• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pustaka"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pustaka

Muhammad Shohib (Ed.), Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Para Penghafal Al-Qur’an di Nusantara, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur’an, 2011, 525 halaman.

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dijamin pemeliharaannya oleh Allah (Q.S. al-¦ijr/15: 9). Sekalipun jaminan ini bersifat pasti, namun umat Islam memiliki kewajiban untuk memelihara Al-Qur’an baik melalui hafalan maupun tulisan. Generasi awal, yaitu para sahabat Nabi, mayoritas merupakan para penghafal Al-Qur’an (¥uff±§) dengan tingkatan hafalan dan penguasaan pemahaman Al-Qur’an yang berbeda-beda. Tradisi menghafal itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi hingga abad modern sekarang ini. Sosok mereka (¥uff±§) walaupun tidak begitu populer, namun penting untuk ditampilkan karena merupakan

ahlull±h (keluarga Allah) di dunia, dan memiliki andil sangat besar dalam pemeliharaan Al-Qur′an. Anas meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari kelompok manu-sia.” Anas bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasul?” Rasul menjawab, ”Para ahli Qur’an (orang yang membaca dan menghafalkan Al-Qur’an dan mengamalkan isinya), merekalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa di sisi Allah.” (Riwayat Ahmad).

Buku Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Para Penghafal Al-Qur’an di Nusantara ini mengupas kehidupan para penghafal Al-Qur’an yang ada di Indonesia. Mereka dapat dikatakan sebagai pelopor pembelajaran dan penghafalan Al-Qur’an yang mayoritas memiliki pesantren, tempat dila-hirkannya para penghafal Al-Qur’an.

Keberadaan para penghafal Al-Qur’an (¥uff±§) tersebut tersebar di seluruh Indonesia. Dalam buku ini dipaparkan biografi 21 penghafal Al-Qur’an dari berbagai wilayah Nusantara meliputi Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Sulawesi. Daerah-daerah yang menjadi pusat para penghafal Al-Qur’an itu adalah Gresik, Yogyakarta, Madura, Wonosobo, Surakarta, Bogor, Malang, Jawa Barat, Cirebon, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, dan Palembang.

(2)

Tidak hanya itu, para penghafal Al-Qur’an juga merupakan tokoh pendidikan. Melalui tangan-tangan mereka bermunculan tempat-tempat pendidikan Al-Qur’an, pesantren dan lain sebagainya. Di lembaga ini para santri tidak hanya diajarkan cara baca dan menghafal Al-Qur’an, namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, bahkan tidak sedikit yang memasukkan pelajaran umum menjadi salah satu dari mata pelajaran yang diajarkan. Sehingga tidak mengherankan, jika alumni-alumni pesantren ini tampil menjadi sosok ulama yang berperan besar dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam di tengah masyarakat.

Membaca buku ini tentu akan menambah khazanah pengetahuan terhadap keragaman dan karakteristik metode pembelajaran agama Islam, khususnya Al-Qur’an di Indonesia. Betapa tidak, setiap ¥±fi§ memiliki metode tersendiri dalam belajar dan mengajarkan Al-Qur’an kepada muridnya. Sebut misalnya, sistem sanad. Di Jawa, seorang ¥±fi§ akan menjaga mata rantai guru-gurunya (sanad) ketika akan mengajarkan Al-Qur’an. Sehingga setiap guru pasti memiliki sanad yang semuanya bersumber dari Rasulullah saw. Hal ini berbeda dengan daerah Sumatera, di mana sanad tidak menjadi hal yang urgen.

Hal lain lagi yang tak kalah menariknya, selain sanad tidak menjadi hal yang urgen di Sumatera Barat, seorang ¥±fi§ tidak terkenal karena hafalannya di bidang Al-Qur’an, namun mereka lebih dikenal karena penguasaannya di bidang keilmuan Islam lainnya, seperti fiqh, tasawuf atau hadis. Upaya dalam menghafal Al-Qur’an hanya merupakan langkah awal mereka dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan.

