• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SISTEM PANASBUMI DAERAH “ES” BAGIAN BARATLAUT BERDASARKAN MODEL INVERSI 2D MAGNETOTELURIK DAN DATA GEOKIMIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS SISTEM PANASBUMI DAERAH “ES” BAGIAN BARATLAUT BERDASARKAN MODEL INVERSI 2D MAGNETOTELURIK DAN DATA GEOKIMIA"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SISTEM PANASBUMI DAERAH “ES”BAGIAN BARATLAUT BERDASARKAN MODEL INVERSI 2D MAGNETOTELURIK DAN

DATA GEOKIMIA

(Skripsi)

Oleh

M. P. Bagus Wicaksono

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ANALISIS SISTEM PANASBUMI DAERAH “ES”BAGIAN BARATLAUT BERDASARKAN DATA MAGNETOTELURIK DAN GEOKIMIA

Oleh:

M. P. Bagus Wicaksono

Telah dilakukan penelitian dengan menggunakan metode magnetotelurik (MT) dan geokimia pada daerah “ES” bagian baratlaut, Jawa Timur. Metode Magnetotelurik (MT) merupakan metode eksplorasi geofisika yang menggunakan sumber gelombang elektromagnetik (EM) alami yang berubah terhadap waktu, untuk memetakan kontras resistivitas batuan bawah permukaan. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan resistivitas, dan analisis geokimia untuk mendapatkan karakterisitik (berupa jenis fluida dan temperatur reservoar) dan model sistem panasbumi. Berdasarkan hasil pemodelan diperoleh lapisan yang memiliki nilai resistivitas 9-15 Ω m diperkirakan sebagai caprock dan berada pada kedalaman 100-500 m dengan ketebalan 300-400. Lapisan yang memiliki nilai resistivitas ≤ 10 Ω m diperkirakan sebagai reservoar dan berada pada kedalaman 500-1000 m dengan ketebalan 800-1500 m. Maninfestasi air panas pada daerah penelitian termasuk dalam jenis air panas tipe bikarbonat (HCO3), yang berupa campuran air reservoar dengan air meteorik (air permukaan) dan merupakan daerah lateral outflowdengan temperatur reservoar berkisar 350°C.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF GEOTHERMAL SYSTEM IN NORTHWEST REGION OF “ES” AREABASED ON 2D INVERSION MAGNETOTELLURIC MODEL

AND GEOCHEMISTRY DATA

By

M. P. Bagus Wicaksono

Has done research by using magnetotelluric method (MT) and geochemistry in northwest region of “ES”, East Java. Magnetotelluric method (MT) is a geophysical exploration method that uses a natural source of electromagnetic waves (EM) that vary with time to map the subsurface contrasts resistivity of rock. The magnetotelluric method is used to build a 2D modelling and the geochemical analysis is performed to obtain the characteristics of geothermal system (type of fluid and reservoir temperature) so getting geothermal system model. Based on modeling results the caprock layer has a resistivity value about 9-15Ω mwith depth 100-500m and thicknees about 300-400m. Layer which has a resistivity value of ≤ 10 Ω m is estimated as a reservoair and located on a depth about 500-1000m with thickness of 800-1500m. Spring water manifestation in the research area is included as a bicarbonate (HCO3), which is a mixture of reservoir water with meteoric water (surface water) and located in lateral outflow region with reservoir temperatur for about 350oC.

(4)

Oleh

M. P. BAGUS WICAKSONO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

Penulis dilahirkan di Kota Bandarjaya pada tanggal 08 Juli 1993, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Edi Siswanto dan Ibu Sugiarti.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Yos Sudarso Bandarjaya Timur diselesaikan tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Yos Sudarso Bandarjaya Timur pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP N 4 Terbanggi Besar pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 1 Terbanggi Besar pada tahun 2010.

(9)

viii

(10)

TUHAN YANG MAHA ESA

Ayahanda tercinta, Bapak Edi Siswanto

Ibunda terkasih, Ibu Sugiarti

Saudara kandungku,

Ig. Wawan Kurniawan, Gregorius M. S. B

dan Keluarga besarku

Teknik Geofisika UNILA 2010

Keluarga Besar Teknik Geofisika UNILA

Almamater Tercinta UNILA

(11)

“Masa depan tergantung pada apa

yang kita lakukan dimasa

sekarang.”

(Mahatma Gandhi)

Semakin sulit perjuangannya semakin besar

kemenangannya.

(Thomas Paine)

(12)

^_^-xi

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul“Analisis SistemPanasbumi Daerah “ES” Bagian Baratlaut

Berdasarkan Model Inversi 2D Magnetotelurik dan Data Geokimia”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Hariyanto, selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Bapak Prof. Drs. Suharno, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknik

Unila.

3. Bapak Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Geofisika Unila;

4. Bapak Syamsurijal R., S.Si., M.Si., selaku pembimbing I atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(13)

xii

6. Bapak Rustadi, M.T., selaku dosen akademis dan penguji atas kesediaannya untuk meluangkan waktunya, memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

7. Bapak Toni Rahadinata, S. Si., selaku pembimbing Tugas Akhir di Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung yang telah memberikan banyak masukan. Terima kasih atas waktu, ilmu, saran, kritik, dan inspirasi yang telah diberikan;

8. Dosen-dosen Jurusan Teknik Geofisika Unila, Bapak Prof. Drs. Suharno, M.Sc., Ph.D., Bapak Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T., Bapak Dr. H. Muh. Sarkowi, S.Si., M.Si., Bapak Alimuddin Muchtar, M.Si., Bapak Rustadi, M.T., Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.T., Bapak Ordas Dewanto, M.Si., Bapak Karyanto, M.T., Bapak Nandi H., M.Si., dan Bapak Syamsurijal R., M.Si., yang telah memberikan ilmu yang luar biasa dan memotivasi penulis untuk selalu menjadi lebih baik selama di perkuliahan Jurusan Teknik Geofisika Unila;

9. Seluruh Staf Tata Usaha Jurusan Teknik Geofisika Unila, Pak Marsono, Mbak Dewi, dan Mas Pujiono, yang telah memberi banyak bantuan dalam proses administrasi;

10. Staf Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung, Pak Asep, Pak Kholid, Pak Toni, Pak Aziz, Pak Erwin dan Pak Reza. Terima kasih atas bantuannya selama 1,5 bulan penulis melaksanakan Penelitian Tugas Akhir di PSDG; 11. Teman seperjuangan Teknik Geofisika Unila angkatan 2010, Anita, Farhan,

(14)

xiii

upacara PROPTI dan terimakasih atas bantuan serta semangat yang telah diberikan. Semangat dan sukses untuk kita semua;

12. Kakak tingkat dan senior Teknik Geofisika angkatan 2007, 2008, 2009, khususnya Kak Sinku, (Alm.) Kak Agung, Kak Irfan dan Kak Zuhron, yang telah memberikan banyak dukungan dan masukan yang sangat bermanfaat untuk penulis;

13. Adik-adik tingkat angkatan 2011, 2012, 2013, dan 2014, yang selalu memberi semangat;

14. Teman-Teman“Kost Banyu Biru”: Yunus (Pak RT), Bagus Bagh, Aji, Deni, Pras, Angga, Riky, Viky, Emil, Lutvi, Noval, dan para sesepuh yang telah terlebih dahulu meninggalkan kost Nining, Hendi, Dedo, Agung, Deo dan Mas Indro terimakasih untuk waktu yang menyenangkan dan semangatnya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Juli 2015

(15)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Persamaan geotermometersilica... 43

Tabel 2. Beberapa rumus geotermometer NaK... 44

Tabel 3. Jadwal Penelitian... 48

Tabel 4. Data sampel geokimia air... 59

Tabel 5. Data sampel geokimia gas... 59

Tabel 6. Hasil pengolahan kesetimbangan ion sampel air panas ... 60

Tabel 7. Hasil perhitungan presentasi konsentrasi ClSO4HCO3... 61

Tabel 8. Hasil perhitungan presentasi konsetrasi NaKMg ... 63

Tabel 9. Hasil perhitungan temperatur reservoar dengan menggunakan geotermometer air ... 65

Tabel 10. Hasil perhitungan temperatur reservoar dengan menggunakan geotermometer gas... 65

Tabel 11. Pengkajian terhadap struktur resistivitas reservoir di Broadlands-Ohaaki... 74

(16)
(17)

xix

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Peta lokasi daerah panasbumi Gunung Arjuno-Welireang ... 4

Gambar 2. Peta geologi daerah panasbumi komplek Gunung Arjuno Welirang. ... 9

Gambar 3. Kondisi hidrologi dari sistem dominasi uap ... 21

Gambar 4. Kondisi hidrologi dari sistem dominasi air ... 21

Gambar 5. Sumber gelombang MT ... 24

Gambar 6. Sumber gelombang MT A. Solar Wind; B. Kilat ... 25

Gambar 7. Contoh noise yang koheren ... 26

Gambar 8. Komponen medan listrik dan medan magnet dalam Polarisasi TE dan TM pada model 2-D ... 34

