hama harus disesuaikan dengan kondisi musim atau dapat dikatan harus disesuikan dengan keadaan tanaman tersebut.

e. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat mempengaruhi produksi. Menurut Hidayat (1998) sebagai golongan tenaga kerja harus dipandang semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, yang meliputi mereka yang bekerja untuk diri sendiri, untuk anggota keluarga yang tidak menerima upah serta mereka yang bekerja untuk menerima gaji dan upah. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, tenaga kerja dihitung dengan besaran orang/tahun. Faktor tenaga kerja merupakan faktor vital dalam mengelola, menangani peralatan dan pengaturan serta menciptakan teknologi bagi keberhasilan dan kelancaran produksi. Menurut Hernanto jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Tenaga kerja manusia 2. Tenaga kerja ternak 3. Tenaga kerja mekanik

(37)

digunakan untuk pengolahan tanah, menyemprotka serta untuk panen. Tenaga mekanik ini bersifat substitusi dari tenaga kerja ternak dan manusia. Sehubungan dengan terdapatnya beberapa jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani, maka dalam analisa ketenagakerjaan dan juga untuk memudahkan melakukan perbandingan tenaga kerja dalam usaha tani diperlukan adanya standarisasi satuan tenaga kerja. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ukuran Hari Orang Kerja (HOK) atau biasa juga disebut dengan Hari Kerja Setara Pria (HKSP).

(38)

produksi. Jumlah tenaga kerja yang banyak dan memiliki keterampilan di bidang pertanian akan dapat meningkatkan produksi dari segi jumlah dan mutu yang akan menyebabkan peningkatan dalam keuntungan sehingga akan menyebabkan meningkatnya pendapatan petani.

f. Harga

Menurut Sadono, S. (2006) harga adalah: “Suatu jumlah yang dibayarkan sebagai pengganti yang sedang atau telah akan dinikmati dari suatu barang dan jasa yang diperjual belikan. Harga merupakan perjanjian moneter terakhir yang menjadi nilai dari pada suatu barang atau jasa “ Jadi dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa harga merupakan suatu ukuran nilai dari barang-barang dan jasa. Harga yang terjadi adalah harga kesempakatan antara si pembeli dengan si penjual yang terjadi dalam suatu transaksi jual beli. Harga mempunyai fungsi sebagai pengukur dari nilai barang, adapun fungsi harga dalam kaitannya dengan produksi menurut Ratna, W. (2001) dapat dikelompokan atas tiga macam yaitu:

1. Menentukan barang apa yang akan diproduksi.

2. Menentukan teknologi mana yang akan digunakan dalam proses produksi.

3. Menentukan pembagian hasil kerja.

(39)

dan harga akan menentukan pembagian hasil kerja. Menurut Mubyarto (1989) yaitu hubungan antara harga dan produksi pertanian bersifat siklus dengan asumsi :

1. Harga ini oleh setiaap produsen dianggap konstan dan produsen menganggap produksinya tidak akan memberi pengaruh yang berarti terhadap pasar.

2. Periode produksi memerlukan waktu tertentu, sehingga penawaran tidak dapat secara lansung bereaksi terhadap harga.

(40)

28

Kecamatan Kasihan dengan daerah studi terdiri dari 4 Desa, yakni Bangunjiwo, Tirtonirmolo, Tamantirto dan Ngetisharjo dan Kecamatan Banguntapan dengan daerah studi terdiri dari 4 Desa, yakni Desa Banguntapan, Baturetno, Potorono dan Wirokerten yang terletak di Kabupaten Bantul.

B. Metode Penelitian dan Analisis Data 1. Jenis Penelitian

Penelitian akan dilakukan menggunakan metode survei, yang teknis pelaksanaannya dilakukan dengan observasi, wawancara dan pengumpulan data sekunder. Menurut Adhi Sudibyo (2011) metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual.

2. Metode Pemilihan Lokasi

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara stratified sampling

(41)

mempunyai konversi lahan lebih tinggi berdasarkan data penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bantul dari tahun 2010-2014. Masing-masing kelompok dipilih 1 kecamatan, jadi dari 17 kecamatan yang ada di kabupaten Bantul diambil 2 kecamatan yang akan dijadikan tempat penelitian yaitu kecamatan Banguntapan sebagai kecamatan yang jumlah konversi lahan tinggi dan berbatasan langsung dengan kota Yogyakarta dan kecamatan Kasihan yang merupakan daerah penyangga kota. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(a) (b)

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (a. Kasihan, b. Banguntapan)

Sumber Gambar : BPN, 2015

3. Metode Pemilihan Responden a. Petani

Pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode

(42)

penelitian. Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 Desa yang masing-masing desa di ambil 10 petani sebagai responden, sehingga total responden untuk Kecamatan Kasihan sekitar 40 petani. Kecamatan Banguntapan diambil 4 Desa sebagai tempat penelitian dengan masing-masing desa di ambil 10 petani sebagai responden, sehingga total responden untuk Kecamatan Banguntapan sekitar 40 petani. Total keseluruhan responden yaitu 80 orang petani.

b. Mantri tani dan penyuluh

Responden yang dipilih adalah mantri tani dan penyuluh pertanian yang berada di daerah penelitian. Mantri Tani di setiap kecamatan terdiri dari satu orang, dan penyuluh di setiap desa terdiri dari satu orang, sehingga dari dua Kecamatan Kasihan dan Banguntapan diperoleh 2 Mantri dan 8 orang penyuluh.