Akhirnya, membaca biografi para penghafal (¥uff±§) ini akan menumbuhkan kesadaran kita betapa Al-Qur’an sangat terjaga di tangan penghafalnya. Wajar kiranya bila Allah menyebut mereka sebagai keluarga-Nya di dunia. Mereka adalah ulama yang santun, taat, warak dan senantiasa bernaung di bawah indahnya naungan Al-Qur’an.[] Reflita

***

Muhammad Shohib (Ed.), Kiamat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains

(Seri Tafsir Ilmi), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011, 109 halaman.

(3)

Peristiwa yang maha dahsyat ini tidak diketahui kapan terjadinya. Hanya pencipta alam yakni Allah swt yang mengetahui kapan terjadinya kiamat. Al-Qur’an yang merupakan kalam ilahi hanya menginformasikan tanda-tanda dan gambaran kiamat tersebut. Lukisan kiamat yang digambarkan Al-Qur’an berupa peristiwa amat dahsyat yang menjadikan manusia dan seluruh makhluk hidup kalang kabut menghadapinya.

Kekaburan waktu kejadian maha dahsyat ini mendorong kalangan ilmuwan dan agamawan berusaha mengungkap misteri kiamat dengan melihat fenomena-fenomena yang mengawali kehancuran alam semesta ini. Al-Qur’an sebagai wahyu yang kebenarannya bersifat absolut telah banyak menginformasikan tanda-tanda kiamat. Untuk mendapatkan pengetahuan yang kompleks tentang fenomena kiamat, maka perlu adanya usaha pemahaman dan penafsiran Al-Qur’an yang benar dan tentunya tidak terlepas dari kajian ilmiah sains.

Sains yang dikembangkan untuk mencari kebenaran, pada akhirnya juga akan bersesuaian dengan Al-Qur’an. Sebab ayat Allah dalam jagad raya (al-kaun) yang diteliti oleh para saintis tidak mungkin bertentangan dengan ayatullah di dalam Al-Qur’an. Kebenaran tentang kehancuran alam semesta yang terdapat dalam berbagai ayat Al-Qur’an adalah absolut. Sains berusaha menjelaskan secara ilmiah dari fenomena kiamat tersebut, dan untuk menguatkan informasi yang telah ada dalam Al-Qur’an.

Buku Kiamat dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (Seri Tafsir Ilmi) yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini berusaha mengupas kiamat dilihat dari perspektif Al-Qur’an dan sains. Buku yang ditulis oleh dua tim yang ahli di bidangnya masing-masing, yakni tim yang menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, mengerti dengan bahasa Arab dan kaedah-kaedah penafsiran, dan tim yang menguasai persoalan saintifik ini berhasil menyuguhkan pembahasan tentang kiamat secara komprehensif dengan melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hal ini dan mengaitkannya dengan informasi sains, khususnya yang berkaitan dengan alam semesta.

Buku ini diawali dengan pengenalan umum tentang kiamat menca-kup pengertian kiamat, nama-nama yang menggambarkan karakteristik kiamat, julukan atau istilah yang menggambarkan kondisi waktu terjadinya kiamat dan kondisi makhluk hidup waktu itu serta keniscayaan kiamat. Dalam Al-Qur’an, banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa berakhirnya alam semesta ini, seperti yaumul qiy±mah, yaumul akh³r, as-s±‘ah, al-q±ri‘ah, al-¥±qqah, al-g±syiyah, a¡-¡ākhkhah, yaumul ¥is±b dan lain-lain. Tiap-tiap istilah tersebut menggambarkan peristiwa menggemparkan yang terjadi.