Gambar 9. Diagram segitiga Cl – SO4 – HCO3 ... 40

Gambar 10. Diagram segitiga Na – K – Mg ... 41

Gambar 11. Diagram kelarutan silica terhadap temperatur ... 43

Gambar 12. Kurva pemodelan inverse 1D ... 52

Gambar 13. P-Section lintasan 1 ... 53

Gambar 14. P-Section lintasan 2 ... 54

Gambar 15. Model 1D bostick lintasan 1 ... 55

(18)

xx

Gambar 17. Model 1D bostick lintasan 2 ... 56

Gambar 18. Model 1D occam lintasan 2 ... 56

Gambar 19. L-Curve lintasan 1 ... 57

Gambar 20. L-Curve lintasan 2 ... 57

Gambar 21. Diagram alir analisis data ... 58

Gambar 22. Plotting diagram segitiga Cl – SO4 – HCO3 ... 62

Gambar 23. Plotting diagram segitiga Na – K – Mg ... 64

Gambar 24. Kurva kedalaman terhadap temperatur bawah pemukaan ... 67

Gambar 25. Peta geologi dan titik pengukuran MT ... 69

Gambar 26. Lintasan topografi MT dengan menggunakan winglink ... 70

Gambar 27. Hasil inversi 2D pada lintasan 1 ... 71

Gambar 28. Hasil inversi 2D pada lintasan 2 ... 72

Gambar 29. Interpretasi hasil inversi 2D pada lintasan 1 ... 75

Gambar 30. Interpretasi hasil inversi 2D pada lintasan 2 ... 77

(19)
(20)

xv

2.1. Lokasi Daerah Penelitian ... 4

2.2. Manifestasi Panasbumi ... 5

2.3. Geologi Daerah Penelitian 2.3.1. Geomorfologi ... 6

2.3.2. Stratigrafi dan Struktur Geologi ... 8

2.3.3. Batuan Ubahan ... 17

BAB III. TEORI DASAR 3.1. Sistem Panasbumi ... 18

3.2. Metode Magnetotelorik ... 22

3.2.1. Sumber Medan Magnetotelurik ... 23

3.2.2. Sumber Noise ... 25

3.2.3. Persamaan Dasar Magnetotelurik ... 27

3.2.4. Tensor Impedansi (Z) ... 30

3.2.5. Metode Pengukuran MT 3.2.5.1. Mode TE ( Transverse Electric) ... 33

3.2.5.2. Mode TM (Transverse Magnetic) ... 33

3.2.6. Efek Statik ... 34

3.4.2. Geoindikator dan Tracer 3.4.2.1. Diagram Segitiga Cl – SO4– HCO3 ... 39

3.4.2.2. Diagram Segitiga Na – K – Mg ... 41

3.4.3. Geotermometer 3.4.3.1. Geotermometer silika ... 42

3.4.3.2. Geotermometer Na – K ... 44

3.4.3.3. Geotermometer Na – K – Ca ... 45

3.4.3.4. Geotermometer Gas ... 46

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 48

4.2. Alat dan Bahan ... 48

(21)

xvi

4.3.2.1. Pengolahan Data Magnetotelurik ... 49

4.3.2.2. Koreksi Statik ... 50

4.3.2.3. Pemodelan Data Magnetotelurik ... 51

4.4. Diagram Alir ... 58

5.1.3.3. Geotermometer Gas ... 66

5.2. Metode Magnetotelurik 5.2.1. Geologi Daerah Penelitian ... 68

5.2.2. Pemodelan 2D 5.2.2.1. Struktur Resistivitas Lintasan 1 ... 70

5.2.2.2. Struktur Resistivitas Lintasan 2 ... 71

5.2.3. Analisis dan Pembahasan ... 72

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA

(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Energi panas bumi atau geothermal merupakan suatu energi alternatif yang bersifat renewable (dapat diperbaharui), dan bersumber dari aktivitas tektonik di dalam bumi. Sumber energi panas bumi di Indonesia tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Potensi ini terkait dengan kondisi geologi Indonesia yang merupakan daerah subduksi dan gunungapi. Untuk menggambarkan potensi panas bumi di suatu daerah perlu dilakukan karakterisasi melalui survei geologi, geokimia dan geofisika (Hochstein, 2000).

(23)

2

Daerah penelitian ini berada di daerah “ES” yang terletak di provinsi Jawa Timur. Secara geografis daerah “ES” ini berada pada titik koordinat 112o29’12”– 112o37’39”BT sampai 7o37’56”–7o49’51”LS atau terletak pada koordinat UTM antara 665500–679250 mT dan 9139000–9158200 mU. Daerah “ES” merupakan sebuah komplek gunung api kembar berjenis stratovolcano. Keberadaan daerah panasbumi “ES” ini ditandai dengan ditemukan mata air panas di beberapa lokasi, dijumpai endapan sinter di sekitar mata air panas serta fumarol. Daerah ini secara umum berlingkungan lava dan aliran piroklastik. Daerah penelitian ini sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian, salah satunya dilakukan oleh Ferra Nidya untuk menganalisis karakteristik panasbumi dengan menggunakan data yang berasal dari Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung, berupa data magnetotelurik bagian barat dan data geokimia.

Berdasarkan dari pemaparan di atas, peneliti melakukan analisis sistem panasbumi daerah “ES” dengan menggunakan model inversi 2D data magnetotelurik bagian baratlaut dan data geokimia sampel air dan gas yang

diambil dari maninfestasi pada daerah “ES” yang digunakan untuk menganalisis

karakteristik sistem panasbumi (jenis air dan temperatur), dan berdasarkan informasi geologi yang ada, sehingga didapat gambaran akan sistem panas bumi

daerah “ES”.

1.2. Tujuan

1. Menentukan struktur lapisan bawah permukaan berdasarkan pemodelan inversi 2D data magnetotelurik.

(24)

model inversi 2D magnetotelurik dan data geokimia.

1.3. Batasan Masalah

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lokasi Daerah Penelitian

Secara administratif Gunung Arjuno-Welirang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis Gunung Arjuno-Welirang berada pada koordinat 112o29’12”– 112o37’39”BT sampai 7o37’56”–7o49’51”LS atau terletak pada koordinat UTM antara 665500 – 679250 mT dan 9139000 – 9158200 mU pada proyeksi peta Universal Transverse Mercator (UTM) Datum WGS 1984 zona 47S. Untuk lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi daerah panasbumi Gunung Arjuno-Welirang (Tim Survei Geologi dan Geokimia PSDG, 2010)

BUJUR

LI

N

T

AN

(26)

2.2. Manifestasi Panas Bumi

Sebaran manifestasi panasbumi di komplek Arjuno-Welirang dapat dibedakan menjadi lima lokasi berupa tiga kelompok air panas (Padusan, Coban dan Cangar), fumarol dan alterasi di puncak Welirang, serta alterasi di sekitar Gunung Pundak (PSDG, 2010).

a. Air Panas Padusan

Terdiri dari 3 titik lokasi air panas yang berada di Kali Kretek. Air panas muncul pada batuan aliran piroklastik dan bongkah lava andesit produk Gunung Welirang. Pada elevasi 893 - 901 m dpl yang bertemperatur 50°C dan 55°C, pada temperatur udara di lokasi 22°C dan 25°C, jernih, tidak berbau dan tidak terasa, pH 5,87 – 6,30 dengan debit masing-masing 2 L/detik dan terdapat lapisan sinter karbonat dan oksida besi yang cukup banyak.

b. Air Panas Coban

(27)

6

d. Fumarol

Sebaran fumarol berada pada masing-masing puncak kerucut komplek Gunung Arjuno–Welirang seperti di kawah Gunung Arjuno, Gunung Kembar I, Kembar II dan kawah Gunung Welirang (Plupuh dan Jero). Temperatur terukur dilakukan di Kawah Plupuh dengan kisaran antara 94,1°C – 137,5°C, pada temperatur udara 17,2°C, hembusan kuat, beberapa tempat disertai sublimasi belerang membentuk solfatara. Solfatara dan fumarol Gunung Welirang terdapat pada elevasi 3050 – 3150 m dpl.

e. Alterasi

Sebaran alterasi batuan terbagi di dua lokasi yaitu di sekitar Kawah Plupuh, dan di bawah Gunung Pundak. Alterasi yang muncul di sekitar kawah memiliki penyebaran yang cukup luas hingga ke lereng Welirang – Kembar I. Alterasi yang nampak berwarna keputih-putihan, kemerahan, abu-abu dan kecoklatan. Alterasi yang kedua terdapat di bawah Gunung Pundak pada koordinat x = 672529 dan koordinat y = 9150021 dengan elevasi diatas 1000 m berwarna keputih-putihan pada lava produk Gunung Pundak yang merupakan erupsi samping.

