• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKELAHIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi di Polresta Bandar Lampung) Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKELAHIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi di Polresta Bandar Lampung) Oleh"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKELAHIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi di Polresta Bandar Lampung)

Oleh Hety Novita Sari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKELAHIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi di Polresta Bandar Lampung) Oleh

Hety Novita Sari

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan antara sesama anak saat ini sering kali terjadi, bentuknya dapat berupa perkelahian. Perkelahian ini tidak jarang mengakibatkan luka-luka baik bagi korban maupun pelakunya sendiri. Penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa pelaku penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Penganiayaan yang dilakukan oleh sesama anak yang terkategorikan penganiayaan ringan sebenarnya dapat diterapkan diskresi di tingkat kepolisian, sehingga proses hukumnya tidak sampai di tingkat pengadilan. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung? b) Apakah faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung?

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi lapangan dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian diolah dengan langkah-langkah, yaituklasifikasi, editing, interpretasi dan sistematisasi. Data yang diolah dianalisis secara kualitatif. Penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.

(3)

masih berstatus pelajar. b) Faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung adalah faktor hukumnya sendiri, yaitu penerapan diskresi kepolisian saat ini berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 2. Faktor penegak hukum, yaitu telah adanya ketentuan hukum pelaksanaan mengenai diskresi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempermudah aparat kepolisian dapat melaksanakan diskresi secara efektif; 3. Faktor masyarakat, yaitu penerapan diskresi ini tidak terlepas dari faktor masyarakat atau lebih khusus pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Khusus untuk tindak pidana penganiayaan ringan yang dilakukan anak, penerapan diskresi akan mudah dilakukan apabila pihak-pihak yang berperkara sepakat berdamai dan tidak melanjutkan perkara tersebut ke tahap selanjutnya.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

Hlm.

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Penerapan Diskresi Kepolisian... 14

B. Tindak Pidana Penganiayaan ... 23

C. Tinjauan Tentang Anak dan Pemidanaan Terhadap Anak ... 26

D. Konsep Diversi Terhadap Anak Dalam Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak ... 29

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 35

III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Nara Sumber ... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 44

(7)

B. Diskresi Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Perkelahian Yang

Dilakukan Oleh Anak Di Polresta Bandar Lampung ... 48

C. Faktor-Faktor Pendukung Diskresi Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Perkelahian Yang Dilakukan Oleh Anak Di Polresta Bandar Lampung ... 66

V. PENUTUP ... 72

A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 74

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaku tindak pidana pada saat ini tidak lagi terbatas pada orang-orang dewasa tetapi sudah merambah hingga anak-anak di bawah umur. Terkait dengan tindak

pidana yang dilakukan anak-anak di bawah umur, semua sepakat bahwa pelakunya tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan asas equality before the law, namun jika melihat pada kerangka perlindungan anak

tentunya tidak bijaksana apabila perlakuan pada anak di bawah umur sama dengan perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi

anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa.1

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak dalam konstitusi Indonesia, memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin

hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.2 Kepentingan terbaik bagi anak

patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara

1

Wagiarti Soetodjo. Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), Hlm. 12

2

(9)

Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan

pemerintah yang bertujuan melindungi anak.3

Prinsip pelindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) sebagaimana telah diratifikasi

oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan

akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, namun dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai obyek dan perlakuan

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak.4

Pemerintah dalam rangka pelindungan hukum terhadap anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penyusunan Undang-Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan

yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.5

3

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

4

Ibid

5

(10)

Pembentukkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak salah satunya didasari karena akhir-akhir ini sering terjadi pemberitaan di media mengenai perkelahian anak yang berujung ke meja sidang atas dakwaan tindak pidana penganiayaan ringan, kepolisian sebagai institusi

pertama dalam sistem peradilan pidana Indonesia seharusnya dapat menggunakan kewenangan diskresinya. Diskresi kepolisian dapat juga digunakan dalam tindak

pidana ringan, karena tindak pidana ringan sebenarnya dapat diselesaikan tanpa adanya proses peradilan.