(43)

4. Analisis Data

Data sekunder yang didapatkan dianalisis regresi untuk mencari pola hubungan antar laju konversi lahan sawah dan produksi padi. Data primer yang didapatkan dari lapangan (wawancara) dianalisis secara deskriptif untuk menentukan faktor lain yang mempengaruhi produksi padi di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan.

C. Jenis Data

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil observasi secaralangsung dan hasil wawancara langsung di lapangan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil studi pustaka dan penelusuran ke berbagai Instansi terkait dengan penelitian.data-data yang mendukung dalam penelitian ini meliputi :

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil observasi secara langsung dan hasil wawancara langsung di lapangan.

2. Data sekunder

(44)
(45)

D. Jadual

Kegiatan Januari Februari Maret April 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Studi

Pendahuluan Penyusunan

Proposal Seminar

Proposal Pengumpulan

Data Analisis Data Penulisan

(46)

34

dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia (BAPPEDA Bantul, 2015). Adapun Peta wilayah Kabupaten Bantul, dapat dilihat dalam gambar 3.

Sumber : BPN, 2015

(47)

B. Tinggi Tempat

(48)

C. Jenis Tanah

Kabupaten Bantul mempunyai tujuh jenis tanah yaitu tanah Rendzina, Alluvial, Grumosol, Latosol, Mediteran, Regosol, dan Litosol. Jenis tanah Regosol merupakan jenis tanah yang dominan di wilayah Kabupaten Bantul. Jenis tanah ini tersebar pada Kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan, Jetis, Bantul, dan Bambanglipuro. Tanah Regosol adalah tanah yang berasal dari material gunung berapi, bertekstur (mempunyai butiran) kasar bercampur dengan pasir, dengan solum tebal dan memiliki tingkat kesuburan rendah. Tanah Litosol berasal dari batuan induk batugamping, batupasir, dan breksi/konglomerat, tersebar di Kecamatan Pajangan, Kasihan, dan Pandak. Tanah Mediteran berasal dari batugamping karang, batugamping berlapis, dan batupasir, tersebar di Kecamatan Dlingo dan sedikit di Sedayu. Tanah Latosol berasal dari batuan induk breksi, tersebar di Kecamatan Dlingo, Imogiri, Pundong, Kretek, Piyungan, dan Pleret. Tanah Grumosol berasal dari batuan induk batugamping berlapis, napal, dan tuff, terdapat di Kecamatan Sedayu, Pajangan, Kasihan, Pandak, Sanden, Bambanglipuro, dan Srandakan (BAPPEDA Bantul, 2015)

D. Penggunaan Lahan

(49)

Selain itu pada tahun 2009 juga telah terjadi alih fungsi lahan, dari tanah pertanian menjadi permukiman atau menjadi tempat usaha, hal tersebut berdasarkan analisis ijin pengeringan selama tahun 2008. Dengan adanya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian harus medapat perhatian yang khusus, karena dimungkinkan akan adanya penyusutan dalam hal hasil pertanian (BAPPEDA Bantul,2015).

Adapun jenis penggunaan lahan Kabupaten Bantul meliputi pemukiman, sawah, tegalan kebun campur, huta, tanah tandus dan tambak. Pada tahun 2009-2013 dapat dilihat jenis penggunaan lahan dalam Tabel 2.

Tabel 1. Penggunaan Tanah di Kabupaten Bantul

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul (2015)

Berdasarkan Tabel 2, luas lahan sawah mengalami penurunan dan sebaliknya luas pemukiman mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data konversi pada tahun 2012 ke tahun 2013, penggunaan lahan pertanian ke non pertanian meningkat, terlihat lahan pemukiman mengalami peningkatan sebesar 31,32 hektar, sedangkan luas lahan sawah dan tegalan mengalami

16.602,46 16.602,46 16.602,46 16.602,08 16.597,40 5 Hutan 1.385,00 1.385,00 1.385,00 1.385,00 1.385,00

(50)

pergeseran sebesar 30,49 hektar. Pergeseran luas sawah dan tegalan yang terjadi dikarenakan alih fungsi penggunaan ke non pertanian, dengan luas penggunaan yang besar untuk peruntukan pemukiman. Kondisi pengurangan lahan sawah maupun tegalan yang terjadi pada akhirnya akan merugikan petani dan seluruh masyarakat pada umumnya.

Adapun jenis penggunaan lahan 17 Kecamatan Kabupaten Bantul meliputi pemukiman, sawah, tegalan kebun campur, hutan, tanah tandus dan tambak. Pada tahun 2010-2014 dapat dilihat jenis penggunaan lahan dalam Tabel 3.