2.3. Geologi Daerah Penelitian 2.3.1. Geomorfologi

Satuan morfologi di komplek Arjuno-Welirang dapat dibedakan menjadi tujuh satuan geomorfologi (Soetoyo, 2010) yaitu:

a. Satuan geomorfologi tubuh Gunung Anjasmoro

(28)

piroklastik produk Gunung Anjasmoro Satuan morfologi tersusun oleh batuan lava andesitik produk Gunung Arjuno-Welirang tua.

b. Satuan geomorfologi tubuh tua komplek Arjuno-Welirang

Kondisi daerah terjal dengan sungai-sungai membentuk pola sub-dendritik dan bentuk lembah yang sempit.

c. Satuan geomorfologi erupsi samping Gunung Bulak dan Pundak

Puncak ketinggian berada di Gunung Pundak dan Gunung Bulak yang tersusun oleh lava andesit. Kemiringan lereng terjal dengan sungai membentuk pola aliran radial.

d. Satuan geomorfologi tubuh muda Gunung Arjuno-Welirang

Tersusun oleh batuan lava andesit, aliran piroklastik produk gunungapi Sin-Arjuno Welirang seperti Gunung Arjuno, Gunung Welirang, Gunung Bakal serta Gunung Kembar I dan II. Kemiringan lereng antara bergelombang hingga terjal dengan sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran radial dan sub-dendritik serta lembah V yang dalam.

e. Satuan puncak Gunung Arjuno-Welirang

Satuan ini menempati bagian tengah dari komplek Gunung Arjuno-Welirang pada masing-masing puncak Gunung Arjuno, Gunung Welirang, Gunung Bakal serta Gunung Kembar I dan II. Tersusun oleh batuan lava andesit dan aliran piroklastik.

f. Satuan kaki Gunung Arjuno-Welirang

(29)

8

limpasan (discharge), tempat munculnya air panas Cangar, Padusan dan Coban. Disamping itu banyak pula muncul mata air dingin dengan debit yang besar.

g. Satuan kaki Gunung Penanggungan

Tersusun oleh aliran piroklastik produk Gunung Penanggungan. Kemiringan lereng landai.

2.3.2. Sratigrafi dan Struktur Geologi

(30)

Gambar 2. Peta geologi daerah panasbumi komplek Gunung Arjuno-Welirang (Tim Survei Geologi PSDG, 2010)

(31)

10

Berdasarkan Gambar 2 maka untuk komponen startigrafi daerah Gunung Arjuno-Welirang dapat dijelaskan (Soetoyo, 2010) sebagai berikut:

a. Satuan Lava Anjasmara (Qla)

Satuan ini tersebar di bagian barat daerah survei, tersusun oleh lava andesit basaltis dan breksi vulkanik. Lava andesit berwarna abu-abu gelap afanitik porfiritik, keras dan masif. Di beberapa daerah terlihat jelas struktur vesikular yang mencerminkan lava pada bagian atas, terdapat kekar berlembar (sheeting joint), tebal satuan ini lebih dari 1000 m dengan ciri topografi curam dengan bentuk dinding sesar yang cukup luas dengan bentuk radial seperti rim kaldera.

Batuan tersusun oleh plagioklas dan mineral mafik (olivin, piroksen) yang cukup banyak. Singkapan muncul di sepanjang jalan dari arah padusan ke arah kota Batu. Breksi vulkanik berwarna abu-abu gelap sampai kehitaman, menyudut, kompak dan keras, terdiri dari komponen lava basaltik berukuran lapili – bom tersusun oleh mineral plagioklas dan piroksen, matriks berwarna coklat kehitaman tersusun tufa kasar.

b. Lava Tua Arjuno-Welirang (Qltaw)

(32)

c. Aliran Piroklastik Tua Arjuno–Welirang (Qaptaw)

Satuan ini terhampar di bagian selatan daerah survei, berupa aliran piroklastik berwarna abu-abu kecoklatan, terdiri dari komponen lava, scorea dan pumice berukuran lapili sampai bom, menyudut sampai menyudut tanggung, vesikular tertanam dalam matrik tufa pasiran berwarna kecoklatan. Satuan ini diperkirakan merupakan produk eksplosif dari tubuh lava tua komplek Arjuno-Welirang yang berumur Kuarter awal, hal tersebut berkaitan dengan munculnya pumice dan scorea yang merupakan material hasil eksplosif besar. Disamping itu pembentukan satuan ini diperkirakan berhubungan dengan runtuhnya tubuh Arjuno-Welirang yang membentuk struktur ring fracture.

d. Aliran Piroklastik Penanggungan (Qapp)

Satuan ini tersebar di bagian timur laut daerah survei, tersusun oleh aliran piroklastik berwarna abu-abu kecoklatan dengan komponen lava andesit produk Gunung Penanggungan, angular. Matrik batuan berupa tuf berwarna kecoklatan.

e. Erupsi Samping (Qes)

(33)

12

f. Lava Welirang 1 (Qlw1)

Satuan ini tersebar di bagian tengah ke arah utara daerah survei. Lava basalt berwarna abu-abu kehitaman, porfiritik, masif, terdiri dari mineral plagioklas, piroksen, olivin dan mineral sekunder berupa mineral lempung dan oksida besi. Satuan ini diduga merupakan produk Sin-Arjuno Welirang yang terbentuk setelah terjadinya kolaps/subsiden pada batuan pra-ArjunoWelirang. Munculnya lava Welirang kemungkinan diakibatkan oleh terbentuknya struktur regional yang berarah baratlaut– tenggara yang memfasilitasi naiknya lava melalui zona tersebut kepermukaan. Struktur tersebut sejajar dengan munculnya pusat erupsi Gunung Kembar I, II dan Arjuno.

g. Aliran Piroklastik Welirang I (Qapw1)

Satuan ini tersebar di bagian utara daerah survei, di sekitar Padusan, Pacet hingga Kenang di kaki Gunung Penanggungan. Satuan ini memiliki hubungan yang selaras dengan Lava Welirang I. Diperkirakan terbentuk sebagai akibat adanya letusan eksplosif yang juga membentuk ring fracture yang menghasilkan produk aliran piroklastik yang tersebar luas dengan jatuhan piroklastik tipis.

Aliran piroklastik berwarna abu-abu tua kecoklatan, keras, menyudut dengan komponen lava andesit – basal berukuran bongkah – lapili yang tertanam pada matrik tuf berukuran sedang berwarna kecoklatan. Satuan ini menindih lava Welirang dan aliran piroklastik tua Pra-Arjuno Welirang. Jatuhan piroklastik tipis berwarna abu-abu tua, berukuran sedang tersingkap di daerah Claket menindih aliran piroklastik Welirang 1 dengan ketebalan <30 cm.

h. Lava Arjuno (Qlar)

(34)

penyebaran ke arah tenggara. Produk Arjuno terbentuk setelah terjadinya subsiden yang merupakan Sin-Arjuno Welirang. Batuan berkomposisi lava basalt, berwarna abu-abu kehitaman, afanitik – porfiritik, setempat terdapat struktur kekar berlembar. Mineral penyusun berupa plagioklas, piroksen dan olivin serta mineral lempung sedikit oksida besi. Satuan ini mengalami aktifitas struktur yang lebih kuat dibanding satuan lainnya dengan ditunjukkan dengan terbentuknya longsoran berarah tenggara dan timur laut.

i. Aliran Piroklastik Arjuno (Qapa)

Satuan tersebar di bagian tenggara daerah survei disekitar Tambaksari. Tersusun oleh aliran piroklastik produk Arjuno yang berwarna abu-abu kecoklatan, dengan komponen lava basalt berukuran lapili – bom dan matrik tuf kecoklatan berukuran sedang. Satuan ini menindih secara selaras satuan lava Arjuno.

j. Lava Welirang II (Qlw2)

Satuan ini menindih satuan lava Welirang I dengan pusat erupsi sama. Pada bagian puncak terbentuk kawah yang masih aktif dan terbagi menjadi dua lokasi. Kawah Jero berada di bagian puncak dan kawah Pluluh berada di tepian, hanya berjarak <500 m antara keduanya. Batuan berupa lava basalt dan aliran piroklastik. Pada masing-masing kawah terbentuk pengendapan belerang dalam jumlah yang banyak. Alterasi, solfatara dan fumarol ditemukan pada satuan ini.

(35)

14

k. Lava Kembar II (1) (Qlk2)

Satuan ini berada diantara puncak Arjuno dan Welirang, terbentuk setelah terjadinya proses amblesan yang kemudian membentuk pola kesejajaran pusat erupsinya, salah satunya dalah Gunung Kembar II. Aliran lava mengalir ke bagian barat hingga daerah Cangar. Komposisi batuan berupa lava basalt berwarna abu-abu, porfiritik dengan mineral penyusun berupa plagioklas, piroksen dan sedikit olivin.

l. Aliran Piroklastik Kembar II (1) (Qapk1)

Satuan ini penyebarannya kearah timur dari pusat erupsi Gunung kembar II. Mengisi bagian depresi pada elevasi yang lebih rendah akibat struktur Arjuno dan membentuk pada puncak Gunung Ringgit yang memiliki elevasi lebih tinggi.

m. Lava Kembar I (Qlk1)

Penyebaran dari lava Kembar ke arah barat dan timur dari puncak erupsinya. Karakteristik batuan berupa lava andesit hornbeln dengan presentasi mineral hornblen yang lebih banyak dari piroksen. Porfiritik dan terdiri dari mineral lava plagioklas, hornblen, piroksen yang tertanam dalam massa dasar gelas vulkanik. Vesikular akibat pelepasan gas di permukaan.

n. Aliran Piroklastik Kembar I (Qapk2)

(36)

o. Lava Bakal (Qlb)

Satuan ini penyebarannya hanya sedikit. Volume lava yang dikeluarkan tidak menyebar luas hingga ke lereng bawah komplek Arjuno–Welirang. Disamping itu aliran lavanya dibatasi oleh morfologi yang dibentuk oleh aliran piroklastik Kembar II. Satuan ini menindih lava Kembar II dan lava Arjuno.

p. Lava Kembar II (2) (QlkII 2)

Satuan ini diperkirakan merupakan produk terakhir dari pembentukan komplek Arjuno–Welirang yang didasarkan pada rekontruksi pola kemenerusan dan bentuk pola kontur. Satuan ini dibatasi oleh lava Bakal dan lava Kembar I.