(4)

kerusakan bumi dan langit beserta isinya. Kerusakan ini dapat terjadi akibat umur bumi dan langit yang makin tua, ditambahkan dengan kurangnya penjagaan akan keselamatan keduanya. Pengrusakan ini, pada dasarnya juga diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Yang jelas, seluruh isi alam semesta, seperti bintang, planet dan lain-lainnya ada akhirnya. Semuanya berakhir dengan kematian. Alam semesta secara keseluruhan juga akan berakhir atau mengalami kehancuran. Oleh karena itu, kiamat adalah suatu keniscayaan. Kajian saintifik mengenai kiamat akan membuka pemahaman rasionalitas manusia terhadap kebenaran firman-firman Allah.[] Reflita

***

M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, Yogyakarta: Kaukaba, 2012, x + 250 halaman.

Pengajaran tafsir di ruang-ruang pembelajaran mulai dari pesan-tren, madrasah, hingga perguruan tinggi terasa kurang menjejak bumi, terutama dengan semakin kompleksnya persoalan yang berkembang saat ini. Setidaknya ada dua persoalan prinsipil yang menyebabkan mengapa pengajaran tafsir pada lembaga-lembaga pendidikan kurang menemukan locusnya di masyarakat, pertama, karena pengajaran tafsir tidak dida-sarkan pada kebutuhan real yang terjadi di tengah masyarakat; dan kedua, karena materi yang termuat di dalamnya lebih banyak didominasi persoalan-persoalan klasik keagamaan seperti hukum dan ibadah. Pembahasan seperti itu tentu memunculkan kesan repetisi yang kuat pada pembelajaran tafsir.

Inilah titik pijak penulis, M. Nur Kholis Setiawan, ketika mengha-dirkan buku berjudul, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Kein-donesiaan. Selain dilatarbelakangi dua alasan di atas, buku ini juga ditulis berdasar dari kegelisahan penulis berkaitan dengan begitu derasnya buku-buku keagamaan – termasuk tafsir – hasil terjemahan sarjana luar yang membanjiri khazanah bacaan masyarakat Indonesia, yang isinya kurang – atau malah tidak sama sekali – berpijak pada realitas masyarakat pem-baca. Model buku seperti ini kurang peka, atau bahkan mandul dalam memberikan solusi atas pelbagai persoalan sosial dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat.

(5)

Demi menjelaskan ihwal metodologi yang diusung, penulis pada bagian pertama buku ini mengeksplorasi urgensi tafsir dalam konteks keindonesiaan seraya mengenalkan pola pendekatan tematik kombinatif. Di dalamnya diurai mengenai tafsir dalam lintasan sejarah, tafsir dan konteks keindonesiaan, sekilas mengenai kajian Al-Qur’an Nusantara, dan dipungkasi -ini yang menarik- penjelasan tentang tafsir tematik yang disinergikan dengan pendekatan kombinatif. Penulis nampaknya merasa perlu menjelaskan ihwal metodologi yang digunakan untuk menjelaskan tema-tema yang diangkat, terutama pada pendekatan yang diisitilahkan dengan ‘pendekatan kombinatif’. Sebab, penjelasan pada tema-tema yang diangkat, menurut penulis, tidak sepenuhnya menganut pola kerja tafsir tematik secara kaku, namun lebih banyak menggunakan gerak ganda, yakni dari teks menuju realitas dan dari realitas kembali pada teks. Yang dimaksud dengan gerak ganda dalam hal ini adalah, penulis menentukan tema yang penting dan dianggap relevan dengan konteks keindonesiaan, lalu mencari kosakatanya dalam Al-Qur’an, baik eksplisit maupun implisit. Ayat pada pola seperti ini tidak didekati dengan pola analisis struktur semata, melainkan dibawa dalam proses pemaknaan yang lebih jauh terhadap persoalan yang diangkat. Dengan metode dan pendekatan seperti inilah tema-tema kontemporer pada buku ini dijelaskan.