Penerapan diskresi kepolisian dalam penegakan hukum pidana terhadap anak, dipengaruhi faktor usia pelaku yang masih di bawah umur. Berdasarkan Pasal 1

ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyatakan anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Faktor yang mempengaruhi penerapan diskresi terhadap anak dalam perkembangannya semakin meluas, seperti dipengaruhi oleh

berat ringannya kejahatan, penyebab terjadinya kejahatan, jumlah kerugian yang diderita korban, atau kehendak dari korban sendiri karena korban merasa apa yang dituntutnya telah dipenuhi oleh pelaku misalnya pelaku telah membayar ganti

kerugian atau kompensasi atau pelaku telah menyampaikan permintaan maaf, apabila kasusnya adalah pencemaran nama baik.6

6

(11)

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan antara sesama anak pada saat ini

sering kali terjadi, bentuknya dapat berupa perkelahian. Tidak jarang perkelahian ini mengakibatkan luka-luka baik bagi korban maupun pelakunya sendiri. Penganiayaan sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan bahwa

pelaku penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.7 Apabila suatu penganiayaan mengakibatkan luka berat,

maka berdasarkan Pasal 351 ayat (2) KUHP maksimum hukuman dijadikan 5 (lima) tahun penjara, sedangkan jika berakibat matinya orang hukumannya meningkat lagi menjadi 7 (tujuh) tahun penjara.8 Penganiayaan yang dilakukan

oleh anak yang terkategorikan penganiayaan ringan sebenarnya dapat diterapkan diskresi di tingkat kepolisian, sehingga proses hukumnya tidak sampai di tingkat

pengadilan.

Penggunaan diskresi kepolisian memang harus dilakukan secara tepat terhadap tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Tindakan diskresi atas tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak oleh Kepolisian Resor Kota (Polresta)

Bandar Lampung salah satunya adalah perkara Nomor LPB/04/I/2012/LPG tanggal 1 Januari 2012 dengan nama pelapor, yaitu Lia dan Dina. Kedua pelapor ini saling melaporkan dengan tuduhan melakukan tindak pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 351 KUHP jo Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

7

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. (Bandung: Refika Aditama, 2010), Hlm. 68

8

(12)

Kejadian ini bermula terjadi kesalahpamahan antara Lia dan Dina. Perkelahian

antara Lia dan Dina dipicu karena kecemburuan Dina terhadap Lia yang masih berhubungan dengan Aldi yang merupakan pacar Dina. Aldi sebelumnya adalah pacar Lia. Perkelahian ini dipicu karena Aldi masih berhubungan dengan Lia

melalui media jejaring sosial twitter. Dina merasa cemburu dengan masih berhubungannya Aldi dengan Lia. Dina kemudian menghubungi Lia untuk

bertemu di Lapangan Basket Dino di daerah Kecamatan Pahoman pada tanggal 31 Desember 2011. Sesampainya di lapangan basket yang telah dijanjikan sekitar jam 11 malam, keduanya terlibat dalam perkelahian. Dina dan Lia kemudian

saling melaporkan ke Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung keesokkan harinya dengan laporan Nomor LPB/04/I/2012/LPG tanggal 1 Januari 2012. Setelah

Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung memanggil kedua belah pihak baik Dina maupun Lia terjadi kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Kesepakatan perdamaian ini kemudian menjadi pertimbangan kepolisian mengambil langkah

diskresi. Penerapan diskresi oleh kepolisian harus didasarkan alasan-alasan dan pertimbangan yang jelas berdasarkan aturan hukum yang berlaku, sehingga hasil dari diskresi tersebut dapat diterima oleh semua pihak.

Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

(13)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang

dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung?

b. Apakah faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian kepustakaan bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai diskresi kepolisian dalam pelaksanaan tugas penyidikan perkara pidana. Penelitian akan dilakukan di

Polresta Kota Bandar Lampung pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui pelaksanaan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana

perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung.

(14)

2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya

pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian.

b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum khususnya kepolisian mengenai penggunaan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar

Lampung.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teoretis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.9

Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam mengartikan diskresi kepolisian yaitu suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk

bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri.10 Diskresi merupakan kewenangan kepolisian untuk

mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm. 125

10

(15)

masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sekalipun

diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktek penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus

pidana.

Apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi pemicu keengganan aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam

pemeriksaan kasus pidana, diantaranya rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi dipandang sebagai tindakan manipulasi (illegal), ketakutan akan munculnya penilaian negatif dari

masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap sebagai akal-akalan pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara.11 Tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan

dalam 2 (dua) kategori yaitu:

a. Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya, seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan;

b. Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan-kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.12

11

R. Abdussalam, Op.cit, Hlm. 26

12

(16)

James Q Wilson mengemukakan ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang

mungkin dilaksanakan, yaitu:

a. Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya

untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;

b. Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan

dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;

c. Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan

seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan

d. Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan

walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.13

Persoalan penting yang dapat menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap aparat penegak hukum pada umumnya khususnya kepolisian adalah adanya kesan seolah-olah kepolisian bertindak diskriminatif dalam

melakukan penegakan hukum. Salah satu indikator yang sering dipakai oleh warga masyarakat untuk menilai tindakan diskriminatif aparat penegak hukum adalah tentang perlakuan terhadap warga masyarakat biasa dengan orang-orang

yang memiliki kekuasaan yang diduga melakukan tindak kriminal.14

Selain itu, adanya kewenangan yang demikian besar bagi kepolisian untuk melakukan diskresi juga dapat menjadi bumerang bagi kepolisian untuk tidak dipercaya oleh masyarakat. Situasi ketidakpercayaan itu bisa muncul apabila tidak

ada transparansi dan akuntabilitas dari pihak kepolisian itu sendiri. Apalagi apabila kewenangan tersebut dimanfaatkan untuk menutupi kasus-kasus pidana

tertentu demi melindungi orang atau kelompok tertentu. Masyarakat juga memiliki hak mengetahui mengapa dalam kasus pidana atau pelanggaran tersebut

13

Ibid, http://elisatris.wordpress.com/penerapan-diskresi-kepolisian-dalam penegakan-hukum-hukum-pidana/, diakses tanggal 20 Maret 2013, pukul 11.30 WIB

14

(17)

dilakukan diskresi dan apabila dirasa perlu masyarakat juga diberikan kesempatan

untuk menelusuri kebenaran dari diskresi tersebut.15

Tidak bisa diingkari bahwa penggunaan kekuasaan secara diskresi seperti itu memiliki kecenderungan yang sangat kuat dan peka dari penilaian-penilaian dan

prasangka-prasangka yang negatif terhadap kepolisian, yang disebabkan oleh karena diskresi yang dilakukan oleh kepolisian itu lebih mengandalkan pertimbangan dan keputusan pribadi, maka tak mustahil akan muncul pertanyaan

tentang apakah diskresi yang diambil itu tergolong sah atau legitimate, atau tergolong diskresi yang tidak adil dan diskriminatif.16

Satjipto Rahardjo mengingatkan, bahwa oleh karena hukum itu dirumuskan secara

umum dan abstrak sementara pemolisian bukanlah pekerjaan yang abstrak, sehingga wajar bila kepolisian kemudian diberi kewenangan untuk membuat penafsiran dan pilihan-pilihan hukum in optima forma. Salah satu institusi untuk

mewadahi perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi (discrecionary power), namun langkah yang ditempuh oleh kepolisian tersebut harus ditunjang oleh adanya transparansi dan akuntabilitas agar tidak

menyimpang menjadi sesuatu yang tidak adil atau diskriminatif.17

Penggunaan diskresi sebagai upaya dari penegakan hukum oleh kepolisian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor

15

https://krisnaptik.wordpress.com/2013/03/29/membangun-citra-polri-dengan-transparansi-dan-akuntabilitas-polri-dalam-penegakan-hukum/, diakses tanggal 1 April 2013, pukul 19.30 WIB

16

Erlyn Indarti, Diskresi Polisi. (Semarang: Lembaga Penerbit Undip, 2000), Hlm. 61

17

(18)

yang secara umum mempengaruhi penegakan hukum. Beberapa faktor yang dapat

mendukung berjalannya proses penegakan adalah sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.18

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto19, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan

kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam

melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

a. Tindakan adalah sesuatu yang dilakukan atau perbuatan.20

b. Diskresi adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum

untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian

18

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada: 2007), Hlm. 5

19

Soerjono Soekanto. Op. cit. 1986. Hlm. 124

20

(19)

untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam

menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.21

c. Tindak Pidana Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang

oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial.22

d. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.23

E. Sistematika Penulisan

Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,

maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang

terdiri dari: penerapan diskresi kepolisian, tindak pidana penganiayaan, tinjauan

21

R. Abdussalam, Op.cit, Hlm. 26

22

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1993), Hlm. 9.