Untuk struktur geologi daerah penelitian (seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2) dapat diklasifikasikan berdasarkan arah kelurusan pola strukturnya yaitu:

1. Sesar berarah Utara–Selatan.

Beberapa sesar pada arah ini diwakili oleh Sesar Cangar, Sesar Puncung dan Sesar Claket, berupa kelurusan manifestasi, munculnya gawir sesar dan air terjun serta perbedaan ketinggian pada topografi yang cukup terjal.

2. Sesar berarah Baratlaut–Tenggara.

(37)

16

pembentukan daerah impermeabel dalam sistem panas bumi Arjuno-Welirang.

3. Sesar berarah Baratdaya–Timurlaut.

Sesar ini diperkirakan sebagai sesar utama yang mempengaruhi munculnya komplek gunungapi Arjuno-Welirang. Sejajar dengan arah sesar basement yang berpola Meratus. Memiliki kecenderungan berasosiasi terhadap munculnya Gunung Penanggungan yang menerus ke arah lumpur Sidoarjo. Sesar ini diwakili oleh Sesar Welirang, Sesar Kembar dan Sesar Bulak. Kenampakan di lapangan berupa gawir yang membentuk air terjun.

4. Sesar berarah Barat–Timur.

Sesar ini diwakili oleh Sesar Ledug dan Sesar Ringit. Penarikan sesar didasarkan pada kelurusan topografi dan citra landsat.

5. Rim Kaldera Anjasmoro.

Sesar ini berjenis sesar normal yang membentuk gawir curam dan melingkar. Kenampakan di lapangan dapat dilihat jelas dari arah jalan menuju Cangar. Diperkirakan merupakan bentukan dari sisa kaldera tua yang terbentuk akibat aktivitas vulkano tektonik di komplek Anjasmoro.

6. Sektor amblasan (collapse).

(38)

Gunung Arjuno-Welirang yang memuntahkan material vulkaniknya sehingga terjadi kekosongan dan memicu munculnya produk vulkanik baru

2.3.3. Batuan Ubahan

Batuan ubahan dikelompokkan menjadi dua lokasi yaitu daerah alterasi di sekitar Kawah Plupuh dicirikan dengan kehadiran mineral ubahan yang didominasi oleh mineral alunit, hallosyit dan kaolinit dengan intensitas kuat, disamping itu terdapat oksida besi dalam jumlah yang cukup tinggi.

(39)

18

BAB III TEORI DASAR

3.1. Sistem Panasbumi

Sistem panasbumi adalah konveksi air dalam kerak bumi bagian atas dalam ruang terbatas, mengalirkan panas dari sumber panas ke resapan panas di permukaan. Sistem panasbumi terutama disebabkan oleh keberadaan sumber panas (heat source), reservoar dan fluida. Sumber panasbumi berasal dari dapur magma yang berada dibawah permukaan bumi, panas ini akan mengalir ke batuan disekitarnya melalui proses konduksi maupun konveksi dengan bantuan air. Ketika air sampai ke sumber panas (heat source) maka temperatur air akan meningkat. Jika temperatur yang diterima oleh air tinggi, sebagian air akan menguap sedangkan sebagiannya lagi akan tetap menjadi air. Fluida panas akan menekan batuan disekitarnya untuk mencari celah atau jalan keluar dan melepaskan tekanan. Ketika terdapat celah untuk sebagian fluida keluar ke permukaan, maka fluida tersebut akan keluar sebagai manifestasi permukaan.

(40)

yang mengalami perubahan ini disebut batuan alterasi yang dalam sistem panasbumi berfungsi sebagai claycap atau batuan penudung untuk menjaga proses akumulasi panas di reservoar.

Sercara garis besar sistem panasbumi dikontrol oleh adanya sumber panas (heat source), batuan reservoar, lapisan penutup, keberadaan struktur geologi dan daerah resapan air (Goff dan Janik, 2000).

Hochstein dan Browne (2000), mengkategorikan sistem panasbumi menjadi tiga sistem, yaitu :

1. Sistem hidrotermal, merupakan proses transfer panas dari sumber panas ke permukaan secara konveksi, yang melibatkan fluida meteoric dengan atau tanpa jejak dari fluida dari magmatic. Daerah rembesan berfasa cair dilengkapi air meteoric yang berasal dari daerah resapan. Sistem ini terdiri atas: sumber panas, reservoar dengan fluida panas, daerah resapan dan daerah rembesan panas berupa manifestasi.

2. Sistem vulkanik, merupakan proses transfer panas dari dapur magma ke permukaan melibatkan konveksi fluida magma. Pada sistem ini jarang ditemukan adanya fluida meteoric.

3. Sistem vulkanik-hidrotermal, merupakan kombinasi dua sistem di atas, yang diwakili dengan air magmatik yang naik kemudian bercampur dengan air meteorik.

Hochstein dan Soengkono (1997) mengklasifikasikan temperatur suatu sistem panasbumi menjadi tiga berdasarkan tempratur reservoar:

- Tinggi (temperatur reservoar lebih besar dari 225o C)

(41)

20

- Rendah (tempratur reservoar lebih kecil dari 125oC)

Sedangkan berdasarkan fase fluida di dalam reservoar, sistem panasbumi terbagi menjadi 2 (Simmons, 1998), yaitu :

1. Single Phase System

Reservoar megandung air panas dengan temperatur sekitar 90oC hingga 180oC dan tidak ada pendidihan yang terjadi di reservoar. Reservoar pada sistem ini termasuk sistem panasbumi bertemperatur rendah. Jika reservoar ini dibor, maka yang keluar berupa air karena rekahannya masih sangat tinggi.

2. Two Phase System

Two phase system terbagi menjadi 2, yaitu :

a. Vapour Dominated System

(42)

Gambar 3. Kondisi hidrologi dari sistem dominasi uap (Simmons, 1998) b. Water Dominated System

Merupakan sistem terbuka yang mana terdapat rechargeable water. Reservoar mengadung air dan uap namun lebih didominasi oleh air. Pada sistem ini terdapat outflow sehingga jenis manifestasinya lebih beragam. Adanya outflow dan rechargeable water membuat energi terlepas sehingga temperatur dan tekanan di reservoar berubah seiring dengan kedalamnya. Semakin dalam kedalamnya maka semakin tinggi tekanannya seperti yang ditunjukan di Gambar 4. Sedangkan temperatur di reservoar memiliki gradien panasbumi yang sangat kecil. Di atas reservoar terjadi arus konduksi sama seperti sistem vapour dominated.

(43)

22

3.2. Metode Magnetotelurik

Metode magnetotelurik (MT) adalah metode sounding elektromagnetik (EM) dengan mengukur secara pasif komponen medan listrik (E) dan medan magnet alam (H) yang berubah terhadap waktu. Perbandingan antara medan listrik dengan medan magnet yang saling tegak lurus disebut impedansi yang merupakan sifat kelistrikan suatu medium seperti konduktivitas dan resistivitas. Kurva sounding yang dihasilkan dari metode MT merupakan kurva resistivitas semu terhadap frekuensi yang menggambarkan variasi konduktivitas listrik terhadap kedalaman. Sehingga secara umum metode MT dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai struktur tahanan jenis bawah permukaan.

(44)

3.2.1. Sumber Medan Magnetotelurik

Metode MT merupakan salah satu metode geofisika yang memanfaatkan medan elektromagnetik (EM) alam. Medan EM tersebut ditimbulkan oleh berbagai proses fisik yang cukup kompleks sehingga menghasilkan rentang frekuensi yang sangat lebar yaitu 10-3–105 Hz. Gelombang elektromagnetik alam menyebar dalam arah vertikal di bumi karena perbedaan resitivitas antara udara dan bumi yang cukup besar. Sumber medan EM pada frekuensi rendah (<1Hz) berasal dari interaksi antara partikel yang dikeluarkan oleh matahari (solar plasma) dengan medan magnet bumi dan medan EM pada frekuensi tinggi (>1Hz) berasal aktivitas kilat (Jones et al., 1972).