Tabel 2. Penggunaan Lahan Di Kabupaten Bantul 2010

Kecamatan

(51)

Berdasarkan Tabel 3, luas lahan sawah yang tertinggi di Kabupaten Bantul adalah Kecamatan Sewon, Piyungan, Bambanglipuro, Banguntapan, Jetis dan Imogiri. Lahan sawah Kecamatan Kasihan sekitar 606 hektar. Lahan bukan pertanian pada Kecamatan Banguntapan sekitar 1.681 hektar sedangkan Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar yaitu 2.477 hektar. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas lahan bukan pertanian, luas sawah lebih kecil daripada luas lahan bukan pertanian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi.

Tabel 3. Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bantul 2011

Kecamatan

(52)

Berdasarkan Tabel 4, luas lahan sawah yang tertinggi di Kabupaten Bantul adalah Kecamatan Sewon, Piyungan, Bambanglipuro, Banguntapan, Jetis dan Imogiri. Lahan sawah Kecamatan Banguntapan berkurang sekitar 12 hektar sedangkan Kasihan berkurang sekitar 8 hektar. Lahan bukan pertanian pada Kecamatan Banguntapan sekitar 1.626 hektar sedangkan Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar yaitu 2.485 hektar. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas lahan bukan pertanian, luas sawah lebih kecil daripada luas lahan bukan pertanian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi

Tabel 4. Penggunaan Lahan Di Kabupaten Bantul 2012

Kecamatan

(53)

Berdasarkan Tabel 5, luas lahan sawah yang tertinggi di Kabupaten Bantul adalah Kecamatan Sewon, Piyungan, Bambanglipuro, Banguntapan, Jetis dan Imogiri. Lahan sawah Kecamatan Banguntapan berkurang sekitar satu hektar sedangkan Kasihan berkurang sekitar 6 hektar. Lahan bukan pertanian pada Kecamatan Banguntapan sekitar 1.637 hektar sedangkan Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar yaitu 2.491 hektar. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas lahan bukan pertanian, luas sawah lebih kecil daripada luas lahan bukan pertanian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi.

Tabel 5. Penggunaan Lahan Di Kabupaten Bantul 2013

Kecamatan

(54)

Berdasarkan Tabel 6, luas lahan sawah yang tertinggi di Kabupaten Bantul adalah Kecamatan Sewon, Piyungan, Bambanglipuro, Banguntapan, Jetis dan Imogiri. Lahan sawah Kecamatan Banguntapan berkurang sekitar dua hektar sedangkan Kasihan berkurang sekitar 9 hektar. Lahan bukan pertanian pada Kecamatan Banguntapan sekitar 1.637 hektar sedangkan Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar yaitu 2.500 hektar. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas lahan bukan pertanian, luas sawah lebih kecil daripada luas lahan bukan pertanian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi

Tabel 6. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bantul 2014

Kecamatan

(55)

Berdasarkan Tabel 7, luas lahan sawah yang tertinggi di Kabupaten Bantul adalah Kecamatan Sewon, Piyungan, Bambanglipuro, Banguntapan, Jetis dan Imogiri. Lahan sawah Kecamatan Banguntapan berkurang sekitar satu hektar sedangkan Kasihan berkurang sekitar dua hektar. Lahan bukan pertanian pada Kecamatan Banguntapan sekitar 1.869 hektar sedangkan Kecamatan Kasihan mempunyai luas lebih besar yaitu 2.520 hektar. Luas sawah Kecamatan Kasihan dan Banguntapan tidak sebanding dengan luas lahan bukan pertanian, luas sawah lebih kecil daripada luas lahan bukan pertanian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Banguntapan dan Kasihan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian lebih tinggi

E. Kecamatan Kasihan 1. Letak Geografis

Kecamatan Kasihan terdiri dari 4 desa yaitu Bangunjiwo, Ngestiharjo, Tamantirto dan Tirtonirmolo, dengan jumlah dusun 53. Koordinator Kasihan District Figurs 2013 (2013) menyatakan secara geografis Posisi Kantor Desa di Kecamatan Kasihan terletak pada (i) Desa Bangunjiwo: 110˚18’14” Bujur Timur dan 7˚50’22” Lintang

Selatan (ii) Desa Tirtonirmolo: 110˚20’43” Bujur Timur dan 7˚49’43”

Lintang Selatan (iii) Desa Tamantirto: 110˚19’35” Bujur Timur dan 7˚49’30” Lintang Selatan (iv) Desa Ngestiharjo: 110˚20’47” Bujur Timur

(56)

110˚20’40” Bujur Timur dan 7˚48’42” Lintang Selatan. Luas kecamatan

ini 3.238 hektar, yakni 6,39% dari luas keseluruhan Kabupaten Bantul. Luas masing-masing desa di Kecamatan Kasihan yakni (i) Desa Bangunjiwo: 1.543 hektar (ii) Desa Tirtonirmolo: 513 hektar (iii) Desa Tamantirto: 672 hektar (iv) Desa Ngestiharjo: 510 hektar.

2. Iklim, Topografi dan Tanah

(57)

Latosol, Mediteran, Regosol, dan Litosol. Tanah jenis Litosol berasal dari batuan induk gamping, batu pasir dan breksi atau konglomerat, tersebar di Kecamatan Pajangan, Kasihan, dan Pandak. Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bantul secara umum terdiri dari tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan endapan. Secara umum iklim di wilayah Kabupaten Bantul dapat dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate). Pada musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut yang membawa udara basah dari Laut Cina Selatan dan Barat Laut Jawa. Pada musim kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di Tenggara. Kecamatan Kasihan dilalui oleh dua sungai yakni (1) Sungai Winongo dengan panjang 18,75 km dan (2) Sungai Bedog dengan panjang 9,50 km (BPS Kabupaten Bantul, 2015).

3. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kecamatan Kasihan berdasarkan data BAPPEDA Bantul (2015) sebanyak 98.365 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 30.403 KK (Kepala Keluarga).

4. Luas Penggunaan Lahan

(58)

Tabel 7.Luas Penggunaan Lahan Kasihan antara 6 sampai 9 hektar, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak dua hektar. Konversi sawah yang tertinggi di Kecamatan Kasihan yaitu pada tahun 2013

5. Peta penggunaan Tanah

Penggunaan lahan adalah informasi yang menggambarkan sebaran pemanfaatan lahan yang ada di Kecamatan Kasihan. penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi perumahan padat, perumahan jarang, kampung padat, kampung jarang, kebun campuran, sawah irigasi, tegalan dan tanah kosong yang dijelaskan berdasarkan warna pada Peta penggunaan tanah kecamatan Kasihan dapat dilihat pada Gambar 4.

(59)

Sumber : BPN, 2015

Gambar 2. Peta penggunaan tanah

Berdasarkan Gambar 4, warna merah muda (kampung padat) mendominasi Kecamatan Kasihan, sedangkan untuk luas lahan sawah (warna hijau) hanya terlihat di beberapa zona. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi lahan sawah untuk pemukiman sering terjadi di Kecamatan Kasihan.

F. Kecamatan Banguntapan 1. Letak Geografis

(60)

Banguntapan berada di dataran rendah. Ibukota Kecamatannya berada pada ketinggian 100 meter diatas permukaan laut. Jarak Ibukota Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Bantul adalah 15 Km. Kecamatan Banguntapan beriklim seperti layaknya daerah dataran rendah di daerah tropis dengan dengan cuaca panas sebagai ciri khasnya. Suhu tertinggi yang tercatat di Kecamatan Banguntapan adalah 370C dengan suhu terendah 240C. Bentangan wilayah di Kecamatan Banguntapan 100% berupa daerah yang datar sampai berombak.

2. Kependudukan

Kecamatan Banguntapan dihuni oleh 17.147 KK. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Banguntapan adalah 76.513 0rang dengan jumlah penduduk laki-laki 37.752 orang dan penduduk perempuan 38.761 orang.

3. Luas Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Banguntapan pada tahun 2014 meliputi luas desa, luas lahan sawah, luas lahan bukan sawah dan luas lahan non pertanian, dapat dilihat pada Tabel 9 (Banguntapan, 2015)

Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Banguntapan

(61)

Berdasarkan Tabel 9 diatas luas lahan non pertanian lebih tinggi daripada luas lahan sawah, sedangkan luas lahan bukan sawah lebih rendah dari luas lahan sawah. Luas lahan sawah di Kecamatan Banguntapan yang terkonversi pada tahun 2011 mengalami peningkatan konversi sekitar 12 hektar sedangkan pada tahun 2012 hingga 2013 konversi sawah berkisar antara 1-2 hektar. Konversi sawah yang tertinggi di Kecamatan Banguntapan yaitu pada tahun 2011.

4. Peta Penggunaan Tanah

Penggunaan lahan adalah informasi yang menggambarkan sebaran pemanfaatan lahan yang ada di Kecamatan Banguntapan. penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi perumahan padat, perumahan jarang, kampung padat, kampung jarang, kebun campuran, sawah irigasi, tegalan dan tanah kosong yang dijelaskan berdasarkan warna pada Peta penggunaan tanah kecamatan Kasihan dapat dilihat pada Gambar 5.

(62)

Sumber : BPN, 2015

Gambar 3. Peta Penggunaan Tanah

(63)

51

konversi lahan sawah yang mempengaruhi produksi padi di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan. Tiga variabel tersebut terdiri dari satu variabel dependen yaitu produksi padi dan dua variabel independen yaitu konversi lahan sawah dan luas panen.

1. Konversi lahan sawah kecamatan Banguntapan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perkembangan luas lahan sawah dan produksi padi mengalami penurunan yang disebabkan konversi lahan sawah yang marak terjadi.

Tabel 1. Perkembangan Laju Konversi Kecamatan Banguntapan

Kecamatan Tahun

Sumber : Kecamatan Banguntapan 2015 Ket : ** (Dua Kali Panen Dalam Setahun)

(64)

konversi sawah berkisar antara 1-2 hektar. Konversi sawah yang tertinggi di Kecamatan Banguntapan yaitu pada tahun 2011. Produksi padi pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 produksi padi memiliki rentang jumlah yang sama. Pada tahun 2014 produksi padi mengalami peningkatan. Rata-rata produksi padi di Kecamatan Banguntapan sekitar 7 ton/hektar dengan dua kali panen setiap tahunnya.