23

(20)

tentang anak dan pemidanaan terhadap anak, konsep diversi terhadap anak dalam

Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis

data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari

karakteristik responden, diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan oleh anak di Polresta Bandar Lampung dan faktor-faktor pendukung diskresi kepolisian terhadap tindak pidana perkelahian yang dilakukan

oleh anak di Polresta Bandar Lampung.

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerapan Diskresi Kepolisian

Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam mengartikan diskresi kepolisian yaitu suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk

bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri.1 Diskresi merupakan kewenangan kepolisian untuk

mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.2

Diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktek penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang

ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk

menerapkan diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa: (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

1

R. Abdussalam, Op. cit, Hlm.26

2

(22)

Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan

yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Banyak faktor yang menjadi pendukung aparat kepolisian untuk menerapkan

diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, diantaranya adanya peraturan perundang-undangan yang memberikan peluang penerapan diskresi dan pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi. Atas dasar

ini tindakan diskresi dipandang sebagai tindakan yang resmi.

Pelaksanaan diskresi harus dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang jelas, yang bertujuan untuk menghindari munculnya penilaian negatif dari

masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap sebagai permainan pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara.3Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat

rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat.

3

(23)

Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan

diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:4

a. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;

b. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menyebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

c. Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat, yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati hak asasi manusia.

d. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

e. Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut dengan KUHAP, menyebutkan bahwa penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat, yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak asasi manusia.

f. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, yang pada pokoknya memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.

4

(24)

Selain penerapan diskresi kepolisian harus mengacu pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, diskresi pun dapat diberlakukan dengan mendasarkan pada hukum adat/kebiasaan setempat, misalnya di Bali seringkali penyelenggaraan kegiatan/upacara adat disertai dengan kegiatan sabung ayam,

yang mana berdasarkan hukum pidana nasional, dapat dikategorikan sebagai tindakan perjudian sebagaimana diatur dalam Pasal 303 KUHP, namun aparat

kepolisian tidak serta merta menangkapi orang-orang yang sedang melakukan sabung ayam, karena melihat bahwa kegiatan sabung ayam juga merupakan bagian dari kebudayaan/adat Bali. Hal inilah yang menjadi dasar kepolisian

menggunakan hak diskresinya untuk tidak menangkap atau membubarkan orang-orang yang melakukan sabung ayam.5

Perlu diperhatikan, sekalipun aparat kepolisian memiliki kewenangan bertindak atas dasar penilaiannya sendiri, hal ini tidak boleh ditafsirkan secara sempit,

sehingga aparat kepolisian dengan mudah menerapkan kewenangan diskresi. Oleh karena itu, lahirnya diskresi tidak dapat dipisahkan dari adanya suatu wewenang

kepolisian secara umum serta adanya hukum yang mengatur untuk bertindak, sehingga diskresi harus dilakukan dalam kerangka adanya wewenang yang diberikan oleh hukum.

Terkait penerapan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana, ada

beberapa pertimbangan yang umum dijadikan pegangan, antara lain:

1. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu lama.

5

(25)

2. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.

3. Adanya keinginan agar perkara selesai dengan solusi terbaik (win-win solution), mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;

4. Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban, sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.6

Pada dasarnya, langkah diskresi kepolisian dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab kepolisian yang diberikan negara, misalnya dalam kasus tindak pidana yang

pelakunya melibatkan anak-anak. Menurut Adrianus Meliala7, kasus-kasus pidana yang potensial diselesaikan melalui upaya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk di dalamnya dengan cara menerapkan diskresi, diantaranya:

1. Kasus penipuan dan penggelapan yang mana pelaku telah mengembalikan kerugian yang diderita korban;

2. Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP;

3. Tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);

4. Kejahatan ringan (lichte musjdriven) sebagaimana diatur dalam KUHP sebagai berikut;

a. Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan; b. Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia; c. Pasal 364 tentang pencurian ringan;

d. Pasal 373 tentang penggelapan ringan; e. Pasal 379 tentang penipuan;

f. Pasal 482 tentang penadahan ringan; dan g. Pasal 315 tentang penghinaan ringan.