Secara keseluruhan, buku ini berisi lima sub bahasan, dengan rincian, korasan pertama berisi tentang keluarga dan rumah tangga, korasan kedua Pelbagai Persoalan Sosial, korasan ketiga, Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, korasan keempat, Pelbagai Persoalan Kekinian, dan korasan kelima tentang Tantangan Idealitas. Di sebagain penjelasan pada tema yang diangkat, penulis banyak menawarkan wacana dan solusi atas persoalan sosial yang terjadi di masyarakat melalui petunjuk, guidance Al-Qur’an.

Di antara topik aktual yang diangkat adalah korupsi. Pada bagian ini penulis mencoba mengedepankan satu bahasan tentang jihad melawan korupsi. Di dalamnya, Nur Kholis mencoba menawarkan bahasan tentang Membangun Fiqih Anti Korupsi setelah sebelumnya menjelaskan tentang fakta korupsi di Indonesia, dan pendapat para ulama mengenai hal ini. Pembahasan mengenai hal ini dianggap penting mengingat korupsi adalah penyakit birokrosi yang menjalar di sebagian besar aparatur pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke daerah sehingga diperlukan upaya pencegahan berbasis teologis keagamaan, khusunya melalui penjelasan ayat Al-Qur’an dan juga Hadis.

(6)

menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah petunjuk, hudan bagi masyarakat atas pelbagai persoalan yang terjadi, sekaligus merupakan bentuk upaya urun rembuk penulis memberikan solusi atau pandangan pada persoalan-persoalan tersebut. Dan kedua, secara implisitbahasan pada buku setebal 260 halaman ini menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang sesuai untuk semua ruang dan waktu.

Tema dan topik yang diangkat buku ini cukup menarik dan up to date sehingga pantas menjadi bacaan bagi mereka yang ingin memahami persoalan-persoalan aktual kekinian dalam perspektif Al-Qur’an.[]

Mustopa.

***

Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak Kujung Usai di Nusantara, Jogjakarta: Nadi Pustaka,

2011, xvi + 308

Lebih dari satu abad yang lalu, Clifford Geertz melakukan pene-litian dan mengklasifikasi masyakat Islam menjadi tiga kelompok yakni santri, abangan, dan priyayi. Klasifikasi ini kemudian menjadi sasaran kritik sejumlah sarjana, baik insider maupun outsider yang kurang sependapat dengan klasifikasi yang dibuat Geertz. Hingga saat ini, kritik ini bahkan masih muncul, terutama pada topik yang membahas pergumulan Islam dengan tradisi lokal. Terlepas dari klasifikasi yang dibuat, pergumulan antara Islam dengan budaya lokal memang selalu memunculkan persoalan tentang model keislaman yang semestinya dianut pemeluknya. Apakah Islam harus mengcopy penuh model keislaman yang dianut dan dipraktekkan masyarakat Arab, tempat di mana Islam disebarkan Nabi Muhammad, atau membiarkan Islam berdialog dengan lokalitas budaya setempat demi menemukan eksistensinya sendiri?

Persoalan ini nampaknya menjadi salah satu pintu masuk Aksin Wijaya untuk menulis buku dengan tema menarik, Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak Kunjung Usai di Nusantara. Buku ini dihadirkan penulis dengan mengajukan empat pertanyaan mendasar: 1) Bagaimana eksistensi Islam pada masyarakat Arab awal; 2) Bagaimana proses kehadiran Islam mencari ruang bereksistensi di Nusantara; 3) Bagimana perjalanan dan perkembangan Islam dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya di Nusantara; dan 4) Bagaimana sejatinya Islam yang relevan dengan kekinian dan yang akan datang.

(7)

dominasi, Meretas paradigma baru Islam Nusantara, dan terakhir Kesim-pulan.