Hubungan antara variabel konversi lahan sawah dengan produksi padi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 1. Hubungan antara laju konversi lahan sawah dengan Produksi Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,701 hal ini menunjukkan bahwa hubungan konversi lahan dan produksi padi dikategorikan kuat. Nilai koefisien determinasinya R2 = 0,504 hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dipengaruhi 50,4% terhadap penurunan produksi padi, sedangkan 49,6% di pengaruhi oleh faktor luas tanam padi yang kecil dan Jumlah penduduk. Selanjutnya uji

y = -225,48x + 19587

Laju Konversi Lahan Sawah (Hektar)

(65)

statistik menunjukkan bahwa nilai Sig yaitu sebesar 0,179 sehingga dapat disimpulkan bahwa konversi sawah tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Hal ini dimungkinkan terjadinya intensitas tanam tiga kali setahun dengan panen sebanyak dua kali dalam setahun, serta penggunaan pupuk yang berimbang dikarenakan bantuan dari pemerintah setempat. Persamaan yang berada pada garis linier Y = -225,48x+ 19587, nilai koefisien b = -225,48 (negatif) maka model regresi bernilai negatif atau tidak searah, artinya jika variabel konversi lahan (X) semakin tinggi maka nilai variabel produksi padi (Y) semakin rendah.

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa luas tanam padi di kecamatan Banguntapan tergolong kecil, sekitar 70% petani membudidayakan padi pada luasan lahan <500 m2 /orang (lampiran 3). Berkurangnya luas tanam di Kecamatan Banguntapan dikarenakan kecamatan ini merupakan daerah peralihan atau Rural-urban fringe karena lokasinya berbatasan langsung dengan daerah kota dan daerah desa. Selain itu Kecamatan Banguntapan sebagian wilayahnya telah berkembang menjadi daerah perkotaan terutama di daerah pinggiran yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan dan sebagian lahan pertanian telah berubah menjadi lahan non pertanian.

(66)

merupakan daerah urban, sehingga menyebabkan meningkatnya kebutuhan dasar manusia (basic need) yaitu kebutuhan fisiologis meliputi papan/perumahan.

Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan aktivitas pembangunan fisik di kecamatan Banguntapan berkembang pesat. Namun kepesatan pembangunan fisik tidak disertai dengan daya dukung

(carrying capacity) lahan yang memadai, sehingga sering kali terjadi pemanfaatan lahan yang sebenarnya masih potensial untuk aktivitas usaha tani, terpaksa digunakan untuk membangun kompleks perumahan, pertokoan, industri atau infrastuktur lainnya.

2. Konversi lahan sawah kecamatan Kasihan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perkembangan luas lahan sawah dan produksi padi mengalami penurunan yang disebabkan konversi lahan sawah yang marak terjadi.

Tabel 2. Perkembangan Laju Konversi Kecamatan Kasihan

Kecamatan Tahun

Sumber : Kecamatan Kasihan 2015

Ket : ** (Dua Kali Panen Dalam Setahun)

(67)

sedangkan pada tahun 2014 sebanyak dua hektar. Konversi sawah yang tertinggi di Kecamatan Kasihan yaitu pada tahun 2013. Produksi padi pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan yang signifikan. Produksi padi pada tahun 2012 sampai dengan 2013 juga mengalami penurunan. Pada tahun 2014 produksi padi mengalami peningkatan. Rata-rata produksi padi di Kecamatan Kasihan sekitar 7 ton/hektar dengan dua kali panen setiap tahunnya

Hubungan antara variabel konversi lahan sawah dengan produksi padi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 2. Hubungan antara laju konversi lahan sawah dengan Produksi

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,918 hal ini menunjukkan bahwa hubungan konversi lahan dan produksi padi dikategorikan kuat. Nilai koefisien determinasinya R2 = 0,843 hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dipengaruhi 84,3% terhadap penurunan produksi padi, sedangkan 15,7% di pengaruhi oleh

y = -13469x + 113079

(68)

faktor luas tanam padi yang kecil, Jumlah penduduk dan pergantian komoditas yang lebih menguntungkan. Selanjutnya uji statistik menunjukkan bahwa nilai Sig yaitu sebesar 0,028 sehingga dapat disimpulkan bahwa konversi sawah berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Persamaan yang berada pada garis linier Y = -13469x + 113079, nilai koefisien b = -13469 (negatif) maka model regresi bernilai negatif atau tidak searah, artinya jika variabel konversi lahan (X) semakin tinggi maka nilai variabel produksi padi (Y) semakin rendah.

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa luas tanam padi di kecamatan Kasihan tergolong kecil, sekitar 60% petani membudidayakan padi pada luasan lahan <500 m2 /orang (lampiran 3). Berkurangnya luas tanam ini dikarenakan pertambahan penduduk kecamatan Kasihan yang pesat, laju pertumbuhan penduduk mencapai 5.64%. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal, sehingga masyarakat mengkonversi lahan untuk dijadikan tempat tinggal. Faktor lainnya yang menyebabkan penurunan produksi padi di Kecamatan Kasihan yaitu sekitar 35% petani (lampiran 3) menggantikan padi dengan komoditas lain seperti kedelai, cabai, kangkung dan bayam hal ini dikarenakan produktivitas padi kecil membuat petani menggantikan komoditas yang ditanami.