6

http://yosadadmaja.blogspot.com/1012/04/diskresi-kepolisian.html?m=1, diakses tanggal 20 Maret 2013, pukul 11.30 WIB

7

(26)

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian oleh

Kenneth Culp Davis terkait praktek penegakan hukum di Kepolisian Chicago. Hasil penelitian menyimpulkan, ada beberapa jenis tindak pidana yang dapat dikesampingkan (diskresi), diantaranya:

1. Seorang petugas menangkap pencuri di toko, kepolisian kemudian melepaskan karena pemilik toko minta dengan sangat pencuri itu dilepaskan;

2. Penjualan barang-barang yang tidak ada labelnya adalah pelanggaran, tetapi petugas sering tidak menindak bila jumlahnya tidak besar;

3. Naik sepeda di trotoar adalah merupakan suatu tindak pidana dan pelanggaran hukum lalu lintas, kepolisian jarang menegakkan hukum itu kecuali kalau ada hal-hal khusus;

4. Kepolisian pernah melepaskan perampok bersenjata karena si korban minta untuk dilepaskan;

5. Seorang kepolisian biasanya mendenda seorang remaja pembuat keributan atau melakukan pencurian ringan, tetapi kepolisian biasa melepaskannya, bila si pemilik barang merelakannya;

6. Meludah di trotoar adalah suatu larangan, didenda 1 sampai dengan 5 dollar AS, tetapi banyak petugas tidak menegakkan ketentuan itu;

7. Pencuri yang ternyata adalah seorang informan untuk penjualan narkotika akan dilepas oleh kepolisian, walaupun tidak ada undang-undang narkotika yang mengatur demikian;

8. Berjudi itu dilarang menurut ketentuan hukum, tetapi petugas baru bertindak apabila ada pengaduan, sedang petugas yang lain tidak mau melakukannya; dan

9. Merokok di tangga berjalan atau lift adalah suatu tindak pidana, tetapi kepolisian yang bertugas tidak pernah menegakkan ketentuan itu.8

Kondisi dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum maka hukuman penjara bukan merupakan jalan yang terbaik bagi anak. Hal ini disebabkan yang

diperlukan bagi seorang anak adalah pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi. Secara khusus, tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang

menetapkan standar tindakan diversi untuk pelaksanaan penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh aparat kepolisian. Berdasarkan kewenangan diskresi yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang menyatakan

8

(27)

bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum

yang bertanggung jawab.

Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tindakan lain sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5. Menghormati hak asasi manusia.

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menentukan bahwa untuk kepentingan umum, pejabat

kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian

(plichtmatigheids beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk ber-tindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun

(28)

menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada kemampuan

subyektifnya sebagai petugas.9

Telegram Kabareskrim Polri No. TR/1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian yang merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal

18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang memberikan kewenangan diskresi kepada aparat kepolisian, maka penanganan perkara tindak pidana anak tidak seharusnya dilakukan dengan mengikuti sistem peradilan pidana formal

yang ada. Dengan kata lain bahwa, sesuai kewenangan yang dimilikinya, maka dalam penanganan perkara tindak pidana anak, aparat kepolisian dapat lebih leluasa mengambil tindakan berupa tindakan pengalihan (diversion) di luar dari

sistem peradilan pidana formal.

Telegram Kabareskrim Polri No. TR/1124/XI/2006tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam

pelaksanaan diversi bagi aparatur kepolisian. Telegram Kabareskrim Polri No. TR/1124/XI/2006 menyebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari

penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, anak baik tanpa maupun disertai peringatan

informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya

masyarakat setempat.