Pada bagian awal, penulis terlebih dahulu mencoba menjelaskan posisi Islam awal yang diterima masyarakat Arab dan dialektika yang muncul pada prsoses penerimaan agama tersebut. Pada proses ini nampak terlihat bagaimana dialektika terjadi antara Islam di satu sisi dengan realitas masyarakat Arab di sisi lain. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada proses ini terjadi tarik menarik yang cukup kuat sehingga melahirkan dinamika tersendiri yang mewarnai proses penerimaan Islam, baik pada masyarakat Makah maupun masyarakat Madinah.

Berbekal penjelasan di atas, buku ini kemudian berupaya menemu-kan akar proses masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Nusantara. Saat Islam menjejakan kakinya di wilayah ini, masyarakat Nusantara sesungguhnya sudah menghadapi dialektika keyakinan, yakni antara agama lokal, dinamisme dan anmisme, dengan agama impor, Hindu dan Budha. Sebelum masuknya Islam, kedua agama impor ini sudah eksis sejak abab ke-6 Masehi. Namun, agama ini tidak bertahan lama, karena, seperti dikemukakan Naguib al-Attas, agama ini terlalu eksklusif dan menganut sistem strata sosial yang rumit sehingga menciptakan ketim-pangan sosial yang melembaga. Islam kemudian datang mengisi ruang-ruang kosong kesadaran yang tidak dijumpai pada agama Hindu maupun Budha, sehingga proses penerimaannya relatif mudah dan massif, tidak saja di kalangan masyarakat bawah, namun juga pada kalangan elit pemerintahan atau kerajaan.

Dalam proses mencari eksistensi ini, proses pergumulan antara Islam dengan agama lokal dan agama impor berlangsung secara damai dan nirkekerasan, baik secara wacana maupun fisik. Masyarakat tidak dipaksa untuk memilih agama tertentu seraya diberikan keleluasaan untuk memilih agama sesuai dengan hati nuraninya. Di sisi lain, agama yang dipilihnya dibiarkan berkembang atau tersingkir secara damai. Pergu-mulan baru kemudian terjadi ketika Islam berada pada tahap pengem-bangan awal. Pada tahap ini Islam terbelah menjadi dua model, yakni antara tasawuf suni dan tasawuf falsafi. Perseteruan yang cukup mencolok dalam konteks ini bisa diamati pada perseteruan antara Hamzah Fansuri, yang mewakili tasawuf falsafi dengan ar-Raniri, yang mewakili tasawuf sunni. Persetaruan serupa dengan konteks lokalnya juga terjadi di pulau Jawa.

(8)

dengan proses ‘menjadi’ dan ‘menuju’, karena gagasan ini terus mencari dan bergumul dengan realitas keislaman Nusantara yang semakin kompleks dan progresif yang pada taraf tertentu menjelma menjadi gerakan-gerakan keislaman furifikatif yang keras dan kurang toleran terhadap budaya dan kearifan lokal masyarakat.

Melalui buku ini penulis ingin menegaskan bahwa Islam adalah agama yang damai, anti kekerasan, dan memberikan ruang dan penghargaan yang cukup terhadap lokalitas budaya masyarakat Indonesia untuk berkembang. Karena itu, buku ini cukup penting menjadi referensi karena memberikan peta pergumulan antara Islam dengan tradisi lokal secara kronologis dalam konteks keindonesiaan yang cukup kompre-hensif.[] Mustopa

***

Tata Septayuda Purnama, Khazanah Peradaban Islam, Solo: Tinta Media (Tiga Serangkai), 2011, x+222 hlm.

Seberapa banyak dari kita yang mengetahui bahwa kata ream

(jumlah kertas) berasal dari bahasa Arab?. Kata ream dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Prancis rayme, dan dari bahasa Spayol resma yang merupakan kata pinjaman dari bahasa Arab rizmah

yang berarti bundel. Ini hanya salah satu cerita kecil khazanah Islam yang ada di Khazanah Peradaban Islam.