(69)

Kecamatan Banguntapan dan Kasihan, tidak berpengaruh signifikan kepada hasil produksi padi. Hal ini disebabkan hasil produksi padi sawah secara makro dalam setahun berkaitan dengan intensitas penanaman padi. Besarnya intensitas penanaman disesuaikan dengan umur tanam varietas padi yang digunakan dan ketersediaan air di setiap musim terutama lahan sawah beririgasi tadah hujan. Jika luas lahan sawah yang lebih dari sekali ditanami padi dalam setahun, maka luas panen dan hasil produksi akan meningkat. Begitu pun sebaliknya, jika luas lahan sawah yang sekali ditanami padi dalam setahun, maka luas panen dan hasil produksi akan menurun. Meskipun luas tanam tidak selalu sama dengan luas panen pada satu tahun (karena adanya perbedaan tahun antara waktu tanam dan waktu panen), tetapi intensitas penanaman masih dapat mewakili dalam menentukan luas panen dan hasil produksi.

(70)

kandang sapi atau kompos sebagai pupuk dasar, hal tersebut berguna untuk memperbaiki kualitas tanah yang mengalami degradasi.

Konversi lahan sawah tidak mempengaruhi hasil produksi padi di Kecamatan Banguntapan disebabkan adanya intervensi pemerintah untuk menekan dampak konversi melalui program intensifikasi dan mekanisasi. Pemerintah melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul berupaya mengoptimalkan hasil produksi padi sawah. Program pemerintah ikut menentukan hasil produksi padi dalam setahun. Ketika program pemerintah berjalan efektif, maka hasil produksi setahun akan meningkat, begitu pun sebaliknya.

(71)

3. Luas panen kecamatan Banguntapan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perkembangan luas panen dan produksi padi di Kecamatan Banguntapan meningkat, seiring dengan tingginya luas panen.

Tabel 3. Perkembangan luas panen Kecamatan Banguntapan

Sumber : Kecamatan Banguntapan 2015 Ket : ** ( Dua Kali Panen Dalam Setahun)

Luas panen di Kecamatan Banguntapan pada tahun 2010 sekitar 2.544 hektar dan mengalami penurunan pada tahun 2011 sekitar 298 hektar, pada tahun 2012 mengalami peningkatan sekitar 328 hektar, pada tahun 2013 mengalami penurunan sekitar 100 hektar dan pada tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 98 hektar. Hubungan antara variabel luas panen dengan produksi padi dapat dilihat pada Gambar 8.

Kecamatan Tahun

Luas Panen (Hektar)

Produksi padi (Ton)

Produksi padi (Ton/Hektar)

Banguntapan

2010 2.544 17.544** 6,8

2011 2.246 16.829** 7,4

2012 2.574 19.701** 7,6

2013 2.474 19.709** 7,9

(72)

Gambar 3. Hubungan antara luas panen dengan Produksi padi

Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,708 hal ini menunjukkan bahwa hubungan luas panen dan produksi padi dikategorikan kuat. Nilai koefisien determinasinya R2 = 0,502 hal ini menunjukkan bahwa luas panen mempengaruhi produksi padi sebesar 50,2%, sedangkan 49,8% di pengaruhi oleh benih dan pupuk. Selanjutnya uji statistik menunjukkan bahwa nilai Sig yaitu sebesar 0,181 sehingga dapat disimpulkan bahwa luas panen tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Persamaan yang berada pada garis linier Y = 7,8711x – 715,81, nilai koefisien b = 7,8711 (positif) maka model regresi bernilai positif atau searah, artinya jika variabel luas panen (X) semakin tinggi maka nilai variabel produksi padi (Y) juga semakin tinggi.

Penggunaan varietas yang unggul mampu meningkatkan produksi padi, berdasarkan data dan informasi yang diperoleh petani Banguntapan sekitar 57,5% menggunakan varietas IR64 dan 42,5% menggunakan

(73)

varietas ciherang, kedua varietas ini mampu menghasilkan rata-rata produksi 6 ton/hektar (lampiran 3). Selain itu juga penggunaan pupuk yang berimbang juga dapat meningkatkan hasil produksi padi. Selain penggunaan pupuk anorganik, sekitar 47,5% petani Banguntapan menggunakan pupuk kandang sapi sebagai pupuk dasar, pupuk organik berguna untuk menambah ketersediaan unsur hara ditanah yang dibutuhkan tanaman. Petani Banguntapan, umumnya menggunakan pupuk anorganik seperti Urea, ZA, SP36 dan NPK yang di subsidi oleh pemerintah setempat (lampiran 3).. Produktivitas tanaman padi sangat tergantung dengan ketersediaan hara, jika unsur hara kurang maka produksi akan semakin rendah

4. Luas panen Kecamatan Kasihan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perkembangan luas panen dan produksi padi di Kecamatan Kasihan meningkat, seiring dengan tingginya luas panen.

Tabel 4.Perkembangan luas panen Kecamatan Kasihan

Sumber : Kecamatan Kasihan 2015

Ket : ** (Dua Kali Panen Dalam Setahun)

(74)

Luas panen di Kecamatan Kasihan pada tahun 2010 sekitar 1.401 hektar dan mengalami penurunan pada tahun 2011 sekitar 207 hektar, pada tahun 2012 mengalami peningkatan luas panen sekitar 40 hektar, pada tahun 2013 luas panen mengalami penurunan sekitar 99 hektar dan pada tahun 2014 mengalami peningkatan luas panen sekitar 214 hektar. Penurunan luas panen diakibatkan konversi lahan yang marak terjadi di dua kecamatan tersebut.