9

(29)

Kepada kepolisian diarahkan agar sedapat mungkin mengembangkan prinsip

diversi dalam model restorative justice guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman dalam komunitas setempat bahwa perbuatan anak dalam tindak pidana harus dipahami sebagai

kenakalan anak akibat kegagalan/kesalahan orang dewasa dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa. Tindak pidana anak juga harus dipandang

sebagai pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia sehingga memunculkan kewajiban dari semua pihak atau seluruh komponen masyarakat untuk terus berusaha dan membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik melalui

kelibatan semua pihak untuk mengambil peran guna mencari solusi terbaik, baik bagi kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban dan juga bagi kepentingan

anak sebagai pelaku di masa sekarang dan di masa datang.

Setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan pendekatan

restorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum

formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi serta

dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum. Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan merupakan langkah terakhir (ultimum remidium), dan pelaksanaanya harus dipisahkan dari tahanan dewasa.

Selain itu ada Kesepakatan Bersama Departemen Sosial Republik Indonesia,

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik

(30)

Berhadapan dengan Hukum. Pasal 2 ayat (1) kesepakatan ini menyebutkan tujuan

dibuatnya kesepakatan ini adalah untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengutamakan pendekatan keadilan restoratif serta agar penanganannya lebih terintegrasi dan

terkoordinasi. Pasal 9 huruf f kesepakatan ini disebutkan salah satu tugas dan tanggung jawab Kepolisian adalah mengupayakan diversi dan keadilan restoratif

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku, dengan mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan demi kepentingan terbaik anak.10

B. Tindak Pidana Penganiayaan

Kejahatan terhadap tubuh dalam KUHP hal ini disebut dengan penganiayaan

tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Penganiayaan merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Pasal 351 KUHP mengatakan bahwa

penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.11 Kata penganiayaan tidak menunjuk pada perbuatan tertentu, misalnya kata mengambil

dalam pencurian, maka dapat dikatakan bahwa kini pun tampak pada perumusan

10

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 9 huruf f Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor: 166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor: 148 A/A/JA/12/2009, Nomor: B/45/XII/2009, Nomor: M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Nomor: 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor: 02/Men.PP dan PA/XII/2009 Tahun 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

11

(31)

secara material, akan tetapi tampak secara jelas apa wujud akibat yang harus

disebabkan.

Ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP dapat diketahui perumusannya hanya menggunakan kualifikasi delik saja, maksudnya perumusan pasal tersebut hanya

menyebutkan delik atau tindak pidananya saja, tidak menguraikan unsur-unsur delik.12 Interpretasi harus menggunakan untuk mencari apa yang dimaksud dengan penganiayaan. Interpretasi tersebut, yaitu:

1. Pertama-tama harus melakukan interpretasi ontentik, yaitu melihat pada Buku I KUHP, akan tetapi dalam Buku I tidak ada penjelasan tentang penganiayaan;

2. Apabila interpretasi otentik tidak ada, maka dilanjutkan dengan melakukan interpretasi historis, yaitu berdasarkan sejarah pembentukan KUHP.13

Secara historis, menurut penjelasan Menteri Kehakiman Belanda ke parlemen pada waktu itu pembentukan Pasal 351 KUHP terdiri dari dua rumusan yang intinya memberikan batasan sekaligus menguraikan unsur-unsur perbuatan

penganiayaan, yaitu:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau

2. Setiap perbuatan yang dilakukan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain.14

12

Tri Andrisman, Delik Khusus Dalam KUHP, (Bandar Lampung: Unila, 2009), Hlm. 129

13

Tri Andrisman, Op. cit. Hlm. 129

14

(32)

Unsur kesengajaan ini kini terbatas pada wujud tujuan, tidak seperti unsur

kesengajaan dari pembunuhan. Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 (dua) macam, yaitu:

a. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 s/d 358.

b. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 BAB XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka.15

Kejahatan terhadap tubuh dan terhadap nyawa mempunyai hubungan dekat, yakni adanya keserupaan perbuatan yang sifat dan wujudnya pada umumnya berupa

kekerasan fisik. Perbedaan diantaranya adalah akibat yang ditimbulkan oleh perkosaan atas nyawa adalah semata-mata bergantung pada akibat yang timbul

setelah terwujudnya perbuatan. Kejahatan yang wujud akibat perbuatannya berupa luka pada hati (sakit hati,sedih dan merana) tidak termasuk dalam kejahatan terhadap tubuh meski hati termasuk bagian dari tubuh, karena wujud perbuatan

dari kejahatan terhadap tubuh menggandung sifat kekerasan pada fisik dan harus menimbulkan rasa sakit tubuh atau luka tubuh. Adapun luka di sini diartikan dengan terjadinya perubahan dari tubuh, atau menjadi lain dari rupa semula

sebelum perbuatan itu dilakukan, misalnya lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak pada pipi dan lain sebagainya, maka kejahatan yang wujud akibat perbuatannya berupa luka pada hati tidak termasuk dalam kejahatan terhadap

tubuh melainkan masuk dalam hal kejahatan terhadap kehormatan.