Pada permukaan matahari (korona) selalu terjadi letupan plasma yang sebagian besar partikel yang dikeluarkannya adalah partikel hidrogen. Proses ionisasi di permukaan matahari menyebabkan hidrogen berubah menjadi plasma yang mengandung proton dan elektron. Plasma ini memiliki kecepatan relatif rendah bersifat acak dan berubah terhadap waktu yang dikenal sebagai angin matahari (solar wind). Apabila angin matahari berdekatan dengan medan magnet bumi, maka muatan positif dan muatan negatif yang terdapat dalam plasma akan terpisah dengan arah yang berlawanan, sehingga menimbulkan arus listrik dan medan EM. Medan tersebut bersifat melawan medan magnet bumi yang mengakibatkan medan magnet di tempat tersebut berkurang secara tajam sehingga membentuk batas medan magnet bumi di atmosfer yang disebut lapisan magnetopause yang merupakan batas terluar dari atmosfer bumi.

(45)

24

tersebut menyebabkan terjadinya gelombang EM yang mengalir di lapisan ionosfer tersebut. Gelombang EM tersebut kemudian menjalar sampai ke permukaan bumi dengan sifat berfluktuasi terhadap waktu (Gambar 5). Apabila medan EM tersebut menembus permukaan bumi, maka akan berinteraksi dengan material bumi yang dapat bersifat sebagai konduktor. Akibatnya akan timbul arus induksi. Arus induksi ini akan menginduksi ke permukaan bumi sehingga terjadi arus eddy yang dikenal sebagai arus tellurik. Arus tellurik inilah yang akan menjadi sumber medan listrik dipermukaan bumi yang akan digunakan pada metode MT.

Gambar 5. Sumber gelombang MT (Unsworth, 2008)

(46)

(atas atau bawah) sedangkan muatan positif akan berkumpul pada salah satu sisi lainnya. Jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya dari bumi ke awan untuk mencapai kesetimbangan. Kilat yang terjadi di suatu tempat akan menimbulkan gelombang EM yang terperangkap diantara lapisan ionosfer dan bumi (wave guide) dan kemudian menjalar mengitari bumi. Gambar 6. merupakan contoh sumber gelombang MT (solar wind dan kilat).

(a) (b)

Gambar 6. Sumber gelombang MT a. Solar Wind ; b. Kilat (Unsworth, 2008)

3.2.2. Sumber Noise

Noise adalah bagian dari data elektrik dan magnetik baik yang berasal dari buatan manusia maupun yang terbentuk dengan sendirinya dan tidak memenuhi asumsi gelombang datar yang diperlukan oleh metode magnetotelurik (Fontes et al., 1988).

(47)

26

Noise yang berasal dari alam seperti: petir, angin, dan hujan badai juga dapat menurunkan kualitas data, tetapi noise-noise ini dapat dihindari dengan tidak melakukan pengambilan data disaat musim hujan. Mengubur koil dan menjaga kabel dipole elektrik agar tetap berada diatas tanah juga membantu mengurangi noise yang berasal dari angin (Rodriguez and Sampson, 2010).

Pengukuran medan magnet akan sulit jika dalam kondisi berangin karena dapat menyebabkan gerakan tanah yang tidak signifikan. Hal ini juga menyebabkan koil induksi bergerak dan mengubah komponen medan magnet bumi searah koil magnetik.

Noise pada medan magnet dan medan listrik yang homogen disebut juga sebagai noise yang tidak koheren atau noise acak pada MT. Noise yang sangat dibutuhkan yaitu noise yang tidak homogen, oleh sebab itu medan listrik dan medan magnet yang saling berhubungan satu sama lain disebut juga sebagai noise yang koheren (Pedersen, 1986).

Gambar 7. Contoh noise yang koheren (Fontes, et al., 1988)

Medan listrik dan medan magnet yang mengandung noise dinotasikan sebagai berikut:

+ (1)

(48)

Dimana: = Medan listrik awal = noise listrik

= Medan magnet awal

= noise magnet

Sehingga Impedansinya ( ) didefinisikan sebagai berikut:

(3)

3.2.3. Persamaan Dasar Magnetotelurik

(49)

28

J : rapat arus (ampere/m2)

D : perpindahan listrik (coulomb/m2)

q : rapat muatan listrik (coulomb/m3)

Persamaan (4) diturunkan dari hukum Faraday yang menyatakan bahwa perubahan fluks magnetik menyebabkan medan listrik dengan gaya gerak listrik berlawanan dengan variasi fluks magnetik yang menyebabkannya. Persamaan (5) merupakan generalisasi Teorema Ampere dengan memperhitungkan Hukum Kekekalan Muatan. Persamaan tersebut menyatakan bahwa medan magnet timbul akibat fluks total arus listrik yang disebabkan oleh arus konduksi dan arus perpindahan. Persamaan (6) menyatakan Hukum Gauss yaitu fluks elektrik pada suatu ruang sebanding dengan muatan total yang ada dalam ruang tersebut. Sedangkan persamaan (7) yang identik dengan persamaan (6) berlaku untuk medan magnet, namun dalam hal ini tidak ada monopol magnetik.

Hubungan antara intensitas medan dengan fluks yang terjadi pada medium dinyatakan oleh persamaan berikut,

B = (8)

D = (9)

J = (10)

dimana μ : permeabilitas magnetik (Henry/m) ε : permitivitas listrik (Farad/m)

(50)

Untuk menyederhanakan masalah, sifat fisik medium diasumsikan tidak bervariasi terhadap waktu dan posisi (homogen isotropik). Sehingga akumulasi muatan seperti dinyatakan pada persamaan (6) tidak terjadi dan persamaan Maxwell dapat dituliskan kembali sebagai berikut,

(11)

(12)

(13)

(14)

Tampak bahwa dalam persamaan Maxwell yang dinyatakan oleh persamaan (11-14) hanya terdapat dua variabel yaitu medan listrik E dan medan magnet H. Dengan operasi curl terhadap persamaan (11) dan (12) serta mensubstitusikan besaran-besaran yang telah diketahui pada persamaan (8-10) akan kita peroleh pemisahan variabel E dan H sehingga,

(15)

(16)

Dengan memperhatikan identitas vektor dimana x adalah E atau H, serta hubungan yang dinyatakan oleh persamaan (15) dan (16), maka kita dapatkan persamaan gelombang (persamaan Helmholtz) untuk medan listrik dan medan magnet sebagai berikut,

E =

(51)

30

H =

(18)

Persamaan difusi atau Persamaan Helmholtz yang menunjukan sifat dari gelombang dari medan elektromagnet yaitu sifat difusif dan sifat gelombang yang pada penjalarannya berganti pada frekuensi yang digunakan (Tikhonov, 1950).

3.2.4. Tensor Impedansi (Z)

Data medan listrik dan medan magnet dalam metode MT tidak digunakan secara terpisah keduanya digunakan untuk memperoleh besaran yang disebut impedansi. Untuk metode MT, komponen medan listrik dan medan magnet yang digunakan adalah komponen horizontal, sebab gelombang EM dianggap merambat vertikal. Jika vektor mengarah vertikal, maka vektor E dan B akan berada pada bidang horizontal tegak lurus vektor. Sehingga hubungan di atas dapat dinyatakan dengan persamaan matriks :

[ ] [

] [ ] (19)

Dengan matriks impedansi Z berukuran 2x2. Bentuk matriks impedansi tersebut tergantung pada dimensionalitas medium. Untuk medium 3D matriks impedansi memiliki 4 komponen yang independen dengan matriks seperti diatas. Untuk medium 2D secara umum matriks impedansi memiliki 3 komponen independen dengan bentuk sebagai berikut:

(

) (20)

(52)

(

) (21)

Untuk medium satu dimensi hanya terdapat satu komponen independen:

(22)

Secara umum untuk kasus dua dimensi, dari data sinyal medan listrik dan medan magnet yang direkam, diperoleh matriks impedansi dengan tiga komponen independen. Untuk menyederhanakan komputasi, sedapat mungkin pengukuran dilakukan dengan memilih koordinat yang sejajar atau tegak lurus strike sehingga hanya ada dua komponen impedansi yang independen. Kenyataannya, dalam survey kita tidak mengetahui kemana arah strike yang sebenarnya. Jika kita percaya bahwa medium bawah tanah hampir dapat dimodelkan dengan model 2 dimensi, pengukuran dapat dilakukan dengan arah koordinat maupun yang dipilih. Baru setelah data terkumpul dan nilai impedansi dihitung, matriks impedansi tersebut dapat diputar atau dirotasikan secara numerik, sehingga seolah pengukuran dilakukan dengan menggunakan koordinat yang sejajar atau tegak lurus arah strike. Inilah yang disebut dekomposisi tensor impedansi, dimulai dari persamaan sebelumnya :

[ ] [

] [ ] (23)

(53)

32

komponen impedansi yang independen, yakni Zxy dan Zyx . dari kedua komponen impedansi tersebut didefinisikan resistivitas semu dan fasa :

xy = | | ( ) (24)

yx = | | ( ) (25)

Jika dipilih koordinat-x sejajar strike, y dan disebut resistivitas

semu dan fase TE, sedang dan disebut resistivitas semu dan fase TM.