Hubungan antara variabel luas panen dengan produksi padi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 4. Hubungan antara luas panen dengan Produksi padi

Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,464 hal ini menunjukkan bahwa hubungan luas panen dan produksi padi dikategorikan sedang. Nilai koefisien determinasinya R2 = 0,215 hal ini menunjukkan bahwa luas panen mempengaruhi produksi padi sebesar

y = 167,23x - 184267

1000 1100 1200 1300 1400 1500

(75)

21,5%, sedangkan 78,5% di pengaruhi oleh pupuk. Selanjutnya uji statistik menunjukkan bahwa nilai Sig yaitu sebesar 0,431 sehingga dapat disimpulkan bahwa luas panen tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Persamaan yang berada pada garis linier Y = 167,23x – 184267, nilai koefisien b = 167,23 (positif) maka model regresi bernilai positif atau searah, artinya jika variabel luas panen (X) semakin tinggi maka nilai variabel produksi padi (Y) juga semakin tinggi.

Penggunaan pupuk yang berimbang mampu meningkatakan hasil produksi padi, hasil penelitian menunjukkan 52,5% petani Kecamatan Kasihan (lampiran 3). menggunakan pupuk kandang sapi sebagai pupuk dasar, penggunaan pupuk dasar ini bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah dan menambah unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Selain itu juga, penggunaan pupuk anorganik diperlukan oleh tanaman, petani Kasihan menggunakan pupuk urea dan Ponska yang didapatkan dari pemerintah setempat.

(76)

diharapkan terjadi peningkatan dalam luas areal panen padi, sehingga berpengaruh terhadap produksi padi.

Hal ini menunjukkan bahwa luas panen di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan mampu meningkatkan produksi padi, artinya jika luas panen tinggi maka produksi padi akan meningkat berdasarkan informasi dari lapangan yang diperoleh produksi padi yang tinggi tidak hanya dikarenakan luas panen yang tinggi. Produksi padi yang tinggi juga didukung dengan penggunaan benih. Varietas yang sering digunakan di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan adalah varietas IR 64 dengan produksi sebanyak 6 ton. Selain penggunaan bibit yang unggul, pupuk memiliki peranan penting sebagai salah satu faktor dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan pupuk yang berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman mampu meningkatkan produksi padi, pupuk yang digunakan petani di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan pada umumnya yakni pupuk bersubsidi yaitu Urea, ZA, SP36 dan NPK.

(77)

menambah jumlah penggunaan pupuk sesuai aturan dan akan meningkatkan lahan garapannya yang pada akhirnya dapat meningkatkan luas areal panen padi dan meningkatkan produksi padi. Kenyataannya, apabila terjadi kenaikan harga pupuk maka petani akan mengurangi jumlah pembelian pupuk yang akhirnya juga akan berkurangnya jumlah penggunaan pupuk, sehingga produksi padi dan luas areal panen juga berkurang.

(78)

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Konversi Sawah Konversi lahan sawah pada Kecamatan Banguntapan dan Kasihan dipengaruhi tiga faktor yaitu faktor ekonomi, sosial dan kebijakan

pemerintah.

1. Faktor Ekonomi

(79)

Banguntapan dan Kasihan mengkonversi lahan sawah ke sektor lainnya.

Siklus hidup padi menjadi poin penting bagi petani yang melakukan konversi lahan sawah, siklus yang terlalu lama dan keadaan cuaca serta iklim yang tidak terprediksi membuat petani memilih mengkonversikan lahan sawah padi dengan komoditas lain (pertanian maupun non pertanian) yang lebih menguntungkan. Biaya operasional komoditas pertanian non padi dirasakan petani pemilik lahan yang melakukan konversi lahan lebih efisien jika di bandingkan dengan komoditas padi.

Harga tanah di Kecamatan Banguntapan pada tahun 2015, berkisar antara Rp 1.250.000 hingga Rp 2.000.000 per meter persegi, sedangkan di Kecamatan Kasihan harga tanah berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 per meter persegi. Harga tersebut merupakan harga yang berada di luar areal perumahan, berdekatan dengan jalan raya dan pabrik industri seperti PG Madukismo, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Kenaikan harga tanah ini pun berdampak pada trend konversi lahan yang makin marak karena harga tanah yang semakin melonjak naik.

2. Faktor Sosial

a. Perubahan Perilaku

(80)

diluar lingkungannya. Mereka merasa dirinya sebagai petani yang ketinggalan zaman dan sama sekali belum modern. Persepsi mereka,terutama generasi mudanya, terhadap profesi petani tidak jauh berbeda dengan persepsi masyarakat perkotaan, yaitu bahwa profesi petaniadalah pekerjaan yang kurang bergengsi.

Akibat dari perubahan cara pandang tersebut, citra petani dibenak mereka semakin menurun. Dengan demikian lahan pertanian bukan lagi merupakan aset sosial semata, tetapi lebih diandalkan sebagai aset ekonomi atau modal kerja bila mereka beralih profesi di luar bidang pertanian. keadaan tersebut semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, dimana kesempatan kerja formal semakin sedikit. Tidak sedikit petani menjual lahannya untuk biaya hidup, pendidikan serta kesehatan.