15

(33)

C. Tinjauan Tentang Anak dan Pemidanaan Terhadap Anak

Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat diketemukan dalam

beberapa peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

(delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam

kandungan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 8 (delapan) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan

tindak pidana, akan tetapi bila anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

(34)

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

menyatakan anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Pengertian anak dalam hal ini dibatasi dengan

syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, sedangkan syarat kedua adalah anak

belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka anak tersebut dianggap sudah

dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.

Berkaitan dengan hal dapatkah anak dipidana, serta tindakan apa yang dapat diambil dan dasar hukumnya, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak menegaskan bahwa:

(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan tindakan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik;

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya;

(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen sosial setelah mendengarkan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.16

16

(35)

Mengenai batas umur anak yang diajukan ke sidang anak diatur dalam Pasal 4 dan

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu sebagai berikut:

1. Sekurang-kurangnya berumur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Ketentuan ini kemudian telah dilakukan koreksi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang menentukan batas minimum anak diajukan ke sidang adalah sekurang-kurangnya 12 tahun;

2. Pada anak melakukan tindak pidana dalam batas umur tersebut di atas, tetapi pada saat diajukan ke sidang anak telah berumur melampaui batas tersebut di atas, apabila anak tersebut belum mencapai umur 21 tahun, tetap diadili di sidang anak;

3. Anak yang melakukan tindak pidana di bawah umur 12 tahun, masih dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, tetapi tidak dapat diajukan ke sidang anak.17

Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang terbaru untuk

mengangani anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana. Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi

saksi tindak pidana. Selanjutnya Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

17

(36)

D. Konsep Diversi Terhadap Anak Dalam Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Diversi berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebuah tindakan atau perlakuan

untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana telah mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap

jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan

aparat penegak hukum yang disebut discretion atau diskresi. Penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan.18 Selain itu

terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan

pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi.19

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk

18

M. Lutfi Chakim. Konsep Diversi. http://lutfichakim.blogspot.com/2012/12/konsep-diversi.html?m=1, diakses tanggal 4 April 2013

19

(37)

memperbaiki kesalahan.20 Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus

anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah:21

a. Untuk menghindari anak dari penahanan;

b. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

c. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak; d. Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;

e. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal dan menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;

f. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

Substansi konsep diversi yang paling mendasar dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari

dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.22 Sangat diperlukan peran

serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan

20

(38)

pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.23 Keadilan

Restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan

melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan

pembalasan.24

Dari kasus yang muncul, ada kalanya anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga anak korban dan/atau anak saksi juga diatur dalam undang-undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan

perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai

umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.25

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di

pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak, namun sebelum

masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib

23

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

24

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

25

(39)

mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui diversi

berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.26

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum

mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak

dilaksanakan berdasarkan asas:

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; g. Pembinaan dan pembimbingan anak;

h. Proporsional;

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. Penghindaran pembalasan.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak menyatakan bahwa:

(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.

(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

26

(40)

(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan diversi bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa:

(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. (3) Proses Diversi wajib memperhatikan:

a. kepentingan korban;

b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif;

d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan

(41)

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak menyatakan bahwa:

(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana; b. umur anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

(2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a. tindak pidana yang berupa pelanggaran; b. tindak pidana ringan;

c. tindak pidana tanpa korban; atau

d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa:

(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk:

a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. rehabilitasi medis dan psikososial;

c. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

(42)

dilaksanakan. Disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian untuk melaksanakan kewenangan diskresinya dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam kasus-kasus pidana

yang ringan.