Spanyol sebagai pusat peradaban dunia saat itu merupakan pusat produksi kertas. Sekretaris Abdurahman ad-Dākhil terbiasa menggunakan kertas untuk menulis dokumen resmi di kediamannya kemudian mengi-rimkannya ke kantor, khusus untuk diperbanyak yang salinannya didis-tribusikan ke berbagai agen pemerintahan di Spanyol. Kota lain yang memiliki jejak sejarah kertas dalam Islam adalah Syatibi dan Kordoba.

Kertas tidak hanya dibuat dari sutera tetapi juga dari katun, kapas, dan kayu. Dari pulp hingga menjadi lembaran-lembaran, lalu dicuci, dibersihkan, diwarnai, digosok dan direkatkan. Penyiapan pulp meliputi sejumlah proses kimia yang banyak dan rumit. Hal ini juga menunjukkan kemajuan ilmu kimia yang telah dicapai oleh umat Islam saat itu.

Khazanah lainnya adalah tentang sejarah simbol bulan bintang. Penggunaan simbol bulan sabit dan bintang terjadi pada masa kekuasaan Sultan Mahmud II (sultan VII Turki Usmani) setelah menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Lambang kotanya adalah bulan-bintang. Setelah menaklukkan Konstantinopel, Muhammad II mengadopsi simbol tersebut menjadi bendera Turki. Nama Konstantinopel pun diganti menjadi Istanbul.

(9)

merah. Setelah dimodifikasi, bagian tengah bendera ditambahi gambar bulan dan bintang berwarna putih. Pada tahun 1844 bentuk bendera diubah menjadi segi empat.

Wilayah Turki Usmani mencakup tiga benua beserta peradaban yang ada di dalamnya. Saat itu, bulan sabit digunakan untuk melambangkan posisi tiga benua tersebut. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia (terletak di timur), ujung lainnya mewakili Afrika, dan di tengahnya benua Eropa. Sedangkan lambang bintang menunjukkan posisi ibu kota yang bermakna kota Islam. Lama-kelamaan, simbol bulan bintang dianggap masyarakat luas sebagai simbol agama Islam.

Khazanah lainnya adalah kopiah. Biasa disebut songkok, peci, turbus, bahkan kupluk. Komunitas yang banyak menggunakan kopiah adalah santri pesantren. Hal ini merupakan aplikasi dari ajaran Ta’lim Muta’alim untuk selalu menutup kepala. Perintah tersebut tidak diterjemahkan dalam bentuk surban atau tutup kepala lainnya melainkan dengan kopiah.

Kopiah juga merupakan simbol nasionalisme. Pada awalnya para aktivis kemerdekaan memakai daster dan tutup kepala blangkon. Lebih dekat ke tradisi priyayi dan aristokrat, bahkan cenderung feodal. Kemudian gaya berbusana tersebut berubah ketika HOS Tjokroaminoto bersama para aktivis Syarekat Islam mempopulerkan penggunaan kopiah. Murid-murid beliau pun banyak yang mengikutinya seperti Soekarno. Kopiah sebagai simbol patriotisme dan nasionalisme. Sekaligus membe-dakan penampilan mereka dengan para priyayi atau amtenar kolaborator Belanda.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Pertama, menyuguhkan berbagai artikel yang menggambarkan kejayaan Islam, seperti Baitul Hikmah, bangunan-bangunan monumental pada masa kejayaan Islam, perkem-bangan penemuan kertas, asal-usul simbol bulan bintang, ilmuan muslim yang ikut berperan dalam perkembangan ilmu astronomi, kedokteran, filsafat, sosiologi, dan banyak bidang lainnya.