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang dalam menjalani hidup ini. Tinggi rendahnya pendidikan petani berpengaruh pada keputusan dalam mengkonversi lahan, semakin tinggi tingkat pendidikan petani semakin kritis dalam pengambilan keputusan. Sebaliknya semakin rendah pendidikannya berarti semakin mudah petani tersebut untuk terpengaruh pada orang lain.

(81)

tinggi pendidikan seseorang maka semakin matang pula ia dalam berpikir dan bertindak,yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja. Rendahnya produktivitas seseorang dapat diakibatkan rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Disamping itu pendidikan memiliki peran yang penting bagi seseorang yang hendak melakukan pekerjaan. Tingkat pendidikan mempunyai korelasi dengan pekerjaan, semakin tinggi pendidikan seseorang makin besar kemungkinan untuk memperoleh kesempatan kerja. Untuk lebih jelasnya tentang jenjang pendidikan yang dimiliki responden dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 5. Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh

Kecamatan Pendidikan jumlah Persentase (%) Banguntapan Tidak Tamat SD 16 40

SD 18 45

SMP 6 15

Kasihan Tidak Tamat SD 20 50

SD 13 32,5

SMP 7 17,5

Sumber : Data Primer kuisioner

(82)

rendah. Banyaknya petani yang tidak tamat SD berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengkonversi lahan mereka menjadi sektor non pertanian. Jika pendidikan petani rendah, tidak menutup kemungkinan petani tersebut akan mudah terpengaruh orang lain. Pengaruh tersebut bisa datang dari tetangga disekitarnya atau dari aparat desa yang bersangkutan. Sebaliknya jika petani memilikipendidikan tinggi maka dapatberpikir rasional dalam mengambil keputusan untuk mengkonversi lahan sawah yang dimiliki. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi teknik budidaya yang dilakukan petani, petani yang memiliki teknik pendidikan rendah membudidayakan padi berdasarkan pengalaman turun temurun sedangkan petani yang memiliki pendidikan tinggi membudidayakan padi sesuai dengan GAP (good agriculture practice).

c. Kepadatan penduduk

(83)

r = (Pt/Po)(1/t) – 1 x 100)

keterangan : r = laju pertumbuhan penduduk Pt = jumlah penduduk tahun terakhir Po = jumlah penduduk tahun dasar

t = selisih antara tahun terakhir dan tahun dasar

Tabel 6. Kepadatan Penduduk Kecamatan Banguntapan Dan Kasihan

(84)

Salah satu penyebabnya adalah semakin sempitnya lahan kosong di daerah Kota Yogyakarta yang dijadikan sebagai tempat bisnis dan kantor sehingga harus beralih pada daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta

3. Persepsi masyarakat

Persepsi atau cara pandang beberapa individu yang dianggap dapat mewakili masyarakat lainnya dalam aktifitas di suatu wilayah yang sama. Cara pandang masyarakat dibutuhkan untuk mengetahui secara langsung faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah di Kecamatan Banguntapan dan Kasihan. Untuk mengetahui persepsi masyarakat dilakukan dengan penyebaran

Tabel 7. Persepsi Masyarakat Yang Melakukan Konversi Lahan Sawah

(85)

4

(86)

mendapatkan bantuan saprodi sebanyak (45% petani Banguntapan, 27,5% Kasihan). Petani yang tidak mendapat bantuan saprodi dikarenakan tidak memiliki kelompok tani, sedangkan yang mendapat bantuan saprodi memiliki kelompok tani, peraturan yang ditetapkan pemerintah yaitu penerima bantuan saprodi harus memiliki kelompok tani.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran konversi lahan sawah
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (a. Kasihan, b. Banguntapan)
Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Bantul
Tabel 1. Penggunaan Tanah di Kabupaten Bantul
+7

Referensi

Dokumen terkait

The study analyzed denotative and connotative meaning of the texts appears in the advertisement by using semiotic analysis purposed by Pierce and Rolland Barthes in interpreting

Penelitian ini bertujuan untuk produksi sabun mandi transparan dengan memanfaatkan VCO mengandung karotenoid tomat (VCO+tmt), serta menentukan kombinasi gliserol,

menunjukkan jika plat resin akrilik yang direparasi dengan penambahan E- JODVV ¿EHU dengan volumetrik 7,4% menghasilkan kekuatan transversal tertinggi dibandingkan

Untuk distribusi pemasaran harus ditempuh dengan jalur laut, hal ini bukan menjadi masalah karena asam asetat merupakan bahan baku yang dibutuhken oleh banyak industri

Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Klaten tiap tahun meningkat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu maternal,

Dalam menjalankan penelitian ini, peneliti merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui prestasi siswa dalam kosa kata sebelum diajarkan

Penelitian ini hanya terbatas untuk meneliti tentang hubungan kerjasama dengan hasil belajar muatan pelajaran IPA siswa IV di SD Negeri Karangmloko 1 pada ranah kognitif KD

Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sebagaimana diamatkan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, yang berbunyi &#34;susunan dan tata