Skin Depth adalah kemampuan sinyal elektromagnetik untuk menembus ke dalam bumi. Persamaan Skin Depth didefinisikan juga sebagai kedalaman pada suatu medium homogen yang amplitudo gelombangnya telah tereduksi menjadi 1/e dari amplitudonya di permukaan bumi (ln e = 1 atau e = 2.718...). besaran

tersebut dirumuskan sebagai berikut: √

dengan nilai

, dan sehingga persamaan Skin Depth dapat dituliskan

menjadi:

√ (26)

3.2.5. Metode Pengukuran MT

Dalam metode pengukuran MT, terdapat dua metode pengukuran yang

dapat membantu dalam proses pemodelan atau interpretasi tahap awal, yaitu TE

(Transverse Electric) mode dan TM (Transverse Magnetic) mode yang akan

(54)

3.2.5.1. Mode TE (Transverse Electric)

Pada mode ini komponen yang menunjukkan pada bidang arah sumbu y

dan z hanya komponen magnetiknya saja sedangkan komponen medan listrik

sejajar dengan arah struktur utama (Unsworth, 2008).

Dalam mode TE, arus listrik tidak akan mengalir melewati batas antara

daerah yang memiliki nilai resistivitas yang berbeda, oleh karena itu komponen

Ex akan kontinu terhadap bidang sumbu y, demikian juga dengan yang akan

kontinu terhadap bidang sumbu y. Karena itulah TE mode sangat baik jika masih

menggunakan analisa 1-dimensi.

3.2.5.2. Mode TM (Transverse Magentic)

Pada mode ini komponen yang menunjukkan pada bidang arah sumbu y

dan z hanya komponen medan listrik saja sedangkan komponen medan magnet

sejajar dengan arah struktur utama (Unsworth, 2008).

Pada TM mode, arus listrik akan melewati batas antara bagian yang

memiliki perbedaan resistivitas. Dalam TM mode ini, terjadi fenomena efek

konduktif yang terjadi juga pada TE mode, namun pada mode ini terjadi juga efek

lain yaitu efek statik yang disebabkan adanya heterogenitas resistivitas medium,

sehingga muatan-muatan terkumpul pada batas medium tersebut. Adanya efek

statik tersebut menyebabkan nilai resistivitas semu pada frekuensi rendah tetap

(55)

34

Gambar 8. Komponen medan listrik dan medan magnet dalam polarisasi TE dan TM pada model 2-D (Unsworth, 2008)

3.2.6. Efek Statik

Data MT dapat terdistorsi karena adanya heterogenitas lokal dekat permukaan dan faktor topografi, yang dikenal sebagai efek statik (static shift). Akumulasi muatan listrik pada batas konduktivitas medium menimbulkan medan listrik sekunder yang tidak bergantung pada frekuensi. Hal tersebut menyebabkan kurva sounding MT (log tahanan-jenis semu terhadap log periode) bergeser ke atas atau ke bawah sehingga paralel terhadap kurva sounding yang seharusnya. Dalam skala log, pergeseran vertikal kurva sounding tersebut dapat dinyatakan sebagai perkalian tahanan jenis semu dengan suatu konstanta (Grandis, 2010).

(56)

sounding MT sebelum dilakukan pemodelan (Grandis, 2010)

Jika data geofisika lainnya tidak tersedia maka untuk mengoreksi efek statik pada data MT dapat dilakukan perata-rataan atau pemfilteran spasial terhadap sekelompok data, misalnya dari suatu lintasan tertentu. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa efek regional yang merepresentasikan kondisi bawah permukaan sebenarnya akan muncul setelah dilakukan perata-rataan (Hendro dan Grandis, 1996).

Pemodelan yang dilakukan Sternberg dkk. (1988) menunjukkan bahwa heterogenitas lokal dekat permukaan pada medium 1-dimensi menyebabkan pergeseran vertikal kurva sounding MT. Pergeseran kurva sounding MT tersebut bergantung pada posisi titik pengamatan relatif terhadap heterogenitas.

3.3. Pemodelan Struktur Tahananan Jenis

Untuk melihat distribusi tahanan-jenis bawah permukaan, data MT multi-site ditampilkan dalam bentuk penampang. Penampang tersebut diperoleh melalui pemodelan 1D dan 2D, dengan data masukan berupa impedansi TE-mode dan TM-mode.

3.3.1. Pemodelan 1D

Model 1-D berupa model berlapis horizontal, yaitu model yang terdiri dari beberapa lapisan, dimana tahanan jenis tiap lapisan homogen. Dalam hal ini parameter model 1 D adalah tahanan jenis dan ketebalan tiap lapisan. Secara umum hubungan data dari parameter model dinyatakan oleh :

d = F(m) (27)

(57)

36

Pemecahan masalah menggunakan algoritma dilakukan Newton dengan mencari solusi model yang meminimumkan fungsi objektif yang didefinisikan oleh :

(28)

Dimana V adalah matriks pembobotan. Penerapan metode Newton untuk minimasi persamaan (27) memberikan solusi :

[ ] [ ] (29)

Dimana mn+1 adalah model pada iterasi ke-n, J adalah matriks Jacobian yaitu turunan pertama terhadap m, dan H adalah matriks Hessian yaitu turunan

kedua terhadap m.

3.3.2. Pemodelan 2D

Untuk dapat merepresentasikan kondisi bawah permukaan secara lebih realistis maka digunakan model 2-D dimana resistivitas bervariasi terhadap kedalaman (z) dan jarak dalam arah penampang atau profil (y) sehingga r (y, z). Dalam hal ini resistivitas medium tidak bervariasi dalam arah sumbu x yang merupakan arah struktur (strike).

Pemecahan masalah menggunakan algoritma nonlinear conjugate gradient (NLCG) dlakukan dengan mencari solusi model yan meminimumkan fungsi objektif ψ, yang didefinisikan oleh :

(30)

(58)

keduanya. Penerapanan metode NLCG untuk meminimumkan persamaan (3.9a) memberikan solusi:

[ ] [ ] (31)

Pemodelan inversi dengan algoritma (NLCG) diaplikasikan pada program WinGlink.

3.4. Motode Geokimia

Tujuan metode geokimia digunakan dalam penelitian eksplorasi panasbumi adalah untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panasbumi. Data yang sering digunakan dalam metode geokimia ini adalah data kimia manifestasi air panas, data isotop, data kimia tanah dan gas tanah. Data tersebut digunakan untuk mengkaji kemungkinan pengembangan sumber daya panasbumi yang meliputi berbagai parameter seperti (Hutapea, 2010):

- Ukuran sumberdaya (resource size)

- Perkiraan temperatur reservoar (resource temperature) - Permeabilitas formasi (formation permeability)

3.4.1. Kesetimbangan ion

(59)

38

Untuk mencari kesetimbangan ion, terlebih dahulu dilakukan perhitungan meq anion dan kation dengan rumus berikut :

(32)

Setelah didapatkan jumlah meq dari seluruh kation dan anion dari unsur dan senyawa di atas, kemudian dilakukan perhitungan kesetimbangan ion dengan persamaan berikut ini (Nicholson, 1993).

| ∑ ∑ ∑ ∑ | (33)

(60)

Rb, dan Cs. Konsentrasi Na dan K dikontrol oleh interaksi fluida dengan batuan yang bergantung pada temperatur. Na merupakan kation utama pada fluida panasbumi dengan konsentrasi yang berkisar 200-2000 ppm. Apabila perbandingan Na dengan K semakin kecil maka dapat diinterpretasikan bahwa temperatur semakin tinggi.

Li, Rb dan Cs merupakan unsur yang mudah larut dari batuan. Li, Rb dan Cs merupakan unsur yang sering dipakai bersama Cl dan B untuk karakterisasi fluida. Ketiga unsur ini mudah bergabung dengan mineral sekunder, sehingga diprediksi semakin jauh jarak migrasi dari fluida ke permukaan maka konsentrasinya akan semakin berkurang. Konsentrasi umum Li berkisar < 20 ppm, Rb < 2 ppm dan Cs < 2 ppm. Li sering terserap oleh mineral klorit, kuarsa dan mineral lempung sehingga pada zona upflow rasio B/Li rendah sedangkan pada zona outflow rasio B/Li tinggi.

Penggunaan Cl, B, Li, Na, K dan Mg sebagai geoindikator dan tracer diterapkan dengan metode sederhana yaitu plotting pada diagram segitiga (ternary plot). Plotting ini merupakan cara yang tepat untuk mengkaji aspek kimia fluida mata air panas maupun fluida sumur panasbumi.

3.4.2.1. Diagram Segitiga Cl – SO4– HCO3

Penggunaan komponen anion yang berupa Cl, SO4 dan HCO3 bermanfaat untuk mengetahui komposisi fluida panasbumi karena anion – anion tersebut merupakan zat terlarut yang paling banyak dijumpai dalam fluida panasbumi. Cl, SO4 dan HCO3 dapat digunakan untuk menginterpretasi kondisi dan proses yang berlangsung di dekat permukaan (kurang dari 1km) (Herdianita, dkk., 2006).