Pada bagian kedua diuraikan tentang khazanah Islam Nusantara. Dimulai dari tradisi keilmuan di Nusantara, seni budaya seperti tradisi Barzanji, beduk, asal-usul kopiah bahkan bagaimana perjumpaan Islam dengan teater. Selain itu diungkap juga tentang masjid-masjid yang merupakan hasil dinamika budaya Islam Nusantara dengan budaya lokal. Seperti Masjid Raya Baiturahman Aceh, Masjid Raya al-Mahsun Medan, dan lainnya. Selain masjid, dibahas juga tentang situs-situs Islam seperti Kerajaan Islam Demak, Istana Maimun, bahkan Museum Hamka. []

Hakim Syukrie

(10)

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kenegaraan (Tafsir al-Qur’an Tematik), Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

al-Qur’an Kementerian Agama, 2011, 455 halaman.

Pembahasan dalam buku ini diawali tentang negara dalam lintasan sejarah, mencakup pembahasan negara pra-Islam dan negara pada masa Nabi Muhammad saw. Sebelum kenabian Muhammad, di Barat maupun di Timur telah terdapat negara dalam bentuk kerajaan. Contohnya, Raja (Nabi) Dawud dan Sulaiman as. Sezaman dengannya terdapat kerajaan Saba’ yang dipimpin oleh seorang perempuan dengan ibu kota Ma’rib. Pada masa Islam dibahas juga periode Madinah hingga Khalifah ke-4 yakni Ali bin Abi Talib.

Adapun tujuan sebuah negara dibahas pada bagian berikutnya. Tujuan negara antara lain mewujudkan kesejahteraan rakyat, menjaga perdamaian serta menjunjung tingi martabat bangsa dan negara. Negara berkewajiban mengajak masyarakatnya untuk mengenal dan beriman kepada Allah swt. Tersurat dalam Surah an-Naml/27: 29-31 tentang Nabi Sulaiman yang mengajak Ratu Balkis beriman kepada Allah. Tujuan lainnya yakni memelihara keamanan dan integritas negara; menjaga hukum dan ketertiban; serta memajukan negeri sehingga setiap individu dapat merealisasikan potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua.

Seterusnya adalah tentang hukum dalam negara. Undang-undang atau hukum dibuat untuk mengatur hubungan individu vs individu, individu vs kelompok, bahkan individu dan negara. Hukum menjadi kesepakatan bersama agar terhindar dari konflik serta terciptanya kehidupan tertib, damai dan sejahtera. Lalu apa sumber hukumnya? Tafsir ini menekankan bahwa sumber hukum yang terbaik bagi kehidupan kaum beriman adalah Al-Qur’an. Rasul dan ulul amri juga berhak menetapkan hukum yang senafas dengan Al-Qur’an, seperti tersurat dalam Q.S. an-Nisa’/4: 59.

Salah satu ayat yang dijadikan rujukan untuk syarat seorang pemimpin negara yaitu Q.S. Al-Baqarah/2: 247. Pemimpin negara harus sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan, adil, jujur, amanah, profesional, bertanggung jawab dan berani. Selain itu, pemimpin negara juga harus memiliki kekuatan fisik. Pemimpin negara juga memiliki kewajiban dan hak. Di antara kewajiban pemimpin yaitu menjamin sistem hukum yang adil, menjaga hak asasi warga, melaksanakan amanat undang-undang, mensejahterakan rakyat, melindungi warga negara, memelihara keutuhan wilayah dan aset-aset negara. Adapun hak pemimpin, yaitu ditaati, mendapat penghargaan yang layak, serta mengelola tanah air dan negara untuk kepentingan rakyat.

(11)

bertanggung jawab, berperan serta dalam pelaksanaan kebijakan, menjaga kewibawaan negara dan membela negara.[] Hakim Syukrie

***

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Qur’an Tematik: Al-Qur’an dan Kebinekaan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an

Kementerian Agama RI, 2011, xxxii+346 halaman

Keberagamaan Indonesia dalam berbagai aspeknya merupakan aset bangsa yang patut dilestarikan. Allah menciptakan keanekaragaman dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia. Perbedaan tersebut merupakan harmoni dan anugrah teindah dalam hidup ini.