E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut, sedangkan

menurut Satjipto Rahardio, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat

undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum) menjadi kenyataan.27 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat

diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound (1870-1874), maka La Favre menyatakan, bahwa pada hakekatnya diskresi berada di antara hukum dan

moral.28

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah

demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain dari itu,

27

Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. (Bandung: Sinar Baru, 1983), Hlm. 24.

28

(43)

maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai

pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim

tersebut berakibat mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.29

Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan

hukum adalah dua hal yang berbeda.30 Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum

tidak sama dengan menggunakan hukum.

Penegakan hukum merupakan subsistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik,

ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan

bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik

negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.31

29

Soerjono Soekanto, Op. cit.Hlm. 4

30

Satjipto Rahardjo. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Cetakan Kedua. (Jakarta: Buku Kompas, 2006), Hlm. 169

31

(44)

Penegakan hukum tidak terlepas dengan adanya aparatur penegak hukum.

Aparatur penegak hukum mencakup institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparatur penegak hukum dalam arti sempit merupakan aparatur yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari

saksi, kepolisian, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak

yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali

(resosialisasi) terpidana.

Penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun

faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.32

Ad a. Faktor hukumnya sendiri/substansi.

Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan

semakin sulit untuk menegakkannya. Ilmu dan teknologi hukum yang cukup

32

(45)

diperlukan dalam menyusun hukum yang baik. Peraturan hukum yang baik itu

adalah peraturan hukum yang:

1. Yuridis, yaitu apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini berarti pula peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. 2. Sosiologis, yaitu apabila hukum tersebut diakui atau diterima oleh

masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/diberlakukan.

3. Filosofis, yaitu apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi, yaitu masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.33

Ad b. Faktor penegak hukum.

Penegak hukum adalah pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral daripada proses

penegakan hukum.34 Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Indonesia masih terdapat kecenderungan yang kuat, untuk senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya, apabila penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya

hukum yang diterapkannya juga baik.35

Ad c. Faktor sarana atau fasilitas.

Penegakan hukum tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas

(46)

Ad d. Faktor masyarakat

Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakan hukum di masyarakat karena hukum adalah berasal dari masyarakat dan diperuntukkan mencapai keadilan di masyarakat pula. Kesadaran

hukum adalah pengetahuan, penghayatan dan ketaatan masyarakat akan adanya hukum.37 Kesadaran tersebut dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, politik dan

sebagainya. Taraf kesadaran hukum para warga masyarakat, merupakan faktor yang penting di dalam menegakkan hukum.38

Ad e. Faktor kebudayaan (culture).

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang

berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga

dihindari). Kebudayaan mendasari adanya hukum adat, yakni hukum kebiasaan yang berlaku.39

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektifitas penegakan

hukum. Proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya; dan

37

Soerjono Soekanto, Op. cit. 2007, Hlm. 5

38

Ibid, Hlm. 5

39

(47)

Referensi

Dokumen terkait

Dimana dengan menggunakan sistem ini akan didapat suatu jaringan tanpa kabel yang dapat menambah jangkauan jaringan menjadi lebih luas dan dengan biaya infrastruktur jaringan yang

Untuk menghitung besarnya kecerdasan emosional dan motivasi belajar terhadap kemampuan menghafal Al- Qur’an siswa di SD Alam Mutiara Umat dengan menggunakan angka

Tidak adanya hubungan dari peningkatan kadar HbA1c dapat disebabkan karena pengukuran kadar HbA1c hanya menggambarkan kadar glukosa dalam darah dengan rentan waktu

Karena bila ia merasa tidak nyaman, anak akan merasa takut untuk ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan fisik yang dilakukan teman-temannya.. Akan lebih baik bila ibu dan

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Serangan penyakit gugur daun Colletotrichum yang berat terjadi pada wilayah dengan curah hujan di atas 3000-4000 mm/tahun dan suhu udara antara 25 ° -28 ° C bersamaan pada

Rapat ) and copies of KTP or other identification. a) Shareholders who can not attend, can be represented by a proxy with valid Powers of Attorney as determined by

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu Penyajian informasi rumah adat menggunakan media 3D (Tiga dimensi) lebih memudahkan user untuk mengetahuai bentuk asli dari