(61)

40

langsung dari reservoar, dengan minimal pencampuran atau pendinginan secara konduksi. Kadar Cl rendah pada air (yang tidak menunjukkan karakteristik uap-panas) dari mata air panas adalah karakteristik dari pengenceran air tanah. Konsetrasi dapat berkisar dari <10 sampai >100000 mg/kg, namun nilai-nilai orde 1000mg/kg adalah khas dari klorida-jenis air.

Gambar 9. Diagram segitiga Cl – SO4 – HCO3 (Simmons, 1998)

Plotting ke diagram segitiga Cl-SO4-HCO3 seperti yang ditujukkan pada Gambar 9 agar mempermudah dalam pengelompokan serta pemeriksaa trend sifat kimia fluida. Posisi data pada diagram segitiga dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

S = [Cl] + [SO4] + [HCO3] (34)

% Cl = ( 100 [Cl] ) / S (35)

% SO4 = ( 100 [SO4] ) / S (36)

(62)

3.4.2.2. Diagram segitiga Na – K – Mg

Geotermometer air berdasakan pada konten Na-K dan Na-K-Ca yang menyediakan alat yang sangat baik untuk evaluasi kondisi lebih dalam suatu sistem panasbumi. Sebagian besar timbul masalah dalam penggunaannya dari aplikasi mereka dengan ketidakcocokan sampel serta perbedaan awal jenis fluida yang bergantung pada pH dan kandungan relatif Cl, SO4 dan HCO3. Plot segitiga Na-K-Mg (Gambar 11) memberikan penilaian lebih lanjut dari kesesuaian analisis air untuk aplikasi geoindikator zat terlarut ionik. Dasar pemikiran memakai Na – K – Mg adalah reaksi – reaksi sebagai berikut :

Na+ + K Feldspar = Na Feldspar + K+

2.8 K Feldspar + 1.6 H2O + Mg2+ = 0.8 K Mika + 0.2 Klorida + 5.4 SiO2 + 2K+

Gambar 10. Diagram segitiga Na – K – Mg (Simmons, 1998)

Plotting posisi data pada diagram segitiga Na – K – Mg :

S = ([Na]/1000) + ([K] / 100 ) + [Mg]1/2 (38)

% Na = (100([Na] / 1000))/S (39)

(63)

42

3.4.3. Geotermometer

Geotermometer merupakan cara untuk memperkirakan tempertur reservoar panasbumi yang berdasarkan pada keberadaan zat-zat terlarut pada fluida panasbumi, dimana konsentrasi fluida tersebut sangat bergantung pada temperatur. Tiap geotermometer memiliki keterbatasan sehingga penerapannya harus sangat hati-hati untuk menghindari kekeliruan interpretasi. Berikut adalah beberapa jenis geotermometer.

3.4.3.1. Geotermometer silika

Pada fluida reservoar bersuhu > 220oC kuarsa dapat mengendap akibat pendinginan perlahan, apabila pendinginan berlangsung dengan sangat cepat (misalnya pada mulut mata air) maka yang terbentuk/mengendap adalah silika amorf (Gambar 13) di mana kurva A adalah kelarutan kuarsa tanpa steam loss, B koreksi dengan steam loss dan C adalah kurva kelarutan silika amorf. Berdasar data simulasi variasi kelarutan atau konsentrasi silika terhadap variasi temperatur seperti pada Gambar 13 maka secara logika kita bisa memperkirakan temperatur fluida apabila kita memiliki data konsentrasi silika di dalam fluida (dari analisis kimia sampel air). Dari kurva terlihat bahwa pada suhu rendah silika amorf lebih mudah larut daripada kuarsa. Secara umum kelarutan silika dikontrol oleh silika amorf pada T rendah dan kuarsa pada T tinggi.

(64)

jenis silika dalam air sebagai fungsi dari temperatur yang ditentukan dengan eksperimen. Reaksi yang menjadi dasar pelarutan silika dalam air adalah:

SiO2 (s) + 2 H2O →H4SiO4

Pada kebanyakan sistem panasbumi, fluida di kedalaman mengalami ekuilibrium dengan kuarsa.

Gambar 11. Diagram kelarutan silika terhadap temperatur (Aribowo, 2011)

Berbagai jenis persamaan geotermometer silika ditampilkan pada Tabel 1 (hasil simulasi beberapa peneliti), di mana penerapannya sangat tergantung kepada kondisi fluida dan jenis endapan silika yang.

Tabel 1. Persamaan geotermometer silica (Aribowo, 2011)

Geothermometer Persamaan Referensi

Quartz-no steam loss

T = 1309 / (5.19 – log C) - 273.15 Fournier (1977) Quartz-maximum

steam

loss at 100 oC

(65)

44

Persamaan-persamaan pada tabel tersebut dikembangkan berdasar pendekatan terhadap nilai kurva kelarutan macam-macam mineral silika (kuarsa, kalsedon, kristobalit, opal, dan silika amorf).

3.4.3.2. Geotermometer Na-K

Respon rasio konsentrasi Na terhadap K yang menurun terhadap meningkatnya temperatur fluida didasarkan pada reaksi pertukaran kation yang sangat bergantung pada suhu yaitu:

K++ Na Felspar → Na+ + K Felspar Albit adularia

T >>> T <<

Penerapan Geotermometer Na-K dapat diterapkan untuk reservoar air klorida dengan T > 180oC. Geotermometer ini punya keunggulan yaitu tidak banyak terpengaruh oleh dilution maupun steam loss. Geotermometer ini kurang bagus untuk T< 100oC, juga untuk air yang kaya Ca/ banyak berasosiasi dengan endapan travertin. Tabel 3 berikut menampilkan beberapa persamaan geotermometri Na-K.

Tabel 2. Beberapa rumus geotermometri Na-K (Aribowo, 2011) T=[855.6/(0.857+log(Na/K))]-273.15 Truesdell (1976)

T=[833/(0.780+log(Na/K))]-273.15 Tonani (1980)

T=[1319/(1.699+log(Na/K))]-273.15 (250-350 oC) Arnorsson et al. (1983)

T=[1217/(1.483+log(Na/K))]-273.15 Fournier (1979)

(66)

T=[1390/(1.750+log(Na/K))]-273.15 Giggenbach (1988)

3.4.3.3. Geotermometer Na-K-Ca

Geotermometer ini diterapkan untuk air yang memiliki konsentrasi Ca tinggi. Geotermometer ini bersifat empiris dengan landasan teori yang belum dipahami secara sempurna (Aribowo, 2011). Batasan teoritis untuk geotermometer ini adalah ekuilibrium antara Na dan K Felspar serta konversi mineral kalsium alumino silikat (misalnya plagioklas) menjadi kalsit. Asumsi yang digunakan untuk membuat persamaan geotermometer Na-K-Ca adalah sebagai berikut:

1. ada kelebihan silika (biasanya benar)

2. aluminium tetap berada pada fasa padat (biasanya benar karena fluida biasanya miskin Al)

Rumus persamaan untuk geotermometer ini adalah:

T=[1647/ (log (Na/K)+ (log (Ca/Na)+2.06)+2.47)] -273.15 (41)

Ada 2 uji untuk menerapkan geotermometer ini:

1. Jika [log√Ca/Na)+2,06] < 0, gunakan β=1/3 dan hitung T°C 2. Jika [log√Ca/Na)+2,06] > 0, gunakan β=4/3 dan hitung T°C, jika

T terhitung <100oC maka hasil dapat diterima. Jika hasil perhitungan T pada (2) > 100°C , hitung ulang T°C dengan β=1/3

(67)

46

temperatur sangat dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi karena boiling dan dilution. Boiling menyebabkan loss of CO2, terjadi pengendapan kalsit, Ca keluar dari larutan, sehingga T hasil perhitungan terlalu tinggi. Fluida panasbumi dengan T>180oC kebanyakan mengandung sedikit Mg (<0.2 ppm). Ketergantungan konsentrasi Mg terhadap temperatur disebabkan oleh pembentukan klorit. Pada T yang lebih tinggi, Mg juga keluar dari larutan karena dipakai untuk membentuk biotit atau aktinolit.

Koreksi Mg diterapkan untuk fluida panasbumi suhu tinggi (>180) yang mengandung Mg terlarut tinggi.

a. Jika T hasil perhitungan geotermometer <70 oC, tidak perlu koreksi karena fluida pada suhu tersebut tidak mengalami ekuilibrium

b. Hitung R = [Mg/(Mg + 0.61Ca + 0.31K)] x 100

c. Jika R > 50 dianggap bahwa air berasal dari kesetimbangan pada suhu yang lebih rendah (T hampir sama dengan suhu terukur)

d. Jika T > 70 oC dan R < 50, gunakan R untuk mencari oT Mg dari grafik koreksi Mg

e. Hitung T Na-K-Ca terkoreksi dengan cara:

f. T Na-K-Ca (koreksi Mg) = T Na-K-Ca terhitung - oT Mg

Koreksi Mg biasanya diterapkan untuk sistem panasbumi yang relatif “dingin”,

cocok dipakai untuk mata air-mata air pada kondisi sub boiling dengan discharge rate tinggi.