Keragaman suku, bahasa, agama, golongan, budaya profesi dan lainnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia, namun di sisi lain hal tersebut sesekali menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masya-rakat. Pembahasan tentang kebinekaan dalam al-Qur’an dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan panduan bagi masyarakat agar dapat mewujudkan kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama dan terhindar dari segala macam konflik yang merugikan kehidupan secara moril maupun materiil. Jika Allah menghendaki, Ia pasti mampu menjadikan manusia satu umat, tetapi Ia memberikan kebebasan berkehendak yang terbatas kepada manusia (Q.S. an-Nahl/16: 93; asy-Syua/42: 8; Hud/11: 118-119; az-Zukhruf/43: 33).

Pada bagian awal, buku ini mencoba memberikan konteks terhadap keberagaman, bahwa hal tersebut sebagai sunnatullah kehidupan. Pelangi tidak akan dikatakan indah apabila hanya memiliki satu warna. Perbedaan merupakan media untuk mengembangkan berbagai pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia. Keragaman yang telah menjadi

sunnatullah seharusnya menjadi model positif bagi bangsa Indonesia. Ada dua perspektif untuk melihat keragaman, yaitu doktriner dan historis. Secara doktriner, Islam menjunjung tinggi perbedaan. Bisa dilihat pada Q.S. Baqarah/2: 120, 259: Maidah: 5/51 dan al-Kafirun/109:1-6). Secara historis, Islam juga telah mampu menjalin hu-bungan dan berinteraksi baik secara politik, ekonomi maupun aspek budaya.

(12)

(pertukangan). Kisah Nabi Sulaiman mengumpulkan bala tentaranya sebagai dalil profesi tentara (Q.S. an-Naml/ 27: 17).

Bahasan pertama tentang keragaman adalah keragaman agama. Bagian ini banyak menuangkan tentang fikih lintas agama. Dimulai dari eksistens agama-agama di luar Islam; perbedaan antara pluralitas dan pluralisme agama; mengucapkan selamat Natal kepada non-Muslim; memasuki tempat ibadah non-Muslim dan sebaliknya. Bahkan pada uraian ucapan selamat Natal, disediakan sub-bab sendiri yang menyan-dingkan pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyah tentang perkara tersebut. Untuk umat Islam yang tidak bersentuhan secara sosial dengan non-muslim tak perlu mengucapkan selamat Natal, namun bagi muslim yang aktif berinteraksi dengan mereka sangat baik untuk menyampaikan selamat Natal dengan keharusan bersikap hati-hati dalam niatnya.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Bab IV merupakan bagian yang berisi laporan hasil penelitian dan analisis, yang menguraikan data hasil penelitian di lapangan, yang terdiri dari identitas

Klor aktif dapat merusak struktur protein pada telur Aedes sp dengan cara mengoksidasi (membakar) protein yang berperan dalam proses metabolisme sel telur sehingga perkembangan

38 Sertifikat sebagai Peserta International Conference On Governance and Development, Padang 14-16 Desember DEAKIN University Australia 2010 39 Piagam sebagai instruktur dalam

Potensi Masyarakat ditingkatkan untuk terwujudnya mesyarakat mandiri Lakukan yang terbaik dalam pelayanan terhadap masyarakat.. Aman, tertib, dan lancar berkat

Berdasarkan hasil penelitian diketahui dari 95 responden dengan pengetahuan kurang baik sebanyak 20 (21,1%) responden berperilaku PHBS menurut pendapat peneliti hal ini

Konsentrasi thorium dan kalium yang diperoleh hampir sama dengan konsentrasi radionuklida alam dalam semen dari beberapa negara, sementara konsentrasi uraniumnya lebih tinggi.

Aset keuangan Bank dan entitas anak terdiri dari kas, giro pada Bank Indonesia, giro pada bank lain, penempatan pada Bank Indonesia dan bank lain, tagihan

96 Rahma Faila Sofi, S.Si.,M.Sc.. Proses & Hasil