3.4.3.4. Geotermometer Gas

(68)

air tanah jauh dibawah permukaan, maka mata air panas ini tidak tersedia. Untuk itu geotermometer air tidak dapat digunakan untuk memperediksi temperatur bawah permukaan. Hal ini yang memotivasi para ilmuwan untuk mengembangkan geothermometer gas, diantaranya D’Amore dan Panichi (1980). Terdapat tiga tipe

geotermometer gas yaitu:

1. Kesetimbangan gas – gas 2. Kesetimbangan gas – mineral

3. Kesetimbangan mineral – gas yang melibatkan gas sisa seperti CH4, H2S dan H2

(69)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilakasanakn pada bulan Februari 2015 hingga Maret 2015 dan bertempat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Badan Geologi, Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG), Kelompok Penyelidikan Bumi Pertama, Bandung.

Tabel 3. Jadwal penelitian

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Studi Literatur

Pengolahan Data

Pemodelan dan Visualisasi Analisis dan interpretasi Laporan

4.2. Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah a. Data hasil pengukuran Magnetotelurik,

b. Data geokimia sampel air dan gas,

(70)

4.3. Tahapan Proses Data

4.3.1. Pengolahan Data Geokimia

Data geokimia pada penelitian ini berupa data geokimia air dan gas maninfestasi fumarol. Adapun unsur yang didapatkan adalah Na, K, Ca, Mg, Cl, SO4, HCO3, B, SiO2, dan Li. Gas-gas yang terdeteksi adalah CO2, H2S, SO2, O2, Ar, dan N2. Semua data geokimia tersebut dilakukan perhitungan kesetimbangan ion (ion balance) untuk melihat kualitas dari data geokimia tersebut sebelum dilakukan pengolaham.

Pengolahan data geokimia dilakukan di microsoft ecxel kemudian dilakukan plotting ke diagram tennary (Cl-SO4-HCO3 ; Na-K-Mg). Selanjutnya itu dilakukan proses perhitungan pendugaan temperatur bawah permukaan dengan menggunakan geotermometer air dan gas.

4.3.2. Data Maganetotelurik

4.3.2.1. Pengolahan Data Magnetotelurik

(71)

50

menghasilkan data output berupa data plot MT dalam format ekstensi (.MTH) yang berisi data yang berfrekuensi tinggi dan (.MTL) berisi data dengan frekuensi rendah dan akan diedit pada program MT-Editor. Dimana :

a. Edit parameter merupakan salah satu proses awal pada pengolahan data mentah (raw data) metode MT. Parameter lapangan yang diperoleh diantaranya berupa nilai potensial dan kontak resistan kabel utara, barat, selatan, timur terhadap ground.

b. Proses Robust merupakan proses pengolahan data yang sering digunakan dalam pengolahan metode MT untuk memperbaiki kualitas data. Estimasi Robust memiliki kemampuan untuk menghilangkan gejala atau efek dari data yang yang tidak biasa (outliers) dalam respon variabel (medan listrik). Tetapi proses ini sering tidak sensitif terhadap data yang diharapkan (medan magnet) (Sutarno, 2008).

Selanjutnya output dari pengolahan dengan perangkat lunak SSMT2000, dilakukan proses smoothing dan editing data ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MT Editor dari Phoenix Geophysic Canada. Tujuan dari smoothing dan editing data ini adalah untuk memperbaiki kurva tahanan jenis dan fase yang masih kurang baik, agar dapat meminimalisasi kesalahan dalam interpretasi data di tahapan selanjutnya. Data yang telah dilakukan smoothing, diexport kedalam format ektensi (.edi) untuk dilakukan proses pembuatan model.

(72)

Data MT dapat terdistorsi karena adanya heterogenitas lokal dekat permukaan dan faktor topografi, yang dikenal sebagai efek statik (static shift). Hal tersebut menyebabkan kurva sounding MT (log tahanan-jenis semu terhadap log periode) bergeser ke atas atau ke bawah sehingga paralel terhadap kurva sounding yang seharusnya.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menghilangkan efek static tersebut adalah metode geostatistik, yaitu dengan melakukan perata-rataan terhadap suatu titik yang akan digunakan sebagai acuan titik-titik yang lain.

4.3.2.3. Pemodelan Data Magnetotelurik

Pada tahapan pemodelan dilakukan menggunakan perangkat lunak WinGLink. Untuk pemodelan 1D dilakukan dengan menampilkan kurva sounding 1D terhadap kedalaman. Pemodelan 1D yang dilakukan menggunakan 2 metode, yaitu metode Bostick dan metode Occam. Pada pemodelan 1D ini mode pengukuran yang digunakan merupakan Mode Invariant yang merupakan gabungan dari mode Transverse Electric (TE) dan Transverse Magnetic (TM).

(73)

52

kurva, dimana kurva tersebut harus menyerupai kurva resistivitas data (Mode Invariant).

Berikut adalah contoh stasiun pengukuran MT yang telah dilakukan inverse 1D.

Gambar 12. Kurva Pemodelan inverse 1D

(74)
(75)

54

Gambar 14. P-Section lintasan 2

(76)

Gambar 15. Model 1D bostick lintasan 1

(77)

56

Gambar 17. Model 1D bostick lintasan 2

(78)

Selanjutnya adalah tahapan inverse 2D. Mode awal (Initial model) dibuat sebagai model yang homogen. Dilakukan pembatasan frekuensi yang digunkan sampai 0.01 Hz karena pada frekuensi yang lebih rendah dari 0,01 Hz banyak terjadi distorsi yang disebabkan oleh noise. Jumlah iterasi yang digunakan adalah sebanyak 100 iterasi. Setelah initial model dibuat, selanjutnya dilakukan pemilihan parameter yang akan digunakan, dimana parameter yang digunakan adalah mode TE dan TM, pembatasan frekuensi yang digunakan, dan pemilihan nilai Tau (Tau yang digunakan terdiri dari 0.1; 0.3; 1; 3; 5; 7...), nilai tau yang digunakan pada proses ini akan menentukan nilai error RMS model pada setiap inversi yang dilakukan, semakin besar nilai tau yang digunakan maka model yang didapatkan akan semakin smooth (error RMS yang kecil) akan tetapi model tersebut akan semakin kurang representative terhadap keadaan sebenarnya. Sehingga dalam pembuatan model magnetotelurik, nilai tau yang digunakan adalah nilai tau yang menghasilkan model dengan error RMS yang optimum, yang akan terlihat dengan menggunakan grafik L-Curve (hubungan antara nilai roughness dan error RMS). Pada penelitian ini nilai tau yang menghasilkan nilai RMS yang paling optimal adalah 1, yang ditunjukkan pada Gambar 19 dan 20.

(79)

58

4.4. Diagram Alir

Diagram alir yang telah dilakukan dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 21.

`

(80)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil pemodelan 2D magnetotelurik diinterpretasikan bahwa, a. Lapisan dengan nilai resisitivitas 9-15 Ωm diduga sebagai caprock dan berada pada kedalaman 100-500 m dari permukaan dengan ketebalan 300-400 m.

b. Lapisan dengan nilai resistivitas ≤ 10 Ωm diduga sebagai reservoar dan berada pada kedalaman 500-1000 m dari permukaan dengan ketebalan 800-1500 m.

(81)

82

6.2.Saran

1. Dalam pembuatan model bawah permukaan, diperlukan data pendukung lain seperti data TDEM (menghilangkan efek statik), untuk mendapatkan model yang optimal.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi daerah panasbumi Gunung Arjuno-Welirang       (Tim Survei Geologi dan Geokimia PSDG, 2010)
Gambar 2. Peta geologi daerah panasbumi komplek Gunung Arjuno-Welirang  (Tim Survei Geologi PSDG, 2010)
Gambar 3.  Kondisi hidrologi dari sistem dominasi uap (Simmons, 1998)
Gambar 5. Sumber gelombang MT (Unsworth, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan (1) Terdapat pengaruh signifikan model pembelajaran discovery learning dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar terhadap

Adapun pelaksanaan pemeriksaan nikah dengan adanya MPP saat ini secara umum berjalan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 5 PMA No 19 Tahun 2019, hanya saja ada

15 Penelitian oleh Mickle et al pada tahun 2006 menunjukkan bahwa tinggi lengkung kaki pada anak overweight dan obesitas (0,9 ± 0,3 cm) secara signifikan lebih rendah

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak dengan nilai lemak viseral.. Hal ini berdasarkan

Berdasarkan hasil pra-survay menyebutkan bahwa peran guru dengan kemampuan membaca al-Qur’an santri TPA Nurul Yaqin tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada,

Krebet Baru Malang memberikan bantuan kepada masyarakat di Desa Krebet kecamatan Bululawang yang kurang mampu, dimana bantuan tersebut berupa pemberian sembako

Perhitungan yang dilakukan dengan metode Nash Game yaitu perhitungan transaksi tanpa rugi-rugi transmisi sebagai kasus pertama Hasil dan analisa didasarkan pada